Anda di halaman 1dari 50

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Kehamilan merupakan masa dimulainya konsepsi sampai lahirnya

janin. Lamanya hamil normal adalah 280 hari (40 minggu atau 9 bulan 7

hari) dihitung dari hari pertama haid terakhir. Kehamilan sebagai keadaan

fisiologis dapat diikuti proses patologis yang mengancam keadaan ibu dan

janin. Tenaga kesehatan harus dapat mengenal perubahan yang mungkin

terjadi sehingga kelainan yang ada dapat dikenal lebih dini. Misalnya

perubahan yang terjadi adalah edema tungkai bawah pada trimester terakhir

dapat merupakan fisiologis (Prawirohardjo, 2008).

Kehamilan risiko adalah kehamilan patologi yang dapat

mempengaruhi keadaan ibu dan janin. Dengan demikian, untuk menghadapi

kehamilan risiko harus diambil sikap proaktif, berencana dengan upaya

promotif dan preventif sampai dengan waktunya harus diambil sikap tegas

dan cepat untuk dapat menyelamatkan ibu dan bayinya (Manuaba, 2007).

Data Kementerian Kesehatan menunjukkan angka kematian Ibu turun

dari 4.999 tahun 2015 menjadi 4912 di tahun 2016 dan di tahun 2017

(semester I) sebanyak 1712 kasus (Kemenkes, 2017).

Kehamilan pada ibu dengan penyakit Lupus Eritematosus sangat

berhubungan dengan tingkat kesakitan dan kematian ibu dan janin, yang

sampai saat ini masih menjadi salah satu indikator kesehatan nasional.

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit inflamasi autoimun


2

kronis akibat pengendapan kompleks imun yang tidak spesifik pada

berbagai organ yang penyebabnya belum diketahui secara jelas, serta

manifestasi klinis, perjalanan penyakit, dan prognosis yang sangat

beragam.1 Penyakit ini terutama menyerang wanita usia reproduksi dengan

angka kematian yang cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan

hormonal serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES.1

Insiden tahunan LES di Amerika Serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,

sementara prevalensi LES di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000

penduduk, dengan rasio jender wanita dan laki- laki antara 9-14 : 1. Belum

terdapat data epidemiologi LES yang mencakup semua wilayah Indonesia.

Data tahun 2002 di RSUP Cipto Mangunkusumo (RSCM) Jakarta,

didapatkan 1,4% kasus LES dari total kunjungan pasien di poliklinik

Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung

terdapat 291 pasien LES atau 10,5% dari total pasien yang berobat ke

poliklinik reumatologi selama tahun 2010. 2,3 Data pasien LES pada

kehamilan masih sulit didapat, dari 2000 kehamilan dilaporkan sebanyak 1-

2 kasus LES. Angka kematian pasien dengan LES hampir 5 kali lebih tinggi

dibandingkan populasi umum. Pada tahun-tahun pertama mortalitas LES

berkaitan dengan aktifitas penyakit dan infeksi ( termasuk infeksi M.

tuberculosis, virus, jamur dan protozoa), sedangkan dalam jangka panjang

berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.5 Tingginya kasus LES

ini merupakan salah satu hal yang harus diwaspadai karena banyak faktor

merugikan yang mempengaruhi fungsi tubuh akibat gangguan sistem

autoimun.
3

Penyakit LES menyerang hampir 90% wanita yang terjadi pada

rentang usia reproduksi antara 15-40 tahun dengan rasio wanita dan laki-laki

adalah 9:1. Penyakit LES yang kebanyakan terjadi pada wanita di usia

reproduksi seringkali menimbulkan masalah kesehatan terutama pada masa

kehamilan yang dapat membahayakan kondisi ibu dan janin. Dilaporkan

wanita hamil yang menderita LES memiliki komplikasi yang buruk terhadap

kondisi ibu dan janin. Oleh karena itu penyakit LES sangat berisiko tinggi

pada kehamilan. Masalah yang memperburuk keadaan selama kehamilan

adalah terjadinya flare penyakit, terutama bila aktifitas penyakit LES tinggi

sebelum hamil. Flare pada kehamilan dilaporkan antara 13 sampai 68% pada

penderita LES yang hamil dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil.

Jumlahnya meningkat selama kehamilan dan pada masa post partum antara

30 sampai 50%.6 Di bidang Obstetri penyakit ini dianggap penting karena

LES dapat merupakan satu penyakit kehamilan, di mana mempunyai potensi

untuk mengakibatkan kematian janin, kelahiran preterm, maupun kelainan

pertumbuhan janin. Bayi yang lahir dari ibu yang mengidap LES dapat

menyebabkan Lupus Eritematosus Neonatal, walaupun jarang (1: 20.000

kelahiran hidup). Risiko kematian ibu hamil yang menderita LES memiliki

dampak 20x lebih tinggi karena komplikasi yang disebabkan oleh pre-

eklampsia, thrombosis, infeksi dan kelainan darah. Mengingat manifestasi

klinis, perjalanan penyakit LES sangat beragam dan risiko kematian yang

tinggi maka penulis tertarik membuat sari pustaka ini, untuk bisa mengenali

lebih awal ibu hamil dengan LES, melakukan perawatan antenatal,

intranatal dan postnatal yang lebih komprehensif dan terarah pada


4

kehamilan dengan lupus eritematosus. (dikutip dari dr. I Ketut Surya

Negara,SpOG(K), MARS, 2014).

Penyebab dari kejadian kehamilan risiko pada ibu hamil adalah karena

kurangnya pengetahuan ibu tentang kesehatan reproduksi, rendahnya status

sosial ekonomi dan pendidikan yang rendah. Dengan adanya pengetahuan

ibu tentang tujuan atau manfaat pemeriksaan kehamilan dapat

memotivasinya untuk memeriksakan kehamilan secara rutin. Pengetahuan

tentang cara pemeliharaan kesehatan dan hidup sehat meliputi jenis

makanan bergizi, menjaga kebersihan diri, serta pentingnya istirahat cukup

sehingga dapat mencegah timbulnya komplikasi dan tetap mempertahankan

derajat kesehatan yang sudah ada. Selain itu, ibu dapat meningkatkan

pengetahuan tentang tanda kehamilan risiko baik melalui tenaga kesehatan

terutama bidan, petugas Posyandu, media massa (televisi, koran, dll),

sehingga dapat mengenal risiko kehamilan dan mengunjugi bidan atau

dokter sedini mungkin untuk mendapatkan asuhan antenatal (Maulana,

2008).

Berdasarkan latar belakang diatas maka penulis tertarik untuk

melakukan penelitian pada ibu Ny. SW usia 30 tahun G3P2A0H2 gravid 13-

14 minggu dengan SLE.


5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Kehamilan Normal

2.1.1

Pengertian

Masa kehamilan terjadi mulai dari konsepsi sampai janin lahir.

Perkembangan janin kehamilan normal membutuhkan waktu 280 hari (40

minggu jika dinyatakan dengan bulan 9 bulan 7 hari) mulai dihitung dari

hari pertama haid terakhir (HPHT) (Saifuddin, 2010).

Kehamilan matur (cukup bulan) berlangsung kira-kira 40 minggu

(280 hari) dan tidak lebih dari 43 minggu (300hari). Kehamilan

berlangsung antara 28 dan 36 minggu disebut kehamilan premature,

sedangkan lebih dari 43 minggu disebut kehamilan post matur (Manuaba,

2005).

Kehamilan dibagi dalam tiga bagian ; masing-masing kahamilan

triwulan pertama (antara 0 sampai 12 minggu); kehamilan triwulan kedua

(antara 12 sampai 28 minggu); dan kehamilan triwulan terakhir (antara

28 sampai 40 minggu) (Wiknjosastro, 2005).

2.1.2

Diagnosis Kehamilan (Saifuddin, 2010).

Perubahan endokrinologis, fisiologis, dan anatomis yang menyertai

kehamilan menimbulkan gejala dan tanda yang memberikan bukti adanya


6

kehamilan. Gejala dan tanda tersebut dibagi menjadi tiga kelompok,

antara lain :

a.

Bukti Presumtif (tidak pasti) Gejalanya :

Mual dengan atau tanpa muntah.

Gangguan berkemih.

Fatigue atau rasa mudah lelah.

Persepsi adanya gerakan janin.

Tanda :

Terhentinya menstruasi.

Perubahan pada payudara.

Perubahan warna mukosa vagina.

 Meningkatnya pigmentasi kulit dan timbulnya

striae pada abdomen.

b.

Bukti kemungkinan kehamilan (Saifuddin, 2010)

 Pembesaran abdomen.
7

 Perubahan bentuk, ukuran, dan konsistensi uterus.

 Perubahan anatomis pada serviks.

 Kontraksi Braxton Hicks.

 Ballotement.

 Kontur fisik janin.

 Adanya gonadotropin korionik di urin atau serum

c.

Tanda Positif Kehamilan

Identifikasi kerja jantung janin yang terpisah dan tersendiri dari

kerja jantung ibu.

Persepsi gerakan janin aktif oleh pemeriksa.

Pengenalan mudigah dan janin setiap saat selama kehamilan

dengan USG atau pengenalan janin yang lebih tua secara

radiografis pada paruh kedua kehamilan (Saifuddin, 2010).

