Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Saluran pencernaan adalah sekumpulan alat-alat tubuh yang befungsi menerima
makanan dan minuman, mencernanya menjadi nutrient, menyerap serta mengeluarkan
sisa-sisa proses tersebut. Saluran pencernaan dimulai dari mulut, gigi, lidah, lambung,
usus, sampai ke anus yang panjangnya mencapai kurang lebih 10 meter. Sistem
pencernaan adalah organ yang seringkali mudah terkena gangguan sehingga timbul
berbagai masalah penyakit pencernaan.

Penyakit hisprung merupakan suatu kelainan bawaan yang menyebabkan gangguan


pergerakan usus yang dimulai dari spingter ani internal ke arah proksimal dengan
panjang yang bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit hisprung adalah
penyebab obstruksi usus bagian bawah yang dapat muncul pada semua usia akan
tetapi yang paling sering pada neonatus. Penyakit hisprung juga dikatakan sebagai
suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis dari
fleksus auerbach di kolon, keadaan abnormal tersebutlah yang dapat menimbulkan
tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, spingter rektum tidak dapat
berelaksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat
menyebabkan isi usus terdorong ke bagian segmen yang tidak ada ganglion dan
akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan
dilatasi usus proksimal. (A. Azis, 2006).

Pasien dengan penyakit hisprung pertama kali dilaporkan oleh Frederick Ruysch pada
tahun 1691, tetapi yang baru mempublikasikan adalah Harald Hirschsprung yang
mendeskripsikan megakolon kongenital pada tahun 1863. Namun patofisiologi
terjadinya penyakit ini tidak diketahui secara jelas. Hingga tahun 1938, dimana
Robertson dan Kernohan menyatakan bahwa megakolon yang dijumpai pada kelainan
ini disebabkan oleh gangguan peristaltik dibagian distal usus defisiensi ganglion.
(Kartono, 1993)

Penyakit hisprung terjadi pada 1/5000 kelahiran hidup. Insidensi hisprung di


Indonesia tidak diketahui secara pasti, tetapi berkisar 1 diantara 5000 kelahiran hidup.
Dengan jumlah penduduk Indonesia 200 juta dan tingkat kelahiran 35 permil, maka di
prediksi setiap tahun akan lahir 1400 bayi dengan penyakit hisprung. Insiden dari
keseluruhan penyakit hisprung 1:5000 kelahiran hidup, laki-laki lebih banyak
diserang dibandingkan perempuan (4:1). Biasanya penyakit hisprung terjadi pada bayi
aterm dan jarang terjadi pada bayi premature. Penyakit ini mungkin disertai dengan
cacat bawaan dan termasuk sindrom down, sindrom waardenburg, serta kelainan
kardiovaskuler. (Munahasrini, 2012).

1
Angka kematian untuk penyakit hisprung berkisar antara 1 – 10%. Berdasarkan hasil
penelitian Pini dkk (1993 – 2010) diGenoa, Italia mencatat ada 8 orang dari 313
penderita penyakit hisprung yang meninggal. Hasil penelitian Sarioqlu dkk (2008 –
2013) di Ankara, Turki menunjukkan ada sebanyak 302 penderita penyakit hisprung.
Kartono mencatat ada sekitar 40 – 60 pasien penderita penyakit hisprung yang dirawat
di RSCM Jakarta setiap tahunnya. (Verawati, 2012).

Selain terjadi pada anak, penyakit ini ditemukan tanda dan gejala yaitu adanya
kegagalan mengeluarkan meconium dalam waktu 24 – 48 jam setelah lahir, muntah
berwarna hijau dan konstipasi. Faktor penyebab penyakit hisprung diduga dapat
terjadi karena faktor genetic dan lingkungan. Oleh karena itu, penyakit hisprung
sudah dapat di deteksi melalui pemeriksaan radiologi, barium, enema, rectal biopsy,
rectum, manometri anorektal dan melalui penatalaksanaan dan terapeutik yaitu
dengan pembedahan dan colostomy.

B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana anatomi dan fisiologi dari usus besar?
2) Apa definisi dari hisprung?
3) Apa etiologi dari hisprung?
4) Apa saja klasifikasi hisprung?
5) Apa saja tanda dan gejala hisprung?
6) Bagaimana patofisiologi hisprung?
7) Apa saja pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk hisprung?
8) Apa saja penatalaksanaan yang dapat diberikan untuk klien dengan hisprung?
9) Apa komplikasi dari penyakit hisprung?
10) Bagaimana asuhan keperawatan pada klien dengan hisprung?

C. Tujuan Penulisan
1) Tujuan Umum
Memberikan informasi dan menambah pengetahuan kepada pembaca khususnya
kepada mahasiswa ilmu keperawatan mengenai penyakit hisprung.
2) Tujuan Khusus
a. Mengetahui konsep tentang penyakit hisprung
b. Mengetahui konsep asuhan keperawatan tentang penyakit hisprung
c. Mengetahui penatalaksanaan yang tepat untuk mengatasi penyakit hisprung

D. Manfaat Penulisan
1) Bagi Mahasiswa
Dapat mengetahui dan mengenal konsep dasar serta asuhan keperawatan pada
klien dengan penyakit hisprung atau mega colon kongenital.
2) Bagi Masyarakat
Dapat mengetahui tentang gangguan pada sistem pencernaan khususnya tentang
penyakit hisprung atau mega colon kongenital secara lengkap.

