TUGAS MAKALAH
OLEH:
STAMBUK : 15020150073
KELAS : C2
FAKULTAS FARMASI
MAKASSAR
2018
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada tuhan yang maha esa, karena
atas berkat dan limpahan rahmat-Nyalah maka saya dapat menyelesaikan sebuah
makalah dengan tepat waktu.
Berikut ini penulis mempersembahkan sebuah makalah FARMAKOLOGI
TOKSIKOLOGI 1 SISTEM IMUN (HIPERSENSITIVITAS TIPE LAMBAT)
yang menurut saya dapat memberikan manfaat yang besar bagi kita untuk
mengetahui lebih mendalam mengenai materi tersebut.
Melalui kata pengantar ini penulis lebih dahulu meminta maaf bila mana isi
makalah ini ada kekurangan dan ada tulisan yang saya buat kurang tepat atau
menyinggung perasaan pembaca.
Dengan ini saya membuat makalah ini dengan penuh rasa terima kasih dan semoga
Allah SWT memberkahi makalah ini sehingga dapat bermanfaat.
PEMBAHASAN
Pada reaksi hipersensitivitas tipe I, II dan III yang berperan adalah antibodi
(imunitas humoral), sedangkan pada tipe IV yang berperan adalah limfosit T atau
dikenal sebagai imunitas seluler. Imunitas selular merupakan mekanisme utama
respons terhadap berbagai macam mikroba, termasuk patogen intrasel seperti
Mycobacterium tuberculosis dan virus, serta agen ekstrasel seperti protozoa, fungi,
dan parasit. Namun, proses ini juga dapat mengakibatkan kematian sel dan jejas
jaringan, baik akibat pembersihan infeksi yang normal ataupun sebagai respons
terhadap antigen sendiri (pada penyakit autoimun).
Pada hipersensitivitas tipe lambat, sel T CD4+ tipe TH1 menyekresi sitokin
sehingga menyebabkan adanya perekrutan sel lain, terutama makrofag, yang
merupakan sel efektor utama. Pada sitotoksisitas seluler, sel T CD8+ sitoksik
menjalankan fungsi efektor.
Sekresi lokal sitokin oleh sel radang mononuklear ini disertai dengan
peningkatan permeabilitas mikrovaskular, sehingga menimbulkan edema dermis
dan pengendapan fibrin; penyebab utama indurasi jaringan dalam respons ini
adalah deposisi fibrin. Respons tuberkulin digunakan untuk menyaring individu
dalam populasi yang pernah terpejan tuberkulosis sehingga mempunyai sel T
memori dalam sirkulasi. Lebih khusus lagi, imunosupresi atau menghilangnya sel
T CD4+ (misalnya, akibat HIV) dapat menimbulkan respons tuberkulin yang
negatif, bahkan bila terdapat suatu infeksi yang berat.
2.3. Patofisiologi
Limfosit CD4+ mengenali antigen peptida dari basil tuberkel dan juga
antigen kelas II pada permukaan monosit atau sel dendrit yang telah memproses
antigen mikobakterium tersebut. Proses ini membentuk sel CD4+ tipe TH1
tersensitisasi yang tetap berada di dalam sirkulasi selama bertahun-tahun. Masih
belum jelas mengapa antigen tersebut mempunyai kecendurungan untuk
menginduksi respons TH1, meskipun lingkungan sitokin yang mengaktivasi sel T
naïf tersebut tampaknya sesuai. Saat dilakukan injeksi kutan tuberkulin berikutnya
pada orang tersebut, sel memori memberikan respons kepada antigen yang telah
diproses pada APC dan akan diaktivasi (mengalami transformasi dan proliferasi
yang luar biasa), disertai dengan sekresi sitokin TH1. Sitokin TH1 inilah yang
akhirnya bertanggungjawab untuk mengendalikan perkembangan respons DHT.
