Anda di halaman 1dari 2

Berhenti Berpikir Cara Televisi

Yonky Karman

Ini zaman melek televisi dengan perannya yang dominan dalam kehidupan masyarakat, dari kota
hingga desa. Di pedalaman lebih mudah menemukan layar kaca daripada seperangkat komputer.

Penduduk desa menyiasati keterpencilannya dengan antena parabola. Pada era informasi, besar
kontribusi televisi yang mengajar pemirsa banyak hal, kecuali mematikannya. Kaum yang
membela netralitas televisi berkilah, benda itu hanya medium komunikasi. Baik buruk
pemanfaatannya bergantung pada konsumen. Namun, aforisme Marshall McLuhan masih benar.
Medium membawa pesan (Understanding Media: The Extensions of Man, 1964). Lebih dari
message, medium juga massage. Bentuk komunikasi itu menentukan isi komunikasi. Televisi
bukan produk teknologi bebas nilai.

Pendangkalan publik

Tayangan televisi komersial pada dasarnya bersifat selingan, tidak menuntut banyak berpikir,
memperpendek rentang perhatian. Diskursus publik tentang politik, agama, pendidikan, olahraga,
atau bisnis dikemas dalam berbagai bentuk hiburan (entertainment), sebagai bagian bisnis
pertunjukan. Penampilan dalam tayangan lebih penting daripada isinya. Medium ikut
mendefinisikan realitas.

Untuk memahami kultur suatu masyarakat, lihat medium komunikasinya yang dominan.
Tayangan televisi merusak karakter reflektif manusia. Iklan komersial dikemas menarik sampai
tak ada hubungan dengan kualitas dan manfaat produk yang diiklankan. Orang dibujuk membeli
karena pencitraan. Kesan pertama dibuat menggoda, selanjutnya terserah pemirsa.

Sebuah produk mencantumkan peringatan serius untuk tidak mengonsumsi karena merusak
kesehatan. Namun, iklannya amat indah membawa pesan keindonesiaan yang merekatkan
bangsa. Tayangan rutin yang mengeksploitasi tindakan sadis tidak memupuk iba atas korban,
tetapi menumpulkan nurani. Banalisasi kejahatan, kekerasan, kekejaman, dan penderitaan.
Pernikahan kehilangan sifat sakralnya. Ketika bencana nasional menjadi breaking news,
berlangsung konstruksi sekaligus dekonstruksi rasa haru.

Neil Postman merisaukan kultur di AS pada paruh kedua abad ke-20 dan seterusnya (Amusing
Ourselves to Death: Public Discourse in the Age of Show Business, 1986). Abad pertelevisian
telah menggeser abad percetakan (tipografi). Pesona tulisan tergeser pesona tayangan. Bisnis
surat kabar di AS terdesak televisi dan mesin pencari berita, opini, dan iklan seperti Google dan
Yahoo.

Sebagian masyarakat AS tengah memasuki kultur lisan fase kedua. Fase pertama sebelum
orang berkenalan dengan budaya tulisan dan hidup dalam tradisi lisan. Kultur lisan fase kedua
bersifat high-tech didukung peralatan elektronik seperti televisi dan komputer (Walter J Ong,
Orality and Literacy: The Technologizing of the Word, 1982). Menonton televisi tidak perlu melek
huruf.

Akibat pengaruh televisi di AS, terjadi pergeseran kultural. Dari kultur yang berpusat pada kata
kepada kultur yang berpusat pada gambar, tanpa kecenderungan berbalik arah dan nyaris tanpa
protes. Orang tertidur di depan televisi yang masih hidup, menghibur diri sampai mati. Dibanjiri
tayangan yang tak berkait, orang menjadi terbiasa mementingkan hal-hal sepele terkait perasaan
dan kenikmatan, menjadi pasif dan akhirnya egoistis.
Pesona televisi dapat melumpuhkan minat baca kita yang notabene masih rendah. Ada korelasi
kemajuan bangsa dengan kegemaran membaca. Masih rendahnya minat baca kita terlihat dari
4.800 judul buku yang dicetak per tahun di Indonesia, sementara Malaysia 7.000, Thailand 8.000,
Jepang 10.0000, Korea Selatan 43.000, Amerika Serikat 50.000.