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. Anatomi Fisiologi
Anatomi Usus besar
Usus besar (intestinum mayor) merupakan saluran pencernaan berupa usus
berpenampang luas atau berdiameter besar dengan panjang kira kira 1,5 – 1,7
m dan penampang 5 – 6 cm. Usus besar merupakan lanjutan dari usus halus yang
tersusun seperti huruf “u” terbalik mengelilingi usus halus dari valvula ileosekalis
sampai anus. (Syaifuddin, 2011).
1) Lapisan Usus Besar
a. Lapisan selaput lendir (Mukosa)
Lapisan ini tidak memiliki vili, kripta kripta yang terdapat di dalam ±0,5 mm
terletak berdekatan satu sama lain. Hampir seluruh permukaan epitel
kripta menghasilkan mukus pelumas. Epitel yang tinggal lainnya mempunyai
tepi bersilia dari mikrovilli yang mengabsorbsi air.
b. Lapisan otot melingkar (Muskulus Sirkuler)
Lapisan ini berada di sebelah dalam dan berbentuk lingkaran
c. Lapisan otot memanjang (Muskulus Longitudinal)
Lapisan otot ini berkumpul menjadi tiga pita panjang dengan lebar 1
cm yang disebut sebagai teniacoli. Lapisan ini terdiri dari tenia libra
(di anterior), tenia omentalis (diposterior dan lateral) dan tenia mesacolia
(di posterior dan medial).
d. Lapisan jaringan ikat (Serosa)
Lapisan ini merupakan jaringan ikat kuat yang berada di sebelah luar.
2) Bagian Usus Besar
a. Sekum
Kantong lebar yang terletak pada fossa iliaka dekstra. Ilimum memasuki fossa
iliaka kiri ostium iliosekalis. Pada bagian bawah sekum terdapat apendiks
vermiformis. Bentuknya seperti cacing yang disebut umbai cacing yang
panjangnya ± 6cm. Muara apendiks pada sekum ditentukan oleh titik Mc
Burney yaitu daerah antara 1/3 bagian kanan dan 1/3 bagian tengah garis yang
menghubungkan kedua spina iliaka anterior superior (SIAS). Sekum
seluruhnya ditutupi oleh peritoneum agar mudah bergerak walaupun tidak
mempunyai mesenterium dan dapat diraba melalui dinding abdomen
membentuk sebuah katup dinamakan valvula koli (valvula bauchini). Titik Mc
Burney merupakan tempat proyeksi muara ileum kedalam sekum. Titik potong
tepi lateral dengan garis penghubung (SIAS) kanan dengan pusat kira kira
sama 1/3 lateral garis monro (garis menghubungkan SIAS dengan pusat).

3
b. Kolon Assendens
Bagian yang memanjang dari sekum ke fossa iliaka kanan sampai ke sebelah
kanan abdomen, panjangnya sekitar 13 m terletak dibawah abdomen sebelah
kanan dibawah hati ke sebelah kiri. Lengkungan ini disebut fleksura hepatica
(flexura koli dekstra) dan dilanjutkan dengan kolon transversum.
c. Kolon Transversum
Panjangnya ± 38 cm, membujur dari kolon assendens sampai ke kolon
desendens. Berada di bawah abdomen sebelah kanan tepat pada lekukan yang
disebut fleksura lienalis (fleksura koli sinstra), mempunyai mesenterium
melekat pada permukaan posterior, terdapat tirai disebut omentum mayus.
d. Kolon Desendes
Panjangnya ± 25 m, terletak di bawah abdomen bagian kiri dari atas kebawah.
Dari depan fleksura lienalis sampai di depan ileum kiri, bersambung dengan
sigmoid dan dinding belakang peritoneum (retroperitoneal).
e. Kolon Sigmoid
Bagian ini merupakan lanjutan dari kolon desendens, terletak miring dalam
rongga pelvis. Bagian ini panjangnya 40 cm dalam rongga pelvis sebelah kiri,
berbentuk huruf “S”, ujung bawahnya berhubungan dengan rectum, berakhir
setinggi vertebrae sekralis 3 – 4. Kolon sigmoid ini di tunjang oleh
mesenterium yang disebut mesokolon sigmoideum.
f. Rektum
Merupakan lanjutan dari kolon sigmoid yang menghubungkan intestinum
mayor dengan anus, panjangnya 12 cm, dimuali dari pertengahan sakrum
sampai kanalis anus. Rektum terletak dalam rongga pelvis di depan os sakrum
dan os koksigis. Rektum terdiri atas dua bagian yaitu ;
 Rektum Propia
Bagian yang melebar disebut ampula rekt, jika terisi sisa makanan akan
timbul hasrat defekasi.
 Rektum Analis Rekti
Terletak di sebelah bawah dan ditutupi oleh serat-serat otot polos (muskulus
sfingter ani internus dan muskulus sfingter ani eksternus). Kedua otot ini
berfungsi pada waktu defekasi. Tunika mukosa rektum banyak mengandung
pembuluh darah, jaringan mukosa, dan jaringan otot yang membentuk
lipatan disebut kolumna rektalis. Bagian bawah terdapat vena rektalis
(hemoroidalis superior dan inferior) yang sering mengalami pelebaran
atau varises yang disebut wasir (ambeyen).
g. Anus
Merupakan saluran pendek yang panjangnya sekitar 3,8 cm yang merupakan
bagian dari saluran pencernaan yang berhubungan dengan dunia luar terletak
di dasar pelvis, dindingnya diperkuat oleh sfingter ani yang terdiri atas ;
 Sfingter Ani Internus
Terdiri atas otot polos yang bekerja dibawah sistem saraf otonom (tidak
menurut kehendak).

4
 Sfingter Levator Ani
Merupakan bagian tengah yang bekerja tidak menurut kehendak.
 Sfingter Ani Eksternus
Dibentuk oleh otot rangka dan bekerja dibawah kendali volunter (bekerja
menurut kehendak).

Fisiologi Usus Besar


1) Menyerap air dan elektrolit, untuk kemudian sisa massa membentuk massa
lembek yang disebut feses
2) Menyimpan bahan feses sampai saat defekasi, feses ini terdiri dari sisa makanan,
serat serat selulosa, sel sel epitel bakteri, bahan sisa sekresi (lambung, kelenjar
intestine, hati, pancreas) magnesium fosfat dan Fe.
3) Tempat tinggal bakteri koli: Sebagian dari kolon berhubungan dengan fungsi
penernaan dan sebagaian lagi berhubungan dengan penyimpanan. Untuk kedua
fungsi ini tidak diperlukan gerakan yang kuat dengan pergerakan yang lemah.

