Anda di halaman 1dari 20

BAB I

PENDAHULUAN

Demam tifoid (selanjutnya disebut tifoid) merupakan penyakit infeksi akut usus
halus yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit menular ini masih
merupakan masalah kesehatan masyarakat dengan jumlah kasus sebanyak 22 juta
per tahun di dunia dan menyebabkan 216.000– 600.000 kematian. Studi yang
dilakukan di daerah urban di beberapa negara Asia pada anak usia 5–15 tahun
menunjukkan bahwa insidensi dengan biakan darah positif mencapai 180–194 per
100.000 anak, di Asia Selatan pada usia 5–15 tahun sebesar 400–500 per 100.000
penduduk, di Asia Tenggara 100–200 per 100.000 penduduk, dan di Asia Timur
Laut kurang dari 100 kasus per 100.000 penduduk.Komplikasi serius dapat terjadi
hingga 10%, khususnya pada individu yang menderita tifoid lebih dari 2 minggu
dan tidak mendapat pengobatan yang adekuat. Case Fatality Rate (CFR)
diperkirakan 1–4% dengan rasio 10 kali lebih tinggi pada anak usia lebih tua (4%)
dibandingkan anak usia ≤4 tahun (0,4%). Pada kasus yang tidak mendapatkan
pengobatan, CFR dapat meningkat hingga 20%.

Di Indonesia, tifoid harus mendapat perhatian serius dari berbagai pihak, karena
penyakit ini bersifat endemis dan mengancam kesehatan masyarakat.
Permasalahannya semakin kompleks dengan meningkatnya kasus-kasus karier
(carrier) atau relaps dan resistensi terhadap obat-obat yang dipakai, sehingga
menyulitkan upaya pengobatan dan pencegahan.Pada tahun 2008, angka kesakitan
tifoid di Indonesia dilaporkan sebesar 81,7 per 100.000 penduduk, dengan sebaran
menurut kelompok umur 0,0/100.000 penduduk (0–1 tahun), 148,7/100.000
penduduk (2–4 tahun), 180,3/100.000 (5-15 tahun), dan 51,2/100.000 (≥16 tahun).
Angka ini menunjukkan bahwa penderita terbanyak adalah pada kelompok usia 2-
15 tahun. Hasil telaahan kasus di rumah sakit besar di Indonesia menunjukkan
adanya kecenderungan peningkatan jumlah kasus tifoid dari tahun ke tahun
dengan rata-rata kesakitan 500/100.000 penduduk dan kematian diperkirakan
sekitar 0,6–5%.Berdasarkan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007,
prevalensi demam tifoid di Indonesia mencapai 1,7%. Distribusi prevalensi
tertinggi adalah pada usia 5–14 tahun (1,9%), usia 1–4 tahun (1,6%), usia 15–24
tahun (1,5%) dan usia <1 tahun (0,8%).1

2
3
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Definisi
Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut
yang disebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini ditandai dengan
badan yang panas berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa
keterlibatan struktur endotelial atau endokardial dan invasi bakteri
sekaligus multiplikasi ke dalam sel fagosit mononuklear dari hati, limpa,
kelenjar limfe usus dan peyer’s patch.

Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah demam


paratifoid dan demam enterik. Demam paratifoid secara patologik
maupun klinis adalah sama dengan demam tifoid pada umumnya namun
biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh spesies Salmonella
enteriditis sedangkan demam enterik dipakai baik pada demam tifoid
maupun demam paratifoid. Terdapat 3 bioserotipe Salmonella enteriditis
yaitu bioserotipe Paratyphi A, Paratyphi B ( Salmonella Schotsmuelleri)
dan Paratyhpi C ( S.Hirschfeldii).

2.2. Epidemiologi

Demam tifoid merupakan salah satu penyakit endemik di


Indonesia. Penyakit ini termasuk menular yang tercantum dalam Undang
Undang Nomor 6 Tahun 1962 tentang wabah. Walaupun demam tifoid
tercantum dalam Undang Undang wabah dan wajib dilaporkan, namun
data yang lengkap belum ada, sehingga gambaran epidemiologinya belum
diketahui secara pasti. Di Indonesia demam tifoid jarang dijumpai secara
epidemik, tetapi lebih sering bersifat sporadik terpencar-pencar di suatu
daerah, dan jarang menimbulkan lebih dari satu kasus pada orang orang
serumah.

