Anda di halaman 1dari 26

1

BAB I
PENDAHULUAN

Infeksi virus dengue, merupakan masalah kesehatan global. Dałam tiga


dekade terakhir terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tersebut di berbagai
negara yang dapat menimbulkan kematian sekitar kurang dari 100. Kejadian luar
biasa penyakit telah sering dilaporkan dari berbagai negara. Penyakit dengue
terutama ditemukan di daerah tropis dan subtropis dengan sekitar 2,5 milyar
penduduk yang mempunyai risiko untuk terjangkit penyakit ini. Diperkirakan
setiap tahun sekitar 50 juta usia terinfeksi virus dengue yang 500.000 di
antaranya memerlukan rawat inap, dan hampir 90% dari pasien rawat inap adalah
anak-anak. Asia Tenggara dengan jumlah penduduk sekitar 1,3 milyar merupakan
daerah endemis, Indonesia bersama dengan Bangladesh, India, Maladewa,
Myanmar, Sri Lanka, Thailand dan Timor Leste termasuk ke dałam kategori
endemik A (endemik tinggi). Di negara tersebut penyakit dengue merupakan
alasan ułama rawat inap dan salah satu penyebab ułama kematian pada anak.Tabel
I menunjukkan jumlah kasus dan angka kematian (casefatality rate atau CFR)
demam berdarah dengue (DBD) di Indonesia dari tahun 2008 sampai tahun 20121.

Tabel I. Jumlah Kasus dan Angka Kematian DBD di Indonesia, Tahun 2008-
20122.
Tahun Jumlah kasus Angka kematian (%)
2008 137.469 0,86
2009 154.855 0,89
2010 0,87
156.086
2011 0,80
65.725
2012 0,88
90.245
2

BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Epidemiologi
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk
Stegomiya aegipty (dahulu disebut Aedes aegipty) dan Stegomiya albopictus
(dahulu Aedes albopictus). Transmisi virus tergantung dari faktor biotik dan
abiotik. Termasuk dalam faktor biotik adalah faktor virus, vektor nyamuk,
dan pejamu manusia. Sedangkan faktor abiotik adalah suhu lingkungan,
kelembaban, dan curah hujan1,3.
2.1.1 Virus Dengue
Virus dengue termasuk genus Flavivirus dari famili Flaviviridae.
Selain virus dengue, virus lain yang termasuk dalam genus ini adalah
Japanesse encephalitis virus (JEV), yellow fever virus (YFV), West
Nile virus (WNV), dan tickborne encephalitis virus (TBEV).
Masing-masing virus tersebut mempunyai kemiripan dalam struktur
antigeniknya sehingga memungkinkan terjadi reaksi silang secara
serologik. Berdasarkan genom yang dimiliki, virus dengue termasuk
virus (positive sense single stranded) RNA. Genom ini dapat
ditranslasikan langsung menghasilkan satu rantai polipeptida berupa
tiga protein struktural (capsid = C, pre-membrane = prM, dan
envelope = E) dan tujuh protein non-struktural (NS1, NS2A, NS2B,
NS3, NS4A, NS4B, dan NS). Selanjutnya, melalui aktivitas berbagai
enzim, baik yang berasal dari virus maupun dari sel pejamu
polipeptida tersebut membentuk menjadi masing-masing protein.
Protein prM yang terdapat pada saat virus belum matur oleh enzim
furin yang berasal dari sel pejamu diubah menjadi protein M
sebelum virus tersebut disekresikan oleh sel pejamu. Protein M
bersama dengan protein C dan E membentuk kapsul dari virus,
sedangkan protein nonstruktural tidak ikut membentuk struktur
virus. Protein NS-1 merupakan satu-satunya protein nonstruktural
yang dapat disekresikan oleh sel pejamu mamalia tapi tidak oleh
nyamuk, sehingga dapat ditemukan dalam darah pejamu sebagai
3

antigen NSI. Masing-masing protein mempunyai peran yang berbeda


dalam patogenisitas, replikasi virus, dan aktivasi respons imun, baik
humoral maupun selular. Berdasarkan sifat antigen dikenal ada
empat serotipe Virus dengue, yaitu DENV-I, DENV-2, DENV-3, dan
DENV-4. Masing-masing serotipe mempunyai beberapa galur
(strain) atau genotipe yang berbeda. Serotipe yang dapat ditemukan
dan yang paling banyak beredar di suatu negara atau area geografis
tertentu berbeda-beda. Di Indonesia keempat serotipe virus dengue
tersebut dapat ditemukan dan DENV-3 merupakan galur yang paling
virulen1

2.2 Patogenesis
Patogenesis infeksi virus dengue berhubungan dengan:
1. Faktor virus, vaitu serotipe, jumlah, virulensi.
2. Faktor pejamu, genetik, usia, status gizi, penyakit komorbid dan
interaksi antara virus dengan pejamu.
3. Faktor lingkungan, musim, curah hujan, suhu udara, kepadatan
penduduk, mobilitas penduduk, dan kesehatan lingkungan.
Secara umum patogenesis infeksi virus dengue diakibatkan oleh interaksi
berbagai komponen dari respons imun atau reaksi inflamasi yâng terjadi
secara terintegrasi. Sel imun yang paling penting dalam berinteraksi dengan
virus dengue yaitu sel dendrit, monosit atau makrofag, sel endotel, dan
trombosit. Akibat interaksi tersebut akan dikeluarkan berbagai mediator
antara lain sitokin, peningkatan aktivasi sistem komplemen, serta terjadi
aktivasi limfosit T. Apabila aktivasi sel imun tersebut berlebihan, akan
diproduksi sitokin (terutama proinflamasi), kemokin, dan mediator
inflamasi lain dalam jumlah banyak. Akibat produksi berlebih dari zat-zat
tersebut akan menimbulkan berbagai kelainan yang akhirnya menimbulkan
berbagai bentuk tanda dan gejala infeksi virus dengue. Untuk lebih
memahami imunopatogenesis infeksi virus dengue, berikut ini diuraikan
mengenai respons imun humoral dan selular, mekanisme autoimun, peran
sitokin dan mediator lain, serta peran sistem komplemen1.
2.2.1 Respon Imun Humoral
4

Respons imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan


menghasilkan antibodi spesifik terhadap virus dengue. Antibodi
spesifik untuk virus dengue terhadap satu serotipe tertentu juga dapat
menimbulkan reaksi silang dengan serotipe lain selama enam bulan.
Antibodi yang dihasilkan dapat menguntungkan dalam arti
melindungi dari terjadinya penyakit, namun sebaliknya dapat pula
menjadi pemicu terjadinya infeksi yang berat melalui mekanisme
antibody-dependent enhancement (ADE) 1.
Antibodi anti dengue yang dibentuk umumnya berupa
imunoglobulin (lg) G dengan aktivitas yang berbeda. Antibodi
terhadap protein E dapat berfungsi baik untuk neutralisasi maupun
berperan dalam mekanisme ADE. Antibodi terhadap protein NSI
berperan dalam menghancurkan (lisis) sel yang terinfeksi melalui
bantuan komplemen (complement dependent lysis). Diketahui bahwa
antibodi terhadap protein prM pada virion imatur juga berperan dalam
mekanisme ADE1.
Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenik
berbeda. Infeksi virus dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat
menimbulkan kekebalan yang menetap untuk serotipe bersangkutan
(antibodi homotipik). Pada saat yang bersamaan, sebagai bagian dari
kekebalan silang (cross immunity) akan dibentuk antibodi untuk
serotipe lain (antibodi heterotipik).Apabila kemudian terjadi infeksi
oleh serotipe yang berbeda, maka antibodi heterotipik yang bersifat
non atau subneutralisasi berikatan dengan virus atau partikel tertentu
dari virus serotipe yang baru membentuk kompleks imun. Kompleks
imun akan berikatan dengan reseptor Fcy yang banyak terdapat
terutama pada monosit dan makrofag, sehingga memudahkan virus
menginfeksi sel. Virus bermultiplikasi di dalam sel dan selanjutnya
virus keluar dari sel, sehingga terjadi viremia. Kompleks imun juga
dapat mengaktifkan kaskade sistem komplemen untuk menghasilkan
C3a dan C5a yang mempunyai dampak langsung terhadap
peningkatan permeabilitas vaskular1.
5

2.2.2 Respon Imun Seluler


Respons imun selular yang berperan yaitu limfosit T (sel T).
Sama dengan respons imun humoral, respons sel T terhadap infeksi
virus dengue dapat menguntungkan sehingga tidak menimbulkan
penyakit atau hanya berupa infeksi ringan, namun juga sebaliknya
dapat terjadi hal yang merugikan bagi pejamu. Sel T spesifik untuk
virus dengue dapat mengenali sel yang terinfeksi virus dengue dan
menimbulkan respons beragam berupa proliferasi sel T,
menghancurkan (lisis) sel terinfeksi dengue, serta memproduksi
berbagai sitokin. Pada penelitian in vitro, diketahui bahwa baik sel T
CD4 maupun sel T CD8 dapat menyebabkan lisis sel target yang
terinfeksi dengue. Dalam menjalankan fungsinya sel T CD4 lebih
banyak sebagai penghasil sitokin dibandingkan dengan fungsi
menghancurkan sel terinfeksi Virus dengue. Sebaliknya, sel T CD8
lebih berperan untuk lisis sel target dibandingkan dengan produksi
sitokin1.
Pada infeksi sekunder oleh Virus dengue serotipe yang berbeda,
ternyata sel T memori mempunyai aviditas yang lebih besar terhadap
serotipe yang sebelumnya dibandingkan dengan serotipe Virus yang
baru. Fenomena ini disebut sebagai original antigenic sin. Dengan
demikian, fungsi lisis terhadap Virus yang baru tidak optimal,
sedangkan produksi sitokin berlebihan. Sitokin yang dihasilkan oleh
sel T pada umumnya berperan dalam memacu respons inflamasi dan
meningkatkan permeabilitas sel endotel vaskular1.
2.2.3 Mekanisme Autoimun
Di antara komponen protein Virus dengue yang berperan dalam
pembentukan antibodi spesifik yaitu protein E, prM, dan NSI. Protein
yang paling berperan dalam mekanisme autoimun dalam patogenesis
infeksi Virus dengue yaitu protein NS-l . Antibodi terhadap protein
NS-I dengue menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel dan
trombosit, sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut
serta dapat memacu respons inflamasi. Sel endotel yang diaktivasi
6

oleh antibodi terhadap protein NS-1 dengue ternyata dapat


mengekspresikan sitokin, kemokin, dan molekul adhesi. Selain
antibodi terhadap protein NS-l , ternyata antibodi terhadap prM juga
dapat menyebabkan reaksi autoimun. Autoantibodi terhadap protein
prM tersebut dapat bereaksi silang dengan sel endotel. Proses
autoimun ini diduga kuat karena terdapat kesamaan atau kemiripan
antara protein NS-1 dan prM dengan komponen tertentu yang terdapat
pada sel endotel dan trombosit yang disebut sebagai molecular
mimicry. Autoantibodi yang bereaksi dengan komponen dimaksud,
mengakibatkan sel yang mengandung molekul hasil ikatan antara
keduanya akan dihancurkan oleh makrofag atau mengalami
kerusakan. Akibatnya, pada trombosit terjadi penghancuran sehingga
menyebabkan trombositopenia dan pada sel endotel terjadi
peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan perembesan plasma1.
2.2.4 Mekanisme Autoimun
Sitokin merupakan suatu molekül protein dengan fungsi yang
sangat beragam dan berperan penting dalam respons imun tubuh
melawan infeksi. Dalam lingkup respons inflamasi, secara umum
sitokin mempunyai sifat proinflamasi dan antiinflamasi. Pada keadaan
respons fisiologis, terjadi keseimbangan antara kedua jenis sitokin
tersebut. Apabila sitokin diproduksi dalam jumlah yang sangat banyak
dan reaksinya berlebihan, akan merugikan pejamu1.
Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam
menentukan derajat penyakit. Infeksi yang berat dalam hal ini DBD
(apalagi SSD) ditandai dengan peningkatan jenis dan jumlah sitokin
yang sering dısebut sebagai badai sitokin (cytokine storm atau
cytokine tsıınami). Dalam melakukan fungsinya berbagai sitokin
saling berhubungan dan saling memengaruhi satu dengan yang
lainnya berupa suatu kaskade. Sitokin mana yang paling berperan
menyebabkan penyakit yang berat, beberapa penelitian menghasilkan
hasil yang beragam. Hal ini disebabkan karena beberapa alasan, antara
lain variasi dalam waktu pengambilan sampel pemeriksaan, usia,
7

batasan derajat penyakit, dan juga faktor genetik yang berbeda. Dari
beberapa penelitian sitokin yang perannya paling banyak
dikemukakan yaitu TNF-u, İL- IP, İL-6, İL-8, dan İFN-Y. Mediator
lain yang sering dikemukakan mempunyai peran penting dalam
menimbulkan derajat penyakit berat yaitu kemokin CXCL-9, CXCL-
10, dan CXCL-ı ı yang dipicu oleh IFN-Y1.
2.2.5 Peran Sistem Komplemen
Sistem komplemen diketahui ikut berperan dalam patogenesis
infeksi lirus dengue. Pada pasien DBD atau DSS ditemukan
penurunan kadar komplemen, sehingga diduga bahwa aktivasi sistem
komplemen mempunyai peran dalam patogenesis terjadi penyakit
yang berat. Kompleks imun virus dengue dan antibodi pada infeksi
sekunder dapat mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik.
Protein NSI dapat mengaktifkan sistem komplemen secara langsung
melalui jalur alternatif dan apabila berlebihan dapat menyebabkan
peningkatan permeabilitas vaskular1.
Selain melalui kedua jalur tersebut, ternyata aktivasi komplemen
pada infeksi virus dengue juga dapat melalui jalur mannose-binding
lectin. Aktivasi komplemen menghasilkan peptida yang mempunyai
aktivitas biologik sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a.
Komplemen C5a menginduksi produksi beberapa sitokin proinflamasi
(seperti TNF-u, IL-I, IL-6, dan IL-8) dan meningkatkan ekspresi
molekul adhesi baik pada neutrofil maupun sel endotel, sehingga
peran C5a dalam peningkatan permeabilitas vaskular sangat besar1.

2.3 Manifestasi Klinis


2.3.1 Demam Dengue
Demam dengue sering ditemukan pada anak besar, remaja, dan
dewasa. Setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6 hari
(rentang 3-14 hari), timbul gejala berupa demam, mialgia, sakit
punggung, dan gejala konstitusional lain yang tidak spesifik seperti
rasa lemah (malaise), anoreksia, dan gangguan rasa kecap. Demam
pada umumnya timbul mendadak, tinggi (390C-400 C), terus-menerus
8

(pola demam kurva kontinua), bifasik, biasanya berlangsung antara 2-7


hari. Pada hari ketiga sakit pada umumnya suhu tubuh turun,namun
masih di atas normal, kemudian suhu naik tinggi kembali, pola ini
disebut sebagai pola demam bifasik. Demam disertai dengan mialgia,
sakit punggung (karena gejala ini, demam dengue pada masa lalu
disebut sebagai breakbone fever), artralgia, muntah, fotofobia (mata
seperti silau walau terkena cahaya dengan intensitas rendah) dan nyeri
retroorbital pada saat mata digerakkan atau ditekan. Gejala lain dapat
ditemukan berupa gangguan pencernaan (diare atau konstipasi), nyeri
perut, dan sakit tenggorok1.
Pada hari sakit ke-3 atau 4 ditemukan ruam makulopapular atau
rubeliformis, ruam ini segera berkurang sehingga sering luput dari
perhatian orang tua. Pada masa penyembuhan timbul ruam di kaki dan
tangan berupa ruam makulopapular dan petekie diselingi bercak
bercak putih (white islands in the sea of red), dapat disertai rasa gatal
yang disebut sebagai ruam konvalesens. Manifestasi perdarahan pada
umumnya sangat ringan berupa uji tourniquet yang positif (210 petekie
dalam area 2,8 x 2,8 cm) atau beberapa petekie spontan. Pada beberapa
kasus demam dengue dapat terjadi perdarahan massif 1.
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit yang
normal, namun pada beberapa kasus ditemukan leukositosis pada awal
demam, namun kemudian terjadi leukopenia dengan jumlah PMN
yang turun, dan ini berlangsung selama fase demam. Jumlah trombosit
dapat normal atau menurun (100.000-150.000/mm3), jarang ditemukan
jumlah trombosit kurang dari 50.000/mm. Peningkatan nilai
hematokrit sampai 100/70 mungkin ditemukan akibat dehidrasi karena
demam tinggi, muntah, atau karena asupan cairan yang kurang.
Pemeriksaan serum biokimia pada umumnya normal, SGOT, dan
SGPT dapat meningkat 1.
Diagnosis Banding Demam Dengue
Berbagai penyakit baik yang disebabkan oleh infeksi virus, bakteri,
maupun parasit pada fase awal penyakit menyerupai DD seperti tertera
pada Tabel 2.
9

Tabel 2. Diagnosis banding demam dengue1.

Infeksi virus : Virus chikungunya, dan penyakit infeksi virus lain


seperti campak, campak Jerman, dan virus lain yang
menimbulkan ruam; virus eipstein-barr, enterovirus,
influenza, hepatitis A dan hantavirus
Infeksi bakteri: Meningokokus, leptospirosis, demamtifoid,
meiloidosis, penyakit riketsia, demam skarlet
Infeksi parasit: Malaria