B. Definisi
Penyakit Hirsprung merupakan suatu kelainan bawaan berupa aganglionosis usus
yang dimulai dari sfingter ani internal kearah proksimal dengan panjang yang
bervariasi dan termasuk anus sampai rektum. Penyakit Hirsprung juga dikatakan
sebagai suatu kelainan kongenital dimana tidak terdapatnya sel ganglion parasimpatis
dari pleksus auerbach di kolon. Keadaan abnormal tersebut yang dapat menimbulkan
tidak adanya peristaltik dan evakuasi usus secara spontan, sfingter rektum tidak dapat
berileksasi, tidak mampu mencegah keluarnya feses secara spontan, kemudian dapat
menyebabkan isi usus terdorong kebagian sekmen yang tidak ada ganglion dan
akhirnya feses dapat terkumpul pada bagian tersebut sehingga dapat menyebabkan
dilatasi usus proksimal (A. Aziz Alimul Hidayat, 2006).

Hisprung atau mega kolon adalah penyakit yang tidak adanya sel-sel ganglion dalam
rektum atau bagian rektosigmoid kolon. Ketiadaan ini menimbulkan keabnormalan
atau tidak adanya peristaltik serta tidak adanya evakuasi usus spontan. Penyakit
hisprung atau mega kolon adalah kelainan bawaan penyebab gangguan pasase usus
tersering pada neonatus dan kebanyakan terjadi pada bayi aterm dengan berat lahir ±
3kg, lebih banyak laki-laki dari pada perempuan. (Cecily Lynn Betz, 2009).

Hisprung (megakolon atau aganglionik kongenital) adalah anomali kongenital yang


mengakibatkan obstruksi mekanik karena ketidakadekuatan motilitas sebagian usus.
Penyakit Hisprung merupakan ketiadaan (atau, jika ada, kecil) saraf ganglion
parasimpatik pada pleksus meinterikus kolon distal. Daerah yang terkena dikenal
sebagai segmen aganglionik (Sodikin, 2011).

5
C. Etiologi
Penyebab hirsprung atau mega colon itu sendiri belum diketahui tetapi diduga terjadi
karena:
1) Faktor genetic dan lingkungan, sering terjadi pada anak dengan Down Syndrom
2) Kegagalan sel neural pada masa embrio dalam dinding usus, gagal eksistensi,
kranio kaudal pada myentrik dan sub mukosa dinding plexus
3) Aganglionis parasimpatis yang disebabkan oleh lesi primer, sehingga terjadi
ketidakseimbangan autonomic

D. Klasifikasi
Menurut Sodikin (2011) hirsprung dibedakan berdasarkan panjang segmen yang
terkena, hirsprung dibedakan menjadi dua tipe berikut:
1) Segmen pendek
Segmen pendek aganglionosis mulai dari anus sampai sigmoid, merupakan 70%
kasus penyakit hisprung dan lebih sering ditemukan pada anak laki-laki dibanding
anak perempuan. Pada tipe segmen pendek yang umum, insidenya 5 kali lebih
besar pada laki-laki dibanding wanita dan kesempatan bagi saudara laki-laki dari
penderita anak untuk mengalami penyakit ini adalah 1 dalam 20.
2) Segmen panjang
Daerah aganglionosis dapat melebihi sigmoid, bahkan kadang dapat menyerang
seluruh kolon atau sampai usus halus. Anak laki-laki dan perempuan memiliki
peluang yang sama, terjadi pada 1 dari 10 kasus tanpa membedakan jenis kelamin.

E. Patofisiologi
Istilah kongenital aganglion megakolon menggambarkan adanya kerusakan primer
dengan tidak adanya sel ganglion pada dinding submukosa colon distal. Segmen
aganglionik hampir selalu ada dalam rektum dan bagian proksimal pada usus besar.
Ketidakadaan ini menimbulkan ke abnormalan atau tidak adanya gerakan tenaga
pendorong (peristaltik) dan tidak adanya evakuasi usus konstan serta spinkter rektum
tidak dapat berelaksasi sehingga mencegah keluarnya feses secara normal yang
menyebabkan adanya akumulasi pada usus dan distensi pada saluran cerna. Bagian
proksimal sampai pada bagian yang rusak pada megakolon. (Cecily Lynn Betz, 2009).

Semua ganglion pada intramural pleksus dalam usus berguna untuk kontrol kontraksi
dan relaksasi peristaltik secara normal. Isi usus mendorong ke segmen aganglionik
dan feses terkumpul didaerah tersebut menyebabkan terdilatasinya bagian usus yang
proksimal terhadap daerah itu karena terjadi obstruksi dan menyebabkan dibagian
kolon tersebut melebar.

6
F. Manifestasi Klinis
Bayi baru lahit tidak bisa mengeluarkan Meconium dalam 24 – 28 jam pertama
setelah lahir. Tampak malas mengkonsumsi cairan, muntah bercampur dengan cairan
empedu, dan distensi abdomen. Menurut Cecily Lynn Betz (2009) gejala penyakit
hirsprung antara lain:
1) Masa Neonatal (Baru lahir – 11 Bulan)
a. Gagal mengeluarkan meconium dalam 24 – 48 jam setelah lahir
b. Muntah berisi empedu
c. Tidak mau minum (Menyusu)
d. Distensi abdomen
2) Masa Bayi dan Anak-anak (1 – 3 tahun)
a. Konstipasi
b. Diare berulang
c. Tinja seperti pita dan berbau busuk
d. Distensi abdomen
e. Adanya masa difecal dapat dipalpasi
f. Gagal tumbuh
g. Biasanya tampak kurang nutrisi dan anemia

