Anda di halaman 1dari 50

PRESENTASI KASUS

TB PARU PADA ANAK

Pembimbing: dr. Rosida Sihombing, Sp.A

Disusun oleh:
Nabila Maudy Salma
030.13.131

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH BUDHI ASIH
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER
UNIVERSITAS TRISAKTI
JAKARTA
2018
LEMBAR PENGESAHAN

Laporan Kasus dengan judul TB Paru Pada Anak


telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat menyelesaikan Kepaniteraan Klinik
Ilmu Kesehatan Anak
Periode 26 Maret 2018 – 02 Juni 2018

Jakarta, April 2018

Dr. Rosida Sihombing, SpA

2
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan atas segala nikmat yang selalu tercurah dan segala
keberkahan dan kemudahan yang selalu diberikan kepada penulis.

Dalam kesempatan ini pula penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada kedua
orang tua penulis, serta dokter pembimbing penyusunan referat dr. Rosida Sihombing, SpA
dan seluruh dokter bagian Ilmu Kesehatan Anak serta teman teman kepaniteraan klinik Ilmu
Kesehatan Anak yang telah membantu dan mendukung penulis dalam penyusunan laporan
kasus ini. Akhir kata, penulis memohon maaf atas segala kekurangan yang ada dalam
laporan kasus ini dan penulis menerima masukan positif apapun demi menjadikan laporan
kasus ini lebih baik lagi.

Jakarta, April 2018

Nabila Maudy

030.13.131

3
BAB I
PENDAHULUAN

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di negara maju maupun di


negara berkembang termasuk Indonesia, baik dari segi morbiditas maupun mortalitas. TB
merupakan penyebab kematian nomor 3 dari seluruh kelompok usia dan nomor 1 di antara
penyakit infeksi. Berbagai upaya penanggulangan TB secara nasional sudah lama
diupayakan, tetapi usaha tersebut belum menampakkan hasil yang memuaskan. Indonesia
menempati urutan ketiga di bawah Cina dan India sebagai negara yang paling banyak
penderita TB.(1)
Data TB anak di Indonesia menunjukkan proporsi kasus TB Anak di antara semua
kasus TB pada tahun 2010 adalah 9,4%, kemudian menjadi 8,5% pada tahun 2011 dan 8,2%
pada tahun 2012. Apabila dilihat data per provinsi, menunjukkan variasi proporsi dari 1,8%
sampai 15,9%. Hal ini menunjukan kualitas diagnosis TB anak masih sangat bervariasi pada
level provinsi. Kasus TB Anak dikelompokkan dalam kelompok umur 0-4 tahun dan 5-14
tahun, dengan jumlah kasus pada kelompok umur 5-14 tahun yang lebih tinggi dari
kelompok umur 0-4 tahun. Kasus BTA positif pada TB anak tahun 2010 adalah 5,4% dari
semua kasus TB anak, sedangkan tahun 2011 naik menjadi 6,3% dan tahun 2012 menjadi
6%.(2)
Penularan TB biasanya melalui droplet infection. Karena infeksi secara inhalasi,
maka hanya droplet nuklei yang kecil saja (1-5 mikron) yang dapat melalui dan menembus
sistem mukosilier saluran napas untuk mencapai bronkiolus dan alveolus. Basil TB
berkembang biak dan menyebar melalui saluran limfe dan aliran darah. keadaan tertentu
(balita dan usia pubertas, daya tahan tubuh menurun), kemungkinan menjadi sakit lebih
besar.
Salah satu kendala keberhasilan program pemberantasan TB adalah karena sulitnya
menentukan diagnosis TB pada anak, sehingga terdapat banyak under dan overdiagnosed
serta under dan overtreatment.(3)

4
BAB II

LAPORAN KASUS

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI
RS PENDIDIKAN : RSUD BUDHI ASIH
STATUS PASIEN KASUS

Nama Mahasiswa :Nabila Maudy Pembimbing :dr. Rosida S, SpA


NIM :030.13.131 Tanda tangan:

KASUS I
IDENTITAS PASIEN
Nama : An. N Jenis Kelamin : Laki - Laki
Umur : 17 Tahun 10 Bulan Suku Bangsa : Betawi
Tempat / tanggal lahir : Jakarta, 14/04/2016 Agama : Islam
Alamat : Jl. Prumpung Barat No.23,
Jakarta Timur
ORANG TUA / WALI
Ayah: Ibu :
Nama : Tn. J Nama: Ny. E
Umur : 42 tahun Umur : 39 tahun
Alamat : Jl. Prumpung Barat No.23, Alamat : Jl. Prumpung Barat No.23,
Jakarta Timur Jakarta Timur
Pekerjaan : Supir Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Penghasilan: 1.500.000 Penghasilan: -
Pendidikan : SMA Pendidikan : SMA
Suku Bangsa : Betawi Suku Bangsa : Betawi
Agama : Islam Agama : Islam

Hubungan dengan orang tua : pasien merupakan anak kandung

5
I. ANAMNESIS
Dilakukan secara alloanamnesis dengan Ny. E (Ibu Pasien)
Lokasi : Bangsal lantai VI Dahlia Timur
Tanggal / waktu : 09 April 2018 pukul 14.00
Tanggal masuk : 09 April 2018 pukul 12:00
Keluhan utama : Batuk berdahak disertai darah sejak 1 hari SMRS

Keluhan tambahan : - Demam


- Keringat malam

a. Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang ke UGD RS Budhi Asih dengan keluhan batuk berdahak
disertai dengan darah sejak 1 hari SMRS. Batuk berdahak disertai darah dirasa
semakin lama semakin memberat dan semakin bertambah. Batuk dengan darah segar,
sebanyak kurang lebih 1/4 gelas aqua. Sejak 5 hari SMRS pasien mengalami batuk
berdahak namun belum disertai dengan darah. Batuk tidak disertai dengan sesak.
Ibu pasien mengatakan bahwa pasien mengalamai demam sumer - sumer
sejak kurang lebih 1 bulan SMRS. Namun, tidak sampai mengganggu aktivitas,
pasien merasa demam kadang hilang lalu timbul sehingga pasien hanya meminum
obat penurun panas dan tidak pergi berobat. Pasien juga sering berkeringat malam
sampai harus mengganti baju lebih dari 2 kali dalam semalam.
Ibu pasien mengatakan bahwa tetangga dekat rumah pasien ada yang
mengalami penyakit TBC dan sedang dalam pengobatan. Tetangga pasien berusia 35
tahun.
Keluhan bengkak pada leher, nafsu makan menurun, berat badan menurun
disangkal. Pasien selama ini masih melakukan aktivitas sehari - hari nya seperti biasa
tidak ada keterbatasan pada aktivitasnya. Namun, ketika pasien mengalami batuk
berdahak yang disertai dengan darah ibu pasien langsung membawanya ke RS.
Selain itu pasien mengalami BAB disertai dengan darah yang menetes setelah
buang air besar. Darah yang menetas adalah darah segar. Pasien memang memiliki
riwayat sulit buang air besar dan jarang mengkonsumsi sayur serta buah - buahan.
Buang air kecil tidak ada kelainan.

6
Riwayat Penyakit yang pernah diderita
Penyakit Umur Penyakit Umur Penyakit Umur
Alergi (-) Difteria (-) Penyakit ginjal (-)
Penyakit
Cacingan (-) Diare (-) (-)
jantung
Kejang
DBD (-) (-) Radang paru (-)
Demam
Otitis (-) Morbili (-) TBC (-)
Parotitis (-) Operasi (-) Lain-lain (-)

Kesimpulan riwayat penyakit yang pernah diderita: Pasien tidak pernah memiliki
riwayat penyakit yang pernah diderita sebelumnya.
b. Riwayat Kehamilan / Kelahiran

Morbiditas Kehamilan Cukup Bulan


KEHAMILAN kehamilan
Perawatan antenatal Trimeseter : 1x/bulan
Trimester : 1x/bulan
Trimester : 2x tiap bulan
Tempat persalinan Rumah Bersalin
Penolong persalinan Bidan
Spontan
Cara persalinan
KELAHIRAN
Masa gestasi Cukup Bulan
Berat lahir : 3100 gram
Keadaan bayi Panjang lahir : 51 cm
Lingkar kepala : tidak tahu

7
Langsung menangis (+)
Merah (+)
Pucat (-)
Biru (-)
Kuning (-)
Nilai APGAR : tidak tahu
Kelainan bawaan : tidak ada

Kesimpulan riwayat kehamilan/kelahiran: Pasien lahir cukup bulan dari ibu yang
melahirkan secara spontan
Riwayat Perkembangan
Pertumbuhan gigi I : 7 bulan (Normal: 5-9 bulan)

