i
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
DENGAN GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI
VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN STROKE NON
HEMORAGIK
Karya Tulis Ilmiah ini disusun sebagai salah satu persyaratan menyelesaikan
Program Studi Pendidikan Diploma III Keperawatan
ii
iii
iv
v
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL................................................................................. i
SAMPUL DALAM................................................................................... ii
HALAMAN ORISINALITAS................................................................. iii
HALAMAN PERSETUJUAN.................................................................. iv
HALAMAN PENGESAHAN................................................................... v
DAFTAR ISI............................................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................viii
KATA PENGANTAR.............................................................................. ix
ABSTRAK................................................................................................. xi
ABSTRACT..............................................................................................xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang...................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah................................................................................. 3
C. TujuanPenulisan.................................................................................. 3
D. Manfaat Penulisan................................................................................ 4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Tinjauan Pustaka................................................................................... 5
1. Asuhan keperawatan dalam Hambatan Komunikasi Verbal............ 5
2. Hambatan Komunikasi Verbal Pada Pasien SNH .......................16
BAB III METODE STUDI KASUS
A. Jenis Studi Kasus................................................................................. 22
B. Subyek Studi Kasus.............................................................................. 22
C. Fokus Studi Kasus................................................................................ 22
D. Definisi Operasional............................................................................. 22
E. Instrumen Studi Kasus.......................................................................... 22
F. Metode Pengumpoulan Data.................................................................23
G. Lokasi dan Waktu Studi Kasus............................................................. 24
H. Analisa dan Data Penyajian.................................................................. 24
I. Etika Penelitian Studi kasus..................................................................25
vi
BAB IV HASIL STUDI KASUS DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Studi kasus...................................................................................27
B. Pembahasan ......................................................................................... 40
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan..........................................................................................45
B. Saran ....................................................................................................46
DAFTAR PUSTAKA
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Persetujuan/ Informed Consent
Lampiran 2 Lembar pengkajian
Lampiran 3 Catatan Asuhan Keperawatan
Lampiran 4 A I U E O
Lampiran 5 Lembar konsultasi
viii
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikumWr. Wb
Puji syukurkehadirat Allah S.W.T yang telah melimpah kan
rahmatdankarunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan proposal karya
tulis ilmiah ini dengan judul“Asuhan Keperawatan Pasein Dengan Gangguan
Hambatan Komunikasi Verbal Pada Sistem Persyarafan Stroke Non
Hemoragik”.
Sholawat serta salam tetap tercurahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, sehingga penulis mendapatkan kemudahan dalam
menyelesaikan karya tulis ilmiah ilmiah.
Tujuan dari penulisan proposal karya tulis ilmiah adalah sebagai salah
satu persyaratan menyelesaikan Program Pendidikan Diploma III Keperawatan.
Penyelesaian penulisan proposal karya tulis ilmiah ini penulis banyak
mendapatkan bantuan baik materil maupun moril dari berbagai pihak, untuk itu
penyusun mengucapkan terima kasih kepada:
1. Kedua orang tua Bapak Suyadi Azhar dan Ibu Siti Kholifah yang selalu
memberikan dukungan, kasih sayang, semangat dan perhatian dalam setiap
waktunya.
2. Adikku Restu Maisaroh yang selalu menemani dan memberikan semangat.
3. Teman-temanku yang selalu setia menjadi teman untuk bertukar pikiran dalam
mengerjakan.
4. PodoYuwono S. Kep, Ns, M.Kep. CWCS selaku pembimbing yang telah
dengan sabar membimbing dan memberikan arahan dengan sangat baik.
5. Endah Setianingsih, S.Kep, Ns. M.Kep selaku penguji proposal dan
pembimbing yang telah dengan sabar membimbing dan memberikan arahan
dengan sangat baik.
6. Herniyatun, S.Kep, M.Kep Sp.Mat, selaku Ketua STIKES Muhammadiyah
Gombong.
7. Nurlaila, S.Kep.Ns, M.Kep, selakuKetua Program Studi DIII Keperawatan
STIKES MuhammadiyahGombong dan selaku penguji hasil Karya Tulis
Ilmiah.
ix
8. Ike Mardiati A. M, Kep, Sp, Kep, J. Selaku dosen penguji hasil Karya Tulis
Ilmiah.
9. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu, penulis ucapkan
terima kasih atas bantuan dan dukunganya.
Penulis menyadari bahwa di dalam menyelesaikan proposal karya tulis
ilmiah ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik
dan saran yang membangun untuk kesempurnaan proposal karya tulis ilmiah ini
pada waktu yang akan datang. Harapan penulis semoga proposal karya tulis
ilmiah ini dapat berguna dan bermanfaat bagi penulis maupun bagi pembaca pada
umumnya.
Gombong, Juli 2017
x
Program DIII Keperawatan
Sekolah Tinggi Ilmu Kesehatan Muhammadiyah Gombong
KTI, Juli 2017
Sofana Fairro Fingiyah 1, Podo Yuwono 2
ABSTRAK
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN GANGGUAN
HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN
STROKE NON HEMORAGIK DI RS PKU MUHAMMADIYAH GOMBONG
Latar Belakang: Stroke merupakan kelaian fungsi otak yang timbul secara mendadak
dan terjadi pada siapa saja. Penyakit ini menyebabkan kecacatan berupa kelumpuhan
anggota gerak, gangguan bicara, proses berfikir, dikarenakan gangguan fungsi otak.
Tujuan Penulis: Menjelaskan asuhan keperawatan yang diberikan pada klien dengan
gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non Hemoragik.
Metode: Metode yang digunakan penulis untuk studi kasus adalah metode deskriptif,
Dimana penulis melakukan pengujian secara rinci terhadap dua obyek .
Hasil: Setelah dilakukan asuhan keperawatan didapatkan data-data pasien pelo, sulit
berbicara, bicara tidak jelas, tidak mampu orientasi 3 hal( tempat, waktu, orang). Selain
itu pasien sulit mengungkapkan kata, sulit mempertahankan komunikasi, sulit
mengekspresikan pikiran secara verbal. Salah satu dari pasien hanya mampu
menganggukkan dan menggelengkan kepala. Masalah keperawatan yang muncul adalah
hambatan komunikasi verbal. Rencana asuhan keperawatan untuk meningkatkan
komunikasi verbal adalah dengan cara terapi wicara. Rencana keperawatan tersebut telah
diimplementasikan selama dalam pengelolaan. Evaluasi yang didapatkan pasien Ny. R
belum ada peningkatan komunikasi verbal sedangkan pasien Ny. S mengalami
peningkatan komunikasi verbal.
Kesimpulan: Tindakan asuhan keperawatan terapi wicara dalam meningkatkan
komunikasi dengan latihan secara intensif dapat meningkatkan neuralplasticity,
reorganisasi peta kortikel dan meningkatkan fungsi motorik.
Kata kunci: stroke non hemoragik, hambatan komunikasi verbal, terapi wicara
1. Mahasiswa
2. Dosen
xi
DIII Program of Nursing Department
Muhammadiyah Health Science Institute of Gombong
Scientific Paper, July 2017
Sofana Fairro Fingiyah 1, Podo Yuwono 2
ABSTRACT
Background: Stroke is an abnormality of the brain function arising suddenly and may
happen to anyone. This can cause disability, such as paralysis limb, speech disorder,
thinking process caused by impaired brain function.
Objective: Explaining the nursing care for patients with verbal communication barries of
non-hemorrhage stroke nerve system.
Method: method that used by writer for the case of study is using descriptive method,
where the writer is doing a detailed research of two objects.
Result: After conducting nursing care, the writer found out that the patients were oblique,
hard talking, unclear speaking, unable to orient three things (place, time and person).
Besides, it was hard for them to express words. to maintain the communication, and to
utter their thoughts verbally. One of them was just able to nod and shake her head. The
emerging nursing problem was verbal communication barriers. The nursing care plan to
improve their verbal communicatoin was done by applying speech therapy. The plan had
been implemented during the management. The evaluation showed that there was no
verbal communication improvement of the first patient (Mrs. R), but the second patient
(Mrs. S) got an increase in verbal communication.
Conclusion: The applying speech theraphy for improving verbal communication done by
practising intensively can improve neuralplasticity, reorganixation of the crotical map,
and motor function.
1. Student
2. Lecturer
xii
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Stroke merupakan satu dari sekian banyak masalah kesehatan yang
paling serius dalam kehidupan modern saat ini. Stroke masih merupakan
masalah medis yang menjadi masalah yang serius dan mengancam jiwa
nomor 2 di Eropa serta no 3 di Amerika Serikat. Sebanyak 10% penderita
stroke mengalami kelemahan anggota gerak yang memerlukan perawatan
(Batticaca, 2008). Stroke merupakan kelaian fungsi otak yang timbul secara
mendadak dan terjadi pada siapa saja. Penyakit ini menyebabkan kecacatan
berupa kelumpuhan anggota gerak, gangguan bicara atau afasia, proses
berfikir, dikarenakan sebagai gangguan fungsi otak (Muttaqin, 2008).
WHO mamprediksikan bahwa angka kematian stroke akan
meningkat dengan kematian akibat penyakit jantung koroner, kanker. Kurang
lebih 6 juta pada tahun 2010 menjadi 8 juta di tahun 2030 (WHO, 2008)
Amerika Serikat mencatat hampir setiap 45 detik terjadi kasus stroke, dan
setiap 4 detik terjadi kematian akibat sroke. Tahun 2010 Amerika Serikat
telah menghabiskan 73,7 juta dollar untuk membiayai tanggungan medis dan
rehabilitsi akibat stroke. Yayasan stroke Indonesia (Yastroki) menjelaskan,
angka kejadian stroke menurut data rumah sakit 63,52 per 100.000 penduduk
usia diatas 65 tahun sedangkan jumlah penderita yang meninggal dunia lebih
dari 125.000 jiwa (Ratna, 2011).
Indonesia menduduki peringkat pertama di Asia. Jumlah angka
kematian yang disebabkan oleh stroke menduduki uratan kedua pada usia
diatas 60 tahun dan urutan kelima pada usai 15-59 tahun ( Yastroki, 2012 ).
(Robino, 2015) mengatakan bahwa di Kalimantan Barat merupakan salah satu
provinsi di Indonesia dengan penderita stroke cukup tinggi. Penderitanya
melebihi prevalensi stroke di daerah perkotaan secara nasional. Singkawang
merupakan kota di Kalimantan Barat dengan prevalensi stroke yang terus
meningkat dari tahun ke tahun. Berdasarkan penelitian di lima rumah sakit
1
2
2. Tujuan khusus
a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
b. Penulis mampu merumuskan masalah diagnosa keperawatan pada
pasien dengan gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem
persyarafan Stroke Non Hemoragik.
c. Penulis mampu menyusun rencana asuhan keperawatan pada pasien
dengan gangguan hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan
Stroke Non Hemoragik.
d. Penulis mampu melakukan implementasi pada pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
e. Penulis mampu mengevaluasi kondisi pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
D. MANFAAT STUDI KASUS
Manfaat studi kasus memuat uraian tentang implikasi temuan studi kasus
yang bersifat praktis terutama bagi:
a. Masyarakat dan keluarga mampu merawat pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
b. Menambah keluasan ilmu dan tekhnologi terapan bidang keperawatan
dalam pemenuhan kebutuhan komunikasi pada pasien dengan gangguan
hambatan komunikasi verbal pada sistem persyarafan Stroke Non
Hemoragik.
c. Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,
khususnya studi kasus tentang pelaksanaan pemenuhan kebutuhan
komunikasi pada pasien dengan gangguan hambatan komunikasi verbal
pada sistem persyarafan Stroke Non Hemoragik.
DAFTAR PUSTAKA
Maryam, dkk, 2008, Mengenal Usia Lanjut dan Perawatannya, Jakarta: Salemba
Medika.
Mubarak, Lilis Indrawati, Joko Susanto ( 2015 ), Buku Ajar Ilmu Keperawatan
Dasar, Jakarta: Salemba Medika.
Ratna. 2010. Penyakit pemicu Stroke: Dilengkapi dengan Posyandu Lansia dan
Posbindu PTM, Penerbit Nurha Medika, Yogyakarta.
Yanti, D. (2008). Penatalaksanaan Terapi Wicara Pada Tuna Wicara Pada Tuna
Rungu. Diakses di http://akrab.or.id/?p=57. Pada tanggal 24-05-2017
jam 15:09.
INFORMED CONSENT
(Persetujuan Menjadi Partisipan)
Saya yang bertanda tangan dibawah ini menyatakan bahwa saya telah
mendapat penjelasan secara rinci dan telah mengerti mengenai penelitian yang
akan dilakukan oleh Sofana Fairro Fingiyah dengan judul “ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN DENGAN GANGGUAN HAMBATAN
KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PESYARAFAN STROKE NON
HEMORAGIK”.
Saya memutuskan setuju untuk ikut berpartisipasi pada penelitian ini
secara sukarela tanpa paksaan. Bila selama penelitian ini saya menginginkan
mengundurkan diri, maka saya dapat mengundurkan diri sewaktu – waktu tanpa
sanksi apapun.
..................................2017
Yang memberikan persetujuan
Saksi
............................. .............................
..................................2017
Peneliti
A. BIODATA
1. Identitas Pasien
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :
Alamat :
Pekerjaan :
Tanggal Masuk RS :
Tanggal Pengkajian :
Diagnosa Medis :
No Rekam Medis :
2. Identitas Penanggung Jawab
Nama :
Umur :
Jenis Kelamin :
Agama :
Alamat :
Pekerjaan :
Hub. dengan pasien :
B. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama
G. EVALUASI KEPERAWATAN
NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. R DENGAN
GANGGUAN HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM
PERSYARAFAN STROKE NON HEMORAGIK
B. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama
Keluarga pasien mengatakan pasien anggota tubuh sebelah kanan lemah
saat digerakkan, bicara tidak jelas, pelo.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong
bersama keluarga pasien pada tanggal 6 juli 2017 jam 08.30 WIB dengan
keluhan sesak nafas sejak 3 hari yang lalu, sesaknya tidak dipengaruhi
oleh aktifitas. Batuk ± 7 hari dahak berwarna putih, muntah (-), demam
kadang-kadang, tekanan darah: 110/70 mmHg, N: 100x/m, RR: 29x/m, S:
36,50 C, SPO2: 98%, GCS=11 E:4 V:1 M: 6, pupil 3/3 mm, reflek cahaya
+/+. Pasien sekarang dirawat di ruang Barokah dan mendapatkan terapi
Inj ranitidin 3x50mg, Inj Ondansentron 3x5 mg, Inj Ceftriaxone 2x1gr.
Riwayat penyakit dahulu Pasien sudah menderita stroke ± 2 tahun dan
Diabetus melitus sejak tahun 2016 dan sudah pernah menjalani operasi
ulkus ± 6 bulan yang lalu pada jari jari kaki kanannya, sekarang lukanya
ada lagi pada bagian telapak kaki..
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan pasien sudah menderita stroke ± 2 tahun dan
Diabetus melitus sejak tahun 2016 dan sudah pernah menjalani operasi
ulkus ± 6 bulan yang lalu pada jari jari kaki kanannya, sekarang lukanya
ada lagi pada bagian telapak kaki
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Keluarga pasien mengatakan keluarga tidak ada yang menderita sakit
yang sama seperti pasien, orang tua pasien meninggal pada usia lanjut
bukan karena sakit.
5. Pengkajian pola fungsional
a) Oksigenasi
Sebelum Sakit: keluarga pasien mengatakan pasien sejak dirawat di
rumah sakit sering mengalami masalah pada pernafasannya.
Saat saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan
normal, tetapi tetap menggunakan oksigen 3lpm, tidak ada pernafasan
cuping hidung
b) Nutrisi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien makan 3X sehari dengan
porsi sedikit nasi, lauk dan sayur dengan mandiri setelah terkena
stroke kebutuhan makannya dibantu oleh keluarganya.
Saat Dikaji : Keluarga pasien mengatakan pasien menggunakan
selang NGT karena pasien mengalami gangguan dalam menelan
sehari pasien diberi makan oleh perawat ± 500 ml.
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengambil
makanan dan memasukan kemulut, Keluarga pasien mengatakan
pasien ada kendala saat mengunyah, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu menghabiskan makanan, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu makan dalam jumlah banyak,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu membuka mulut
secara lebar, dan Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
menyiapkan makanan untuk dimakan.
c) Eliminasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien biasanya BAB dibantu
pake pispot dua hari sekali.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien semenjak masuk rumah sakit
tanggal 06 Juli 2017 pasien belum BAB dengan konsistensi lembek,
berwarna kuning.BAK.
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien biasanya pasien BAK 5-
8x sehari, pada malam hari bisa mencapai 4x.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan sekarang pasien menggunakan
selang kateter ukuran: 16 produksi urin: 250 cc/ 7 jam
d) Istirahat dan tidur
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidur 4-5 jam dalam
sehari, tidak ada gangguan tidur. Kadang tidur siang 1-2 jam
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien susah tidur paling hanya 1-2
jam dalam sehari tetapi pada siang hari pasien cenderung tidur bisa 4-
7 jam.
e) Aktivitas
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mampu beraktifitas
sendiri tanpa bantuan keluarga dan alat bantu, semenjak stroke pasien
di tempat tidur maupun yang lain harus dibantu oleh keluarga selama
sakit pasien hanya berbaring di tempat tidur.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak mampu
beraktivitas, pasien hanya tiduran saja di tempat tidur, melakukkan
aktivitas dibantu keluarga dan perawat.
f) Berpakaian
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien berpakaian sendiri
tanpa bantuan, semenjak terkena stroke semua kebutuhan
berpakain dibantu oleh keluarga.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
mengancingkan pakaian seperti biasa, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu mengambil pakaian di lemari,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menggunakan
sepatu, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
menggunakan kaos kaki, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu melepaskan atribut pakaian , Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu melepas sepatu, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu melepas kaos kaki, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak memperhatikan penampilannya,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menggunakan
pakaian bagian bawah, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu menggunakan resleting,
g) Menjaga Suhu Tubuh
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan jika suhu dingin pasien
menggunakan baju tebal atau sweater, jika panas pasien
menggunakan baju yang tipis dapat menyerap keringat
Saat Dikaji : keluarga mengatakan jika suhu panas pasien tidak
menggunakan selimut dan jika suhu dingin memakai selimut
h) Personal Hygiene
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat melakukan
personal hygiene secara mandiri, mandi sehari 2x, pasien gosok
gigi setiap mandi, semenjak terkena stroke pasien mandi dengan
diseka oleh keluarganya satu hari sekali.