G. Pemeriksaan
1) Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik pada masa neonatus biasanya tidak dapat menegakkan
diagnosis, hanya memperlihatkan adanya distensi abdomen atau spasme anus.
Pada anak yang lebih besar, distensi abdomen yang disebabkan adanya
ketidakmampuan melepaskan flatus jarang ditemukan differensial.
2) Pemeriksaan Colok Dubur
Pada penderita hirschsprung, pemeriksaan colok anus sangat penting untuk
dilakukan. Saat pemeriksaan ini, jari akan merasakan jepitan karena lumen
rektum yang sempit, pada saat ditarik akan diikuti dengan keluarnya udara dan
mekonium (feses) yang menyemprot
3) Pemeriksaan Laboratorium
a. Kimia Darah
Pada kebanyakan pasien temuan elektrolit dan panel renal biasanya dalam
batas normal. Anak dengan diare memiliki hasil yang sesuai dengan dehidrasi.
Pemeriksaan ini dapat membantu mengarahkan pada penatalaksanaan cairan
dan elektrolit.
b. Darah Rutin
Pemeriksaan ini dilakukan untuk mengetahui hematokrit dan platelet
preoperatif.
c. Profil Koagulasi
Pemeriksaan ini dilakukan untuk memastikan tidak ada gangguan pembekuan
darah yang perlu dikoreksi sebelum operasi dilakukan.
4) Pemeriksaan Radiologi

7
a. Foto polos abdomen tegak akan memperlihatkan usus-usus melebar atau
terdapat gambaran obstruksi usus rendah.
b. Dengan pemeriksaan Barium Enema akan ditemukan:
 Terdapat daerah transisi
 Gambaran kontraksi usus yang tidak teratur di bagian usus yang menyempit
 Enterokolitis pada segmen yang melebar
 Adanya penyumbatan pada kolon
 Terdapat retensi barium setelah 24 – 48 jam
5) Pemeriksaan Lain-lain
a. Biopsi Rektal
Dilakukan dengan anestesi umum, hal ini melibatkan diperolehnya sampel
lapisan otot rektum untuk pemeriksaan adanya sel ganglion dari pleksus
Aurbach (Biopsi) yang lebih superfisial untuk memperoleh mukosa dan
submukosa bagi pemeriksaan pleksus meissner.
b. Biopsi Otot Rektum
Pengambilan otot rektum, dilakukan bersifat traumatik, menunjukan
aganglionosis otot rektum. Caranya adalah dengan mengambil lapisan otot
rektum, yang dilakukan di bawah narkose.
c. Biopsi Isap
Dilakukan dengan mengambil mukosa dan submukosa dengan alat pengisap
dan mencari sel ganglion pada daerah submukosa.
d. Manometri Anorektal
Merupakan uji dengan suatu balon yang ditempatkan dalam rektum dan
dikembangkan. Secara normal, dikembangkannya balon akan menghambat
sfingter ani interna. Efek inhibisi pada penyakit hirsprung tidak ada dan jika
balon berada di dalam usus aganglionik, dapat diidentifikasi gelombang rektal
yang abnormal. Uji ini efektif dilakukan pada masa neonatus karena dapat
diperoleh hasil baik positif palsu ataupun negatif palsu.
e. Pemeriksaan aktivitas enzim Asetilkolin esterase dari hasil biopsi isap. bila
ditemukan peningkatan aktivitas enzim asetilkolin enterase, maka berarti khas
penyakit hirsprung.
f. Pemeriksaan aktivitas norepinefrin dari jaringan biopsi usus.

H. Penatalaksanaan
1) Penatalaksanaan Medis
a. Ostomi / Kolostomi Sementara
Temporary ostomi dibuat dekat dengan segmen aganglionik yang bertujuan
untuk melepaskan obstruksi dan secara normal melemah dan usus besar
dilatasi untuk mengembalikan ke ukuran normal.
b. Pembedahan Koreksi atau Perbaikan
Biasanya dilakukan pada waktu berat bayi atau anak telah mencapai 9 kg atau
sekitar 3 bulan setelah operasi pertama. Ada beberapa prosedur pembedahan,
antara lain:

8
 Prosedur Duhamel
Yaitu penarikan kolon normal ke arah abwah dan menganastomosiskannya
di belakang usus aganglionik
 Prosedur Swenson
Dilakukan anastomosis end to end pada kolon berganglion dengan saluran
anal yang dibatasi
 Prosedur Soave
Dinding otot dari segmen rectum dibiarkan tetap utuh. Kolon yang bersaraf
normal ditarik sampai ke anus
2) Penatalaksanaan Keperawatan
a. Membantu orang tua untuk mengetahui adanya kelainan kongenital pada anak
secara dini
b. Membantu perkembangan ikatan antara orang tua dan anak
c. Mempersiapkan orang tua akan adanya intervensi medis (pembedahan)
d. Mengajarkan orang tua cara perawatan colostomy yang benar

I. Komplikasi
1) Kegawatan pernafasan
2) Syok
3) Enterokolitis (akut)
4) Striktura Ani
5) Kebocoran Anastomose
6) Stenosis
7) Gangguan fungsi spingter

J. Pencegahan
1) Pencegahan Primer
a. Health promotion
Penyakit hisprung merupakan penyakit yang disebabkan oleh pengaruh
genetik tidak terlepas dari pola konsumsi serta asupan gizi dari ibu hamil
sehingga ibu hamil kandungan menginjak usia tiga bulan disarankan berhati-
hati terhadap obat-obatan, makanan yang diawetkan dan alkohol yang dapat
memberikan pengaruh terhadap kelainan tersebut. Pada tahap helth promotion
ini, sebagai pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah perlunya
perhatian terhadap pola konsumsi sejak dini terutama sejak masa awal
kehamilan. Meghindari konsumsi makanan yang bersifat karsinogenik,
mengikuti penyuluhan mengenai konsumsi gizi seimbang serta olah raga dan
istirahat yang cukup.
b. Spesific protection
Pada tahap ini pencegahan dilakukan walaupun belum dapat diketahui adanya
kelainan maupun tanda-tanda yang berhubungan dengan penyakit hisprung.
Pencegahan lebih mengarah pada perlindungan terhadap ancaman agent
penyakit misalnya melakukan akses pelayanan Antenatal Care (ANC)

