Anda di halaman 1dari 29

ASESMEN RESIKO JANTUNG DAN KONSULTASI

KARDIOLOGI
KUNCI PENTING
1. Morbiditas perioperatif jantung adalah faktor multifaktorial, dan pemahaman faktor
ini membantu mendefiniskan faktor resiko pada individu
2. Asesmen cedera miokard berdasarkan informasi integrasi dari imaging miokard
(contohnya ekokardiografi), elektrokardiografi (ECG) dan biomarker serum dengan
variabilitas signifikan dalam diagnosis berdasarkan kriteria yang dipilih
3. Model multivariat telah digunakan untuk mengembangkan indeks resiko yang
berfokus pada variabel preoperatif, variabel intraoperatif atau keduanya
4. Prediktor kunci dari resiko perioperatif adalah tergantung pada tipe operasi jantung
dan hasil luaran dari yang penting
5. Daktor yang digunakan untuk menciptakan indeks resiko adalah penentuan kritis
apakah dapat diberikan kepada populasi
6. Walupun angiografi koroner mengukur anatomi, imaging stres jantung memberikan
asesmen yang lebih baik dari fungsi jantung
7. Model resiko terbaru menjadi tersedia untuk operasi katup jantung atau kombinasi
koroner dan prosedur katup jantung.

Pada awal tahun 1980, CABG (coronary artery bypass graft surgery) dikarakteristikkan
dengan operasi yang memberikan rentan mortalitas 1% sampai 2%. Sepanjang tahun
berikutnya, namun, operasi urgen dan gawat darurat dan prosedur ―redo‖ menjadi hal yang
umum dan nilai mortalitas dan morbiditas lebih besar. PCI (Percutaneous coronary
interventions) diabsorbsikan pada pasien resiko rendah dari operasi, dengan hasil mortalitas
meningkat di rentan 5% sampai 6%. Tren PCI telah dilanjutkan dengan penemuan baru yang
mendemonstrasikan keamanan stent bahkan pada penyakit arteri koroner (CAD).1 demografi
ini membuat pemimpin administrasi rumah sakit untuk meminta pembenaran dari mortalitas
CABG yang diamati meningkat. Hal ini sering memakan waktu dan review grafik mahal
untuk identifikasi perbedaan pada populasi pasien yang menyebabkan morbiditas lebih besar.
Bahkan dengan informasi ini, ini sulit untuk menentukan secara objektif dampak baru dan
bukti yang meyakinkan untuk faktor mortalitas. Dorongan untuk mengembangkan penilaian
hasil yang disesuaikan dengan resiko/ faktor yang seperlunya untuk menilai sistem yang
dibutuhkan untuk membandingan hasil operasi jantung pada pasien dewasa muda di institusi
berbeda dan untuk patokan tingkat komplikasi yang diamati.2 dengan reformasi tenaga
kesehatan, sebuah peningkatan menarik untuk melaporkan secara terbuka hasil perioperatif
yang memerlukan penyesuain resiko yang optimal.

Skema penilaian resiko untuk operasi jantung diperkenalkan pertama kali oleh Paiement et al
di Institut kesehatan Montreal pada tahun 1983. Sejak itu, beberapa indeks resiko operasi
jantung pra operasi telah dikembangkan. Karaktersitik pasien yang dipengaruhi oleh
kemungkinan efek samping diidentifikasi dan diukur, dan resultan indeks resiko telah
digunakan untuk menyesuaikan untuk perbedaan campuran kasus diantara ahli bedah dan
pusat dimana profil performansi telah dikompilasi. Selain untuk perbandingan antar pusat,
indeks resiko pra operasi jantung telah digunakan untuk berunding dengan pasien dan
keluarga mereka dalam perencanaan, identifikasi kelompok dengan resiko tinggi untuk
perawatan khusus atau penelitian, untuk menentukan efektifitas biaya, untuk menentukan
efektifitas intervensi, untuk meningkatkan praktik penyedia layanan, dan untuk menilai biaya
yang berkaitan dengan tingkat keparahan penyakit. 4,5 Dokter anestesi tertarik pada indeks
resiko sebagai alat untuk mengidentifikasi pasien yang beresiko tinggi mengalami cedera
jantung intraoperatif dan bersama dengan dokter bedah, untuk estimasi resiko pra operasi
untuk bedah jantung untuk memberikan informasi objektif kepada pasien dan keluarganya
selama diskusi pra operasi. Bab ini membahas evaluasi pra operasi dari perspektif ini.

Sumber Cedera Miokard Perioperatif pada Bedah Jantung


Cedera miokard, dimanifestasikan sebagai disfungsi kontraktilitas jantung transien
(―stunning‖) atau infark miokard akut (AMI) atau keduanya yang memiliki komplikasi
terbanyak setelah operasi jantung dan merupakan satu-satunya sebab terpenting yang
menyebabkan komplikasi dan kematian di rumah sakit. Terlebih lagi, pasien yang memiliki
infark miokard perioperatif memiliki prognosis buruk jangka panjang; hanya 51% pasien
yang bebas dari kejadian jantung yang memiliki prognosis buruk setelah dua tahun,
dibandingkan dengan 96% pasien tanpa infark miokard. 6 Menjadi hal yang penting untuk
memahami patogenesis yang menyebabkan morbiditas dan mortalitas untuk memahami
faktor penentu resiko perioperatif, hal ini secara khusus penting berhubungan dengan
outcome jantung karena definisi morbiditas jantung mewakili sebuah kejadian yang berlanjut
dibandingkan kejadian diskrit. Pemahaman ini dapat membantu menolong target faktor resiko
yang secara biologis signifikan, serta intervensi yang dapat menurunkan nekrosis miokard
ireversibel. Nekrosis miokard muncul sebagai hasil dari perubahan iskemik patologis
progresif yang dimulai terjadi dalam miokard dalam hitungan menit setelah hambatan aliran
darah seperti yang dapat dilihat pada operasi jantung (kotak 1-1). Durasi hambatan aliran
darah, baik parsial atau komplit, menentukan tingkat nekrosis miokard. Hal ini sesuai dengan
penemuan bahwa kedua durasi periode aortic cross-clamping (AXC) dan durasi bypass
kardiopulmo (CPB) secara konsisten telah terbukti menjadi penentu utama hasil post operasi
di hampir semua penelitian. ini didukung dalam studi dengan rata-rata follow up selama 10
tahun setelah operasi jantung kompleks di Khuri yang mengamati hubungan antara rerata pH
miokard terendah pada waktu selama dan setelah periode AXC dan ketahanan pasien jangka
panjang. Pasien yang mengalami asidosis (pH<6,5) menurun ketahananya dibandingkan
dengan pasien yang tidak. Karena asidosis miokard merefleksikan iskemia miokard dan
rendahnya proteksi miokard selama CPB, studi ini didemonstrasikan berhubungan dengan
kecukupan proteksi miokard intraoperatif terhadap hasil jangka panjang (lihat bab 3,6,18 dan
28)

Kotak 1-1. Penentuan cedera miokard intraoperatif


 Hambatan aliran darah
 Reperfusi iskemi miokard
 Efek samping sistemik bypass kardiopulmoner

Reperfusi iskemi miokard


Intervensi pembedahan memerlukan hambatan aliran darah untuk jantung, diluar kepentingan
itu, diikuti dengan perbaikan perfusi. Sejumlah Studi eksperimental telah membuktikan
bahwa reperfusi, walaupun penting untuk jaringan atau pertahanan organ atau keduanya,
adalah tidak tanpa resiko karena perpanjangan kerusakan sel sebagai hasil dari reperfusi itu
sendiri. Iskemi miokard berdurasi terbatas (<20 menit), diikuti dengan reperfusi yang diikuti
dengan perbaikan dungsional tanpa bukti kerusakan struktur atau bukti biokimia jaringan
yang rusak. 8,9 secara paradoks, reperfusi jaringan jantung yang telah memiliki periode
perpanjangan iskemia, akan menghasilkan fenomena yang dikenal sebagai reperfusi cedera
miokard( myocardial reperfusion injury) 10-12 Dengan demikian, sebuah paradoks yang ada
bahwa viabilitas jaringan dapat dipertahankan hanya jika reperfusi terjadi dalam periode
waktu yang sesuai , tetapi hanya pada resiko terjadinya pemanjangan cedera yang disebabkan
oleh iskemi itu senditi. Hal ini didukung dengan observasi ventrikel fibrilasi yang lebih
menonjol ketika daerah sekeliling jantung yang iskemik diberikan reperfusi. 13 Jenning et al14
melaporkan perubahan yang tidak sesuai pada struktur dan elektrofisiologi yang berhubungan
dengan reperfusi iskemi jantung dan Hearse15 memperkenalkan konspe paradoks oksigen
pada otot jantung yang tidak mengeluarkan enzim dan perubahan ultrastruktur ketika jantung
direoksigenasikan setelah periode perfusi hipoksia.

Reperfusi cedera miokard didefinisikan sebagai kematian miosit, hidup pada saat reperfusi,
sebagai hasil langsung dari satu atau lebih kejadian yang diinisiasikan dengan reperfusi.
Kehancuran sel miokard berasal dari perbaikan aliran darah ke jantung yang iskemik
sebelumya, dengan dmeikian, perluasan daerah cedera yang ireversibel disebabkan oleh
iskemi itu sendiri. Kehancuran sel yang berasal dari reperfusi dapat menjadi reversibel atau
ireversibel, tergantung luas daerah yang iskemi. Jika reperfusi diinisiasi dalam 20 menit
setelah onset iskemi, cedera miokard akan reversibel dan dikarakteristikkan secara fungsional
dengan depresi kontraktilitas miokard, yang akhirnya pulih sepenuhnya. Jaringan miokard
yang nekrosis tidak dapat dideteksi pada daerah iskemi sebelumnya, walaupun kerusakan
fungsional dari kontraktilitas dapat bertahan pada periode yang bermacam-macam, sebuah
fenomena yang dikenal dengan myocardial stunning. Menginisiasi reperfusi setelah durasi
iskemia lebih lama daripada 20 menit, namun, hasil cedera miokard ireversibel atau terjadi
nekrosis seluler. Perluasan jaringan nekrosis akan berkembang selama reperfusi yang secara
langsung berhubungan dengan durasi kejadian iskemi. Jaringan nekrosis berasal dari daera
subendokardial iskemi miokard dan meluas ke area subepikardial, sering dikenal dengan
wavefront phenomenon. Kematian sel yang terjadi selama reperfusi dapat dikarakteristikkan
secara mikroskopis dengan pembengkakan yang eksposif, yang meliputi gangguan isi
jaringan, kontraksi serat otot, pembengkakan mitokondria, dan deposit kalsium fosfat dalam
mitokondria.13

Pembesaran reperfusi pada cedera secara langsung berkaitan dengan pembesaran pada cedera
iskemi yang menyertainya. Pada bentuk cedera berat, manifestasi pada fenomena ―tidak ada
nya aliran balik‖. Pada operasi jantung, pencegahan cedera miokard setelah pengeluaran
AXC, termasuk pencegahan tidak adanya aliran balik yang secara langsung tergantung pada
kecukupan proteksi miokard selama periode clamping aorta. Kombinasi iskemi dan reperfusi
pada cedera dimungkinkan sering dan pada tipe cedera yang serius yang merujuk kepada
hasil prognosis yang buruk pada operasi jantung. (lihat bab 2,3,6,12 sampai 14, 18 dan 28).

Investigasi yang mendasar (pada tikus, manusia, dan jantung babi) berimplikasi pada asidosis
primer yang dicetuskan oleh keadaan apoptosis. Asidosis, reoksigenasi, dan reperfusi, tetapi
bukan hipoksia (atau iskemi) sendiri , stimulus kuat untuk kematian sel yang terprogram,
sesuai dengan yang didemonstrasikan pada apoptosis jantung yang dapat merujuk kepada
kegagalan jantung . 16,17 Ini mengisyaratkan bahwa perubahan apoptosis dapat dicetuskan
pada operasi jantung, demikian juga berdampak pada kaskade cedera dari kejadian klinis
yang tidak sesuai yang bermanifestasi lambat pada program post operasi. Berdasarkan diskusi
sebelumnya, sudah jelas bahwa ukuran signifikan dari morbiditas perioperatif jantung adalah
berkaitan secara primer terhadap faktor intraoperatif. Namun, faktor resiko pra operasi dapat
berdampak ikemi atau cedera reperfusi.

Efek samping sistemik dari Bypass Kardiopulmoner


Selain efek disrupsi dan perbaikan aliran darah miokard, morbiditas jantung dapat berasal
dari banyak komponen yang digunakan untuk operasi kardiovaskular, yang mana merujuk
kepada efek sistemik yang berasal dari CPB induksi-sirkuit yang dihubungkan aktifasi.
Inflamasi pada pasien yang operasi jantung dihasilkan dari interkasi humoral dan seluler,
termasuk aktifasi, generasi, atau ekspresi trombin, komplemen, sitokin, neutorfil, molekul
adhesi, sel mast dan mediator inflamasi multipel.18 Karena kaskade inflamasi berlebihan,
amplifikasi yang besar terjadi untuk menciptakan disfungsi sistem multiorgan yang
dimanifestasikan sebagai koagulopati, kegagalan respirasi, disfungsi miokardial, insufisiensi
renal, defek neurokognitif. Koagulasi dan inflamasi juga dihubungkan secara dekat melalui
jaringan komponen humoral dan seluler, termasuk cloting protease dan kaskade fibrinolitik,
begitu juga dengan faktor jaringan. Sel endotel vaskular dapat mediasi inflamasi dan
hubungan silang antara koagulasi dan inflamasi operasi sendiri dapat mengaktivasi respon
hemostatis spesifik, aktivasi mekanisme imun, dan respon inflamasi yang dimediasi dengan
pengeluaran bermacam sitokin dan kemokin (lihat bab 8, dan 28 sampai 31). Reaksi inflamasi
kompleks ini dapat membawa kematian dari sebab noniskemi dan mengisyaratkan bahwa
faktor resiko pra operasi tidak dapat memprediksi morbiditas.
Kemampuan terhadap penyesuaian resiko pada populasi adalah terbatas terhadap intervensi
studi yang dapat berpengaruh pada respon CPB.

Asesmen Cedera Miokard pada Operasi Jantung


Armamentarium klinis saat ini tanpa difasilitasi oleh cedera jantung perioperatif yang
dapat dipercaya dengan monitor yang sesuai waktu (real time), yang merujuk kepada
penggunaan indikator AMI steleah terjadinya kejadian. Secara umum ada kekurangan
konsensus terkait dengan bagaimana untuk mengukur cedera miokard pada operasi jantung
karena cedera jantung yang berkelanjutan. Perubahan Elektrokardiografi (ECG), peningkatan
biomarker, dan pengukuran fungsi jantung semua telah digunakan, tetapi modalitas semua
asesmen dipengaruhi oleh trauma operasi langsung miokardial. Perhimpunan ahli jantung
amerika/ahli jantung eropa (The American College of Cardiology/European Society of
Cardiology (ACC/ESC) membuat sebuah definisi AMI pada tahun 2000, yang meliputi
peningkatan karakteristik dan jatuhnya konsentrasi darah pada troponin jantung atau creatin
kinase (CK-MB), atau keduanya, pada konteks intervensi koroner. Dimana modalitas lain
kurang sensitif dan spesifik (Gambar 1-1).19
Setelah itu, perhimpunan ESC/ACCF/ American Heart Association/World Heart
Federation Task Force’s Universal membuat definisi infark miokard pada tahun 2007. 20
Banyak kriteria yang memenuhi diagnosis untuk infark miokard: Deteksi
peningkatan/rendahnya biomarker jantung (troponin) dengan setidaknya satu nilai diatas
persentil 99 dari batas atas referensi, bersamaan dengan bukti infark miokard dengan
setidaknya salah satu sebagai berikut : gejala iskemia, perubahan ECG yang mengindikasikan
iskemia baru (perubahan ST-T atau LBBB baru (left bundle branch block) , perkembangan
gelombang Q patologis pada ECG atau bukti imaging dari hilangnya viabilitas miokard atau
abnormalitas pergerakan di sekeliling dinding baru (regional wall motion abnormality
(RWMA).
Gambar 1-1 waktu pengeluaran bermacam biomarker setelah infark miokard akut. Puncak A,
pengeluaran awal mioglobin atau isoform creatin kinase (CK—MB) setelah infark miokard
akut (AMI); Puncak B, troponin jantung setelah AMI, puncak C, CK-MB setelah AMI;
puncak D, troponin jantung sesudah angina yang tidak stabil. Data yang diplotkan pada skala
relatif, dimana 1.0 diatur pada konsentrasi cutoff AMI (From Apple FS, Gibler WB: National
Academy of Clinical Biochemistry Standards of Laboratory Practice: Recommendations for
the use of cardiac markers in coronary artery disease. Clin Chem 45:1104, 1999.)

Secara tradisional, AMI ditentukan secara elektrokardiografi (lihat Bab 15 dan 18).
Pengukuran biokimia secara luas tidak diterima karena treshold pasti untuk cedera miokard
tidak didefinisikan dengan jelas. Biomarker jantung meningkat setelah operasi dan dapat
digunakan untuk stratifikasi resiko post operasi, selain itu digunakan untuk diagnosa
morbiditas akut. (Kotak 1-2).

Asesmen Fungsi Jantung


Disfungsi kontraktilitas jantung adalah tipe cedera miokard terbanyak, disamping fakta
bahwa pada hakekatnya tidak ada pengukuran sempurna dari fungsi post operasi jantung.
Kebutuhan untuk dukungan inotropik,pengukuran termodilusi cardiac output , dan
elektrokardiografi transesofageal (TEE) dapat mewakilkan pilihan praktis intraoperatif untuk
evaluasi kontraktilitas jantung. Kebutuhan dukungan untuk inotropik dan pengukuran CO
adalah pengukuran yang tidak terpercaya karena pengukuran tersebut tergantung pada beban
kondisi dan variabilitas praktisi. Kegagalan untuk menghentikan dari CPB, dalam keadaan
tidak adanya faktor sistemik seperti hiperkalemia dan asidosss, adalah bukti terbaik dari
cedera miokard intraoperatif atau disfungsi jantung; tetapi hal itu juga dapat multifaktorial
dan oleh karena itu, pengukuran hasil kurang akurat. RWMA diikuti dengan onset iskemi
dalam 10 sampai 15 detik. Ekokardiografi dapay sensitif dan monitor cepat untuk
iskemi.cedera jantung.21 Jika RWMA ireversibel, ini mengindikasikan nekrosis miokard
ireversibel (lihat bab 11 sampai 14). Kepentingan pengukuran TEE dari fungsi jantung lebih
jauh lagi ditingkatkan dengan nilainya sebagai sebuah prediktor ketahanan jangka panjang. 22
Pada pasien yang menjalankan CABG, ejeksi fraksi di ventrikel kiri menurun pada keadaan
post operasi dibandingkan dengan keadaan pra operasi yang diprediksi dengan menurunnya
ketahanan jangka panjang.23

Penggunaan TEE dikomplikasikan karena stunning miokard (disfungsi ventrikel transien post
iskemia) adalah sebab tersering dari post operasi RWMA, yang bersifat transien. Namun,
munculnya ventrikel baru RWMA pada periode post operasi, baik dikarenakan oleh AMI
ireversibel atau stunning miokardial reversibel, adalah sebuah indikasi dari beberapa bentuk
ketidakcukupan proteksi miokard selama periode intraoperatif dan dengan demikian , hal
tersebut digunakan untuk asesmen intervensi baru. Sistem Ekokardiografi dan doppler juga
memiliki keterbatasan dalam sensitifitas untuk merubah beban kondisi, serupa dengan
kebutuhan inotropik dan penentuan CO.24 gambaran interpretasi TEE juga tergantung
operator (operator dependen).25 selain itu, ada sebab non iskemi dari RWMA, seperti
abnormalitas konduksi, pacing ventrikel, dan miokarditis yang mengacaukan ukuran hasil
untuk penilaian dari morbiditas iskemik.

Monitoring EKG
Terdapatnya gelombang baru Q yang persisten pada durasi 0,03 detik, perluasan gelombang
Q yang sudah ada sebelumnya, atau defleksi QS baru pada ECG post operasi telah digunakan
sebagai bukti AMI perioperatif.26 Namun, gelombang Q baru juga disebabkan karena
keadaan nyata dari infark miokard yang lama dan dengan demikian tidak mengindikasikan
AMI yang baru. Crescenzi et al27 mendemonstrasikan bahwa hubungan gelombang Q baru
dan tingginya nilai biomarker secara kuat berhubungan dengan kejadian postoperasi jantung,
dimana munculnya gelombang Q baru tidak berdampak pada hasil post operasi jantung.
Selain itu, gelombang Q baru dapat menghilang sewaktu waktu. 28 Tanda dari gelombang non
Q infark miokard seperti perubahan gelombang ST-T, adalah tanda yang tidak khusus dari
AMI setelah operasi jantung pada keadaan tidak adanya bukti biokimia. Perubahan segmen
ST kurang spesifik untuk MI perioperatif karena hal tersebut dapat disebabkan karena
perubahan posisi tubuh, hipotermia, abnormalitas transien dari konduksi, dan
ketidakseimbangan elektrolit. (lihat bab 15)

Serum Marker Biokimia untuk Deteksi Cedera Miokard


Biomarker serum telah menjadi dasar primer dalam menilai terdapatnya dan meluasnya AMI
setelah operasi jantung. Biomarker serum yang mengindikasikan kerusakan miokardial
meliputi (waktu puncak yang diberikan tanda kurung) : mioglobin(4 jam), total CK (16 jam),
isoenzim CK-MB (24 jam), troponin I dan T (24 jam), dan LDH (76 jam). Isoenzim CK-MB
telah digunakan secara luas, tetapi studi yang mengindikasikan bahwa troponin I adalah yang
paling sensitif dan spesifik dalam mendeteksi iskemi dan infark miokard. 29-34

Dengan memperhatikan CK-MB, definisi nilai cut off yang optimal telah didefinisikan
terbaik dengan korelasi multipel dari batas atas normal (upper limit of normal/ULN) untuk
laborat dan medium dan hasil jangka panjang. Untuk contohnya, Klatte et al 35 melaporkan
bahwa implikasi CK-MB pada 2918 pasien yang memiliki resiko tinggi CABG yang terdaftar
dalam penelitian klinis agen anti-iskemik. Angka mortalitas selama 6 bulan yang tidak sesuai
adalah 3,4%, 5,8%,7,8% dan 20,2% untuk pasien dengan rasio puncak CK-MB postoperatif
(puncak nilai CK-MB/ ULN untuk tes laborat) kurang dari 5 ≥ 5 sampai <10 , ≥10 sampai
<20, dan ≥ 20 nilai batas atas normal.35 hubungan signifikan secara statistik setelah penilaian
fraksi efeksi (EF), gagal jantung kongestif (CHF), penyakit serebrovaskular, penyakit
vaskular perifer, aritmia jantung, dan metode penghantaran kardioplegi. Studi terapi
revaskularisasi arteri , 496 pasien dengan penyakit arteri koroner multivessel yang menjalani
CABG dievaluasi dengan tes CK-MB dan diikuti setelah operasi selama 30 hari dan 1
tahun.36 Pasien dengan peningkatan jumlah enzim jantung setelah CABG meningkatkan
faktor resiko kematian dan AMI yang berulang dalam 30 hari pertama. CK-MB juga
meningkat secara independen berhubungan dengan hasil akhir yang tidak sesuai.

Studi menyarankan bahwa monitoring post operasi jantung dari troponin dapat digunakan
untuk menilai cedera miokard dan stratifikasi resiko. Peningkatan troponin I yang spesifik
untuk jantung atau tropoinin T pada pasen setelah CABG berhubungan dengan jantung yang
menyebabkan kematian dan dengan komplikasi mayor dari post operasi dalam 2 tahun setelah
CABG.37,38 ACC/ESC mendefinisikan biomarker yang termasuk tetapi tidak meliputi kriteria
spesifik untuk mendiagnosa AMI post CABG menggunakan biomarker jantung. 19 Ada
beberapa biomarker baru pada cedera jantung perioperatif atau iskemia yang sedang
dikembangkan. Brain natriuretic peptide (BNP) dapat mendeteksi iskemi pada stadium awal
dan menurunkan iskemi secara cepat, memungkinkan deteksi ulang daerah yang cedera
dengan lebih baik.39 konsentrasi BNP setelah CABG pada pasein yang telah mengalami
kejadian jantung dalam 2 tahun secara signifikan lebih besar dibanding dengan mereka yang
bebas dari kejadian jantung.40 Ligan CD40 (CD40L) yang larut adalah biomarker lain dari
iskemi miokard,41 dan CPB menyebabkan peningkatan pada konsentrasi plasma CD40L.
Penurunan yang sesuai pada platelet CD40L mengisyaratkan bahwa protrombotik dan protein
proinfalamasi berasal dari platelet dan dapat berkontribusi untuk trombotik dan komplikasi
inflamasi yang berhubungan dengan CPB.42 Penelitian di masa depan akan diperlukan untuk
menentukan bagaimana biomarker ini akan digunakan untuk menilai hasil setelah operasi
jantung.

Variablitas dalam Diagnosis Infark Miokard Perioperatif


Variabilitas dalam mendiagnosa AMI perioperatif telah dipelajari oleh Jain dan koleganya,43
data yang dievaluasi dari 566 pasien pada 20 situs klinis, dikumpulkan sebagai bagian
penelitian klinis. Kejadian AMI dengan gelombang Q, CK-MB, atau kriteria otopsi
ditentukan. Dari 25% pasien yang sesuai dengan gelombang Q, CK-MB, atau kriteria otopsi
untuk AMI, 18% memiliki konsentrasi CK-MB yang meningkat, begitu juga dengan
perubahan ECG. Gelombang Q dan CK-MB atau kriteria otopsi untuk AMI sesuai dengan
4% pasien. Data multisenter yang dikumpulkan menunjukkan variasi substansial pada
insidensi AMI dan sebuah insidensi keseluruhan mencapai 25%. Definisi AMI perioperatif
secara tinggi bervariasi tergantung pada definisi yang digunakan.

Klinisi masih mencari untuk sebuh ―gold standar‖ yang mendekati untuk mendiagnosa AMI
perioperatif. Nekrosis miokard perioperatif/cedera dari ringan sampai berat dan dapat
membuat iskemi dan asal noniskemi pada pasien yang sedang operasi jantung. Perubahan
ECG perioperatif , termasuk gelombang Q dan RWMA baru pada ECG kurang terpercaya
dibanding di arena nonoperatif. Baru baru ini, troponin I atau T adalah indikator terbaik dari
kerusakan miokard setelah operasi jantung. Jumlah enzim yang berkorelasi dengan perluasan
cedera, tetapi tidak ada titik cutoff universal yang mendefinisikan MI perioperatif.

Asesmen Resiko Jantung dan Jenis Stratifikasi Resiko Jantung


Dalam mendefinisikan faktor resiko penting dan mengembangkan indeks resiko, tiap studi
telah menggunakan hasil priemer yang berbeda. Mortalitas postoperatif tetap sebagai hasil
yang paling pasti yang merefleksikan cedera pasien dalam periode perioperatif . Penting
untuk mencatat bahwa kematian dapat terjadi karena sebab jantung dan bukan jantung, dan
jika jantung, dapat berasal dari iskemi atau bukan iskemi. Mortalitas post operasi yang
dilaporkan baik di rumah sakit atau 30 hari. Definisi yang terakhir merupakan definisi yang
lebih standar, walaupun kebanyakan sulit untuk ditangkap karena pemotongan biaya untuk
mengeluarkan pasien lebih awal setelah operasi. Nilai pengembangan model mortalitas post
operasi dinilai perbandingan efikasi dari bermacam teknik dalam mencegah kerusakan
miokard, tetapi hal tersebut tidak memberikan informasi yang berguna dalam mencegah
cedera secara real time.44 Tingkat mortalitas post operasi juga digunakan sebagai ukuran
perbandingan dari kualitas perawatan operasi jantung.45,46

Morbiditas post operasi meliputi AMI dan kejadian reversibel seperti PJK dan butuh
dukungan inotropik. Masalah menggunakan AMI sebagai hasil telah dijelaskan sebelumnya.
Karena sumber penggunaan telah menjadi pertimbangan keuangan penting untuk rumah
sakit, panjang perawatan ICU yang secara meningkat telah digunakan dalam perkembangan
indeks resiko (lihat bab 33).

Prediktor Morbiditas dan Mortalitas Post Operasi


Klinisi dan prediktor angiografi mortalitas operasi secara inisial dedefinisikan dari penelitian
bedah arteri koroner (Coronary Artery Surgery Study (CASS).47,48 Sebanyak 6630 pasien
yang diisolasi CABG antara 1975 dan 1978. Wanita secara signifikan lebih besar
mortalitasnya dibanding laki-laki; peningkatan mortalitas seiring dengan bertambahnya usia
pada laki-laki, tetapi ini adalah faktor yang tidak signifikan pada perempuan. Peningkatan
keparahan angina, manifestasi gagal jantung dan jumlah dan perluasan stenosis arteri koroner
semua berhubungan dengan mortalitas yang lebih besar, dimana fraksi ejeksi bukan
prediktor. Urgensi operasi adalah prediktor hasil yang kuat, dengan pasien yang memerlukan
operasi emergensi di 90% stenosis arteri koroner primer kiri menghasilkan nilai mortalitas
sebanyak 40%.

Skema penilaian resiko untuk operasi jantung (CABG dan katup) dikenalkan oleh Paiement
et al di unit kesehatan montreal pada tahun 1983. Delapan faktor resiko diidentifikasi : (1)
fungsi ventrikel kiri yang buruk, (2) PJK, (3) angina yang tidak stabil atau MI baru (dalam 6
minggu, (4) umur yang lebih besar dari 65 tahun, (5) obesitas berat (BMI >30 Kg/m2),
(6)Operasi ulang, (7) operasi emergensi, dan (8) penyakit sistemik yang signifikan atau tidak
terkontrol. Tiga klasifikasi diidentifikasi : pasien dengan tidak adanya faktor ini (normal),
pasien yang memiliki satu faktor resiko (meningkatkan resiko), dan pasien yang memiliki
lebih dari satu faktor resiko (resiko tinggi). Dalam studi pada 500 pasien yang menjalankan
operasi jantung, ditemukan mortalitas operasi meningkat seiring dengan peningkatan resiko
(sistem penilaian yang dikonfirmasi oleh pasien).

Salah satu sistem penilaian yang paling banyak digunakan untuk CABG adalah yang
dikembangkan oleh Parsonnet dan koleganya, (Tabel 1-1).49 14 faktor resiko yang
diidentifikasi pada rumah sakit atau mortalitas 30 hari setelah analisis regresi univariat dari
3500 operasi yang diikuti secara konsekutif. Jenis model tambahan yang dirancang dan
dievaluasi secara prosepektif pada 1332 prosedur operasi. Lima kategori dari resiko yang
diidentifikasi dengan peningkatan mortalitas, komplikasi, dan lamanya tinggal di pusat Medis
Beth Israel. Indeks parsonnet sering digunakan sebagai tolok ukur perbandingan antar
institusi. Namun, model parsonnet diciptakan lebih cepat daripada model lainnya dan tidak
dapat mewakili praktik CABG saat ini. Selama periode setelah publikasi model parsonnet,
banyak teknik yang saat ini berkembang yang digunakan secara rutin untuk mengurangi
mortalitas CABG.

Bernstein dan parsonet 50 menyederhanakan sistem penilaian yang disesuaikan dengan resiko
pada tahun 2000 untuk memberikan alat praktis dalam diskusi pra operasi dengan pasien dan
keluarga, dan untuk menghitung stratifikasi resiko pra operasi. Penulis telah mengembangkan
model regresi logistik dimana 47 faktor resiko potensial dinilai dan sebuah metode yang
memerlukan tambahan sederhana dan interpretasi grafik yang didesain untuk memperkirakan
estimasi resiko dengan lebih mudah. Estimasi akhir membutuhkan model korelasi sederhana
dengan mortalitas yang diamati (Gambar 1-2)

O’conner et al51 menggunakan data yang dikumpulkan dari 3055 pasien yang menjalani
isolasi CABG pada 5 pusat klinis antara tahun 1987 dan 1989 untuk mengembangkan nilai
multivariat numerik. Sebuah model regresi dikembangkan di sebuah pelatihan dan kemudian
divalidasi dalam sebuah tes. Prediktor independen dari mortalitas rumah sakit meliputi umur
pasien, area permukaan tubuh, nilai komorbiditas, CABG sebelumnya, fraksi ejeksi, tekanan
end diastolik ventrikel kiri, dan prioritas operasi. Aturan Prediksi validasi multivariat kuat
dalam mendeteksi mortalitas untuk pasien individu dan penulis mengusulkan hal tersebut
untuk membandingkan tingkat mortalitas yang diamati dan diperkirakan untuk digunakan
oleh sebuah institusi atau khususnya klinisi.

Higgins et al52 mengembangkan penilaian severitas klinis untuk CABG pada klinik
Cleveland. Model Regresi logistik multivariat untuk memprediksi resiko perioperatif yang
dikembangkan di 5051 pasien yang menjalankan CABG antara 1986 dan 1988, dan secara
khusus divalidasi pada penelitian kohort sebanyak 4069 pasien. Prediktor independen dari
perawatan rumah sakit dan mortalitas 30 hari adalah prosedur emergensi, jumlah serum
kreatinin pra operasi lebih besar dari 168 mol/L, keparahan disfungsi ventrikel kiri ,
hematokrit pra operasi kurang dari 34%, peningkatan umur, penyakit paru kronik, operasi
vaskular sebelumnya, operasi ulang dan insufisiensi katup mitral. Prediktor morbiditas (AMI
dan penggunaan balon pompa intra aorta / intra-aortic balloon pump [IABP], ventilasi
mekanik ≥ 3 hari, defisit neurologis, gagal ginjal oliguria atau anuria, atau infeksi serius )
meliputi diabetes melitus, berat badan 65 kg atau kurang, stenosis aorta, dan penyakit
serebrovaskular. Tiap prediktor independen diberi skor atau bobot, dengan peningkatan
mortalitas dan morbiditas yang berhubungan dengan peningkatan jumlah skor .

Model hannan et al dikumpulkan data dari tahun 1989 sampai 1992 dengan 57.187 pasien
dalam sebuah studi dengan 14 variabel. Divalidasi di 30 institusi. Definisi mortalitas ―di
rumah sakit‖. Angka kematian kasar pada rentan 3,1%; titik kurva ROC ada di 0,7, dengan
statistik Hosmer-Lamesow kurang dari 0,005. Mortalitas diobservasi 3,7% dan mortalitas
yang diharapkan adalah 2,8%. Mereka termasuk hanya operasi CABG yang diisolasi.

Database Nasional Society of Thoracic Surgeons (STS) mewakili sumber data yang paling
kuat untuk menghitung sistem penilaian yang disesuaikan dengan risiko. Didirikan pada
tahun 1989, database telah berkembang mencakup 892 rumah sakit yang berpartisipasi pada
tahun 2008. Database yang didukung oleh penyedia ini memungkinkan peserta untuk
membandingkan hasil penyesuaian risiko terhadap standar regional dan nasional. Database
Pembedahan Jantung Dewasa Nasional ini (STS NCD) telah menjadi salah satu yang
terbesar di dunia. Data pasien baru dibawa ke database STS setiap tahun dan sekarang
setengah tahunan. Data baru ini telah dianalisis, dimodelkan, dan diuji dengan menggunakan
berbagai algoritma statistik. Sejak tahun 1990, ketika tercapai pengumpulan data yang lebih
lengkap, model stratifikasi risiko dikembangkan untuk kedua operasi penggantian katup dan
CABG . Model yang dikembangkan pada tahun 1995 dan 1996 terbukti memiliki nilai
prediktif yang baik (Tabel 1-2; gambar 1-3).54-55

Pada tahun 1999, STS menganalisis database untuk penggantian katup dengan dan
tanpa CABG untuk menentukan stratifikasi risiko. Antara 1986 dan 1995, 86.580 pasien
dianalisis. Model ini mengevaluasi pengaruh 51 variabel pra operasi pada mortalitas operatif
dengan analisis univariat dan multivariat untuk keseluruhan populasi dan untuk setiap subset.
Setelah ditentukan faktor risiko yang signifikan oleh analisis univariat, analisis regresi
logistik standar dilakukan dengan menggunakan pelatihan populasi untuk mengembangkan
sebuah model formal.

Tes pada puplasi kemudian digunakan untuk menentukan validitas dari model
tersebut. Faktor risiko pra operasi yang terkait dengan tingkat kematian operatif terbesar
adalah status penyelamatan, gagal ginjal (ketergantungan dialisis dan nondialisis), status
emergensi, operasi ulang multipel, dan klasifikasi NYHA kelas IV. Analisis regresi logistik
multivariat mengidentifikasi 30 faktor risiko pra operasi independen di antara 6 model katup,
yang diisolasi atau dikombinasikan dengan CABG. Penambahan CABG meningkatkan
tingkat mortalitas secara signifikan untuk semua kelompok usia dan untuk semua model
subset.56
Saat ini ada tiga model resiko STS secara umum: CABH, katup (aorta atau mitral), dan katup
plus CABG. Ini berlaku untuk tujuh prosedur spesifik dan tepat: model CABG mengacu pada
CABG yang terisolasi. Model katup meliputi isolasi aorta atau penggantian katup mitral dan
perbaikan katup mitral dan CABG, penggantian katup mitral dan CABG, dan perbaikan katup
mitral dan CABG. Disamping mortalitas operatif, Model ini dikembangkan untuk delapan
titik akhir tambahan: operasi ulang, stroke permanen, gagal ginjal, infeksi luka dalam sternal,
ventilasi berkepanjangan (> 24 jam), morbiditas utama, dan kematian operasi, dan akhirnya
lama tinggal post operasi adalah singkat (<6 hari) dan panjang (> 14 hari).57-59 Model-model
ini diperbarui secara berkala setiap beberapa tahun sekali dan dikalibrasi setiap tahun untuk
menyediakan alat yang tepat dan akurat untuk pembandingan regional dan nasional, dan telah
diusulkan untuk dilaporkan ke publik. Kalibrasi faktor risiko didasarkan pada rasio yang
diamati / diperkirakan (O / E), dan faktor kalibrasi diperbarui setiap tiga bulan. Kematian
yang diharapkan (E) dikalibrasi untuk mendapatkan rasio nasional E / O.

Tu et al60 mengumpulkan data dari 13.098 pasien yang menjalani operasi jantung antara
tahun 1991 dan 1993 di semua sembilan lembaga bedah jantung dewasa di Ontario, Kanada.
Enam variabel (umur, jenis kelamin, fungsi ventrikel kiri, jenis operasi, urgensi operasi, dan
operasi berulang) memperkirakan mortalitas di rumah sakit, lama perawatan di ICU, dan
beberapa hari masa pascaoperasi setelah operasi jantung. Selanjutnya, Panel Kelompok Kerja
pada mengkolaborasikan Proyek Database CABG ke dalam 44 variabel klinis menjadi 7
variabel inti, 13 tingkat 1, dan 24 tingkat 2, untuk merefleksikan kepentingan relatif dalam
menentukan mortalitas jangka pendek setelah CABG. Dengan menggunakan data dari 5517
pasien yang menjalani CABG terisolasi di 9 institusi di Ontario pada tahun 1993, serangkaian
model dikembangkan. Penggabungan variabel tambahan di luar enam variabel asli sedikit
ditambahkan ke prediksi mortalitas di rumah sakit.
Spivack et al61 mengumpulkan data selama tahun 1991 dan 1992 dan memasukkan 513
pasien dengan 15 variabel, hanya divalidasi di institusi mereka. Mereka hanya menggunakan
populasi CABG yang terisolasi, dan hasil yang diukur adalah mortalitas dan morbiditas.
Definisi morbiditas adalah waktu ventilator mekanik yang berkepanjangan dan lama ICU,
merupakan kejadian langka (8,3% dan 2,0%). Kombinasi fraksi ejeksi ventrikel kiri yang
berkurang dan adanya kondisi komorbid yang sudah ada sebelumnya (PJK klinis, angina, saat
ini merokok, diabetes) berperan sebagai faktor risiko yang paling sederhana untuk ventilasi
mekanik yang berkepanjangan; Ketiadaan hal tersebut sangat memprediksi respirasi post
operasi yang tidak memiliki komplikasi.

Gambar 1-3 A, Pengambilan risiko dengan jumlah catatan per kelompok yang sama. Setelah
prediksi risiko untuk setiap pasien dalam rangkaian tes ditentukan, catatan pasien disusun
secara berurutan sesuai perkiraan risiko. Tingkat kematian yang diprediksi dibandingkan
dengan angka kematian aktual untuk masing-masing dari 10 kelompok. Garis putus-putus
mewakili kisaran angka kematian yang diprediksi untuk sekelompok pasien; Batang mewakili
angka kematian aktual untuk sekelompok pasien. B, Desil risiko dengan jumlah kematian
yang sama per kelompok. Setelah prediksi risiko untuk setiap pasien dalam rangkaian tes
yang ditentukan, catatan pasien disusun secara berurutan sesuai perkiraan risiko. Populasi
dibagi menjadi 10 kelompok dengan jumlah kematian yang sama di masing-masing
kelompok. Kematian yang diprediksi dibandingkan dengan angka kematian sebenarnya untuk
masing-masing dari 10 kelompok. Garis putus-putus mewakili kisaran angka kematian yang
diprediksi untuk sekelompok pasien; Batang mewakili angka kematian aktual untuk
sekelompok pasien. C, Kategori risiko dalam kelompok yang secara klinis relevan. Setelah
prediksi risiko setiap pasien dalam rangkaian tes yang ditentukan, catatan pasien disusun
secara berurutan sesuai prediksi risiko. Populasi dibagi menjadi tujuh kategori risiko yang
relevan secara klinis. Kematian yang diprediksi dibandingkan dengan angka kematian
sebenarnya untuk masing-masing dari tujuh kelompok. Garis putus-putus mewakili kisaran
angka kematian yang diprediksi untuk sekelompok pasien; Batang mewakili angka kematian
aktual untuk sekelompok pasien (A–C, From Shroyer AL, Plomondon ME, Grover FL, et al:
The 1996 coronary artery bypass risk model: The Society of Thoracic Surgeons Adult
Cardiac National Database. Ann Thorac Surg 67:1205, 1999, by permission of the Society of
Thoracic Surgeons.)

Sistem Eropa Evaluasi Risiko Operasional Jantung (EuroSCORE) untuk evaluasi risiko
operasi jantung dirancang dari analisis terhadap 19.030 pasien yang menjalani beragam
kelompok prosedur bedah jantung dari 128 pusat di seluruh Eropa (Tabel 1-3 dan 1-4).62-63
Faktor risiko berikut dikaitkan dengan peningkatan angka kematian: usia, jenis kelamin
wanita, serum kreatinin, arteriopati ekstra kardiak, penyakit saluran nafas kronis, keparahan
disfungsi neurologis, operasi jantung sebelumnya, MI baru-baru ini, fraksi ejeksi ventrikel
kiri, PJK kronis, hipertensi pulmonal, endokarditis aktif, angina tidak stabil, urgensi prosedur,
kondisi kritis pra operasi, ruptur septum ventrikel, operasi non koroner, dan operasi aorta
toraks.

EuroSCORE memberikan kesempatan unik untuk menilai risiko pembedahan jantung dengan
benar tanpa adanya faktor risiko yang dapat diidentifikasi. Untuk tujuan analisis ini, angka
mortalitas awal dihitung pada pasien yang tidak memiliki faktor risiko pra operasi yang dapat
diidentifikasi (termasuk faktor risiko yang tidak ditemukan yang memiliki dampak signifikan
dalam penelitian ini, seperti diabetes dan hipertensi). Ketika semua pasien tersebut
diekslusikan, sangat menyenangkan untuk mencatat angka kematian saat ini yang sangat
rendah untuk operasi jantung di Eropa: 0% untuk perbaikan defek septum atrium, 0,4% untuk
CABG, dan hampir tidak lebih dari 1% untuk perbaikan atau penggantian katup tunggal.

Selama tahun 2000an, tambahan EuroSCORE ini telah digunakan secara luas dan divalidasi
di berbagai pusat di Eropa dan di seluruh dunia, menjadikannya alat utama untuk stratifikasi
risiko dalam operasi jantung.64-75 Meskipun keakuratannya telah cukup untuk CABG dan
prosedur katup terisolasi, kemampuan prediksi dalam kombinasi prosedur CABG dan katup
telah dipelajari dengan kurang baik. Karthik et al66 menunjukkan bahwa, pada pasien yang
menjalani prosedur gabungan, tambahan
EuroSCORE secara signifikan mengurangi
risiko dibandingkan dengan mortalitas yang
diamati. Dalam subset ini, hal tersebut dapat
menentukan bahwa EuroSCORE logistik adalah

metode penilaian risiko yang lebih baik dan


akurat.

Contoh : hipertensi terkontrol, diabetes melitus,


penyakit vaskular perifer, PPOK, penyakit
sistemik yang terkontrol, atau yang dinilai oleh
klinisi
Contoh : angina unstable yang diterapi dengan heparin intravena atau nitrogliserin, balon
pompa pra operasi intra aorta, gagal jantung dengan edem pulmo atau perifer, hipertensi tak
terkontrol, insufisiensi renal (jumlah kreatinin >140 nanomol/L, penyakit sistemik yang
dinilai oleh klinisi

Contoh : operasi ulang, kombinasi operasi katup dan operasi arteri koroner, operasi katup
multipel, aneurismektomi ventrikel kiri, perbaikan defek septum atrium setelah infark
miokard, bypass arteri koroner difus atau kalsifikasi pembuluh darah yang berat. Dan yang
lainnya yang dinilai oleh klinisi.

Dupuis et al mencoba untuk menyederhanakan pendekatan terhadap risiko prosedur bedah


jantung dengan cara yang mirip dengan klasifikasi status fisik American Society of
Anesthesiologists (ASA) . Mereka mengembangkan skor yang menggunakan kategorisasi
kontinyu sederhana, menggunakan lima kelas ditambah status emergensi (Tabel 1-5). Model
skor Evaluasi Risiko Anestesi (CARE) mengumpulkan data dari tahun 1996 sampai 1999 dan
melibatkan 3.548 pasien untuk memprediksi mortalitas di rumah sakit dan kelompok
bermacam macam dari morbiditas utama. Ini dilakukan dengan menggabungkan penilaian
klinis dan penggunaan tiga faktor risiko yang sebelumnya diidentifikasi oleh indeks risiko
multifaktorial: kondisi komorbiditas dikategorikan terkendali atau tidak terkontrol,
kompleksitas bedah, dan prosedur urgensi. Skor CARE menunjukkan karakteristik prediktif
yang serupa atau superior dibandingkan dengan indeks yang lebih kompleks.

Nowicki et al77 menggunakan data pada 8943 pasien operasi katup jantung berusia 30 tahun
ke atas dari delapan pusat kesehatan New England utara dari tahun 1991 sampai 2001 untuk
mengembangkan model untuk memprediksi angka mortalitas di rumah sakit. Dalam analisis
multivariat, 11 variabel dalam model aorta (usia lanjut, area permukaan tubuh bagian bawah,
operasi jantung sebelumnya, peningkatan kreatinin, stroke sebelumnya, NYHA kelas IV,
PJK, atrial fibrilasi, ketajaman, tahun operasi, dan CABG yang bersamaan) dan 10 variabel
dalam model mitral (jenis kelamin perempuan, usia yang lebih tua, diabetes, penyakit arteri
koroner, penyakit serebrovaskular sebelumnya, peningkatan kreatinin, NYHA kelas IV, PJK,
ketajaman, dan penggantian katup) merupakan hasil prediktor independen. Mereka
mengembangkan sebuah Tabel look-up untuk tingkat mortalitas berdasarkan sistem skoring
sederhana.

Hannan dan rekannya juga mengevaluasi prediktor kematian setelah operasi katup namun
menggunakan data dari 14.190 pasien dari Negara Bagian New York. Sebanyak 18 faktor
risiko independen diidentifikasi dalam 6 model kombinasi katup dan CABG yang berbeda.
Gagal ginjal dan ketergantungan dialisis diantara faktor risiko yang paling signifikan pada
semua model. Faktor risiko dan odds rasio ditunjukkan pada Tabel 1-6, 1-7, dan 1-8. Mereka
juga mempelajari faktor risiko mana yang terkait dengan awal masuk dirawat (dalam 30 hari)
setelah CABG. Dari 16.325 pasien, 2111 (12,9%) telah dirawat kembali dalam waktu 30 hari
karena alasan yang berkaitan dengan CABG.
Sebelas faktor risiko ditemukan terkait secara independen dengan tingkat pengembalian
perawatan yang lebih besar: usia yang lebih tua, jenis kelamin wanita, ras Amerika Afrika,
area permukaan tubuh lebih besar, AMI sebelumnya dalam waktu 1 minggu, dan enam
komorbiditas. Setelah mengendalikan faktor risiko tingkat pasien pra operasi ini, dua
karakteristik penyedia (operasi bedah tahunan dengan volume CABG <100 dan tingkat
mortalitas yang disesuaikan dengan risiko dengan pengobatan dosis tertinggi) dan dua faktor
pascaoperasi (pemulangan ke fasilitas perawatan / rehabilitasi / perawatan akut dan lama
Tinggal selama perawatan CABG dengan indeks masuk ≥5 hari) juga berhubungan dengan
rentan perawatan kembali yang lebih besar. Perkembangan beberapa model risiko yang
sangat bagus untuk operasi katup jantung yang menyediakan alat baru yang ampuh untuk
memperbaiki perawatan pasien, pemilihan prosedur, konseling pasien, dan membandingkan
hasil yang didapat(lihat Bab 19) .79

Konsistensi di antara Indeks Resiko


Banyak variabel yang berbeda telah ditemukan terkait dengan peningkatan risiko selama
operasi jantung, namun hanya beberapa variabel yang secara konsisten ditemukan sebagai
faktor risiko utama . Usia, jenis kelamin perempuan, fungsi ventrikel kiri, kebiasaan tubuh,
operasi ulang, jenis operasi, dan urgensi operasi adalah beberapa variabel yang secara
konsisten ada di sebagian besar model (Kotak 1-3).

Meskipun berbagai peneliti telah menemukan penyakit komorbid yang berbeda sebagai faktor
risiko yang signifikan, tidak ada penyakit yang terbukti memiliki faktor risiko yang konsisten,
dengan kemungkinan pengecualian disfungsi ginjal dan diabetes. Dua komorbiditas ini telah
terbukti menjadi faktor risiko penting dalam sebagian besar penelitian (Kotak 1-4).

Penerapan Indeks Risiko yang diberikan terhadap Populasi


Penting untuk memahami bagaimana indeks ini dibuat untuk memahami bagaimana cara
terbaik menerapkan indeks risiko tertentu kepada pasien atau populasi tertentu. Secara
khusus, penerapan model risiko ini harus dilakukan dengan hati-hati dan setelah mempelajari
secara seksama populasi tertentu.
Satu masalah adalah bahwa profil pasien yang menjalani operasi jantung terus berubah, dan
pasien yang sebelumnya tidak dipertimbangkan untuk operasi (dan karena itu tidak termasuk
dalam kumpulan data) sekarang menjalani operasi. Oleh karena itu, model memerlukan
pemutakhiran dan revisi terus menerus. Selain itu, operasi jantung itu sendiri berubah seiring
dengan meningkatnya penggunaan prosedur off-pump dan prosedur yang kurang invasif, yang
dapat mengubah kondisi yang sudah ada sebelumnya.
Salah satu faktor penting dalam pemilihan model yang akan digunakan untuk praktik yang
diberikan adalah memahami tujuan klinis yang digunakan dalam proses awal pengembangan.
Selain itu, meskipun penelitian ekstensif dan penggunaan model risiko yang meluas dalam
operasi jantung, ada beberapa masalah metodologis. Detail laporan sangat bervariasi.
Kesimpulan yang berbeda dapat dicapai tergantung model risiko yang digunakan. Proses
yang penting untuk pengembangan model risiko ditunjukkan pada Gambar 1-4.
Kotak 1-3. Variabel tersering yang berhubungan dengan peningkatan faktor resiko untuk
operasi jantung
 Umur
 Jenis kelamin perempuan
 Fungsi ventrikel kiri
 Kebiasaan tubuh
 Operasi ulang
 Tipe operasi
 Urgensi operasi

Kotak 1-4. Kondisi medis yang berhubungan dengan peningkatan resiko


 Disfungsi renal
 Diabetes
 Sindrom koroner akut terbaru
Asumsi yang mendasari dalam perkembangan indeks risiko adalah faktor spesifik (riwayat
penyakit, temuan fisik, data laboratorium, sifat operasi) tidak dapat dimodifikasi sehubungan
dengan pengaruhnya terhadap hasil; Artinya, periode perioperatif pada dasarnya adalah kotak
hitam. Jika faktor tertentu tidak diobati, hal itu bisa menyebabkan morbiditas atau mortalitas
utama.

Misalnya, urgensi prosedur operasi yang direncanakan dan komorbiditas awal tidak dapat
diubah. Namun, model itu sendiri bergantung pada pemilihan variabel baseline atau faktor
risiko yang tepat untuk dipelajari, dan prevalensinya pada populasi yang diminati sangat
penting karena dapat mempengaruhi hasil. Contohnya , pola rujukan ke institusi tertentu
dapat menyebabkan tidak adanya populasi pasien tertentu dan, oleh karena itu, faktor risiko
tidak akan muncul dalam model tersebut. Selain itu, penggunaan regresi logistik multivariat
dapat menghilangkan faktor risiko penting secara biologis, yang tidak terdapat dalam jumlah
yang cukup untuk mencapai signifikansi statistik.

Dalam mengembangkan indeks risiko, penting juga untuk memvalidasi model dan untuk
membandingkannya dengan cara lain yang diketahui untuk menilai risiko. Penting untuk
menentukan apakah indeks memprediksi morbiditas, mortalitas, atau keduanya.

Biasanya, kinerja model pertama-tama dievaluasi pada data perkembangan, mengevaluasi


kelebihannya yang sesuai. sebagai alternatif, data asli dapat dibagi dan model dapat
dirancang pada setengah dari data dan divalidasi pada setengah data lainnya Ini mengurangi
jumlah pasien dan hasil yang tersedia untuk menciptakan model. Metode ini paling sesuai
untuk situasi di mana terdapat puluhan ribu data pasien. Validasi internal ini tidak memberi
informasi kepada praktisi tentang generalisasi dari model . Validasi eksternal pada kumpulan
data pengujian yang benar-benar independen adalah pendekatan terbaik untuk memenuhi
persyaratan ini.

Selain validasi, kalibrasi mengacu pada kemampuan model untuk memprediksi angka
kematian secara akurat. Sejumlah tes dapat diterapkan, tes H-L yang paling umum. Jika nilai
P dari uji H-L lebih besar dari 0,05, praktik perkembangan saat ini adalah untuk mengklaim
bahwa model tersebut dapat memprediksi angka kematian secara akurat.

Diskriminasi adalah kemampuan dari sebuah model untuk membedakan pasien yang
meninggal dari yang bertahan. Area dibawah ROC adalah metode tersering untuk menilai
segi model ini. Singkatnya, tes ditentukan dengan mengevaluasi semua kemungkinan
pasangan pasien, menentukan apakah prediksi probabilitas kematian seharusnya secara ideal
lebih besar untuk pasien yang meninggal dibanding pasien yang bertahan. Area ROC adalah
persentase pasang dimana ini benar. Praktik terbaru pada operasi jantung adalah untuk
menyimpulkan model diskriminasi yang baik jika area ROC lebih besar dari 0,7. Jika prediksi
yang digunakan untuk identifikasi pusat bedah atau dokter bedah dengan tingkat yang tak
terduga tinggi atau rendah, mencapai area ROC yang tinggi saja tidak cukup, tetapi kalibrasi
yang baik juga diperlukan. Model Kalibrasi yang tidak baik dapat menyebabkan jumlah besar
dari institusi atau dokter bedah mengungkapkannya secara berlebihan. Mortalitas tinggi atau
rendah, ketika, faktanya, kesalahannya terletak pada modelnya, bukan pada performa klinis.
Jika prediksi digunakan untuk stratifikasi pasien dengan keparahan penyakit untuk
membandingkan terapi atau untuk menentukan manajemen pasien, kedua kalibrasi dan
diskiriminasi adalah aspek yang penting.

Masalah kunci dalam perkembangan model stratifikasi resiko operasi jantung adalah
perkembangan praktek operasi. Ini meliputi prosedur baru, atau variasi pada prosedur yang
lebih lama, yang dapat berdampak pada resiko perioperatif dan tidak diperhitungkan dalam
data yang digunakan untuk perkembangan model. Disamping keterbatasan ini, kalibrasi dan
model resiko yang divalidasi tetap menjadi alat yang sangat objektif saat ini. Klinisi butuh
untuk mengerti model spesifikasi, kekuatan dan kelemahan, untuk mengaplikasikan model
pada penelitian akademis, konseling pasien, patokan, dan manajemen sumber daya.

Kondisi Resiko Spesifik


Disfungsi Ginjal
Disfungsi ginjal telah menunjukkan faktor resiko penting untuk mortalitas operasi pada
pasien yang menjalankan operasi jantung. 80-82 Namun, spektrum tentang disfungsi ginjal
adalah luas, dengan beberapa model yang mendefinisikan sebagai peningkatan jumlah
kreatinin dan yang lain mendefinisikan sebagai ketergantungan dialisis. Studi kardiovaskular
di New England melaporkan bahwa 12,2% mortalitas rumah sakit setelah CABG pada pasien
dialisis kronik dengan 3% mortalitas pada pasien yang tidak menjalankan dialisis. 83 Namun,
insidensi ketergantungan dialisis pada populasi yang menjalankan operasi jantung cukup
rendah (contohnya 0,5% di New York) sehingga tidak dapat masuk kedalam model yang
dikembangkan.

Gagal ginjal akut (GGA) setelah operasi jantung menghantarkan morbiditas dan mortalitas
yang signifikan. Pasien yang memiliki pengalaman disfungsi ginjal berat (didefinisikan
dengan GFR (glomerular filtration rate) <30 mL/menit) setelah CABG memiliki hampir 10%
mortalitas dibanding dengan 1% mortalitas pada fungsi ginjal yang normal. 84 Hasil yang
buruk berhubungan dengan GGA perioperatif yang menghantarkan perkembangan model
prediktif dari AKI untuk identifikasi pasien yang beresiko. Salah satu prediksi model terbaru
untuk terapi penggantian ginjal setelah operasi jantung. Wijeysundera et al 85 dengan studi
retrospektif sebuah penelitian kohort dari 20,131 pasien yang operasi jantung di 2 rumah sakit
di Ontario, Canada. Prediktor multivariat dari terapi penggantian ginjal adalah estimasi GFR
pra operasi, diabetes melitus yang membutuhkan pengobatan, fraksi ejeksi ventrikel kiri,
operasi jantung sebelumnya, prosedur bedah urgensi, dan IABP pra operasi. Sebuah estimasi
GFR kurang atau sama dengan 30 mL/menit ditandai 2 poin : komponen lain yang ditandai
tiap satu poin; estimasi GFR 31 sampai 60 mL.menit, diabetes melitus, fraksi ejeksi kurang
atau sama dengan 40%, operasi jantung sebelumnya, prosedur CABG, IABP dan kasus non
elektif. Diantara 53% pasien yang memiliki skor resiko rendah (≥1), resiko terapi
penggantian ginjal 0,4%; dengan membandingkan resiko ini 10% diantara 6% pasien dengan
skor reiko tinggi (≥4). Kelompok lain yang mengembangkan prediksi kuat untuk menilai
klinisi dalam mengidentifikasi pasien normal, atau mendekati normal, fungsi ginjal pra
operasi yang resiko tinggi untuk perkembangan keparahan insufisiensi ginjal. 86 Pada model
multivariat, karakteristik pasien secara kuat dihubungkan dengan keparahan insufisiensi
ginjal post operasi yang meliputi umur, jenis kelamin, hitung sel darah putih >12.000, CABG
sebelumnya, PJK, penyakit vaskular perifer, diabetes, hipertensi, dan IABP pra operasi.

Masalah utama sehubungan dengan perkembangan indeks untuk memprediksi gagal ginjal
perioperatif adalah bahwa patofisiologi GGA perioperatif mencakup inflamasi, nefrotoksik, dan
hemodinamik. Sifat multifaktorial GGA ini mungkin menjadi salah satu alasan mengapa pendekatan
strategi tunggal belum berhasil.87 Agen kontras yang digunakan untuk angiografi sebelum operasi
jantung mewakili salah satu faktor nefrotoksik yang dapat dimodifikasi secara perioperatif. Menunda
operasi jantung di luar 24 jam setelah terpapar dan meminimalkan beban agen kontras dapat
mengurangi kejadian GGA pada kasus operasi jantung elektif. 88 Keseragaman definisi GGA (Risiko
disfungsi ginjal, Cedera pada ginjal, kegagalan fungsi ginjal, Hilangnya fungsi ginjal, dan penyakit
ginjal stadium akhir; RIFLE) memperbaiki model stratifikasi risiko dan pemanfaatan biomarker awal
GGA akan meningkatkan alat untuk desain uji klinis yang ditujukan untuk menangani masalah
penting ini.89,90

Diabetes
Hubungan antara diabetes dan mortalitas dengan operasi jantung tidak konsisten, dengan
beberapa penelitian mendukung hubungan tersebut, sementara penelitian lain tidak
dilakukan.91-98 Beberapa penelitian terakhir telah mengevaluasi hasil antara CABG dan PCI
pada pasien diabetes. Dalam uji coba CARDia (Coronary Artery Revascularization in
Diabetes), 99 sebanyak 510 pasien diabetes dengan multivessel atau kompleks single vessel
dari 24 pusat diacak untuk intervensi PCI dan stent (dan rutin abciximab) atau CABG.

Pada 1 tahun masa follow up, tingkat kematian gabungan, MI, dan stroke adalah 10,5% pada
kelompok CABG dan 13,0% pada kelompok PCI (rasio hazard [HR]: 1,25; 95% CI: 0,75
sampai 2,09; P = 0,39), semua penyebab angka kematian adalah 3,2% dan 3,2%, dan tingkat
kematian, MI, stroke, atau revaskularisasi ulang adalah 11,3% dan 19,3% (HR: 1,77; 95% CI:
1,11 sampai 2,82; P = 0,02). Uji coba Revaskularisasi Bypass Angioplasty 2 Diabetes (BARI
2D) secara acak melibatkan 2368 pasien diabetes tipe 2 dan penyakit jantung untuk menjalani
revaskularisasi cepat dengan terapi medis intensif atau terapi medis intensif saja, dan
menjalani terapi sensitisasi insulin atau terapi pemberian insulin. 100 Pada pasien dengan
penyakit arteri koroner lebih luas, serupa dengan yang terdapat di lapisan CABG, meminta
CABG, tanpa adanya kontraindikasi, terapi medis intensif, dan strategi sensitisasi insulin
tampaknya merupakan strategi terapeutik untuk mengurangi insidensi MI.101
Sindrom Koroner Akut
Pasien dengan episode sindrom koroner akut non-ST segmen elevasi sebelum CABG
memiliki tingkat morbiditas dan mortalitas operasi yang lebih tinggi daripada pasien dengan
sindrom koroner yang stabil.102

Namun, sebuah laporan baru-baru ini dari American College of Cardiology Foundation, yang
bekerja sama dengan banyak masyarakat lain, telah menerbitkan kesesuaian untuk
revaskularisasi koroner.103 Ada banyak rekomendasi Kelas A untuk revaskularisasi dan oleh
karena itu, banyak pasien yang datang ke ruang operasi secara langsung setelah angiografi
koroner dan berpotensi mencoba stent dengan agen antiplatelet. Ada bukti yang menunjukkan
bahwa keterlambatan CABG selama 3 sampai 7 hari pada pasien setelah ST-elevation
myocardial infarction (STEMI) atau infark miokard non-ST elevasi (NSTEMI) bermanfaat
pada pasien stabil dengan kontraindikasi terhadap PCI. Selain itu, pasien dengan MI ventrikel
kanan yang secara hemodinamik signifikan harus diizinkan untuk perbaikan ventrikel yang
cedera.104

Pengujian Kardiovaskular

Pasien yang hadir untuk operasi jantung memiliki pencitraan kardiovaskular yang ekstensif
sebelum operasi untuk dijadikan panduan prosedur . Angiografi koroner memberikan
gambaran statis tentang sirkulasi koroner, sedangkan latihan dan pengujian farmakologis
memberikan pandangan yang lebih dinamis. Karena kedua tes mungkin tersedia, ada baiknya
meninjau beberapa dasar pencitraan kardiovaskular (Kotak 1-5) (lihat Bab 2, 3, 6, 11 sampai
14, dan 18).
Pada pasien dengan EKG baseline normal tanpa riwayat penyakit arteri koroner sebelumnya,
respons EKG latihan tidak normal sampai 25% dan meningkat sampai 50% pada mereka
yang memiliki riwayat MI sebelumnya atau EKG istirahat normal. Pada populasi umum,
kegunaan tes EKG latihan agak terbatas. Sensitivitas rata-rata dan spesifisitas masing-masing
adalah 68% dan 77% untuk mendeteksi penyakit single-vessel 81% dan 66% untuk
mendeteksi penyakit multivessel, dan 86% dan 53% untuk mendeteksi penyakit arteri korner
utama atau three-vessel. 105-108
Tingkat di mana iskemia terbukti pada EKG olahraga dapat digunakan untuk memperkirakan
"ambang iskemik" bagi pasien untuk panduan manajemen medis perioperatif, terutama pada
periode prebypass.109,110 Hal ini dapat mendukung intensifikasi lebih lanjut terapi medis
perioperatif pada pasien berisiko tinggi. , yang mungkin berdampak pada kejadian
kardiovaskular perioperatif (lihat Bab 2, 3, 6, 10, 12 sampai 15, dan 18).

Semua pasien yang dirujuk untuk operasi jantung harus memiliki echocardiogram
transthoracic.(TEE) Selain alasan utama pembedahan (misalnya, CABG), temuan insidental
lainnya (misalnya, penyakit katup) harus dipertimbangkan dalam penilaian pra operasi
pasien. Ada skenario klinis dimana TEE harus diperoleh sebelum operasi. Ini termasuk
antisipasi endokarditis dan antisipasi perbaikan atau penggantian katup mitral. TEE biasanya
diperoleh untuk penilaian diseksi aorta asenden dan anomali kongenital. Namun, modalitas
pencitraan lainnya seperti magnetic resonance (MR) dan computed tomography (CT)
imaging semakin banyak digunakan untuk penilaian yang lebih rinci terhadap masalah
kongenital spesifik seperti defek sisi kanan dan fungsi ventrikel kanan. Pencitraan MR dan
CT sangat berguna untuk penilaian sistem vena pulmonal.
Indikasi mutlak untuk pencitraan ultrasonografi carotis dupleks pra operasi tidak jelas namun
harus dipertimbangkan pada pasien dengan bruit yang terdengar, atau kondisi lain seperti
penyakit arteri perifer yang parah, atau stroke sebelumnya atau serangan iskemik transien.
Adanya lesi arteri karotis atau vertebralis yang mendasarinya akan lebih mengarahkan pada
tekanan arterial rata-rata selama dan setelah CPB.

Tes Stres Tanpa Latihan (Farmakologi)


Tes stres farmakologis telah dianjurkan untuk pasien yang toleransi latihannya terbatas, baik
karena penyakit komorbid dan penyakit vaskular perifer simptomatik. Seringkali, pasien tidak
membuat stres diri mereka selama kecukupan kehidupan harian untuk memprovokasi gejala
iskemia miokard atau PJK.
Teknik pengujian stres farmakologis meningkatkan kebutuhan oksigen miokard (dobutamin)
111
atau menghasilkan vasodilatasi koroner yang mengarah ke redistribusi aliran koroner
(dipyridamole / adenosine) .112 Pencitraan scintigrafi nuklir (SPECT) atau ekokardiografi
digunakan bersamaan dengan terapi farmakologis untuk menciptakan perfusi miokard. untuk
stratifikasi risiko dan penilaian viabilitas miokard (Kotak 1-6) (lihat Bab 2, 3, 6, 11 sampai
15, dan 18).

Kotak 1-5. Tes kardiovaskular pra operasi


 Angiografi koroner
 Latihan EKG
 Tes stres farmakologi
 Skintigrafi dipyridamole talium
 Ekokardiografi stres dobutamin
Kotak 1-6. Indikasi Imaging perfusi miokard
 Stratifikasi resiko
 Penilaian viabilitas miokard
 Evaluasi pra operasi
 Evaluasi setelah PCI atau CABG
 Monitoring terapi medis pada penyakit arteri koroner
Kotak 1-7 Penemuan skintigrafi Resiko tinggi dengan penyakit arteri koroner
 Peningkatan uptake paru
 Dilatasi ventrikel kiri
 Peningkatan endo diastolik dan volume end diastolik
 Iskemia diinduksi oleh stres
 Defek perfusi multipel
Skintigrafi Dipiridamol-Thallium
Dipyridamole bekerja dengan cara memblokir reuptake adenosin dan meningkatkan
konsentrasi adenosin pada pembuluh koroner. Adenosin adalah vasodilator langsung dari
koroner. Setelah infus vasodilator, aliran didistribusikan ke daerah yang distal pada arteri
koroner normal, dengan aliran minimal ke daerah yang distal terhadap stenosis koroner. 113.114
Sebuah radioisotop, seperti thallium atau tenesium cestamibi 99 kemudian disuntikkan.

Miokardium normal akan muncul pada pencitraan awal, sedangkan area nekrosis miokard
atau iskemia distal terhadap stenosis koroner yang signifikan akan menunjukkan defek.
Setelah tertunda beberapa jam, atau setelah infus dosis kedua tenesium cestamibi 99
miokardium kembali dicitrakan. Defek awal yang tetap ada karena defek pada jaringan parut
lama, dimana defek tersebut mendemonstrasikan aktifitas yang normal pada imaging
selanjutnya yang konsisten dengan area yang beresiko terkena iskemi miokard

Beberapa strategi telah disarankan untuk meningkatkan nilai tes prediktif. Defek redistribusi
dapat dihitung, dengan area defek yang lebih luas yang dikaitkan dengan peningkatan
risiko.114 Selain itu, peningkatan uptake paru dan dilatasi cavum ventrikel kiri telah terbukti
sebagai penanda disfungsi ventrikel dengan iskemia (Kotak 1-7)..

Ekokardiografi Stres Dobutamin


Ekokardiografi stres dobutamin melibatkan identifikasi dari RWMA yang baru atau RWMA
yang memburuk menggunakan ekokardiografi dua dimensi selama infus dobutamin
intravena. Telah ditunjukkan bahwa kesamaan akurasi seperti skintigrafi dipiridamol thallium
untuk deteksi penyakit arteri koroner.115,116 Ada beberapa keunggulan Ekokardiografi stres
dobutamin dibandingkan dengan skintigrafi dipyridamole thallium: studi ekokardiografi stres
dobutamin juga dapat menilai fungsi verntrikel kiri dan abnormalitas katup, biaya
prosedurnya Secara signifikan lebih rendah, tidak ada paparan radiasi, durasi penelitian
secara signifikan lebih pendek, dan hasilnya segera tersedia.

Kesimpulan
Penilaian risiko jantung pra operasi dan stratifikasi pada pasien yang menjalani operasi
jantung berbeda dengan pasien yang menjalani operasi noncardiac. Pada pasien operasi
noncardiac, tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi kelompok pasien berisiko tinggi
yang akan mendapat keuntungan dari evaluasi jantung noninvasif atau invasif dan
manajemen medis perioperatif atau terapi intervensi yang tepat. Pada pasien yang menjalani
operasi jantung, evaluasi jantung secara ekstensif merupakan bagian dari pemeriksaan rutin
pra operasi, dan pasien menjalani terapi korektif untuk penyakit yang mendasarinya.

Tujuan utama penilaian risiko jantung pada kelompok pasien ini, dari perspektif ahli anestesi,
adalah untuk memberikan tingkat mortalitas pada pasien pra operasi dan konseling keluarga
dan untuk mengidentifikasi kelompok resiko tinggi untuk kejadian jantung perioperatif.
Berbagai model morbiditas dan mortalitas yang kompleks atau yang disederhanakan dapat
berfungsi sebagai alat untuk diskusi pra operasi dengan pasien, namun model yang dikalibrasi
dengan diskriminasi yang baik harus digunakan dengan hati-hati ketika diterapkan pada
konseling individual.
Pertama, sulit untuk model apapun dalam memprediksi morbiditas / mortalitas, yang terjadi
pada insidensi yang rendah. Kedua, harus jelas bahwa sistem penilaian hanya memberi
probabilitas kematian atau komplikasi utama, tetapi pengalaman individual pasien hanya
menjadi salah satu outcome.
Klinisi tidak mampu untuk memantau cedera jantung secara intraoperatif pada waktu yang
sesuai. Ada kekurangan konsensus terkait definisi dan kuantifikasi AMI pada perioperatif dan
periode awal post operasi. Sebaliknya, mortalitas postoperasi mudah untuk didefinisikan.
Dengan demikian, deviasi mortalitas yang diharapkan dari observasi mortalitas telah
digunakan sebagai ―gold standar‖. Namun, hal tersebut penting untuk disadari bahwa hasil
akhir dan ketahanan dapat merefleksikan kejadian intraoperatif. Penilaian resiko jantung pra
operasi pada pasien yang menjalani operasi jantung akan secara ideal mengidentifikasi
kelompok pasien yang morbiditas dan mortalitasnya meningkat karena cedera miokard
perioperatif. Berdasarkan faktor resiko individu, perawatan perioperatif akan dimodifikasikan
untuk meningkatkan hasil kepuasan pasien. Untuk mencapai tujuan ini, definisi jelas dan
kuantitas cedera miokard dibutuhkan. Klinisi (dokter) butuh untuk memonitor iskemi
intraoperatif dan untuk mencegah hilangnya miokard.
Dokter anesetesi juga butuh untuk mengikuti kedua outcome jangka pendek dan jangka
panjang pada pasien yang operasi jantung begitu juga dampak dari perbedaan strategi pra
operasi dan intraoperasi,pada outcome jangka pendek dan jangka panjang. Bukti berdasarkan
medis mengarahkan kepada sebuah pendekatan secara scientific untuk menentukan
pembuatan keputusan dalam memercayai bahwa hal tersebut akan membawa keuntungan
untuk pasien dan untuk mengurangi resiko yang tidak diharapkan dan meningkatkan
outcome.117
DAFTAR PUSTAKA
1. Kang SH, Park KH, Choi DJ, et al: Coronary artery bypass grafting versus drug-eluting
stent implantation for left main coronary artery disease (from a two-center registry), Am J
Cardiol 105:343, 2010.
2. Kouchoukos NT, Ebert PA, Grover FL, et al: Report of the Ad Hoc Committee on Risk
Factors for Coronary Artery Bypass Surgery, Ann Thorac Surg 45:348, 1988.
3. Paiement B, Pelletier C, Dyrda I, et al: A simple classification of the risk in cardiac
surgery, Can Anaesth Soc J 30:61, 1983.
4. Pinna-Pintor P, Bobbio M, Sandrelli L, et al: Risk stratification for open heart operations:
Comparison of centers regardless of the influence of the surgical team, Ann Thorac Surg
64:410, 1997.
5. Smith PK, Smith LR, Muhlbaier LH: Risk stratification for adverse economic outcomes in
cardiac surgery, Ann Thorac Surg 64:S61, 1997 discussion S80.
6. Guiteras Val P, Pelletier LC, Hernandez MG, et al: Diagnostic criteria and prognosis of
perioperative myocardial infarction following coronary bypass, J Thorac Cardiovasc Surg
86:878, 1983.
7. Khuri SF: Evidence, sources, and assessment of injury during and following cardiac
surgery, Ann Thorac Surg 72:S2205, 2001.
8. Heyndrickx GR, Millard RW, McRitchie RJ, et al: Regional myocardial functional and
electrophysiological alterations after brief coronary artery occlusion in conscious dogs, J
Clin Invest 56:978, 1975.
9. Bolli R: Mechanism of myocardial ―stunning,‖ Circulation 82:723, 1990.
10. Hearse DJ, Bolli R: Reperfusion-induced injury: Manifestations, mechanisms, and
clinical relevance, Cardiovasc Res 26:101, 1992.
11. Opie LH: Reperfusion injury and its pharmacologic modification, Circulation 80:1049,
1989.
12. Braunwald E, Kloner RA: Myocardial reperfusion: A double-edged sword? J Clin Invest
76:1713, 1985.
13. Park JL, Lucchesi BR: Mechanisms of myocardial reperfusion injury, Ann Thorac Surg
68:1905, 1999.
14. Jennings RB, Sommers HM, Smyth GA, et al: Myocardial necrosis induced by temporary
occlusion of a coronary artery in the dog, Arch Pathol 70:68, 1960.
15. Hearse DJ: Ischemia, reperfusion, and the determinants of tissue injury, Cardiovasc
Drugs Ther 4 (Suppl 4):767, 1990.
16. Webster KA, Discher DJ, Kaiser S, et al: Hypoxia-activated apoptosis of cardiac
myocytes requires reoxygenation or a pH shift and is independent of p53, J Clin Invest
104:239, 1999.
17. Thatte HS, Rhee JH, Zagarins SE, et al: Acidosis-induced apoptosis in human and porcine
heart, Ann Thorac Surg 77:1376, 2004.
18. Levy JH, Tanaka KA: Inflammatory response to cardiopulmonary bypass, Ann Thorac
Surg 75:S715, 2003.
19. Alpert JS, Thygesen K, Antman E, et al: Myocardial infarction redefined—a consensus
document of The Joint European Society of Cardiology/American College of Cardiology
Committee for the redefinition of myocardial infarction, J Am Coll Cardiol 36:959, 2000.
20. Thygesen K, Alpert JS, White HD, et al: Universal definition of myocardial infarction,
Circulation 116:2634, 2007.
21. Comunale ME, Body SC, Ley C, et al: The concordance of intraoperative left ventricular
wall-motion abnormalities and electrocardiographic S-T segment changes: Association
with outcome after coronary revascularization. Multicenter Study of Perioperative
Ischemia (McSPI) Research Group, Anesthesiology 88:945, 1998.
22. Royster RL, Butterworth JF, Prough DS, et al: Preoperative and intraoperative predictors
of inotropic support and long-term outcome in patients having coronary artery bypass
grafting, Anesth Analg 72:729, 1991.
23. Jacobson A, Lapsley D, Tow DE, et al: Prognostic significance of change in resting left
ventricular ejection fraction early after successful coronary artery bypass surgery: A long
term follow-up study, J Am Coll Cardiol 184A, 1995.
24. Fleisher LA, Tuman KJ: What can we learn from provoking ischemia? Anesth Analg
84:1177, 1997.
25. Griffin M, Edwards B, Judd J, et al: Field-by-field evaluation of intraoperative
transoesophageal echocardiography interpretative skills, Physiol Meas 21:165, 2000.
26. Brewer DL, Bilbro RH, Bartel AG: Myocardial infarction as a complication of coronary
bypass surgery, Circulation 47:58, 1973.
27. Crescenzi G, Bove T, Pappalardo F, et al: Clinical significance of a new Q wave after
cardiac surgery, Eur J Cardiothorac Surg 25:1001, 2004.
28. Sztajzel J, Urban P: Early and late Q wave regression in the setting of acute myocardial
infarction, Heart 83:708, 2000.
29. Alyanakian MA, Dehoux M, Chatel D, et al: Cardiac troponin I in diagnosis of
perioperative myocardial infarction after cardiac surgery, J Cardiothorac Vasc Anesth
12:288, 1998.
30. Carrier M, Pellerin M, Perrault LP, et al: Troponin levels in patients with myocardial
infarction after coronary artery bypass grafting, Ann Thorac Surg 69:435, 2000.
31. Etievent JP, Chocron S, Toubin G, et al: Use of cardiac troponin I as a marker of
perioperative myocardial ischemia, Ann Thorac Surg 59:1192, 1995.
32. Greenson N, Macoviak J, Krishnaswamy P, et al: Usefulness of cardiac troponin I in
patients undergoing open heart surgery, Am Heart J 141:447, 2001.
33. Mair J, Larue C, Mair P, et al: Use of cardiac troponin I to diagnose perioperative
myocardial infarction in coronary artery bypass grafting, Clin Chem 40:2066, 1994.
34. Vermes E, Mesguich M, Houel R, et al: Cardiac troponin I release after open heart
surgery: A marker of myocardial protection? Ann Thorac Surg 70:2087, 2000.
35. Klatte K, Chaitman BR, Theroux P, et al: Increased mortality after coronary artery bypass
graft surgery is associated with increased levels of postoperative creatine kinase-
myocardial band isoenzyme release: Results from the GUARDIAN trial, J Am Coll
Cardiol 38:1070, 2001.
36. Costa MA, Carere RG, Lichtenstein SV, et al: Incidence, predictors, and significance of
abnormal cardiac enzyme rise in patients treated with bypass surgery in the Arterial
Revascularization Therapies Study (ARTS), Circulation 104:2689, 2001.
37. Fellahi JL, Gue X, Richomme X, et al: Short- and long-term prognostic value of
postoperative cardiac troponin I concentration in patients undergoing coronary artery
bypass grafting, Anesthesiology 99:270, 2003.
38. Lehrke S, Steen H, Sievers HH, et al: Cardiac troponin T for prediction of short- and
long-term morbidity and mortality after elective open heart surgery, Clin Chem 50:1560,
2004.
39. Baxter GF: Natriuretic peptides and myocardial ischaemia, Basic Res Cardiol 99:90,
2004.
40. Watanabe M, Egi K, Hasegawa S, et al: Significance of serum atrial and brain natriuretic
peptide release after coronary artery bypass grafting, Surg Today 33:671, 2003.
41. Vishnevetsky D, Kiyanista VA, Gandhi PJ: CD40 ligand: A novel target in the fight
against cardiovascular disease, Ann Pharmacother 38:1500, 2004.
42. Nannizzi-Alaimo L, Rubenstein MH, Alves VL, et al: Cardiopulmonary bypass induces
release of soluble CD40 ligand, Circulation 105:2849, 2002.
43. Jain U, Laflamme CJ, Aggarwal A, et al: Electrocardiographic and hemodynamic changes
and their association with myocardial infarction during coronary artery bypass surgery. A
multicenter study. Multicenter Study of Perioperative Ischemia (McSPI) Research
Group, Anesthesiology 86:576, 1997.
44. Fleisher LA: Risk indices: What is their value to the clinician and patient? Anesthesiology
94:191, 2001.
45. Hannan EL, Kilburn H Jr, Racz M, et al: Improving the outcomes of coronary artery
bypass surgery in New York State, JAMA 271:761, 1994.
46. Mukamel DB, Mushlin AI: Quality of care information makes a difference: An analysis
of market share and price changes after publication of the New York State Cardiac
Surgery Mortality Reports, Med Care 36:945, 1998.
47. Coronary Artery Surgery Study (CASS): A randomized trial of coronary artery bypass
surgery. Survival data, Circulation 68:939, 1983.
48. Alderman EL, Fisher LD, Litwin P, et al: Results of coronary artery surgery in patients
with poor left ventricular function (CASS), Circulation 68:785, 1983.
49. Parsonnet V, Dean D, Bernstein A: A method of uniform stratification of risk for
evaluating the results of surgery in acquired adult heart disease, Circulation 79:I–13,
1989.
50. Bernstein AD, Parsonnet V: Bedside estimation of risk as an aid for decision-making in
cardiac surgery, Ann Thorac Surg 69:823, 2000.
51. O’Connor G, Plume S, Olmstead E, et al: Multivariate prediction of in-hospital mortality
associated with coronary artery by-pass graft surgery, Circulation 85:2110, 1992.
52. Higgins T, Estafanous F, Loop F, et al: Stratification of morbidity and mortality outcome
by preoperative risk factors in coronary artery bypass patients, JAMA 267:2344, 1992.
53. Hannan EL, Kilburn H Jr, O’Donnell JF, et al: Adult open heart surgery in New York
State. An analysis of risk factors and hospital mortality rates, JAMA 264:2768, 1990.
54. Shroyer AL, Grover FL, Edwards FH: 1995 Coronary artery bypass risk model: The
Society of Thoracic Surgeons Adult Cardiac National Database, Ann Thorac Surg
65:879, 1998.
55. Shroyer AL, Plomondon ME, Grover FL, et al: The 1996 coronary artery bypass risk
model: The Society of Thoracic Surgeons Adult Cardiac National Database, Ann Thorac
Surg 67:1205, 1999.
56. Jamieson WR, Edwards FH, Schwartz M, et al: Risk stratification for cardiac valve
replacement. National Cardiac Surgery Database. Database Committee of the Society of
Thoracic Surgeons, Ann Thorac Surg 67:943, 1999.