Saat Dikaji : Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
ke kamar mandi, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu mengeringkan tubuh menggunakan handuk seperti biasa,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengambil
perlengkapan mandi secara mandiri, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu mengatur air mandi, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu membasuh tubuh, Keluarga
pasien mengatakan pasien tidak mampu melakukan perawatan
mulut dan giginya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu naik ke toilet, dan Keluarga pasien mengatakan pasien
tidak mampu berdiri di toilet.
i) Aman dan Nyaman ( Menghindar dari Bahaya )
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien merasa aman dan
nyaman sendiri bila dekat dengan anak-anak dan cucunya, pasien
tidak merasa nyaman jika sendirian dirumah.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak nyaman karena
lumpuh di ekstermitas kanan, Keluarga pasien mengatakan pasien
belum bisa sepenuhnya menerima keadaanya.
j) Komunikasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat berkomunikasi
dengan baik, berbicara sehari-hari dengan menggunakan bahasa
jawa.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien pelo, pasien sulit
berbicara, pasien bicara tidak jelas, pasien tidak mampu orientasi
3 hal( tempat, waktu, orang), pasien sulit mengungkapkan kata,
pasien sulit mempertahankan komunikasi, pasien sulit
mengekspresikan pikiran secara verbal, pasien hanya mampu
menganggukkan kepala dan menggelengkan kepala.
k) Spiritual
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien beragama islam,
pasien melakukan sholat 5 waktu di masjid dan terkadang
mengikuti pengajian.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak melakukan
sholat 5 waktu setelah masuk RS.
l) Rekreasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidak pernah
berekreasi, pasien hanya menonton tv sebagai hiburan dikala
sedang istirahat
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien hanya berbaring
ditempat tidur
m) Belajar
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mengatakan bisa
mendapatkan informasi melalui televisi.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien mengatakan telah
mengerti tentang penyakitnya.
n) Bekerja
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien sudah tidak bekeja.
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien hanya berbaring
diatas temapt tidur.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran: Composmentis GCS=11 E:4 V:1 M: 6
Suara Bicara: Sulit bicara, bicaranya tidak jelas.
TTV : TD: 110/70 mmHg, N: 100x/m, RR: 24x/m, S:36,5 0C,
Kepala : Bentuk mecochepal, tidak terdapat nyeri tekan.
b. Rambut: kering, kotor, beruban.
c. Telinga: bentuk normal, tidak terdapat penumpukan serumen
d. Mata : Konjungtiva anemis, Sclera anikterik, Pupil isokor,
Rangsang Cahaya: (+).
e. Mulut: Mencong ke sisi kanan, mukosa bibir kering, gigi sedikit kotor.
f. Leher: tidak terdapat pembesran kelenjar thyroid.
g. Dada
Paru – Paru:
Inspeksi: bentuk simetris, tidak terdapat lesi , tidak ada retraksi
dinding dada
Palpasi: Vokal fremitus simetris
Perkusi: sonor
Auskultasi: Suara nafas terdengar ronchi
Jantung:
Inspeksi: tidak ada lesi dan benjolan, IC tak tampak
Palpasi: tidak ada pembesaran jantung, IC teraba di IC V 2cm
midclavicula sinistra
Perkusi: redup
Auskultasi: reguler
h. Abdomen
Inspeksi: tidak ada jejas
Auskultasi: bising usus 18x/menit
Palpasi: tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan
Perkusi: timpani
i. Genetalia: terlihat kotor, memakai selang kateter ukuran:16.
j. Pemeriksaan Integumen
Kulit: Pucat, turgor kulit jelek
k. Ekstermitas: Kelumpuhan di ekstermitas kanan
7. Pemeriksaan neurologi
Terdapat gangguan nervus cranialis VII ( Facialis ) dan XII (
Hypoglossus ) central
8. Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental : CM
Fungsi intelektual : tidak mampu orientasi waktu, tempat, orang
Kemampuan bahasa : afasia berat
9. Pemeriksaan Motorik
Ekstermitas dekstra : 0 (tidak mampu sama sekali melakukan kontraksi)
Ekstermitas sinistra : 4 (kekuatan sedang)
Pemeriksaan Sensorik
Ekstermitas dekstra : terjadi numbless (mati rasa)
Ekstermitas sinistra : normal
Pemeriksaan Reflex
Ekstermitas dekstra : 0 (tidak ada refleks)
Ekstermitas sinistra : 2+ (normal)
10. Hasil Pengkajian Khusus
11. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 06 juli 2017 jam 09.27 WIB
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 11.6 Mg/dl 11.7-15.5
leukosit/AL 3.38 /ul 3.6-11
Eritrosit 8.9 Juta/L 3.8-5.2
Hematokrit 28.1 Mg/dl 35-47
Kimia klinik
MCV 83.6 Fl 80-100
MCH 26.5 Pg 26-34
MCHC 31.8 g/dl 32-36
Trombosit 563 150-440
Gula sewaktu 105 70-105
S:
- Melibatkan keluarga
O: Keluarga
dalam memahami
membantu
informasi dari atau ke
memahami
pasien
informasi dari atau
ke pasien
S:
- Melatih pasien O: Pasien sudah
berbicara secara belum mampu
mandiri di mulai diajak untuk
dengan terapi A, I, U, berlatih
E, O
S:
- Mendengarkan dengan
O: Melakukan
penuh perhatian apa
Komunikasi sesuai
yang diucapkan pasien
kebutuhan pasien
S:
- Membantu memenuhi
O: Segala
kebutuhn ADLs pasien
kebutuhan pasien
(memberikan makan
dibantu oleh
lewat NGT)
keluarga dan
perawat
S:
- Mengajarkan ROM O: anggota tubuh
pasif yang semula
sangan kaku
sedikit lebih lemas
I, II, - Mengobservasi tanda- S:
III, tanda vital O: TD: 140/90
IV mmhg, N:78x/m,
RR: 16x/m, S:
36,50c
- Melibatkan keluarga S:
dalam memahami O: keluarga
informasi dari atau ke membantu dalam
pasien proses
penyembuhan
- Melatih pasien S:
berbicara secara O: Pasien belum
mandiri di mulai mampu untuk
dengan terapi A, I, U, belajar terapi A, I,
E, O U, E, O, pasien
hanya mampu
menganggukan dan
mengglengkan
kepala.
- Mendengarkan dengan S:
penuh perhatian apa O: melakukan
yang diucapkan pasien komunikasi sesuai
dengan kebutuhan
pasien
- Membantu memenuhi S:
kebutuhn ADLs pasien O: memenuhi
(memberikan makan kebutuhan pasien
lewat NGT) seperti makan,
mandi
- Mengajarkan ROM S:
pasif O: pasien belum
ada peningkatan
dalam aktifitas
fisik
- Melatih pasien S:
berbicara secara O: Pasien belum
mandiri di mulai bisa mengikuti
dengan terapi A, I, U, perintah apa yang
E, O diajarkan oleh
perawat, pasien
baru mampu
menganggukan dan
menggelengkan
kepala.
- Memberikan ROM S:
pasif O: belum ada
peningkatan dalam
aktifitas fisik.
- Mengobservasi tanda- S:
tanda vital O: TD: 140/90
mmHg, N: 78 x/m,
RR: 18 x/m, S:
36,5 0C
G.EVALUASI KEPERAWATAN
NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF
1. 09 juli 2017 S: Sofana
O: Pasien belum dapat menirukan apa yang fairro
diajarkan oleh perawat. fingiyah
A: Masalah hambatan komunikasi verbal
belum teratasi
Indikator 1 2 3 4 5
Menggunakan 2 3
bahasa lisan
Menggunkan foto 2 3
dan gambar
Menggunakan 2 4
bahasa isyarat
P: lanjutkan intervensi
- Speach leangguge theraphy
09 juli 2017 S: Sofana
O: Anggota tunuh pasien masih terlihat kaku fairro
saat dibantu untuk digerakkan. fingiyah
A: Masalah hambatan mobilitas fisik belum
teratasi
indikator 1 2 3 4 5
- Meningkat dalam 2 3
aktifitas fisik
- Mengerti tujuan 2 3
dari peninggkatan
mobilitas
- Memverbalisasikan 2 3
perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemamuan
berpindah
- Memperagakan 2 3
penggunaan alat
bantu untuk
mobilisasi
P: Lanjutkan intervensi
- ROM pasif
- Konsuktasikan dengan terapi fisik
09 juli 2017 S:- Sofana
O: TD: 140/90 mmHg fairro
N: 78x/m fingiyah
RR:18x/m
S:36,50C
SPO2:100%
A: Masalah risiko ketidakefektifan perfusi
jaringan otak belum teraatasi
Indikator 1 2 3 4 5
- Nyeri kepala 2 3
berkurang
- Berfungsinya 2 3
saraf dengan
baik
- TTV dalam 2 4
batas normal
P: Lanjutkan intervensi
- Monitor tingkat kesadaran
- Monitor TTV
- Monitor TIK
ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN Ny. S DENGAN GANGGUAN
HAMBATAN KOMUNIKASI VERBAL PADA SISTEM PERSYARAFAN
STROKE NON HEMORAGIK
B. PENGKAJIAN
1. Keluhan Utama
Keluarga pasien mengatakan pasien anggota tubuh sebelah kiri lemah saat
digerakkan, bicara tidak jelas, pelo.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Rumah Sakit PKU Muhammadiyah Gombong bersama
keluarga pasien. Keluarga pasien mengatakan bahwa 2 jam sebelum dibawa
ke rumah sakit pasien jatuh ketika mau menuju kamar mandi, setelah jatuh
tiba-tiba Ny.S sulit bicara, bicaranya tidak jelas, bahkan tidak mampu
berkomunikasi. Badan pasien mengalami kekakuan ketika digerakkan oleh
keluarga pasien, terutama bagian badan yang kiri. Wajah pasien tampak
kaku terutama bagian mulutnya mencong ke sisi kanan. Keluarga pasien
mengatakan bahwa pasien mempunyai riwayat Hipertensi dan Diabetus
Melitus.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
Keluarga pasien mengatakan pasien belum pernah mengalami hal yang
sama, hanya saja pasien mempunyai riwayat Hipertensi dan Diabetus
Melitus.
4. Riwayat Penyakit Keluarga
Belum ada keluarga yang mengalami hal yang sama dengan pasien.
5. Pengkajian pola fungsional
a) Oksigenasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan
normal, tanpa menggunakan alat bantu pernafasan, tidak ada nafas
cuping hidung
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien dapat bernafas dengan normal,
tetapi tetap menggunakan oksigen 3lpm, tidak ada nafas cuping hidung
b) Nutrisi
1. Inteks Makanan
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien makan 3X sehari dengan
nasi, lauk dan sayur dengan mandiri.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien makan 3x sehari dari
RS hanya menghabiskan ¼ porsi. Keluarga pasien mengatakan pasien
tidak mampu mengambil makanan dan memasukan kemulut,
Keluarga pasien mengatakan pasien ada kendala saat mengunyah,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu menghabiskan
makanan, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu makan
dalam jumlah banyak, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak
mampu membuka mulut secara lebar, dan Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu menyiapkan makanan untuk
dimakan.
2. Inteks Cairan
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien minum 6-7 gelas per
hari air putih , kadang kopi dan teh manis.
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
mengambil gelas, keluarga mengatakan pasien minum 2-3 gelas per
hari air putih / dengan minuman yang rendah gula.
c) Eliminasi
1. BAB
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien BAB 1x sehari dengan
konsistensi lembek, berwarna kuning.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien belum BAB selama di RS.
2. BAK
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien BAK 5-6 X sehari
semalam dengan warna kuning jernih pada malam hari bisa BAK 3-4
kali.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien menggunakan selang kateter
ukuran 16 untuk BAKnya 650cc sehari dengan warna kuning jernih.
d) Istirahat dan tidur
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidur 7-8 jam dalam sehari,
tidak ada gangguan tidur. Kadang tidur siang 1-2 jam
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien susah tidur paling hanya 1-2
jam dalam sehari.
e) Aktivitas
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mampu beraktifitas sendiri
tanpa bantuan keluarga dan alat bantu
Saat Dikaji : keluarga mengatakan pasien tidak mampu
beraktivitas, pasien hanya tiduran saja di tempat tidur, melakukkan
aktivitas dibantu keluarga dan perawat.
f) Berpakaian
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien berpakaian sendiri tanpa
bantuan
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
mengancingkan pakaian seperti biasa, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu mengambil pakaian di lemari, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu menggunakan sepatu, Keluarga pasien
mengatakan pasien tidak mampu menggunakan kaos kaki, Keluarga
pasien mengatakan pasien tidak mampu melepaskan atribut pakaian ,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melepas sepatu,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melepas kaos kaki,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak memperhatikan
penampilannya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
menggunakan pakaian bagian bawah, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu menggunakan resleting,
g) Menjaga Suhu Tubuh
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan jika suhu dingin pasien
menggunakan baju tebal atau sweater, jika panas pasien menggunakan
baju yang tipis dapat menyerap keringat
Saat Dikaji: keluarga mengatakan jika suhu panas pasien tidak
menggunakan selimut dan jika suhu dingin memakai selimut
h) Personal Hygiene
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat melakukan personal
hygiene secara mandiri, mandi sehari 2x, pasien gosok gigi setiap mandi
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu ke kamar
mandi, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengeringkan
tubuh menggunakan handuk seperti biasa, Keluarga pasien mengatakan
pasien tidak mampu mengambil perlengkapan mandi secara mandiri,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu mengatur air mandi,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu membasuh tubuh,
Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu melakukan perawatan
mulut dan giginya, Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
naik ke toilet, dan Keluarga pasien mengatakan pasien tidak mampu
berdiri di toilet.
i) Aman dan Nyaman ( Menghindar dari Bahaya )
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien merasa aman dan nyaman
sendiri bila dekat dengan anak-anak dan cucunya, pasien tidak merasa
nyaman jika sendirian dirumah
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak nyaman karena lumpuh di
ekstermitas kiri, Keluarga pasien mengatakan saat kejadian pasien
gelisah
j) Komunikasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien dapat berkomunikasi dengan
baik, berbicara sehari-hari dengan menggunakan bahasa jawa
Saat Dikaji: Keluarga pasien mengatakan pasien sulit bicara, Keluarga
pasien mengatakan pasien bicara tidak jelas.
k) Spiritual
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien beragama islam, pasien
melakukan sholat 5 waktu di masjid dan terkadang mengikuti pengajian
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien tidak melakukan sholat 5 waktu
setelah masuk RS
l) Rekreasi
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien tidak pernah berekreasi,
pasien hanya menonton tv sebagai hiburan dikala sedang istirahat
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien hanya berbaring ditempat tidur
m)Belajar
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien mengatakan bisa
mendapatkan informasi melalui televisi.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien mengatakan telah mengerti
tentang penyakitnya.
n) Bekerja
Sebelum Sakit: keluarga mengatakan pasien sudah tidak bekeja.
Saat Dikaji: keluarga mengatakan pasien hanya berbaring diatas temapt
tidur.
6. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Kesadaran: Sopor, GCS( E4, V2, M3 )
Suara Bicara : Sulit bicara, bicaranya tidak jelas.
TTV : TD :163/76 mmHg, N :85x/menit S: 36˚C, RR:
16x/menit
b. Kepala: Bentuk mecochepal, terdapat nyeri tekan karena ada abses.
c. Rambut : kering, kotor
d. Telinga : bentuk normal, tidak terdapat penumpukan serumen
e. Mata
Konjungtiva : anemis
Sclera : anikterik
Pupil : isokor
Rangsang Cahaya: (+)
f. Mulut : Mencong ke sisi kanan, mukosa bibir kering, gigi
sedikit kotor
g. Leher : tidak terdapat pembesran kelenjar thyroid.
h. Dada
Paru – Paru :
Inspeksi : bentuk simetris, tidak terdapat lesi , tidak ada retraksi
dinding dada
Palpasi : Vokal fremitus simetris
Perkusi : sonor
Auskultasi: Suara nafas terdengar ronchi
Jantung :
Inspeksi : tidak ada lesi dan benjolan, IC tak tampak
Palpasi : tidak ada pembesaran jantung, IC teraba di IC V 2cm
midclavicula sinistra
Perkusi : redup
Auskultasi: reguler
i. Abdomen
Inspeksi : cekung, tidak ada jejas
Auskultasi : bising usus 18x/menit
Palpasi : tidak teraba massa, tidak ada nyeri tekan
Perkusi : timpani
j. Genetalia : terlihat kotor, memakai selang kateter ukuran:16
k. Pemeriksaan Integumen
Kulit : Pucat, turgor kulit jelek
l. Ekstermitas : Kelumpuhan di ekstermitas kiri
7. Pemeriksaan neurologi
Terdapat gangguan nervus cranialis VII ( Facialis ) dan XII ( Hypoglossus )
central
8. Pemeriksaan fungsi serebral
Status mental : CM
Fungsi intelektual : tidak mampu orientasi waktu, tempat, orang
Kemampuan bahasa : afasia ringan
9. Pemeriksaan Motorik
Ekstermitas dekstra : 4 (kekuatan sedang)
Ekstermitas sinistra : 0 (tidak mampu sama sekali melakukan kontraksi)
Pemeriksaan Sensorik
Ekstermitas dekstra : normal
Ekstermitas sinistra : terjadi numbless (mati rasa)
Pemeriksaan Reflex
Ekstermitas dekstra : 2+ (normal)
Ekstermitas sinistra : 0 (tidak ada refleks)
10. Hasil Pengkajian Khusus
11. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan laboratorium tanggal 09 juli 2017 jam 09.20 wib
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai Normal
Hemoglobin 12, 1 Mg/dl 11.7-15.5
leukosit/AL 9.37 /ul 3.6-11
Eritrosit 4.14 Juta/L 3.8-5.2
Hematokrit 37.0 Mg/dl 35-47
Kimia klinik
MCV 89.4 Fl 80-100
MCH 29.2 Pg 26-34
MCHC 32.7 g/dl 32-36
Trombosit 369 150-440
Gula sewaktu 275 70-105
12. Terapi
Tanggal 09 juli 2017
IVFD RL 500 cc/24 jam
Ceftriaxone 2x1g
Citicolin 2x500g
Ranitidin 2x50mg
Mecobalamin 2x250 mg
Amlodipin 1x10 mg
CPG 1X75mg
Edosterol 3x30mg
C. ANALISA DATA
No Hari / Data Fokus Problem Etiologi
Tanggal
2 Jum’at 07 DS: Hambatan Perubahan
juli 2017 - Keluarga pasien Komunikasi Sistem Syaraf
Jam : 10.15 mengatakan pasien Verbal (00051) Pusat
WIB sulit bicara,
- Keluarga pasien
mengatakan pasien
bicara tidak jelas,
DO:
- Pasien terlihat sulit
bicara,
- Pasien sulit
mengungkapkan kata
- Pasien sulit
mempertahankan
komunikasi
- Pasien pelo
- Pasien sulit
mengekspresikan
pikiran secara verbal
- Ekstermitas:
kelumpuhan di
ekstermitas kiri : Kelumpuhan di ekstermitas kanan
- Motorik
Ekstermitas dekstra :
4 (kekuatan sedang)
Ekstermitas sinistra :
0 (tidak mampu
samasekali melakukan
kontraksi)
- Sensorik
ekstermitas dekstra :
normal Reflex
Ekstermitas sinistra :
terjadi numbless (mati
rasa
Ekstermitas dekstra :
2+(normal)
Ekstermitas sinistra :
0 (tidak ada refleks)
3. 09 juli DS: Hambatan Mobilitas Neuromuskular
2017 - Keluarga mengatakan Fisik ( 00085)
E. INTERVENSI
N DX Tujuan (NOC) NIC(intervensi)
o Keperawatan
1. Jum’at 09 Juli Setelah dilakukan tindakan keperawatan 1. Libatkan keluarga
2017 jam selama 3x7 jam hambatan komunikasi untuk membantu
15.00 WIB verbal dapat teratasi dengan kriteria memahami atau
hasil: memahamkan
Indikator 1 2 3 4 5 informasi dari
- Menggunakan 2 4 atau ke pasien
bahasa yang Rasionalnya
tertulis. keluarga
- Menggunakan 2 4
berpartisipasi
bahasa lisan
dalam proses
- Menggunakan 2 5
penyembuhan.
foto dan
2. Dengarkan setiap
gambar
ucapan pasien
- Menggunakan 2 5
bahasa isyarat dengan penuh
- Menggunakan 2 5 perhatian
bahasa non rasionalnya
verbal mengurangi
- Mengarahkan 2 5 kecemasan dan
pesan pada kebingungan saat
penerima berkomunikasi.
yang tepat 3. Gunakan kata-
kata yang
sederhana dan
pendek dalam
komunikasi
dengan pasien.
rasionalnya
memenuhi
kebutuhan pasien
saat
berkomunikasi.
4. Dorong pasien
untuk mengulang
kata rasionalnya
memberikan
semangat pada
pasien agar sering
melakukan
komunikasi.
Berikan arahan
atau perintah
sederhana setiap
berinteraksi
dengan pasien
rasionalnya
mengurangi
kebingungan saat
berkomunikasi.
5. Programkan
speech language
teraphy
rasionalnya
melatih pasien
belajar berbicara
secara mandiri
baik dan benar.
Buat kartu
dengan gambar-
gambar atau kata-
kata ungkapan
yang bisa
digunakan,
misalnya :
pindahkan kaki
saya, ambilkan
minuman saya
rasionalnya
memberikan
kemudahan buat
pasien untuk
berkomunikasi.
6. Lakukan speech
language setiap
interaksi dengan
pasien
rasionalnya
mengurangi
kebingungaan
pasien saat
berkomuniksi.
7. Jaga lingkungan
yang terstruktur
dan pertahankan
rutinitas pasien
(misalnya,
menjamin daftar
harian yang
konsisten,
menyediakan
pengingat dengan
sering, dan
menyediakan
kalender serta
tanda-tanda lain
yang ada di
lingkungan).
8. Sesuaiakan gaya
komunikasi untuk
memenuhi
kebutuhan pasien
(misalnya berdiri
didepan pasien
saat
bicara,mendengar
kan dengan penuh
perhatian,
menyampaikan
satu ide atau
pemikiran pada
satu waktu, bicara
pelan untuk
menghindari
berteriak,
gunakan
komunikasi
tertulis, atau
bantuan keluarga
dalam memenuhi
pembicaraan
pasien).
F.IMPLEMENTASI KEPERAWATAN
Tanggal/jam DX Implementasi Respon Paraf
09-07-2017 I, II, - Memonitor tingkat S: Sofana
III, kesadaran O: Kesadaran fairro
IV pasien fingiyah
composmentis,
GCS= 11 E:4 V:2
M:6
- Mengobservasi tanda- S:
tanda vital O: TD:163/76
mmHg, N: 85x/m,
RR:17 x/m, S: 36
0
C.
- Menganjurkan pada S:
keluarga untuk O: Keluarganya
membatasi pengunjung Menyetujuinya
- Memposisikan pasien
posisi head up
S:
O: Pasien posisi
head up
- Melibatkan keluarga
S:
dalam memahami
O: Keluarga
informasi dari atau ke
membantu
pasien
memahami
informasi dari atau
ke pasien
- Membantu memenuhi
kebutuhn ADLs pasien S:
- Melibatkan keluarga S:
dalam memahami O: keluarga
informasi dari atau ke membantu dalam
pasien proses
penyembuhan
- Melatih pasien berbicara S:
secara mandiri di mulai O: Pasien sudah
dengan terapi A, I, U, E, mampu untuk
O belajar terapi A, I,
U, E, O, pasien
sudah sampai
menyebutkan satu
kata.
- Mendengarkan dengan S:
penuh perhatian apa O: melakukan
yang diucapkan pasien komunikasi sesuai
dengan kebutuhan
pasien
- Membantu memenuhi S:
kebutuhn ADLs pasien O: memenuhi
(memberikan makan kebutuhan pasien
lewat NGT) seperti makan,
mandi
- Mengajarkan ROM pasif S:
O: pasien belum ada
peningkatan dalam
aktifitas fisik
- Melatih pasien berbicara S:
secara mandiri di mulai O: Pasien sudah
dengan terapi A, I, U, E, bisa mengikuti
O perintah apa yang
diajarkan oleh
perawat, seperti
menyebutkan kata
sesuai huruf
awalannya yang
ditunjuk oleh
perawat.
- Memberikan ROM pasif S:
O: belum ada
peningkatan dalam
aktifitas fisik.
- Mengobservasi tanda-
tanda vital
S:
O: TD: 165/90
mmHg, N: 78 x/m,
RR: 18 x/m, S: 36,5
0
C
G.EVALUASI KEPERAWATAN
NO Hari/tanggal DX EVALUASI PARAF
1. 11 juli 2017 S: Sofana
O: Pasien belum dapat menirukan apa yang fairro
diajarkan oleh perawat. fingiyah
A: Masalah hambatan komunikasi verbal
belum teratasi
Indikator 1 2 3 4 5
Menggunakan 2 3
bahasa yang
tertulis
Menggunakan 2 3
bahasa lisan
Menggunkan foto 2 3
dan gambar
Menggunakan 2 4
bahasa isyarat
Menggunakan 2 3
bahasa non verbal
Mengarahkan 2 3
pesan pada
penerima yang
tepat
P: lanjutkan intervensi
- Speach leangguge theraphy
11 juli 2017 S: Sofana
O: Anggota tunuh pasien masih terlihat kaku fairro
saat dibantu untuk digerakkan. fingiyah
A: Masalah hambatan mobilitas fisik belum
teratasi
indikator 1 2 3 4 5
- Meningkat dalam 2 3
aktifitas fisik
- Mengerti tujuan 2 3
dari peninggkatan
mobilitas
- Memverbalisasikan 2 3
perasaan dalam
meningkatkan
kekuatan dan
kemamuan
berpindah
- Memperagakan 2 3
penggunaan alat
bantu untuk
mobilisasi
P: Lanjutkan intervensi
- ROM pasif
- Konsuktasikan dengan terapi fisik
11 juli 2017 S:- Sofana
O: Pasien memgatakan masih pusing, fairro
kepalanya masih terasa berat fingiyahs
TD: 145/50 mmHg
N: 78x/m
RR:18x/m
S:36,50C
SPO2:100%
A: Masalah risiko ketidakefektifan perfusi
jaringan otak belum teraatasi
Indikator 1 2 3 4 5
- Nyeri kepala 2 3
berkurang
- Berfungsinya 2 3
saraf dengan
baik
- TTV dalam 2 4
batas normal
P: Lanjutkan intervensi
- Monitor tingkat kesadaran
- Monitor TTV
- Monitor TIK
JURNAL PSIKOLOGI
VOLUME 37, NO. 1, JUNI 2010: 34 – 49
Studi Metaanalisis terhadap Intensitas Terapi
Pada Pemulihan Bahasa Afasia
Musdalifah Dachrud 1
Fakultas Tarbiyah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Manado
Abstract
It has been speculated that conflicting results demonstrated across poststroke or brain
damage aphasia therapy studies might be related to differences in intensity of therapy provided
across studies. This study provides a meta analitic review of the role intensity of aphasia
therapy on aphasia recovery when the findings aggregated across studies. The aim of the study
is to investigate the relationship between intensity of aphasia therapy and aphasia recovery. It
was found that after sampling error correction was r=0.201. These finding indicates that
intensity of therapy aphasia have roles in recovery. Changes in mean scores from each study
were recorded. Intensity of therapy was recorded in terms of length of therapy and hours of
therapy provided per week. This study conclusion intense therapy over a short amount of time
can improve outcomes of speech and language therapy for aphasia.
Keywords: cerebrovascular accident, aphasia, therapy, treatment outcome
1
The Agency for Health Care Policy and Definisi lain mengungkapkan afasia
Research Post‐Stroke Rehabilitation Clinical dicirikan sebagai permasalahan bahasa dan
Practice Guidelines mendefinisikan afasia cognitive communication yang berhubungan
sebagai hilangnya kemampuan untuk dengan kerusakan otak lainnya seperti
berkomunikasi dengan lisan, isyarat, dementia dan traumatic brain injury (Orange
maupun tertulis atau ketidakmampuan & Kertesz, 1998). Bagaimanapun, penje‐
untuk memahami komunikasi tersebut atau lasan terhadap afasia bukan sederhana
hilangnya kemampuan berbahasa semata‐mata sebagai kekacauan berbahasa,
(Gresham et al., 1995). melainkan sebagai suatu kesatuan klinis
Darley (1982) mengemukakan bahwa yang kompleks.
afasia biasanya melukiskan suatu Secara klinis Kertezs (1979) meng‐
kerusakan atau pelemahan bahasa akibat uraikan afasia sebagai bagian dari neurology
terjadinya cedera otak pada area dominan di mana gangguan terjadi pada pusat
bahasa cerebral hemisphere. Afasia dapat bahasa ditandai oleh paraphasias, kesu‐
terjadi mengikuti stroke dan traumatic brain karan menemukan kata‐kata, pemahaman
injury, dapat pula dihubungkan dengan yang berbeda dan berubah lemah.
penyakit yang mempengaruhi unsur dan Disamping itu berkaitan pula dengan
fungsi otak (Nadeau, Rothi, & Crosson, gangguan membaca dan menulis yang
2000) lazim seperti dysarthria, konstruksi non‐
verbal, kesulitan menyelesaikan masalah
1 Korespondensi mengenai artikel ini dapat dilaku‐ serta kelemahan dalam memberi dan
kan dengan menghubungi: iffah_dach@yahoo.com
34
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
merespon melalui isyarat (impairment of yang lebih luas tentang media dan alat
gesture). bantu komunikasi (Bakheit et al., 2007).
Agar para penderita afasia dapat Pemulihan berbahasa afasia sangat
memperoleh kembali bahasanya, maka ditentukan oleh efektivitas treatment yang
ditempuh berbagai perlakuan (treatment), diterapkan. Salah satunya penilaiannya
seperti rehabilitasi, training, dan terapi. adalah pada intensitas treatment. Intensitas
Treatment dan prosedur treatment didefini‐ treatment dalam studi ini digambarkan
sikan sebagai suatu hal yang perlu sebagai dalam terminologi jam terapi dalam
prasyarat jawaban bersifat percobaan. periode belajar. Sebuah penelitian yang
Treatment yang didasarkan pada prosedur dilakukan Greener, Enderby, & Whurr
pembiasaan, latihan dan target pencapaian (2001) menyatakan bahwa saat ini treatment
waktu pada umumnya tergambar dengan yang dilakukan pada pasien penderita
baik dan menjadi hal menarik serta dapat afasia di rumah sakit UK terdiri dari dua
menjadi model bagi para perancang terapi sesi setiap minggu masing‐masing satu jam
bicara dan bahasa pada afasia agar lebih yang dinamai terapi standar. Sedangkan
efektif, efisien dan manjur (Siguroardottir terapi intensif adalah terapi yang diberikan
& Sighvatsson, 2006). Beberapa di antara dalam lima jam tiap sesi per minggu,
perlakuan tersebut adalah terapi melalui sebagaimana direkomendasikan pada
Speech Language Therapy (SLT), Melody penelitian‐penelitian sebelumnya dalam
Intonation Therapy (MIT), Semantic and jangka waktu terapi (Brindley, Copeland,
Phonological Treatment, Word Treatment, Demain, & Martin, 1989). Optimalisasi
Constraint‐Induced Aphasia Therapy (CIAT) treatment diberikan dalam dua belas ming‐
Treatment berupa terapi yang diberikan gu bersamaan dengan periode kesembuhan
pada pasien penderita gangguan komuni‐ maksimal dari stroke (Wade, Legh‐Smith,
kasi untuk memberikan kemampuan & Hewer, 1987). Studi ini untuk meneliti
berkomunikasi baik secara lisan, tulisan tingkat efficacy pada treatment terapi bicara
maupun isyarat (Bakheit et al., 2007). dan bahasa pada penderita afasia yang
Target pelatihan dalam terapi adalah hasil‐hasilnya banyak yang bertentangan.
peningkatan dalam pengungkapan dan Penjelasan terhadap heterogen pene‐
pemahaman di mana keduanya dalam muan pada studi‐studi yang telah
wujud percakapan atau bahasa, baik secara dilakukan sebelumnya dapat dilihat pada
lisan maupun tulisan secara bersamaan perbedaan intensitas terapi (Brindley et al.,
untuk meningkatkan kualitas hidup sehari‐ 1989; Poeck, Huber, & Williams, 1989).
hari. Tugas‐tugas yang diberikan dalam Telah tercatat bahwa beberapa kegagalan
pelatihan bicara dan bahasa bermacam‐ untuk mengidentifikasi manfaat yang
macam (Berthier, 2005) seperti pemilihan konsisten dari terapi dapat terjadi berkaitan
gambar atau objek, pemberian nama pada dengan intensitas terapi bahasa dan bicara
objek, menggambarkan dan mengenali yang diterapkan rendah yang dimasukkan
asosiasi antar materi, memudahkan meng‐ dalam studi‐studi yang negatif, sedangkan
ungkapkan pendapat atau perasaan dam intensitas terapi yang lebih tinggi berada
peningkatan keterampilan yang bersifat dalam studi‐studi positif (Teasell, Doherty,
percakapan. Pasien yang diterapi juga Speechley, Foley, & Bhogal, 2002).
diarahkan untuk menggunakan isyarat Robey & Schultz (1998) mengajukan
atau tanda‐tanda yang lain dari komunikasi model klinis dalam treatment afasia dengan
non‐verbal, termasuk di dalamnya cakupan uji coba yang dikontrol dengan random
JURNAL PSIKOLOGI 35
DACHRUD
untuk tujuan efektivitas intervensi. Gam‐ dasarnya sudah efektif (Whurr, Lorch,&
baran prosedur dan peningkatannya dapat Nye, 1992; Robey, 1994) walaupun
prediksi disesuaikan dengan pasien afasia, beberapa treatment itu hanya efektif pada
dilakukan dalam 3 tahap uji coba. pasien spesifik (Enderby, 1996).
Beberapa kasus tunggal dan studi Penelitian Wertz et al. (1986) menyim‐
kelompok kecil telah dilakukan berkaitan pulkan bahwa treatment klinis pada pasien
dengan treatment fonologi dan semantik. afasia selama 12 minggu dan treatment yang
Treatment berkaitan dengan fonologi terba‐ tertunda hingga 24 minggu tidak menun‐
tas dan hanya berlangsung singkat saat jukkan perbaikan akhir pada pasien afasia.
materi dilatihkan, sedangkan treatment Hartman & Landau (1987) memban‐
semantik ditemukan peningkatan yang dingkan terapi bicara konvensional dengan
menyeluruh dan bersifat menetap terapi konseling dukungan emosional yang
(Howard, Patterson, Franklin, Orchard‐ diberikan dua kali seminggu dalam 6 bulan
Lisle, & Morton, 1985). dan hasilnya terapi konvensional tidak
Treatment semantik sesuai dengan lebih efektif dari terapi dukungan
pemrosesan bahasa yang berpengaruh da‐ emosional.
lam pemahaman berbicara dan berbahasa, Dengan demikian, terapi yang intensif
baik tulisan maupun percakapan. Ukuran menjadi hal yang penting dalam usaha
hasil yang meningkat adalah pencapaian pemulihkan bahasa afasia. Terapi afasia
kemampuan memberikan diskripsi dapat meningkatkan pemulihan bicara
penamaan suatu tugas. setahun setelah munculnya afasia pada
Proses pemulihan bicara dan bahasa beberapa pasien (Brindley et al., 1989).
secara spontan pada afasia menjadi pertim‐ Dengan terapi intensif, 78% dari pasien
bangan mengapa intervensi secara spesifik yang ditritmen 4 bulan setelah permulaan
berpengaruh pada performance afasia. dan 46% pada pasien yang diberi treatment
Intervensi dengan cara yang berbeda ditu‐ 4‐12 bulan meningkat di luar perkiraan
jukan untuk efektivitas intervensi yang dengan pemulihan spontan (Poeck et al.,
didasarkan pada prinsip neuropsyichological, 1989).
dan ini masih sangat kurang (Byng & Black, Sasaran dari studi yang akan dila‐
1995; Mitchum, 1994). kukan ini adalah meneliti hubungan antara
Howard et al. (1985) mengemukakan intensitas terapi afasia dengan pemulihan
bahwa penerimaan sebuah riset yang afasia. Studi pada treatment berupa terapi
diakui membutuhkan spesifikasi treatment bahasa dan bicara afasia ini dilakukan
yang bertujuan untuk mengembalikan untuk mengukur tingkat intensitas perla‐
kemampuan sebagaimana spesifikasi kuan dan untuk menentukan apakah
mengenai prosedur treatment. Masih sedikit intensitas terapi berhubungan dengan
penelitian dangan uji coba yang terspesifi‐ hasil‐hasilnya. Dengan menggunakan
kasi (Prins, Schoonen, & Vermeulen, 1989). studi‐studi terapi afasia yang telah diterbit‐
Cochrane menyimpulkan dalam tinjauan kan, studi ini berusaha untuk mengkuan‐
ulang akan ketidakmampuan statistik pada tifikasikan intensitas perlakuan dan menen‐
hampir semua uji coba, ini berarti tukan apakah intensitas berhubungan
pertanyaan tentang efektivitas tritmen pada dengan hasil akhir.
afasia masih terbuka. Treatment pada
36 JURNAL PSIKOLOGI
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 37
DACHRUD
Tabel 1
Karakteristik Jurnal yang Akan Dimetakan
No
Peneliti tahun N Intensitas tritmen Pemulihan Bahasa
Study
1 Wambaugh & Ferguson 2007 1 12 sesi 3 minggu Kata kerja & kata
benda
2 Breinstein et al 2004 2 5 sesi jam per hari Leksikal
3 Reymer et al 2006 2 3‐4 sesi 2 fase Kata benda & kata
kerja
4 Racette et al 2006 8 4 sesi 2 jam durasi fleksibel Kata‐kata
5 Hebert & Racette 2003 1 2 sesi 39 bulan Kata‐kata
6 Meinzer et al 2005 27 30 jam 2 minggu Kata kata dan
tulisan
7 Pulverlmuller 2001 17 3‐4 jam per hari 10 hari Kata kata
8 Bakheit et al. 1 2007 116 2 ‐ 5 jam 12 minggu Kata‐kata
Bakheit et al. 2 2007 116 2 ‐5 jan 24 minggu Kata‐kata
9 Doesborgh et al 2004 35 1,5‐3 jam per minggu 2&3 sesi Semantik
10 Gaiefsky 1 2003 5 3 fase 10 sesi 4 minggu Kata‐kata & kalimat
Gaiefsky 2 2003 5 3 fase 10 sesi 4 minggu Kata‐kata & kalimat
Gaiefsky 3 2003 5 3 fase 10 sesi 4 minggu Kata‐kata & kalimat
Gaiefsky 4 2003 5 3 fase 10 sesi 4 minggu Kata‐kata & kalimat
Gaiefsky 5 2003 5 3 fase 10 sesi 4 minggu Kata‐kata & kalimat
kasi sehari‐hari, yang melibatkan anggota kan suatu unsur tambahan yang berharga.
keluarga (CIAT Plus). Pengukuran dalam Intensitas ini efektif dan sukses digunakan
standarized neurolinguistik testing dan peni‐ pada rehabilitasi pasien afasia kronis
laian didasarkan pada kualitas dari jumlah apalagi didesain dalam waktu yang singkat
komunikasi sehari‐hari. Hasil menunjuk‐ membuatnya menarik bagi pelayanan jasa.
kan fungsi bahasa meningkat dengan Pulvermuller et al. (2006) meneliti
signifikan setelah pelatihan untuk kedua pasien afasia kronis yang dibagi secara acak
kelompok dan kestabilan tetap. Setelah dalam sebuah kelompok untuk menerima
hingga 6 bulan berikut analisis kasus terapi konvensional dan Contraid Induced
tunggal menunjukkan peningkatan secara (CI), sebuah teknik pengobatan baru yang
signifikan pada 85% pasien tersebut. Pasien menuntut kerja keras dalam praktek yang
yang disertai keluarga dinilai dan jumlah singkat pada hari yang berturut‐turut.
komunikasinya sebagai peningkatan sete‐ Terapi Afasia CI direalisasikan dalam suatu
lah terapi. Peningkatan ini lebih pada lingkungan terapi komunikatif bagi pasien
pronounce (pelafalan) pasien pada kelom‐ yang terhambat secara sistematis dalam
pok CIAT Plus dalam keluarganya. praktik berbicara karena mengalami kesu‐
Konfirmasi hasil menunjukkan bahwa studi litan. Kedua kelompok pasien menerima
pelatihan bahasa yang intens dalam waktu perlakuan yang sama (30‐35 jam) dalam
yang pendek didasarkan pada prinsip sepuluh hari latihan praktek berbahasa,
belajar dapat mendorong ke arah pening‐ untuk kelompok CI terapi (minimal 3 jam
katan permanen dan substansial pada per hari; 10 pasien) atau pada periode yang
fungsi bahasa afasia kronis. Pada fungsi lebih panjang, 4 minggu untuk kelompok
bahasa afasia kronis penggunaan teman terapi konvensional (7 pasien). Terapi
atau keluarga dalam pelatihan menunjuk‐ Afasia CI mendorong pentingnya pening‐
38 JURNAL PSIKOLOGI
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 39
DACHRUD
dengan koor mungkin lebih diterima atau asumsi bahwa anak‐anak memperoleh
lebih sesuai dengan satu penghubung vocal‐ kata‐kata baru hingga mengeksposnya
auditory. Dengan demikian, bernyanyi yang tanpa perlu untuk diberi umpan balik yang
dikaitkan dengan koor menunjukkan tegas dari caregivers (keluarga). Dalam
makna yang efektif pada terapi bicara. terapi afasia, umpan balik kepada pasien
Hebert, Racette, Gagnon, & Peretz amat penting menjadi pertimbangan
(2003) menginvestigasi produksi ucapan walaupun data empiris pada dasarnya
pada nyanyian dan bicara pada seorang menunjukkan pembelajaran dengan umpan
pasien afasia non‐fluent, yaitu C.C. yang balik secara langsung masih kurang. Studi
mengalami afasia ekspresif setelah otak ini menguji orang dewasa sehat dengan
kirinya mengalami stroke tetapi memori pasien afasia kronis untuk mendapatkan
dan pengertian bahasanya masih relatif perbendaharaan kata (leksikal) dari fre‐
terpelihara. Eksperimen pertama, C.C. kuensi intensitas yang ditegaskan sendiri.
mengulang‐ulangi kutipan lagu yang Penelitian ini membandingkan ting‐
umum telah dikenal dalam empat kondisi katan tahap belajar dengan “frekuensi
yang berbeda, berkaitan dengan lirik ekspose diri”, (kondisi tanpa umpan balik
percakapan, lirik lagu yang asli dengan n=19 orang dewasa sehat, 2 pasien dengan
melodi, lirik lagu yang baru tetapi afasia Broca dan Wernicke secara beru‐
melodinya telah umum dikenal, dan lagu rutan) di mana kondisi yang pokok dengan
dengan melodi netral dengan satu suku umpan balik langsung (n=19). Prinsip
kata netral “la”. Eksperimen kedua, belajarnya adalah penilaian ketelitian
mengulangi kutipan nyanyian baru dalam memasangkan yang “benar” sesuai kata
tiga kondisi yang berbeda; berkaitan dan gambar lebih tinggi dibandingkan
dengan lirik percakapan, lirik lagu, dan dengan yang “salah” pasang. Pada kondisi
lagu dengan melodi dua suku kata”to‐la”. umpan balik, umpan balik secara langsung
Jumlah rata‐rata kata yang diproduksi memberikan ketepatan pada masing‐
dalam bentuk percakapan dan nyanyian masing pilihan yang disajikan. Hasil pene‐
pada kondisi yang berbeda tidak berbeda litian menunjukkan dua kelompok yang
secara signifikan dalam eksperimen mana‐ sehat sukses memperoleh kata‐kata.
pun. Tercatat jumlah rata‐rata kata yang Umpan balik mendorong pada suatu
diproduksi tidak berbeda dalam kondisi percepatan (akselerasi) pembelajaran awal
manapun pada lagu “to‐la” dan kondisi tetapi tidak meningkat secara laten untuk
lagu apapun, tetapi tidak lebih tinggi mencapai puncak atau ingatan jangka
dibandingkan memproduksi kata‐kata, hal panjang tentang pengetahuan yang berhu‐
ini menunjukkan adanya suatu pemisahan bungan dengan leksikal. Penemuan ini
antara C.C. dalam produksi verbal dengan menunjukkan frekuensi yang tinggi pada
bakat musik. Penemuan ini tidak mendu‐ ekspose interaktif adalah mekanisme
kung pernyataan bahwa bernyanyi dapat belajar kata yang kuat pada orang dewasa
membantu produksi kata‐kata pada pasien dan umpan balik yang tidak rumit. Bukti
afasia non‐fluent. Konsisten dengan gagasan nyata lebih lanjut dari pelatihan yang
bahwa produksi verbal, apakah itu perca‐ sukses adalah pada dua pasien afasia kro‐
kapan atau nyanyian, adalah hasil dari nis tanpa umpan balik langsung. Kesim‐
mekanisme operasi yang sama. pulan dalam penemuan ini menunjukkan
Breitenstein, Kamping, Jansen, Scho‐ bahwa kata yang dipelajari kembali dan
mascher, & Knecht (2004) berangkat dari diulang‐ulang pada afasia dapat berman‐
40 JURNAL PSIKOLOGI
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 41
DACHRUD
dengan NHS pada minggu ke‐12 (P=0.002) broca. Satu pasien afasia menunjukkan
dan minggu ke‐24 (P=0.01). Studi ini penurunan aktivitas fungsional pada area
menyimpulkan bahawa terapi intensif broca. Sementara satu pasien secara signi‐
bahasa dan bicara tidak meningkatkan fikan tidak menunjukkan aktivitas fung‐
perubahan bahasa yang signifikan diban‐ sional pada area berbahasa (broca).
dingkan dengan standar terapi. Adanya
peningkatan terapi pada afasia setidaknya Analisis Data
pada kelompok NHS.
Hunter & Schmidt (1990) mengemu‐
Gaiefsky (2003) meneliti 5 pasien afasia kakan bahwa dalam metaanalisis dilakukan
Broca dengan rancangan treatment reha‐ beberapa langkah di antaranya menghitung
bilitasi untuk meningkatkan produksi koreksi kesalahan sampel. Data yang dite‐
bahasa yang dimulai dengan prosedur mukan menunjukkan hasil statistik yang
perekrutan yang benar melalui Functional beragam, baik dari perbedaan maupun
Magnetic Resonance Imaging (FMRI). korelasional yaitu F, X², t, d, dan r. Selan‐
Treatment diberikan dalam empat fase, jutnya hasil statistik yang diperoleh dari
masing‐masing sepuluh sesi dengan durasi studi primer dilakukan transformasi nilai F,
wakru empat minggu. Hasil menunjukkan X², t, d atau r (Hunter & Schmidt, 1990).
bahwa tiga pasien secara signifikan menun‐ Hasil dari transformasi tersebut dijadikan
jukkan aktivitas fungsional dalam area
Tabel 2
Deskripsi Karakteristik Studi Metaanalisis Mengenai Intensitas Tritmen dan Efeknya pada
Pemulihan Bahasa
Peneliti & Intensitas Pemulihan Hasil
No N Tipe sampel
Tahun Tritmen bahasa studi
1 Wambaugh & 1 Afasia anomic 40‐60 menit per sesi selama Kata kerja & +
Ferguson, 2007 3 minggu dengan 12 sesi kata benda
2 Breitenstein et al. 2 Afasia kronis broca & 5 sesi pd 1‐5 hari per sesi Leksikal +
2004 wernicke dgn 1‐6 jam per hari
3 Reymer et al 2006 2 Afasia fluent & non‐ Tiap hari 3‐4 sesi dalam 2 Kata benda & +
fluent fase kata kerja
4 Racette et al 2006 8 Afasia non‐fluent 4 sesi dalam 2 jam dgn Kata‐kata ‐
durasi fleksibel
5 Hebert & Racette 1 Afasia non‐fluent 2 sesi dalam 39 bulan Kata‐kata ‐
2003 (bulan ke 6 & 33)
6 Meinzer et al. 27 Afasia kronis broca, 30 jam selama 2 minggu & 3 Kata kata +
2005 wernicke, anomic & jam per hari dan tulisan
global
7 Pulverlmuller 17 Afasia kronis 3‐4 jam per hari selama 10 Kata kata +
hari
8 Doesborgh et al. 58 Afasia wernicke, broca, 1,5‐3 jam per minggu 2 atau Semantik +
2004 anomic 3 sesi dan fonologi
9 Bakheit et al. 116 2 & 5 jam selama 12 minggu Kata‐kata +
2007
10 Gaiefsky, 2003 5 Afasia non‐fluent 3 fase masing‐masing 10 Kata‐kata & +
sesi 4 minggu kalimat
42 JURNAL PSIKOLOGI
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
JURNAL PSIKOLOGI 43
DACHRUD
Tabel 4
Studi‐studi yang Dianalisis
No Total jam Hasil
Peneliti N R Waktu terapi
Study terapi studi
1 Racette et al 2006 8 0.03 4 sesi 2 jam Fleksibel ‐
2 Meinzer et al. 2005 27 0.3477 10 hari 30 jam +
3 Pulverlmuller 17 0.5204 10 hari 40 jam +
4 Bakheit et al. 2007‐1 116 0.0083 12 minggu 360 jam +
5 Bakheit et al. 2007‐2 116 0.021 12 minggu 360 jam +
6 Doesborgh et al. 2004‐1 23 0.58 12 minggu 600 jam +
7 Doesborgh et al. 2004‐2 23 0.34 12 minggu 600 jam +
8 Doesborgh et al. 2004‐3 23 0.04 12 minggu 600 jam +
9 Doesborgh et al. 2004‐4 23 0.24 12 minggu 600 jam +
10 Doesborgh et al. 2004‐5 23 0.40 12 minggu 600 jam +
11 Doesborgh et al. 2004‐6 23 0.16 12 minggu 600 jam +
12 Doesborgh et al. 2004‐7 23 0.58 12 minggu 600 jam +
13 Doesborgh et al. 2004‐8 23 0.15 12 minggu 600 jam +
14 Gaiefsky, 2003‐1 5 0.98 14 minggu 300 jam +
15 Gaiefsky, 2003‐2 5 0.985 14 minggu 300jam +
16 Gaiefsky, 2003‐3 5 0 ‐ ‐ ‐
17 Gaiefsky, 2003‐4 5 0.918 14 minggu 300 jam +
Studi yang dilakukan Wambaugh & besarnya persentasi varians yang disebab‐
Ferguson, Racette et al., Raymer et al., dan kan kesalahan pengambilan sampel, yaitu
Hebert tidak lagi diikutkan dalam analisis sebesar 5.20%. Ini menunjukkan bahwa bias
karena jumlah subjeknya hanya dua orang, kesalahan karena kekeliruan dalam
sementara satu dari lima studi yang pengambilan sampel besar atau berada di
dilakukan Megan tidak dianalisis karena atas 5%. Variansi yang besar ini menun‐
nilai X²=0.00 sehingga tidak dapat ditrans‐ jukkan bahwa variansi nilai yang disebab‐
formasi. kan oleh kesalahan pengambilan sampel
Berdasarkan pada studi meta analisis besar. Hal ini mengindikasikan bahwa
ditemukan bahwa korelasi populasi setelah kemungkinan bias yang disebabkan oleh
dikoreksi didapatkan sebesar ř 0.201917, kesalahan pengambilan sampel termasuk
dengan varians korelasinya (σr²) sebesar besar.
0.063807 dan standar deviasi sebesar 0.2526. Hasil metaanalisis diperoleh ř 0.201
Mengacu pada interval kepercayaan dan berada dalam area penerimaan 95%
sebesar 95%, batas penerimaannya antara (‐0.29318 < ř < 0.697014) bahwa intensitas
‐0.029318 < ř < 0.697014; dengan demikian treatment menentukan usaha pemulihan
hasil perhitungan ř sebesar 0.201917 berada bahasa pada afasia. Hasil ini menunjukkan
pada batas penerimaan. bahwa perbedaan intensitas treatment
Nilai varians kesalahan pengambilan dalam durasi waktu yang digunakan
sampel adalah sebesar 0.03321 dan varian sangat berhubungan dengan hasil yang
korelasi populasi sebesar 0.063807. Nilai diperoleh dalam pemulihan bahasa afasia.
varians kesalahan pengambilan sampel Hasil ini juga konsisten dengan penelitian‐
dibandingkan dengan nilai varians korelasi penelitian yang telah dilakukan sebelum‐
populasi dikalikan 100% merupakan nnya yang mengamati hubungan antara
terapi intensif yang mendukung pening‐
44 JURNAL PSIKOLOGI
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
katan hasil pada afasia, sebagaimana yang Enam belas studi yang dianalisis
dilakukan oleh Brindley et al. (1989) yang menunjukkan konsistensi keberadaan
mengemukakan bahwa hanya dengan waktu sebagai determinasi dalam treatment
peningkatkan alokasi waktu pada terapi berupa terapi intensif dan terapi dengan
bicara, kemampuan afasia kronis dapat waktu yang standar berpengaruh dalam
lebih efektif. Pernyataan ini didukung oleh usaha pemulihan pada afasia. Keenam
Poeck et al. (1989) yang mencatat bahwa belas studi yang dikaji ini pun melaporkan
peningkatan terjadi pada afasia bahkan secara signifikan hasil yang positif dengan
pada fase kronis dengan terapi intensif. rata‐rata jam terapi di atas enam jam terapi
Hasil meta ini menunjukkan bahwa per minggu. Sedangkan satu studi negatif
intensitas treatment merupakan determinasi yang dilakukan Racette et al. (2006) hanya
yang berperan dalam pemulihan bahasa memberikan kurang dari dua jam terapi
pada afasia dan mendukung beberapa per minggu dengan durasi yang juga tidak
penelitian yang selama ini terpublikasi ditentukan. Analisa menunjukkan bahwa
(Robey & Schultz, 1998; Lincoln et al., 1984; semakin intensif terapi akan memberikan
Shewan & Kertesz, 1984; Bhogal, Teasell, peningkatan hasil pada pemulihan bahasa
Speechley, 2003). pada afasia.
JURNAL PSIKOLOGI 45
DACHRUD
ruhan untuk pengukuran hasil pada afasia. Selain itu, adanya hubungan antara
beberapa studi. Selain itu, banyak studi intensitas terapi dengan pemulihan pada
yang dianggap tidak kuat dengan ukuran afasia menjadi langkah yang membutuhkan
sampel yang kecil. Penelitian terbesar yang perhatian lebih besar dalam penyusunan
dilakukan Bakheit et al. (2007), mengacak formulasi treatment yang lebih tepat.
309 pasien namun demikian yang dianalisa Adapun jika terjadi kegagalan, menjadi
lengkap untuk dilaporkan 116 dan hanya potensi yang dipersiapkan untuk dikom‐
70 pasien yang menerima tritmen dengan promikan pada hasil akhir individual.
konsisten. Berdasarkan hasil metaanalisis diper‐
Demikian pula studi yang dilakukan oleh bahwa determinasi intensitas treatment
Doesborgh (2004), dari 87 pasien afasia dalam usaha pemulihan bahasa pada afasia
yang direferensikan hanya 58 yang dima‐ adalah faktor yang menentukan. Diindika‐
sukkan dalam studi setelah dirandom. Dari sikan bahwa terapi yang intensif sekalipun
58 pasien dibagi dalam dua treatment yaitu dalam waktu yang pendek dapat mening‐
semantik dan fonologi dengan masing‐ katkan hasil pada terapi bahasa dan bicara
masing subjeknya hanya 23 yang masuk bagi pasien afasia.
dalam analisis treatment.
Adanya hubungan yang ditunjukkan Kepustakaan
antara intensitas tritmen dalam bentuk
terapi dan pemulihan bahasa pada afasia, *Bakheit, A. M. O., Shaw, S., Barret, L.,
membutuhkan perhatian yang lebih besar Wood, J., Griffiths, S., Carrington, S.,
yang diperlukan untuk menyusun penga‐ Searle, K., & Kautsi, F. (2007). A
turan perlakuan yang lebih tepat. Lamanya prospective, randomized, parallel
terapi yang diberikan dalam per minggu, group, controlled study of the effect of
per jam, bahkan per sesi yang memung‐ intensity of speech and language
kinkan pencapaian pemulihan yang maksi‐ therapy on early recovery from
mum membutuhkan penelitian lebih lanjut. poststroke aphasia. Clinical Rehabili‐
Hal yang lebih penting, kajian ini menekan‐ tation, 21, 885‐894
kan pentingnya terapi bahasa dan bicara Berthier, M. L. (2005). Post stroke aphasia:
pada penderita afasia. epidemiology, pathophysiology, and
Studi yang berpengaruh seperti treatment. Drugs and Aging, 22 (2): 163
Bakheit et al. (2007) menghasilkan kera‐ – 82
guan terhadap kekuatan terapi bahasa dan Bhogal, S. K., Teasell, R., & Speechley, M.
bicara pada pemulihan afasia. Konfirmasi (2003). Intensity of aphasia therapy,
terhadap keraguan tersebut bahwa terapi impact on recovery. Stroke, 34, 987‐993
dengan intensitas rendah yang diberikan
*Breitenstein, C., Kamping, S., Jansen, A.,
dalam jangka waktu yang lama tidak mem‐
Schomascher, M., & Knecht, S. (2004).
berikan hasil yang signifikan. Walaupun
Word learning can be achieved without
demikian, terapi yang lebih intensif
feedback: Implication for aphasia
sekalipun diberikan dalam jangka waktu
therapy. Restorative Neurology and
yang pendek, dapat memberikan perbaikan
Neuroscience, 22, 445 – 458
hasil yang signifikan. Implikasi penelitian
ini adalah bahwa terapi afasia intensif yang Brindley, P., Copeland M., Demain C., &
diberikan selama 2 – 3 bulan sangat penting Martin P. (1989). A comparison of the
untuk memaksimalkan pemulihan pada speech of ten chronic Broca’s aphasics
46 JURNAL PSIKOLOGI
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
following intensive and non intensive Gresham, G. E., Duncan, P. W., Stason, W.
periods of therapy. Aphasiology, 3, 695‐ B., Adams, H. P., Adelman, A. M.,
479 Alexander D. N., et al. (1995). Post
Byng, S., & Black, M. (1995). What makes a Stroke Rehabilitaton: Clinical Practice
therapy? Some parameters of thera‐ Guidelines. Washington, DC: Agency
peutic intervention in aphasia. Euro‐ for Health Care Policy and Research,
pean Journal of Disorders of Communi‐ Departement of Health and Human
cation, 30, 303–316 Services, Public Health Services.
Cicerone, K. D., Dahlberg, C., Kalmar, K., Hartman, J., & Landau W. M. (1987).
Langenbahn, D. M., Malec, J. F., Comparison of formal language
Bergquist, T. F. et al. (2000). Evidence‐ therapy with supportive counseling for
based cognitive rehabilitation: Recom‐ aphasia due to acute vascular accident.
mendations for clinical practice. Archives of Neurology, 44 (6), 646‐649
Archives of Physical Medicine and *Hebert, S., Racette, A., Gagnon, L., &
Rehabilitation, 81, 1596‐1615 Peretz, I. (2003). Revisiting the disso‐
Darley, F.L. (1982). Aphasia. Philadelphia, ciation between singing and speaking
Pa: WB Saunders. in expressive aphasia, Brain, 126, 1838 –
1850
*Doesborgh, S. J. C., Sandt‐Koenderman, M.
W. E., Dippel, D. W. J., Harskamp, F., Howard, D., Patterson, K. E., Franklin, S.,
Kaudstaal, P. J., & Visch‐Brink, E. G. Orchard‐Lisle, V., & Morton, J. (1985).
(2003). Effects of semantic treatment on The facilitation of picture naming in
verbal communication and linguistic aphasia. Cognitive Neuropsychology, 2,
processing in aphasia after stroke. A 49‐80.
rondomized controlled trial. Stroke Hunter, J. E. & Schmidt, F. L. (1990).
Journal of the American Heart Association, Methods of Meta‐Analysis, Correcting
35, t.pp Error and Bias in Research Findings.
*Doesborgh, S. J. C. (2004). Assessment and Sage Publications, Newbury Park.
treatment of linguistic defisits in Kertesz, A. (1979). Aphasia and Associated
aphasic patiens, Thesis, diakses di Disorders: Taxonomy, Localization and
http://pada 04 November 2008 Racovery. Naw York: Grune and
Enderby, P. (1996). Speech and language Startton
therapy ‐does it work? British Medical Lincoln, N. B., McGuirk, E., Mulley, G. P.,
Journal, 321, 1655‐1658 Lendrem, W., Jones, A. C., & Mitchell,
*Gaiefsky, M.E. (2003). Functional Magnetic J. R. (1984). Effectiveness of speech
Resonance Imaging of Overt Language therapy for aphasic stroke patients: a
Production in Aphasia Rehabilitation: randomised controlled trial. Lancet, 1,
The Contribution of The Language 1197–1200
Nondominant Hemisphere, Thesis, McNeil, M. R., Doyle, P. J., Spencer, K. A.,
University of Florida, diakses di http:// Goda, A. J., Flores, D., & Small, S. L.
pada 17 Juli 2008. (1997). A double‐blind, placebo‐
Greener, J., Enderby, P., & Whurr, R. (2001). controlled study of pharmacological
Speech and language therapy for and behavioural treatment of lexical‐
aphasia following stroke. Cochrane semantic deficits in aphasia. Apha‐
Review. Oxford: The Cochrane Library. siology, 11, 385‐400
JURNAL PSIKOLOGI 47
DACHRUD
*Meinzer, M., Djundja, D., Barthel, G., Stroke Journal of the American Heart
Elbert, T., & Rockstroh, B. (2005). Long‐ Association, 32, 1621 – 1626*
Term stability of improved language *Racette, A., Bard, C., & Peretz, I. (2006).
Functions in chronic aphasia after Making non‐fluent aphasics speak:
constraint‐induced aphasia therapy. Sing along! Brain, 129, 2571 – 2584
Stroke Journal of the American Hearth
*Raymer, A. M., & Kohen, F. (2006). Word‐
Association, 36, 1462 – 1466
retrieval treatment in aphasia: Effects
Miceli, G., Amitrano, A., Capasso, R., & of sentences context. Journal of
Caramazza, A. (1996). The treatment of Rehabilitation Research & Development,
anomia resulting from output lexical 43, 3: 367 – 378
damage: Analysis of two cases. Brain &
Raymer, A. M., Thompson, C. K., Jacobs, B.,
Language, 52, 150‐174
& le Grand, H. R. (1993). Phonological
Mitchum, C. C. (1994). Traditional and treatment of naming deficits in
contemporary views of aphasia: aphasia: model‐based generalization
Implication for clinical management. analysis. Aphasiology, 7, 27‐53
Topics in Stroke Rehabilitation, 1, 14–36
Robey, R. R. (1994). The efficacy of treatment
Nadeau, S., Rothi, L. J. G., & Crosson, B. for aphasic persons: a meta analysis.
(2000). Preface. In S. Nadeau, L. J. G. Brain and Language, 47, 582–608
Rothi, & B. Crosson (Eds.), Aphasia and
Robey, R. R. & Schultz, M. C. (1998). A
language: Theory to practice. New York:
model for conducting clinical outcome
Guilford Press.
research: An adaptation of the
Nettleton, J. & Lesser, R. (1991). Therapy for standard protocol for use in
naming difficulties in aphasia: appli‐ aphasiology. Aphasiology, 12, 787‐810
cation of a cognitive neuropsycholo‐
Shewan, C. M., & Kertesz, A. (1984). Effects
gical model. Journal of Neurolinguistics,
of speech and language treatment on
6, 139‐159
recovery from aphasia. Brain Lang, 23,
Orange, J. B., & Kertesz A. (1998). Efficacy 272–299
of language therapy for aphasia. In:
Siguröardóttir, G. Z., & Sighvatsson, B. M.
Physical Medicine and Rehabilitation:
(2006). Operant conditioning and
State of the Art Reviews. Philadelphia,
errorless learning procedures in the
Pa: Hanley‐Belfus, Inc.
treatment of chronic aphasia.
Prins, R. S., Schoonen, R., & Vermeulen, J. International Journal of Psychology, 41
(1989). Efficacy of two different types (6), 527–540
of speech therapy for aphasic stroke
Teasell, R., Doherty D., Speechley M., Foley
patients. Applied Psycholinguistics, 10,
N., and Bhogal S.K. (2002). Evidence‐
85‐123
based review of stroke rehabilitation.
Poeck, K., Huber W., & Willmes K. (1989). Heart and Stroke Foundation Ontario
Outcome of intensive language treat‐ and Ministry of Health and Long‐Term
ment in aphasia. Journal Speech Hear Care of Ontario.
Disorder, 54, 471–479
Van Harskamp, F. & Visch‐Brink, E. G.
Pulvermuller, F., Neininger, B., Elbert, T., (1998). Evaluatie van het effect van
Mohr, B., Rockstroh, B., Koebbel, P., & taaltherapie bij afatische patiënten.
Taub, E. Constraint‐induced therapy of
chronic aphasia after stroke. (2001).
48 JURNAL PSIKOLOGI
INTENSITAS TERAPI PEMULIHAN BAHASA AFASIA
Stem‐, Spraak‐ en Taalpathologie, 7, 213‐ treatment for aphasia. Archives of
232 Neurology, 43 (7), 653‐658
Wade, D.T., Legh‐Smith, J., & Hewer, R.A. *Wambaugh, J. L., & Ferguson, M. (2007).
(1987). Depressed mood after stroke: A Aplication of semantic feature analysis
community study of its frequency. The to retrieval of action names in aphasia.
British Journal of Psychiatry, 151, 200‐205 Journal of Rehabilitation Research &
Wertz, R. T., Weiss, D. G., Brookshire, R. Development, 44, 3: 381 – 394
H., Aten, J. L., Garcia‐Bunuel, L., Whurr, R., Lorch, M. P., & Nye, C. (1992). A
Holland, A. L., Kurtzke, J.F., LaPointe, meta‐analysis of studies carried out
L. L., Milianti, F. J., Brannegan, R., between 1946 and 1988 concerned with
Greenbaum, H., Marshall, R. C., Vogel, the efficacy of speech and language
D., Carter, J., Barnes, N. S., & therapy treatment for aphasic patients.
Goodman, R. (1986). Comparison of European Journal of Disorders of
clinic, home, and deferred language Communication, 27, 1‐17.
Keterangan
Tanda (*) : jurnal yang digunakan untuk studi metaanalisis
JURNAL PSIKOLOGI 49
NeuroImage 17, 174 –183 (2002)
doi:10.1006/nimg.2002.1238
output deficit to be rehabilitated. fMRI data from the was remarkably close to the normal range. A similar
patient were compared to those from 6 healthy volun- pattern was found in writing tasks.
teers who performed the same functional neuroimag- In summary, RC presented a severe expressive apha-
ing experiment. sia reflected by his impaired spoken and written lan-
We hypothesized that activation in left perilesional guage production with a relative sparing of semantic-
areas would parallel performance improvement in lexical processing and access to the phonological
speech output after intensive language therapy. lexicon. Together with impaired phonemic representa-
tions, severe auditory verbal short-term memory im-
pairment could contribute to RC’s disability in produc-
CASE HISTORY ing the correct syllable sequence involved in a word.
The patient was proposed a customized speech ther-
RC, a highly educated 42-year-old right-handed apy program lasting 6 weeks with 6 sessions per week,
man, has suffered from a left middle cerebral artery 1-h per day, which focused on speech output processes.
infarct on April 1998, after a spontaneous dissection of The method was based on visual memory, spared in
the left internal carotid. Initially, he presented a right RC, in order to teach him how to combine and produce
hemiplegia, which disappeared in a few weeks, and a the phonemes to be articulated during word produc-
severe mixed aphasia that persisted 6 months later. tion. The patient was trained to memorize “by heart”
The present study was carried out 2 years poststroke. drawings showing the articulatory gestures associated
Structural MRI (see Fig. 1), performed in 2000, dis- with the syllables of the 30 words that constituted the
closed a left hemispheric lesion in the superficial ter- material of the fMRI experiment. Various oral produc-
ritory of the middle cerebral artery. According to the tion tasks such as repetition, reading aloud, or picture
atlases from Talairach and Tournoux (1988) and Du- naming were used for training. It should be noted that
vernoy (1992), the lesion involved the posterior half of rhyming tasks were not worked out during therapy.
the insular cortex, and the posterior two-thirds of the
superior temporal gyrus (T1) sparing the Heschl’s gy- MATERIALS AND METHODS
rus. The lesion spread to the parietal opercule and the
inferior part of the supra-marginal gyrus. Cortical at- Subjects
rophy was observed in the middle part of the precentral
gyrus. RC underwent two fMRI sessions, the first one before
A general neuropsychological assessment revealed the beginning of therapy (Session 1: S1), and the sec-
no buccofacial apraxia, agnosic, or apraxic problems. ond one at the end of the therapeutic program (Session
Auditory verbal short-term memory, tested by pointing 2: S2).
to written items because of the repetition deficit, was Six healthy right-handed volunteers (5 men and 1
severely impaired (digit span: 3 forward and 2 back- woman, mean age 52.2 years), matched for education
ward). Visual and long-term memories were spared. level, were recruited as control subjects. Control sub-
The language assessment evidenced the following jects had no history of neurological or psychiatric ill-
pattern. RC’s spontaneous speech was effortful and ness. fMRI experiment was performed only once for the
displayed severe phonemic distortions leading to un- control subjects.
intelligible fragments with conduites d’approche, im- All control subjects and RC gave informed consent to
poverished use of morphological and syntactic struc- participate in the study and the local ethics committee
tures, and some word-finding difficulties. These symp- approved the study.
toms were evidenced by poor performance on word and
Stimuli, Experimental Design, and fMRI Procedure
pseudo-word repetition, reading aloud, and oral-nam-
ing tasks. All errors consisted in phonemic paraphasias Stimuli were (i) a set of 60 black and white line
that coexisted with an effortful and hesitating speech drawings of familiar objects or animals taken from the
output. The patient seemed to seek for the correct Snodgrass and Vanderwart corpus (1980) and (ii) a set
articulatory gestures to be combined to achieve oral of 60 French written frequent words typed in 40-point
production tasks. Geneva font. All the words were nouns that ranged in
By comparison to the massive deficit observed in length from 5 to 8 letters. These stimuli were included
actual speech output tasks, performance was normal under two activation conditions.
on comprehension tasks involving semantic-lexical The first one was an overt picture-naming task in-
processing or access to the output lexicon without vo- cluding the 60 pictures, half of them being used in the
calization. For example, he scored 18/24 in a task in therapy program as training material. Subjects were
which he was asked to match two pictures of homony- instructed to name the pictures overtly but to avoid
mous items among distracters (e.g., “renne” -reindeer- head movements while whispering responses.
and “reine” -queen-). Although he made occasional er- In the second condition, the same stimuli were used
rors, his performance on a picture/word rhyming task in a picture/written noun rhyming task. Subjects were
FIG. 1. An illustration of the anatomy of RC’s cerebral infarct. In the top row, RC’s brain visualized in a three-dimensional rendering of
the cortical surface obtained from structural MRI data. RC’s lesion is shown in red. In the lower rows, MRI axial contiguous slices
(thickness ⫽ 1.2 mm) parallel to the bicommissural plane (slice 0) in RC (left hemisphere shown on right) indicate the depth of the lesion.
RC’s lesion involves, in the left hemisphere, the posterior half part of the insula, the posterior two-thirds of the superior temporal gyrus, the
parietal opercule, and the inferior part of the supra-marginal gyrus and spares the Heschl’s gyrus. On slice 30 and above, a limited atrophy
is in the precentral gyrus.
176
SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT 177
FIG. 2. A rendering showing the regions activated for (1) the Naming task and (2) the Rhyming task of (a) the control group, (b) RC before
the speech therapy, and (c) RC after the speech therapy. The activated areas are projected onto a template of a standard MNI brain for the
control group (all areas shown were significant at P ⬍ 0.05, uncorrected for multiple comparisons and k extent ⬎ 50) and for RC, onto a
template of RC’s anatomical MRI scan (all areas shown were significant at P ⬍ 0.05, corrected for multiple comparisons and k extent ⬎ 50).
asked to say, “Yes” or “No” if the written word dis- sented). In the activation conditions, 5 stimuli per
played below the picture rhymed (e.g., picture of a block were centrally delivered via special goggles (Res-
chicken with the word “children”) or not (e.g., picture of onance Tech., Northridge, CA) during 4 s with an in-
knife with the word “hat”) with the name of the de- tersequence interval (gray screen) of 2 s.
picted object. Rhyming (15 items) and nonrhyming (15 Responses were transmitted thanks to a microphone
items) trials were presented randomly. The rhyming and recorded by the examiner.
task that included the same lexical items as the nam-
ing task was purposefully selected as control task for Imaging
two reasons. First it shared many cognitive compo-
nents with naming insofar as subjects had to retrieve MRI was performed on a 1.5-T scanner (Siemens
the phonological form of the object, but without plan- Vision, Erlangen, Germany) equipped for echo-planar
ning and producing the syllabic series involved in spo- imaging (EPI). A 3D high-resolution T 1-weighted data
ken words. Second, and most importantly, the patient set of the whole brain (3D MPRAGE; 3D magnetization
performed at normal level on the rhyming task prepared rapid acquisition gradient echo) was acquired
whereas performance on naming was known to be poor for each subject (128 slices, TR ⫽ 15 ms, TE ⫽ 7 ms, flip
before therapy. angle ⫽ 12°, FOV ⫽ 30 cm, matrix ⫽ 256 ⫻ 256, voxel
The fMRI procedure alternated Naming or Rhyming size ⫽ 1.17 ⫻ 1.17 ⫻ 1 mm 3). After sagittal localization
with rest periods in a block design with 4 runs (Naming images, 10 contiguous, 5-mm-thick, axial anatomic im-
task, run 1 and run 3, and Rhyming task, run 2 and ages were obtained parallel to the intercommissural
run 4). The duration of each block was 30 s and 1 run plane (from z ⫽ ⫺10 mm to z ⫽ ⫹35 mm).
consisted in a succession of 12 blocks alternating acti- For functional MR imaging studies, blood oxygen
vation with rest (during which a gray screen was pre- level-dependent (BOLD) imaging was performed using
178 LÉGER ET AL.
a T 2*-weighted single-shot EPI sequence (TE ⫽ 64 ms, specified. Speech-therapy effects were assessed by con-
flip angle ⫽ 90°, FOV ⫽ 22 cm, 128 ⫻ 128 matrix, TR ⫽ trasting Naming at the two sessions ([(Activation Naming-
2.95 s, 5-mm slice thickness). Each scanning run (6 Rest) RCS2 ⫺ (Activation Naming-Rest) RCS1] ⬎ 0), with an
min each, 6 blocks of activation, and 6 blocks of rest) inclusive mask (P ⫽ 0.5) corresponding to a conjunc-
thus comprises 120 image volumes (10 volumes per tion of [Activation Naming-Rest] RCS1 ⬎ 0 and [(Activa-
block of activation and 10 volumes per block of rest, tion Rhymingg⫺ Rest) RCS2 ⫺ (Activation Rhyming-Rest) RCS1] ⬎ 0.
except for the first block of rest which was discarded to This contrast was thresholded with P ⬍ 0.05 (corrected
allow for T1 stabilization and dissipation of gradient- for multiple comparisons) for peak height and k ⬎ 15
induced auditory cortical activation). for the cluster extent.
TABLE 1
Common Activations for Control Group and RC in (a) Naming and (b) Rhyming Tasks: Stereotaxic Coordinates, Z Values,
and Corresponding Brodmann Areas (BAs) for Regions Significantly Activated at Session 1 (S1) and Session 2 (S2)
S1 S2
Note. Coordinates are given in order x, y, z according to the atlas of Talairach and Tournoux (1988). The Z score is in italics and the voxel
extent k is in bracket. The Z scores presented in this table are the mean Z scores of a cluster. Thresholds were P ⬍ 0.05 for peak height
(uncorrected for multiple comparisons) and k ⬎ 50 for spatial extent.
For Rhyming, activations were found bilaterally in For Rhyming, activations were located in the left
the frontal opercula (BA 44). Areas activated unilater- frontal operculum (BA 44), left inferior temporal gyrus
ally were the left supra-marginal gyrus (BA 40), left (BA 37), and left supra-marginal gyrus (BA 40) and in
inferior temporal gyrus (BA 37, 19), left hippocampus, the right insular cortex, the right angular gyrus (BA
left thalamus, the right insular cortex, and the right 39), and right association visual areas (BA 18).
visual association areas (BA 18).
RC at Session 1 (see Fig. 2). For Naming, activa- Common Activations for Control Group and RC
tions were located in the left inferior frontal gyrus (BA before Therapy
44, 45), left cingular cortex (BA 24), the right superior Naming (see Table 1). Common activations for Con-
temporal gyrus (BA 22), right supra-marginal gyrus trol group and RC S1 were found in the left frontal
(BA 40), and left and right visual association areas (BA
operculum (BA 44), the spared portion of the left supe-
18, 19).
rior temporal gyrus (BA 42), the right insular cortex,
For Rhyming, activations showed a bilateral pattern
and the thalamus bilaterally.
including the frontal opercula (BA 44, 45, 46), the
precentral gyri (BA 6), and the visual association cor- Rhyming (see Table 1). Common activations for
tices (BA 18, 19) in addition to the left inferior tempo- Control group and RC s1 were found in left inferior
ral cortex (BA 37), the right angular gyrus (BA 39), and frontal lobe (BA 44 – 45), left association visual area
the right insular cortex. (BA 18), and right insular cortex.
RC at Session 2 (see Fig. 2). For Naming, main
Common Activations for Control Group and RC
contrast showed activations in the insular cortex, the
after Therapy
superior temporal area (BA 22), and the supra-mar-
ginal gyrus (BA 40) and in the association visual cortex Naming (see Table 1). Areas that were activated by
(BA 18) bilaterally. Activations restricted to the left Control subjects and RC S2 revealed significant activa-
hemisphere were found in Broca’s area (BA 44) and the tions in the left thalamus, the left insular cortex, the
thalamus. left frontal operculum (BA 44), the spared portion of
180 LÉGER ET AL.
TABLE 2
Comparison between RC after Therapy (RC S2) and RC before Therapy (RC S1): Stereotaxic Coordinates, Z scores, and
Corresponding Brodmann Areas (BAs) for Regions Activated Significantly in (a) RC before (RC S1) and after Therapy (RC S2);
(b) RC S2 but Not RC S1; (c) RC S1 but Not RC S2 in Naming and Rhyming Tasks
Naming Rhyming
Note. Coordinates are given in order x, y, z according to the atlas of Talairach and Tournoux (1988). The Z score is in italics and the voxel
extent k is in bracket. The Z scores presented in this table are the mean Z scores of a cluster. Thresholds were P ⬍ 0.05 for peak height
(corrected for multiple comparisons) and k ⬎ 50 for spatial extent for (a) and k ⬎ 15 for (b), (c), and (d).
the left superior temporal gyrus (BA 42), and the left Rhyming (see Table 2). Common activations be-
association visual cortex (BA 19) as well as the right tween RC S1 and RC S2 were found mainly in the inferior
insular cortex. frontal cortex (BA 46) and in the precentral gyrus (BA 6)
Rhyming (see Table 1). RC S2 and Control subjects bilaterally, and in the junction between the right angular
activated in common bilaterally the inferior frontal gyrus and the superior occipital gyrus (BA 39/19).
gyrus (BA 44 – 46), the association visual areas (BA No difference was found in terms of areas signifi-
18 –19), and the thalamus, in addition to the superior cantly activated by RC at S2 but not at S1. The oppo-
part of the left supra-marginal gyrus (BA 40), the left site contrast, revealing areas activated by RC at S1 but
inferior parietal lobule (BA 40), and the right insular not at S2, showed activations in the left precentral
cortex. gyrus (BA 6), and bilaterally in the association visual
areas (left BA 19, right BA 18, and right BA 31).
Comparison between RC S2 and RC S1 Speech-Therapy Effect. As noted under Materials
Naming (see Table 2). Common activations for RC and Methods, speech-therapy effects were assessed by
at Sessions 2 and 1 were found in the superior tempo- contrasting Naming at the two sessions (NamingS2 ⫺
ral gyrus (BA 22) bilaterally, the left inferior frontal NamingS1 ⬎ 0), with an inclusive mask (P ⫽ 0.5)
gyrus (BA 44), the left precentral gyrus (BA 6), and the corresponding to a conjunction of NamingS1 ⬎ 0 and
right insular cortex. RhymingS2 ⫺ RhymingS1 ⬎ 0 in order to prevent for
Regions activated by RC at Session 2 but not at effects of deactivations in Naming and account for a
Session 1 were found in the left inferior frontal gyrus possible task repetition. Analysis demonstrated speech-
(BA 44) and in the superior part of the left supra- therapy-induced activations in the superior posterior
marginal gyrus (BA 40). part of the left supra-marginal gyrus (BA 40) (k ex-
Conversely, areas activated by RC at Session 1 but tent ⫽ 18; coordinates x ⫽ ⫺34, y ⫽ ⫺44, z ⫽ 35; z
not at Session 2 were located in the upper part of the score ⫽ 6.51) and in the upper part of Broca’s area (BA
left precentral gyrus (BA 6), and in the right associa- 44) (k extent ⫽ 28; coordinates: x ⫽ ⫺50, y ⫽ 8, z ⫽ 25;
tion visual areas (BA 18). z score ⫽ 6.07)
SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT 181
1999). Nevertheless, activation in homologous right patterns including an increase of activity in some re-
temporal regions was also observed in RC in both ses- gions. Such altered patterns might correspond to the
sions. The role of the right hemisphere in aphasic pa- influence of the sublexical, phonological strategy that
tients while recovering has long been underlined and has been implemented by a dedicated program of
discussed. Its impact may vary across time (Knopman speech therapy.
et al., 1983) and language functions (Musso et al.,
1999). In the present study, the activity in the right ACKNOWLEDGMENTS
temporal cortex does not seem essential for recovery of
Naming as it was present on the first session associ- We thank Patrice Peran and Sandra Lé for their helpful assis-
tance. This work was supported by grants from the French Cogni-
ated with poor performance. However a complete right- tique Program-MENRT n° 1A012F (1999), and from the CEE Grant
to-left functional shift was not observed even after QLK6-CT-1999-02140.
therapeutic performance improvement and this incom-
plete shift in RC might correspond to an unachieved REFERENCES
language recovery (Belin et al., 1996).
Among the left-sided set of regions activated in Nam- Belin, P., Van Eeckhout, P., Zilbovicius, M., Remy, P., Francois, C.,
Guillaume, S., et al. 1996. Recovery from nonfluent aphasia after
ing after therapy, the comparison for Naming between melodic intonation therapy: A PET study. Neurology 47: 1504 –1511.
the two sessions in RC evidenced the importance of the Bookheimer, S. Y., Zeffiro, T. A., Blaxton, T., Gaillard, W., and
upper parts of Broca’s area and left supra-marginal Theodore, W. 1995. Regional cerebral blood flow during object
gyrus since these regions remained activated even naming and word reading. Hum. Brain Mapp 3: 93–106.
when possible repetition effects were taken into ac- Buckner, R. L., Bandettini, P. A., O’Craven, K. M., Savoy, R. L.,
count. By comparison to activation seen before therapy Petersen, S. E., Raichle, M. E., et al. 1996. Detection of cortical
in Broca’s area, activation in this region after therapy activation during averaged single trials of a cognitive task using
functional magnetic resonance imaging. Proc. Natl. Acad. Sci.
spread toward the upper part of pars opercularis which USA 93: 14878 –14883.
might be associated with sublexical output processing Cardebat, D., Demonet, J. F., Celsis, P., Puel, M., Viallard, G., and
(Paulesu et al., 1997). The left supra-marginal gyrus Marc-Vergnes, J. P. 1994. Right temporal compensatory mecha-
was found activated for Naming only in RC after ther- nisms in a deep dysphasic patient: A case report with activation
apy and it is noticeable that the parietal region does study by SPECT. Neuropsychologia 32: 97–103.
not belong to the normal neuro-functional pattern for Carel, C., Loubinoux, I., Boulanuar, K., Manelfe, C., Rascol, O.,
Celsis, P., and Chollet, F. 2000. Neural substrate for the effects of
Naming tasks as shown by the present study as well as
passive training on sensory motor cortical representation: A study
most of studies analyzed by Murtha et al. (1999). To- with functional magnetic resonance imaging in healthy subjects.
gether with Broca’s area, the left supra-marginal gyrus J. Cereb. Blood Flow Metab. 20: 478 – 484.
has long been associated with phonological processing Chollet, F. 2000. Plasticity of the adult human brain. In Brain
and phonological working memory. More specifically a Mapping: The Systems, pp. 621– 638. Academic Press, San Diego.
meta-analysis from Démonet and colleagues (1996) Damasio, H., Grabowski, T. J., Tranel, D., Hichwa, R. D., and
emphasized the role of the supra-marginal gyrus in Damasio, A. R. 1996. A neural basis for lexical retrieval. Nature
380: 499 –505.
phonological storage whereas the superior part of Bro-
De Renzi, E., and Vignolo, L. 1962. The token test: A sensitive test to
ca’s area was linked to verbal rehearsal for tasks re- detect receptive disturbances in aphasics. Brain 85: 665– 678.
quiring phonological awareness and involving verbal Deloche, G., Hannequin, D., Dordain, M., Metz-Lutz, M. N., Kremin,
working memory. The speech therapy program used in H., Tessier, C., et al. 1997. Diversity of patterns of improvement in
RC purposefully resorted to enhancement of phonolog- confrontation naming rehabilitation: Some tentative hypotheses.
ical and articulatory awareness and the specific acti- J. Commun. Disord. 30: 11–21; quiz 21–22.
vations of Broca’ s area and left supra-marginal gyrus Démonet, J. F., Fiez, J. A., Paulesu, E., Petersen, S. E., and Zatorre,
are likely to reflect the reinforcement of phonological R. J. 1996. PET Studies of phonological processing: A critical reply
to Poeppel. Brain Lang. 55: 352–379.
strategies in RC while Naming.
Dronkers, N. F. 1996. A new brain region for coordinating speech
In conclusion this study reflects changes in left-sided articulation. Nature 384: 159 –161.
cortical activity associated with language output im- Duvernoy, H. M. 1992. Le cerveau humain. Springer-Verlag, Paris.
provement after intensive speech therapy at a late Elman, R. J., and Bernstein-Ellis, E. 1999. The efficacy of group
stage. At variance with studies showing enlargement communication treatment in adults with chronic aphasia. J.
of cortical representations in the sensorimotor cortex Speech Lang. Hear. Res. 42: 411– 419.
in studies of motor recovery (Chollet, 2000), the acti- Goodglass, H. 1992. Diagnostic of conduction aphasia. In Conduction
vation pattern observed during Naming after therapy Aphasia (S. E. Kohn, Ed.), pp. 39 – 49. Erlbaum, Hillsdale, NJ.
in RC does not recruit the same network as that ob- Hardcastle, W. J. 1987. Electropalatographic study of articulation
served in control subjects. As already noted, a limita- disorders in verbal dyspraxia. In Phonetic Approaches to Speech
Production in Aphasia and Related Disorders (J. H. Ryalls, Ed.),
tion of this study is the absence of test-retest assess- College-Hill Press, Boston.
ment in control subjects. However, this effect generally Heiss, W. D., Kessler, J., Thiel, A., Ghaemi, M., and Karbe, H. 1999.
consists of decreases of activation whereas the therapy Differential capacity of left and right hemispheric areas for com-
effect in RC is associated with alterations of activation pensation of poststroke aphasia. Ann. Neurol. 45: 430 – 438.
SPEECH THERAPY AND fMRI IN AN APHASIC PATIENT 183
Holland, A. L., Fromm, D. S., DeRuyter, F., and Stein, M. 1996. Pannbacker, M. 1988. Management strategies for developmental
Treatment efficacy: Aphasia. J. Speech Hear. Res. 39: S27–S36. apraxia of speech: A review of literature. J. Commun. Disord. 21:
Holmes, A. P., and Friston, K. J. 1998. Generalisability, random 363–371.
effects and population inference. NeuroImage 7: S754. Paulesu, E., Frith, C. D., and Frackowiak, R. S. 1993. The neural
Kareken, D. A., Lowe, M., Chen, S. H., Lurito, J., and Mathews, V. correlates of the verbal component of working memory. Nature
2000. Word rhyming as a probe of hemispheric language domi- 362: 342–345.
nance with functional magnetic resonance imaging. Neuropsychi- Paulesu, E., Goldacre, B., Scifo, P., Cappa, S. F., Gilardi, M. C.,
atry Neuropsychol. Behav. Neurol. 13: 264 –270. Castiglioni, I., Perani, D., and Fazio, F. 1997. Functional hetero-
Katz, R. C., and Wertz, R. T. 1997. The efficacy of computer-provided geneity of left inferior frontal cortex as revealed by fMRI. Neuro-
reading treatment for chronic aphasic adults. J. Speech Lang. report 8: 2011–2017.
