DAFTAR ISI i
BAB 1 1
Pendahuluan ........................................................................... 1
Definisi .................................................................................... 1
Sinonim ................................................................................... 2
Epidemiologi............................................................................ 2
Etiologi .................................................................................... 3
Diagnosa ................................................................................. 6
Penatalaksanaan .................................................................... 9
Prognosis ................................................................................ 9
BAB 2 10
i
Diagnosa Banding .................... Error! Bookmark not defined.
Daftar Pustaka 10
ii
DAFTAR SINGKATAN
iii
DAFTAR GAMBAR
iv
DAFTAR TABEL
v
BAB 1
TINJAUAN PUSTAKA
Pendahuluan
Infeksi, termasuk penyakit kulit tropikal, merupakan penyebab umum dari
dermatosis pada orang berwisata (travellers)—gigitan serangga, reaksi allergi dan ruam
akibat lainya merupakan diagnoses dermatologis non-infeksius yang paling umum. Dari
infeksi kulit cacing, cutaneous larva migrans (CLM) merupakan kasus yang yang paling
umum dilaporkan pada wisatawan dan menyimbang sekitar 5-25% dari semua penyakit
kulit kelompok ini.1
Cutaneous larva migrans (CLM) adalah suatu kondisi dermatologis yang disebabkan
oleh migrasi larva nematoda hewan, paling sering larva cacing tambang anjing dan
kucing yaitu Ancylostoma braziliense. Cacing tambang anjing dan kucing lain yang biasa-
nya dihubungkan dengan CLM adalah A. caninum, A. ceylanicum dan Uncinaria
stenocephala.
Creeping eruptions, manifestasi klinis CLM, pertama kali dilaporkan terkait dengan
larva A. braziliense oleh Kirby-Smith et al. pada tahun 1926. Meski parasit lainnya bisa
menimbulkan gejala serupa, ciri klinis dan epidemiologi spesifik penyakit yang
disebabkan oleh migrasi larva A. braziliense membedakan etiologi untuk penyakit ini.2
Definisi
Cutaneous larva migrans adalah suatu erupsi kutaneus dengan bentukan khas
(serpiginosa) yang disebabkan oleh penetrasi tidak disengaja dan migrasi dari larva
cacing tambang hewan (animal hookworm) melalui epidermis.3
Secara teknis, CLM merujuk pada sindrom dimana larva nematoda hewan apapun
menginfeksi manusia dan dimana manusia yang terinfeksi merupakan dead-end host.
Nematoda ini termasuk cacing tambang hewan, spesies Gnathostoma, dan agen
filariasis zoonotik termasuk Spirulina X, Pelodera strongyloides, dan spesies zoonotik
Strongyloides. Menurut definisi, sindrom CLM tidak termasuk creeping eruption yang
disebabkan oleh: (1) bentuk non-larva dari parasite (e.g., dracunliasis, loiasis); (2) bentuk
larva dari nematoda manusia seperti S. stercoralis (larva currens); atau (3) bentuk larva
dari trematode seperti Fasciola gigantica.1
1
Sinonim
Creeping eruption, sand worm eruption, Plumber’s itch, Duckhunter’s itch. 4
Epidemiologi
Cutaneous larva migrans berada diurutan kedua dalam infeksi cacing kremi pada
negara berkembang. Prevalensi tinggi pada daerah dengan iklim panas, dimana individu
lebih memilih untuk jalan dengan kaki telanjang (e.g., pantai, komunitas dengan
sosioekonomi rendah) dan terkena kontak dengan feses binatang. 5
Faktor risiko yang diketahui adalah jenis kelamin pria, usia muda, tinggal di rumah
tanpa lantai yang kokoh dan tanpa alas kaki berjalan kaki. Sebuah asosiasi dengan
pendapatan rendah telah dicurigai.6 Predileksi untuk lokasi dari lesi di diringkas dalam
Tabel 1.1.7
2
Etiologi
Cutaneous Larva Migrans paling sering disebabkan oleh cacing tambang hewan,
khusus-nya A. braziliense. Larva cacing tambang penembus kulit lain yang menghasilkan
penyakit seruba termasuk A. caninum, Uncinaria stenocephala (cacing tambang Anjing
Eropa), dan Bunostomum phlebotomum (cacing tambang ternak). A. caninum
menyebabkan eosinofilik enteritis serta penyakit kulit. Kucing dan anjingnya adalah
hospes untuk Ancylostoma ceylanicum dan A. caninum.1
3
Siklus Hidup dan Patogenesis
Cutaneous larva mirgans merupakan infeksi zoonotic dari species cacing tambang
yang tidak memakai manusia sebagai hospes definitive, yaitu umum-nya A. braziliense
dan A. caninum. Hospes definitive normal-nya adalah spesises anjing dan kucing.
