Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) diperkirakan mempengaruhi 32 juta


orang di Amerika Serikat dan merupakan penyebab utama keempat kematian di negara
ini. Pasien biasanya memiliki gejala bronkitis kronis dan emfisema. Penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular
yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat diIndonesia.1 Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti
faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya
jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam
ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja. 2PPOK sering kali timbul pada usia
pertengahan akibat merokok dalam waktu yang lama. Dampak PPOK pada setiap
individu tergantung derajat keluhannya (khususnya sesak dan penurunan kapasitas
latihan), efek sistemik dan gejala komorbid lainnya. Bronkitis kronik dan emfisema tidak
dimasukkan definisi PPOK karena emfisema merupakan diagnosis patologi, bronchitis
kronik merupakan diagnosis klinis. Selain itu keduanya tidak selalu mencerminkan
hmbatan aliran udara dalam saluran napas.1

Hasil survey penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM dan PL rumah
sakit provinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung, dan
Sumatra Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan pertama
penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma bronchial (33%), kanker paru (30%),
dan lainnya.

Data prevalens PPOK pada populasi dewasa saat ini bervariasi pada setiap negara
di seluruh dunia. Tahun 2000, prevalens PPOK di Amerika dan Eropa berkisar 5-9% pada
individu usia > 45 tahun. Untuk Indonesia, penelitian COPD working group tahun 2002
di 12 negara Asia Pasifik menunjukkan estimasi prevalens PPOK Indonesia sebesar
5,6%.. Prevalens PPOK diperkirakan akan meningkat sehubungan dengan peningkatan
usia harapan hidup penduduk dunia, pergeseran pola penyakit infeksi yang menurun

1
sedangkan penyakit degeneratif meningkat serta meningkatnya kebiasaan merokok dan
polusi udara. Merokok merupakan salah satu faktor risiko terbesar PPOK.3 Berdasarkan
hasil penelitian prevalens PPOK meningkat dari tahun ke tahun, dari sekitar 6% di
periode tahun 1960-1979 mendekati 10% di periode tahun 2000-2007. Penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan kematian
di seluruh dunia. Berdasarkan Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease
(GOLD) 2007, dibagi atas 4 derajat, yaitu : derajat 1 (PPOK ringan), derajat 2 (PPOK
sedang), derajat 3 (PPOK berat), derajat 4 (PPOK sangat berat).2
Penderita PPOK akan datang ke dokter dan mengeluhkan sesak nafas, batuk-
batuk kronis, sputum yang produktif, faktor resiko (+). Sedangkan PPOK ringan dapat
tanpa keluhan atau gejala. Penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : Edukasi,
berhenti merokok, obat – obatan , rehabilitasi, terapi oksigen, ventilasi mekanis, Nutrisi.
Komplikasi PPOK gagal nafas, infeksi berulang, dan cor polmunale.4

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2
2.1 DEFINISI
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit paru kronis yang ditandai
dengan adanya hambatan aliran udara di saluran pernafasan yang progresif
nonreversibel atau reversibel parsial.1,2 Penyakit tersebut biasanya progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi kronis paru terhadap partikel berbahaya atau
gas.1
Bronkitis dan emfisema adalah dua penyakit pokok yang sering dihubungkan
dengan timbulnya PPOK.1 Namun pada panduan terbaru, bronchitis dan emfisema
sudah tidak lagi dimasukkan dalam definisi PPOK, karena keduanya merupakan
diagnosis yang terpisah antara kelainan klinis dan anatomis.2

2.2 FAKTOR RISIKO


Secara keseluruhan resiko terjadinya PPOK tergantung dari jumlah parikel gas yang
dihirup oleh seorang individu selama hidupnya.4 Partikel gas ini termasuk asap rokok,
polusi dalam ruangan (asap rokok, asap kompor,dan lain-lain), polusi luar ruangan
(debu jalanan, gas buang kendaraan), dan occupational dusts baik organik maupun
anorganik.3,4
Disebutkan pula bahwa jenis kelamin merupakan faktor resiko terjadinya
PPOK. Dahulu dikatakan bahwa pria lebih sering menderita PPOK daripada wanita.
Namun kini insiden terjadinya PPOK telah sama antara pria dan wanita karena terjadi
pergeseran pola kebiasaan merokok pada wanita.1,4
Oksidatif stres dan riwayat infeksi saluran napas bawah yang berulang
terutama pada saat anak-anak dihubungkan dengan terjadinya penurunan fungsi paru
dan peningkatan hiperesponsivitas saluran napas juga merupakan faktor resiko yang
dikaitkan dengan PPOK.
Terdapat pula faktor genetik yang berhubungan dengan terjadinya PPOK yaitu
penyakit herediter berat terhadap defisiensi alfa-1 antitrypsin.3,5 Dimana hanya 0,92%
dari pasien-pasien PPOK yang mewarisi defisiensi α1AT yang berat.5