4
Ada dua sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam
tifoid yang lebih sering disebut carrier. Carrier adalah orang yang sembuh dari
demam tifoid dan masih terus mengekskresi S.typhi dalam tinja dan air kemih
selama lebih dari satu tahun.

Berdasarkan penelitian epidemiologi yang intensif dan longitudinal dari demam


tifoid yang dilakukan di Paseh, Jawa Barat yang diselenggarakan dengan bantuan
dana dari WHO, terungkap bahwa insidensi demam tifoid pada masyarakat di
daerah semi urban ialah 357,6 kasus per 100.000 penduduk per tahun. Ternyata
S.typhi ditemukan juga pada anak usia 0-3 tahun (morbiditas : 263/103/tahun)
dengan usia termuda adalah 2,5 tahun. Kenyataan ini merupakan informasi baru,
karena selama ini dianggap bahwa demam tifoid hanya terdapat pada anak yang
lebih besar dan orang dewasa. Akan tetapi ternyata 77% pasien demam tifoid
terdapat pada usia 3-19 tahun dengan puncak tertinggi pada usia 10-15 tahun
(morbiditas : 687,9/103/tahun).2

2.3. Etiologi
Salmonella enterica serovar typhi adalah organisme penyebab demam
tifoid. Bakteri ini secara serologis positif untuk antigen lipopolisakarida
O9 dan O12, protein antigen flagellar Hd, dan polisakarida antigen
kapsuler Vi. Antigen kapsula Vi sebagian besar terbatas pada S. enterica
serotype typhi, meskipun dibagi oleh beberapa jenis S. enterica sero jenis
Hirschfeldii (paratyphi C) dan Dublin, dan Citrobacterfreundii.
Polisakarida kapsul Vi memiliki efek perlindungan terhadap aksi
bakterisida pada serum orang yang terinfeksi.3

Salmonella Typhi mempunyai 3 macam antigen, yaitu :4


1. Antigen O (antigen somatik), terletak pada lapisan luar tubuh kuman.
Bagian ini mempunyai struktur lipopolisakarida atau disebut juga
endotoksin. Antigen ini tahan terhadap panas dan alkohol tetapi tidak
tahan terhadap formaldehid.

5
2. Antigen H (antigen flagela), terletak pada flagela, fimbriae atau pili dari
kuman. Antigen ini mempunyai struktur protein dan tahan terhadap
formaldehid tetapi tidak tahan terhadap panas dan alkohol.
3. Antigen Vi, terletak pada kapsul (envelope) kuman yang dapat
melindungi kuman terhadap fagositosis.

2.4. Patogenesis
S. typhi diduga menyerang tubuh melalui mukosa usus di ileum terminal,
melalui sel-sel antigen-sampling khusus, yang dikenal sebagai sel M, yang
mengungguli jaringan limfoid yang berhubungan dengan usus, melalui
enterosit, atau melalui rute paraseluler. Setelah menempel pada microvilli,
S. typhi melintasi penghalang mukosa usus dengan mekanisme rumit yang
melibatkan ruffling membran, penataan ulang actin, dan internalisasi
dalam vakuola intraseluler. Setelah melewati mukosa usus, S. typhi
memasuki sistem limfoid mesenterika, dan kemudian masuk ke aliran
darah melalui limfatik. Bakteremia primer ini biasanya tanpa gejala, dan
kultur darah sering negatif pada tahap penyakit ini. Bakteri yang ditularkan
melalui darah disebarluaskan ke seluruh tubuh dan diperkirakan untuk
mengkolonisasi organ-organ sistem retikuloendotel, di mana mereka dapat
bereplikasi dalam makrofag. Setelah periode replikasi bakteri, S. typhi
kembali ke dalam darah, menyebabkan bakteremia sekunder, yang
bertepatan dengan timbulnya gejala klinis dan menandai akhir periode
inkubasi.5
Patogenesis demam tifoid melibatkan 4 proses kompleks mengikuti ingesti
organisme yaitu:
1. Penempelan dan invasi sel-sel M Peyer’s patch
2. Bakteri bertahan hidup dan bermultiplikasi di makrofag Peyer’s
patch, nodus limfatikus mesenterikus, dan organ-organ ekstra
intestinal sistem retikuloendotelial
3. Bakteri bertahan hidup di dalam aliran darah