2.1.3 Adaptasi Fisiologis Kehamilan (Prawirohardjo, S, 2008)

1) Uterus

Uterus akan membesar pada bulan-bulan pertama di bawah pengaruh

estrogen dan progesteron yang kadarnya meningkat. Pembesaran ini pada

dasarnya disebabkan oleh hipertrofi otot polos uterus; di samping itu,

serabut-serabut kolagen yang adapun menjadi higroskopik akibat

meningkatnya kadar estrogen sehingga uterus dapat mengikuti


8

pertumbuhan janin. Bila ada kehamiln ektopik, uteru akan membesar

pula, karena pengaruh hormon-hormon itu. Begitu pula endometrium

menjadi desidua (Prawirohardjo, S, 2008).

Berat uterus normal lebih kurang 30 gram; pada akhir kehamilan (40

minggu) berat uterus menjadi 1000 gram dengan panjang 20 cm dan

dinding 2,5 cm. Pada bulan-bulan pertama kehamilan, bentuk uterus

seperti buah alpukat agak gepeng. Pada kehamilan 16 minggu, uterus

berbentuk bulat. Selanjutnya pada akhir kehamilan kembali seperti

bentuk semula, lonjong seperti telur. Hubungan antara besarnya uterus

dengan tuanya kehamilan sangat penting diketahui antara lain untuk

membentuk diagnosis, apakah wanita tersebut hamil fisiologik, hamil

ganda atau menderita penyakit seperti mola hidatidosa dan sebagainya.

Pada minggu-minggu pertama ismus uteri mengadakan hipertrofi

seperti korpus uteri. Hipertrofi ismus pada triwulan pertama membuat

ismus menjadi panjang dan lebih lunak. Hal ini dikenal dalam obstetri

sebagai tanda hegar .(Prawirohardjo, S, 2008).

2) Serviks Uteri

Serviks uteri pada kehamilan juga mengalami perubahan karena

hormon estrogen. Akibat kadar estrogen yang meningkat dan dengan

adanya hipervaskularisasi, maka konsistensi serviks menjadi lunak.

Serviks uteri lebih banyak mengandung jaringan ikat yang terdiri atas

kolagen. Karena servik terdiri atas jaringan ikat dan hanya sedikit

mengandung jaringan otot, maka serviks tidak mempunyai fungsi sebagai


9

spinkter, sehingga pada saat partus serviks akan membuka saja mengikuti

tarikan-tarikan corpus uteri keatas dan tekanan bagian bawah janin

kebawah. Sesudah partus, serviks akan tampak berlipat-lipat dan tidak

menutup seperti spinkter. Perubahan-perubahan pada serviks perlu

diketahui sedini mungkin pada kehamilan, akan tetapi yang memeriksa

hendaknya berhati-hati dan tidak dibenarkan melakukannya dengan

kasar, sehingga dapat mengganggu kehamilan.

Kelenjar-kelenjar di serviks akan berfungsi lebih dan akan

mengeluarkan sekresi lebih banyak. Kadang-kadang wanita yang sedang

hamil mengeluh mengeluarkan cairan pervaginam lebih banyak. Pada

keadaan ini sampai batas tertentu masih merupakan keadaan fisiologik

(Cuningham, 2006).

3) Vagina dan vulva

Hipervaskularisasi mengakibatkan vagina dan vulva tampak lebih

merah dan agak kebiru-biruan (livide). Warna porsio tampak livide.

Pembuluh-pembuluh darah alat genetalia interna akan membesar. Hal ini

dapat dimengerti karena oksigenasi dan nutrisi pada alat-alat genetalia

tersebut menigkat. Apabila terjadi kecelakaan pada kehamilan/persalinan

maka perdarahan akan banyak sekali, sampai dapat mengakibatkan

kematian (Cuningham, 2006).

4) Ovarium

Pada permulaan kehamilan masih terdapat korpus luteum

graviditatis sampai terbentuknya plasenta pada kira-kira kehamilan 16

minggu. Korpus luteum graviditas berdiameter kira-kira 3 cm.


10

Kemudian, ia mengecil setelah plasenta terbentuk. seperti telah

dikemukakan, korpus luteum ini mengeluarkan hormon estrogen dan

progesteron. Lambat-laun fungsi ini diambil alih oleh plasenta. Dalam

dasawarsa terakhir ini ditemukan pada awal ovulasi hormon relaxin,

suatu immunoreactive inhibin dalam sirkulasi maternal. Diperkirakan

korpus luteum adalah tempat sintesis dari relaxin pada awal kwhamilan.

Kadar relaxin di sirkulasi maternal dapat ditentukan dan meningkat

dalam trimester pertama. Relaxin mempunyai pengaruh menenangkan

hingga pertumbuhan janin menjadi baik hingga aterm.

5) Mamma

Mamma akan membesar dan tegang akibat hormon

somatomammotropin, estrogen, dan progesteron, akan tetapi belum

mengeluarkan air susu.

Estrogen menimbulkan hipertrofi sistem saluran, sedangkan progesteron

menambah sel-sel asinus pada mamma. Somatomammotropin

mempengaruhi pertumbuhan sel-sel asinus pula dan menimbulakan

perubahan dalam sel-sel, sehingga terjadi pembuatan kasein, laktalbumin,

dan laktoglobulin. Dengan demikian mamma dipersiapkan untuk laktasi.

Di samping ini, di bawah pengaruh progesteron dan

somatomammotropin, terbentuk lemak di sekitar kelompok-kelompok

alveolus, sehingga mamma menjadi lebih besar. Papila mamma akan

membesar, lebih tegak, dan tampak lebih hitam, seperti seluruh areola

mamma karena hiperpigmentasi. Glandula Montgomery tampak lebih

jelas menonjol di permukaan areola mamma. Pada kehamilan 12 minggu


11

keatas, dari puting susu dapat keluar cairan berwarna putih agak jernih

disebut kolostrum. Kolostrum ini berasal dari kelenjar-kelenjar asinus

yang mulai bersekresi. (Hacker NF, 2001)

6) Sirkulasi Darah

Sirkulasi darah ibu dalam kehamilan dipengaruhi oleh adanya

sirkulasi ke plasenta, uterus yang membesar dengan pembuluh-

pembuluh darah yang membesar pula, mamma dan alat lain-lain yang

memang berfungsi berlebihan dalam kehamilan. Volume darah ibu adalah

kehamilan bertambah secara fisiologik dengan adanya pencairan darah

yang disebut hidremia. Volume darah akan bertambah banyak ± 25%

pada puncak usia kehamilan 32 minggu. Meskipun ada peningkatan

dalam volume eritrosit secara keseluruhan, tetapi penambahan volume

plasma jauh lebih besar sehingga konsentrasi hemoglobin dalam darah

menjadi lebih rendah. Walaupun kadar hemoglobin ini menurun menjadi

± 120 g/L. Pada minggu ke-32, wanitahamil mempunyai hemoglobin

total lebih besar daripada wanita tersebut ketika tidak hamil. Bersamaan

itu, jumlah sel darah putih meningkat (± 10.500/ml), demikian juga

hitung trombositnya.

Untuk mengatasi pertambahan volume darah, curah jantung akan

meningkat ± 30% pada minggu ke-30. Kebanyakan peningkatan curah

jantung tersebut disebabkan oleh meningkatnya isi sekuncup, akan tetapi

frekuensi denyut jantung meningkat ± 15%. Setelah kehamilan lebih dari

30 minggu, terdapat kecenderungan peningkatan tekanan darah (Hacker

NF, 2001)
12

7) Sistem Respirasi

Pernafasan masih diafragmatik selama kehamilan, tetapi karena

pergerakan diafragma terbatas setelah minggu ke-30, wanita hamil

bernafas lebih dalam, dengan meningkatkan volume tidal dan kecepatan

ventilasi, sehingga memungkinkan pencampuran gas meningkat dan

konsumsi oksigen meningkat 20%. Diperkirakan efek ini disebabkan oleh

meningkatnya sekresi progesteron. Keadaan tersebut dapat menyebabkan

pernafasan berlebih dan PO2 arteri lebih rendah. Pada kehamilan lanjut,

kerangka iga bawah melebar keluar sedikit dan mungkin tidak kembali

pada keadaan sebelum hamil, sehingga menimbulkan kekhawatiran bagi

wanita yang memperhatikan penampilan badannya.

8) Traktus Digetivus

Di mulut, gusi menjadi lunak, mungkin terjadi karena retensi cairan

intraseluler yang disebabkan oleh progesteron. Spinkter esopagus bawah

relaksasi, sehingga dapat terjadi regorgitasi isilambung yang

menyebabkan rasa terbakar di dada (heathburn). Sekresi

isilambungberkurang dan makanan lebih lama berada di lambung. Otot-

otot usus relaks dengan disertai penurunan motilitas. Hal ini

memungkinkan absorbsi zat nutrisi lebih banyak, tetapi dapat

menyebabkan konstipasi, yang memana merupakan salah satu keluhan

utamawanita hamil.

9) Traktus Urinarius

Pada bulan-bulan pertama kehamilan kandung kencing tertekan

oleh uterus yang mulai membesar, ehingga timbul sering kencing.


13

Keadaan ini hilang dengan makin tuanya kehamilan bila uterus gravidus

keluar dari rongga panggul. Pada akhir kehamilan, kepala janin mulai

tuun ke PAP, keluhan sering kencing dan timbul lagi karena kandung

kencing mulai tertekan kembali. Disamping itu, terdapat pula poliuri.

Poliuri disebabkan oleh adanya peningkatan sirkulasi darah di ginjal pada

kehamilan sehingga laju filtrasi glomerulus juga meningkat sampai 69%.

Reabsorbsi tubulus tidak berubah, sehingga produk- produk eksresi

seperti urea, uric acid, glukosa, asam amino, asam folik lebih banyak

yang dikeluarkan.

10) Sistem Integumen

Perubahan deposit pigmen dan hiperpigmentasi karena pengaruh

melanophore stimulating hormone (MSH), pengaruh lobus hipofisis

anterior , dan pengaruh kelenjar suprarenalis. Hiperpigmentasi ini terjadi

pada striae gravidarum lividae atau alba, areola mamae, papila mamae,

linea nigra, dan pipi (chloasma gravidarum). Setelah persalinan

hiperpigmentasi ini akan menghilang. Perubahan kondisi kulit yang

berubah terbalik dari keadaan semula, yang biasanya (pada saat belum

hamil) kulit kering, maka kini akan menjadi berminyak, begitu pula

sebaliknya. Hal ini terjadi karena adanya perubahan hormone didalam

tubuh ibu hamil. Rambut menjadi lebih kering atau berminyak karena

adanya perubahan

11) Metabolisme dalam kehamilan

BMR meningkat hingga 15-20% yang umumnya ditemukan pada

trimester III. Kalori yang dibutuhkan untuk itu diperoleh terutama dari
14

pembakaran karbohidrat, khususnya sesudah kehamilan 20 minggu ke

atas. Akan tetapi bila dibutuhkan, dipakailah lemak ibu untuk

mendapatkan tambahan kalori dalam pekerjaan sehari-hari. Dalam

keadaan biasa wanita hamil cukup hemat dalam hal pemakaian

tenaganya. Janin membutuhkan 30-40 gr kalsium untuk pembentukan

tulang- tulangnya dan hal ini terjadi terutama dalam trimester terakhir.

Makanan tiap harinya diperkirakan telah mengandung 1,5-2,5 gr kalsium.

Diperkirakan 0,2-0,7 gr kalsium tertahan dalam badan untuk keperluan

semasa hamil. Ini kiranya telah cukup untuk pertumbuhan janin tanpa

mengganggu kalsium ibu. Kadar kalsium dalam serum memang lebih

rendah, mungkin oleh karena adanya hidremia, akan tetapi kadar kalsium

tersebut masih cukup tinggi hingga dapat menanggulangi kemungkinan

terjadinya kejang tetani.

Segera setelah haid terlambat, kadar enzim diamino-oksidase

(histamine) meningkat dari 3-6 satuan dalam masa tidak hamil ke 200

satuan dalam masa hamil 16 minggu. Kadar ini mencapai puncaknya

sampai 400-500 satuan pada kehamilan 16 minggu dan seterusnya

sampai akhir kehamilan.Pinosinase adalah enzim yang dapat membuat

oksitosin tidak aktif. Pinositase ditemukan banyak sekali di dalam darah

ibu pada kehamilan 14-38 minggu.

Berat badan wanita hamil akan naik kira-kira diantara 6,5-16,5 kg

rata-rata 12,5 kg. Kenaikan berat badan ini terjadi terutama dalam

kehamilan 20 minggu terakhir. Kenaikan berat badan dalam kehamilan

disebabkan oleh hasil konsepsi, fetus placenta dan liquor (Wiknjosastro,


15

2005).

2.1.4 Adaptasi Psikologis Kehamilan (Saifuddin, 2010)

a. Trimester pertama; Ragu-ragu akan kehamilannya, ambivalen

(konflik perasaan) dan lebih banyak berfokus pada diri sendiri. Pada

trimester ini, adanya perasaan tidak nyaman akibat perasaan mual,

muntah, dan keletihan sering kali keinginan seksual menurun.

b. Trimester kedua

 Adanya pergerakan bayi, ibu menjadi yakin dengan keberadaan

bayinya, dan ibu merasa percaya akan segera mempunyai bayi.

 Ibu lebih banyak berfokus pada bayinya, biasanya dia merasa lebih

baik daripada trimester I dan belum terganggu aktivitasnya.

 Perubahan ukuran tubuh untuk beberapa orang menyebabkan

perubahan body image atau pandangan terhadap gambaran diri yang

negative.

c. Trimester ketiga

 Persiapan kelahiran sudah mulai dilakukan ibu. Ibu menanyakan

tentang tanda-tanda persalinan kepada teman atau saudaranyayang

telah mengalami proses persalinan.

 Beberapa wanita mengalami ketakutan persalinan dan merasa tidak

nyaman menghadapi hari-hari menjelang persalinan.

 Ibu menyiapkan pakaian, tempat untuk bayi, dan merencanakan

perawatannya (Hidayati, 2009).

2.2. SLE

2.2.1 Definisi
16

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun

bersifat sistemik yang terkait dengan adanya autoantibodi terhadap

komponen inti sel (Buyon, 2008).

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit autoimun kronis

dengan manifestasi klinik yang luas meliputi hampir semua organ dan

jaringan. Penyebab LES belum dapat diketahui dengan jelas disertai

perjalan penyakit dan prognosis yang beragam. Penyakit ini terutama

menyerang wanita usia produktif dengan angka kematian cukup tinggi.

Faktor genetik, imunologik dan hormonal serta lingkungan diduga

berperan dalam patofisiologi LES. Penyakit ini sering berhubungan

dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun sehingga

mengakibatkan kerusakan jaringan.

2.2.2 Epidemiologi

Hingga saat ini, SLE menjadi salah satu penyakit reumatik utama di

dunia. SLE sebagian besar menyerang wanita dengan insiden puncak

pada usia produktif antara 15 sampai 40 tahun dengan rerata usia 34,3

tahun (Urowitz dkk., 2010). Dalam proporsi yang lebih kecil SLE dapat

pula menyerang usia dibawah 15 tahun maupun diatas 40 tahun. Rasio

pria dan wanita adalah 1 : 6 - 10. Pada distribusi usia pediatrik atau

geriatrik rasio pria dan wanita adalah 1: 2. Secara umum kejadian SLE

sebesar 2 per 2000 pasien rawat jalan walaupun prevalensi ini bervariasi

berdasarkan ras dan etnis.

2.2.3 Etiopatogenesis LES

Etiopatologi dari LES belum diketahui secara pasti namun diduga


17

melibatkan interaksi yang kompleks dan multifaktorial antara variasi

genetik dan faktor lingkungan. Interaksi antara jenis kelamin, status

hormonal, dan aksi 7 Hipotalamus-Hipofisis-Adrenal (HPA)

mempengaruhi kepekaan dan ekspresi klinis LES. Adanya gangguan

dalam mekanisme pengaturan imun seperti gangguan pembersihan sel-sel

apoptosis dan kompleks imun merupakan konstributor yang penting

dalam perkembangan penyakit ini. Hilangnya toleransi imun,

meningkatknya beban antigenik, bantuan sel T yang berlebihan,

gangguan supresi sel B dan peralihan respon imun dari T helper 1 (Th1)

ke Th2 menyebabkan hiperaktifitas sel B dan memproduksi autoantibodi

patogenik. Respon imun yang terpapar faktor eksternal/lingkungan

seperti radiasi ultraviolet atau infeksi virus dalam periode yang cukup

lama bisa juga menyebabkan disregulasi sistem imun. Terdapat banyak

bukti bahwa patogenesis LES bersifat multifaktoral seperti faktor

genetik, faktor lingkungan, dan faktor hormonal terhadap respons imun.

Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan

resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot.

Penelitian terakhir menunjukkan bahwa banyak gen yang berperan

terutama gen yang mengkode unsur-unsur sistem imun. Diduga

berhubungan dengan gen respons imun spesifik pada kompleks

histokompabilitas mayor kelas II, yaitu HLA-DR2 dan HLA-DR3 serta

dengan komponen komplemen yang berperan dalam fase awal reaksi ikat

komplemen ( yaitu C1q, C1r, C1s, C4, dan C2) telah terbukti. Gen-gen

lain yang mulai ikut berperan adalah gen yang mengkode reseptor sel T,
18

imunoglobulin dan sitokin.

Studi lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan

dengan HLA (Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep

bahwa gen MHC (Major Histocompatibility Complex) mengatur

produksi autoantibodi spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi

defisiensi komponen komplemen, seperti C2,C4, atau C1q.7-8

Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks

imun oleh sistem fagositosit mononuklear sehingga membantu terjadinya

deposisi jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan sel fagosit gagal

membersihkan sel apoptosis sehingga komponen nuklear akan

menimbulkan respon imun.9 Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu

pada penderita lupus, seperti radiasi ultra violet, tembakau, obat-obatan,

virus. Sinar UV mengarah pada selfimmunity dan hilangnya toleransi

karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar UV

menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan

memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung mengubah

sel DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal

membantu menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit.8,10 Faktor

lingkungan lainnya yaitu kebiasaan merokok yang menunjukkan bahwa

perokok memiliki resiko tinggi terkena lupus, berhubungan dengan zat

yang terkandung dalam tembakau yaitu amino lipogenik aromatik.11

Pengaruh obat juga memberikan gambaran bervariasi pada penderita

lupus. Pengaruh obat salah satunya yaitu dapat meningkatkan apoptosis

keratinosit. Faktor lingkungan lainnya yaitu peranan agen infeksius


19

terutama virus dapat ditemukan pada penderita lupus. Virus rubella,

sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel permukaan dan

apoptosis Faktor ketiga yang mempengaruhi patogenesis lupus yaitu

faktor hormonal. Mayoritas penyakit ini menyerang wanita muda dan

beberapa penelitian menunjukkan terdapat hubungan timbal balik antara

kadar hormon estrogen dengan sistem imun. Estrogen mengaktifasi sel B

poliklonal sehingga mengakibatkan produksi autoantibodi berlebihan

pada pasien LES. 13-14 Autoantibodi pada lupus kemudian dibentuk

untuk menjadi antigen nuclear (ANA dan anti-DNA). Selain itu, terdapat

antibodi terhadap struktur sel lainnya seperti eritrosit, trombosit dan

fosfolipid. Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun,

yang diikuti oleh aktifasi komplemen yang mempengaruhi respon

inflamasi pada banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal.

