Anda di halaman 1dari 13

FAKULTAS FARMASI

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

TUGAS MAKALAH

SISTEM IMUN (HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT)

OLEH:

NAMA : APRIANI DARMA PERTIWI

STAMBUK : 15020150073

KELAS : C2

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI

FAKULTAS FARMASI

MAKASSAR

2018
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena
atas berkat dan limpahan rahmat-Nyalah maka saya dapat menyelesaikan sebuah
makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah FARMAKOLOGI
TOKSIKOLOGI 1 SISTEM IMUN (HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT)
yang menurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk
mengetahui lebih mendalam mengenai materi tersebut.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf bila mana isi
makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau
menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini saya membuat makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat bermanfaat.

Makassar, 19 agustus 2018


BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Imunitas adalah resistensi terhadap penyakit terutama infeksi. Gabungan sel,


molekul dan jaringan yang berperan dalam resistensi terhadap infeksi disebut
system imun. System imun diperlukan tubuh untuk mempertahankan keutuhannya
terhadap bahaya yang ditimbulkan berbagai bahan dalam lingkungan hidup.
Menghadapi serangan benda asing yang dapat menimbulkan infeksi dan kerusakan
jaringan. Tubuh manusia dibekali system pertahanan untuk melindungi dirinya.
System pertahanan tubuh yang dikenal sebagai mekansme imunitas alamiah ini,
merupakan system pertahanan yang mempunyai sprektum luas, yang artinya tidak
hanya ditujukan kepada antigen yang spesifik. Selain itu, didalam tubuh manusia
juga ditemukan mekanisme imunitas yang didapat yang hanya diekspresikan dan
dibngkitkan karena paparan antigen yang spesifik. Tipe yang terakhir ini, dapat
dikelompokkan menjadi imunitas yang didapat secara aktif dan didapat secara
pasif.
Respon imun seseorang terhadap unsur-unsur pathogen sangat bergantung
kepada kemampuan system imun untuk mengenal molekl-molekul asing atau
antigen yang terdapat pada permukaan unsur pathogen dan kemampuan untuk
melakuan reaksi yang tepatuntuk menyingkirkan antigen. Dalam pandangan ini
dalam proses imun diperlukan tiga hal, yaitu pertahanan, homeostatis dan
penawasan. Fungsi pertahanan ditujuukan untuk perlawanan terhadap infeksi
mikroorganisme, fungsi homeostasis berfungsi terhadap eliminasi komponen-
komponen tubuh yang sudah tua dan fungsi pengawasan untuk menghancurkan sel-
sel yang bermutasi terutama yang dicurigai akan menjadi ganas. Dengan perkataan
lain, respon imun dapat diartikan sebagai suatu system agar tubuh dapat
mempertahankan kesembangan antara lingkungan diluar dan didalam tubuh.
Respon imun, baik nonspesifik maupun spesifik pada umumnya
menguntungkan bagi tubuh, berfungsi sebagai protektif terhadap infeksi atau
pertumbuhan kanker, tetapi dapat pula menimbulkan hal yang tidak
menguntungkan bagi tubuh berupa penyakit yang disebut hipersensitivitas atau
dengan kata lain pada keadaan normal mekanisme pertahanan tubuh bagi humoral
maupun seluler tergantung pada aktivitas sel B dan sel T. aktvitas berlebihan oleh
antigen atau gangguan mekanisme ini, akan menimbulkan suatu keadaan
imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas.
BAB II

PEMBAHASAN

2.2. Tipe IV : Reaksi tipe lambat

Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi
(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau
dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama
respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti
Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi,
dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas
jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respons
terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun).

Hipersensitivitas tipe IV diperantarai oleh sel T tersensitisasi secara khusus


bukan antibodi dan dibagi lebih lanjut menjadi dua tipe dasar:

(1). Hipersensitivitas tipe lambat, diinisiasi oleh sel T CD4+

(2). Sitotoksisitas sel langsung, diperantarai olehsel T CD8+.

Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin
sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang
merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik
menjalankan fungsi efektor.

a. Hipersensitivitas tipe lambat (DTH-Delayed-Tipe Hypersensitivity)

Contoh klasik DTH adalah reaksi tuberkulin. Delapan hingga 12 jam


setelah injeksi tuberkulin intrakutan, muncul suatu area eritema dan indurasi
setempat, dan mencapai puncaknya (biasanya berdiameter 1 hingga 2 cm) dalam
waktu 24 hingga 72 jam (sehingga digunakan kata sifat delayed [lambat/
tertunda]) dan setelah itu akan mereda secara perlahan.secara histologis , reaksi
DTH ditandai dengan penumpukan sel helper-T CD4+ perivaskular (“seperti
manset”) dan makrofag dalam jumlah yang lebih sedikit.

Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan
peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis
dan pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini
adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu
dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T
memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel
T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang
negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.

2.3. Patofisiologi

Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga
antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses
antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1
tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih
belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk
menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T
naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya
pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah
diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi
yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang
akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT.
Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah
sebagai berikut:

 IL-12 merupakan suatu sitokin yang dihasilkan oleh makrofag setelah


interaksi awal dengan basil tuberkel. IL-12 sangat penting untuk induksi
DTH karena merupakan sitokin utama yang mengarahkan diferensiasi sel
TH1; selanjutnya, sel TH1 merupakan sumber sitokin lain yang tercantum
di bawah. IL-12 juga merupakan penginduksi sekresi IFN-γ oleh sel T dan
sel NK yang poten.
 IFN-γ mempunyai berbagai macam efek dan merupakan mediator DTH
yang paling penting. IFN-γ merupakan aktivator makrofag yang sangat
poten, yang meningkatkan produksi makrofag IL-12. Makrofag teraktivasi
mengeluarkan lebih banyak molekul kelas II pada permukaannya sehingga
meningkatkan kemampuan penyajian antigen. Makrofag ini juga
mempunyai aktivitas fagositik dan mikrobisida yang meningkat, demikian
pula dengan kemampuannya membunuh sel tumor. Makrofag teraktivasi
menyekresi beberapa faktor pertumbuhan polipeptida, termasuk faktor
pertumbuhan yang berasal dari trombosit (PDGF) dan TGF-α, yang
merangsang proliferasi fibroblas dan meningkatkan sintesis kolagen.
Secara ringkas, aktivitas IFN-γ meningkatkan kemampuan makrofag
untuk membasmi agen penyerangan; jika aktivasi makrofag terus
berlangsung, akan terjadi fibrosis.

 IL-2 menyebabkan proliferasi sel T yang telah terakumulasi pada tempat


DTH. Yang termasuk dalam infiltrat ini adalah kira-kira 10% sel CD4+
yang antigen-spesifik, meskipun sebagian besar adalah sel T “penonton”
yang tidak spesifik untuk agen penyerang asal.
 TNFdan limfotoksin adalah sitokin yang menggunakan efek pentingnya
pada sel endotel:
 meningkatnya sekresi nitrit oksida dan prostasiklin, yang membantu
peningkatan aliran darah melalui vasodilatasi local
 meningkatnya pengeluaran selektin-E, yaitu suatu molekul adhesi yang
meningkatkan perlekatan sel mononuclear
 induksi dan sekresi faktor kemotaksis seperti IL-8. Perubahan ini secara
bersama memudahkan keluarnya limfosit dan monosit pada lokasi
terjadinya respon DHT.

2.4. Inflamasi Granulomatosa

Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen
bersifat persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+
perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3
minggu; makrofag yang terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti
morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik
(disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah
pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatusel
raksasa(giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara
khusus dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebutgranuloma, dan polanya
disebut sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama
dengan proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang
lebih dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat.
Pengenalan terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena
hanya ada sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.

DHT merupakan suatu mekanisme pertahanan utama yang melawan


berbagai patogen intrasel, yang meliputi mikobakterium, fungus, dan parasit
tertentu, dan dapat pula terlibat dalam penolakan serta imunitas tumor. Peran utama
sel T CD4+ dalam hipersensitivitas tipe lambat tampak jelas pada penderita AIDS.
Karena kehilangan sel CD4+, respons penjamu terhadap patogen ekstrasel, seperti
Mycobacterium tuberculosis, akan sangat terganggu. Bakteri akan dimangsa oleh
makrofag, tetapi tidak dibunuh, dan sebagai pengganti pembentukan granuloma,
terjadi akumulasi makrofag yang tidak teraktivasi yang sulit untuk mengatasi
mikroba yang menginvasi.

Selain bermanfaat karena peran protektifnya, DHT dapat pula menyebabkan


suatu penyakit. Dermatitis kontak adalah salah satu contoh jejas jaringan yang
diakibatkan oleh hipersensitivitas lambat. Penyakit ini dibangkitkan melalui kontak
dengan pentadesilkatekol (juga dikenal sebagai urushiol, komponen aktif poison
ivy atao poisin oak) pada penjamu yang tersensitisasi dan muncul sebagai suatu
dermatitis vesikularis. Mekanisme dasarnya sama dengan mekanisme pada
sensitivitas tuberculin.

Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1 tersensitisasi akan
berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di dalam
epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit,
menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel
intradermal.

2.5. Sitotoksisitas Yang Diperantarai Sel T

Pada pembentukan hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ tersensitisasi


membunuh sel target yang membawa antigen. Seperti yang telah dibahas
sebelumnya, molekul MHC tipe I berikatan dengan peptida virus intrasel dan
menyajikannya pada limfosit T CD8+. Sel efektor CD8+, yang disebut limfosit T
sitotoksik (CTL, cytotoxic T-lymphocytes), yang berperan penting dalam resistensi
terhadap infeksi virus. Pelisisan sel terinfeksi sebelumnya terjadi replikasi virus
yang lengkap pada akhirnya menyebabkan penghilangan infeksi. Diyakini bahwa
banyak peptida yang berhubungan dengan tumor muncul pula pada permukaan sel
tumor sehingga CTL dapat pula terlibat dalam imunitas tumor.

Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1)
pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang
bergantung pada ligan Fas- Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang
terkandung dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan
namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel target; hal tersebut
dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk
suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya
menyebabkan lisi osmotik.
Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut
dengangranzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin.
Begitu sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL
teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang homolog dengan
TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini menyebabkan
apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan
antigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam
penolakangr aft.

2.6. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan
reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga
dapat merupakan manifestasi reaksi obat.

2.7. Klasifikasi

Ada 4 jenis reaksi hipersensitivitas tipe IV, yaitu:

1. Hipersensitivitas Jones Mole (Reaksi JM)

Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal


tersebut biasanya ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit
yang peka terhadap siklofosfamid. Reaksi JM atau Cutaneous Basophil
Hypersensitivity (CBH) merupakan bentuk CMI yang tidak biasa dan telah
ditemukan pada manusia sesudah suntikan antigen intradermal yang berulang-
ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa
indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu terdiri atas infiltrasi sel basofil.

Mekanisme sebenarnya masih belum diketahui. Kelinci yang digigit tungau


menunjukkan reaksi CBH yang berat di tempat tungau menempel. Basofil
kemudian melepas mediator yang farmakologik aktif dari granulanya yang dapat
mematikan dan melepaskan tungau tersebut. Basofil telah ditemukan pula pada
dermatitis kontak yang disebabkan allergen seperti poison ivy penolakan ginjal dan
beberapa bentuk konjungtivitis. Hal-hal tersebut di atas menunjukkan bahwa
basofil mempunyai peranan dalam penyakit hipersensitivitas.Reaksi JM ditandai
oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Hal tersebut biasanya
ditimbulkan oleh antigen yang larut dan disebabkan oleh limfosit yang peka
terhadap siklofosfamid.

Reaksi JM atau Cutaneous Basophil Hypersensitivity (CBH) merupakan


bentuk CMI yang tidak biasa dan telah ditemukan pada manusia sesudah suntikan
antigen intradermal yang berulang-ulang. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam
tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi yang merupakan ciri dari CMI. Eritem itu
terdiri atas infiltrasi sel basofil. Mekanisme sebenarnya masih belum diketahui.

2. Hipersensitivitas Kontak dan dermatitis kontak

Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada
titik tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan
merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell
(APC) memegang peranan pada reaksi ini. Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit,
cenderung untuk merangsang perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe
lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat
mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen
baru. Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang
menjadi peka karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia
seperti prikil klorida dan kromat. Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi
klon sel-T yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan
respon seperti yang terjadi pada CMI. Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel
epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini menimbulkan
dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung

3. Reaksi Tuberkulin

Reaksi tuberculin adalah reaksi dermal yang berbeda dengan reaksi


dermatitis kontak dan terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri
atas infiltrasi sel mononuklier (50% limfosit dan sisanya monosit). Setelah 48 jam
timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang
merusak hubungan serat-serat kolagen kulit.

Dalam beberapa hal antigen dimusnahkan dengan cepat sehinga


menimbulkan kerusakan. Dilain hal terjadi hal-hal seperti yang terlihat sebagai
konsekuensi CMI. Kelainan kulit yang khas pada penyakit cacar, campak, dan
herpes ditimbulkan oleh karena CMI terhadap virus ditambah dengan kerusakan sel
yang diinfektif virus oleh sel-Tc.