2.3 PATOGENESIS

3
Asap rokok dan partikel gas berbahaya yang masuk ke dalam paru akan menyebabkan
suatu iritasi kronis. Paru-paru secara normal akan memberikan suatu respon berupa
inflamasi. Reaksi inflamasi ini ditambah dengan stres oksidatif serta peningkatan
proteinase sehingga terjadi perubahan patologis pada struktur paru pada saluran napas
bagian proksimal, bagian distal, parenkim paru, serta pada vaskularisasi paru.3,6
Respon inflamasi paru dimediasi oleh sel-sel inflamasi yang memberikan pola
peradangan yang spesifik. Sel-sel inflamasi yang terlibat antara lain adalah neutrofil,
makrofag, limfosit, eosinofil, serta sel-sel epitelial. Selain itu sel inflamasi bekerja
untuk melepas mediator-mediator inflamasi berupa chemotactic factor (mediator yang
menarik neutrofil dan limfosit-T), chemokines (berfungsi untuk menarik neutrofil dan
monosit), pro-inflamatory cytokines (meningkatkan proses inflamasi dan efek
sistemik pada PPOK) dan mediator inflamasi berupa growth factor (menginduksi
pembentukan fibrosis pada saluran napas kecil).3
Mekanisme lain pada PPOK yaitu terjadinya ketidaksimbangan antara
proteinase serta antiproteinase. Kadar yang tinggi dari proteinase akan menyebabkan
penghancuran dari jaringan ikat paru. Pada emfisema paru, akan terjadi destruksi dari
elastin (komponen utama dari jaringan ikat paru) bersifat ireversibel.3,6
Patofisiologi dari PPOK ditentukan dari beberapa hal, yaitu terjadinya airflow
limitation dan air trapping, abnormalitas pertukaran gas, hipersekresi mukus, serta
hipertensi pulmonal.3,6

2.4 DIAGNOSIS DAN GEJALA KLINIS


Gejala dan tanda dari PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan
sampai gejala berat. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan kelainan yang jelas
dengan tanda-tanda inflasi paru.1,2 Penegakkan diagnosis PPOK memerlukan bantuan
pemeriksaan penunjang spirometri. Sehingga, diagnosis PPOK dapat ditegakkan
berdasarkan:
a. Anamnesis1,2

4
Pada anamnesis, biasanya pasien datang dengan keluhan batuk produktif yang
berlangsung lama dan berulang, dengan produksi sputum pada awalnya sedikit dan
berwarna putih kemudian menjadi banyak dan kuning keruh.
Pasien dapat juga mengeluhkan adanya sesak yang semakin lama semakin memberat,
berlangsung lama, sampai tidak pernah hilang sama sekali. Sesak dapat disertai
dengan bunyi mengi ataupun tidak. Sesak pada penderita PPOK seringkali dirasakan
memberat apabila melakukan aktivitas.
Pasien umumnya memiliki riwayat terpajan oleh partikel gas dalam waktu
yang lama. Pada umumnya, penderita merupakan perokok berat ataupun mempunyai
riwayat sebagai perokok berat. Dapat juga disertai riwayat terpajan zat iritan yang
bermakna di tempat kerja, memiliki riwayat penyakit emfisema pada keluarga,
ataupun mempunyai faktor predisposisi pada masa bayi dan anak-anak berupa berat
badan lahir rendah, infeksi saluran napas berulang ataupun lingkungan asap rokok
dan polusi udara.1,3,4.
b. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan fisik pasien PPOK dapat bervariasi dari tidak ditemukan kelainan
sampai kelainan jelas dan tanda inflasi paru. PPOK dini umumnya tidak ada
kelainan.1
 Inspeksi
Pada inspeksi dapat terlihat adanya pursed-lips breathing, yaitu sikap seseorang
yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini
terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi
pada gagal napas kronik. Pada inspeksi dada terlihat bentuk dada barrel chest
(diameter antero posterior dan transversal sebanding), penggunaan alat bantu
nafas, hipertrofi otot bantu nafas, pelebaran sela iga, serta bila telah terjadi
komplikasi berupa gagal jantung kanan dapat terlihat denyut vena jugularis di leher
dan edema tungkai.1
.
 Palpasi

5
Pada palpasi dada didapatkan vokal fremitus melemah dan sela iga melebar. 4
Terutama dijumpai pada pasien dengan emfisema dominan.1
 Perkusi
Pada perkusi dada, didapatkan bunyi hipersonor pada daerah paru yang sakit. Dapat
disertai batas jantung yang mengecil pada jantung penduler, letak diafragma yang
rendah, serta penurunan letak hepar akibat terdorong kebawah oleh diafragma.1
 Auskultasi
Pada auskultasi dada didapatkan suara nafas vesikuler normal atau melemah,
bronkovesikuler, hingga pernapasan bronkial. Dapat ditemukan ronki dan atau
mengi pada waktu bernafas biasa atau pada ekspirasi paksa. Juga dapat dijumpai
ekspirasi yang memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh.1
c. Pemeriksaan Penunjang
 Uji Faal Paru
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan
diagnosis, melihat perkembangan penyakit, dan menentukan prognosis.
Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya obstruksi
saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri harus digunakan untuk mengukur
volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi maksimal, atau disebut
Forced Vital Capacity (FVC). Spirometri juga harus digunakan untuk mengukur
volume udara yang dikeluarkan pada satu detik pertama pada saat melakukan
manuver di atas, atau disebut dengan Forced Expiratory Volume in 1 second
(FEV1). Rasio dari kedua pengukuran ini juga harus dilakukan (FEV 1/FVC).
Penderita PPOK secara khas akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC.1,2
Nilai FEV1/FVC < 70% disertai dengan hasil tes bronkodilator yang
menghasilkan nilai FEV1 < 80% dari nilai prediksi mengkonfirmasi terjadinya
pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. FEV1 merupakan
parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau
perjalanan penyakit. FEV1 juga amat dipengaruhi oleh umur, jenis kelamin, etnis,
dan tinggi penderita, sehingga paling baik dinyatakan sebagai persentase dari nilai
prediksi normal.1,2