2.2.4 Manifestasi LES

1) Manifestasi Konstitusional

Kelelahan merupakan manifestasi umum yang dijumpai pada

penderita LES dan biasanya mendahului berbagai manifestasi klinis

lainnya.. Kelelahan ini agak sulit dinilai karena banyak kondisi lain

yang dapat menyebabkan kelelahan seperti anemia, meningkatnya

beban kerja, konflik kejiwaan, serta pemakaian obat seperti

prednison. Apabila kelelahan disebabkan oleh aktifitas penyakit

LES, diperlukan pemeriksaan penunjang lain yaitu kadar C3 serum

yang rendah. Kelelahan akibat penyakit ini memberikan respons

terhadap pemberian steroid atau latihan.


20

Penurunan berat badan dijumpai pada sebagian penderita LES dan terjadi dalam beberapa
bulan sebelum diagnosis ditegakkan. Penurunan berat badan ini dapat disebabkan oleh
menurunnya nafsu makan atau diakibatkan gejala gastrointestinal. Demam sebagai salah
satu gejala konstitusional LES sulit dibedakan dari sebab lain seperti infeksi karena suhu
tubuh lebih dari 40°C tanpa adanya bukti infeksi lain seperti leukositosis. Demam akibat
LES biasanya tidak disertai menggigil.
2) Manifestasi Kulit

Kelainan kulit dapat berupa fotosensitifitas, diskoid LE (DLE),

Subacute Cutaneous Lupus Erythematosus (SCLE), lupus

profundus / paniculitis, alopecia. Selain itu dapat pula berupa lesi

vaskuler berupa eritema periungual, livedo reticularis, telangiektasia,

fenomena Raynaud’s atau vaskulitis atau bercak yang menonjol

bewarna putih perak dan dapat pula ditemukan bercak eritema pada

palatum mole dan durum, bercak atrofis, eritema atau depigmentasi

pada bibir.

3) Manifestasi Muskuloskeletal

Lebih dari 90% penderita LES mengalami keluhan

muskuloskeletal. Keluhan dapat berupa nyeri otot (mialgia), nyeri

sendi (artralgia) atau merupakan suatu artritis dimana tampak jelas

bukti inflamasi sendi. Keluhan ini sering dianggap sebagai

manifestasi artritis reumatoid karena keterlibatan sendi yang banyak

dan simetris. Namun pada umumnya pada LES tidak meyebabkan

kelainan deformitas.1 Pada 50% kasus dapat ditemukan kaku pagi,

tendinitis juga sering terjadi dengan akibat subluksasi sendi tanpa

erosi sendi. Gejala lain yang dapat ditemukan berupa osteonekrosis

yang didapatkan pada 5-10% kasus dan biasanya berhubungan

dengan terapi steroid. Miositis timbul pada penderita LES< 5%

kasus. Miopati juga dapat ditemukan, biasanya berhubungan


21

dengan terapi steroid dan kloroquin. Osteoporosis sering didapatkan

dan berhubungan dengan aktifitas penyakit dan penggunaan steroid.

4) Manifestasi Paru

Manifestasi klinis pada paru dapat terjadi, diantaranya adalah

pneumonitis, emboli paru, hipertensi pulmonum, perdarahan paru,

dan shrinking lung syndrome. Pneumonitis lupus dapat terjadi akut

atau berlanjut menjadi kronik. Biasanya penderita akan merasa

sesak, batuk kering, dan dijumpai ronki di basal. Keadaan ini terjadi

sebagai akibat deposisi kompleks imun pada alveolus atau pembuluh

darah paru, baik disertai vaskulitis atau tidak. Pneumonitis lupus ini

memberikan respons yang baik terhadap steroid. Hemoptisis

merupakan keadaan yang sering apabila merupakan bagian dari

perdarahan paru akibat LES ini dan memerlukan penanganan tidak

hanya pemberian steroid namun juga tindakan lasmafaresis atau

pemberian sitostatika.

5) Manifestasi Kardiovaskular

Kelainan kardiovaskular pada LES antara lain penyakit

perikardial, dapat berupa perikarditis ringan, efusi perikardial sampai

penebalan perikardial. Miokarditis dapat ditemukan pada 15% kasus,

ditandai oleh takikardia, aritmia, interval PR yang memanjang,

kardiomegali sampai gagal jantung.

Perikarditis harus dicurigai apabila dijumpai adanya keluhan

nyeri substernal, friction rub, gambaran silhouette sign pada foto

dada ataupun EKG, Echokardiografi. Endokarditis Libman-Sachs,


22

seringkali tidak terdiagnosis dalam klinik, tapi data autopsi

mendapatkan 50% LES disertai endokarditis Libman- Sachs. Adanya

vegetasi katup yang disertai demam harus dicurigai kemungkinan

endokarditis bakterialis.

Wanita dengan LES memiliki risiko penyakit jantung koroner 5-

6% lebih tinggi dibandingkan wanita normal. Pada wanita yang

berumur 35-44 tahun, risiko ini meningkat sampai 50%.

6) Manifestasi Ginjal

Keterlibatan ginjal dijumpai pada 40-75% penderita yang

sebagian besar terjadi setelah 5 tahun menderita LES. Rasio wanita :

pria dengan kelainan ini adalah 10 : 1, dengan puncak insidensi

antara usia 20-30 tahun. Gejala atau tanda keterlibatan ginjal pada

umumnya tidak tampak sebelum terjadi kegagalan ginjal atau

sindroma nefrotik.

Penilainan keterlibatan ginjal pada pasien LES harus dilakukan dengan menilai
ada/tidaknya hipertensi, urinalisis untuk melihat proteinuria dan silinderuria, ureum dan
kreatinin, proteinuria kuantitatif, dan klirens kreatinin. Secara histologik, WHO membagi
nefritis lupus atas 5 kelas. Pasien SLE dengan hematuria mikroskopik dan/atau
proteinuria dengan penurunan GFR harus dipertimbangkan untuk biopsi ginjal.
7) Manifestasi Gastrointestinal

Manifestasi gastrointestinal tidak spesifik pada penderita LES,

karena dapat merupakan cerminan keterlibatan berbagai organ pada

penyakit LES atau sebagai akibat pengobatan. Disfagia merupakam

keluhan yang biasanya menonjol walaupun tidak didapatkan adanya

kelainan pada esophagus tersebut kecuali gangguan motilitas.

Dispepsia dijumpai lebih kurang 50% penderita LES, lebih banyak

dijumpai pada mereka yang memakai glukokortikoid serta


23

didapatkan adanya ulkus. Nyeri abdominal dikatakan berkaitan

dengan inflamasi pada peritoneum. Selain itu dapat pula didapatkan

vaskulitis, pankreatitis, dan hepatomegali. Hepatomegali merupakan

pembesaran organ yang banyak dijumpai pada LES, disertai dengan

peningkatan serum SGOT/SGPT ataupun fosfatase alkali dan LDH.

8) Manifestasi Hemopoetik

Terjadi peningkatan Laju Endap Darah (LED) yang disertai

dengan anemia normositik normokrom yang terjadi akibat anemia

akibat penyakit kronik, penyakit ginjal kronik, gastritis erosif dengan

perdarahan dan anemia hemolitik autoimun

9) Manifestasi Neuropsikiatrik

Keterlibatan neuropsikiatrik akibat LES sulit ditegakkan karena

gambaran klinis yang begitu luas. Kelainan ini dikelompokkan

sebagai manifestasi neurologik dan psikiatrik. Diagnosis lebih

banyak didasarkan pada temuan klinis dengan menyingkirkan

kemungkinan lain seperti sepsis, uremia, dan hipertensi berat.