57. Shahian DM, O’Brien SM, Filardo G, et al: The Society of Thoracic Surgeons 2008
cardiac surgery risk models: Part 1—coronary artery bypass grafting surgery, Ann
Thorac Surg 88:S2, 2009.
58. O’Brien SM, Shahian DM, Filardo G, et al: The Society of Thoracic Surgeons 2008
cardiac surgery risk models: Part 2—isolated valve surgery, Ann Thorac Surg 88:S23,
2009.
59. Shahian DM, O’Brien SM, Filardo G, et al: The Society of Thoracic Surgeons 2008
cardiac surgery risk models: Part 3—valve plus coronary artery bypass grafting surgery,
Ann Thorac Surg 88:S43, 2009.
60. Tu JV, Jaglal SB, Naylor CD: Multicenter validation of a risk index for mortality,
intensive care unit stay, and overall hospital length of stay after cardiac surgery. Steering
Committee of the Provincial Adult Cardiac Care Network of Ontario, Circulation
91:677, 1995.
61. Spivack SD, Shinozaki T, Albertini JJ, et al: Preoperative prediction of postoperative
respiratory outcome. Coronary artery bypass grafting, Chest 109:1222, 1996.
62. Nashef SA, Roques F, Michel P, et al: European system for cardiac operative risk
evaluation (EuroSCORE), Eur J Cardiothorac Surg 16:9, 1999.
63. Roques F, Nashef SA, Michel P, et al: Risk factors and outcome in European cardiac
surgery: Analysis of the EuroSCORE multinational database of 19030 patients, Eur J
Cardiothorac Surg 15:816, 1999, discussion 822.
64. Al-Ruzzeh S, Nakamura K, Athanasiou T, et al: Does off-pump coronary artery bypass
(OPCAB) surgery improve the outcome in high-risk patients? A comparative study of
1398 high-risk patients, Eur J Cardiothorac Surg 23:50, 2003.
65. Ghosh P, Djordjevic M, Schistek R, et al: Does gender affect outcome of cardiac surgery
in octogenarians? Asian Cardiovasc Thorac Ann 11:28, 2003.
66. Karthik S, Srinivasan AK, Grayson AD, et al: Limitations of additive EuroSCORE for
measuring risk stratified mortality in combined coronary and valve surgery, Eur J
Cardiothorac Surg 26:318, 2004.
67. Kasimir MT, Bialy J, Moidl R, et al: EuroSCORE predicts mid-term outcome after
combined valve and coronary bypass surgery, J Heart Valve Dis 13:439, 2004.
68. Kurki TS, Jarvinen O, Kataja MJ, et al: Performance of three preoperative risk indices
CABDEAL, EuroSCORE and Cleveland models in a prospective coronary bypass
database, Eur J Cardiothorac Surg 21:406, 2002.
69. Nakamura Y, Nakano K, Nakatani H, et al: Hospital and mid-term outcomes in elderly
patients undergoing off-pump coronary artery bypass grafting—comparison with
younger patients, Circ J 68:1184, 2004.
70. Nilsson J, Algotsson L, Hoglund P, et al: Early mortality in coronary bypass surgery: The
EuroSCORE versus The Society of Thoracic Surgeons risk algorithm, Ann Thorac Surg
77:1235, 2004, discussion 1239.
71. Riha M, Danzmayr M, Nagele G, et al: Off pump coronary artery bypass grafting in
EuroSCORE high and low risk patients, Eur J Cardiothorac Surg 21:193, 2002.
72. Swart MJ, Joubert G: The EuroSCORE does well for a single surgeon outside Europe,
Eur J Cardiothorac Surg 25:145, 2004, author reply 146.
73. Toumpoulis IK, Anagnostopoulos CE, DeRose JJ, et al: European system for cardiac
operative risk evaluation predicts long-term survival in patients with coronary artery
bypass grafting, Eur J Cardiothorac Surg 25:51, 2004.
74. Toumpoulis IK, Anagnostopoulos CE, Swistel DG, et al: Does EuroSCORE predict
length of stay and specific postoperative complications after cardiac surgery? Eur J
Cardiothorac Surg 27:128, 2005.
75. Ugolini C, Nobilio L: Risk adjustment for coronary artery bypass graft surgery: An
administrative approach versus EuroSCORE, Int J Qual Health Care 16:157, 2004.
76. Dupuis JY, Wang F, Nathan H, et al: The cardiac anesthesia risk evaluation score: A
clinically useful predictor of mortality and morbidity after cardiac surgery,
Anesthesiology 94:194, 2001.
77. Nowicki ER, Birkmeyer NJ, Weintraub RW, et al: Multivariable prediction of in-hospital
mortality associated with aortic and mitral valve surgery in Northern New England, Ann
Thorac Surg 77:1966, 2004.
78. Hannan EL, Racz MJ, Jones RH, et al: Predictors of mortality for patients undergoing
cardiac valve replacements in New York State, Ann Thorac Surg 70:1212, 2000.
79. Gardner S, Grunwald G, Rumsfeld J, et al: Comparison of short-term mortality risk
factors for valve replacement vs. coronary artery bypass graft surgery, Ann Thorac Surg
77:549, 2004.
80. Brandrup-Wognsen G, Haglid M, Karlsson T, et al: Preoperative risk indicators of death
at an early and late stage after coronary artery bypass grafting, Thorac Cardiovasc Surg
43:77, 1995.
81. Conlon PJ, Little MA, Pieper K, et al: Severity of renal vascular disease predicts
mortality in patients undergoing coronary angiography, Kidney Int 60:1490, 2001.
82. Hayashida N, Chihara S, Tayama E, et al: Coronary artery bypass grafting in patients
with mild renal insufficiency, Jpn Circ J 65:28, 2001.
83. Liu JY, Birkmeyer NJ, Sanders JH, et al: Risks of morbidity and mortality in dialysis
patients undergoing coronary artery bypass surgery. Northern New England
Cardiovascular Disease Study Group, Circulation 102:2973, 2000.
84. Cooper WA, O’Brien SM, Thourani VH, et al: Impact of renal dysfunction on outcomes
of coronary artery bypass surgery: Results from the Society of Thoracic Surgeons
National Adult Cardiac Database, Circulation 113:1063, 2006.
85. Wijeysundera DN, Karkouti K, Dupuis JY, et al: Derivation and validation of a simplified
predictive index for renal replacement therapy after cardiac surgery, JAMA 297:1801,
2007.
86. Brown JR, Cochran RP, Leavitt BJ, et al: Multivariable prediction of renal insufficiency
developing after cardiac surgery, Circulation 116:I139, 2007.
87. Rosner MH, Portilla D, Okusa MD: Cardiac surgery as a cause of acute kidney injury:
Pathogenesis and potential therapies, J Intensive Care Med 23:3, 2008.
88. Ranucci M, Ballotta A, Kunkl A, et al: Influence of the timing of cardiac catheterization
and the amount of contrast media on acute renal failure after cardiac surgery, Am J
Cardiol 101:1112, 2008.
89. Bellomo R, Ronco C, Kellum JA, et al: Acute renal failure: Definition, outcome
measures, animal models, fluid therapy and information technology needs: The Second
International Consensus Conference of the Acute Dialysis Quality Initiative (ADQI)
Group, Crit Care 8:R204, 2004.
90. Bennett M, Dent CL, Ma Q, et al: Urine NGAL predicts severity of acute kidney injury
after cardiac surgery: A prospective study, Clin J Am Soc Nephrol 3:665, 2008.
91. Yamamoto T, Hosoda Y, Takazawa K, et al: Is diabetes mellitus a major risk factor in
coronary artery bypass grafting? The influence of internal thoracic artery grafting on late
survival in diabetic patients, Jpn J Thorac Cardiovasc Surg 48:344, 2000.
92. Clement R, Rousou JA, Engelman RM, et al: Perioperative morbidity in diabetics
requiring coronary artery bypass surgery, Ann Thorac Surg 46:321, 1988.
93. Devineni R, McKenzie FN: Surgery for coronary artery disease in patients with diabetes
mellitus, Can J Surg 28:367, 1985.
94. Engelman RM, Bhat JG, Glassman E, et al: The influence of diabetes and hypertension
on the results of coronary revascularization, Am J Med Sci 271:4, 1976.
95. Herlitz J, Wognsen GB, Emanuelsson H, et al: Mortality and morbidity in diabetic and
nondiabetic patients during a 2-year period after coronary artery bypass grafting,
Diabetes Care 19:698, 1996.
96. Magee MJ, Dewey TM, Acuff T, et al: Influence of diabetes on mortality and morbidity:
Off-pump coronary artery bypass grafting versus coronary artery bypass grafting with
cardiopulmonary bypass, Ann Thorac Surg 72:776, 2001 discussion 780.
97. Salomon NW, Page US, Okies JE, et al: Diabetes mellitus and coronary artery bypass.
Short-term risk and long-term prognosis, J Thorac Cardiovasc Surg 85:264, 1983.
98. Thourani VH, Weintraub WS, Stein B, et al: Influence of diabetes mellitus on early and
late outcome after coronary artery bypass grafting, Ann Thorac Surg 67:1045, 1999.
99. Kapur A, Hall RJ, Malik IS, et al: Randomized comparison of percutaneous coronary
intervention with coronary artery bypass grafting in diabetic patients: 1-year results of
the CARDia (Coronary Artery Revascularization in Diabetes) trial, J Am Coll Cardiol
55:432, 2010.
100. Frye RL, August P, Brooks MM, et al: A randomized trial of therapies for type 2
diabetes and coronary artery disease, N Engl J Med 360:2503, 2009.
101. Chaitman BR, Hardison RM, Adler D, et al: The Bypass Angioplasty Revascularization
Investigation 2 Diabetes randomized trial of different treatment strategies in type 2
diabetes mellitus with stable ischemic heart disease: Impact of treatment strategy on
cardiac mortality and myocardial infarction, Circulation 120:2529, 2009.
102. Marso SP, Bhatt DL, Roe MT, et al: Enhanced efficacy of eptifibatide administration in
patients with acute coronary syndrome requiring in-hospital coronary artery bypass
grafting. PURSUIT Investigators, Circulation 102:295, 2000.
103. Patel MR, Dehmer GJ, Hirshfeld JW, et al: ACCF/SCAI/STS/AATS/AHA/ASNC 2009
Appropriateness Criteria for Coronary Revascularization: A Report of the American
College of Cardiology Foundation Appropriateness Criteria Task Force, Society for
Cardiovascular Angiography and Interventions, Society of Thoracic Surgeons, American
Association for Thoracic Surgery, American Heart Association, and the American
Society of Nuclear Cardiology: Endorsed by the American Society of Echocardiography,
the Heart Failure Society of America, and the Society of Cardiovascular Computed
Tomography, Circulation 119:1330, 2009.
104. Eagle KA, Guyton RA, Davidoff R, et al: ACC/AHA 2004 guideline update for
coronary artery bypass graft surgery: A report of the American College of
Cardiology/American Heart Association Task Force on Practice Guidelines (Committee
to Update the 1999 Guidelines for Coronary Artery Bypass Graft Surgery), Circulation
110:e340, 2004.
105. Connolly HM, Oh JK, Schaff HV, et al: Severe aortic stenosis with low transvalvular
gradient and severe left ventricular dysfunction: Result of aortic valve replacement in 52
patients, Circulation 101:1940, 2000.
106. Horacek BM, Wagner GS: Electrocardiographic ST-segment changes during acute
myocardial ischemia, Cardiol Electrophysiol Rev 6:196, 2002.
107. Schneider RM, Seaworth JF, Dohrmann ML, et al: Anatomic and prognostic
implications of an early treadmill exercise test, Am J Cardiol 50:682, 1982.
108. Weiner DA, McCabe CH, Ryan TJ: Prognostic assessment of patients with coronary
artery disease by exercise testing, Am Heart J 105:749, 1983.
109. Myers J, Prakash M, Froelicher V, et al: Exercise capacity and mortality among men
referred for exercise testing, N Engl J Med 346:793, 2002.
110. Balady GJ: Survival of the fittest: More evidence, N Engl J Med 346:852, 2002.
111. Carstensen S: Dobutamine-atropine stress echocardiography, Heart Drug 5:101, 2005.
112. Grossman GB, Alazraki N: Myocardial perfusion imaging in coronary artery disease,
Cardiology 10:1, 2004.
113. Klocke FJ, Baird MG, Bateman TM, et al: ACC/AHA/ASNC guidelines for the clinical
use of cardiac radionucleotide imaging: Executive summary, Circulation 108:1404,
2003.
114. Beller GA: Clinical value of myocardial perfusion imaging in coronary artery disease, J
Nucl Cardiol 10:529, 2003.
115. Armstrong WF, Pellikka PA, Ryan T, et al: Stress echocardiography: Recommendations
for performance and interpretation, J Am Soc Echocardiogr 11:97, 1998.
116. Marwick TH: Quantitative techniques for stress echocardiography, Eur J Echocardiogr
3:171, 2002. 117. Cheng DC, Martin JE: Raising the bar: A primer on evidence-based
decision-making, Semin Cardiothoracic Vasc Anesth 9:1, 2005.

Anda mungkin juga menyukai