6
Uji faal paru juga dapat dilakukan dengan uji bronkodilator menggunakan
spirometri. Bila perubahan nilai FEV1 kurang dari 20% maka ini menunjukkan
pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Uji ini dilakukan saat
PPOK dalam keadaan stabil (di luar eksaserbasi akut).
Dari hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator juga dapat
menentukan klasifikasi penyakit PPOK.1,2

Gambar 2. Klasifikasi PPOK setelah diberikan Bronkodilator1


 Foto Torak PA dan Lateral
Foto torak PA dan Lateral berguna untuk menyingkirkan kemungkinan penyakit
paru lain. Pada penderita emfisema dominan didapatkan gambaran hiperinflasi,
yaitu diafragma rendah dan rata, hiperlusensi, ruang retrosternal melebar, diafragma
mendatar, dan jantung yang menggantung/penduler (memanjang tipis vertikal).
Sedangkan pada penderita bronkitis kronis dominan hasil foto thoraks dapat
menunjukkan hasil yang normal aataupun dapat terlihat corakan bronkovaskuler
yang meningkat disertai sebagian bagian yang hiperlusen.1,2
 Analisa Gas Darah (AGD)
Pada PPOK tingkat lanjut, pengukuran analisa gas darah amat penting untuk
dilakukan. AGD wajib dilakukan apabila nilai FEV1 pada penderita menunjukkan
nilai < 40% dari nilai prediksi dan secara klinis tampak tanda-tanda kegagalan
respirasi dan gagal jantung kanan seperti sianosis sentral, pembengkakan engkel,
dan peningkatan jugular venous pressure.1,2

7
Analisa gas darah arteri menunjukkan gambaran yang berbeda pada pasien dengan
emfisema dominan dibandingkan dengan bronkitis kronis dominan. Pada bronkitis
kronis analisis gas darah menunjukkan hipoksemi yang sedang sampai berat pada
pemberian oksigen 100%, hal ini menunjukkan adanya shunt kanan ke kiri. Dapat
juga menunjukkan hiperkapnia yang sesuai dengan adanya hipoventilasi alveolar,
serta asidosis respiratorik kronik yang terkompensasi. Gambaran seperti ini
disebabkan karena pada bronkitis kronis terjadi gangguan rasio ventilasi/perfusi
(V/Q ratio) yang nyata.1,2
Sedangkan pada emfisema, rasio V/Q tidak begitu terganggu oleh karena
baik ventilasi maupun perfusi, keduanya menurun disebabkan berkurangnya jumlah
unit ventilasi dan capillary bed. Oleh karena itu pada emfisema gambaran analisa
gas darah arteri akan memperlihatkan normoksia atau hipoksia ringan,
normokapnia, dan tidak ada shunt kanan ke kiri Analisa gas darah berguna untuk
menilai cukup tidaknya ventilasi dan oksigenasi, dan untuk memantau
keseimbangan asam basa.1,2
 Pemeriksaan sputum
Pemeriksaan bakteriologi sputum pewarnaan gram diperlukan untuk mengetahui
pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat, khususnya pada saat
terjadinya eksaserbasi akut. Infeksi saluran napas berulang merupakan penyebab
utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia.1
 Pemeriksaan Darah rutin
Pemeriksaan darah digunakan untuk mengetahui adanya leukositosis pada
eksaserbasi akut, polisitemia pada hipoksemia kronik, juga untuk melihat terjadinya
peningkatan hematokrit..1,2
 Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan Electrocardiogram (EKG) digunakan untuk mengetahui komplikasi
pada jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau hipertensi pulmonal.
Pemeriksaan lain yang dapat namun jarang dilakukan antara lain uji latih
kardiopulmoner, uji provokasi bronkus, CT-scan resolusi tinggi, ecocardiografi, dan
pemeriksaan kadar alpha-1 antitryipsin.1,4,5