9
terutama pada skrining ibu hamil berisiko tinggi, imunisasi ibu hamil,
pemberian tablet tambah darah dan pemeriksaan rutin sebagai upaya deteksi
dini obstetric dengan komplikasi.
2) Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder ditujukan guna mengetahui adanya penyakit hisprung dan
menegakkan diagnosa sedini mungkin. Keterlambatan diagnosa dapat
menyebabkan berbagai komplikasi yang merupakan penyebab kematian seperti
enterokolitis, perforasi usus, dan sepsis. Pencegahan sekunder dapat dilakukan
dengan melakukan anamnesis yang cermat, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
radiografik, serta pemeriksaan patologi anatomi biopsi isap rektum, dan
pemeriksaan colok dubur.
3) Pencegahan tersier
Pencegahan tersier lebih mengarah kepada perawatan pada pasien hisprung untuk
penatalaksanaan perawatan yang dilakukan oleh tenaga medis yang professional
agar tidak terjadi komplikasi lanjut. Persiapan prabedah rutin antara lain lavase
kolon, antibiotik, infus intravena, dan pemasangan tuba nasogastrik, sedangkan
penatalaksanaan perawatan pascabedah terdiri atas perawatan luka, perawatan
kolostomi, observasi terhadap distensi abdomen, fungsi kolostomi, peritonitis,
ileus paralitik, dan peningkatan suhu. Selain melakukan persiapan serta
penatalaksanaan pascabedah, perawat juga perlu memberikan dukungan pada
orang tua, karena orang tua harus belajar bagaimana merawat anak dengan
kolostomi, dan bagaimana menggunakan kantung kolostomi.

10
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1) Identitas Klien
2) Keluhan Utama
Obstipasi merupakan tanda utama dan pada bayi baru lahir. Trias yang sering
ditemukan adalah mekonium yang lambat keluar (lebih dari 24 jam setelah lahir),
perut kembung dan muntah berwarna hijau. Gejala lain adalah muntah dan diare.
3) Riwayat Penyakit Sekarang
Merupakan kelainan bawaan yaitu obstruksi usus fungsional. Obstruksi total saat
lahir dengan muntah, distensi abdomen dan ketiadaan evakuasi mekonium. Bayi
sering mengalami konstipasi, muntah dan dehidrasi. Gejala ringan berupa
konstipasi selama beberapa minggu atau bulan yang diikuti dengan obstruksi usus
akut. Namun ada juga yang konstipasi ringan, enterokolitis dengan diare, distensi
abdomen, dan demam. Diare berbau busuk dapat terjadi.
4) Riwayat Penyakit Masalalu
Apakah sebelumnya klien pernah melakukan operasi, bagaimana riwayat
kehamilan, persalinan dan kelahiran ibu, riwayat alergi, dan imunisasi.
5) Riwayat Kesehatan Keluarga
Apakah ada anggota lain yang menderita hisprung.
6) Pemeriksaan Fisik
a. Sistem Respirasi
Kaji apakah ada kesulitan bernafas, frekuensi pernafasan
b. Sistem Kardiovaskuler
Kaji adanya kelainan bunyi jantung (mur-mur, gallop), irama dan denyut nadi
c. Sistem Indera
Kaji adanya konjungtivitis, rhinitis pada mata
d. Sistem Integumen
Kaji kebersihan kulit mulai dari kepala maupun tubuh, pada palpasi dapat
dilihat capillary refill, warna kulit, dan edema
e. Sistem Muskuloskeletal
Gangguan rasa nyaman, kelemahan, kekuatan otot menurun
f. Sistem Gastrointestinal
Kaji adanya distensi abdomen, palpasi apakah ada nyeri tekan, auskultasi
bising usus, pada saat perkusi ditemukan bunyi tympani akibat abdominal
mengalami kembung

B. Diagnose Keperawatan
1) Pre Operasi
a. Konstipasi b/d ketidakmampuan kolon mengevakuasi feses
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b/d intake yang tidak
adekuat
c. Gangguan rasa nyaman b/d distensi abdomen
11
2) Post Operasi
a. Nyeri b/d insisi pembedahan
b. Gangguan integritas kulit b/d kolostomi dan perbaikan pembedahan
c. Kurang pengetahuan b/d perawatan kolostomi

C. Intervensi
1) Pre Operasi
No Dx Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Konstipasi b/d Setelah dilakukan 1. Observasi Mengetahui
ketidakmampuan tindakan TTV keadaan umum
kolon mengevakuasi keperawatan klien
feses selama 2x24 jam 2. Auskultasi Adanya bunyi
diharapkan bising usus abnormal
konstipasi dapat menunjukkan
diatasi dengan terjadinya
kriteria hasil: komplikasi
 Pola eliminasi 3. Kaji adanya Berhubungan
dalam batas nyeri pada dengan terjadinya
normal abdomen komplikasi
 Warna feses 4. Ukur lingkar Mendeteksi adanya
dalam batas abdomen klien distensi pada
normal sesuai abdomen
 Bau feses tidak program
menyengat dengan
 Tidak terjadi menggunakan
konstipasi titik referensi
 Ada dan pita ukur
peningkatan yang sama
pola eliminasi 5. Lakukan Merangsang
yang lebih baik enema atau peristaltic usus agar
irigasi rectum dapat defekasi
sesuai
program
6. Monitor efek Untuk memastikan
samping dari tidak adanya
tindakan komplikasi lanjutan
pengobatan
7. Observasi Memastikan tidak
pengeluaran adanya
feses per komplikasidan
rektal (bentuk, untuk menetapkan
konsistensi, intervensi lanjutan
dan jumlah)
8. Kolaborasi Mengembalikan
rencana fungsi usus
pembedahan