4. Reaksi Granuloma

Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke


jaringan. Bila keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi
berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini,
dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan sel plasma yang memberikan
gambaran patologik dari inflamasi kronik.
Menyusul respon akut terjadi influks monosit, neutrofil dan limfosit ke
jaringan. Bila keadaan menjadi terkontrol, neutrofil tidak dikerahkan lagi
berdegenerasi. Selanjutnya dikerahkan sel mononuklier. Pada stadium ini,
dikerahkan monosit, makrofak, limfosit dan sel plasma yang memberikan
gambaran patologik dari inflamasi kronik.

Dalam inflamasi kronik ini, monosit dan makrofak mempunyai 3 peranan penting
sebagai berikut:

 Menelan dan mencerna mikroba, debris seluler dan neutrofil yang


berdegenerasi.
 Modulasi respon imun dan fungsi sel-T melalui presentasi antigen dan
sekresi sitokin.
 Memperbaiki kerusakan jaringan dan fungsi sel inflamasi melalui sekresi
sitokin.

Gambaran morfologis dari respon tersebut dapat berupa pembentukan


granuloma (agregat fagosit mononuklier yang dikelilingi limfosit dan sel plasma).
Fagosit terdiri atas monosit yang baru dikerahkan serta sedikit dari makrofag yang
sudah ada dalam jaringan.

Reaksi granulomata merupakan reaksi tipe IV yang paling penting karena


menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen
yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang
tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap, misalnya pada
alveolitis alergik.

Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen


yang persisten dalam tubuh, sedangkan reaksi tuberkolin merupakan respon imun
seluler yang terbatas. Kedua reaksi tersebut dapat terjadi akibat sensitasi oleh
antigen mikroorganisme yang sama, misalnya M. Tuberculosis dan M. Leprae.
Granuloma juga terjadi pada hipersensitivitas terhadap zarkonium, sarkoidosis dan
rangsangan bahan non-antigenik seperti bedak (talkum). Dalam hal-hal tersebut
makrofag tidak dapat memusnahkan benda anorganik.

Granuloma non-immunologic dapat dibedakan dari yang immunologic,


karena yang pertama tidak mengandung limfosit. Dalam reaksi granuloma
ditemukan sel epiteloid yang diduga berasal dari sel-sel makrofag dan sel datia
Langhans (jangan dikaburkan dengan sel Langerhans yang telah dibicarakan).
Granuloma immunologic ditandai dengan inti yang terdiri atas sel epiteloid
dan makrofag. Disamping itu dapat ditemukan fibrosis atau timbunan serat kolagen
yang terjadi akibat proliferasi fibroblast dan peningkatan sintesis kolagen.

BAB III

PENUTUP

3.1. Kesimpulan

 Reaksi hipersensitivitas menurut Gell dan Coombs ada 4, yaitu


reaksihipersensitivitas tipe 1 (anafilaktik), reaksi hipersensitivitas tipe 2
(sitotoksik), reaksi hipersensitivitas tipe 3 (kompleks imun), dan reaksi
hipersensitivitas tipe 4 (tipe lambat).
 Untuk menentukan diagnosis suatu penyakit hipersensitivitas,
perludiketahui mediator apa yang terlibat dalam reaksi hipersensitivitasnya.
 Pada kasus pertama, terjadi reaksi hipersensitivitas tipe 1 dimana mediator
yang berperan adalah IgE dan sel mast.
 Pada kasus kedua didapatkan glomerulonefritis akut pasca
infeksistreptokokus yang mana bisa digolongkan kedalam reaksi
hipersensitivitas 2 maupun reaksi hipersensitivitas.
 Diperlukan pemeriksaan lebih lanjut untuk menegakkan diagnosis
danmenentukan jenis terapi yang tepat.

3.2. Saran

 Untuk menegakkan diagnosis, diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik,


pemeriksaan laboratorium dan pemeriksaan penunjang yang lengkap untuk
setiap penyakit dengan hipersensitivitas.
 Dokter harus bisa memilih jenis pemeriksaan yang tepat terkait dengan
penegakkan diagnosis agar dapat menentukan tipe hipersensitivitas
yangnantinya akan sangat membantu dalam usaha pemberian terapi.
 Informasi yang lengkap dan akurat sangat dibutuhkan tentang suatu
penyakit mulai dari manifestasi klinis, diferensial diagnosis hingga
penatalaksanaannya untuk menjadi dokter yang profesional.
DAFTAR PUSTAKA

Bratawidjaja, K. Garna, Et All ; Imunologi Dasar, Edisi V, Interna Publishing,


2009, Jakarta.

Price, Sylvia. A, Et All ; Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit, Edisi


6 , 2006.

Robbins, L. Stanley, Et All ; Buku Ajar Patologi, Edisi VII, EGC, 2007, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai