Anda di halaman 1dari 6

I.

DASAR DAN SEJARAH


PEMULIAAN TERNAK

1.1. Sejarah Pemuliaan Ternak


Tidak diketahui secara pasti kapan pemuliaan ternak dimulai, namun diduga bahwa
pemuliaan ternak diawali setelah berkembangnya ilmu dan peradaban umat manusia. Berawal dari
kebutuhan umat manusia terhadap hewan, maka moyang manusia berupaya menangkap hewan di
hutan belantara, dan dari hasil tangkapan tersebut ada yang dipotong untuk dikonsumsi dagingnya
dan ada yang didomes-tikasi kemudian dikembangbiakkan.
Perbaikan mutu genetik ternak sebelum tahun 1800, masih mengandalkan seleksi alam
dengan kekuatan daya adaptasi. Para ahli pemuliaan telah mengetahui sebagian karakteristik
bangsa-bangsa ternak yang ada di dunia. Sebagai contoh sapi-sapi bos Indicus cocok untuk
daerah panas, sapi-sapi bos Taurus cocok untuk daerah dingin dan basah, dan untuk daerah
beriklim sedang cocok untuk sapi-sapi bos Sondaicus.
Robert Bakewell pada tahun 1800, merintis metoda seleksi yang sistematik pada ternak,
dengan mulai mengembangkan populasi ternak superior pada sapi dengan cara menyeleksi sifat-
sifat spesifik yang diinginkan, seperti kecepatan pertumbuhan dan efisiensi penggunaan pakan.
Mereka juga mengembangkan populasi tertutup melalui silang dalam (inbreeding) dan persilangan
galur (line breeding) untuk memperoleh populasi yang seragam. Pada tahun itu terjadi diservikasi

1
gene pool di Amerika, Asia, Afrika dan Australia akibat ternak-ternak yang dibawa oleh
ekspansionis dari Eropa.
Gregor Mendel pada tahun 1850-an merintis teori dasar penurunan sifat yang berperan
penting dalam pengembangan ilmu Genetika. Kajiannya memberi alasan penurunan sifat dari tetua
kepada zuriatnya, sehingga berdampak sangat luas pada ilmu pemuliaan sampai sekarang,
sedangan Robert Bakewell lebih mengarah ke pengembangan praktis performa ternak dengan
tidak mempelajari alasan penurunan sifatnya,
Pada tahun 1900, Amerika banyak mendatangkan bangsa-bangsa ternak, kemudian
dipelajari karakteristiknya. Pada tahun 1925, dibangun pusat penelitian yang khusus mempelajari
performa-performa ternak. Stasiun ini mulai membanding kan secara ilmiah bangsa-bangsa ternak.
Penelitian-penelitian yang dilakukan lebih mengarah ke uji performa dan seleksi keunggulan
genetik dibandingkan dengan manajemen. Hasil-hasil penelitian menunjukkan keunggulan hybrid
vigor dan hasil cross breeding dibandingkan bangsa ternak murni. Rekomendasi-rekomendasi
hasil penelitian persilangan di stasiun ini banyak diikuti para peternak bangsa murni di seluruh
dunia. Upaya persilangan ini masih dipraktikkan sampai dekade sekarang untuk meningkatkan
performa ternak pada setiap negara.
Berkembangnya genetika kuantitatif sekitar tahun 1925, merupakan dasar dari teori seleksi,
persilangan dan evaluasi genetik pada ternak, kemudian dipopulerkan oleh Falconer sebagai alat
dalam perbaikan mutu genetik ternak di berbagai industri perbibitan. Sejak tahun 1925,
perusahaan-perusahaan perbibitan mulai terbentuk dan membawa kearah kemajuan genetik
ternak. Sebagai contoh bobot sapih dan bobot setahun sapi potong pada era tahun 1900-an naik
masing-masing 35% dan 25% dibandingkan 70 tahun lalu. Perubahan nyata juga terjadi pada
ayam pedaging dan petelur. Pada ayam pedaging misalnya, pada tahun 1950 untuk mendapatkan
bobot badan 1,8 kg diperlukan waktu pelihara 84 hari, sedangkan pada era tahun 2000-an hanya
28 hari. Pada ayam petelur juga mengalami peningkatan mutu bibit yang luar biasa, karena
produksi telur naik 8% dari tahun 1925 sampai 1950.
Setelah tahun 1960, ilmu pemuliaan ternak mengalami perkembangan pesat dengan
ditemukannya Struktur DNA oleh Watson dan Crick pada tahun 1953. DNA merupakan materi
genetik pembawa sifat keturunan penting dan bisa digunakan sebagai penciri karakteristik spesifik
pada mahluk hidup. Penemuan DNA telah banyak membawa perkembangan mutu genetik yang
spesifik, terutama untuk sifat-sifat yang sulit diukur. Perkembangan selanjutnya, teknologi DNA
menjanjikan bisa membawa perbaikan mutu genetik ternak melalui teknologi manipulasi DNA dan
penciri yang sangat membantu program seleksi.
Pada akhir tahun 1970, Henderson mengembangkan teori pendugaan nilai pemuliaan
dengan nama Best Linear Unbiased Prediction (BLUP). Metoda ini merupakan penyempurnaan
dari metoda-metoda terdahulu. Metoda ini sampai sekarang merupakan metoda standar untuk
evaluasi genetik dunia dan banyak dipakai untuk program evaluasi genetik dan industri perbibitan.
Pada tahun 1990, para peneliti pemuliaan berusaha menggabungkan teknik perbaikan mutu
genetik dengan cara genetika kuantitatif dan teknologi DNA. Teori-teori telah terbentuk tapi sampai
saat ini penggabungan kedua teknik ini masih sangat mahal dan belum efektif dan efisien dipakai

