1
gene pool di Amerika, Asia, Afrika dan Australia akibat ternak-ternak yang dibawa oleh
ekspansionis dari Eropa.
Gregor Mendel pada tahun 1850-an merintis teori dasar penurunan sifat yang berperan
penting dalam pengembangan ilmu Genetika. Kajiannya memberi alasan penurunan sifat dari tetua
kepada zuriatnya, sehingga berdampak sangat luas pada ilmu pemuliaan sampai sekarang,
sedangan Robert Bakewell lebih mengarah ke pengembangan praktis performa ternak dengan
tidak mempelajari alasan penurunan sifatnya,
Pada tahun 1900, Amerika banyak mendatangkan bangsa-bangsa ternak, kemudian
dipelajari karakteristiknya. Pada tahun 1925, dibangun pusat penelitian yang khusus mempelajari
performa-performa ternak. Stasiun ini mulai membanding kan secara ilmiah bangsa-bangsa ternak.
Penelitian-penelitian yang dilakukan lebih mengarah ke uji performa dan seleksi keunggulan
genetik dibandingkan dengan manajemen. Hasil-hasil penelitian menunjukkan keunggulan hybrid
vigor dan hasil cross breeding dibandingkan bangsa ternak murni. Rekomendasi-rekomendasi
hasil penelitian persilangan di stasiun ini banyak diikuti para peternak bangsa murni di seluruh
dunia. Upaya persilangan ini masih dipraktikkan sampai dekade sekarang untuk meningkatkan
performa ternak pada setiap negara.
Berkembangnya genetika kuantitatif sekitar tahun 1925, merupakan dasar dari teori seleksi,
persilangan dan evaluasi genetik pada ternak, kemudian dipopulerkan oleh Falconer sebagai alat
dalam perbaikan mutu genetik ternak di berbagai industri perbibitan. Sejak tahun 1925,
perusahaan-perusahaan perbibitan mulai terbentuk dan membawa kearah kemajuan genetik
ternak. Sebagai contoh bobot sapih dan bobot setahun sapi potong pada era tahun 1900-an naik
masing-masing 35% dan 25% dibandingkan 70 tahun lalu. Perubahan nyata juga terjadi pada
ayam pedaging dan petelur. Pada ayam pedaging misalnya, pada tahun 1950 untuk mendapatkan
bobot badan 1,8 kg diperlukan waktu pelihara 84 hari, sedangkan pada era tahun 2000-an hanya
28 hari. Pada ayam petelur juga mengalami peningkatan mutu bibit yang luar biasa, karena
produksi telur naik 8% dari tahun 1925 sampai 1950.
Setelah tahun 1960, ilmu pemuliaan ternak mengalami perkembangan pesat dengan
ditemukannya Struktur DNA oleh Watson dan Crick pada tahun 1953. DNA merupakan materi
genetik pembawa sifat keturunan penting dan bisa digunakan sebagai penciri karakteristik spesifik
pada mahluk hidup. Penemuan DNA telah banyak membawa perkembangan mutu genetik yang
spesifik, terutama untuk sifat-sifat yang sulit diukur. Perkembangan selanjutnya, teknologi DNA
menjanjikan bisa membawa perbaikan mutu genetik ternak melalui teknologi manipulasi DNA dan
penciri yang sangat membantu program seleksi.
Pada akhir tahun 1970, Henderson mengembangkan teori pendugaan nilai pemuliaan
dengan nama Best Linear Unbiased Prediction (BLUP). Metoda ini merupakan penyempurnaan
dari metoda-metoda terdahulu. Metoda ini sampai sekarang merupakan metoda standar untuk
evaluasi genetik dunia dan banyak dipakai untuk program evaluasi genetik dan industri perbibitan.
Pada tahun 1990, para peneliti pemuliaan berusaha menggabungkan teknik perbaikan mutu
genetik dengan cara genetika kuantitatif dan teknologi DNA. Teori-teori telah terbentuk tapi sampai
saat ini penggabungan kedua teknik ini masih sangat mahal dan belum efektif dan efisien dipakai
2
di industri perbibitan ternak. Teknologi DNA lebih banyak dipakai sebagai markah untuk
mengetahui karakteristik dan diversiti populasi.
Di Indonesia upaya pemuliaan ternak sebenarnya telah dilakukan mulai dari zaman
kerajaan. Adanya hubungan persahabatan dan dagang dengan kerajaan-kerajaan di India
disertakan juga dengan mendatangkan ternak. Pada zaman kolonial didatangkan beberapa jenis
ternak seperti sapi, kerbau, dan kambing dari India untuk memperbaiki performa ternak lokal.
Sebagai contoh sapi Onggole, Hissar, kambing Jumnapari atau Ettawah dan lainnya. Persilangan
sapi Ongole dengan sapi Jawa dikenal dengan sapi Peranakan Ongole (PO) yang menjadi sapi
lokal Indonesia sampai saat ini, terutama di jawa. Ada juga sapi Sumba Ongole di pulau Sumba.
Pada zaman kolonial juga berlaku sapi sapi jantan yang kurang baik atau tidak baik jadi pejantan
dikastrasi. Kegiatan ini merupakan program seleksi khususnya bagi ternak jantan. Pada tahun
1970-an sampai sekarang pemerintah melakukan persilangan dengan sapi sapi bos Taurus seperti
Siemmental, Limusine, Hereford, brangus, FH, dan lainnya melalui program inseminasi buatan.
Program persilangan tersebut merupakan persilangan komersial yang hanya menghasilkan F1
untuk potong. Belum ada upaya untuk membentuk bangsa baru ternak.
3
jantan terseleksi harus dijual kepada pemerintah penjajah pada waktu itu dengan harga yang
sudah ditetapkan. Peraturan yang sangat terkait dengan upaya pemuliaan ternak dibuat pada
tahun 1938 – 1941 tentang seleksi dan kastrasi. Isinya adalah semua sapi jantan berumur paling
tidak I2 harus diperiksa dan diseleksi untuk menentukan apakah tergolong sapi bibit bermutu baik
atau tidak. Sapi jantan yang tergolong dapat dijadikan bibit bermutu baik dicap bakar dan tidak
boleh dipotong, sedangkan yang tidak terseleksi harus dikastrasi agar tidak bisa jadi pemacek.
4
3,3%, ayam petelur naik 6%. Sementara produksi daging naik 5,2%, telur naik 4,9%, dan susu naik
9,6%, begitu juga dengan produk-produk ikutan lainnya seperti kulit (Anon., 1991).
5
Daftar Pustaka
Anon., 2006. Pedoman Pembibitan Sapi Potong yang Baik (Good Breeding Practice). Departemen
Pertanian, Direktorat Jendral Peternakan, Direktorat Pembibitan. Jakarta.
Elseth GD and KD Baumgardner, 1984. Genetics. Addison-Wesley Publishing Company.
Massachusetts, Menlo Park California, London, Amsterdam, Don Mills Ontario, Sydney.
Hardjosubroto W, 1994. Aplikasi Pemuliabiakan Ternak di Lapangan. Penerbit PT Gramedia
Widiasarana Indonesia, Jakarta.
Martojo H, 1992. Peningkatan Mutu Genetik Ternak. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Direktorat Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Bioteknologi. Institut Pertanian Bogor,
Bogor.
Warwick EJ, JM Astuti, dan W Hardjosubroto, 1984. Pemuliaan ternak. Penerbit Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.