Secara keseluruhan, sitokin yang paling bersesuaian dalam proses tersebut adalah
sebagai berikut:
Granulomatosa adalah bentuk khusus DHT yang terjadi pada saat antigen
bersifat persisten dan/ atau tidak dapat didegradasi. Infiltrate awal sel T CD4+
perivaskular secara progresif digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 hingga 3
minggu; makrofag yang terakumulasi ini secara khusus menunjukkan bukti
morfologis adanya aktivitas, yaitu semakin membesar , memipih, dan eosinofilik
(disebut sebagai sel epiteloid). Sel epiteloid kadang-kadang bergabung di bawah
pengaruh sitokin tertentu (misalnya, IFN-γ) untuk membentuk suatusel
raksasa(giant cells) berinti banyak. Suatu agregat mikroskopis sel epiteloid secara
khusus dikelilingi oleh lingkaran limfosit, yang disebutgranuloma, dan polanya
disebut sebagai inflamasi granulomatosa. Pada dasarnya, proses tersebur sama
dengan proses yang digambarkan untuk respons DHT lainnya. Granuloma yang
lebih dahulu terbentuk membentuk suatu sabuk rapat fibroblast dan jaringan ikat.
Pengenalan terhadap suatu granuloma mempunyai kepentingan diagnostik karena
hanya ada sejumlah kecil kondisi yang dapat menyebabkannya.
Pajanan ulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ TH1 tersensitisasi akan
berakumulasi dalam dermis dan bermigrasi menuju antigen yag berada di dalam
epidermis. Di tempat ini sel tersebut melepaskan sitokin yang merusak keratinosit,
menyebabkan terpisahnya sel ini dan terjadi pembentukan suatu vesikel
intradermal.
Telah terlihat adanya dua mekanisme pokok pembunuhan oleh sel CTL: (1)
pembunuhan yang bergantung pada perforin-granzim dan (2) pembunuhan yang
bergantung pada ligan Fas- Fas. Perforin dan granzim adalah mediator terlarut yang
terkandung dalam granula CTL, yang menyerupai lisosom. Sesuai dengan
namanya, perforin melubangi membran plasma pada sel target; hal tersebut
dilakukan dengan insersi dan polimerisasi molekul perforin untuk membentuk
suatu pori. Pori-pori ini memungkinkan air memasuki sel dan akhirnya
menyebabkan lisi osmotik.
Granula limfosit juga mengandung berbagai protease yang disebut
dengangranzim, yang dikirimkan ke dalam sel target melalui pori-pori perforin.
Begitu sampai ke dalam sel, granzim mengaktifkan apoptosis sel target. CTL
teraktivasi juga mengeluarkan ligan Fas (suatu molekul yang homolog dengan
TNF), yang berikatan dengan Fas pada sel target. Interaksi ini menyebabkan
apoptosis. Selain imunitasvirus dan tumor, CTL yang diarahkann untuk melawan
antigen histokompatibilitas permukaan sel juga berperan penting dalam
penolakangr aft.
Manifestasi klinis hipersensitivitas tipe IV, dapat berupa reaksi paru akut
seperti demam, sesak, batuk dan efusi pleura. Obat yang tersering menyebabkan
reaksi ini yaitu nitrofuratonin, nefritis intestisial, ensafalomielitis. hepatitis juga
dapat merupakan manifestasi reaksi obat.
2.7. Klasifikasi
Dermatitis kontak dikenal dalam klinik sebagai dermatitis yang timbul pada
titik tempat kontak dengan alergen. Reaksi maksimal terjadi setelah 48 jam dan
merupakan reaksi epidermal. Sel Langerhans sebagai Antigen Presenting Cell
(APC) memegang peranan pada reaksi ini. Innokulasi (penyuntikkan) melalui kulit,
cenderung untuk merangsang perkembangan reaksi sel-T dan reaksi-reaksi tipe
lambat yang sering kali disebabkan oleh benda-benda asing yang dapat
mengadakan ikatan dengan unsur-unsur tubuh untuk membentuk antigen-antigen
baru. Oleh karena itu, hipersensitivitas kontak dapat terjadi pada orang-orang yang
menjadi peka karena pekerjaan yang berhubungan dengan bahan-bahan kimia
seperti prikil klorida dan kromat. Kontak dengan antigen mengakibatkan ekspansi
klon sel-T yang mampu mengenal antigen tersebut dan kontak ulang menimbulkan
respon seperti yang terjadi pada CMI. Kelainan lain yang terjadi ialah pelepasan sel
epitel (spongiosis) menimbulkan infiltrasi sel efektor. Hal ini menimbulkan
dikeluarkannya cairan dan terbentuknya gelembung
3. Reaksi Tuberkulin
4. Reaksi Granuloma
Dalam inflamasi kronik ini, monosit dan makrofak mempunyai 3 peranan penting
sebagai berikut:
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
3.2. Saran
Robbins, L. Stanley, Et All ; Buku Ajar Patologi, Edisi VII, EGC, 2007, Jakarta.