Gangguan perkembangan mental : Tidak ada


Psikomotor
Tengkurap : Umur 4 bulan (Normal: 3-6 bulan)
Duduk : Umur 6 bulan (Normal: 6-9 bulan)
Berdiri : Umur 9 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Berjalan : Umur 13 bulan (Normal: 13 bulan)
Bicara : Umur 12 bulan (Normal: 9-12 bulan)
Kesimpulan riwayat pertumbuhan dan perkembangan : Sesuai dengan usia, tidak
didapatkan keterlambatan dalam perkembangan.

c. Riwayat Makanan
Umur
ASI/PASI Buah / Biskuit Bubur Susu Nasi Tim
(bulan)
0–2 ASI - - -
2–4 ASI - - -
4–6 ASI - - -
6–8 ASI + + -
8 – 10 ASI + + +
10 -12 ASI + + +

8
Jenis Makanan Frekuensi dan Jumlah

Nasi / Pengganti Nasi 3x/hari, sekali makan 1 piring

Sayur 1x / hari

Daging 2x/minggu

Telur 4x/minggu

Ikan 3x/hari

Tahu 2x/ hari

Tempe 2x/ hari

Susu (merk / takaran) Susu Ultra Milk 1x /hari

Lain – lain -

Kesan: Pasien mendapatkan ASI ekslusif, kuantitas dan kualitas makanan kurang
baik, pasien jarang mengkonsumsi sayur - sayuran.

d. Riwayat Imunisasi
Vaksin Dasar ( umur ) Ulangan ( umur )
BCG 2 bulan
DPT / PT 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Polio 2 bulan 4 bulan 6 bulan
Campak 9 bulan
Hepatitis B 0 bulan 1 bulan 6 bulan
Kesimpulan riwayat imunisasi : Imunisasi dasar pasien lengkap sesuai usia

9
e. Riwayat Keluarga
Corak Reproduksi
Tanggal lahir Jenis Lahir Mati Keterangan
No Hidup Abortus
(umur) kelamin mati (sebab) kesehatan
1 17 Tahun 10 bulan Laki - laki + - - Pasien

2 16 Tahun Laki - laki + - - Sehat

3 10 Tahun Laki - laki + - - Sehat

Riwayat Pernikahan
Ayah / Wali Ibu / Wali
Nama Tn. J Ny. E
Perkawinan ke- 1 1
Umur saat menikah 26 29
Pendidikan terakhir SMA SMA
Agama Islam Islam
Suku bangsa Betawi, Indonesia Betawi, Indonesia
Keadaan kesehatan Sehat Sehat
Kosanguinitas Tidak ada Tidak ada
Penyakit, bila ada Tidak ada Tidak ada

Riwayat Penyakit Keluarga


Pasien merupakan anak pertama dari 3 bersaudara dan adik pasien berumur 16 tahun
dan 10 tahun.
Riwayat Kebiasaan: Keluarga pasien yang tinggal serumah tidak ada yang merokok,
suka meminum alkohol atau mengkonsumsi obat-obatan terlarang.
Kesimpulan riwayat keluarga: Dari keluarga pasien, tidak ada yang mengalami hal
yang sama seperti pasien.

f. Riwayat Lingkungan Perumahan


Pasien tinggal bersama dengan ayah, ibu pasien dan adik pasien. Rumah pasien
berada di wilayah padat penduduk, merupakan rumah pribadi, satu lantai, beratap
genteng, berlantai ubin, dan berdinding tembok. Kamar tidur berjumlah 3, kamar

10
mandi berjumlah 1, terdapat dapur, ruang makan, ruang tamu, serta teras yang
berjumlah 1 di depan rumah.Ventilasi dan pencahayaan baik. Namun pada kamar
tidur pasien ventilasi dan pencahayaan sangat kurang. Sumber air bersih dari sumur.
Peralatan makan dicuci menggunakan air biasa, tidak selalu direndam di air
mendidihSampah dibuang ke tempat sampah dan setiap hari dikumpulkan di tempat
sampah depan rumah. Bak mandi tidak dikuras setiap minggu, tidak ada kolam ikan
di sekitar rumah, terdapat penumpukan barang bekas di sekitar rumah pasien, tidak
banyak nyamuk di dalam rumah.

Kesimpulan keadaan lingkungan: Lingkungan perumahan cukup baik, dan disertai


dengan kawasan padat penduduk.

g. Riwayat Sosial dan Ekonomi


Ibu pasien sehari-hari bekerja sebagai karyawan swasta dengan gaji 1.500.000.
Sedangkan Ayah pasien bekerja sebagai seorang supir dengan gaji 1.500.000.
Menurut Ibu pasien mengatakan pengashilan tersebut cukup untk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.
Kesimpulan sosial ekonomi: Pasien berasal dari keluarga dengan taraf sosial
ekonomi menengah ke bawah dan penghasilan keluarga cukup.

11
II. PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik pada pasien dilakukan di bangsal lantai 6 Dahlia Timur, pada tanggal
09 April 2018 Pukul 15.00

A. Status Generalis
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Kesan Gizi : Gizi lebih
Keadaan lain : Anemis (-), ikterik (-), sianosis (-), dyspnoe (-)
Data Antropometri
Berat Badan sekarang : 65 kg
Tingi Badan : 167 cm
Status Gizi
- BB / U = 65/65 x 100% = 100% (P25 - P50 berdasarkan kurva CDC)
- TB / U = 167/176 x 100% = 95% (P5 - P10 berdasarkan kurva CDC)
- BB / TB = 65/55 x 100% = 118%
Didapatkan Gizi lebih berdasarkan Kurva CDC

Tanda Vital

Tekanan Darah : 120/80 mmHg


Nadi : 90x/ menit, reguler, kuat, isi cukup, equal kanan dan kiri
Nafas : 20x / menit, tipe abdomino-torakal, regular, dalam
Suhu : 37,6°C (diukur dengan thermometer raksa di axilla)

Status Generalis
KEPALA : Normocephali, tidak terdapat deformitas, hematoma (-)
RAMBUT : Rambut hitam, distribusi merata dan tidak mudah dicabut, tebal
WAJAH : Wajah simetris, pembengkakan (-), luka (-), jaringan parut (-)
MATA :Alis mata merata, Bulu mata hitam, merata, konjungtiva
anemis (-/-) , sklera ikterik (-/-), RCL (+/+), RCTL (+/+)

12
Visus : Kesan baik

Ptosis : Tidak terdapat ptosis baik pada mata kanan


maupun mata kiri
Lagofthalmus : Tidak terdapat lagofthalmus baik pada mata kanan
maupun mata kiri
Cekung : Tidak terdapat mata cekung baik pada mata kanan
maupun mata kiri
Exophthalmus : Tidak terdapat exophtalmus baik pada mata kanan
maupun mata kiri
Kornea jernih : Kornea tampak jernih pada mata kanan dan mata
kiri
Lensa jernih : Lensa tampak jernih pada mata kanan dan mata
kiri
Strabismus : Tidak terdapat strabismus baik pada mata kanan
maupun mata kiri
Pupil : Pupil tampak bulat pada mata kanan dan kiri
TELINGA :
Bentuk : normotia
Tuli : Tidak terdapat kesan tuli pada kuping kanan dan
kiri
Nyeri tarik aurikula : tidak terdapat nyeri tekan aurikula pada kuping
kanan dan kiri
Nyeri tekan tragus : tidak terdapat nyeri tekan tragus pada telinga
kanan dan kiri
Liang telinga : Sulit dinilai
Membran timpani : Sulit dinilai
Serumen : Sulit dinilai
Refleks cahaya : Sulit dinilai

HIDUNG :
Bentuk : Simetris
Napas cuping hidung : Tidak terdapat napas cuping hidung
Sekret : Tidak terdapat sekret

13
Deviasi septum : Tidak terdapat deviasi septum
Mukosa hiperemis : Tidak terdapat mukosa hiperemis
Konka eutrofi : Sulit dinilai

BIBIR : Mukosa berwarna merah muda, kering (-), sianosis (-),


pucat (-)
MULUT : Tidak terdapat trismus, oral hygiene baik, mukosa gusi dan pipi
berwarna merah muda
LIDAH : Normoglosia, tidak terdapat atrofi papil, tidak terdapat
coated tongue
TENGGOROKAN: Arkus faring simetris, tidak hiperemis, uvula ditengah, tonsil T1-T1
tidak hiperemis, kripta tidak melebar
LEHER : Bentuk tidak tampak kelainan, tidak tampak pembesaran tiroid
maupun KGB, tidak tampak deviasi trakea, tidak teraba pembesaran
tiroid maupun KGB, trakea teraba di tengah
THORAKS : Simetris saat inspirasi dan ekspirasi, deformitas tidak ada, retraksi
tidak ada.
JANTUNG
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak.
Palpasi : Ictus cordis teraba pada ICS V linea midklavikularis sinistra.
Perkusi : Batas kiri jantung : ICS VI linea midklavikularis sinistra.
Batas kanan jantung : ICS III – V linea sternalis dextra.
Batas atas jantung : ICS III linea parasternalis sinistra.
Auskultasi : BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