Hear. Res. 40: 493–507. Price, C. J., Mummery, C. J., Moore, C. J., Frakowiak, R. S., and
Kent, R. D., and Rosenbek, J. C. 1983. Acoustic patterns of apraxia Friston, K. J. 1999. Delineating necessary and sufficient neural
of speech. J. Speech Hear. Res. 26: 231–249. systems with functional imaging studies of neuropsychological
Knopman, D. S., Rubens, A. B., Selnes, O. A., Klassen, A. C., and patients. J. Cogn. Neurosci. 11: 371–382.
Meyer, M. W. 1984. Mechanisms of recovery from aphasia: Evi- Pulvermuller, F., Neininger, B., Elbert, T., Mohr, B., Rockstroh, B.,
dence from serial xenon 133 cerebral blood flow studies. Ann. Koebbel, P., et al. 2001. Constraint-induced therapy of chronic
Neurol. 15: 530 –535. aphasia after stroke. Stroke 32: 1621–1626.
Kosslyn, S. M., Alpert, N. M., and Thompson, C. K. 1995. Identifying Raichle, M. E., Fiez, J., Videen, T., Macleod, A., Pardo, J., Fox, P.,
objects at different levels of hierarchy: A positron emission tomog- and Petersen, S. 1994. Practice-related changes in human brain
raphy study. Hum. Brain Mapp. 3: 107–132. functional anatomy during nonmotor learning. Cereb. Cortex 4:
Kosslyn, S. M., Alpert, N. M., Thompson, W. L., Chabris, C. F., 8 –26.
Rauch, S. L., and Anderson, A. K. 1994. Identifying objects seen Robey, R. R. 1994. The efficacy of treatment for aphasic persons: A
from different viewpoints. A PET investigation. Brain 117: 1055–
meta-analysis. Brain Lang. 47: 582– 608.
1071.
Salmon, E., Van der Linden, M., Gillette, F., Delfiore, G., Maquet, P.,
Lincoln, N. B., McGuirk, E., Mulley, G. P., Lendrem, W., Jones, A. C.,
Degueldre, C., Luxen, A., and Franck, G. 1996. Regional brain
and Mitchell, J. R. 1984. Effectiveness of speech therapy for apha-
activity during working memory tasks. Brain 119: 1617–1625.
sic stroke patients. A randomised controlled trial. Lancet 1: 1197–
1200. Selnes, O. A., Knopman, D. S., Niccum, N., and Rubens, A. B. 1985.
Lurito, J. T., Kareken, D. A., Lowe, M. J., Chen, S. H., and Mathews, The critical role of Wernicke’s area in sentence repetition. Ann.
V. P. 2000. Comparison of rhyming and word generation with Neurol. 17: 549 –557.
FMRI. Hum. Brain Mapp. 10: 99 –106. Sergent, J., Ohta, S., and MacDonald, B. 1992. Functional neuro-
Martin, A., Wiggs, C. L., Ungerleider, L. G., and Haxby, J. V. 1996. anatomy of face and object processing. A positron emission tomog-
Neural correlates of category-specific knowledge. Nature 379: raphy study. Brain 115: 15–36.
649 – 652. Small, S. L., Flores, D. K., and Noll, D. C. 1998. Different neural
Menard, M. T., Kosslyn, S. M., Thompson, W. L., Alpert, N. M., and circuits subserve reading before and after therapy for acquired
Rauch, S. L. 1996. Encoding words and pictures: A positron emis- dyslexia. Brain Lang. 62: 298 –308.
sion tomography study. Neuropsychologia 34: 185–194. Snodgrass, J. G., and Vanderwart, M. 1980. A standardized set of
Moore, C. J., and Price, C. J. 1999. Three distinct ventral occipito- 260 pictures: Norms for name agreement, image agreement, famil-
temporal regions for reading and object naming. NeuroImage 10: iarity, and visual complexity. J. Exp. Psychol. [Hum. Learn.] 6:
181–192. 174 –215.
Murtha, S., Chertkow, H., Beauregard, M., Dixon, R., and Evans, A. Talaraich, P., and Tournoux, J. 1988. A Stereotactic Coplanar Atlas
1996. Anticipation causes increased blood flow to the anterior of the Human Brain. Thieme, Stuttgart.
cingulate cortex. Hum. Brain Mapp. 4: 103–112. Thompson, C. K. 2000. The neurobiology of language recovery in
Murtha, S., Chertkow, H., Beauregard, M., and Evans, A. 1999. The aphasia. Brain Lang. 71: 245–248.
neural substrate of picture naming. J. Cogn. Neurosci. 11: 399 – Thulborn, K. R., Carpenter, P. A., and Just, M. A. 1999. Plasticity of
423. language-related brain function during recovery from stroke.
Musso, M., Weiller, C., Kiebel, S., Muller, S. P., Bulav, P., and Stroke 30: 749 –754.
Rijntjes, M. 1999. Training-induced brain plasticity in aphasia. Wambaugh, J. L., Kalinyak-Fliszar, M. M., West, J. E., and Doyle,
Brain 122: 1781–1790. P. J. 1998. Effects of treatment for sound errors in apraxia of
Naeser, M. A., Gaddie, A., Palumbo, C. L., and Stiassny-Eder, D. speech and aphasia. J. Speech Lang. Hear. Res. 41: 725–743.
1990. Late recovery of auditory comprehension in global aphasia.
Warburton, E., Price, C. J., Swinburn, K., and Wise, R. J. 1999.
Improved recovery observed with subcortical temporal isthmus
Mechanisms of recovery from aphasia: Evidence from positron
lesion vs Wernicke’s cortical area lesion. Arch. Neurol. 47: 425–
emission tomography studies. J. Neurol. Neurosurg. Psychiatry 66:
432.
155–161.
Naeser, M. A., Helm-Estabrooks, N., Haas, G., Auerbach, S., and
Srinivasan, M. 1987. Relationship between lesion extent in ‘Wer- Weiller, C., Isensee, C., Rijntjes, M., Huber, W., Muller, S., Bier, D.,
nicke’s area’ on computed tomographic scan and predicting recov- et al. 1995. Recovery from Wernicke’s aphasia: A positron emission
ery of comprehension in Wernicke’s aphasia. Arch. Neurol. 44: tomographic study. Ann. Neurol. 37: 723–732.
73– 82. Wise, R. J., Greene, J., Buchel, C., and Scott, S. K. 1999. Brain
Ohyama, M., Senda, M., Kitamura, S., Ishii, K., Mishina, M., and regions involved in articulation. Lancet 353: 1057–1061.
Terashi A. 1996. Role of the nondominant hemisphere and undam- Wise, R. J. S. S., Blank, S. C., Mummery, C. J., Murphy, K., and
aged area during word repetition in poststroke aphasics. A PET Warburton, E. A. 2001. Separate neural subsystems within ‘Wer-
activation study. Stroke 27: 897–903. nicke’s area’. Brain 124: 83–95.
Reproduced with permission of the copyright owner. Further reproduction prohibited without
permission.
Tinjauan Pustaka
Abstrak: Stroke menjadi masalah yang besar dan serius. Sebagai penyebab kecacatan terbanyak
kedua pada individu usia di atas 60 tahun, stroke menimbulkan beban psikososial serta biaya
yang sangat besar. Bagi pasien pasca stroke diperlukan intervensi rehabilitasi medik agar
mereka mampu mandiri untuk mengurus dirinya sendiri dan melakukan aktivitas kehidupan
sehari-hari tanpa harus terus menjadi beban bagi keluarganya. Namun tidak semua pasien
mendapat kesempatan melanjutkan program rehabilitasi stroke setelah pulang dari perawatan.
Sebagian besar disebabkan karena tidak tersedianya fasilitas rehabilitasi medik di sekitar
tempat tinggal pasien. Secara umum rehabilitasi stroke fase subakut dan kronis dapat ditangani
melalui tatalaksana rehabilitasi medis sederhana yang tidak memerlukan peralatan canggih.
Berfokus pada upaya untuk mencegah komplikasi immobilisasi yang dapat membawa dampak
kepada perburukan kondisi dan mengembalikan kemandirian dalam aktivitas sehari-hari,
diharapkan pasien dapat mencapai hidup yang lebih berkualitas. Pelayanan Kesehatan Primer
sangat penting perannya.
Kata kunci: stroke, rehabilitasi, subakut
Abstract: Stroke has become an enormous and serious health problem. Being the second most
cause of disability for individual above 60 years old, stroke is considered a psychosocial burden
and very costly. Post-stroke patient therefore need a medical rehabilitation intervention, which
enable them to take care of themselves and do their own daily activity without being a burden to
their family. Unfortunately, not all post-stroke patients have their chance to continue their rehabili-
tation program after discharged from the hospital. The reason behind is mostly the lack of medical
rehabilitation facility near their home. Generally, stroke rehabilitation in subacute and chronic
phase could also be managed by simple procedures without using a sophisticated apparatus.
Focusing on preventing of the complication of immobilization that could make the condition
became worse, and achievement of the independency of their daily activity, is aiming for the
patients, better quality of life. Primary Health Care has a very important role in this case.
Keywords: stroke, rehabilitation, subakute.
mandiri penuh dalam aktivitas sehari-harinya, rehabilitasi mungkin. Hal tersebut dapat tercapai melalui terapi latihan
kompensasi tentu lebih tepat untuknya. yang terstruktur, dengan pengulangan secara kontinyu serta
mempertimbangkan kinesiologi dan biomekanik gerak.
Intervensi Rehabilitasi Medis pada Stroke
Prinsip-prinsip Rehabilitasi Stroke:
Secara umum rehabilitasi pada stroke dibedakan dalam
1. Bergerak merupakan obat yang paling mujarab. Bila
beberapa fase. Pembagian ini dalam rehabilitasi medis dipakai
anggota gerak sisi yang terkena terlalu lemah untuk
sebagai acuan untuk menentukan tujuan (goal) dan jenis
mampu bergerak sendiri, anjurkan pasien untuk bergerak/
intervensi rehabilitasi yang akan diberikan, yaitu:
beraktivitas menggunakan sisi yang sehat, namun
1. Stroke fase akut: 2 minggu pertama pasca serangan
sedapat mungkin juga mengikutsertakan sisi yang sakit.
stroke
Pasien dan keluarga seringkali beranggapan salah,
2. Stroke fase subakut: antara 2 minggu-6 bulan pasca
mengharapkan sirkuit baru di otak akan terbentuk dengan
stroke
sendirinya dan pasien secara otomatis bisa bergerak
3. Stroke fase kronis: diatas 6 bulan pasca stroke
kembali. Sebenarnya sirkuit hanya akan terbentuk bila
ada “kebutuhan” akan gerak tersebut. Bila ekstremitas
Rehabilitasi Stroke Fase Akut
yang sakit tidak pernah digerakkan sama sekali,
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien belum stabil, presentasinya di otak akan mengecil dan terlupakan.
umumnya dalam perawatan di rumah sakit, bisa di ruang rawat 2. Terapi latihan gerak yang diberikan sebaiknya adalah
biasa ataupun di unit stroke. Dibandingkan dengan gerak fungsional daripada gerak tanpa ada tujuan
perawatan di ruang rawat biasa, pasien yang di rawat di unit tertentu. Gerak fungsional misalnya gerakan meraih,
stroke memberikan outcome yang lebih baik. Pasien menjadi memegang dan membawa gelas ke mulut. Gerak
lebih mandiri, lebih mudah kembali dalam kehidupan sosialnya fungsional mengikutsertakan dan mengaktifkan bagian–
di masyarakat dan mempunyai kualitas hidup yang lebih baik.9 bagian dari otak, baik area lesi maupun area otak normal
Rehabilitasi pada fase itu tidak akan di bahas lebih lanjut lainnya, menstimulasi sirkuit baru yang dibutuhkan.
dalam makalah ini, karena memerlukan penanganan Melatih gerak seperti menekuk dan meluruskan (fleksi-
spesialistik di rumah sakit. ekstensi) siku lengan yang lemah menstimulasi area lesi
saja. Apabila akhirnya lengan tersebut bergerak, tidak
Rehabilitasi Stroke Fase Subakut begitu saja bisa digunakan untuk gerak fungsional,
Pada fase ini kondisi hemodinamik pasien umumnya namun tetap memerlukan terapi latihan agar terbentuk
sudah stabil dan diperbolehkan kembali ke rumah, kecuali sirkuit yang baru.
bagi pasien yang memerlukan penanganan rehabilitasi yang 3. Sedapat mungkin bantu dan arahkan pasien untuk
intensif. Sebagian kecil (sekitar 10%) pasien pulang dengan melakukan gerak fungsional yang normal, jangan biarkan
gejala sisa yang sangat ringan, dan sebagian kecil lainnya menggunakan gerak abnormal. Gerak normal artinya sama
(sekitar 10%) pasien pulang dengan gejala sisa yang sangat dengan gerak pada sisi sehat. Bila sisi yang terkena masih
berat dan memerlukan perawatan orang lain sepenuhnya. terlalu lemah, berikan bantuan “tenaga” secukupnya
Namun sekitar 80% pasien pulang dengan gejala sisa yang dimana pasien masih menggunakan ototnya secara
bervariasi beratnya dan sangat memerlukan intervensi “aktif”. Bantuan yang berlebihan membuat pasien tidak
rehabilitasi agar dapat kembali mencapai kemandirian yang menggunakan otot yang akan dilatih (otot bergerak
optimal. pasif). Bantuan tenaga yang kurang menyebabkan pasien
Rehabilitasi pasien stroke fase subakut dan kronis mengerahkan tenaga secara berlebihan dan mengikut-
mungkin dapat ditangani oleh pelayanan kesehatan primer. sertakan otot-otot lain. Ini akan memperkuat gerakan
Rehabilitasi fase ini akan dibahas lebih rinci terutama ikutan ataupun pola sinergis yang memang sudah ada
mengenai tatalaksana sederhana yang tidak memerlukan dan seharusnya dihindari. Besarnya bantuan “tenaga”
peralatan canggih. yang diberikan harus disesuaikan dengan kemajuan
Pada fase subakut pasien diharapkan mulai kembali pemulihan pasien.
untuk belajar melakukan aktivitas dasar merawat diri dan 4. Gerak fungsional dapat dilatih apabila stabilitas batang
berjalan. Dengan atau tanpa rehabilitasi, sistim saraf otak tubuh sudah tercapai, yaitu dalam posisi duduk dan
akan melakukan reorganisasi setelah stroke. Reorganisasi berdiri. Stabilitas duduk dibedakan dalam stabilitas duduk
otak yang terbentuk tergantung sirkuit jaras otak yang pal- statik dan dinamik. Stabilitas duduk statik tercapai apabila
ing sering digunakan atau tidak digunakan. Melalui pasien telah mampu mempertahankan duduk tegak tidak
rehabilitasi, reorganisasi otak yang terbentuk diarahkan agar bersandar tanpa berpegangan dalam kurun waktu
mencapai kemampuan fungsional optimal yang dapat dicapai tertentu tanpa jatuh/miring ke salah satu sisi. Stabilitas
oleh pasien, melalui sirkuit yang memungkinkan gerak yang duduk dinamik tercapai apabila pasien dapat
lebih terarah dengan menggunakan energi/tenaga se-efisien mempertahankan posisi duduk sementara batang tubuh
doyong ke arah depan, belakang, ke sisi kiri atau kanan fungsional dengan segala keterbatasan yang ada.
dan atau dapat bertahan tanpa jatuh/miring ke salah satu
sisi sementara lengan meraih ke atas, bawah, atau samping Intervensi rehabilitasi pada stroke fase subakut ditujukan
untuk suatu aktivitas. Latihan stabilitas batang tubuh untuk:
selanjutnya yaitu stabilitas berdiri statik dan dinamik. 1. Mencegah timbulnya komplikasi akibat tirah baring
Hasil latihan ini memungkinkan pasien mampu melakukan 2. Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung-
aktivitas dalam posisi berdiri. Kemampuan fungsional kinkan pemulihan fungsional yang paling optimal
optimal dicapai apabila pasien juga mampu melakukan 3. Mengembalikan kemandirian dalam melakukan aktivitas
aktivitas sambil berjalan. sehari-hari
5. Persiapkan pasien dalam kondisi prima untuk melakukan 4. Mengembalikan kebugaran fisik dan mental
terapi latihan. Gerak fungsional yang dilatih akan
memberikan hasil maksimal apabila pasien siap secara Mencegah Komplikasi Akibat Tirah Baring
fisik dan mental. Secara fisik harus diperhatikan Pasien yang pulang ke rumah sebelum mencapai
kelenturan otot-otot, lingkup gerak semua persendian kemampuan duduk stabil serta mulai belajar berdiri dan jalan,
tidak ada yang terbatas, dan tidak ada nyeri pada cenderung akan lebih lama masa tirah baringnya di rumah.
pergerakan. Secara mental pasien mempunyai motivasi Keluarga seringkali “memanjakan” pasien dengan membantu
dan pemahaman akan tujuan dan hasil yang akan dicapai secara berlebihan dan menjadikan pasien terbaring pasif
dengan terapi latihan tersebut. Kondisi medis juga “menunggu kondisi menjadi lebih baik, dan gerak menjadi
menjadi salah satu pertimbangan. Tekanan darah dan lebih mudah”. Akan tetapi tirah baring lama menyebabkan
denyut nadi sebelum dan sesudah latihan perlu pasien bertambah lemah, lebih cepat lelah karena stamina
dimonitor. Lama latihan tergantung pada stamina pasien. makin rendah, gerak semakin bertambah berat karena semua
Terapi latihan yang sebaiknya adalah latihan yang tidak anggota gerak menjadi kaku dan timbul komplikasi-komplikasi
sangat melelahkan, durasi tidak terlalu lama (umumnya lain. Keluarga dan pasien harus disadarkan bahwa tirah bar-
sekitar 45-60 menit) namun dengan pengulangan ing berkelanjutan akan lebih banyak membawa dampak buruk
sesering mungkin. dari pada baik. (Tabel 5).
