Anda di halaman 1dari 12

BAB IV

PEMBAHASAN

Selama kelompok melaksanakan praktek profesi manajemen

keperawatan di ruang Irina C (Neuro) RSUD MM Dunda Limboto, didapati

beberapa kesenjangan antara teori dengan yang dihadapi dilapangan. Adapun hal

-hal tersebut didapati pada hasil Pengkajian dan observasi.

1. M1 - Ketenagaan

Menurut Sitorus (2006) jumlah tenaga keperawatan disuatu ruang rawat

ditetapkan dari klasifikasi klien berdasarkan derajat ketergantungan. Untuk

menghitung jumlah klien berdasarkan derajat ketergantungan dalam waktu

tertentu, minimal selama tujuh hari berturut – turut.

Dalam hal ketenagaan didapatkan bahwa sebagian besar perawat yang

bertugas diruang Irina C (Neuro) 67% dengan tingkat pendidikan Diploma 3

Keperawatan termasuk Kepala Ruangan. Perawat dengan pendidikan Profesi

Ners 13,3 % dan pendidikan Sarjana Keperawatan 20%.

Hasil analisis kebutuhan tenaga perawat diruang Irina C (Neuro)

berdasarkan rumus Gilies didapatkan jumlah tenaga yang dibutuhkan adalah 10

orang. Berdasarkan hasil perhitungan di atas, menurut kami didapatkan bahwa

perhitungan tenaga keperawatan menurut Depkes (2005) dinilai paling efektif

yaitu berjumlah 5 orang. Sedangkan jumlah tenaga perawat di ruangan yaitu

berjumlah 15 perawat yang terdiri dari 1 orang kepala ruangan, 2 perawat

sebagai ketua Tim, dan 12 orang perawat pelaksana, sehingga dinilai belum

perlu diadakan penambahan jumlah tenaga perawat di ruangan Irina C (Neuro).

71
2. M2 Material

Permenkes NO. 24 Tahun 2016 Prasarana Rumah Sakit adalah utilitas

yang terdiri atas alat, jaringan dan sistem yang membuat suatu bangunan

Rumah sakit dapat berfungsi.

Hasil observasi terhadap situasi lingkungan ruangan Irina C (neuro)

didapatkan fasilitas pasien beberapa perlu di tambah dan diganti disesuainkan

dengan standar Rumah Sakit tipe B. Untuk menyelesaikan masalah tersebut

Mahasiswa telah membuatkan daftar Fasilitas baik fasilitas yang dibutuhkan

pasien maupun petugas kesehatan sesuai dengan standar Permenkes No. 24

Tahun 2016. Daftar inventaris yang telah dibuat kemudian diserahkan kepada

Kepala Ruangan untuk dijadikan pertimbangan permintaan kebutuhan ruangan

Irina C (Neuro).

3. M3 - Method

a. Timbang Terima

Timbang terima adalah suatu cara dalam menyampaikan sesuatu

(laporan) yang berkaitan dengan keadaan klien. Handover adalah waktu

dimana terjadi perpindahan atau transfer tanggung jawab tentang pasien dari

perawat yang satu ke perawat yang lain. tujuan dari handover adalah

menyediakan waktu, informasi yang akurat tentang rencana perawatan pasien,

terapi, kondisi terbaru, dan perubahan yang terjadi dan antisipasinya

(Rowland, 2011).

Ruangan Irina C belum memiliki panduan operan keperawatan untuk

menjadi pedoman para perawat ruangan untuk melakukan operan. Isi dari

72
operan yang sesuai standar adalah nama klien, umur, diagnosa medis,

keluhan, diagnosa keperawatan, tindakan keperawatan, implementasi yang

sudah dilakukan dan belum dilakukan dan rencana tindak lanjut.

Dari hasil pengkajian yang dilakukan diperoleh bahwa operan

keperawatan yang dilakukan di Ruangan Irina C sudah sering dilakukan di

setiap pertukaran shift, namun pelaksanaannya belum terlalu optimal. Selain

dari isi operannya yang belum sesuai standar, beberapa perawat juga ada yang

tidak sempat mengikuti operan dengan alasan terlambat.