Manifestasi neuropsikiatri LES sangat bervariasi, dapat berupa migrain, neuropati perifer,
sampai kejang dan psikosis. Kelainan tromboembolik dengan antibodi anti-fosfolipid
dapat merupakan penyebab terbanyak kelainan serebrovaskular pada LES. Neuropati
perifer, terutama tipe sensorik ditemukan pada 10% kasus. Kelainan psikiatrik sering
ditemukan, mulai dari anxietas, depresi sampai psikosis. Kelainan psikiatrik juga dapat
dipicu oleh terapi steroid. Analisis cairan serebrospinal seringkali tidak memberikan
gambaran yang spesifik, kecuali untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi.
Elektroensefalografi (EEG) juga tidak memberikan gambaran yang spesifik. CT scan otak
kadang-kadang diperlukan untuk membedakan adanya infark atau perdarahan.
2.2.5 Pemeriksaan Penunjang (Negara Surya K I, 2014).

a. Hemoglobin, lekosit, hitung jenis sel, laju endap darah

(LED)

b. Urin rutin dan mikroskopik, protein kwantitatif 24 jam, dan bila


24

diperlukan kreatinin urin

c. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati, profil lipid)

d. PT, aPTT pada sindroma antifosfolipid

e. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen (C3,C4)

f. Foto polos thorax

g. Pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis, tidak diperlukan untuk

monitoring Setiap 3-6 bulan bila stabil

Setiap 3-6 bulan pada pasien dengan penyakit ginjal aktif.

h. Tes imunologik awal yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis

SLE adalah tes ANA generik. Tes ANA dikerjakan/diperiksa hanya

pada pasien dengan tanda dan gejala mengarah pada LES. Pada

penderita LES ditemukan tes ANA yang positif sebesar 95-100%,

akan tetapi hasil tes ANA dapat positif pada beberapa penyakit lain

yang mempunyai gambaran klinis menyerupai LES misalnya infeksi

kronis (tuberkulosis), penyakit autoimun (misalnya Mixed connective

tissue disease (MCTD), artritis reumatoid, tiroiditis autoimun),

keganasan atau pada orang normal. Jika hasil tes ANA negatif,

pengulangan segera tes ANA tidak diperlukan, tetapi perjalanan

penyakit reumatik sistemik termasuk LES seringkali dinamis dan

berubah, mungkin diperlukan pengulangan tes ANA pada waktu yang

akan datang terutama jika didapatkan gambaran klinis yang

mencurigakan. Bila tes ANA dengan menggunakan sel Hep-2 sebagai

substrat; negatif, dengan gambaran klinis tidak sesuai LES umumnya

diagnosis LES dapat disingkirkan.


25

Beberapa tes lain yang perlu dikerjakan setelah tes ANA positif

adalah tes antibodi terhadap antigen nuklear spesifik, termasuk anti-

dsDNA, Sm, nRNP, Ro(SSA), La (SSB), Scl-70 dan anti-Jo.

Pemeriksaan ini dikenal sebagai profil ANA/ENA. Antibodi anti-

dsDNA merupakan tes spesifik untuk LES, jarang didapatkan pada

penyakit lain dan spesifitasnya hampir 100%. Titer anti-ds DNA yang

tinggi hampir pasti menunjukkan diagnosis SLE dibandingkan dengan

titer yang rendah. Jika titernya sangat rendah mungkin dapat terjadi

pada pasien yang bukan LES.

2.2.6 Diagnosis LES (Negara Surya K I, 2014).

Batasan operasional diagnosis SLE yang dipakai dalam rekomendasi

ini diartikan sebagai terpenuhinya minimum kriteria (definitif) atau

banyak kriteria terpenuhi (klasik) yang mengacu pada kriteria dari

American College of Rheumatology (ACR) revisi tahun 1997. Namun,

mengingat dinamisnya keluhan dan tanda LES dan pada kondisi tertentu

seperti lupus nefritis, neuropskiatrik lupus, maka dapat saja kriteria

tersebut belum terpenuhi. LES pada tahap awal, seringkali bermanifestasi

sebagai penyakit lain misalnya artritis reumatoid, glomerulonefritis,

anemia, dermatitis dan sebagainya. Diagnosis LES, dapat ditegakkan

berdasarkan gambaran klinik dan laboratorium. American College of

Rheumatology (ACR), pada tahun 1997, mengajukan 11 kriteria untuk

klasifikasi LES, dimana apabila didapatkan 4 kriteria, diagnosis LES

dapat ditegakkan.

Kriteria tersebut adalah : Tabel 2. Kriteria diagnosis ACR


Kriteria Batasan
26

Ruam malar Eritema yang menetap, rata atau menonjol, pada daerah

malar dan cenderung tidak melibatkan lipat

Nasolabial
Ruam discoid Plak eritema menonjol dengan keratotik dan

sumbatan folikular. Pada LES lanjut dapat

ditemukan parut atrofik

Fotosensitivitas Ruam kulit yang diakibatkan reaksi abnormal

terhadap sinar matahari, baik dari anamnesis pasien

atau yang dilihat oleh dokter pemeriksa

Ulkus mulut Ulkus mulut atau orofaring, umumnya tidak nyeri dan di

lihat oleh dokter pemeriksa

Artritis Artritis non erosif yang melibatkan dua atau lebih sendi

perifer, ditandai nyeri tekan, bengkak atau

Efusia

Serositis

Pleuritis a. Riwayat nyeri pleuritik atau pleuritic friction rub yang

didengar oleh dokter pemeriksa atau terdapat bukti

efusi pleura. Atau


Perikarditis b. Terbukti dengan rekaman EKG atau pericardial

friction rub atau terdapat bukti efusi pericardium

Gangguan renal a. Proteinuria menetap >0.5 gram per hari atau >3+ bila

tidak dilakukan pemeriksaan kuantitatif. Atau

b. Silinder seluler : dapat berupa silinder eritrosit,

hemoglobin, granular, tubular atau campuran

Gangguan a. Kejang yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau


27

neurologi gangguan metabolik (misalnya uremia, ketoasidosis,

atau ketidakseimbangan elektrolit). Atau


b. Psikosis yang bukan disebabkan oleh obat-obatan atau

gangguan metabolik (misalnya uremia,

ketoasidosis, atau ketidakseimbangan elektrolit)

Gangguan a. Anemia hemolitik dengan retikulosis. Atau

hematologi

b. Lekopenia <4.000/mm³ pada dua kali

pemeriksaan atau lebih. Atau

c. Limfopenia <1.500/mm³ pada da kali pemeriksaan atau

lebih. Atau

d. Trombositopenia <100.000/mm³ tanpa disebabkan oleh

obat-obatan

Gangguan a. Anti-DNA : antibodi terhadap native DNA dengan titer

imunologi yang abnormal. Atau


b. Anti-Sm : terdapatnya antibodi terhadap antigen

nuklear Sm. Atau

c. Temuan positif terhadap antibodi antifosolipid yang

didasarkan atas :

1) Kadar serum antibodi antikardiolipin abnormal baik

IgG atau IgM,

2) Tes lupus antikoagulan positif menggunakan, metoda

standard, atau
28

3) hasil tes serologi positif palsu terhadap sifilis sekurang-

kurangnya selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan tes

imobilisasi Treponema pallidum atau tes fluoresensi

absorpsi antibody treponema

Antibodi antinuklear Titer abnormal dari antibodi anti-nuklear berdasarkan

positif (ANA) pemeriksaan imunofluoresensi atau pemeriksaan setingkat

pada setiap kurun waktu perjalanan penyakit tanpa

keterlibatan obat yang diketahui berhubungan dengan

sindroma lupus yang diinduksi obat.

Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki

sensitifitas 85% dan spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria

dan salah satunya ANA positif, maka sangat mungkin LES dan diagnosis

bergantung pada pengamatan klinik. Bila hasil tes ANA negatif, maka

kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi

klinik lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka

panjang diperlukan.

2.2.7 Penatalaksanaan LES Secara Umum (Negara Surya K I, 2014).

Penyuluhan dan intervensi psikososial sangat penting diperhatikan

dalam penatalaksanaan penderita LES, terutama pada penderita yang

baru terdiagnosis. Hal ini dapat dicapai dengan penyuluhan langsung

kepada penderita atau dengan membentuk kelompok penderita yang

bertemu secara berkala untuk membicarakan masalah penyakitnya. Pada

umumnya, penderita LES mengalami fotosensitifitas sehingga penderita

harus selalu diingatkan untuk tidak terlalu banyak terpapar oleh sinar
29

matahari. Selain itu, penderita LES juga harus menghindari rokok.

Karena infeksi sering terjadi pada penderita LES, penderita harus

selalu diingatkan bila mengalami demam yang tidak jelas penyebabnya,

terutama pada penderita yang memperoleh kortikosteroid dosis tinggi,

obat-obat sitotoksik, penderita dengan gagal ginjal, vegetasi katup

jantung, ulkus di kulit dan mukosa. Profilaksis antibiotika harus

dipertimbangkan pada penderita LES yang akan menjalani prosedur

genitourinarius, cabut gigi dan prosedur invasif lainnya.

Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama

penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang

merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau

siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES

dan memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu, pengawasan

aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan.

Sebelum penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu

apakah penderita tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau

imunosupresif yang agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak

mengancam nyawa dan tidak berhubungan dengan kerusakan organ,

dapat diterapi secara konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa

dan mengenai organ-organ mayor, maka dipertimbangkan pemberian

terapi agresif yang meliputi kortikosteroid dosis tinggi dan

imunosupresan lainnya. (Negara Surya K I, 2014).

2.2.8 Terapi Konserfatif (Negara Surya K I, 2014).

a. Artritis, Artralgia & Mialgia


30

Artritis, artralgia, dan mialgia merupakan keluhan yang sering

dijumpai pada penderita LES. Pada keluhan yang ringan dapat

diberikan analgetik sederhana atau obat antiinflamasi nonsteroid. Yang

harus diperhatikan pada penggunaan obat-obat ini adalah efek

sampingnya agar tidak memperberat keadaan umum penderita. Efek

samping terhadap sistem gastrointestinal, hepar dan ginjal harus

diperhatikan, misalnya dengan memeriksa kreatinin serum secara

berkala.

Apabila analgetik dan obat antiinflamasi nonsteroid tidak

memberikan respons yang baik, dapat dipertimbangkan pemberian

obat antimalaria, misalnya hidroksiklorokuin 400 mg/hari. Bila dalam

waktu 6 bulan, obat ini tidak memberikan efek yang baik, harus segera

distop. Pemberian klorokuin lebih dari 3 bulan atau hidroksiklorokuin

lebih dari 6 bulan memerlukan evaluasi oftalmologik, karena obat ini

mempunyai efek toksik terhadap retina. (Lupus Foundation of

America 2012; Nadhiroh 2007; Stichweh & Pascual 2005).