8
Skala MRC atau CAT direkomendasikan untuk assesment gejala, dimana nilai
mMRC ≥2 atau Nilai CAT≥10 mengindikasikan gejala yang berat. (Skor CAT lebih
dipilih karena penilaiannya lebih komprehensif; jika skor CAT tidak ada, skor mMRC
dapat digunakan. Tidak perlu menggunakan lebih dari 1 skala). Terdapat 2 metode
untuk menilai risiko eksaserbasi. Salah satu metode yang berdasarkan populasi
menggunakan klasifikasi spirometri (tabel 2), dengan kategori GOLD3 atau GOLD4
mengindikasikan risiko tinggi. Metode lain didasarkan pada riwayat eksaserbasi dari
individu pasien, dengan dua atau lebih eksaserbasi dalam setahun mengindikasi risiko
tinggi.
Pertama nilai gejala dengan skala mMRC atau CAT, dan tentukan jika pasien
tergolong ke kotak A atau C- Gejala ringan (mMRC tingkat 0-1 atau CAT <10)- atau
ke kotak B atau D- gejala lebih berat dengan mMRC grade (≥ 2 ata3u CAT ≥ 10).
Kemudian nilai risiko eksaserbasi untuk menentukan jika pasien tergolong
pada kotak bagian bawah- risiko rendah atau kotak bagian atas –risiko tinggi. Hal ini
dapat dilakukan dengan dua metode. Pertama menggunakan Spirometri untuk
menentukan derajat GOLD dari airflow limitition (kategori GOLD 1 dan GOLD 2
mengindikasikan resiko rendah, sedangkan GOLD 3 dan GOLD 4 mengindikasikan
resiko tinggi). Kedua menilai jumlah eksaserbasi yang dialami pasien dalam 12 bulan
sebelumnya 0-1 mengindikasikan resiko rendah, sedangkan 2 atau lebih
mengindikasikan risiko tinggi. Dalam beberapa pasien terdapat 2 cara dalam menilai
risiko eksaserbasi yang tidak akan mengarahkan ketingkat resiko yang sama.1

9
GOLD Classifcaton of
Airfow Limitaton
RISK
4
(C) (D)

Exacerbaton history
≥2

RISK
2
(A) (B)
1

1
0

Mmrc 0-1 Mmrc ≥ 2


CAT <10 CAT ≥10

Gambar 3. Asosiasi antara Gejala, Symptoms


Klasifikasi Spirometri, dan Risiko Eksaserbasi1
Kelompok ini dapat diringkas sebagai berikut:
 Pasien Grup A: Resiko rendah gejala minimal. Khususnya pada GOLD 1 atau
GOLD 2 (airflow limitation ringan atau sedang) dan atau 0-1 kali eksaserbasi
pertahun dan mMRC 0-1 atau nilai CAT < 10
 Pasien Grup B: Resiko rendah, gejala lebih berat. Khususnya pada GOLD 1 atau
GOLD 2 (airflow limitation ringan atau sedang) dan atau 0-1 kali eksaserbasi
pertahun dan mMRC ≥ 2 atau nilai CAT ≥ 10
 Pasien Grup C: Risiko tinggi, gejala minimal. Pada pasien GOLD 3 atau GOLD 4
(airflow limitation yang parah atau sangat parah) dan atau ≥ 2 kali eksaserbasi
pertahun dan mMRC ≥ 2 atau nilai CAT ≥ 10
 Pasien Grup D: Resiko tinggi, gejala lebih berat. Pada pasien dengan GOLD 3
atau GOLD 4 (airflow limitation yang parah atau sangat parah) dan atau ≥ 2 kali
eksaserbasi pertahun dan mMRC ≥ 2 atau nilai CAT ≥ 10

2.5 DIAGNOSIS BANDING


Adapun diagnosis banding dari PPOK adalah asma, pneumothoraks, gagal jantung
kronik, dan penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain, misanya bronkiektasis
dan destroyed lung.1 Asma dan PPOK adalah penyakit saluran napas yang sering
ditemukan di Indonesia.

10
Tabel 1. Perbedaan PPOK dan Asma Bronkial serta Gagal Jantung Kronik

PPOK Asma Bronkial Gagal Jantung


Kronik
Onset usia > 45 tahun Segala usia Segala usia
Riwayat Tidak ada Ada Tidak ada
keluarga
Pola sesak Terus menerus, Hilang timbul Timbul pada
napas bertambah berat waktu aktivitas
dengan aktivitas
Ronki Kadang-kadang + ++
Mengi Kadang-kadang ++ +
Vesikular Melemah Normal Meningkat

Spirometri Obstruksi ++ Obstruksi ++ Obstruksi +


Restriksi + Restriksi ++
Reversibilitas < ++ +
Pencetus Partikel toksik Partikel sensitif Penyakit jantung
kongestif

2.6 KOMPLIKASI
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif dan
tidak sepenuhnya reversible seperti:
1. Gagal nafas
Pada gagal nafas kronik, hasil analisa gas darah, PO2<50mmHg dan
PCO2>50mmHg, dan pH normal, penatalaksanaan dengan jaga keseimbangan PO2
dan PCO2, bronkodilator kuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu aktivitas
dan tidur, antioksidan, dan latihan pernafasan dengan pursed lips breathing. Namun
pada gagal nafas akut, yang ditandai oleh sesak nafas dengan atau tanpa sianosis,
sputum bertambah dan purulen, demam, dan kesadaran menurun.1,2
2. Infeksi berulang
Pada pasien PPOK produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuknya
koloni kuman, hal ini memudahkan terjadinya infeksi berulang. Pada kondisi kronik

11
ini imunitas menjadi lebih rendah, ditandai dengan menurunnya kadar limfosit
darah.1,
3. Cor Pulmonale (Gagal jantung Kanan)
Pertukaran udara yang jelek pada penderita PPOK menyebabkan menurunnya jumlah
oksigen di darah sehingga timbul refleks spasme percabangan-percabangan kecil
arteri pulmonalis (hypoxic vasoconstriction). Hal ini dapat menyebabkan kegagalan
jantung kanan dan gejala gagal jantung kanan antara lain pembengkakan ekstemitas
bawah yaitu kaki, dispneu, tidak mampu mentoleransi latihan, sianosis,
meningkatnya vena leher.1