Implementasi yang dilakukan adalah dengan memberikan materi

dengan tujuan sebagai penyegaran kembali atau recall memory mengenai

operan/timbang terima, memberikan pre dan post test serta melakukan role-

play operan shift setiap harinya dan melibatkan para perawat di ruangan.

Setelah dilakukan implementasi selama 1 (satu) minggu didapatkan

pelaksanaan operan yang dilakukan perawat di ruang Irina C telah

dilaksanakan secara optimal, perawat sudah melaksanakan operan tepat waktu

dan melaksanakan operan sudah melibatkan pasien.

Sesuai dengan Nusalam (2015), profesionalisme dalam pelayanan

keperawatan dapat dicapai dengan mengoptimalkan peran dan fungsi perawat,

terutama peran dan fungsi mandiri perawat. Hal ini tentu dapat dicapai

melalui komunikasi yang efektif antar perawat. Timbang terima pasien harus

dilakukan seefektif mungkin dengan menjelaskan secara singkat, jelas dan

lengkap tentang tindakan mandiri dan kolaboratif yang telah dilakukan serta

perkembangan pasien saat itu.

73
b. Pre dan Post Conference

Pre post conference di ruang rawat inap adalah suatu pembelajaran

keperawatan klinik yang mengutamakan dan menekankan pada tehnik

conference dalam rangka meningkatkan dan mempertahankan kualitas asuhan

pasien selama 24 jam terus menerus.

Pre conference (konfrensi awal) merupakan kegiatan diskusi

kelompok untuk persiapan pemberian asuhan keperawatan yang meliputi

masalah pasien, membuat rencana serta pembagian tugas pada perawat

pelaksana pre conference dapat dilakukan secara individual atau grup sesuai

jumlah perawat pelaksana bertugas. Sedangkan, Post conference (konfrensi

akhir) merupakan kegiatan diskusi kelompok untuk mengevaluasi pemberian

asuhan keperawatan yang meliputi perkembangan pasien,pencapaian tujuan

asuhan, kendala yang dihadapi, dan cara mengatasinya serta kejadian-

kejadian lain yang di temukan selama memberikan asuhan keperawatan pada

pasien. Hasil post conference sebagai dasar untuk operan tugas pada shift jaga

berikutnya (Novuluri, 2015).

Dari hasil pengkajian yang dilakukan diperoleh bahwa pre dan post

conference keperawatan di Ruangan Irina C belum pernah dilakukan.

Berbagai alasan terungkap diantaranya adalah belum resminya standar

operasional prosedur (SOP), beban kerja perawat ruangan yang tinggi dan

juga beberapa perawat mengatakan bahwa waktu pergantian shift tidak selalu

tepat waktu dikarenakan beberapa perawat sering datang tidak tepat waktu

sehingga pelaksanaan pre dan post tidak diterapkan di Irina C.

74
Implementasi yang dilakukan adalah dengan memberikan materi

dengan tujuan sebagai penyegaran kembali atau recall memory mengenai pre

dan post conference, memberikan pre dan post test serta melakukan role-play

pre dan post conference setiap harinya dan melibatkan para perawat di

ruangan. Setelah dilakukan implementasi selama 1 (satu) minggu didapatkan

pelaksanaan pre dan post conference masih belum optimal, dikarenakan

waktu pergantian shift yang selalu terlambat.

c. Ronde Keperawatan

Ronde keperawatan (Nursing Rounds) adalah salah satu kegiatan untuk

mengatasi masalah keperawatan klien yang akan dilaksanakan oleh perawat

disamping melibatkan klien untuk membahas dan melaksanakan asuhan

keperawatan. Pada kasus tertentu harus dilakukan oleh perawat primer atau

katim, kepala ruangan, perawat associate yang perlu juga melibatkan seluruh

anggota tim kesehatan (Nursalam, 2002).

Menurut Nursalam (2002) dalam standar pelaksanaan ronde

keperawatan tidak memiliki ketetapan untuk berapa kali harus ronde

keperawatan dilakukan akan tetapi ronde keperawatan dapat dilakukan

dengan apabila klien ditemukan mempunyai masalah keperawatan yang

belum teratasi meskipun sudah dilakukan tindakan keperawatan dan pada

pasien dengan kasus-kasus baru atau langka. Adapun manfaat dari ronde

keperawatan yaitu masalah pasien dapat teratasi, kebutuhan pasien dapat

terpenuhi, terciptanya komunitas perawatan yang profesional, terjalinnya

75
kerjasama antar tim kesehatan, perawat dapat melaksanakan model

keperawatan dengan tepat dan benar.

Dari hasil wawancara yang dilakukan oleh mahasiswa Profesi Ners

Universitas Negeri Gorontalo, perawat di ruangan Irina C belum pernah

melakukan ronde keperawatan selama ini. Maka dari itu, mahasiswa Profesi

Ners UNG menyelenggarakan ronde keperawatan pada tanggal 15 Juni 2017

yang diikuti oleh perawat serta kepala ruangan. Kasus yang dibahas dalam

ronde keperawatan ini adalah seorang klien yang dirawat di Ruang Apel

dengan diagnosa medis SNH.

Pada kegiatan ini mahasiswa mencoba untuk melakukan ronde

keperawatan bersama perawat ruangan berdasarkan SOP RSUD Dr. M.M

Dunda Limboto. Mahasiswa keperawatan juga dalam hal ini bermain peran,

membagi tugas dirinya sebagai kepala ruangan, perawat pelaksana, perawat

asosiet dan sebagai konselor. Kegiatan dimulai dari salam pembuka oleh

kepala ruangan, memperkenal tim ronde, kemudian penyajian masalah oleh

ketua tim/perawat pelaksan dan dilanjutkan dengan validasi data di ruang

pasien dengan mencocokkan dan menjelaskan kembali apa yang telah

disampaikan, diskusi antar anggota tim dan pasien tentang masalah

keperawatan pasien yaitu SNH, pemberian justifikasi oleh perawat primer

atau konselor atau kepala ruangan tentang masalah pasien serta rencana

tindakan yang akan dilakukan dan menentukan tindakan keperawatan pada

masalah prioritas yang telah ditetapkan dan dilanjutkan dengan evaluasi,

kesimpulan serta rekomendasi penegakan diagnosis dan intervensi

76
keperawatan selanjutnya. Hasilnya ronde keperawatan berjalan dengan sangat

lancar dan efektif. Dari sini dapat diambil kesimpulan bahwa kegiatan ronde

keperawatan memang sangat dibutuhkan oleh perawat ruangan untuk

memecahkan masalah pasien yang belum teratasi dengan sama-sama

berdiskusi.

d. Supervisi

Suatu teknik pelayanan yang tujuan utamanya adalah mempelajari dan

memperbaiki secara bersama-sama (Huber, 2000 dalam Nursalam, 2016).

Supervisi keperawatan adalah suatu proses pemberian sumber-sumber yang

dibutuhkan untuk menyelesaikan tugas dalam rangka mencapai tujuan.

Kepala Ruangan diberi tanggung jawab untuk mempekerjakan,

mengembangkan dan mengevaluasi stafnya. Kepala ruangan di ruang

keperawatan perlu melakukan kegiatan koordinasi, kegiatan unit yang

menjadi tanggung jawabnya dan melakukan kegiatan evaluasi, kegiatan

penampilan kerja staf dalam upaya mempertahankan kualitas pelayanan

pemberian Asuhan Keperawatan dapat dipilih disesuaikan dengan kondisi dan

jumlah pasien dan kategori pendidikan serta pengalaman staf diunit yang

bersangkutan (Arwani, 2006).

Berdasarkan hasil wawancara pada tanggal 06 Juni 2017, didapatkan

bahwa kegiatan supervisi belum dilaksanakan oleh kepala ruangan Irina C

setiap bulannya. Kepala ruangan hanya mengevaluasi dokumentasi

keperawatan yang dilakukan oleh Katim dan perawat pelaksana. Dan bila ada

77
perawat yang tidak melakukan tugas dengan baik akan mendapat teguran dari

Kepala ruangan.

Implementasi yang dilakukan adalah dengan memberikan materi

dengan tujuan sebagai penyegaran kembali atau recall memory mengenai

supervisi, memberikan pre dan post test serta melakukan role-play supervisi

dan melibatkan para perawat di ruangan. Setelah dilakukan implementasi

selama 1 (satu) minggu didapatkan pelaksanaan supervisi masih belum

efektif.

e. Discharge Planning

Discharge planning adalah mekanisme untuk memberikan perawatan

kontinu, informasi tentang kebutuhan kesehatan berkelanjutan setelah pulang,

perjanjian evaluasi, dan instruksi perawatan diri (Gillies, 2014).

Discharge planning sebaiknya dilakukan sejak pasien diterima di suatu

agen pelayanan kesehatan, terkhusus di rumah sakit dimana rentang waktu

pasien untuk menginap semakin pendek. Discharge planning yang efektif

seharusnya mencakup pengkajian berkelanjutan untuk mendapatkan

informasi yang komprehensif tentang kebutuhan pasien yang berubah- ubah,

pernyataan diagnosa keperawatan, perencanaan untuk memastikan kebutuhan

pasien sesuai dengan apa yang dilakukan oleh pemberi layanan kesehatan

(Novuluri, 2015).

Menurut Yura (2012), perencanaan pemulangan pasien membutuhkan

identifikasi kebutuhan pasien. Kelompok perawat berfokus pada kebutuhan

78
rencana pengajaran yang baik untuk persiapan pulang pasien, yang disingkat

dengan METHOD yaitu:

1. Medication (obat), pasien sebaiknya mengetahui obat yang harus

dilanjutkan setelah pulang.

2. Environment (lingkungan), memiliki lingkungan yang aman dan memiliki

fasilitas pelayanan yang dibutuhkan untuk kelanjutan perawatannya.

3. Treatment (pengobatan), memastikan klien mendapatkan pengobatan

lanjutan yang dapat dilakukan secara mandiri maupun dibantu oleh

keluarga.

4. Health teaching (pengajaran kesehatan), klien yang akan pulang sebaiknya

diberitahu bagaimana mempertahankan kesehatan, termasuk tanda dan

gejala yang mengindikasikan kebutuhan perawatan kesehatan tambahan.

5. Outpatient Referal, klien sebaiknya mengenal pelayanan dari rumah sakit

atau agen kemunitas lain yang dapat meningkatkan perawatan yang

kontinu.

6. Diet pasien, sebaiknya diberitahu tentang pembatasan pada dietnya dan

pasien sebaiknya mampu memilih diet yang sesuai untuk dirinya.

Menurut Nursalam (2016) dalam alur pelaksanaan Discharge Planning

tugas perawat primer atau katim adalah membuat perencanaan pulang,

membuat leaflet, memberikan konseling dan memberikan pendidikan

kesehatan kepada klien.

Dari hasil observasi dan wawancara yang dilakukan diperoleh bahwa

perawat di Ruangan Irina C selalu melaksanakan perencanaan pulang kepada

79
kliennya, namun pelaksanaannya belum terlalu optimal. Setelah dilakukan

implementasi 1 (satu) minggu dengan memberikan discharge planning yang

sesuai dengan standar prosedur, pelaksanaan discharge planning semakin

optimal dengan adanya pemberian leaflet ketika melakukan konseling pada

klien yang akan pulang.

f. Pelaksanaan Patient Safety

Keselamatan pasien (pasient safety) merupakan suatu variabel untuk

mengukur dan mengevaluasi kualitas pelayanan keperawatan yang

berdampak terhadap pelayanan kesehatan (Nursalam, 2016).

Program keselamatan pasien adalah suatu usaha untuk menurunkan

angka kejadian tidak diharapkan (KTD) yang sering terjadi pada pasien

selama dirawat di rumah sakit sehingga sangat merugikan baik pasien itu

sendiri maupun pihak rumah sakit. KTD bisa disebabkan oleh berbagai faktor

antara lain beban kerja perawat yang tinggi, alur komunikasi yang kurang

tepat, penggunaan sarana kurang tepat dan lain sebagainya.

Indikator keselamatan pasien (IPS) bermanfaat untuk mengidentifikasi

area-area pelayanan yang memerlukan pengamatan dan perbaikan lebih

lanjut, misalnya untuk menunjukan:

1) Adanya penurunan mutu pelayanan dari waktu ke waktu;

2) Bahwa suatu area pelayanan ternyata tidak memenuhi standar klinik atau

terapi sebagaimana yang diharapkan;

3) Tingginya variasi antar rumah sakit dan antarpemberi pelayanan;

80
4) Ketidaksepadanan antarunit pelayanan kesehatan (misalnya, pemerintah

dengan swasta).

Salah satu tahap kewaspadaan standar yang efektif dalam pencegahan dan

pengendalian infeksi adalah handhygiene (kebersihan tangan) karena

kegagalan dalam menjaga kebersihan tangan adalah penyebab utama infeksi

nosokomial dan mengakibatkan penyebaran mikroorganisme multi resisten di

fasilitas pelayanan kesehatan (Menkes dalam Depkes RI,2009).

Dari hasil observasi yang dilakukan selama 6 hari sejak tanggal 6 -10 Juni

2017, diperoleh bahwa mayoritas perawat sebelum melakukan tindakan

keperawatan kadang – kadang lupa mencuci tangan. Saat diwawancarai

perawat mengatakan sebelum melakukan tindakan sering lupa dilakukan

karena perawat sudah memakai handscoen sebelum melakukan tindakan.

Setelah dilakukan implementasi selama 1 (satu) minggu, penerapan Hand

hygiene oleh perawat di ruangan sudah lebih baik. Perawat melakukan hand

hygiene sudah berdasarkan 5 moment yaitu 2 Sebelum dan 3 sesudah. Menjaga

kebersihan tangan dengan cara mencuci tangan menurut Tietjen, et.al. (2004)

adalah metode paling mudah, murah dan efektif dalam pencegahan infeksi

nosokomial dengan strategi yang telah tersedia.

g. Pengelolaan Sentralisasi Obat

Sentralisasi obat adalah pengelolaan obat dimana seluruh obat pasien

diserahkan pengelolaannya sepenuhnya oleh perawat (Nursalam, 2016). Tujuan

sentralisasi obat adalah menggunakan obat secara bijaksana dan menghindari

pemborosan, sehingga kebutuhan asuhan keperawatan pasien dapat terpenuhi.

81
Sentralisasi obat di ruang Irina C, baik obat – obatan oral maupun obat

injeksi sudah berada di nurse station yang sudah ditempatkan pada tempat obat

yang sesuai dengan nama pasien. Alur sentralisasi obat adalah obat diresepkan

oleh dokter kemudian diberikan kepada perawat dan perawat memberikan

resep kepada keluarga pasien untuk mengambil ke apotik kemudain diserahkan

kembali kepada perawat yang ada di nurse station dan diletakkan ditempat obat

sesuai dengan nama pasien.

Yang kurang dari pelaksanann sntralisasi obat di ruang Irina C adalah

belum ada format persetujuan tentang sentralisasi obat baik oleh pasien

maupun keluarga pasien. Untuk melengkapi kekurangan tersebut Mahasiswa

Profesi Ners membuat format persetujuan sentralisasi obat yang diambil

berdasarkan format yang terdapat di buku Nursalam, 2015, kemudian

mengajukan format kebagian bidang keperawatan RSUD MM. Dunda Limboto

sekiranya format yang dibuat dapat disetujui dan digunakan oleh pihak Rumah

Sakit.

82

Anda mungkin juga menyukai