Perjalanan Penyakit Demam Dengue


Lama sakit dan beratnya penyakit bervariasi di antara individu. Masa
konvalesens berlangsung singkat dan sembuh segera, namun rasa
lemah dan mialgia kadang berlangsung lama. Pada pasien remaja masa
penyembuhan dapat terjadi dalam waktu beberapa minggu yang sering
disertai dengan rasa letih dan depresi. Bradikardia dapat ditemukan
pada masa konvalesens. Manifestasi perdarahan berat seperti
perdarahan saluran cerna, epistaksis masif, hipermenore jarang sekali
ditemukan, namun apabila ditemukan dapat merupakan penyebab
kematian terutama pada anak besar. Demam dengue dengan
manifestasi perdarahan berat harus dibedakan dari demam berdarah
dengue1.
2.3.2 Demam Berdarah Dengue
Manifestasi klinis DBD dimulai dengan demam yang tinggi,
mendadak, kontinua, kadang bifasik, berlangsung antara 2-7 hari.
Demam disertai dengan gejala lain yang sering ditemukan pada
demam dengue seperti muka kemerahan (facial jlllshing), anoreksia,
mialgia dan artralgia. Gejala lain dapat berupa nyeri epigastrik, mual,
muntah, nyeri di daerah subkostal kanan atau nyeri abdomen difus,
kadang disertai sakit tenggorok. Faring dan konjungtiva yang
kemerahan (pharyngeal injection dan ciliary injection) dapat
ditemukan pada pemeriksaan fisis. Demam dapat mencapai suhu 40°C,
dan dapat disertai kejang demam1.
Manifestasi perdarahan dapat berupa uji tourniquet yang positif,
petekie spontan yang dapat ditemukan di daerah ekstremitas, aksila,
muka dan palatum mole. Epistaksis dan perdarahan gusi dapat
10

ditemukan, kadang disertai dengan perdarahan ringan saluran cerna,


hematuria lebih jarang ditemukan. Perdarahan berat dapat ditemukan1.
Ruam makulopapular atau rubeliformis dapat ditemukan pada fase
awal sakit, namun berlangsung singkat sehingga sering luput dari
pengamatan orang tua. Ruam konvalesens seperti pada demam dengue,
dapat ditemukan pada masa penyembuhan. Hepatomegali ditemukan
sejak fase demam, dengan pembesaran yang bervariasi antara 2-4 cm
bawah arkus kosta. Perlu diperhatikan bahwa hepatomegali sangat
tergantung dari ketelitian pemeriksa. Hepatomegali tidak disertai
dengan ikterus dan tidak berhubungan dengan derajat penyakit, namun
hepatomegali lebih sering ditemukan pada DBD dengan syok (sindrom
syok dengue/SSD Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara
klinis berbentuk efusi pleura, apabila kebocoran plasma lebih berat
dapat ditemukan asites. Pemeriksaan rontgen foto dada posisi lateral
dekubitus kanan, efusi pleura terutama di hemithoraks kanan
merupakan temuan yang sering dijumpai. Derajat luasnya efusi pleura
seiring dengan beratnya penyakit. Pemeriksaan ultrasonografi dapat
dipakai untuk menemukan asites dan efusi pleura. Penebalan dinding
kandung empedu (gall blader wall thickening) mendahului manifestasi
klinis kebocoran plasma lain. Peningkatan nilai hematokrit ≥20% dari
data dasar) dan penurunan kadar protein plasma terutama albumin
serum (>0,5 g/dL dari data dasar) merupakan tanda indirek kebocoran
plasma. Kebocoran plasma berat menimbulkan berkurangnya volume
intravaskular yang akan menyebabkan syok hipovolemi yang dikenal
sebagai sindrom syok dengue (SSD) yang memperburuk prognosis 1.
Perjalanan Penyakit Demam Berdarah Dengue
Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase yaitu fase demam, kritis,
serta konvalesens. Setiap fase perlu pemantauan yang cermat, karena
setiap fase mempunyai risiko yang dapat memperberat keadaan sakit 1.
Fase Demam
Fase ini ditandai dengan demam yang mendadak tinggi, disertai
nyeri kepala, nyeri otot seluruh badan, nyeri sendi, kemerahan pada
wajah (flushing), dan eritema kulit. Gejala nonspesifik lain seperti
anoreksia, nausea, dan muntah sering ditemukan. Pada pemeriksaan
11

laboratorium darah, penurunan jumlah leukosit merupakan kelainan


yang paling awal ditemukan. Jumlah trombosit dan nilai hematokrit
sering kali masih dalam batas normal. Fase ini biasanya berlangsung
selama 2-7 hari3.
Pada kasus ringan semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan
menghilangnya demam. Penurunan demam terjadi secara lisis, artinya
suhu tubuh menurun segera, tidak secara bertahap. Menghilangnya
demam dapat disertai berkeringat dan perubahan pada laju nadi dan
tekanan darah, hal ini merupakan gangguan ringan sistem sirkulasi
akibat kebocoran plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai
berat terjadi kebocoran plasma yang bermakna sehingga akan
menimbulkan hipovolemi dan bila berat menimbulkan syok dengan
mortalitas yang tinggi 1.

Gambar 1. Perjalanan penyakit infeksi Dengue5.

Fase kritis (fase syok)


12

Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time offever


defervescence), pada saat ini terjadi puncak kebocoran plasma
sehingga pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan dalam
mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok yaitu dengan mengenal
tanda dan gejala yang mendahului syok (warning signs). Warning signs
umumnya terjadi menjelang akhir fase demam, yaitu antara hari sakit
ke 3-7 (paling sering hari ke 4-6)3.
Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat merupakan petunjuk
awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk ke
keadaan syok. Pasien tampak semakin lesu, tetapi pada umumnya tetap
sadar. Gejala tersebut dapat menetap walaupun sudah terjadi syok.
Kelemahan, pusing atau hipotensi postural dapat terjadi selama syok.
Perdarahan mukosa spontan atau perdarahan di tempat pengambilan
darah merupakan manifestasi perdarahan penting. Hepatomegali dan
nyeri perut sering ditemukan. Penurunan jumlah trombosit yang cepat
dan progresif menjadi di bawah 100.000 sel/mm serta kenaikan
hematokrit dl atas data dasar merupakan tanda awal perembesan
plasma, dan pada umumnya didahului oleh leukopenia (65.000
sel/mm3 ) 1.
Peningkatan hematokrit di atas data dasar merupakan salah satu
tanda paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan plasma
yang pada umumnya berlangsung selama 24-48 jam. Peningkatan
hematokrit mendahului perubahan tekanan darah serta volume nadi,
oleh karena itu, pengukuran hematokrit berkala sangat penting,
apabila makin meningkat berarti kebutuhan cairan intravena untuk
mempertahankan volume intravaskular bertambah, sehingga
penggantian cairan yang adekuat dapat mencegah syok hipovolemi 1.
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi
(syok terkompensasi), namun apabila mekanisme tersebut tidak
berhasil pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat
berupa syok hipotensif dan profound shock yang menyebabkan
asidosis metabolik, gangguan organ progresif, dan koagulasi
intravaskular diseminata. Perdarahan hebat yang terjadi menyebabkan
13

penurunan hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula leukopenia


dapat meningkat sebagai respons stres pada pasien dengan perdarahan
hebat. Beberapa pasien masuk ke fase kritis perembesan plasma dan
kemudian mengalami syok sebelum demam turun, pada pasien
tersebut peningkatan hematokrit serta trombositopenia terjadi sangat
cepat. Selain itu, pada pasien DBD baik yang disertai syok atau tidak
dapat terjadi keterlibatan organ misalnya hepatitis berat, ensefalitis,
miokarditis, dan/atau perdarahan hebat, yang dikenal sebagai
expanded dengue syndrome 1.
Fase penyembuhan (fase konvalesens)
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung
sekitar 24-48 jam, terjadi reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular
ke dalam ruang intravaskular yang berlangsung secara bertahap pada
48-72 jam berikutnya1,3. Keadaan umum dan nafsu makan membaik,
gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik stabil, dan diuresis
menyusul kemudian. Pada beberapa pasien dapat ditemukan ruam
konvalesens, beberapa kasus lain dapat disertai pruritus umum.
Bradikardia dan perubahan elektrokardiografi pada umumnya terjadi
pada tahap ini. Hematokrit kembali stabil atau mungkin lebih rendah
karena efek dilusi cairan yang direabsorbsi. Jumlah leukosit mulai
meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan
jumlah trombosit umumnya lebih lambat. Gangguan pernapasan akibat
efusi pleura masif dan ascites, edema paru atau gagal jantung kongestif
akan terjadi selama fase kritis dan/atau fase pemulihan jika cairan
intravena diberikan berlebihan 1,3.
Penyulit dapat terjadi pada fase demam, fase kritis, dan fase
konvalesens tertera Tabel 3.
Tabel 3. Penyulit pada fase demam, kritis dan konvalesens1.

Gejala klinis

Demam Dehidrasi,
Demam tinggi dapat menyebabkan gangguan neurologi dan
kejang demam
Kritis Syok akibat perembesan plasma,
Perdarahan masif,
Gangguan organ
Konvalesens Hipervolemia Oika terapi cairan intravena diberikan
secara berlebihan dan/atau dilanjutkan sampai fase
konvalesens) Edema paru akut
14

2.4 Diagnosis Laboratorium


2.4.1 Pemeriksaan serologi IgM dan lgG anti dengue
Imunoglobulin M anti dengue memiliki kadar bervariasi, pada
umumnya dapat terdeteksi pada hari sakit kelima, dan tidak terdeteksi
setelah sembilan puluh hari. Pada infeksi dengue primer, IgG anti
dengue muncul lebih lambat dibandingkan dengan IgM anti dengue,
namun pada infeksi sekunder muncul lebih cepat. Kadar IgG anti
dengue bertahan lama dalam serum. Kinetik NS-1 antigen virus
dengue dan IgG serta IgM antidengue, merupakan petunjuk dalam
menentukan Jenis pemeriksaan dan untuk membedakan antara infeksi
primer dengan infeksi sekunder. Gambar 6 menunjukkan waktu
perjalanan penyakit infeksi virus dengue primer dan sekunder, serta
metode diagnostik yang dapat digunakan untuk mendeteksi infeksi
virus dengue 1.
Gambar 2. Metode diagnostik deteksi antigen dengue dan
pemeriksaan serologi anti dengue1.

a 2'.ao -90 Dap


Mulai demam

2.4.2 Parameter hematologi


15

Parameter hematologi terutama pemeriksaan hitung leukosit, nilai


hematrokit, dan jumlah trombosit sangat penting dan merupakan
bagian dari diagnosis klinis demam berdarah dengue.
- Pada awal fase demam hitung leukosit dapat normal atau dengan
peningkatan neutrofil, selanjutnya diikuti penurunan jumlah
leukosit dan neutrofil, yang mencapai titik terendah pada akhir fase
demam. Perubahan jumlah leukosit (<5.000 sel/mm3 ) dan rasio
antara neutrofil dan limfosit (neutrofil <limfosit) berguna dalam
memprediksi masa kritis perembesan plasma. Sering kali
ditemukan limfositosis relatif dengan peningkatan limfosit atipik
pada akhir fase demam dan saat masuk fase konvalesens.
Perubahan ini juga dapat terlihat pada DD.
- Pada awal fase demam jumlah trombosit normal, kemudian diikuti
oleh penurunan. Trombositopenia di bawah 100.000/HL dapat
ditemukan pada DD, namun selalu ditemukan pada DBD.
Penurunan trombosit yang mendadak di bawah 100.000/uL terjadi
pada akhir fase demam memasuki fase kritis atau saat penurunan
suhu. Trombositopeni pada umumnya ditemukan antara hari sakit
ketiga sampai delapan, dan sering mendahului peningkatan
hematokrit. Jumlah trombosit berhubungan dengan derajat
penyakit DBD. Disamping itu terjadi gangguan fungsi trombosit
(trombositopati). Perubahan ini berlangsung singkat dan kembali
normal selama fase penyembuhan.
- Pada awal demam nilai hematrokit masih normal. Peningkatan
ringan pada umumnya disebabkan oleh demam tinggi anoreksia
dan muntah. Peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan
tanda dari adanya kebocoran plasma. Trombositopeni di bawah
100.000/uL dan peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan
bagian dari diagnosis klinis DBD. Harus diperhatikan bahwa nilai
hematrokit dapat diakibatkan oleh penggantian cairan dan adanya
perdarahan1.
-
2.5 Kriteria Diagnosis Infeksi Dengue
16

Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis


dan kriteria diagnosis laboratoris. Kriteria diagnosis klinis penting dalam
penapisan kasus, tata laksana kasus, memperkirakan prognosis kasus, dan
surveilans. Kriteria diagnosis laboratoris yaitu kriteria diagnosis dengan
konfirmasi laboratorium yang penting dalam pelaporan, surveilans, dan
langkah-langkah tindakan preventif dan promotif1.

2.5.1 Kriteria Diagnosis Klinis


Manifestasi klinis infeksi dengue sangat bervariasi dan sulit
dibedakan dari penyakit infeksi lain terutama pada fase awal
perjalanan penyakitnya. Dengan meningkatnya kewaspadaan
masyarakat terhadap infeksi dengue, tidak jarang pasien demam
dibawa berobat pada fase awal penyakit, bahkan pada hari pertama
demam. Sisi baik dari kewaspadaan ini adalah pasien demam berdarah
dengue dapat diketahui dan memperoleh pengobatan pada fase dini,
namun di Sisi lain pada fase ini sangat sulit bagi tenaga kesehatan
untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue. Oleh karena itu
diperlukan petunjuk kapan suatu infeksi dengue harus dicurigai,
petunjuk ini dapat berupa tanda dan gejala klinis serta pemeriksaan
laboratorium rutin. Tanpa diberikan petunjuk akan menyebabkan
keterlambatan bahkan kesalahan dalam menegakkan diagnosis dengan
segala akibatnya. Di Sisi lain menyebabkan pemeriksaan laboratorium
berlebih dan bahkan perawatan yang tidak diperlukan sehingga akan
merugikan baik bagi pasien maupun dalam peningkatan beban kerja
rumah sakit1.
Berdasar petunjuk klinis tersebut dibuat kriteria diagnosis klinis,
yang terdiri atas kriteria diagnosis klinis demam dengue (DD), demam
berdarah dengue (DBD), demam berdarah dengue dengan syok
(sindrom syok dengue/SSD), dan expanded dengue syndrome (unusual
manifestation).
17

Tabel 4. Diagnosis klinis demam dengue1.


Diagnosis klinis demam dengue
Demam 2—7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus, bifasik.
Manifestasi perdarahan baik spontan seperti petekie, purpura, ekimosis,
epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena; maupun
berupa uji tourniquet positif.
Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital.
Dijumpai kasus DBD baik di lingkungan sekolah, rumah atau di sekitar
rumah.
Leukopenia <4.000/mm3
Trombositopenia <100.000 mm3
Apabila ditemukan gejala demam ditambah dengan adanya dua atau lebih
tanda dan gejala lain, diagnosis klinis demam dengue dapat ditegakkan.

Perlu mendapat perhatian bahwa yang disebut mendadak adalah


tidak didahului oleh demam ringan, seperti misalnya anak pulang
sekolah belum demam, kemudian tidur, bangun tidur anak menderita
demam tinggi di atas 38,5°C. Demam bersifat terus-menerus berarti
perbedaan suhu terendah dengan suhu tertinggi kurang dari 1°C.
Masalah yang timbul dalam menilai pola demam ini adalah tidak
selalu orang tua mengukur tingginya demam dan pengaruh pemberian
obat penurun panas oleh orang tua. Tingginya demam dapat
diperkirakan melalui pertanyaan mengenai akibat demam terhadap
pasien, seperti anak rewel/gelisah, kulit kemerahan terutama pada
wajah (flushing) dan fotofobi. Efek obat penurun panas, pada
umumnya hanya sebentar, paling lama sesuai dengan masa kerja obat,
setelah itu demam kembali meningkat tinggi. Adanya epistaksis pada
anak yang biasa mengalami epistaksis, harus dicari petunjuk lain,
misalnya pemeriksaan uji tourniquet atau tanda dan gejala manifestasi
perdarahan lain1.

2.5.2 Diagnosis Klinis Demam Berdarah Dengue


Tanda dan gejala demam berdarah dengue pada fase awal sangat
menyerupai demam dengue, tanda dan gejala yang karakteristik berupa
18

tanda kebocoran plasma baru timbul beberapa hari kemudian. Oleh


karena itu pada pasien dengan diagnosis klinis demam dengue yang
ditegakkan pada saat masuk, baik yang kemudian diperlakukan
sebagai pasien rawat jalan maupun rawat inap (lihat Bab Tata
Laksana), masih perlu dievaluasi lebih lanjut apakah hanya demam
dengue atau merupakan demam berdarah dengue fase awal. Pasien
demam berdarah dengue memiliki risiko untuk mengalami syok,
sehingga harus menjalani rawat inap dengan tatalaksana yang berbeda
dari demam dengue1.
Tabel 5. Diagnosis klinis demam berdarah dengue1.
Diagnosis klinis demam berdarah dengue

• Demam 2—7 hari yang timbul mendadak, tinggi, terus-menerus


(kontinua)

• Manifestasi perdarahan baik yang spontan seperti petekie, purpura,


ekimosis, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan atau melena;
maupun berupa uji Tourniquette yang positif

• Nyeri kepala, mialgia, artralgia, nyeri retroorbital


• Dijumpai kasus Demam Berdarah Dengue baik di lingkungan
sekolah, rumah atau di sekitar rumah

• Hepatomegali
• Terdapat kebocoran plasma yang ditandai dengan salah satu
tanda/gejala: Peningkatan nilai hematokrit, >20% dari pemeriksaan
awal atau dari data populasi menurut umur Ditemukan adanya efusi
pleura, asites
Hipoalbuminemia, hipoproteinemia

• Trombositopenia <100.000/mm3
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti
perembesan plasma dan trombositopenia cukup untuk menegakkan
diagnosis
DBD.

Tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi kemungkinan


terjadinya syok pada penderita DBD tertera pada Boks C.
Tabel 6. Tanda bahaya (warning signs)1.
19

Tanda bahaya (Warning Signs)


Klinis Demam turun tetapi keadaan anak memburuk
Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen
Muntah yang menetap
Letargi, gelisah
Perdarahaan mukosa
Pembesaran hati
Akumulasi cairan
Oliguria
Laboratorium Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan
penurunan cepat jumlah trombosit Hematokrit
awal tinggi

2.5.3 Kriteria Diagnosis Laboratoris


Kriteria Diagnosis laboratoris diperlukan untuk survailans
epidemiologi, terdiri atas:
- Probable dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat oleh hasil
pemeriksaan serologi anti dengue
- Confirmed dengue, apabila diagnosis klinis diperkuat dengan
deteksi genome virus Dengue dengan pemeriksaan RT-PCR,
antigen dengue pada pemeriksaan NS-1, atau apabila didapatkan
serokonversi pemeriksaan IgG dan IgM (dari negatif menjadi
positif) pada pemeriksaan serologi berpasangan.
- Isolasi virus dengue memberi nilai yang sangat kuat dalam
konfirmasi diagnosis klinis, namun karena memerlukan teknologi
yang canggih dan prosedur yang rumit pemeriksaan ini bukan
merupakan pemeriksaan yang rutin dilakukan1.

2.6 Tatalaksana Infeksi Virus Dengue


Triase
Setiap rumah sakit yang merawat pasien infeksi virus dengue, harus
mempersiapkan Unit Triase sebagai tempat untuk melakukan skrining,
apakah pasien harus menjalani rawat inap atau rawat jalan. Triase dapat
dilakukan juga di Puskesmas yang mempunyai tempat perawatan,
mempunyai dokter dan perawat terlatih. Pada saat seorang pasien datang
dengan dugaan menderita infeksi dengue, maka diantar ke Unit Triase
untuk menjalani pemeriksaan anamnesis dan pemeriksaan jasmani yang
teliti dan dilakukan pemeriksaan darah perifer lengkap, minimal kadar
hemoglobin, nilai hematokrit, jumlah leukosit dan trombosit1.
20

Pada pasien dengan demam tinggi, terus-menerus, kurang dari 7 hari


yang disertai nyeri kepala, nyeri retroorbital, mialgia, artralgia, ruam kulit,
manifestasi perdarahan baik spontan maupun hasil uji Tourniquette,
jumlah leukosit yang rendah (kurang dari 4.000/mm3) tanpa atau dengan
jumlah trombosit yang menurun dan apalagi bila diketahui ada kasus
dengue di lingkungan tempat tinggal atau di sekolah, maka harus dicurigai
pasien tersebut menderita infeksi dengue. Di Indonesia belum ada harga
normal nilai hematokrit, namun apabila nilai hematokrit sangat tinggi
dibandingkan dengan nilai hematokrit pasien berdasar pengamatan dari
pasien-pasien terdahulu, meningkatkan kecurigaan terhadap kemungkinan
infeksi virus dengue. Apabila rendah atau biasa, nilai ini merupakan data
dasar yang sangat berguna dalam tata laksana selanjutnya1.
Pasien infeksi virus dengue yang berobat ke sarana kesehatan dapat
bermanifestasi sebagai demam dengue, demam berdarah dengue, demam
berdarah dengue dengan syok atau expanded dengue syndrome. Oleh
karena itu pada pasien tersangka infeksi virus dengue harus diteliti pasien
mana yang bisa dilakukan pengobatan rawat jalan dan pasien mana yang
harus menjalani rawat inap. Pada umumnya pasien pada saat masuk
didiagnosis sebagai demam dengue dapat diperlakukan sebagai pasien
rawat jalan, kecuali bila ditemukan komorbiditas seperti thalassemia,
sindrom nefrotik, hipertensi, HIV-AIDS atau terdapat risiko tinggi seperti
asma bronkial dan obesitas atau apabila ditemukan indikasi sosial seperti
rumah yang jauh, tidak ada orang tua atau pengasuh yang dapat
diandalkan. Demikian juga pasien demam dengue yang mengalami
muntah persisten atau menolak makan dan minum harus menjalani rawat
inap. Pasien dengan demam berdarah dengue, demam berdarah dengue
dengan syok atau expanded dengue syndrome dengan sendirinya harus
menjalani rawat inap. 1.
Skrining di triase adalah untuk menentukan pasien mana yang dapat
diperlakukan sebagai pasien rawat jalan dan pasien rawat inap, secara rinci
tertera pada
Gambar 3. Skrining triase untuk pasien infeksi dengue1.
21

Penatalaksanaan Rawat Jalan Pasien Dengue Fever


Pasien DD yang tidak memiliki komorbiditas dan indikasi sosial,
diperlakukan sebagai pasien rawat jalan. Pasien diberi pengobatan simtomatik
berupa antipiretik seperti parasetamol dengan dosis 10-15 mg/kgBB/dosis yang
dapat diulang setiap 4-6 jam bila demam. Hindarkan pemberian antipiretik berupa
asetil salisilat, antiinflamasi nonsteroid (non-steroid anti-inflammatory
drugs/NSAID) seperti ibuprofen. Upaya menurunkan demam dengan metode fisik
seperti kompres diperbolehkan, yang dianjurkan adalah dengan cara "kompres
hangat" (diseka dengan air hangat suam kuku/tepid sponge). Anak dianjurkan
cukup minum, boleh air putih atau teh, namun lebih baik jika diberikan cairan
yang mengandung elektrolit seperti jus buah, oralit atau air tajin. Tanda
kecukupan cairan adalah diuresis setiap 4—6 jam1.
22

Pasien diharuskan untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari hal ini
mengingat tanda dan gejala DBD pada fase awal sangat menyerupai DD, tanda
dan gejala yang karakteristik baru timbul setelah beberapa hari kemudian. Oleh
karena itu pada pasien dengan diagnosis klinis DD yang ditegakkan pada saat
masuk, baik yang kemudian diperlakukan sebagai pasien rawat jalan maupun
rawat inap, masih memerlukan evaluasi lebih lanjut apakah hanya DD atau
merupakan DBD fase awal1.
Pasien DD, walaupun kecil mempunyai kemungkinan untuk mengalami
penyulit seperti dehidrasi akibat asupan yang kurang misal karena timbul muntah,
perdarahan berat atau bahkan expanded dengue syndrome. Dengan kontrol setiap
hari dapat diketahui pasien hanya menderita DD, DD dengan penyulit atau DBD.
Tata laksana pasien di rumah harus disampaikan kepada orang tua dengan jelas.
Untuk mengantisipasi kemungkinan pasien menderita DD dengan penyulit atau
DBD yang mungkin timbul selama rawat jalan, orang tua diminta untuk
memantau kondisi anak, bila ditemukan tanda bahaya (warning signs) harus
segera kembali ke rumah sakit tanpa harus menunggu keesokan harinya1.