2.7 PENATALAKSANAAN
Tujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala, mencegah eksaserbasi
berulang, memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru, dan meningkatkan
kualitas hidup pasien. 1,2,7
2.7.1 Penatalaksanaan Secara Umum PPOK
1. Edukasi
PPOK adalah penyakit yang kronis yang irreversibel dan progresif. Tujuan edukasi
pada pasien PPOK adalah mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan,
melaksanakan pengobatan yang maksimal, mencapai aktiviti yang optimal,
meningkatkan kualitas hidup. Edukasi yang diberikan antara lain menyesuaikan
keterbatasan aktivitas, mencegah kecepatan perburukan fungsi paru, pengetahuan
dasar tentang PPOK, obat-obatan, manfaat dan efek sampingnya, dan menghindari
pencetus seperti berhenti merokok.1,2
2. Obat-obatan
a. Bronkodilator
Obat ini dapat diberikan tunggal atau kombinasi ketiga jenis bronkodilator, yaitu
antikolinergik, beta-2 agonis, dan xantin. Pemilihan obat diutamakan inhalasi,
nebulizer tidak tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. Pada derajat
berat diutamakan pemberian obat lepas lambat atau obat berefek panjang. 1,2,7
12
b. Anti-inflamasi
Obat ini digunakan pada eksaserbasi akut dalam bentuk intravena. Berfungsi
sebagai anti inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau
prednisone. Penggunaan obat ini ditujukan untuk mengurangi lamanya perawatan,
mempercepat pemulihan, dan mengurangi kesempatan eksaserbasi berikutnya
atau kumatnya untuk suatu periode lebih dari 6 bulan. 1,2,7
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terjadi infeksi. Antibiotik yang digunakan adalah lini
pertama (amoksisilin atau makrolid), lini kedua amoksisilin dan asam klavulanat,
sefalosporin, kuinolon, atau makrolid baru. Perawatan di rumah sakit dipilih
amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin generasi I dan II injeksi, atau
kuinolon per oral, ditambah aminoglikosida injeksi, kuinolon injeksi, atau
sefalosporin generasi IV injeksi. 1,2,7
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Obat yang
digunakan adalah N-asetilsistein dan tidak di anjurkan untuk pemberian rutin.
Obat ini dapat diberikan pada penderita PPOK dengan eksaserbasi yang sering. 1,2,7
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronis dengan sputum yang kental.
Pemberian mukolitik berguna untuk mengencerkan dahak sehingga
mempermudah pengeluaran dahak. Pemberian ekspektoran dapat dilakukan untuk
membantu mengeluarkan dahak bila diperlukan.1,2,7
3. Terapi oksigen
Manfaat oksigen adalah untuk mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas, mengurangi
hipertensi pulmonal, mengurangi vasokontriksi, meningkatkan kualitas hidup,
memperbaiki fungsi neuropsikiatri, dan mengurangi hematocrit. Indikasi pemberian
oksigen adalah PaO2 < 60 mmHg atau Saturasi O2 < 90% atau PaO2 diantara 55-59
mmHg atau Sat O2 > 89% disertai kor pulmonal, perubahan P pulmonal, hematokrit >
55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan.1,2,7

13
4. Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik umunya digunakan pada PPOK eksaserbasi dengan gagal napas
akut, penderita PPOK derajat berat dengan napas kronik, dan pasien gagal napas akut
pada gagal napas kronik. 1
5. Nutrisi
Nutrisi pada pasien PPOK perlu diperhatikan karena rentan mengalami malnutrisi.
Malnutrisi terjadi akibat kebutuhan energi yang meningkat karena kerja otot
pernapasan yang meningkat akibat dari hipermetabolisme karena hiperkapni dan
hipoksemia kronik. Asupan nutrisi yang seimbang merupakan hal yang paling penting
bagi penderita PPOK. 1,8

6. Rehabilitasi
Pelaksanaan rehabiltasi penting untuk pernderita PPOK karena dapat memperbaiki
kualitas hidup dan meningkatkan toleransi latihan. 1,8,9 Strategi yang dianjurkan oleh
Public Health Strategy adalah:
- Ask, lakukan identifikasi perokok pada setiap kunjungan;
- Advice, terangkan tentang keburukan/dampak merokok sehingga pasien didesak
mau berhenti merokok;
- Assess, yakinkan pasien untuk berhenti merokok;
- Assist, bantu pasien dalam berhenti merokok;
- Arrange, jadwalkan kontak usaha berikutnya yang lebih intesif, bila usaha
pertama masih belum memuaskan.

BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : IKC
Umur : 55 tahun
Jenis Kelamin : Laki- Laki
Suku : Bali
Agama : Hindu
14
Status Perkawinan : Sudah Menikah
Pekerjaan : Petani
Alamat : Desa Menanga,Rendang
Tanggal Pemeriksaan : 17 Januari 2018

3.2 Anamnesis

Keluhan Utama

Sesak napas

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang mengeluh sesak ke IGD Puskesmas Rendang pada tanggal 17
Januari 2018 dengan keluhan sesak napas. Sesak dirasakan sejak 3 hari yang lalu dan
bertambah berat sejak 1 hari SMRS (16 Januari 2018). Sesak dirasakan seperti
tertekan pada kedua dada dan sulit untuk bernapas. Sesak dikatakan sangat berat
sehingga pasien sulit beraktivitas. Sesak yang dialami pasien tidak dipengaruhi oleh
perubahan posisi, baik itu dalam keadaan duduk, terlentang maupun setengah tidur.
Selain sesak, pasien juga mengeluhkan batuk yang dirasakan sejak 4 hari yang
lalu (13 Januari 2018). Batuk dikatakan disertai keluarnya dahak bewarna kekuningan
dengan volume dahak sekali batuk ± 1 sendok makan. Dahak dirasakan pasien
semakin bertambah hingga membuat pasien merasa sesak. Batuk dikatakan hilang
timbul tanpa adanya faktor yang memperberat maupun memperingan.
Selain itu, pasien juga mengeluh panas badan sejak 2 hari yang lalu (15
Januari 2018) dan demam dikatakan turun saat pasien di bawa ke UGD. Panas badan
dikatakan timbul setelah pasien mengeluh sesak dan batuk, serta tidak membaik
walaupun pasien beristirahat. Panas badan dikatakan tidak terlalu tinggi, sehingga
pasien tidak mengonsumsi obat untuk keluhannya.
Nafsu makan pasien dikatakan menurun jika sesaknya timbul. BAK pasien
dikatakan biasa, dengan frekuensi berkemih sekitar 4-5 kali dalam sehari, volume tiap
berkemih ± ½ hingga ¾ gelas, warna jernih kekuningan. BAB pasien dikatakan
normal, riwayat BAB keluar darah dan berwarna hitam disangkal oleh pasien.

15
Riwayat batuk berdarah, nyeri dada dan penurunan berat badan, disangkal oleh
pasien.

Riwayat Penyakit Dahulu dan Pengobatan


Pasien mengatakan keluhan sesak napas pertama kali timbul sekitar ±2 tahun
yang lalu. Sesak dirasakan timbul saat beraktivitas berat disertai batuk yang kadang
disertai dahak. Pasien mengatakan bahwa keluhan batuknya berkurang setelah
mengonsumsi obat yang dibeli di warung. Sesak dan batuk tidak benar-benar sembuh,
hanya menjadi lebih ringan atau lebih buruk, sesuai dengan kondisi dan aktivitas
pasien. Keluhan sesak napas dirasakan memberat ±2 bulan yang lalu sehingga pasien
sempat dirawat di RSUP Sanglah selama beberapa hari. Saat itu keluhan sesak napas
disertai dengan batuk dengan dahak yang sulit dikeluarkan. Selama 2 tahun, ketika
keluhan sesak timbul, pasien sering berobat ke puskesmas, dan membaik setelah
diberikan obat-obatan. Sesak yang sekarang dikatakan lebih berat dari yang
sebelumnya. Riwayat asma, diabetes mellitus, penyakit jantung, rhinitis alergi, gatal-
gatal kemerahan pada kulit, alergi makanan dan obat-obatan disangkal oleh pasien.

Riwayat Penyakit Keluarga


Riwayat penyakit serupa pada keluarga disangkal oleh pasien. Riwayat
penyakit sistemik seperti penyakit jantung, hipertensi, asma ataupun diabetes melitus
pada keluarga disangkal.

Riwayat Pribadi dan Sosial


Pasien bekerja sebagai petani. Pasien mengaku memiliki kebiasan merokok
sejak tamat SMP, merokok kurang lebih satu bungkus dalam sehari. Di lingkungan
tempat kerja pasien juga banyak yang merokok. Pasien berhenti merokok sejak timbul

16
batuk dan sesak sekitar ±2 tahun yang lalu. Pasien tidak memiliki riwayat
mengonsumsi minuman beralkohol.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Tanda Tanda Vital :
Kondisi Umum : Sakit sedang
Kesadaran : E4V5M6 /Compos mentis
Tinggi badan : 170 cm
Berat badan : 60 kg
BMI : 20,7 kg/m2
Tekanan darah : 120/80 mmHg
Nadi : 80 kali/menit, reguler, isi cukup
Respirasi : 24 kali/menit, regular
Suhu aksila : 37,0ºC
SaO2 : 98%

Status General
Mata : Anemis (-), ikterus (-), reflex pupil +/+, edema palpebra
-/-
THT
Telinga : Daun telinga N/N, Sekret -/-, hiperemis -/-
Hidung : Sekret -/-, hiperemis -/-
Tenggorokan : Tonsil T1/T1 normal, faring hiperemis (-)
Bibir : Sianosis (-)
Lidah : Ulkus (-), papil lidah atrofi (-)
Leher : JVP + 0 cmH2O, kelenjar tiroid normal, pembesaran
kelenjar getah bening (-)
Thorax :
Cor
Inspeksi : Pulsasi iktus cordis tidak tampak

17
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Batas atas jantung ICS II
Batas kanan jantung PSL kanan
Batas kiri jantung 1 cm medial MCL kiri
Auskultasi : S1S2 tunggal, regular, murmur (-)

Pulmo
Inspeksi : Simetris saat statis dan dinamis, barrel chest (+), tampak
pelebaran celah iga, retraksi (-)
Palpasi : Vocal fremitus N N
N N
N N

Perkusi : Sonor Sonor


Sonor Sonor
Sonor Sonor

+ + + +
Auskultasi : Bronko + + + +
+ + + +
vesikuler Ronchi

Wheezing - -
- -
- -

Abdomen :
Inspeksi : Distensi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : Hepar/lien tidak teraba, nyeri tekan (-)
Perkusi : Timpani

Ekstremitas : Hangat +,+ , Edema - -


+ + - -

3.4 Penatalaksanaan
18
Terapi
 Rawat inap
 O2 2-4 L/menit (nasal kanul)
 IVFD NaCl 0,9%  20 tetes/menit
 Metylprednisolon 2x62,5 mg IV
 N- Acethyl Cystein 3x200mg PO
 Nebulizer Combiven @ 8 jam
 Cefoperazone sulbactam 2x1 gr (IV)
 Erytromicin 4 x 500 mg IO
Diagnostik
 Sputum gram/kultur/sensitivitas test
 Spirometri jika sudah stabil
Monitoring
 Vital sign
 Keluhan

BAB IV
PEMBAHASAN

19
Masalah yang dibahas pada kasus ini adalah:
1. Masalah diagnosis
2. Masalah etiologi
3. Masalah penatalaksanaan

4.1 Masalah Diagnosis


Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit paru
kronik berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak
sepenuhnya reversible yang diasosiasikan dengan respon inflamasi abnormal paru
terhadap gas berbahaya yang ditandai dengan adanya bronkitis kronis yaitu
merupakan suatu gangguan klinis yang ditandai dengan batuk kronik berdahak
minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang – kurangnya dua tahun berturut dan tidak
disebabkan oleh penyakit lain.
PPOK eksaserbasi akut adalah bila kondisi pasien PPOK mengalami
perburukan yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil sehingga pasien
perlu untuk mendapatkan perubahan pengobatan yang sudah biasa digunakan. Hal
sama terjadi pada pasien ini yang mengeluh batuk tidak sembuh selama kurun waktu
2 tahun belakangan dengan sekali periode timbul gejala lebih dari 3 bulan dengan
gejala eksaserbasi akut yang berat yakni terdapat tiga gejala eksaserbasi meliputi
sesak yang semakin parah, produksi dahak yang bertambah serta dahak purulen.
Batuk dahak yang dikeluhkan pasien sama dengan teori yakni PPOK ditandai dengan
dahak kronis terutama pada pagi hari. Selain batuk dan dahak kronis, pasien juga
mengeluh sesak nafas terus menerus yang semakin parah saat melakukan aktivitas
fisik yang berat dan tergolong ke grade 0 pada kriteria MRC.
Dalam anamnesis pasien perlu ditanyakan mengenai riwayat pasien dan
keluarga untuk mengetahui apakah ada faktor resiko yang terlibat. Pada pasien PPOK
biasanya memiliki riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala
pernapasan ataupun riwayat terpapar zat iritan pada lingkungan kerja. Sama seperti
yang terdapat pada kasus yakni pasien merupakan perokok aktif satu bungkus perhari
sejak tamat SMP.

20
Pada pemeriksaan fisik yang telah dilakukan didapatkan tanda khas PPOK
yaitu dada yang mempunyai bentuk seperti tong (barrel chest) sebagai akibat dari air
trapping di paru-paru. Selain itu, vokal fremitus melemah dan terdapat pelebaran sela
iga. Dilakukan perkusi dan didapatkan hipersosonor dan batas jantung mengecil dan
letak diafragma rendah.
Pemeriksaan penunjang yang dianjurkan untuk pasien PPOK adalah spirometri
namun pada pasien ini belum dikerjakan dikarenakan kondisi belum stabil, maka tes
spirometri ditunda hingga keadaan pasien stabil (perubahan FEV 1>12% atau> 200 ml
setelah dilakukan uji bronkodilator, pasien membaik dalam keadaan sesaknya, serta
produksi sputum yang berkurang). Pemeriksaan foto toraks dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis banding dengan mencari bukti nodul paru, massa atau
perubahan fibrosis. Pada emfisema akan terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen,
pelebaran ruang retrosternal, diafragma yang mendatar. Pada pasien ini tidak
didapatkan masa pada foto toraks, namun terlihat gambaran khas emfisema yaitu
hiperinflasi, pelebaran ruang retrosternal dan gambaran diafragma yang mendatar.
Pemeriksaan penunjang lain yakni darah lengkap dengan hasil peningkatan WBC
yaitu 12,29 dan peningkatan eusinofil 5,23% yang menunjang teori yakni pada PPOK
eksaserbasi akut, terjadi peningkatan neutrofil dan eosinofil pada sputum dan dinding
saluran napas. Hal ini dikaitkan dengan peningkatan konsentrasi beberapa mediator
termasuk TNF-a, LTB4, IL-8 dan peningkatan biomarker stress oksidatif. Pemeriksaan
analisa gas darah didapatkan peningkatan PCO2 46,2, penurunan PO2 59,40,
peningkatan HCO3- 26,80 dan penurunan SO2 90,2 yang bermakna bahwa pasien ini
mengalami hiperkapnia akibat dari residual udara yang terperangkap pada paru.