Tahun 2003, belanja masyarakat Indonesia untuk rokok Rp 150 triliun per tahun, tetapi belanja
surat kabar hanya Rp 4,9 triliun. Berbeda dari di AS, sebagian besar masyarakat Indonesia
belum beranjak dari kultur lisan fase pertama. Belum sempat memiliki budaya baca, orang yang
terperangkap budaya televisi tanpa disadari memasuki budaya lisan yang lain, sekaligus berada
dalam dua fase kultur lisan.

Pada temu koordinasi nasional pelaksanaan gerakan nasional percepatan pemberantasan buta
aksara di Jakarta, 11 Juli, Mendiknas Bambang Sudibyo menegaskan, cara paling mudah,
murah, dan cepat meningkatkan indeks pembangunan manusia (IPM) adalah dengan
pemberantasan buta aksara. Penduduk Indonesia yang buta huruf pada akhir 2009 ditargetkan
menjadi 5 persen.

Namun, data di kantung-kantung kemiskinan yang tersebar di 1.236 kecamatan atau 20.633 desa
miskin menunjukkan, masyarakat usia 15-44 tahun mengidap tiga kebutaan: buta aksara, buta
bahasa Indonesia, dan buta pengetahuan umum/ pendidikan dasar. Mereka belum mengenyam
pendidikan dasar atau cuma beberapa tahun di SD lalu putus sekolah.

Tanggung jawab bersama

Penuntasan tiga buta itu mendapat hambatan serius dari pesona elektronik yang membuai dan
menjauhkan masyarakat dari barisan huruf. Pemerintah tidak boleh berdiam diri membiarkan
industri pertelevisian secara tak langsung melestarikan kemiskinan. Warga miskin yang lemah
perlu dilindungi dari dekadensi moral dan psikologis akibat tayangan yang hanya mengikuti
selera pasar.

Sejauh ini industri pertelevisian menganut sistem tunggal rating kuantitatif yang tak peduli dengan
efek pembodohan tayangan. Yang dilihat hanya peringkat dan jumlah penonton, padahal rating
tidak mencerminkan kualitas tayangan. Bisa saja tayangan buruk memiliki rating tinggi (Erica L
Panjaitan dan TM Dhani Iqbal, Matinya Rating Televisi, 2006). Efek pembodohan itu bertentangan
dengan upaya mencerdaskan bangsa.

Jangan berharap banyak pada industri pertelevisian yang berorientasi bisnis. Untuk
membendung efek pembodohan dan meningkatkan efek pencerdasan televisi, Kementerian
Komunikasi dan Informatika dapat mengeluarkan rating tandingan yang memperhitungkan
dampak sosial tayangan terhadap psikologi penonton.

Gagasan Garin Nugroho bersama Yayasan SET (Sain, Estetika, dan Teknologi) dan Ikatan
Jurnalis Televisi Indonesia untuk memelopori rating publik sebagai alternatif perlu didukung.
Rating kualitatif itu melibatkan 560 orang dari berbagai latar profesi (dosen/guru, aktivis LSM,
jurnalis/redaktur, profesional/pebisnis, pemuka masyarakat) di 14 kota besar.

Sebuah keluarga yang saya kenal "menyelamatkan" keempat anaknya dengan menempatkan
televisi di ruang belakang, hanya ditonton seperlunya. Tayangan juga dapat menjadi obyek
puasa. Keadaban bangsa tak boleh digadaikan kepada kapitalisme berjubah media.

Yonky Karman Rohaniwan

Anda mungkin juga menyukai