6
4. Produksi enterotoksin yang meningkatkan kadar cAMP di dalam
kripta usus dan menyebabkan keluarnya elektrolit dan air ke dalam
lumen intestinal

Huckstep membagi fase patologi di Payer Patch dengan asumsi


empat fase. Fase-fase ini sesuai kira-kira dengan minggu-minggu
penyakit jika pengobatan belum diberikan:6
Fase 1 : Hiperplasia folikel limfoid.
Fase 2 :Nekrosis folikel limfoid selama minggu kedua yang
melibatkan mukosa dan submukosa.
Fase 3 : Ulserasi pada sumbu panjang usus dengan kemungkinan
perforasi dan perdarahan.
Fase 4 : Penyembuhan berlangsung dari minggu keempat dan
seterusnya, dan tidak seperti tuberkulosis usus dengan ulkus yang
melingkar, tidak menghasilkan striktur.

2.5 Jalur Masuknya Bakteri Ke Dalam Tubuh


Bakteri Salmonella Typhi bersama makanan/minuman masuk kedalam
tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam
( PH <2 ) banyak bakteri yang akan mati. Keadaan-keadaan seperti
aklorhidria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin
H2, inhibitor pompa proton atau antasida dalam jumlah besar akan
mengurangi dosis infeksi. Bakteri Salmonella Typhi yang masih hidup
akan mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri Salmonella Typhi akan
melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi mukosa dan
menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan yeyunum. Sel-sel M, sel
epitel kusus yang melapisi Peyer’s patch merupakan tempat internalisasi
Salmonella Typhi. Bakteri akan mencapai folikel limfe usus halus,
mengikuti aliran ke kelemjar limfe mesenterika dan bahkan ada yang
melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ hati dan
limpa. Salmonella Typhi mengalami multiplikasi di dalam sel fagosit

7
mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan
limfe.
Setelah melewati periode waktu tertentu ( periode inkubasi ) 7 hingga 14
hari biasanya adalah masa inkubasi tifoid, yang lamanya ditentukan oleh
jumlah dan virulensi kuman serta respons imun pejamu maka Salmonella
Typhi akan keluar dari habitatnya dan melalui duktus torasikus masuk ke
dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai organ
manapun, akan tetapi tempat yang disukai oleh Salmonella Typhi adalah
hati, limpa, sumsum tulang, kandung empedu, dan Peyer’s patch dari
ileum terminalis. Invasi kandung empedu dapat terjadi baik secara
langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi
organisme di empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau
dikeluarkan melalui tinja.7

Peran Endotoksin
Peran endoktoksin dalam patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal
tersebut dibuktikan dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi
penderita melalui pemeriksaan limulus. Endotoksin dari Salmonella
Thyphii menstimulasi makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus
dan kelenjar limfe mesenterika untuk memproduksi sitokin dan zat-zat lain.
Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel, sistem
vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang, kelainan pada
darah dan juga menstimulasi sistem imunologik.7

Respon Imunologik
Demam tifoid akan mestimulasi respon imun humoral maupun seluler baik
di tingkat lokal (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana
mekanisme imunologik ini dalam menimbulkan kekebalan maupun
eliminasi terhadap Salmonella Tyhpi sampai sekarang masih belum dapat
diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa imunitas seluler lebih
berperan, penurunan jumlah limfosit T ditemukan pada pasien sakit berat
dengan demam tifoid. Karier memperlihatkan gangguan reaktivitas selular

8
terhadap antigen dari Salmonella ser tyhpi pada uji hambatan migrasi
leukosit. Pada karier, sejumlah besar basil virulen melewati usus tiap
harinya dan dikeluarkan dalam tinja.7