12
2 Ketidakseimbangan Setelah dilakukan 1. Observasi BB Memantau
nutrisi kurang dari tindakan klien secara kenaikan BB klien
kebutuhan tubuh b/d keperawatan berkala
intake yang tidak selama 2x24 jam
adekuat diharapkan 2. Anjurkan ibu Mempertahankan
kebutuhan nutrisi untuk tetap masukan nutrisi
terpenuhi dengan memberikan pada klien
kriteria hasil: ASI secara
 BB klien sesuai rutin
dengan usianya 3. Berikan nutrisi Memenuhi
 Kekuatan parenteral kebutuhan nutrisi
menggenggam sesuai dan cairan
baik kebutuhan
 Pertumbuhan 4. Monitor turgor Mengkaji intake
dan kulit nutrisi adekuat
perkembangan
dalam batas 5. Monitor mual Mengkaji adanya
normal dan muntah output berlebih
6. Monitor Observasi adanya
pertumbuhan penurunan
dan perkembangan
perkembangan anak karena intake
anak nutrisi tidak
adekuat
3 Gangguan rasa yaman Setelah dilakukan 1. Observasi Mengetahui
b/d distensi abdomen tindakan TTV keadaan umum
keperawatan klien
selama 2x24 jam
diharapkan 2. Lakukan Mengobservasi
kebutuhan rasa pengkajian untuk membantu
nyaman terpenuhi nyeri secara menemukan
dengan kriteria komprehensif intervensi lanjutan
hasil: (lokasi, yang tepat
 Klien tampak karakteristik,
tenang durasi,
 Klien tidak frekuensi,
menangis kualitas, dan
 Klien tidak faktor
mengalami presipitasi)
gangguan pola 3. Observasi Memantau untuk
tidur reaksi non untuk menemukan
verbal dari intervensi yang
ketidaknyama tepat
nan
4. Berikan Menurunkan
lingkungan rangsangan stress
yang nyaman pada rasa nyeri

13
5. Berikan Dapat mengurangi
tindakan rasa nyeri
kenyamanan
(menggendong
, suara halus,
ketenangan)
6. Berikan Mengurangi
informasi ansietas pada
kepada keluarga dan
keluarga membantu keluarga
tentang nyeri, mengerti tentang
(penyebab, keadaan klien
durasi) dan
antisipasi
ketidaknyama
nan dari
prosedur
tindakan

2) Post Operasi
No Dx Keperawatan Tujuan Intervensi Rasional
1 Nyeri b/d insisi Setelah dilakukan 1. Observasi Mengetahui
pembedahan tindakan TTV keadaan umum
keperawatan klien
selama 2x24 jam 2. Observasi dan Mengetahui tingkat
diharapkan nyeri monitor tanda nyeri dan
dapat teratasi skala nyeri menentukan
dengan kriteria intervensi
hasil: selanjutnya
 Klien tampak 3. Lakukan Mengurangi rasa
tenang teknik nyeri
 Klien tidak pengurangan
menangis nyeri (pijat
punggung dan
sentuhan)
4. Observasi Membantu
reaksi menemukan
nonverbal dari intervensi yang
ketidaknyama tepat
nan
5. Kolaborasi Mengurangi rasa
pemberian nyeri
analegtik

2 Gangguan integritas Setelah dilakukan 1. Kaji insisi Untuk perawatan


kulit b/d dengan tindakan pembedahan, lebih lanjut
kolostomi dan keperawatan bengkak, dan
perbaikan selama 2x24 jam drainase
pembedahan diharapkan tidak

14
terjadi gangguan 2. Berikan Mencegah infeksi
integritas kulit perawatan
dengan kriteria pada kulit
hasil: 3. Pantau Mengetahui
 Tidak ada keadaan kemungkinan
kemerahan kolostomi terjadinya infeksi
 Suhu tubuh 4. Lakukan Mencegah
dalam batas pembersihan terjadinya
normal (36,5 – daerah perkembangan
37,5°C) kolostomi bakteri
5. Oleskan krim Mempercepat
jika perlu proses
penyembuhan
6. Ganti kantong Mencegah
kolostomi terjadinya
secara berkala perkembangan
bakteri
3 Kurang pengetahuan Setelah dilakukan 1. Kaji tingkat Mengetahui sejauh
b/d perawatan tindakan pengetahuan mana pengetahuan
kolostomi keperawatan keluarga keluarga
selama 2x24 jam 2. Anjurkan Membantu
diharapkan keluarga untuk mengurangi rasa
keluarga mengerti mengekspresik cemas
tentang perawatan an perasaan
kolostomi dengan
3. Jelaskan Meningkatkan
kriteria hasil:
tentang pengetahuan
 Keluarga
perbaikan keluarga
mengatakan
pembedahan
tentang
dan proses
perawatan
penyembuhan
kolostomi
 Keluarga 4. Ajarkan Meningkatkan
mampu perawatan pengetahuan
melaksanakan ostomi segera keluarga
prosedur yang setelah
dijelaskan pembedahan
secara benar 5. Beri Mengetahui sejauh
 Keluarga kesempatan mana tingkat
mampu kepada pengetahuan
menjelaskan keluarga untuk keluarga
kembali apa menanyakan
yang dijelaskan hal-hal yang
oleh perawat ingin diketahui

15
BAB IV
LAPORAN KASUS ASUHAN KEPERAWATAN

I. Identitas Klien
Nama : By. M
No MR : 09969985
Umur : 1 bulan
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Islam
Status : Belum Menikah
BB/TB :
Alamat : Bojong Menteng
Tgl Pengkajian : 8 Maret 2018
Tgl Operasi : 8 Maret 2018
Diagnosa Medis : Hisprung
Alergi : Tidak ada riwayat alergi
Ruang Operasi : IBS (Ruang 07)

II. Tahap Pre Operatif


A. Keluhan Utama
Ibu klien mengatakan anaknya tidak bisa BAB
B. Riwayat Penyakit
C. Pengkajian Fisik dan Pengkajian Umum
a. Pernafasan
b. Kardiovaskuler
c. Gastrointestinal
Mukosa bibir kering,
d. Neurologi
e. Genitourinary
f. Endokrin
Tidak ada kelainan pada kelenjar endokrin
g. Musculoskeletal
h. Integument
Warna kulit kuning kecoklatan, tidak ada lesi, tidak ada kemerahan, akral
hangat,
i. Nutrisi
j. Cairan
k. Istirahat-tidur
Ibu klien mengatakan sebelum dibawa ke RS, By. M tidak dapat tidur dengan
nyenyak baik pagi, siang, maupun malam. Tidur hanya sebentar-sebentar
kemudian menangis
l. Psikososial
By. M menangis terus-terusan
16
m. Spiritual
Klien beragama islam. Ibu klien mengatakan selalu mendoakan yang terbaik
untuk anaknya dan ibu klien memiliki keyakinan bahwa anaknya dapat
disembuhkan
n. Hasil lab/diagnostik
D. Analisa Data
No Data Fokus Etiologi Problem
1 DS: - Pola nafas tidak
DO: efektif