6. Hasil terapi latihan yang diharapkan akan optimal bila Selain itu pemulihan fungsional mempunyai “periode
ditunjang oleh kemampuan fungsi kognitif, persepsi dan emas” yang terbatas waktunya; stimulasi yang diberikan pada
semua modalitas sensoris yang utuh. Rehabilitasi fisik 3 bulan pertama akan lebih memberikan hasil dibandingkan
dan rehabilitasi fungsi kognitif tidak dapat dipisah- fase kronis, dan tentu tidak boleh disia-siakan. Pasien harus
pisahkan. Mengembalikan kemampuan fisik seseorang diberikan motivasi untuk selalu aktif melakukan aktivitas
harus melalui kemampuan kognitif, karena rehabilitasi sesuai dengan kemampuan yang ada. Terapi latihan di-
pada prinsipnya adalah suatu proses belajar, yaitu belajar programkan dengan durasi dan frekuensi latihan secara
untuk mampu kembali melakukan suatu aktivitas bertahap ditingkatkan.
Tabel 5. Komplikasi Tirah Baring10 tidak berlebihan dan mengganggu gerak fungsional yang
akan dilatih. Pemberian posisi yang tepat sebagai
Sistem tubuh Efek terhadap sistem tubuh
antisipasi sudah harus dimulai sejak awal dan diterapkan
Sistem Kardiovaskuler § Denyut nadi meningkat ½ ketuk/menit dalam seluruh aktivitas.
setiap hari selama 3-4 minggu
§ Ortostatik hipotensi
§ Risiko terjadinya Deep Vein Trombosis Tabel 6. Pola Sinergistik 11
dan emboli pulmonal
§ Viskositas darah meningkat Bagian tubuh Pola sinergis fleksor Pola sinergis
Sistem Respirasi § Retensi sputum dan menurunnya ekstensor
oksigenasi
§ Kecepatan pernafasan meningkat Ekstremitas atas Retraksi bahu Protraksi bahu
§ Risiko terjadinya pneumonia Abduksi bahu Adduksi bahu
Sistem Muskuloske- § Kekuatan dan massa otot menurun Rotasi eksternal lengan Rotasi internal lengan
letal § Perubahan histologi otot Fleksi siku Ekstensi siku
§ Perubahan kelenturan sendi Supinasi tangan Pronasi tangan
(kontraktur) Fleksi pergelangan Ekstensi pergelangan
§ Osteoporosis tangan tangan
Sistem Metabolik § Persentase lemak tubuh meningkat Fleksi jari-jari tangan Fleksi jari-jari tangan
dan Endokrin § Hipercalcaemia Ekstremitas Fleksi panggul Ekstensi panggul
§ Toleransi glukose menurun dalam 3 hari bawah Abduksi panggul Adduksi panggul
tirah baring Rotasi eksternal Rotasi internal paha
Sistem Integumen § Decubitus ulcers panggul
Sistem Gastrointes- § Konstipasi Fleksi lutut Ekstensi lutut
tinal § Refluks Gastroesofageal Dorsifleksi pergelangan Plantar fleksi pergela-
Sistem Urogenital § Awal volume urin meningkat, kemudian kaki ngan kaki
menurun /stasis Eversi pergelangan kaki Inversi pergelangan kaki
§ Inkontinensia urine Ekstensi jari-jari kaki Fleksi jari-jari kaki
Sistem Saraf Pusat § Perubahan pada afeksi
§ Penurunan kognitif dan persepsi
Posisi antisipasi adalah posisi sebaliknya dari pola gerak
yang akan timbul. Pada ekstremitas atas misalnya,
Menyiapkan/mempertahankan kondisi yang memung- cenderung timbul spastisitas fleksor, maka lengan
kinkan pemulihan fungsional yang paling optimal diupayakan selalu dalam posisi ekstensi apabila tidak
Berbagai komplikasi dapat timbul setelah stroke yang sedang latihan. Pasien diberikan motivasi secara sadar
dapat membatasi pemulihan kemampuan fungsional yang menggunakan posisi antisipasi pada saat tidur, duduk
seharusnya dapat dicapai. Karena kondisi tersebut sebagian serta berdiri dan bergerak. Pasien seringkali lebih memilih
besar dapat dicegah, maka meningkatkan pemahaman posisi yang menyenangkan baginya. Posisi yang
keluarga dan pasien sangat penting dan krusial. menyenangkan dan terasa nyaman belum tentu
1. Mencegah pemendekan otot dan kontraktur sendi merupakan posisi yang baik untuknya.
Fungsi otot bergerak (berkontraksi) memendek dan 3. Mencegah timbulnya nyeri.
memanjang. Bila otot diam pada satu posisi tertentu dalam Nyeri sering terjadi setelah stroke dan sangat
waktu lama kelenturannya akan hilang. Otot akan kaku mengganggu terapi latihan. Nyeri dapat merupakan akibat
pada posisi tersebut, sulit dan memerlukan tenaga lebih atau komplikasi dari stroke. Lesi yang mengenai area
besar untuk kontraksi memendek ataupun memanjang. talamus seringkali menimbulkan nyeri yang disebut
Demikian pula berlaku pada sendi, yang akan menjadi sebagai thalamic pain syndrome. Nyeri jenis itu
kering dan kaku. Kedua kondisi ini membuat pasien yang disebabkan oleh gangguan sensorik sentral dimana
karena kelumpuhannya sudah sulit bergerak menjadi interpretasi stimulus yang datang dari luar diterima
tambah tidak mungkin bergerak. Latihan mencapai sebagai rasa nyeri di otak. Sayangnya nyeri tersebut
lingkup gerak penuh pada semua persendian disertai tidak selalu mudah diatasi, namun dapat dicoba dengan
latihan regangan otot sedikitnya 2 kali per hari pemberian trisiklik antidepresan atau antikonvulsan.
diperlukan. Sebagian besar nyeri pasca stroke merupakan nyeri
2. Mencegah spastisitas dan pola gerak sinergis berlebihan muskuloskeletal, terutama pada bahu sisi yang terkena.
Setelah stroke akan terbentuk spastisitas dan pola gerak Penyebab utamanya seringkali adalah penanganan bahu
khas yaitu pola sinergis fleksor atau ekstensor (Tabel 6). yang salah atau kurang tepat, seperti dalam penempatan
Pada umumnya, akan terbentuk pola sinergis fleksor pada bahu saat tidur miring ke sisi sakit sehingga bahu tertindih
ekstremitas atas sedangkan pada ekstremitas bawah pola tubuh, atau saat duduk bahu tidak tersanggah dengan
sinergis ekstensor. Spastisitas dan pola gerak sinergis baik. Saat membantu pasien pindah tempat (transfer) dan
tidak dapat dihilangkan akan tetapi perlu dikontrol agar saat membantu dalam aktivitas sehari-hari, misalnya
berpakaian (Gambar 3), ataupun cara melatih yang salah terjadi pada pasien afasia sensorik dan gangguan
pada bahu sisi yang lumpuh, menyebabkan terjadinya kognitif. Pemberian stimulasi untuk kemampuan
tendinitis, kapsulitis, cedera otot-otot gelang bahu, nyeri pemahamanan bahasa dan persepsi pasien diintegrasikan
miofascial, dan atau nyeri neuropatik. ke dalam terapi latihan.
Kontraktur sendi dan spastisitas juga dapat menimbulkan
nyeri saat otot digerakkan. Pencegahan merupakan upaya Gangguan Komunikasi
utama daripada mengobati yang telah terjadi. Edukasi Kemampuan manusia berkomunikasi satu sama lain
untuk mencapai pemahaman mengenai pemberian posisi melibatkan bermacam-macam fungsi, yang utama adalah
yang tepat, cara membantu pasien dalam transfer atau kemampuan berbahasa dan berbicara. Gangguan fungsi
aktivitas sehari-hari serta cara berlatihan oleh karena itu bahasa disebut sebagai afasia sedangkan gangguan fungsi
sangat penting diberikan pada pasien dan keluarganya. bicara disebut disartria.
Stroke dapat mengakibatkan gangguan pada salah satu fungsi kognisi) tersebut lebih sulit dan memerlukan waktu
beberapa atau bahkan semua kemampuan berbahaya (afasia lebih lama. Salah satu yang perlu mendapat perhatian adalah
global). Secara umum afasia dibedakan menjadi afasia motorik, hemi-neglect. Pasien dengan gangguan hemi-neglect
afasia sensorik, afasia transkortikal sensorik, afasia umumnya mempunyai lesi di hemisfer kanan dan mengabaikan
transkortikal motorik, afasia anomik dan afasia global. semua yang berada di sisi kirinya. Pasien tersebut seringkali
Kemampuan pemahaman bahasa menjadi indikator penting berjalan menabrak pintu yang ada di sebelah kiri, jatuh
untuk kemandirian aktivitas fungsional, artinya semakin berat tersandung benda yang berada di sisi kiri, atau tidak
gangguan afasia sensorik yang diderita, semakin sulit tercapai menyadari ada makanan atau minuman yang diletakkan di
kemandirian dalam aktivitas sehari-hari. sisi kirinya. Gangguan hemi-neglect paling parah adalah ia
Pasien afasia harus diajak berbicara dengan suara biasa tidak mengenali tangan kirinya sebagai bagian dari tubuhnya.
afasia bukan gangguan pendengaran, jadi tidak perlu Gangguan ini tidak sama dengan hemianopsia, dimana lapang
berteriak keras). Selain itu, jangan terlalu cepat dan dengan pandang pasien menjadi terbatas.
kalimat pendek yang mengandung satu informasi saja dalam
setiap kalimat. Akan lebih bermanfaat apabila stimulasi Gangguan Menelan
auditori (bahasa verbal) yang diberikan secara simultan Gangguan menelan disebut sebagai disfagia. Insiden
dengan stimulasi visual (bahasa tulisan atau gambar-gambar). gangguan menelan akibat stroke cukup banyak berkisar
Pasien afasia jangan diajarkan mengeja huruf, karena akan antara 30-65%.2,11,12 Sekitar 30% akan pulih dalam 2 minggu,
membuat pasien frustasi. Mengeja merupakan fungsi sisanya akan pulih dalam bulan-bulan berikutnya. Disfagia
hemisfer kiri yang justru terganggu. Stimulasi melalui lagu, merupakan gejala klinis penting karena menempatkan pasien
menyanyikan dan menyuarakan syair lagu yang sudah pada risiko aspirasi dan pneumonia, selain dehidrasi dan
pasien kenal sebelum sakit akan lebih bermanfaat. malnutrisi.
2. Disartria Suara pasien yang serak basah perlu dicurigai adanya
gangguan menelan. Mendeteksi adanya disfagia dapat
Disartria didefinisikan sebagai gangguan dalam
dilakukan melalui pemeriksaan sederhana sebagai berikut:
mengekspresikan bahasa verbal, akibat kelemahan,
spastisitas dan atau gangguan koordinasi pada organ 1. Pasien mampu memahami tujuan tes ini dan kooperatif.
bicara dan artikulasi. 2. Posisikan pasien duduk tegak. Apabila belum ada
Parameter bicara yang terkena pada disatria antara lain keseimbangan duduk, perlu diberikan tunjangan bantalan
respirasi, fonasi/suara, artikulasi, resonansi dan prosodi. agar dapat mempertahankan posisi duduk dengan baik.
Tergantung letak lesi disatria dibedakan atas disatria 3. Berikan satu sendok teh (5 ml) air dingin, minta pasien
flaksid, spastik, ataksik, hipokinetik dan hiperkinetik. untuk menelan dengan kepala sedikit menunduk.
Terapi latihan diberikan sesuai dengan penyebab disatria, 4. Perhatikan apakah pasien mampu menutup bibir saat
antara lain untuk memperbaiki kontrol pernapasan, mencoba menelan.
meningkatkan kelenturan dan penguatan organ bicara 5. Lihat atau lakukan palpasi dengan meletakan jari pada
dan artikulasi termasuk otot wajah, otot leher dan otot laring, rasakan apakah terjadi elevasi laring yang
pernapasan. menunjukan terjadinya proses menelan. Monitor apakah
ada keterlambatan atau terjadi proses menelan yang
Gangguan Fungsi Luhur inkomplit.
Fungsi kortikal luhur merupakan fungsi yang paling 6. Minta pasien untuk menyuarakan huruf “aaaa.....” Moni-
luhur pada manusia, yang membedakan manusia dengan tor suara yang terdengar kering atau basah/serak.
mahkluk Tuhan lainnya. Kerja fungsi ini melibatkan jaringan 7. Minta pasien berusaha membatukkan lendir, ulangi
yang rumit dan kompleks serta sulit untuk dipisahkan karena menyuarakan huruf aaa.... Monitor kembali bagaimana
saling terkait satu sama lain. Untuk memudahkan pemahaman, suara yang terdengar.
fungsi kortikal luhur dibedakan menjadi fungsi berbahasa, Apabila ternyata pasien tidak dapat menelan atau suara
fungsi memori, fungsi visuospasial, fungsi emosi dan fungsi menjadi basah, maka makan dan minum per oral harus
kognisi. Fungsi kognisi seseorang memerlukan intaknya dihentikan. Pasien memerlukan pemeriksaan fungsi menelan
fungsi kortikal luhur yang lain. Fungsi kognisi antara lain lebih lanjut dengan VFSS (video fluorosgraphic swallow
kemampuan atensi, konsentrasi, registrasi, kategorial, study) atau FEES (fiberoptic endoscopic evaluation of swal-
kalkulasi, persepsi, proses pikir, perencanaan, tahapan serta lowing).5,11,12
pelaksanaan aktivitas/tugas, pertimbangan baik buruk,
bahaya tidak bahaya, pemecahan masalah dan lain se- Gangguan Fungsi Miksi dan Defekasi
bagainya. Pasien stroke disertai gangguan fungsi luhur Gangguan miksi yang terjadi pada stroke umumnya
memerlukan rehabilitasi spesifik. Rehabilitasi untuk me- adalah uninhibited bladder yang menimbulkan inkontinensia
ngembalikan kemampuan fungsional (karena ada gangguan urin. Walaupun pasien kelihatannya mampu miksi, namun
harus tetap dievaluasi apakah urin keluar tuntas, artinya dinamik kemudian latihan berjalan. Dalam latihan berdiri perlu
residu sisa dalam kandung kemih setelah miksi kurang dari selalu diperhatikan bahwa panggul harus pada posisi ekstensi
50-80 ml. Sisa urin yang terlalu banyak akan menyebabkan 00, lutut mengunci pada posisi ekstensi 00 sedangkan
timbulnya infeksi kandung kemih. pergelangan kaki dalam posisi netral 900 . Pastikan berat
Pasien inkontinensia karena uninhibited bladder dapat badan tertumpu juga pada tungkai sisi yang sakit. Paralel bar
diatasi dengan manajemen waktu berkemih. Catat waktu serta yaitu palang dari besi, kayu atau bambu yang dipasang sejajar
jumlah minum dan urine pada voiding diary selama minimal merupakan tempat latihan jalan yang paling baik. Letakan
3 hari berturut-turut. Berdasarkan voiding diary tersebut kaca setinggi tubuh di depan paralel bar agar pasien dapat
dapat ditentukan kapan pasien setiap kali harus berkemih melihat sendiri postur berdiri serta jalannya dan melakukan
dengan pengaturan minum yang sesuai. Apabila frekuensi koreksi secara aktif. Apabila jalan sudah cukup stabil di dalam
miksi terlalu sering, obat seperti antikolinergik dapat paralel bar, maka latihan jalan dapat dilanjutkan dengan
membantu, namun hati-hati dengan risiko timbulnya retensio memakai tripod, yaitu tongkat yang ujung bawahnya
urin.12 bercabang tiga. Untuk memperbaiki stabilitas jalan, tidak
Gangguan defekasi pada stroke fase subakut pada jarang diperlukan perespon splint kaki (dynamic foot ortho-
umumnya adalah konstipasi akibat immobilisasi. Perlu diingat sis) atau sepatu khusus.
bahwa diare yang timbul kemudian selain gastroenteritis juga
bisa disebabkan oleh adanya skibala, terutama bila didahului Gangguan Melakukan Aktivitas Sehari-hari
oleh obstipasi lama sebelumnya. Pasien yang telah kembali ke rumah seharusnya di
Sarankan pasien untuk banyak bergerak aktif, berikan motivasi untuk mengerjakan semampunya aktivitas
cukup cairan (sekitar 40 ml/kg BB ditambah 500 ml air/cairan perawatan dirinya sendiri. Apabila sisi kanan yang terkena,
bila tidak ada kontraindikasi), serta makan makanan berserat pasien dapat diajarkan untuk menggunakan tangan kirinya
tinggi. Bila perlu obat laksatif dapat diberikan. untuk semua aktivitas. Pastikan juga tangan yang sakit diikut-
sertakan dalam semua kegiatan (Gambar 4). Semakin cepat
Gangguan Berjalan dibiarkan melakukannya sendiri, semakin cepat pula pasien
Ambulasi jalan merupakan suatu aktivitas komplex yang menjadi mandiri. Hanya aktivitas yang dapat menimbulkan
memerlukan tidak hanya kekuatan otot ekstremitas bawah risiko jatuh atau membahayakan pasien sendiri yang perlu
saja, tetapi juga kemampuan kognitif, persepsi, keseimbangan ditolong oleh keluarga.
dan koordinasi.
Terapi latihan menuju ambulasi jalan perlu diberikan Mengembalikan Kebugaran Fisik dan Mental
bertahap, dimulai dari kemampuan mempertahankan posisi Pasien stroke seringkali mengeluh cepat lelah. Ia selalu
duduk statik dan dinamik, keseimbangan berdiri statik dan berupaya untuk sedikit bergerak dan lebih banyak istirahat.