Pada beberapa penderita yang tidak menunjukkan respons adekuat dengan analgetik atau
obat antiinflamasi non steroid atau obat antimalaria, dapat dipertimbangkan pemberian
kortikosteroid dosis rendah, dengan dosis tidak lebih dari 15 mg, setiap pagi. Metotreksat
dosis rendah (7,5-15 mg/minggu), juga dapat dipertimbangkan untuk mengatasi artritis
pada penderita LES.

d. Lupus Kutaneus

Sekitar 70% penderita LES akan mengalami fotosensitifitas.

Eksaserbasi akut LES dapat timbul bila penderita terpapar oleh sinar

ultraviolet, sinar inframerah, panas dan kadang-kadang juga sinar

fluoresensi. Penderita fotosensitifitas harus berlindung terhadap


31

paparan sinar-sinar tersebut dengan menggunakan baju pelindung,

kaca jendela yang digelapkan, menghindari paparan langsung dan

menggunakan sunscreen. Sebagian besar sunscreen topikal berupa

krem, minyak, lotion atau gel yang mengandung PABA dan esternya,

benzofenon, salisilat dan sinamat yang dapat menyerap sinar

ultraviolet A dan B. Sunscreen ini harus selalu dipakai ulang setelah

mandi atau berkeringat.

Glukokortikoid lokal, seperti krem, salep atau injeksi dapat

dipertimbangkan pada dermatitis lupus. Pemilihan preparat topikal

harus hati-hati, karena glukokortikoid topikal, terutama yang bersifat

diflorinasi dapat menyebabkan atrofi kulit, depigmentasi,

teleangiektasis dan fragilitas. Untuk kulit muka dianjurkan

penggunaaan preparat steroid lokal berkekuatan rendah dan tidak

diflorinasi, misalnya hidrokortison. Untuk kulit badan dan lengan

dapat digunakan steroid topikal berkekuatan sedang, misalnya

betametason valerat dan triamsinolon asetonid. Untuk lesi hipertrofik,

misalnya di daerah palmar dan plantar pedis, dapat digunakan

glukokortikoid topikal berkekuatan tinggi, misalnya betametason

dipropionat. Penggunaan krem glukokortikoid berkekuatan tinggi

harus dibatasi selama 2 minggu, untuk kemudian diganti dengan yang

berkekuatan lebih rendah.

Obat-obat antimalaria sangat baik untuk mengatasi lupus

kutaneus, baik lupus kutaneus subakut, maupun lupus diskoid.

Antimalaria mempunyai efek sunsblocking, antiinflamasi dan


32

imunosupresan. Pada penderita yang resisten terhadap antimalaria,

dapat dipertimbangkan pemberikan glukokortikoid sistemik. Dapson

dapat dipertimbangkan pemberiannya pada penderita lupus diskoid,

vaskulitis dan lesi LE berbula. Efek toksik obat ini terhadap sistem

hematopoetik adalah methemoglobinemia, sulfhemoglobinemia, dan

anemia hemolitik, yang kadang-kadang memperburuk ruam LES di

kulit (Lupus Foundation of America 2012; Nadhiroh 2007; Stichweh

& Pascual 2005).

e. Kelelahan dan keluhan sistemik

Kelelahan merupakan keluhan yang sering didapatkan pada

penderita LES, demikian juga penurunan berat badan dan demam.

Kelelahan juga dapat timbul akibat terapi glukokortikoid, sedangkan

penurunan berat badan dan demam dapat juga diakibatkan oleh

pemberian quinakrin. Pada keadaan yang berat dapat menunjukkan

peningkatan aktivitas penyakit LES dan pemberian glukokortikoid

sistemik dapat dipertimbangkan. (Lupus Foundation of America 2012;

Nadhiroh 2007; Stichweh & Pascual 2005).

f. Serositis

Nyeri dada dan nyeri abdomen pada penderita LES dapat

merupakan tanda serositis. Pada beberapa penderita, keadaan ini dapat

diatasi dengan salisilat, obat antiinflamasi non-steroid, antimalaria

atau glukokortikoid dosis rendah (15 mg/hari). Pada keadaan yang

berat, harus diberikan glukokortikoid sistemik untuk mengontrol


33

penyakitnya.

2.2.8 Terapi Agresif

a. Kortikosteroid

Terapi agresif yang dimulai dengan pemberian glukokortikoid dosis

tinggi harus segera dimulai bila timbul manifestasi serius LES dan

mengancam nyawa, misalnya vaskulitis, lupus kutaneus yang berat,

poliarthritis, poliserositis, miokarditis pneumonitis lupus,

glomerulonefritis (bentuk proliferatif), anemia hemolitik,

trombositopenia, sindrom otak organik, defek kognitif yang berat,

mielopati, neuropati perifer dan krisis lupus (demam tinggi, prostrasi).

Dosis glukokortikoid sangat penting diperhatikan dibandingkan jenis

glukokortikoid yang akan diberikan. Walaupun demikian, pemberian

glukokortikoid berefek panjang seperti deksametason, sebaiknya

dihindari. Pemberian prednison lebih banyak disukai, karena lebih

mudah mengatur dosisnya. Pemberian glukokortikoid oral, sebaiknya

diberikan dalam dosis tunggal pada pagi hari. Pada manifestasi minor

LES, seperti arthritis, serositis dan gejala konstitusional, dapat

diberikan prednison 0,5 mg/kgBB/hari, sedangkan pada manifestasi

mayor dan serius dapat diberikan prednison 1-1,5 mg/kgBB/hari.

Pemberian bolus metilprednisolon intravena 1 gram atau 15 mg/kgBB

selama 3 hari dapat dipertimbangkan sebagai pengganti

glukokortikoid oral dosis tinggi, kemudian dilanjutkan dengan

prednison oral 1-1,5 mg/kgBB/ hari.

Respons terapi dapat terlihat sedini mungkin, tetapi dapat juga dalam
34

waktu yang cukup lama, seperti 6-10 minggu. Setelah pemberian

glukokortikoid dosis tinggi selama 6 minggu, maka harus mulai

dilakukan penurunan dosis secara bertahap, dimulai dengan 5-10%

setiap minggu bila tidak timbul eksaserbasi akut. Setelah dosis

prednison mencapai 30 mg/hari, maka penurunan dosis dilakukan 2,5

mg/minggu, dan setelah dosis prednison mencapai 10-15 mg/hari,

penurunan dosis dilakukan 1 mg/minggu. Bila timbul eksaserbasi

akut, dosis prednison dinaikkan sampai ke dosis efektif, kemudian

dicoba diturunkan kembali.

Apabila dalam waktu 4 minggu setelah pemberian glukokortikoid dosis tinggi


tidak menunjukkan perbaikan yang nyata, dipertimbangkan untuk memberikan
imunosupresan lain atau terapi agresif lainnya (Buyon, 2008).
b. Siklofosfamid

Indikasi siklofosfamid pada LES :

 Penderita LES yang membutuhkan steroid dosis

tinggi (steroid sparing agent)

 Penderita LES yang dikontraindikasikan terhadap steroid

dosis tinggi.

 Penderita LES kambuh yang telah diterapi dengan steroid

jangka lama atau berulang

 Glomerulonefritis difus awal

 LES dengan trombositopenia

yang resisten terhadap steroid

 Penurunan laju filtrasi glomerulus atau peningkatan

kreatinin serum tanpa adnya faktor-faktor ekstrarenal lainnya

 LES dengan manifestasi susunan saraf pusat.


35

Bolus siklofosfamid intravena 0,5-1 gr/m2 dalam 150 ml NaCl

0,9% selama 60 menit diikuti dengan pemberian cairan 2-3 liter/24

jam setelah pemberian obat, banyak digunakan secara luas pada terapi

LES. Siklofosfamid diberikan selama 6 bulan dengan interval 1 bulan,

kemudian tiap 3 bulan selama 2 tahun. Selama pemberian

siklofosfamid, dosis steroid diturunkan secara bertahap dengan

memperhatikan aktifitas lupusnya. Pada penderita dengan penurunan

fungsi ginjal sampai 50%, dosis siklofosfamid diturunkan sampai 500-

750 mg/m2.

Setelah pemberian siklofosfamid, jumlah leukosit darah harus

dipantau. Bila jumlah leukosit mencapai 1500/ml, maka dosis

siklofosfamid berikutnya diturunkan 25%. Kegagalan menekan jumlah

leukosit sampai 4000/ml menunjukkan dosis siklofosfamid yang tidak

adekuat sehingga dosisnya harus ditingkatkan 10% pada pemberian

berikutnya.

Toksisitas siklofosfamid meliputi mual dan muntah, alopesia, sistitis hemoragika,


keganasan kulit, penekanan fungsi ovarium dan azoospermia
c. Azatioprin

Azatioprin merupakan analog purin yang dapat digunakan

sebagai alternatif terhadap siklofosfamid dengan dosis 1-3

mg/kgBB/hari dan diberikan secara per oral. Obat ini dapat diberikan

selama 6-12 bulan pada penderita LES; setelah penyakitnya dapat

dikontrol dan dosis steroid sudah seminimal mungkin, maka dosis

azatioprin juga dapat diturunkan perlahan dan dihentikan setelah

penyakitnya betul-betul terkontrol dengan baik.