2
di industri perbibitan ternak. Teknologi DNA lebih banyak dipakai sebagai markah untuk
mengetahui karakteristik dan diversiti populasi.
Di Indonesia upaya pemuliaan ternak sebenarnya telah dilakukan mulai dari zaman
kerajaan. Adanya hubungan persahabatan dan dagang dengan kerajaan-kerajaan di India
disertakan juga dengan mendatangkan ternak. Pada zaman kolonial didatangkan beberapa jenis
ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing dari India untuk memperbaiki performa ternak lokal.
Sebagai contoh sapi Onggole, Hissar, kambing Jumnapari atau Ettawah dan lainnya. Persilangan
sapi Ongole dengan sapi Jawa dikenal dengan sapi Peranakan Ongole (PO) yang menjadi sapi
lokal Indonesia sampai saat ini, terutama di jawa. Ada juga sapi Sumba Ongole di pulau Sumba.
Pada zaman kolonial juga berlaku sapi sapi jantan yang kurang baik atau tidak baik jadi pejantan
dikastrasi. Kegiatan ini merupakan program seleksi khususnya bagi ternak jantan. Pada tahun
1970-an sampai sekarang pemerintah melakukan persilangan dengan sapi sapi bos Taurus seperti
Siemmental, Limusine, Hereford, brangus, FH, dan lainnya melalui program inseminasi buatan.
Program persilangan tersebut merupakan persilangan komersial yang hanya menghasilkan F1
untuk potong. Belum ada upaya untuk membentuk bangsa baru ternak.

1.2. Pemuliaan Ternak di Indonesia

Masa pemerintah kolonial Belanda


Sejarah perkembangan peternakan dan pemuliaan yang telah terjadi pada masa lampau
tidak banyak tercatat dalam sejarah sampai datangnya para pedagang dari Asia Tengah, India dan
negara lain yang secara berangsur membawa ternak dan cara beternak mereka dan kemudian
juga terjadi persilangan antara ternak pendatang dengan ternak asli. Suatu contoh adalah
masuknya sapi bos Indicus di Indonesia yang menghasilkan sapi-sapi berkelasa seperti sapi Aceh
dan sapi Madura sebagai hasil persilangan sapi bos Indicus dengan sapi asli yang tidak berkelasa
seperti sapi Jawa dan sapi Bali (Martojo, 1992).
Pada abad 18 yaitu sekitar tahun 1806 sampai 1812 pemerintah kolonial Belanda
memasukkan pejantan sapi Zebu ke daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur untuk disilangkan
dengan sapi lokal dengan tujuan untuk menghasilkan sapi silangan dengan postur tubuh lebih
besar dan lebih kuat untuk digunakan sebagai tenaga penarik, terutama untuk mengangkut hasil-
hasil perkebunan pada waktu itu.
Pada abad 19, tidak banyak upaya yang direncanakan pemerintah, namun lebih banyak
inisiatif dari pejabat pemerintah daerah untuk memikirkan pengembang an ternak sapi di
daerahnya masing-masing (Martojo, 1992). Upaya yang banyak dilakukan adalah pemasukan
pejantan maupun betina dan pelaksanaan seleksi dan kastrasi secara tegas dan konsekwen. Pada
tahun 1913, menurut laporan Merkens (1926) beberapa wilayah seperti Madura, Bali, dan Lombok
ditetapkan sebagai wilayah peternakan sapi bangsa murni, disertai pelaksanaan seleksi-kastrasi
dan melarang pemasukan bangsa sapi lain ke wilayah-wilayah tersebut, kemudian pada tahun
1914 pulau Sumba ditetapkan sebagai daerah pengembangan sapi Ongole murni (Martojo, 1992).
Pada tahun 1925, pemerintah penjajah mendatangkan sapi perah sebanyak 25.000 ekor. Kegiatan
pemuliaan yang dilaksanakan dari sapi-sapi tersebut adalah semua anak jantan diseleksi dan sapi

3
jantan terseleksi harus dijual kepada pemerintah penjajah pada waktu itu dengan harga yang
sudah ditetapkan. Peraturan yang sangat terkait dengan upaya pemuliaan ternak dibuat pada
tahun 1938 – 1941 tentang seleksi dan kastrasi. Isinya adalah semua sapi jantan berumur paling
tidak I2 harus diperiksa dan diseleksi untuk menentukan apakah tergolong sapi bibit bermutu baik
atau tidak. Sapi jantan yang tergolong dapat dijadikan bibit bermutu baik dicap bakar dan tidak
boleh dipotong, sedangkan yang tidak terseleksi harus dikastrasi agar tidak bisa jadi pemacek.

Masa Awal Kemerdekaan dan Orde Baru


Pada awal masa kemerdekaan pemerintah belum dapat berbuat banyak terhadap
peternakan khususnya yang terkait dengan program pemuliaan ternak karena situasi politik pada
waktu yang memprioritaskan pengakuan internasional terhadap kemerdekaan Indonesia. Kegiatan
peternakan hanya meneruskan kebijakan lama, pemerintah saat itu mulai membangun Balai
Penelitian Peternakan, dan fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan untuk mendukung sisi
ilmiah pembangunan peternakan ke depan.
Pembangunan peternakan dirancang bertahap oleh pemerintah Orde Baru mulai tahun 1969
melalui Rencana Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang dirancang bertahap mulai PELITA I
(tahun 1969 – 1973) sampai PELITA V (tahun 1990 – 1994). Kebijakan pemerintah di bidang
pemuliaan ternak selama PELITA I adalah dikenal dengan panca usaha peternakan melalui
program BIMAS peternakan yakni pengadaan bibit unggul secara serempak dengan upaya lain
seperti pengamanan ternak, pengendalian penyakit, perbaikan pakan ternak, dan penyediaan
modal. PELITA II sampai V merupakan lanjutan dari PELITA I dengan berbagai modifikasi dan
prioritas pada masing-masing tahapan PELITA. Sebagai contoh pada PELITA II ditekankan pada
peningkatan populasi ternak, PELITA III adalah peningkatan populasi ternak dan perbaikan mutu
genetik melalui penyebaran bibit ternak dan inseminasi buatan. PELITA IV dirumuskan dalam
Panca Dharma pembagunan peternakan, tentang (1) peningkatan pendapatan dan pemerataan
kesempatan kerja/berusaha melalui peningkatan produksi ternak dan hasil ternak, (2)
meningkatkan populasi dan produksi ternak untuk mencukupi kebutuhan dalam negeri dan ekspor,
serta mengurangi impor menuju swasembada protein hewani; (3) mencukupi tenaga kerja untuk
ekstensifikasi dan intensifikasi pertanian, termasuk pengembangan daerah transimigrasi; (4)
meningkatkan jumlah dan produktivitas ternak asli tanpa mengabaikan usaha untuk
mempertahankan kelestarian dan kemurnian bangsa ternak asli secara selektif; dan (5)
mengembangkan daya dukung wilayah secara terpadu dengan subsektor lain, khususnya dalam
meningkatkan jumlah dan mutu hijauan makanan ternak serta memperbaiki sumberdaya alam dan
lingkungan hidup. PELITA V merupakan penyempurnaan dari sebelumnya dengan tujuan sama
seperti PELITA IV guna menciptakan sektor peternakan yang tangguh menuju lepas landas
PELITA VI.
Selama tahapan PELITA tersebut populasi ternak dan produksi ternak naik terus, sebagai
contoh ayam potong tahun 1984 sebanyak 110.580 ekor naik menajdi 227.044 ekor pada tahun
1988 dengan persentase kenaikan 21%, sapi potong naik 1,2%, sapi perah naik 5,9%, kerbau naik

4
3,3%, ayam petelur naik 6%. Sementara produksi daging naik 5,2%, telur naik 4,9%, dan susu naik
9,6%, begitu juga dengan produk-produk ikutan lainnya seperti kulit (Anon., 1991).