2 DS: - Konstipasi
DO:
 Klien tampak lemah
 Klien tampak rewel
 Distensi abdomen (+)

3 DS:
 Ibu klien mengatakan
cemas akan kondisi
anaknya
DO:
 Ekspresi wajah tampak
cemas
 Ibu klien tampak gelisah
 Ibu klien selalu bertanya
tentang kondisi anaknya

E. Asuhan Keperawatan
Dx. Kep Tujuan Intervensi Implementasi Evaluasi
Pola nafas Setelah
tidak efektif dilakukan
b/d tindakan
penurunan keperawatan
ekspansi selama di
paru ruang Pre
Operasi
diharapkan
dengan
kriteria hasil:

Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama di
ruang Pre
Operasi
diharapkan
17
dengan
kriteria hasil:

Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama di
ruang Pre
Operasi
diharapkan
dengan
kriteria hasil:

III. Tahap Post Operatif


A. Analisa Data
No Data Fokus Etiologi Problem
1
2

B. Asuhan Keperawatan
Dx Kep Tujuan Intervensi Implementasi Evaluasi
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama di
ruang RR
diharapkan
dengan
kriteria hasil:
Setelah
dilakukan
tindakan
keperawatan
selama di
ruang RR
diharapkan
dengan
kriteria hasil:

18
BAB V
PEMBAHASAN

Saluran pencernaan dimulai dari mulut, gigi, lidah, lambung, usus (usus halus/intestinum
tenue dan usus besar/kolon) sampai ke dubur atau anus. Sistem pencernaan adalah organ
yang seringkali mudah terkena gangguan sehingga timbul berbagai masalah penyakit
pencernaan.

19
Usus besar atau kolon merupakan organ saluran pencernaan setelah usus halus. Fungsi
utama usus besar adalah penyerapan air dan elektrolit sekaligus tempat pembusukan
makanan yang dibantu oleh bakteri Escherichia coli yang nantinya menjadi feses. Serta
bertugas untuk mengatur kandungan air pada fese sehingga feses tidak cair dan tidak padat
dan mudah untuk diekresi. Feses yang tidak dikeluarkan atau yang tidak dapat
dikreluarkan akan mengakibatkan penimbunan di usus yang jika dibiarkan lama akan
mengakibatkan inflamasi usus atau infeksi usus. Karena bahan sisa yang sudah tidak
dibutuhkan tubuh seharusnya dikeluarkan, jika tidak dikeluarkan dapat mengakibatkan
pertumbuhan bakteri di usus yang nantinya timbul gangguan atau masalah kesehatan
sistem pencernaan.

Kelainan Hisprung terjadi karena adanya permasalahan pada persarafan usus besar paling
bawah, mulai anus hingga usus di atasnya. Syaraf yang berguna untuk membuat usus
bergerak melebar menyempit biasanya tidak ada sama sekali atau jikapun ada itu hanya
sedikit sekali. Namun yang jelas kelainan ini akan membuat BAB bayi tidak normal,
bahkan cenderung sembelit terus menerus. Hal ini dikarenakan tidak adanya syaraf yang
dapat mendorong kotoran keluar dari anus. Kotoran akan menumpuk di bagian bawah,
sehingga menyebabkan pembesaran pada usus dan juga kotoran menjadi keras sehingga
bayi tidak dapat BAB. Pada neonatus, perut kembung, muntah berwarna hijau dan
kemungkinan ada riwayat keterlambatan keluarnya mekonium selama 3 hari atau bahkan
lebih mungkin menandakan terdapat obstruksi rektum dengan distensi abdomen progresif
dan muntah. Sedangkan pada anak lebih besar kadang-kadang ditemukan keluhan adanya
diare atau anterokolitis kronik yang lebih menonjol daripada tanda-tanda obstipasi.
Penyebabnya karena kegagalan sel-sel krista naturalis untuk bermigrasi ke dalam dinding
suatu bagian saluran cerna bagian bawah sehingga profulsi feses dalam lumen terlambat.

Diagnosa keperawatan yang muncul adalah Perubahan eliminasi (konstipasi) berhubungan


dengan defek persyarafanan ganglion, Resiko kurang volume cairan berhubungan dengan
menurunya intake (mual, muntah), Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan nafsu makan turun, Resiko infeksi berhubungan dengan
tindakan pasca bedah, injuri berhubungan dengan tindakan pasca operasi, Intoleran
aktivitas berhubungan dengan kelemahan (ATP menurun). Pada kasus penyakit ini kami
membuat rencana tindakan yang diantaranya bertujuan agar pola BAB bayi kembali
normal, kebutuhan nutrisi tubuh dapat terpenuhi. Mengingat pada penyakit ini penderita
mengalami kelainan yang membuat BAB bayi tidak normal.

Agar bayi dapat BAB secara normal bisa dilakukan tindakan pembedahan sepertisegera
dilakukan tindakankolostomi sementara. Kolostomi adalah pembuatan lubang pada
dinding perut yang disambungkan dengan ujung usus besar. Pengangkatan bagian usus
yang terkena dan penyambungan kembali usus besar biasanya dilakukan pada saat anak
berusia 6 bulan atau lebih. Jika terjadi perforasi (perlubangan usus) atau enterokolitis,
diberikan antibiotik.

20
Bagian usus yang tak ada persyarafannya ini harus dibuang lewat operasi. Operasi
biasanya dilakukan dua kali. Pertama, dibuang usus yang tak ada persyarafannya. Kedua,
kalau usus bisa ditarik ke bawah, langsung disambung ke anus. Kalau ternyata ususnya
belum bisa ditarik, maka dilakukan operasi ke dinding perut yang disebut dengan
kolostomi, yaitu dibuat lubang ke dinding perut. Jadi bayi akan BAB lewat lubang tersebut.
Nanti kalau ususnya sudah cukup panjang, bisa dioperasi lagi untuk diturunkan dan
disambung langsung ke anus. Sayang sekali kadang proses ini cukup memakan waktu
lebih dari 3 bulan, bahkan mungkin hingga 6 – 12 bulan. Setelah operasi biasanya BAB
bayi akan normal kembali, kecuali kasus tertentu misal karena kondisi yang sudah terlalu
parah.