36

Toksisitas azatioprin meliputi penekanan sistem hemopoetik, peningkatan enzim hati dan
mencetuskan keganasan.
d. Siklosporin

Imunosupresan lain yang dapat digunakan untuk pengobatan

LES adalah Siklosporin dosis rendah (3-6 mg/kgBB/hari). Obat ini

dapat digunakan pada LES baik tanpa manifestasi renal maupun

dengan nefropati membranosa. Selama pemberian harus diperhatikan

tekanan darah penderita dan kadar kreatinin darah. Bila kadar

kreatinin darah meningkat 20% dari kadar kreatinin darah sebelum

pemberian siklosporin, maka dosisnya harus diturunkan.

e. Mofetil-mikofenolat (MMF)

MMF dapat menurunkan aktifitas dan mortalitas penderita LES.

Pada nefritis lupus, MMF memiliki efek yang sebanding dengan

siklofosfamid dalam hal tingkat remisi, kekambuhan dan risiko

infeksi. MMF dapat mempertahankan tingkat remisi nefritis lupus

sebanding dengan siklofosfamid jangka panjang. MMF tidak

berhubungan dengan penekanan sumsum tulang, atau amenorrhea.

Dosis MMF adalah 500 – 1500 mg, 2 kali perhari.

f. Rituximab

Rituximab adalah monoklonal antibodi anti-CD20, yang dapat

digunakan dalam pengobatan penyakit autoimun sistemik, termasuk

LES. Dosis rituximab adalah 1 gram, 2 kali pemberian dengan jarak 2

minggu, dan dapat diulang setiap 6 bulan.

g. Imunoglobulin G IV

Pemberian imunoglobulin intravena juga berguna untuk mengatasi


37

trombositopenia pada LES, dengan dosis 300-400 mg/kg BB/hari,

diberikan selama 5 hari berturut-turut, diikuti dosis pemeliharaan

setiap bulan untuk mencegah kekambuhan. Kontraindikasi mutlak

pemberian imunoglobulin pada pada penderita defisien IgA yang

kadang-kadang ditemukan pada penderita LES.

BAB III

LAPORAN KASUS

KAJIAN ASUHAN KEBIDANAN IBU HAMIL PADA NY. “SW”

G3P2A0H2 USIA KEHAMILAN 13 – 14 MINGGU DI RUANG

POLI KEBIDANAN RSUP DR. M. DJAMIL PADANG

TAHUN 2018

Hari / Tanggal : Selasa/ 10 April 2018

Pukul : 10.00 WIB

No. MR : 00.97.18.34

A. PENGUMPULAN DATA
1. Identitas
38

Nama Istri : Ny. SW Nama Suami : Tn. A

Umur : 30 tahun Umur : 31 tahun

Suku/Kebangsaan : Minang Suku/Kebangsaan : Minang

Agama : Islam Agama : Islam

Pekerjaan : IRT Pekerjaan : Wiraswasta

Pendidikan Terakhir : S1 Pendidikan Terakhir : S1

Alamat : Kuranji Alamat : Kuranji

2. Keluhan Utama :

Ibu memiliki riwayat SLE

3. Riwayat Obstetri

a. Riwayat Menstruasi

Menarche : usia 14 tahun

Siklus/lama : 28 hari /5 hari

Banyaknya : 2-3x ganti pembalut perhari

Warna : merah kehitaman

Sifat darah : encer

Keluhan yang dirasakan : Dismenorhoe tidak ada

HPHT : 05-01-2018

TP : 12-10-2018

b. Riwayat Perkawinan

Status : kawin

Pernikahan ke- :1

c. Riwayat Kehamilan, nifas dan persalinan yang lalu

Ibu multigravida
39

d. Riwayat Kehamilan Sekarang


1) TM I
ANC : 2x ke dokter
Keluhan : mual muntah
Obat-obatan : Fe, vitamin
2) TMII
ANC : 1x ke dokter
Keluhan : mudah lelah
Obat-obatan : vitamin
Imunisasi TT : belum diimunisasi

f. Riwayat Penyakit Sekarang:

Ny. SW mengalami riwayat SLE dan pernah dirawat selama 9 hari di

RSUP Semen Padang.

f. Riwayat Penyakit Keturunan :

Ny. SW tidak mempunyai riwayat penyakit keturunan maupun keturunan

kembar.

g. Pola Kebiasaan Sehari-hari

1) Nutrisi

a) Makan

Frekuensi : 2-3x sehari

Jenis : nasi (1piring sedang, lauk 1 potong, sayur (1 mangkuk

kecil, buah (kadang-kadang)

b) Minum

Frekuensi : 8-9 gelas/ hari

Jenis : air putih, susu

2) Pola Eliminasi : BAB : 1X/hari,

Konsistensi : lunak,

Warna :kekuningan

BAK : 5 X/hari
40

3) Personal Hygiene

Mandi : 2x sehari

Keramas : 1x/ hari

Gosok gigi : 2x/hari

Ganti pakaian dalam : 2x/hari

4) Pola Istirahat

Tidur Siang : 1-2 jam

Tidur Malam : 6-7 jam

5) Hubungan Seksual

Frekuensi : belum ada semenjak diketahui hamil lagi.

Keluhan : tidak ada

6) Olahraga

Jenis :-

Durasi :-

h. Data Psikososial kultural spiritual

Psikologis : Ibu senang dengan kehamilannya sekarang dan cemas

akan penyakit yang diderita ibu.

Sosial : hubungan ibu dengan suami dan keluarga baik. Serta

suami dan keluarga senang dengan kehamilan ibu

Kultural : ibu tidak ada pantangan makanan, tidak meminum jamu

Spiritual : ibu selalu berdoa kepada Allah SWT agar ia dan bayinya

selalu dalam keadaan sehat meskipun ibu memiliki

penyakit SLE.

DATA OBJEKTIF
41

1. Data Umum

a. Kesadaran : Composmentis

b. Tinggi Badan : 156 cm

c. Berat Badan sebelum hamil : 44 kg

d. Berat badan sekarang : 48 kg

e. Tanda-Tanda Vital

 TD : 100/70 mmHg
 Nadi : 89x/menit
 Respirasi : 20 x/menit
 KU Ibu baik

2. Data Khusus

1. Kepala

 Rambut : Hitam, Rontok, tidak berketombe.


 Wajah : tidak terdapat cholasma gravida, tidak oedem, terdapat

ruam pada wajah.


 Mata : Konjungtiva : Tidak Anemis
Sclera : Tidak Ikterik
 Telinga: Bersih, tidak ada pengeluaran
 Hidung : Bersih, Tidak ada polip
 Mulut : Bersih, Tidak ada caries
 Leher : Tidak ada pembengkakan kelenjar tiroid dan limfe
2. Mamae :
 Bentuk : Simetris
 Puting Susu : Menonjol
 Massa dan retraksi : (-)

3. Abdomen

Inspeksi : Bentuk : Globular

Terdapat striae gravidarum dan linea nigra

Bekas luka Operasi : Tidak Ada

Palpasi :

Leopold I : TFU : 4 jari di atas simpisis


42

Kontraksi Uterus :-

Frekuensi :-

Auskultasi DJJ : (+)

Genetalia Luar

Varices : Tidak Ada

Oedema : Tidak Ada

Massa / Kista : Tidak Ada

Pengeluaran pervigam : Tidak Ada

4. Pemeriksaan dalam

Tidak dilakukan

5. Ekstremitas (tangan & kaki)

Kaki : Tidak oedema

Tangan : tidak oedema

6. Data Penunjang (LABORATORIUM)

 Hemoglobin : 9,5 gr/dl

 Protein Urin :-

 Leukosit : 13,360/mm3

 Trombosit : 321,000/mm3

 Retikulosit : 28%

 Basofil : 0 %

 Eosinofil : 1%

 N. Batang :2%

 N. Segmen : 80 %

 Limfosit : 14 %
43

 Monosit :3%

B. INTERPRETASI DATA

Diagnosa : Ny. SW G3P2A0H2 usia kehamilan 13-14 minggu, janin hidup

tunggal intrauterine, ibu dengan SLE.

Masalah : Ibu cemas dengan kondisinya

Kebutuhan :

1) Jelaskan hasil pemeriksaan


2) Berikan suport
3) Berikan penkes nutrisi yang seimbang
4) Kolaborasi dengan dokter SpOG, dokter SpPD

C. Diagnosa/Masalah Potensial :

Ibu : kematian

Janin: prematuritas, malformasi, bayi dengan SLE.

D. Tindakan Segera, Kolaborasi, dan Rujukan

Kolaborasi dengan Spesialis Kandungan, dan spesialis penyakit dalam.

E. Perencanaan

1. Memberitahu Ibu dan keluarga hasil pemeriksaan


2. Memberikan suport kepada ibu serta keluarga
3. Memberikan ibu pendidikan (informasi) tentang makanan

seimbang
4. Kolaborasi dengan spesialis kandungan dan spesialis penyakit

dalam.
F. Implementasi
1. Memberitahukan keluarga hasil pemeriksaan bahwa usia kehamilan

ibu 13-14 minggu, TD = 100/70 mmHg, kondisi janin saat ini baik.
2. Memberikan dukungan mental dan spiritual kepada keluarga ibu

dan keluarga agar senantiasa selalu berdoa untuk kesehatan ibu dan

janin.
44

3. Melakukan kolaborasi dengan spesialis kandungan dan spesialis

penyakit dalam untuk penanganan dan therapi untuk pasien.