Manifestasi Klinis
Periode masa inkubasi demam tifoid pada anak adalah 5-40 hari dengan
rata-rata antara 10-14 hari. Gejala klinis demam tifoid sangatlah bervariasi,
dari gejala klinis ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai
dengan berat sehingga penderita harus dirawat. Variasi gejala ini
disebabkan oleh faktor galur salmonela, status nutrisi dan imunologik
pejamu serta lama sakit dirumahnya. Semua pasien demam tifoid selalu
menderita demam pada awal penyakit. Pada era pemakaian antibiotik
belum seperti pada saat ini, manifestasi demam pada kasus demam tifoid
mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang
ditandai dengan demam timbul insidius, kemungkinan naik secara
bertahap setiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu
pertama, setelah itu demam akan bertahan tinggi dan pada minggu ke 4
demam turun perlahan secara lisis, kecuali apabila terjadi fokus infeksi
seperti kolesistitis, abses jaringan lunak maka demam akan menetap.
Banyak orang tua pasien demam tifoid melaporkan bahwa demam lebih
tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan demam pada saat
pagi hari. Pada saat demam sudah tinggi, pada kasus demam tifoid dapat
disertai gejala sistem saraf pusat, seperti kesadaran berkabut atau delirium
atau obtundasi, atau penurunan kesadaran mulai apatis sampai dengan
koma.

Selain hal tersebut diatas gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya
demam adalah nyeri kepala, malaise, anoreksia, nausea, mialgia, nyeri
perut dan radang tenggorakan. Pada kasus yang berpenampilan klinis berat,
pada saat demam tinggi akan tampak toksik/ sakit berat. Bahkan dapat
juga dijumpai penderita demam tifoid yang datang dengan syok
hipovolemik sebagai akibat kurang masukan cairan dan makanan. Gejala

9
gastrointestinal pada kasus demam tifoif juga sangatlah bervariasi, pasien
dapat mengeluh diare, obstipasi, atau obstipasi kemudian disusul episode
diare, pada sebagian pasien lidah tampak kotor dengan putih ditengah
sedangkan tepi dan ujungnya kemerahan. Banyak dijumpai gejala
meteorismus, berbeda dengan buku bacaan Barat pada anak indonesia
lebih banyak dijumpai hepatomegali dibandingkan splenomegali.

Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan


ukuran 1-5 mm, sering sekali dijumpai pada daerah abdomen, toraks,
ekstremitas, dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan
ditemukan pada anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan
bertahan selama 2 – 3 hari. Bronkitis banyak dijumpai pada demam tifoid
sehingga buku ajar lama bahkan meganggap sebagai bagian dari penyakit
demam tifoid. Bradikarida relatif pada anak dengan demam tifoid jarang
dijumpai.7

2.5. Pemeriksaan Penunjang

Sampai saat ini, baku emas diagnosis demam tifoid adalah pemeriksaan
biakan empedu walaupun hanya 40%-60% kasus biakan positif, terutama
pada awal perjalanan penyakit. Biakan spesimen tinja dan urin menjadi
positif setelah akhir minggu pertama infeksi, namun sensitivitasnya lebih
rendah. Di negara berkembang, ketersediaan dan penggunaan antibiotik
secara luas, menyebabkan sensitivitas biakan darah menjadi rendah.
Biakan sumsum tulang lebih sensitif, namun sulit dilakukan dalam
praktek, invasif, dan kurang digunakan untuk kesehatan masyarakat.8

1. Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan hematologi untuk demam tifoid tidak spesifik. Hitung leukosit


yang rendah sering berhubungan dengan demam dan toksisitas penyakit,
namun kisaran jumlah leukosit bisa lebar. Pada anak yang lebih muda

10
leukositosis bisa mencapai 20.000-25.000/mm3. Trombositopenia dapat
merupakan marker penyakit berat dan disertai dengan koagulasi intravaskular
diseminata. Pemeriksaan fungsi hati dapat berubah, namun gangguan hati
yang bermakna jarang ditemukan.8

2. Pemeriksaan Widal

Pemeriksaan Widal mengukur kadar antibodi terhadap antigen O dan H S. typhi


dan sudah digunakan lebih dari 100 tahun. Pemeriksaan Widal memiliki
sensitivitas dan spesifisitas yang rendah dan penggunaannya sebagai satu- satunya
pemeriksaan penunjang di daerah endemis dapat mengakibatkan overdiagnosis.
Kadar aglutinin tersebut diukur dengan menggunakan pengenceran serum
berulang. Pada umumnya antibodi O meningkat di hari ke-6-8 dan antibodi H hari
ke 10-12 sejak awal penyakit. Interpretasi pemeriksaan Widal harus dilakukan
secara hati-hati karena beberapa faktor mempengaruhi hasilnya, antara lain
stadium penyakit, pemberian antibiotik, teknik laboratorium, endemisitas penyakit
tifoid, gambaran imunologi masyarakat setempat, dan riwayat imunisasi demam
tifoid. Sensitivitas dan spesifisitas rendah tergantung kualitas antigen yang
digunakan bahkan dapat memberikan hasil negatif pada 30% sampel biakan
positif demam tifoid.

Pemeriksaan Widal memiliki sensitivitas 40%, spesifisitas 91,4%, dan nilai


prediksi positif 80%. Hasil pemeriksaan Widal positif palsu dapat terjadi oleh
karena reaksi silang dengan non-typhoidal Salmonella, enterobacteriaceae,
pemeriksaan dilakukan di daerah endemis infeksi dengue dan malaria, riwayat
imunisasi tifoid, dan preparat antigen komersial yang bervariasi serta standardisasi
yang kurang baik. Pemeriksaan Widal seharusnya dilakukan 1-2 minggu
kemudian sehingga kenaikan 4 kali, terutama agglutinin O memiliki nilai
diagnostik yang penting untuk demam tifoid. Titer aglutinin O yang positif dapat
berbeda dari >1/80 sampai >1/320 antar laboratorium tergantung endemisitas
demam tifoid di masyarakat setempat dengan catatan 8 bulan terakhir tidak
mendapat vaksinasi atau baru sembuh dari demam tifoid. Pemeriksaan Widal pada
serum akut satu kali saja tidak mempunyai arti penting dan sebaiknya dihindari

11
oleh karena beberapa alasan, yaitu variablitas alat pemeriksaan, kesulitan
memperoleh titer dasar dengan kondisi stabil, paparan berulang S.typhi di daerah
endemis, reaksi silang terhadap non- Salmonella lain, dan kurangnya kemampuan
reprodusibilitas hasil pemeriksaan tersebut. Pemeriksaan serologi untuk aglutinin
Salmonella seperti pemeriksaan Widal bahkan tidak dianjurkan.8

3. Pemeriksaan serologi dari spesimen darah

Pemeriksaan diagnostik baru saat ini tersedia, seperti Typhidot atau Tubex yang
mendeteksi antibodi IgM antigen spesifik O9 lipopolisakarida S. typhi. Dalam dua
dekade ini, pemeriksaan antibodi IgM dan IgG spesifik terhadap antigen S. typhi
berdasarkan enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA) berkembang. Antigen
dipisahkan dari berbagai struktur subselular organisme antara lain: liposakarida
(LPS), outer membrane protein (OMP), flagella (d-H), dan kapsul (virulence [Vi]
antigen). Telah banyak penelitian yang membuktikan bahwa pemeriksaan ini
memiliki sensitivitas dan spesifisitas hampir 100% pada pasien demam tifoid
dengan biakan darah positif S. typhi. Pemeriksaan antibodi IgM terhadap antigen
O9 lipopolisakarida S.typhi (Tubex) dan IgM terhadap S.typhi (Typhidot)memiliki
sensitivitas dan spesifitas berkisar 70% dan 80%.8

Pemeriksaan serologi tersebut dapat dibaca secara visual dalam waktu 10 menit
dengan membandingkan warna akhir reaksi terhadap skala warna dan nilai > 6
dianggap sebagai positif kuat. Namun interpretasi hasil serologi yang positif harus
dilakukan secara hati-hati pada kasus tersangka demam tifoid di daerah endemis
karena IgM dapat bertahan sampai 3 bulan, sedangkan IgG sampai 6 bulan.8

4. Pemeriksaan serologi dari spesimen urin

Pemeriksaan ELISA terhadap antibodi monoklonal spesifik antigen 9 grup D


Salmonella dari spesimen urin pada satu kali pemeriksaan memiliki sensitivitas
65%, namun pemeriksaan urin secara serial menunjukkan sensitivitas 95%.

12
Pemeriksaan ELISA menggunakan antibodi monoklonal terhadap antigen 9
somatik (O9),antigen d flagella (d-H), dan antigen virulensi kapsul (Vi) pada
spesimen urin memiliki sensitivitas tertinggi pada akhir minggu pertama, yaitu
terhadap ketiga antigen Vi terdeteksi pada 9 kasus (100%), O9 pada 4 kasus
(44%) dan d-H pada 4 kasus (44%). Spesifisitas untuk Vi lebih dari 90% sehingga
deteksi antigen Vi pada urin menjanjkan untuk menunjang diagnosis demam
tifoid, terutama dalam minggu pertama sejak timbulnya demam.8

5. Pemeriksaan PCR

Pemeriksaan whole blood culture PCR terhadap S. typhi hanya membutuhkan


waktu kurang dari 8 jam dan memiliki sensitivitas yang tinggi sehingga lebih
unggul dibanding pemeriksaan biakan darah biasa yang membutuhkan waktu 5-7
hari. n-flagelin PCR terhadap S. typhi memiliki sensitivitas 93,58% dan
spesifisitas 87,9%. Pemeriksaan nested polymerase chain reaction(PCR)
menggunakan primer H1-d dapat digunakan untuk mengamplifikasi gen spesifik
S. typhi dari darah pasien dan merupakan pemeriksaan diagnostik cepat yang
menjanjikan.8

2.6. Diagnosis
Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis
berupa demam, gangguan gastrointestinal, dam mungkin disertai
perubahan atau gangguan kesadaran, dengan kriteria ini maka seseorang
klinisi dapat membuat diagnosis tersangka demam tifoid. Diagnosis pasti
demam tifoid juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan penunjang.7

2.7. Diagnosis banding


Demam tifoid pada stadium dini kadang-kadang dapat bermanifestasi
klinik yang menyerupai beberapa penyakit yaitu Influenza, gastroenteritis,
bronkitis, dan bronkopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan
oleh mikroorganisme intraseluler seperti tuberkulosis, infeksi jamur
sistemik, bruselosis, tularemia, shigelosis dan malaria juga perlu kita

13
pikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukimia, limfoma dan
penyakit hodgkin juga dapat menjadi diagnosis banding.7

2.8. Tatalaksana umum

Tatalaksana suportif merupakan hal yang sangat penting dalam menangani


demam tifoid selain tatalaksana utama berupa pemberian antibiotik.
Pemberian rehidrasi oral ataupun parenteral, penggunaan antipiretik,
pemberian nutrisi yang adekuat serta transfusi darah bila ada indikasi,
merupakan tatalaksana yang ikut memperbaiki kualitas hidup seorang anak
penderita demam tifoid. Gejala demam tifoid pada anak lebih ringan
dibanding orang dewasa, karena itu 90 % pasien demam tifoid anak tanpa
komplikasi, tidak perlu dirawat di rumah sakit dan dengan pengobatan oral
serta istirahat baring di rumah sudah cukup untuk mengembalikan kondisi
anak menjadi sehat dari penyakit tersebut.7

2.9. Tatalaksana antibiotik

Kloramfenikol masih merupakan antiobiotik pilihan pertama pada pengobatan


penderita demam tifoid. Dosis kloramfenikol yang diberikan adalah 100
mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai
5-7 hari setelah demam turun, sedangkan pada kasus dengan malnutrisi atau
penyakit, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari, 4 – 6 minggu untuk
ostemielitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis. Salah satu kelemahan
kloramfenikol adalah tingginya angka relaps dan karier. Namun pada anak hal
tersebut jarang dilaporkan.7,8

Ampisilin juga dapat memberikan respons perbaikan klinis yang kurang


apabila dibandingkan dengan kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah
200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara intravena.
Amoksisilin dengan dosis 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemerbian
peroral memberikan hasil yang setara dengan kloramfenikol walaupun

14
penurunan demam lebih lama. Kombinasi trimethoprim sulfametoksazol (
TMP-SMZ ) memberikan hasil yang kurang baik dibandingkan dengan
kloramfenikol. Dosis yang dianjurkan adalah TMP 10 mg/kgBB/hari atau
SMZ 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 2 dosis. Pemberian sefalosporin generasi
ketiga seperti Seftriaxone 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 1 atau 2 dosis (
maksmal 4 gr/hari ) selama 5 – 7 hari atau sefotaksim 150-200 mg/kgBB/hari
selama 10 hari dapat diberikan sebagai alternative, terutama apabila leukosit
<2000 / ul atau dijumpai resistensi terhadap S.Typhi.7,8

Pada demam tifoid kasus berat seperti delirium, obtundasi, stupor, koma, dan
shock, pemberian deksametason intravena ( 30 mg/kg/hari dalam 3 dosis
peroral atau TMP-SMZ selama 4 – 6 minggu memberikan angka kesembuhan
80% pada karier tanpa penyakit saluran empedu. Namun bila terdapat
kolelitiasis atau kolesistitis, pemberian antiobiotik saja jarang berhasil,
kolesistektomi dianjurkan setelah pemberian antibiotik ( ampisilin 200
mg/kgBB/hari dalam 4 – 6 dosis IV ) selama 7 – 10 hari, setelah
kolesistektomi dilanjutkan dengan amoksisilin 30 mg/kgBB/hari dalam 3 dosis
peroral selama 30 hari.7

Untuk pengobatan karier demam tifoid, pemberian ampisilin atau amoksisilin


dengan dosis 40 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral dikombinasi probenesid
30 mg/kg BB/hari dalam 3 dosis peroral atau trimetropim- sulfametoksazol
selama 4-6 minggu memberikan angka kesembuhan 80%. Kloramfenikol tidak
efektif digunakan sebagai terapi karier demam tifoid. Selain
amoksisilin/ampisilin, untuk pengobatan karier demam tifoid, beberapa obat
dapat dipergunakan, seperti kotrimoksazol, siprofloksasin dan norfloksasin,
walaupun dua obat terakhir tidak sebaiknya digunakan pada penderita demam
tifoid anak.8

15
2.10. Mekanisme resistensi antibiotik
Bakteri yang resisten terhadap antibiotika terdapat 2 jenis, yaitu bakteri
yang secara alamiah resisten terhadap antiobiotika dan bakteri yang
berubah sifatnya dari peka menjadi resisten. Perubahan sifat bakteri
tersebut dapat terjadi karena mutasi kromosom dan atau perolehan materi
genetik dari luar. Mekanisme resistensi yang khusus terjadi terhadap
antibiotika lini pertama adalah sebagai berikut:9
 Ampisilin : Mekanisme resistensi terhadap antibiotika
ampisilin dapat terjadi karena bakteri menghasilkan inaktivator
enzim 𝛽 laktamase, perubahan target antibiotika sehingga
kekurangan Penicillins binding protein ( PBP ), kegagalan dalam
mengaktifkan enzim autolisis dan bakteri tidak memiliki
peptidoglikan.
 Kloramfenikol : Resistensi terhadap kloramfenikol dapat terjadi
melalui perubahan target ( ribosom ) dari antibiotika, dihasilkannya
inaktivator berupa enzim kloramfenikol asetil transferase dan
mekanisme yang membatasi antibiotika secara terus menerus
melalui membran luar serta akan memompa keluar antibiotika dari
sitoplasma,
 Tetrasiklin : Resistensi terhadap tetraksilin dapat terjadi karena
mekanisme yang membatasi antibiotika masuk kedalam sel target,
melalui perubahan permeablitias terhadap tetrasiklin dan
perubahan target ( ribosom ) antibiotika, dihasilkannya inaktivasi
berupa enzim yang menghambat kerja antibiotika, pengaturan gen
represor dan melalui aktif efluks.
 TMP-SMZ : Resistensi terdapat TMP-SMZ karena kuman
mampu mengembangkan jalur metabolisme lama yang dihambat
antibiotika dan peningkatan sintesis metabolit yang bersifat
antagonis kompetitif, melalui peningkatan sintesis PABA ( para
amino benzoic acid ) yang digunakan untuk melawan efek
sulfonamida dan perubahan yang terjadi pada enzim reduktase

16
asam dehidrofolat sehingga dapat menjalankan fungsi
metabolismenya.9

2.11. Vaksinasi
Saat ini dikenal ada 3 macam vaksin untuk penyakit demam tifoid, yaitu
yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi dari
Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi, S.
Paratyhpi A, S. Paratyphi B yang dimatikan ( TAB vaccine ) telah puluhan
tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan, namun
ternyata vaksin ini hanya memberikan daya kekebalah tubuh yang terbatas,
disampung efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering.
Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemahkan (Ty-
21a) diberikan per oral tiga kali dengan interval pemberian selang sehari,
memberikan daya perlindungan selama 6 tahun. Vaksin Ty-21a diberikan
pada anak berumur di atas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapatkan
hasil efikasi.7

2.12. Komplikasi
Komplikasi pada demam tifoid terjadi pada minggu ke 2 atau lebih, sering
timbul komplikasi demam tifoid mulai dari yang ringan sampai berat
bahkan kematian. Beberapa komplikasi yang sering terjadi diantaranya
adalah:
 Tifoid Toksik ( Tifoid Ensefalopati ) : Didapatkan
gangguan atau penurunan kesadaran akut dengan gejala
delirium sampai koma yang disertai atau tanpa defisit
neurologis lainnya. Analisa cairan otak biasanya dalam
batas-batas normal.
 Syok septik : Syok septik juga merupakan komplikasi
yang sering sebagai akibat dari respon inflamasi sistemik,
karena bakteremia dari Salmonella. Disamping gejala-
gejala tifoid penderita akan jatuh ke dalam fase kegagalan
vaskular ( syok ). Tekanan darah akan turun, frekuensi nadi

17
akan cepat dan halus, berkeringat serta akral dingin.
Komplikasi syok septik akan berbahaya jika menjadi
irreversible.10
2.13. Prognosis
Prognosis pasien demam tifoid tergantung dari ketepatan terapi, usia,
keadaan kesehatan sebelumnya, dan ada tidaknya komplikasi. Di negara
maju, dengan terapi antibiotik yang adekuat, angka mortalitas <1%, di
negara berkembang angka mortalitasnya >10% yang biasanya disebabkan
karena adanya keterlambatan diagnosis , perawatan, dan pengobatan.
Munculnya komplikasi, seperti perforasi gastrointestinal atau perdarahan
hebat, meningitis, endokarditis, dan pneumonia, mengakibatkan
morbiditas dan mortalitas yang tinggi.
Relaps dapat timbul beberapa kali. Individu yang mengeluarkan S. Ser.
Typhi ≥ 3 bulan setelah infeksi umumnya menjadi karier kronis. Resiko
menjadi karier pada anak-anak rendah dan akan meningkat seiring
berjalannya usia. Karier kronik terjadi pada 1 – 5% dari seluruh pasien
demam tifoid. Insidens penyakit traktus biliaris lebih tinggi pada karier
kronis dibandingkan dengan populasi umum. Walaupun karier urin kronis
juga dapat terjadi, hal ini jarang dan dijumpai terutama pada individu
dengan skistosomiasis.7

18
BAB III

KESIMPULAN

Demam tifoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang
disebabkan oleh Salmonella Typhi. Penyakit ini ditandai dengan badan yang panas
berkepanjangan, ditopang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur
endotelial atau endokardial dan invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam sel
fagosit mononuklear dari hati, limpa, kelenjar limfe usus dan peyer’s patch

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudewi AAR, Sugianto P., Ritarwan K.. Abses Serebri. Infeksi pada
sistem saraf. PERDOSSI. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan
Unair. 2011.
2. Campion E. Brain Abscess. New England Journal of Medicine.
2014;371(18):1756-1758.
3. Tanto C, L iwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran
II edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
4. Çavuşoglu H, Kaya R, Türkmenoglu O, Çolak I, Aydin Y. Brain abscess:
analysis of results in a series of 51 patients with a combined surgical and
medical approach during an 11-year period. Neurosurgical FOCUS.
2008;24(6):E9.
5. Mathisen GE, Johnson JP. Brain abscess. Clin Infect Dis 1997; 25:763.
6. Ratnaike TE, Das S, Gregson BA, Mendelow AD. A review of brain
abscess surgical treatment--78 years: aspiration versus excision. World
Neurosurg 2011; 76:431.

20

Anda mungkin juga menyukai