1.3. Pengertian Bibit dan Perbibitan Ternak


Di masyarakat ada dua pengertian yang seringkali menjadi rancu dan kadangkala disamakan
yakni pengertian ternak bibit dan bibit ternak. Pengertian ternak bibit adalah ternak yang memenuhi
persyaratan tertentu dan dibudidayakan untuk bereproduksi yang dihasilkan melalui proses seleksi
dan persilangan yang terencana. Ternak bibit harus dihasilkan dari proses seleksi baik jantan
maupun betina dengan kriteria yang telah ditetapkan pada masing-masing bangsa, tipe, jenis
kelamin, rumpun, dan ketentuan lain. Pengertian bibit ternak adalah ternak muda yang dipelihara
untuk menjadi ternak potong baik jantan maupun betina.
Pengertian perbibitan adalah suatu sistem yang meliputi pemuliaan, perbanyakan,
pembudidayaan, peredaran, pengawasan penyakit, pengawasan mutu, pengembangan usaha dan
kelembagaan. Pembibitan adalah kegiatan budidaya untuk menghasilkan bibit ternak untuk
keperluan sendiri atau untuk diperjual belikan. Pembibit adalah orang atau kelompok atau suatu
badan yang melakukan aktivitas yang terkait dengan perbibitan.
Berikut diuraikan beberapa istilah lainnya terkait dengan perbibitan. Standar bibit adalah
spesifikasi teknis atau sesuatu yang dibakukan, disusun berdasarkan konsensus semua pihak
yang terkait dengan memperhatikan syarat-syarat kesehatan, keselamatan, perkembangan ilmu
pengetahuan dan tegnologi, serta pengalaman, perkembangan masa kini dan masa yang akan
datang untuk memperoleh manfaat sebesar-besamya. Sertifikasi bibit adalah proses pemberian
sertifikat bibit setelah melalui pemeriksaan, pengujian dan pengawasan serta memenuhi semua
persyarat-an untuk diedarkan. Kawasan sumber bibit ternak adalah suatu wilayah yang
mempunyai kemampuan dalam pengembangan bibit ternak dari spesies atau rumpun tertentu baik
mumi atau persilangan secara terkonsentrasi sesuai dengan agro ekosistem, pasar serta
dukungan sarana dan prasarana yang tersedia. Plasma nutfah (germ plasm), merupakan sumber
sifat keturunan (genetik) yang dapat dimanfaatkan untuk tujuan pemuliaan ternak, penelitian dan
pelestarian. Dapat berupa mani (semen), sel telur (ovum), mudgah (embrio) atau ternak.
Pemuliaan ternak adalah rangkaian kegiatan untuk merubah prekuensi gen/genotipe pada
sekelompok ternak dari suatu rumpun atau galur guna mencapai tujuan tertentu. Persilangan
adalah perkawinan antara ternak/hewan jantan dengan betina yang tidak memiliki hubungan
keluarga atau kerabat. Seleksi adalah suatu kegiatan yang dilakukan untuk memilih ternak-ternak
jantan ataupun betina yang baik berdasarkan kriteria standar dan tujuan tertentu, dengan
menggunakan metode atau teknologi tertentu, untuk dibiarkan bereproduksi dan memilih ternak-
ternak baik jantan dan betina yang kurang baik untuk disingkirkan. Silsilah adalah catatan
mengenai asal-usul keturunan ternak yang meliputi nama, nomor dan performa dari ternak dan
tetua penurunnya. Penangkar adalah orang yang melakukan kegiatan usaha perbanyakan bibit
dan atau pembibitan ternak.

5
Daftar Pustaka
Anon., 2006. Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practice). Departemen
Pertanian, Direktorat Jendral Peternakan, Direktorat Pembibitan. Jakarta.
Elseth GD and KD Baumgardner, 1984. Genetics. Addison-Wesley Publishing Company.
Massachusetts, Menlo Park California, London, Amsterdam, Don Mills Ontario, Sydney.
Hardjosubroto W, 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Penerbit PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Martojo H, 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Warwick EJ, JM Astuti, dan W Hardjosubroto, 1984. Pemuliaan ternak. Penerbit Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai