PENDAHULUAN
Hasil survey penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM dan PL rumah
sakit provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan
Sumatra Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama
penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronchial (33%), kanker paru (30%),
dan lainnya.
Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara
di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di Amerika dan Eropa berkisar 5-9% pada
individu usia > 45 tahun. Untuk Indonesia, penelitian COPD working group tahun 2002
di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalens PPOK Indonesia sebesar
5,6%.. Prevalens PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan
usia harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola penyakit infeksi yang menurun
1
sedangkan penyakit degeneratif meningkat serta meningkatnya kebiasaan merokok dan
polusi udara. Merokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar PPOK.3 Berdasarkan
hasil penelitian prevalens PPOK meningkat dari tahun ke tahun, dari sekitar 6% di
periode tahun 1960-1979 mendekati 10% di periode tahun 2000-2007. Penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian
di seluruh dunia. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat 1 (PPOK ringan), derajat 2 (PPOK
sedang), derajat 3 (PPOK berat), derajat 4 (PPOK sangat berat).2
Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-
batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan PPOK ringan dapat
tanpa keluhan atau gejala. Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : Edukasi,
berhenti merokok, obat – obatan , rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis, Nutrisi.
Komplikasi PPOK gagal nafas, infeksi berulang, dan cor polmunale.4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2
2.1 DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronis yang ditandai
dengan adanya hambatan aliran udara di saluran pernafasan yang progresif
nonreversibel atau reversibel parsial.1,2 Penyakit tersebut biasanya progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi kronis paru terhadap partikel berbahaya atau
gas.1
Bronkitis dan emfisema adalah dua penyakit pokok yang sering dihubungkan
dengan timbulnya PPOK.1 Namun pada panduan terbaru, bronchitis dan emfisema
sudah tidak lagi dimasukkan dalam definisi PPOK, karena keduanya merupakan
diagnosis yang terpisah antara kelainan klinis dan anatomis.2
2.3 PATOGENESIS
3
Asap rokok dan partikel gas berbahaya yang masuk ke dalam paru akan menyebabkan
suatu iritasi kronis. Paru-paru secara normal akan memberikan suatu respon berupa
inflamasi. Reaksi inflamasi ini ditambah dengan stres oksidatif serta peningkatan
proteinase sehingga terjadi perubahan patologis pada struktur paru pada saluran napas
bagian proksimal, bagian distal, parenkim paru, serta pada vaskularisasi paru.3,6
Respon inflamasi paru dimediasi oleh sel-sel inflamasi yang memberikan pola
peradangan yang spesifik. Sel-sel inflamasi yang terlibat antara lain adalah neutrofil,
makrofag, limfosit, eosinofil, serta sel-sel epitelial. Selain itu sel inflamasi bekerja
untuk melepas mediator-mediator inflamasi berupa chemotactic factor (mediator yang
menarik neutrofil dan limfosit-T), chemokines (berfungsi untuk menarik neutrofil dan
monosit), pro-inflamatory cytokines (meningkatkan proses inflamasi dan efek
sistemik pada PPOK) dan mediator inflamasi berupa growth factor (menginduksi
pembentukan fibrosis pada saluran napas kecil).3
Mekanisme lain pada PPOK yaitu terjadinya ketidaksimbangan antara
proteinase serta antiproteinase. Kadar yang tinggi dari proteinase akan menyebabkan
penghancuran dari jaringan ikat paru. Pada emfisema paru, akan terjadi destruksi dari
elastin (komponen utama dari jaringan ikat paru) bersifat ireversibel.3,6
Patofisiologi dari PPOK ditentukan dari beberapa hal, yaitu terjadinya airflow
limitation dan air trapping, abnormalitas pertukaran gas, hipersekresi mukus, serta
hipertensi pulmonal.3,6
4
Pada anamnesis, biasanya pasien datang dengan keluhan batuk produktif yang
berlangsung lama dan berulang, dengan produksi sputum pada awalnya sedikit dan
berwarna putih kemudian menjadi banyak dan kuning keruh.
Pasien dapat juga mengeluhkan adanya sesak yang semakin lama semakin memberat,
berlangsung lama, sampai tidak pernah hilang sama sekali. Sesak dapat disertai
dengan bunyi mengi ataupun tidak. Sesak pada penderita PPOK seringkali dirasakan
memberat apabila melakukan aktivitas.
Pasien umumnya memiliki riwayat terpajan oleh partikel gas dalam waktu
yang lama. Pada umumnya, penderita merupakan perokok berat ataupun mempunyai
riwayat sebagai perokok berat. Dapat juga disertai riwayat terpajan zat iritan yang
bermakna di tempat kerja, memiliki riwayat penyakit emfisema pada keluarga,
ataupun mempunyai faktor predisposisi pada masa bayi dan anak-anak berupa berat
badan lahir rendah, infeksi saluran napas berulang ataupun lingkungan asap rokok
dan polusi udara.1,3,4.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak ditemukan kelainan
sampai kelainan jelas dan tanda inflasi paru. PPOK dini umumnya tidak ada
kelainan.1
Inspeksi
Pada inspeksi dapat terlihat adanya pursed-lips breathing, yaitu sikap seseorang
yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini
terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
pada gagal napas kronik. Pada inspeksi dada terlihat bentuk dada barrel chest
(diameter antero posterior dan transversal sebanding), penggunaan alat bantu
nafas, hipertrofi otot bantu nafas, pelebaran sela iga, serta bila telah terjadi
komplikasi berupa gagal jantung kanan dapat terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai.1
.
Palpasi
5
Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga melebar. 4
Terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan.1
Perkusi
Pada perkusi dada, didapatkan bunyi hipersonor pada daerah paru yang sakit. Dapat
disertai batas jantung yang mengecil pada jantung penduler, letak diafragma yang
rendah, serta penurunan letak hepar akibat terdorong kebawah oleh diafragma.1
Auskultasi
Pada auskultasi dada didapatkan suara nafas vesikuler normal atau melemah,
bronkovesikuler, hingga pernapasan bronkial. Dapat ditemukan ronki dan atau
mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa. Juga dapat dijumpai
ekspirasi yang memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh.1
c. Pemeriksaan Penunjang
Uji Faal Paru
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan
diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosis.
Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi
saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri harus digunakan untuk mengukur
volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut
Forced Vital Capacity (FVC). Spirometri juga harus digunakan untuk mengukur
volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan
manuver di atas, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second
(FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan (FEV 1/FVC).
Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC.1,2
Nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan hasil tes bronkodilator yang
menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi mengkonfirmasi terjadinya
pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan
parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau
perjalanan penyakit. FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis,
dan tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan sebagai persentase dari nilai
prediksi normal.1,2
6
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator menggunakan
spirometri. Bila perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan
pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat
PPOK dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut).
Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator juga dapat
menentukan klasifikasi penyakit PPOK.1,2
7
Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan
emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis
kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada
pemberian oksigen 100%, hal ini menunjukkan adanya shunt kanan ke kiri. Dapat
juga menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar,
serta asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini
disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi
(V/Q ratio) yang nyata.1,2
Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena
baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah
unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema gambaran analisa
gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan,
normokapnia, dan tidak ada shunt kanan ke kiri Analisa gas darah berguna untuk
menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk memantau
keseimbangan asam basa.1,2
Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan gram diperlukan untuk mengetahui
pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat, khususnya pada saat
terjadinya eksaserbasi akut. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab
utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.1
Pemeriksaan Darah rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya leukositosis pada
eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik, juga untuk melihat terjadinya
peningkatan hematokrit..1,2
Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui komplikasi
pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal.
Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih
kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-scan resolusi tinggi, ecocardiografi, dan
pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin.1,4,5
8
Skala MRC atau CAT direkomendasikan untuk assesment gejala, dimana nilai
mMRC ≥2 atau Nilai CAT≥10 mengindikasikan gejala yang berat. (Skor CAT lebih
dipilih karena penilaiannya lebih komprehensif; jika skor CAT tidak ada, skor mMRC
dapat digunakan. Tidak perlu menggunakan lebih dari 1 skala). Terdapat 2 metode
untuk menilai risiko eksaserbasi. Salah satu metode yang berdasarkan populasi
menggunakan klasifikasi spirometri (tabel 2), dengan kategori GOLD3 atau GOLD4
mengindikasikan risiko tinggi. Metode lain didasarkan pada riwayat eksaserbasi dari
individu pasien, dengan dua atau lebih eksaserbasi dalam setahun mengindikasi risiko
tinggi.
Pertama nilai gejala dengan skala mMRC atau CAT, dan tentukan jika pasien
tergolong ke kotak A atau C- Gejala ringan (mMRC tingkat 0-1 atau CAT <10)- atau
ke kotak B atau D- gejala lebih berat dengan mMRC grade (≥ 2 ata3u CAT ≥ 10).
Kemudian nilai risiko eksaserbasi untuk menentukan jika pasien tergolong
pada kotak bagian bawah- risiko rendah atau kotak bagian atas –risiko tinggi. Hal ini
dapat dilakukan dengan dua metode. Pertama menggunakan Spirometri untuk
menentukan derajat GOLD dari airflow limitition (kategori GOLD 1 dan GOLD 2
mengindikasikan resiko rendah, sedangkan GOLD 3 dan GOLD 4 mengindikasikan
resiko tinggi). Kedua menilai jumlah eksaserbasi yang dialami pasien dalam 12 bulan
sebelumnya 0-1 mengindikasikan resiko rendah, sedangkan 2 atau lebih
mengindikasikan risiko tinggi. Dalam beberapa pasien terdapat 2 cara dalam menilai
risiko eksaserbasi yang tidak akan mengarahkan ketingkat resiko yang sama.1
9
GOLD Classifcaton of
Airfow Limitaton
RISK
4
(C) (D)
Exacerbaton history
≥2
RISK
2
(A) (B)
1
1
0
10
Tabel 1. Perbedaan PPOK dan Asma Bronkial serta Gagal Jantung Kronik
2.6 KOMPLIKASI
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif dan
tidak sepenuhnya reversible seperti:
1. Gagal nafas
Pada gagal nafas kronik, hasil analisa gas darah, PO2<50mmHg dan
PCO2>50mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan dengan jaga keseimbangan PO2
dan PCO2, bronkodilator kuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas
dan tidur, antioksidan, dan latihan pernafasan dengan pursed lips breathing. Namun
pada gagal nafas akut, yang ditandai oleh sesak nafas dengan atau tanpa sianosis,
sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun.1,2
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuknya
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronik
11
ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit
darah.1,
3. Cor Pulmonale (Gagal jantung Kanan)
Pertukaran udara yang jelek pada penderita PPOK menyebabkan menurunnya jumlah
oksigen di darah sehingga timbul refleks spasme percabangan-percabangan kecil
arteri pulmonalis (hypoxic vasoconstriction). Hal ini dapat menyebabkan kegagalan
jantung kanan dan gejala gagal jantung kanan antara lain pembengkakan ekstemitas
bawah yaitu kaki, dispneu, tidak mampu mentoleransi latihan, sianosis,
meningkatnya vena leher.1
2.7 PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi
berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru, dan meningkatkan
kualitas hidup pasien. 1,2,7
2.7.1 Penatalaksanaan Secara Umum PPOK
1. Edukasi
PPOK adalah penyakit yang kronis yang irreversibel dan progresif. Tujuan edukasi
pada pasien PPOK adalah mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan,
melaksanakan pengobatan yang maksimal, mencapai aktiviti yang optimal,
meningkatkan kualitas hidup. Edukasi yang diberikan antara lain menyesuaikan
keterbatasan aktivitas, mencegah kecepatan perburukan fungsi paru, pengetahuan
dasar tentang PPOK, obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya, dan menghindari
pencetus seperti berhenti merokok.1,2
2. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Obat ini dapat diberikan tunggal atau kombinasi ketiga jenis bronkodilator, yaitu
antikolinergik, beta-2 agonis, dan xantin. Pemilihan obat diutamakan inhalasi,
nebulizer tidak tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat
berat diutamakan pemberian obat lepas lambat atau obat berefek panjang. 1,2,7
12
b. Anti-inflamasi
Obat ini digunakan pada eksaserbasi akut dalam bentuk intravena. Berfungsi
sebagai anti inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednisone. Penggunaan obat ini ditujukan untuk mengurangi lamanya perawatan,
mempercepat pemulihan, dan mengurangi kesempatan eksaserbasi berikutnya
atau kumatnya untuk suatu periode lebih dari 6 bulan. 1,2,7
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terjadi infeksi. Antibiotik yang digunakan adalah lini
pertama (amoksisilin atau makrolid), lini kedua amoksisilin dan asam klavulanat,
sefalosporin, kuinolon, atau makrolid baru. Perawatan di rumah sakit dipilih
amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin generasi I dan II injeksi, atau
kuinolon per oral, ditambah aminoglikosida injeksi, kuinolon injeksi, atau
sefalosporin generasi IV injeksi. 1,2,7
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Obat yang
digunakan adalah N-asetilsistein dan tidak di anjurkan untuk pemberian rutin.
Obat ini dapat diberikan pada penderita PPOK dengan eksaserbasi yang sering. 1,2,7
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronis dengan sputum yang kental.
Pemberian mukolitik berguna untuk mengencerkan dahak sehingga
mempermudah pengeluaran dahak. Pemberian ekspektoran dapat dilakukan untuk
membantu mengeluarkan dahak bila diperlukan.1,2,7
3. Terapi oksigen
Manfaat oksigen adalah untuk mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas, mengurangi
hipertensi pulmonal, mengurangi vasokontriksi, meningkatkan kualitas hidup,
memperbaiki fungsi neuropsikiatri, dan mengurangi hematocrit. Indikasi pemberian
oksigen adalah PaO2 < 60 mmHg atau Saturasi O2 < 90% atau PaO2 diantara 55-59
mmHg atau Sat O2 > 89% disertai kor pulmonal, perubahan P pulmonal, hematokrit >
55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan.1,2,7
13
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik umunya digunakan pada PPOK eksaserbasi dengan gagal napas
akut, penderita PPOK derajat berat dengan napas kronik, dan pasien gagal napas akut
pada gagal napas kronik. 1
5. Nutrisi
Nutrisi pada pasien PPOK perlu diperhatikan karena rentan mengalami malnutrisi.
Malnutrisi terjadi akibat kebutuhan energi yang meningkat karena kerja otot
pernapasan yang meningkat akibat dari hipermetabolisme karena hiperkapni dan
hipoksemia kronik. Asupan nutrisi yang seimbang merupakan hal yang paling penting
bagi penderita PPOK. 1,8
6. Rehabilitasi
Pelaksanaan rehabiltasi penting untuk pernderita PPOK karena dapat memperbaiki
kualitas hidup dan meningkatkan toleransi latihan. 1,8,9 Strategi yang dianjurkan oleh
Public Health Strategy adalah:
- Ask, lakukan identifikasi perokok pada setiap kunjungan;
- Advice, terangkan tentang keburukan/dampak merokok sehingga pasien didesak
mau berhenti merokok;
- Assess, yakinkan pasien untuk berhenti merokok;
- Assist, bantu pasien dalam berhenti merokok;
- Arrange, jadwalkan kontak usaha berikutnya yang lebih intesif, bila usaha
pertama masih belum memuaskan.
BAB III
LAPORAN KASUS
3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Sesak napas
15
Riwayat batuk berdarah, nyeri dada dan penurunan berat badan, disangkal oleh
pasien.
16
batuk dan sesak sekitar ±2 tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat
mengonsumsi minuman beralkohol.
Status General
Mata : Anemis (-), ikterus (-), reflex pupil +/+, edema palpebra
-/-
THT
Telinga : Daun telinga N/N, Sekret -/-, hiperemis -/-
Hidung : Sekret -/-, hiperemis -/-
Tenggorokan : Tonsil T1/T1 normal, faring hiperemis (-)
Bibir : Sianosis (-)
Lidah : Ulkus (-), papil lidah atrofi (-)
Leher : JVP + 0 cmH2O, kelenjar tiroid normal, pembesaran
kelenjar getah bening (-)
Thorax :
Cor
Inspeksi : Pulsasi iktus cordis tidak tampak
17
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas jantung ICS II
Batas kanan jantung PSL kanan
Batas kiri jantung 1 cm medial MCL kiri
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)
Pulmo
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, barrel chest (+), tampak
pelebaran celah iga, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus N N
N N
N N
+ + + +
Auskultasi : Bronko + + + +
+ + + +
vesikuler Ronchi
Wheezing - -
- -
- -
Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani
3.4 Penatalaksanaan
18
Terapi
Rawat inap
O2 2-4 L/menit (nasal kanul)
IVFD NaCl 0,9% 20 tetes/menit
Metylprednisolon 2x62,5 mg IV
N- Acethyl Cystein 3x200mg PO
Nebulizer Combiven @ 8 jam
Cefoperazone sulbactam 2x1 gr (IV)
Erytromicin 4 x 500 mg IO
Diagnostik
Sputum gram/kultur/sensitivitas test
Spirometri jika sudah stabil
Monitoring
Vital sign
Keluhan
BAB IV
PEMBAHASAN
19
Masalah yang dibahas pada kasus ini adalah:
1. Masalah diagnosis
2. Masalah etiologi
3. Masalah penatalaksanaan
20
Pada pemeriksaan fisik yang telah dilakukan didapatkan tanda khas PPOK
yaitu dada yang mempunyai bentuk seperti tong (barrel chest) sebagai akibat dari air
trapping di paru-paru. Selain itu, vokal fremitus melemah dan terdapat pelebaran sela
iga. Dilakukan perkusi dan didapatkan hipersosonor dan batas jantung mengecil dan
letak diafragma rendah.