Siklus hidup cacing tambang ini berawal dari telur-telur cacing yang dilewatkan di tinja,
dan dalam kondisi yang menguntungkan (kelembaban, kehangatan, keteduhan), larva
menetas dalam 1 sampai 2 hari. Larva rhabditiform yang dilepaskan tumbuh di
tinja/tanah, dan setelah 5 sampai 10 hari mereka menjadi larva filariform (tahap ketiga)
yang infektif. Larva infektif ini dapat bertahan hidup 3 sampai 4 minggu dalam kondisi
lingkungan yang menguntungkan.
Pada kontak dengan inang hewani, larva menembus kulit dan dibawa melalui
pembuluh darah ke jantung dan kemudian ke paru-paru. Mereka menembus ke dalam
alveoli paru, naik pohon bronkus ke faring, dan tertelan. Larva mencapai usus halus, di
mana mereka berada dan dewasa menjadi orang dewasa. Cacing dewasa hidup di lumen
usus halus, di mana mereka menempel pada dinding usus. Beberapa larva ditangkap di
jaringan, dan berfungsi sebagai sumber infeksi untuk anak anjing melalui rute transmeni
(dan mungkin transplasental).
4
Manusia juga dapat terinfeksi saat larva filariform menembus kulit. Dengan sebagian
besar spesies, larva tidak dapat matang lebih jauh di host manusia, dan bermigrasi tanpa
tujuan di dalam epidermis (karena tidak memiliki collagenase untuk menembus
membrana basalis), kadang-kadang sebanyak beberapa sentimeter sehari. Beberapa
larva mungkin bertahan di jaringan yang lebih dalam setelah menyelesaikan migrasi kulit
mereka.8,9
Gejala Klinis
Larva dapat menyebabkan papul dan eritema yang gatal disitus penetrasi dimana
kulit telah terkontak dengan tanah infektif. Lokasi umumnya berada di pedis, manus, dan
daerah gluteus. Larva dapat diam selama berminggu maupun berbulan, atau langsung
mulai merambat dan memproduksi garis dengan lebar 3mm. Garis ini gatal, sedikit
meninggi, berwarna seperti daging atau merah muda, dan membentuk pola berbelit
(serpentine). Larva yang aktif bersamaan dapat berjumlah banyak, dan membentuk jalur
berputar dan berkelok.
Penyakit ini self-limited. Estimasi dari jangka penyakit bervariasi, tergantung oleh
spesies larva yang diobservasi, dan biasa-nya tidak diketahui. Dalam satu studi, 25-33%
dari larva mati dalam waktu 4 minggu, dan pada studi lain (jika diasumsi diakikbatkan
oleh A. braziliense) menyatakan 81% lesi hilang dalam waktu 4 minggu. Beberapa
bertahan hingga beberapa bulan.4
Larva currens dan migratory myasis harus dibedakan, dan didaerah Timur, dibedakan
dari gnathostomiasis. Biopsy dari larva migrans tidak memiliki nilai diagnosis signifikan,
karena larva biasanya sudah maju melampai lesi klinis.4
Diagnosa Banding
Differential diagnosis CLM dapat berupa tinea inflammatoris (dermafitosis), scabies,
myasis, dan infeksi nematoda lain (e.g. stronyloidiasis/larva currens).3
6
distal, dan daerah aspek lateral Kuku e.g. tinea
gluteus telapak. unguium.
Nodula scabies: Rambut/folikel e.g.
daerah genitalia, folliculitis, tinea
pinggang, axillae, capitis.
areolae.
Lesi Lesi serpiginiosa, Lesi berupa Gatal dan kelainan Lesi berupa
tipis, linear, terowongan kulit berupa lesi papula, utrikaria,
meninggi, seperti intraepidermal, yang berbatas papulovesikel pada
terowongan dengan bukit tegas, bagian tepi tempat penetrasi
dengan lebar 2-3 berwarna kulit aktif dan ada larva. Memiliki
mm berisi cairan panjang 0,5-1 central healing. gejala gatal intens
serous. Dapat cm, bebentuk dan transien. Larva
berupa beberapa linear atau bergerak 5-
lesi, tergantung serpigeniosa, 10cm/jam.
jumlah larva. dengan vesikel
Larva dapat atau papul kecil
bergerak pada ujungnya.
beberapa Nodul scabies
millmeter per hari, berdiameter 5-
dan terbatas 20mm, berwarna
beberapa merah
centimeter dalam muda/kecoklatan
diameter. , dengan
permukaan
halus.