4.2 Masalah Etiologi


Penyebab eksaserbasi akut dibagi menjadi primer dan sekunder. Primer adalah
akibat infeksi trakeobronkial yang biasanya karena virus. Penyebab sekunder
seringkali karena pneumonia, gagal jantung kanan atau kiri, aritmia, emboli paru,

21
pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penyakit metabolik
seperti DM dan gangguan elektrolit, nutrisi buruk, aspirasi berulang serta
lingkungan/polusi udara yang semakin buruk. Pada pasien ini kemungkinan penyebab
eksaserbasi akut adalah pneumonia dengan adanya gambaran infiltrat pada foto toraks
ditambah gejala klinis pasien yang memiliki riwayat batuk dengan dahak yang
berwarna kekuningan dan demam. Dari hasil pemeriksaan laboratorium darah
lengkap pasien juga didapatkan peningkatan dari WBC diatas 10.000/ul. Perlu
dilakukan tes sputum dan kultur untuk lebih memastikan jenis bakteri sehingga bisa
ditegakkan diagnosis untuk mendapatkan terapi yang sesuai.

4.3 Masalah Penatalaksanaan


Penatalaksanaan PPOK pada keadaan stabil adalah untuk mempertahankan
fungsi paru, meningkatkan kualitas hidup dan mencegah eksaserbasi. Prinsip
penatalaksanaan pada PPOK eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi
yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah terjadi gagal napas harus
segera diatasi untuk mencegah kematian. Hal penting yang perlu diperhatikan
meliputi, diagnosis beratnya eksaserbasi, pemberian terapi oksigen adekuat,
pemberian antibiotik bila terjadi peningkatan jumlah sputum, sputum berubah
menjadi purulent dan terjadi peningkatan sesak, bronkodilator berupa Beta-2agonis
dan antikolinergik, pemberian kortikosteroid tergantung derajat berat eksaserbasi.
Pada kasus ini, pasien diberikan penatalaksanaan untuk eksaserbasi akut, yaitu
diberikan terapi oksigen 2-4 L (nasal kanul), kortikosteroid yaitu Metylprednisolon,
bronkodilator berupa beta-2agonis dan antikolinergik yaitu Nebulizer Combiven tiap
8 jam, dan diberikan antibiotik Cefoperazone sulbactam serta Erytromicin.

BAB V
KESIMPULAN

22
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit paru
kronik berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya
reversible yang diasosiasikan dengan respon inflamsi abnormal paru terhadap gas
berbahaya ataupun partikel asing.
Faktor resiko yang berkaitan dengan PPOK adalah faktor herediter yaitu defisiensi
alpha – 1 antitripsin, kebiasaan merokok, riwayat terpapar polusi udara di lingkungan dan
tempat kerja, hipereaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah berulang.
Manifestasi klinis pasien PPOK adalah batuk kronis, berdahak kronis, dan sesak nafas.
Diagnosis pada pasien PPOK dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang.
PPOK eksaserbasi akut adalah bila kondisi pasien PPOK mengalami perburukan
yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil yang ditandai dengan sesak napas
yang bertambah berat, produksi sputum yang meningkat dan perubahan warna sputum
menjadi lebih purulent.
Tujuan penatalaksaan PPOK adalah untuk mengurangi gejala, mencegah
eksaserbasi berulang memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru dan meningkatkan
kualitas hidup penderita.

DAFTAR PUSTAKA

DAFTAR PUSTAKA

23
1. Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. Global strategy for
diagnosis, management and prevention of chronic obstructive lung disease updated
2016.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). PPOK (Penyakit paru Obstruktif
Kronik), pedoman praktis diagnosis dan penatalaksanaan di Indonesia; 2011.
3. Brashier BB, Kodgule R. Risk Factors and Pathophysiology of Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD). Journal of the Association of Physician
of India Vol 60. February 2012.
4. World Helath Organization. Risk Factor for Chronic Respiratory Disease. Diakses
dari http://www.who.int/gard/publications/Risk%20factors.pdf pada tanggal 2
Februari 2018.
5. McGrady T, dkk. Characteristics of Chronic Obstructive Pulmonary Disease
(COPD) Patients Reporting Alpha-1 Antitrypsin Deficiency in the WebMD Lung
Health Check Database. Journal of COPD Foundation Volume 2 Number 2 2015.
6. Goldklang M, Stockley R. Pathophysiology of Emphysema and Implications.
Journal of COPD Foundation Volume 3 Number 1 2016.
7. Cazzola M, Matera MG. The effective treatment of COPD: Anticholinergics and
what else? Drug Discovery Today: Therapeutic Strategies | Respiratory diseases
Vol. 3, No. 3 2006
8. Kusumawati R. Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) Eksaserbasi Akut di RSUP dr. Sardjito Yogyakarta. Publikasi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta 2013.
9. Centers for Disease Control and Prevention. Public Health Strategic Framework
for COPD Prevention. Atlanta, GA: Centers for Disease Control and Prevention;
2011.

24

Anda mungkin juga menyukai