Untuk itu maka orang tua perlu memperhatikan kondisi bayinya dan melakukan
pertimbangan-pertimbangan agar bayi segera tertangani dan tidak semakin parah
kondisinya. Jangan sampai orang tua membiarkan hal ini sehingga perut bayi lama
kelamaan semakin membesar sehingga ususnyapun menjadi semakin lebar, sedangkan di
bagian bawah kecil sekali karena, jika hal tersebut dibiarkan dikhawatirkan nantinya akan
terjadi komplikasi.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam menangani kolostomi, antara lain:
1) Perawatan Kulit
Keluarga klien dianjurkan untuk melindungi kulit peristoma dengan sering mencuci
area tersebut menggunakan sabun ringan, memberikan barrier kulit protektif disekitar
stoma, dan mengamankannya dengan meletakkan kantung drainase. Kulit dibersihkan
dengan perlahan menggunakan sabun ringan dan waslap lembab serta lembut. Jika
adanya kelebihan barrier kulit maka harus dibersihkan. Sabun bertindak sebagai agen
abrasive ringan untuk mengangkat residu enzim dari tetesan fekal. Selama kulit
dibersihkan, kasa dapat digunakan untuk menutupi stoma.
2) Pemasangan Kantung
Kulit dibersihkan terlebih dahulu, kemudian barierr kulit peristoma dipasang. Setelah
itu kantung dipasang dengan cara membuka kertas perekat dan menekannya di atas
stoma. Jika terdapat iritasi kulit ringan, maka memerlukan tebaran bedak stomahesive
sebelum kantung diletakkan.
3) Memasang Alat Drainase
Alat drainase diganti bila isinya telah mencapai ⅓ - ¼ sehingga berat isinya tidak
menyebabkan kantung lepas dari diskus perekatnya dan keluar isinya. Berikan
tekanan secara perlahan untuk mencegah kulit dari trauma dan mencegah adanya isi
fekal yang tercecer keluar.
4) Mengirigasi Kolostomi
Tujuan pengirigasian kolostomi adalah untuk mengosongkan kolon dari gas, mucus,
dan feses. Sehingga klien dapat beraktivitas tanpa rasa takut terjadi drainase fekal.

21
BAB VI

PENUTUP

A. Kesimpulan
Penyakit hisprung atau mega kolon adalah penyakit yang disebabkan oleh tidak
adekuatnya motilitas pada usus sehingga tidak ada evakuasi usus spontan dan tidak
22
mampunya spinkter rektum berelaksasi. Kelainan hisprung terjadi karena adanya
permasalahan pada persyarafan usus besar paling bawah, mulai anus hingga usus di
atasnya. Penyakit hisprung merupakan penyakit yang sering menimbulkan masalah.
Baik masalah fisik, psikologis maupun psikososial. Masalah pertumbuhan dan
perkembangan anak dengan penyakit hisprung yaitu terletak pada kebiasaan buang air
besar.

Menurut beberapa teori penyebab penyakit ini belum diketahui, namun ada juga yang
menjelaskan penyebabnya. Dikarenakan penyakit ini kebanyakan menyerang neonatus,
maka pada saat hamil ibu harus mengkonsumsi makanan dan minuman yang
mengandung nutrisi serta menjaga kondisi ibu selama masa kehamilan.

Pemeriksaan penyakit hisprung dapat dilakukan dengan pemeriksaan radiologi dan


pemeriksaan foto abdomen tegak. Pengobatan hisprung dapat dilakukan dengan
pembedahan seperti kolostomi, biopsi otot rektum, dan barium enema. Pencegahan
pada penyakit hisprung diutamakan pada pencegahan primer yaitu lebih ditujukan
kepada ibu pada masa kehamilan. Ibu hamil yang kandungannya menginjak usia tiga
bulan disarankan berhati-hati terhadap obat-obatan, makanan yang diawetkan dan
alkohol yang dapat memberikan pengaruh terhadap kelainan tersebut. Pada tahap
helth promotion ini, sebagai pencegahan tingkat pertama (primary prevention) adalah
perlunya perhatian terhadap pola konsumsi sejak dini terutama sejak masa awal
kehamilan. Meghindari konsumsi makanan yang bersifat karsinogenik, mengikuti
penyuluhan mengenai konsumsi gizi seimbang serta olah raga dan istirahat yang
cukup.

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Betz, Cecily L. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatrik. Jakarta: EGC.


Cornain, Santoso. 2013. Buku Ajar Patologi Robbins. Singapura: Elsevier.
Herdman, T. Heather. 2012. Diagnosa Keperawatan dengan Definisi dan Klasifikasi 2012 –
2014. Jakarta: EGC.
23
Hidayat, A. Aziz Alimul. 2006. Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: EGC.
Maryanti, Dwi. 2011. Buku Ajar Neonatus, Bayi dan Balita. Jakarta: Trans Info Media.
Maryunani, Anik. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit pada Neonatus. Jakarta:
TIM.
Rukhiyah, Yeyeh Ani. 2012. Asuhan Neonatus, Bayi, dan Anak Balita. Jakarta: Trans Info
Media.
Sodikin. 2011. Asuhan Keperawatan Anak: Gangguan Sistem Gastrointestinal &
Hepatobilier. Jakarta: Salemba Medika
Taylor, Cynthia. M dan Ralph, Sheila. 2013. Diagnosa Keperawatan: Dengan Rencana
Asuhan Keeprawatan. Jakarta: EGC.
Wilkinson, Judith M. 2011. Buku Saku Diagnosis NANDA, Intervensi NIC, Kriteria Hasil
NOC. Jakarta: EGC.

24

Anda mungkin juga menyukai