Gambar
7
Pada infeksi nematoda lain, larva currens (‘running larva’) dari strongyloidiasis
merupakan differential diagnosis utama. Faktor utama yang membedakan antara kedua
penyakit merupakan kecepatan dimana larva bergerak. Larva currens memiliki kekhasan
karena kecepatan-nya, dimana larva pergerakanya sekitar 0.2 cm/min, dengan lesi
kutaneus yang maju sekitar 5-10cm/jam. Pada CLM, laju gerak larva sekitar 1 cm/jam
dengan lesi kutaneous yang hanya berkembang beberapa millimeter sampai beberapa
centimeter per hari.4
8
Penatalaksanaan
Berdasarkan pedoman Perdoski, tatalaksana CLM meliputi:11
Nonmedikamentosa:
1. Pada tempat yang endemic, disarankan pasien memakai pelindung berupa sepatu
atau sandal
2. Pasien disarankan tidak duduk langsung di atas pasir ataupun yang hanya dialasi
handuk. Sebaik—nya gunakan matras atau kursi.
Medikamentosa:
Penyakit ini self-limiting dan sembuh sendiri setelah 1-3 bulan. Obat-obatan diperlukan
karena rasa gatal yang lama dan berat yang jika digaruk ditakutkan dapat menjadi
superinfeksi.
Sistemik
Topikal
1. Albendazole 10% dioleskan 3 kali sehari selama 7-10 hari
2. Cryotheraphy (meski terkadang disarankan), mengingat lokasi larva (biasanya 1-
2 cm di sekita akhir lesi) tidak diketahui secara pasti dan sensitivitasnya rendah
terhadap suhu kulit dinging (>5 menit bertahan hidup pada -21o C) tidak
dianjurkan.12
Prognosis
Baik jika diobati secara tepat dan teratur.
9
Daftar Pustaka
1. Suh KN, Keystone JS. Helminthic Infections. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest
BA, et al, editors. In: Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine. 8th Ed. Vol.
2. New York: MgGraw Hill; 2012. p. 2544-2562.
2. Montgomery SP. Cutaneous Larva Migrans. In: Magill JA, Ryan ET, Solomon
T, Hill DR, editors. Hunter’s Tropical Medicine and Emerging Infectious
Disease. 9th ed. Saunders; 2012: p. 862-863.
3. Nelson SA, Warschaw KE. Protozoa and Worms. In: Bolognia JL, Jorizzo JL,
Schaffer JV, et al, editors. Dermatology. 3rd ed. Vol 2. Elsevier Limited; 2012:
p. 1402-1421.
4. Downing C, Tyring S. Parasitic Diseases. In: Griffiths C, Barker J, Bleiker T, et
al, editors. Rook’s Textbook of Dermatology. 9th ed. Vol 1. Blackwell Publishing;
2016: 33.15-20.
5. Robles DT. Cutaneous Larva Migrans—Overview. Medscape; 2017. [cited: 7
December 2017].
Available from: https://emedicine.medscape.com/article/1108784-overview
6. Reichert F, Pilger D, Schuster A, et al. Prevalence and Risk Factors of
Hookworm Related Cutaneous Larva Migrans (HrCLM) in a Resource-Poor
Community in Manaus, Brazil. Brazil: PLOS Neglected Tropical Diseases;
2016. [cited: 7 December 2017]. Available from:
http://journals.plos.org/plosntds/article/file?id=10.1371/journal.pntd.0004514&
type=printable
7. Schuster A, Lesshafft H, Reichert F, et al. Hookworm-Related Cutaneous Larva
Migrans in Northern Brazil: Resolution of Clinical Pathology After a Single Dose
of Ivermectin. Oxford University Press; 2013. [cited: 8 December 2017]
Available from: https://academic.oup.com/cid/article/57/8/1155/527991
8. CDC. Parasites – Zoonotic Hookworms. Atlanta: U.S. Department of Health
and Human Services. October 11, 2012. [cited: 4 Desember 2017]. Available
from: https://www.cdc.gov/parasites/zoonotichookworm/biology.html
9. Ma D, Vano-Galvan, S. Creeping Eruption – Cutaneous Larva Migrans. In:
Baden, LR. Imagines in Clinical Medicine. Massachussetts Medical Society.
2016. [cited 11 November 2017]. Available
from:http://www.nejm.org/doi/pdf/10.1056/NEJMicm1509325
10
10. Wolff K, Johnson RA, Saavedra PA. Fitzpatrick’s Color Atlas and Synopsis of
Clinical Dermatology. 7th Ed. New York: McGraw Hill Medical. 2013 p. 606-609;
710-717.
11. Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia. Panduan Layanan
Klinis Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi. Jakarta: PP Perdoski;
2014: 30-31.
12. Sunderkotter C, Stebut EV, Schofer H, et al. S1 guideline diagnosis and
therapy of cutaneous larva migrans (creeping disease). Berlin: John Wiley &
Sons; 2014.
11