G. EVALUASI
1. Ibu dan suami mengerti dengan hasil pemeriksaan
2. Ibu mengerti akan penkes yang diberikan dan akan

mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang dan banyak konsumsi

air putih.
3. Dokter ObGyn menganjurkan agar melakukan kontrol

ulang seminggu lagi yaitu tanggal 19 April 2018 untuk melakukan

konsultasi pada dokter spesialis penyakit dalam.

BAB IV

ANALISA KASUS

Berdasarkan kasus diatas, diketahui bahwa Ny SW usia 30 tahun

dengan diagnosa G3P2A0H2 gravid 13-14 minggu dengan SLE.

A. Diagnosa

Ibu merupakan Pasien rujukan dari RS Semen Padang, dan masuk di

poli kebidanan RSUP DR. M. Djamil, dilakukan pemeriksaan dan

ditetapkan diagnosa bahwa Ny. SW usia 30 tahun G3P2A0H2 Gravid 13-14

minggu dengan SLE. Diagnosa ini ditegakkan berdasarkan hasil

pemeriksaan baik secara anamnesa maupun pemeriksaan fisik serta

pemeriksaan penunjang. Menurut Lupus Eritematosus Sistemik (LES)

adalah penyakit autoimun kronis dengan manifestasi klinik yang luas

meliputi hampir semua organ dan jaringan. Penyebab LES belum dapat

diketahui dengan jelas disertai perjalan penyakit dan prognosis yang

beragam. Penyakit ini terutama menyerang wanita usia produktif dengan

angka kematian cukup tinggi. Faktor genetik, imunologik dan hormonal


45

serta lingkungan diduga berperan dalam patofisiologi LES. Penyakit ini

sering berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun

sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.

b. P

enyebab

SLE

Pada kasus SLE pada Ny.SW faktor risiko yang menyebabkan SLE

belum diketahui jelas namun salah satu faktor risiko terjadi diantaranya :

usia ibu.

Faktor risiko tersebut sesuai dikarenakan, Lupus dapat menyerang pria

dan wanita di semua usia, namun 90% dari orang yang terdiagnosis lupus

adalah wanita, dan usia rentan lupus adalah 15- 44 tahun. 70% kasus lupus

berupa SLE (Systemic Lupus Erythematosus), 10% berupa CLE (Cutaneous

Lupus Erythematosus), 10% berupa drug-induced lupus, dan 5% lainnya

berupa neonatal lupus (S.L.E. Lupus Foundation 2012). Di Indonesia,

estimasi jumlah penderita lupus sekitar 200-300 ribu orang, perbandingan

jumlah penderita lupus pria dan wanita adalah 1:6-10, sehingga lupus sering

disebut penyakit kaum wanita. (Yayasan Lupus Indonesia 2012; Utomo

2012).

c.Penatalaksanaan

Berdasakan kasus SLE pada kehamilan yaitu bidan harus mampu

mengenali, menganamnesa, mengkaji kasus sle pada ibu hamil tersebut.

Mulai dari pemeriksaan Mulai dari pemeriksaan subjektif yaitu keluhan ibu

dan pemeriksaan objektif berupa pengkajian data focus yaitu mulai melihat
46

bagaimana keadaan umum ibu, TTV. Ibu harus mampu mengetahui sle itu

merupakan penyakit jenis apa, serta mengenali gejala-gejala dari penyakit

sle, sehingga bidan mampu memberikan dugaan sementara, dan merujuk

pasien ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap untuk melakukan

pemeriksaan penunjang, serta pemeriksaan yang lebih spesifik, sehingga

pasien mendapatkan pertolongan dan membantu pasien mengatasi

penyakitnya.

Penatalaksanaan di rumah sakit sudah sesuai dengan teori dengan

prinsip penanganan untuk SLE, diantaranya melakukan pemeriksaan fisik

pada pasien, melakukan pemeriksaan lab untuk menegakkan diagnosa,

memebrikan therapy pada pasien sesuai dengan kebutuhan pasien serta tipe

SLE, melakukan pemantauan pada pasien SLE seperti melakukan

pemeriksaan antenatal care secara rutin berdasarkan anjuran dokter.

Hal ini sesuai dengan I Ketut Surya, yang menyatakan bahwa

penatalaksanaan LES pada kehamilan memerlukan pendekatan

mutidisiplin dan koordinasi yang baik serta follow-up yang meliputi

bidang rematologi dan obstetri yang berpengalaman terkait kehamilan

risiko tinggi serta nefrologis terkait gangguan ginjal. Saat kehamilan sudah

dipastikan, pemantuan serta evaluasi basal terkait aktivitas penyakit,

keparahan, dan keterlibatan sistem organ sebaiknya segera

dilaksanakan.31 Kunjungan prenatal dilakukan setiap 4 minggu hingga

usia kehamilan 20 minggu, setiap 2 minggu hingga usia kehamilan 28

minggu, dan setiap minggu hingga persalinan tercapai. Pasien LES yang

hamil bisa mencapai luaran kehamilan yang baik dengan penanganan dan
47

pengobatan lupus yang tepat sebelum maupun selama kehamilan. Pasien

LES yang hamil yang memperoleh pengobatan imunosupresif memerlukan

profilaksis terhadap risiko infeksi serta imunisasi influenza dan vaksin

pneumokokus. ( dr. I Ketut Surya Negara,SpOG(K), MARS, 2014).

BAB V
48

PENUTUP

5.1 Kesimpulan

Systemic Lupus Erythematosus (SLE) adalah penyakit autoimun

bersifat sistemik yang terkait dengan adanya autoantibodi terhadap

komponen inti sel. Manifestasi SLE dapat beragam melibatkan berbagai

organ dan sistem. Manifestasi organ yang beragam dapat terjadi secara

simultan maupun tidak. Gejalanya yang tidak khas seringkali membuat

diagnosis SLE seringkali terlewatkan dari perhatian klinisi. (Buyon, 2008).

Lupus adalah penyakit dimana sistem imun, yang normalnya

memerangi infeksi, mulai menyerang sel sehat dalam tubuh. Fenomena ini

disebut autoimun dan apa yang diserang oleh sistem imun disebut

autoantigen (Laura K. DeLong, MD 2012). (dikutip dari Jurnal Ni Putu

Wulan Purnama Sari, 2012).

Penatalaksanaan dari ibu hamil dengan SLE Salah satu caranya adalah

dengan berperilaku sehat dan mengelola penyakit lupus secara mandiri

melalui tindakan pencegahan paparan faktor pencetus. Untuk itu diperlukan

pengetahuan yang memadai dan sikap yang positif (L.W. Green & Kreuter

1991). (dikutip dari Jurnal Ni Putu Wulan Purnama Sari, 2012).

Pengaturan kehamilan sangat penting pada penderita LES, terutama

penderita dengan nefritis, atau penderita yang mendapat obat-obat yang

merupakan kontraindikasi untuk kehamilan, misalnya antimalaria atau

siklofosfamid. Kehamilan juga dapat mencetuskan eksaserbasi akut LES

dan 23 memiliki risiko tersendiri terhadap fetus. Oleh sebab itu,

pengawasan aktifitas penyakit harus lebih ketat selama kehamilan. Sebelum


49

penderita LES diberi pengobatan, harus diputuskan dulu apakah penderita

tergolong yang memerlukan terapi konservatif, atau imunosupresif yang

agresif. Pada umumnya, penderita LES yang tidak mengancam nyawa dan

tidak berhubungan dengan kerusakan organ, dapat diterapi secara

konservatif. Bila penyakit ini mengancam nyawa dan mengenai organ-organ

mayor, maka dipertimbangkan pemberian terapi agresif yang meliputi

kortikosteroid dosis tinggi dan imunosupresan lainnya. (Wicaksono N.

Utomo, 2012).

Kehamilan pada ibu dengan penyakit Sistemik Lupus

Erithematosus (SLE) sangat berhubungan dengan tingkat kesakitan dan

kematian ibu serta janin. Resiko kematian ibu hamil yang menderita SLE

memiliki dampak 20 kali lebih tinggi karena komplikasi yang disebabkan

oleh preeklamsi, trombosis, infeksi dan kelainan darah (Varghese, Crocker,

Bruce & Tower, 2011).

5.2 Saran

5.2.1 Bagi Keluarga

Pentingnya untuk selalu memberikan suport (dukungan) kepada ibu,

baik setelah persalinan. Memberikan motivasi pada ibu, bahwa ia mampu

menjaga kehamilannya dan selalu mendampingi ibu untuk melakukan

pemeriksaan antenatal care.

5.2.2 Bagi Tenaga Kesehatan

Pentingnya untuk memberikan pendidikan kepada ibu terkhusunya ibu

–ibu hamil agar mempersiapkan proses kehamilan nya baik secara fisik,

psikologis, maupun financial, serta pentingnya untuk melakukan


50

pemeriksaan kehamilan ANC minimal 4 kali, dan lebih untuk ibu yang

mengalami riwayat penyakit, sehingga dapat mendeteksi dini kehamilan

dengan resiko.

Perlu penelitian lebih lanjut mengenai LES (Lupus Eritematosus

Sistemik) dengan waktu penelitian panjang dan sampel penelitian banyak

supaya didapatkan hasil yang bermanfaat bagi dokter dan tenaga

kesehatan lainnya dalam penanganan LES.

Anda mungkin juga menyukai