Tabel 7. Tatalaksana pasien rawat jalan untuk demam dengue

Nasihat kepada orang tua untuk pasien rawat jalan


23

Nasihat di rumah
• Anak harus istirahat
• Cukup minum selain air putih dapat diberikan susu, jus
buah, cairan elektrolit, air tajin. Cukup minum ditandai
dengan frekuensi buang air kecil setiap 4 6 jam.
• Parasetamol 10-15 mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu
>38 0C dengan interval 4-6 jam, hindari pemberian
aspirin/NSAID/ ibuprofen. Berikan kompres hangat.
• Pasien rawat jalan harus kembali berobat setiap hari dan
dinilai oleh petugas kesehatan sampai melewati fase kritis,
mengenai: pola demam, jumlah cairan yang masuk dan keluar
(misalnya muntah, buang air kecil), tanda-tanda perembesan
plasma dan perdarahan, serta pemeriksaan darah perifer
lengkap.
• Pasien harus segera dibawa ke rumah sakit jika ditemukan
satu atau lebih keadaan berikut: pada saat suhu turun keadaan
anak memburuk, nyeri perut hebat, muntah terus-menerus,
tangan dan kaki dingin dan lembab, letargi atau gelisah/rewel,
anak tampak lemas, perdarahan (misalnya b.a.b berwarna
hitam atau muntah hitam), sesak napas, tidak buang air kecil
lebih dari 4—6 jam, atau kejang

Penatalaksanaan Rawat Inap Pasien Dengue Fever


Tata laksana yang tepat dan segera mengurangi morbiditas dan mortalitas
DBD, terapi yang berlebihan seperti kelebihan cairan (fluid overload) akan
memperberat keadaan sakit. Pengobatan DBD bersifat simtomatis dan suportif,
terapi suportif berupa penggantian cairan yang merupakan pokok utama dalam
tata laksana DBD1.
Cairan kristaloid isotonik merupakan cairan pilihan untuk paslen DBD.
Tidak dianjurkan pemberian cairan hipotonik seperti NaCl 0,45%, kecuali bagi
pasien usia <6 bulan. Dalam keadaan normal setelah satu jam pemberian cairan
hipotonis, hanya 1/12 volume yang bertahan dalam ruang intravaskular sedangkan
1
cairan isotonis /4 volume yang bertahan, sisanya terdistribusi ke ruang
intraselular dan ekstraselular. Pada keadaan permeabilitas yang meningkat
volume cairan yang bertahan akan semakin berkurang sehingga lebih mudah
terjadi kelebihan cairan pada pemberian cairan hipotonis. Cairan koloid
hiperonkotik (osmolaritas >300 mOsm/L) seperti dextran 40 atau HES walaupun
lebih lama bertahan dalam ruang intravaskular namun memiliki efek samping
24

seperti alergi, mengganggu fungsi koagulasi, dan berpotensi mengganggu fungsi


ginjal. Jenis cairan ini hanya diberikan pada :
1. Perembesan plasma masif yang ditunjukkan dengan nilai hematokrit
yang makin meningkat atau tetap tinggi sekalipun telah diberi cairan
kristaloid yang adekuat
2. Pada keadaan syok yang tidak berhasil dengan pemberian bolus
cairan kristaloid yang kedua. Cairan koloid isoonkotik kurang
efektif.

Tabel 8. Kebutuhan cairan berdasarkan berat badan ideal 5.


BB ideal Rumatan Rumatan
(kg) (mL) Defisit 5% (mL)
5 500 750
10 1.000 1.500
15 1.250 2.000
20 1.500 2.500
25 1.600 2.850
30 1.700 3.200

Tabel 9. Kecepatan pemberian cairan5

Parasetamol 10-15mg/kgBB/kali diberikan apabila suhu >38 0 C dengan interval


4-6 jam, hindari pemberian aspirin/NSAID/ ibuprofen. Berikan kompres hangat.

BAB III
KESIMPULAN
25

Infeksi virus dengue, merupakan masalah kesehatan global. Dałam tiga


dekade terakhir terjadi peningkatan angka kejadian penyakit tersebut di berbagai
negara yang dapat menimbulkan kematian sekitar kurang dari 100.
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya
aegipty (dahulu disebut Aedes aegipty) dan Stegomiya albopictus (dahulu Aedes
albopictus). Transmisi virus tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Termasuk
dalam faktor biotik adalah faktor virus, vektor nyamuk, dan pejamu manusia.
Sedangkan faktor abiotik adalah suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan.
Demam dengue dan Demam berdarah dengue sering ditemukan pada anak
besar, remaja, dan dewasa. Setelah melalui masa inkubasi dengan rata-rata 4-6
hari (rentang 3-14 hari), timbul gejala berupa demam, mialgia, sakit punggung,
dan gejala konstitusional lain yang tidak spesifik seperti rasa lemah (malaise),
anoreksia, dan gangguan rasa kecap. Demam pada umumnya timbul mendadak,
tinggi (390C-400 C), terus-menerus (pola demam kurva kontinua), bifasik,
biasanya berlangsung antara 2-7 hari. Manifestasi klinis DBD terdiri atas tiga fase
yaitu fase demam, kritis, serta konvalesens.
Pemeriksaan laboratorium untuk infeksi virus dengue yang sering
digunakan adalah Pemeriksaan serologi IgM dan lgG anti dengue dan
pemeriksaan darah. Pasien DD yang tidak memiliki komorbiditas dan indikasi
sosial, diperlakukan sebagai pasien rawat jalan. Pasien diberi pengobatan
simtomatik berupa antipiretik seperti parasetamol dengan dosis 10-15
mg/kgBB/dosis yang dapat diulang setiap 4-6 jam bila demam. Pasien diharuskan
untuk kembali berobat (kontrol) setiap hari hal ini mengingat tanda dan gejala
DBD pada fase awal sangat menyerupai DD, tanda dan gejala yang karakteristik
baru timbul setelah beberapa hari kemudian.

DAFTAR PUSTAKA
26

1. Pedoman Diagnosis dan Tata laksana Infeksi Virus Dengue pada Anak : UKK
Infeksi dan Penyakit Tropis IDAI 2014. Jakarta
2. Data Dirjen PP-PL Kemenkes RI. 2012.
3. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak Edisi ke-5 : Departemen /
SMF Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran
RSUP Dr. Hasan Sadikin. 2014
4. Yip W.C.L. Dengue haemorrhagic fever: current approach to management.
Medical Progress. 1980
5. Holiday MA, Segar WE. Maintenance need for water in parenteral fluid
therapy. Pediatrics. 1957;19:823.

Anda mungkin juga menyukai