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan untuk pasien PPOK adalah spirometri
namun pada pasien ini belum dikerjakan dikarenakan kondisi belum stabil, maka tes
spirometri ditunda hingga keadaan pasien stabil (perubahan FEV 1>12% atau> 200 ml
setelah dilakukan uji bronkodilator, pasien membaik dalam keadaan sesaknya, serta
produksi sputum yang berkurang). Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding dengan mencari bukti nodul paru, massa atau
perubahan fibrosis. Pada emfisema akan terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen,
pelebaran ruang retrosternal, diafragma yang mendatar. Pada pasien ini tidak
didapatkan masa pada foto toraks, namun terlihat gambaran khas emfisema yaitu
hiperinflasi, pelebaran ruang retrosternal dan gambaran diafragma yang mendatar.
Pemeriksaan penunjang lain yakni darah lengkap dengan hasil peningkatan WBC
yaitu 12,29 dan peningkatan eusinofil 5,23% yang menunjang teori yakni pada PPOK
eksaserbasi akut, terjadi peningkatan neutrofil dan eosinofil pada sputum dan dinding
saluran napas. Hal ini dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi beberapa mediator
termasuk TNF-a, LTB4, IL-8 dan peningkatan biomarker stress oksidatif. Pemeriksaan
analisa gas darah didapatkan peningkatan PCO2 46,2, penurunan PO2 59,40,
peningkatan HCO3- 26,80 dan penurunan SO2 90,2 yang bermakna bahwa pasien ini
mengalami hiperkapnia akibat dari residual udara yang terperangkap pada paru.
21
pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penyakit metabolik
seperti DM dan gangguan elektrolit, nutrisi buruk, aspirasi berulang serta
lingkungan/polusi udara yang semakin buruk. Pada pasien ini kemungkinan penyebab
eksaserbasi akut adalah pneumonia dengan adanya gambaran infiltrat pada foto toraks
ditambah gejala klinis pasien yang memiliki riwayat batuk dengan dahak yang
berwarna kekuningan dan demam. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah
lengkap pasien juga didapatkan peningkatan dari WBC diatas 10.000/ul. Perlu
dilakukan tes sputum dan kultur untuk lebih memastikan jenis bakteri sehingga bisa
ditegakkan diagnosis untuk mendapatkan terapi yang sesuai.
BAB V
KESIMPULAN
22
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit paru
kronik berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya
reversible yang diasosiasikan dengan respon inflamsi abnormal paru terhadap gas
berbahaya ataupun partikel asing.
Faktor resiko yang berkaitan dengan PPOK adalah faktor herediter yaitu defisiensi
alpha – 1 antitripsin, kebiasaan merokok, riwayat terpapar polusi udara di lingkungan dan
tempat kerja, hipereaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang.
Manifestasi klinis pasien PPOK adalah batuk kronis, berdahak kronis, dan sesak nafas.
Diagnosis pada pasien PPOK dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
PPOK eksaserbasi akut adalah bila kondisi pasien PPOK mengalami perburukan
yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil yang ditandai dengan sesak napas
yang bertambah berat, produksi sputum yang meningkat dan perubahan warna sputum
menjadi lebih purulent.
Tujuan penatalaksaan PPOK adalah untuk mengurangi gejala, mencegah
eksaserbasi berulang memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru dan meningkatkan
kualitas hidup penderita.
DAFTAR PUSTAKA
DAFTAR PUSTAKA
23
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive lung disease updated
2016.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit paru Obstruktif
Kronik), pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2011.
3. Brashier BB, Kodgule R. Risk Factors and Pathophysiology of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Journal of the Association of Physician
of India Vol 60. February 2012.
4. World Helath Organization. Risk Factor for Chronic Respiratory Disease. Diakses
dari http://www.who.int/gard/publications/Risk%20factors.pdf pada tanggal 2
Februari 2018.
5. McGrady T, dkk. Characteristics of Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) Patients Reporting Alpha-1 Antitrypsin Deficiency in the WebMD Lung
Health Check Database. Journal of COPD Foundation Volume 2 Number 2 2015.
6. Goldklang M, Stockley R. Pathophysiology of Emphysema and Implications.
Journal of COPD Foundation Volume 3 Number 1 2016.
7. Cazzola M, Matera MG. The effective treatment of COPD: Anticholinergics and
what else? Drug Discovery Today: Therapeutic Strategies | Respiratory diseases
Vol. 3, No. 3 2006
8. Kusumawati R. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) Eksaserbasi Akut di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Publikasi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta 2013.
9. Centers for Disease Control and Prevention. Public Health Strategic Framework
for COPD Prevention. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention;
2011.
24