PARU
Inspeksi
- Bentuk thoraks simetris pada saat statis dan dinamis, tidak ada pernapasan yang
tertinggal, tipe pernapasan abdomino-torakal.
Palpasi
- Tidak ada nyeri tekan, tidak ada benjolan, gerak napas simetris kanan dan kiri,.
Perkusi
- Sonor di kedua lapang paru.

14
- Batas paru dan hepar di ICS VI linea midklavikularis dextra.
Auskultasi
- Suara napas vesikuler, reguler, tidak terdapat rhonki atau wheezing
ABDOMEN :
 Inspeksi : Perut datar, tidak dijumpai adaya efloresensi pada kulit perut maupun
benjolan seperti roseola spot, kulit keriput, gerakan peristaltik, ruam makulopapular.
 Palpasi : Supel, turgor kulit baik.
 Perkusi : Timpani di seluruh kuadran abdomen
 Auskultasi : Bising usus (+)

ANOGENITALIA : Anus tidak tampak merah.


KULIT : Sawo matang, Ikterik (-), turgor normal, kelembaban normal.
KGB :
Preaurikuler : tidak teraba membesar
Postaurikuler : tidak teraba membesar
Submandibula : tidak teraba membesar
Supraclavicula : tidak teraba membesar
Axilla : tidak teraba membesar
Inguinal : tidak teraba membesar
ANGGOTA GERAK :

Ekstremitas : Akral hangat pada keempat ekstremitas, tidak ada edema


CRT < 2 detik, anemis (-), sianosis (-), ikterik (-)

Tangan Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis N N
Refleks patologis - -
Edema - -

Kaki Kanan Kiri


Tonus otot Normotonus Normotonus
Sendi Aktif Aktif
Refleks fisiologis + +

15
Refleks patologis - -
Edema - -

Tanda rangsang meningeal : (-)


TULANG BELAKANG : Bentuk normal, tidak terdapat deviasi, tidak benjolan, tidak ada
ruam
NEUROLOGIS
Refleks Fisiologis Kanan Kiri

Biseps N N

Triceps N N

Patella N N

Achiles N N

Refleks Patologis Kanan Kiri


Babinski - -
Chaddock - -
Oppenheim - -
Gordon - -
Schaeffer - -

Rangsang meningeal
Kaku kuduk -
Kanan Kiri
Kerniq - -
Laseq - -
Bruzinski I - -
Bruzinski II - -

16
III. PEMERIKSAAN PENUNJANG

A. Laboratorium Darah
Jenis Pemeriksaan Hasil
HEMATOLOGI LENGKAP
Leukosit 8,970 /L
Hemoglobin 12,1 g/dL 
Hematokrit 39 %
Trombosit 584 ribu/L 
Eritrosit 5,74 juta/L
MCV 68 fL 
MCH 21 pg 
MCHC 31 g/dL 
RDW 15,6 g/dL 
LED 20 mm/jam 
 Basofil 1%
 Eosinofil 3%
 Neutrofil Batang 3%
 Neutrofil Segmen 68%
 Limfosit 20%
 Monosit 8%

17
B. Foto Thoraks PA

Deskripsi:
- CTR < 50%
- Tampak trakea berada di tengah
- Tampak bercak infiltrat pada lobus superior paru sinistra
- Corakan bronkovaskular baik
- Sela iga baik dan diafragma tidak mendatar
- Sudut kostofrenikus kanan dan kiri tajam

Kesan: Susp. TB Paru Sinistra DD Bronkopneumonia Sinistra

18
IV. RESUME
Pasien seorang anak laki - laki usia 17 tahun 10 bulan datang ke IGD RSUD
Budhi Asih dengan keluhan batuk berdahak disertai dengan darah sejak 1 hari SMRS.
Batuk dirasa semakin hari semakin memberat dan bertambah. Batuk dengan darah
segar, sebanyak kurang lebih 1/4 gelas aqua. Batuk disertai dengan demam sumer -
sumer sejak kurang lebih 1 bulan SMRS. Pasien juga sering mengalami keringat
malam. Ibu pasien mengatakan bahwa tetangga dekat rumah pasien ada yang
mengalami penyakit TBC dan sedang dalam pengobatan. Tetangga pasien berusia 35
tahun. Pasien belakangan ini juga mengalami buang air besar yang disertai dengan
darah menetes setelahnya. Pasien memang sulit untuk buang air besar dan jarang
mengkonsumsi sayur serta buah - buahan. Pasien memiliki kebiasaan berada
dikamarnya yang dimana kamar pasien pencahayaan dan ventilasi sangat kurang.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital suhu 37,6o C (Subfebris).
Pemeriksaan status generalisata lain tidak ada kelainan.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb 12,1 gr/dL,
Trombositosis, penurunan nilai indeks eritrosit dan LED memanjang. Pada
pemeriksaan foto thoraks didapatkan bercak infiltrat pada lobus superior sinistra.

Screening Skor TB Anak

Tabel 1. Hasil Skoring TB Anak


No. Parameter Skor

1 Riwayat Kontak 3

2 Uji Tuberkulin -

3 Berat Badan 0

4 Demam 1

5 Batuk 0

6 Pembesaran KGB 0

7 Pembengkakan sendi 0

8 Foto Thoraks PA 1

Skor Total 5

19
V. DIAGNOSIS KERJA
- Hemoptisis e.c Susp. TB Paru
- Hematochezia e. c Susp hemorrhoid interna
- Anemia mikrositik hipokrom
- Gizi lebih
VI. DIAGNOSIS BANDING
- Hemoptisis e.c Pneumonia
- Hemoptisis e.c Bronkiektasis
- Hemoptisis e.c Abses paru
VI. PEMERIKSAAN ANJURAN
- Sputum BTA
- Xpert MTB/RIF
- Fesces Rutin
VIII. PENATALAKSANAAN
Non-medikamentosa
1. Komunikasi, informasi, edukasi kepada orang tua pasien mengenai keadaan
pasien.
2. Pengobatan pasien direncakan selama 6 bulan dan akan dievaluasi pada akhir
pengobatan
3. Obat harus diminumkan secara rutin setiap pagi hari saat perut masih kosong dan
harus segera kontrol sebelum obat habis
4. Gaya hidup sehat
Medikamentosa
- IVFD KAEN 1B 3 cc/kgBB/jam
- Inj. Cefotaxime 3 x 1 gr
- Inj. gentamicin 2 x 120 mg
- Inj. Ranitidin 2 x 50 mg
- Vit K. 1 x 10 mg
- Ambroxol tab. 3 x 1
- Paracetamol 3 x 500 mg bila suhu 38oC

IX. PROGNOSIS
- Ad Vitam : Dubia ad Bonam
- Ad Sanationam : Dubia ad Bonam
- Ad Fungsionam : Dubia ad Bonam

20
Follow up
Tanggal S O A P

10/04/18 Batuk berdahak K/U TSS - Hemoptisis e.c - IVFD KAEN 1B


disertai dengan darah TD 120/80 Susp. TB Paru 3cc/kgbb/jam
Hari-1 (+), demam (-), HR 90x/m - Inj. Cefotaxime 3x1
Keringat malam (-), RR 20x/m - Hemorrhoid gr
Muntah (-). T 37.1oC interna grade I - Inj.Gentamicin
BAB disertai darah Saturasi 99% 2x120 mg
menetes (+). BAK - Anemia - Inj. Ranitidin 2x50
tidak ada kelainan Ka-/- SI -/-, mulut mikrositik mg
kering (-), bibir pucat hipokrom - Vit K. 1x10 mg
(-) - Ambroxol Tab. 3x1
- Gizi lebih
- Ardium Tab. 3x1
SNV +/+ Rh -/- Wh - - PCT 3x500 mg bila
/- suhu 38oC
BJ1&2 reg M(-) G(-) - Diet tinggi serat

Abd supel (+) BU


(+)turgor kembali
cepat,
hepatosplenomegali
(-)

Ekstremitas: hangat(-
), CRT <2 detik,
anemis (-), ikterik (-)

Rectal Tussae:
Tonus sfingter ani
baik, mukosa licin,
teraba massa,
konsistensi kenya d=
2cm, nyeri (-), darah
(-), lendir (-)

Feses Rutin
Makroskopik
Warna: hijau |
Konsistensi : lunak |
Lendir : Negatif |
Darah: negatif
Mikroskopik
Leukosit: negatif |
Eritrosit: positif |
Amoeba Coli:
Negatif Amoeba
histolitica: negatif |
Telur cacing:
negatif
Pencernaan
Lemak: Positif |
Amilum: Positif |
Serat: negatif | Sel
Ragi: negatif
Darah samar:

21
positif

11 / 04 / Batuk berdahak K/U TSS - Hemoptisis e.c - IVFD KAEN 1B


2018 disertai dengan darah TD 120/80 Susp. TB Paru 3cc/kgbb/jam
(+), demam (-), HR 94x/m - Inj. Cefotaxime 3x1
Hari-2 Keringat malam (-), RR 20x/m -Hemorrhoid gr
Muntah (-). T 36.8oC interna grade I - Inj.Gentamicin
BAB disertai darah Saturasi 99% 2x120 mg
menetes (+). BAK - Anemia - Inj. Ranitidin 2x50
tidak ada kelainan Ka-/- SI -/-, mulut mikrositik mg
kering (-), bibir pucat hipokrom - Vit K. 1x10 mg
(-) - Ambroxol Tab. 3x1
- Gizi lebih
- Ardium Tab. 3x1
SNV +/+ Rh -/- Wh - - PCT 3x500 mg bila
/- suhu 38oC
- Diet tinggi serat
BJ1&2 reg M(-) G(-)

Abd supel (+) BU


(+)turgor kembali
cepat,
hepatosplenomegali
(-)

Ekstremitas: hangat(-
), CRT <2 detik,
anemis (-), ikterik (-)

12 / 04 / Batuk berdahak K/U TSS - Hemoptisis e.c - Venflon


2018 disertai dengan darah TD 120/80 Susp. TB Paru - Inj. Cefotaxime 3x1
(+), demam (-), HR 94x/m gr
Hari-3 Keringat malam (-), RR 20x/m - Hemorrhoid - Inj.Gentamicin
Muntah (-). T 36.8oC interna 2x120 mg
BAB disertai darah Saturasi 99% - Inj. Ranitidin 2x50
muali berkurang. - Anemia mg
BAK tidak ada Ka-/- SI -/-, mulut mikrositik - Vit K. 1x10 mg
kelainan kering (-), bibir pucat hipokrom - Ambroxol Tab. 3x1
(-) - Ardium Tab. 3x1
- Gizi lebih
- PCT 3x500 mg bila
SNV +/+ Rh -/- Wh - suhu 38oC
/- - Diet tinggi serat
BJ1&2 reg M(-) G(-)

Abd supel (+) BU


(+)turgor kembali
cepat,hepatospleno-
megali (-)

Ekstremitas: hangat(-
), CRT <2 detik,
anemis (-), ikterik (-)

22
13/ 04 / Batuk berdahak K/U TSS -TB Paru - Venflon
2018 disertai dengan darah TD 110/70 - Inj. Cefotaxime 3x1
(+), demam (-), HR 82x/m - Hemorrhoid gr
Hari-4 Keringat malam (-), RR 20x/m interna grade I - Inj.Gentamicin
Muntah (-). T 36.5oC 2x120 mg
BAB dan BAK tidak Saturasi 98% - Anemia - Inj. Ranitidin 2x50
ada kelainan. mikrositik mg
Ka-/- SI -/-, mulut hipokrom - Vit K. 1x10 mg
kering (-), bibir pucat - Ambroxol Tab. 3x1
- Gizi lebih
(-) - Ardium Tab. 3x1
- PCT 3x500 mg bila
SNV +/+ Rh -/- Wh - suhu 38oC
/- - Diet tinggi serat
BJ1&2 reg M(-) G(-)
Obat untuk pulang:
Abd supel (+) BU
(+)turgor kembali - Rifampicin 1
cepat,hepatospleno- x 600 mg
megali (-)
- INH 1 x 300
Ekstremitas: hangat(- mg
), CRT <2 detik,
anemis (-), ikterik (-) - PZA 1 x
1500 mg
Xpert MTB-RIF
Assay G4  MTB - Etambutol 1
Detected, RIF x 1500 mg
Resistence Not
Detected - Sucralfat syr
3xCI
- Curcuma
Tab. 1x1

23
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Definisi
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. TB Anak adalah penyakit TB yang terjadi pada anak usia 0-14
tahun.(4)

3.2 Etiologi
Mikroorganisme penyebab tuberkulosis pada manusia adalah Mycobacterium
tuberculosis. Kuman Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri pleomorfik, batang
gram positif lemah dengan panjang 2 sampai 4 m. Mikrobakakteria bersifat tahan asam,
yaitu mampu membentuk kompleks mikolat yang stabil dengan pewarna arylmethane. Istilah
basil tahan asam digunakan sebagai nama lain mikobakteria. Mikobakteria tumbuh bersifat
lambat dan waktu yang dibutuhkan untuk menumbuhkan kuman ini di media sintesis
biasanya 3 sampai 6 minggu. Tes sensitivitas obat membutuhkan waktu tambahan 4 minggu.
Pertumbuhan kuman dapat terdeteksi dalam 1 hingga 3 minggu dalam media cair tertentu
menggunakan radiolabeled nutrients. Metode polymerase chain reaction (PCR) dari
spesimen klinis digunakan berbagai laboratorium untuk diagnosis cepat.(5)

3.3 Cara Penularan


Sumber penularan adalah pasien TB paru BTA positif, baik dewasa maupun anak.
Anak yang terkena TB tidak selalu menularkan pada orang di sekitarnya, kecuali anak
tersebut BTA positif atau menderita adult type TB.
Faktor risiko penularan TB pada anak tergantung dari tingkat penularan, lama
pajanan, daya tahan pada anak. Pasien TB dengan BTA positif memberikan kemungkinan
risiko penularan lebih besar daripada pasien TB dengan BTA negatif.
Pasien TB dengan BTA negatif masih memiliki kemungkinan menularkan penyakit
TB. Tingkat penularan pasien TB BTA positif adalah 65%, pasien TB BTA negatif dengan
hasil kultur positif adalah 26% sedangkan pasien TB dengan hasil kultur negatif dan foto
Toraks positif adalah 17%.(2)

24
3.4 Klasifikasi TB Pada Anak
Beberapa istilah dalam definisi kasus TB anak:
 Terduga pasien TB anak: setiap anak dengan gejala atau tanda mengarah ke TB Anak

 Pasien TB anak berdasarkan hasil konfirmasi bakteriologis: adalah pasien TB


anak yang hasil pemeriksaan sediaan biologinya positif dengan pemeriksaan
mikroskopis langsung atau biakan atau diagnostik cepat yang direkomendasi oleh
Kemenkes RI. Pasien TB paru BTA Positif masuk dalam kelompok ini.

 Pasien TB anak berdasarkan diagnosis klinis: pasien TB anak yang TB yang tidak
memenuhi kriteria bakteriologis dan mendapat pengobatan TB berdasarkan kelainan
radiologi dan histopatologi sesuai gambaran TB. Termasuk dalam kelompok pasien
ini adalah Pasien TB Paru BTA negatif,

 Riwayat pengobatan sebelumnya

a. Baru
Kasus TB anak yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau
sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan ( 28 dosis) dengan hasil
pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas, lokasi penyakit bisa paru atau
ekstra paru.
b.Pengobatanulang
Kasus TB Anak yang pernah mendapat pengobatan dengan OAT lebih dari 1
bulan ( 28 dosis) dengan hasil pemeriksaan bakteriologis sesuai definisi di atas,
lokasi penyakit bisa paru atau ekstra paru. Berdasarkan hasil pengobatan
sebelumnya, anak dapat diklasifikasikan sebagai kambuh, gagal atau pasien yang
diobati kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).(3)
• Berat dan ringannya penyakit
TB ringan: tidak berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB primer tanpa komplikasi, TB kulit, TB kelenjar dll

TB berat: TB pada anak yang berisiko menimbulkan kecacatan berat atau kematian,
misalnya TB meningitis, TB milier, TB tulang dan sendi, TB abdomen, termasuk TB
hepar, TB usu, TB paru BTA positif, TB resisten obat, TB HIV.(3,4)

25
3.5 Patogenesis
Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi TB. Kuman TB dalam
percik renik (droplet nuclei) yang ukurannya sangat kecil (<5 μm), akan terhirup dan dapat
mencapai alveolus. Pada sebagian kasus, kuman TB dapat dihancurkan seluruhnya oleh
mekanisme imunologis nonspesifik, sehingga tidak terjadi respons imunologis spesifik. Akan
tetapi, pada sebagian kasus lainnya, tidak seluruhnya dapat dihancurkan. Pada individu yang
tidak dapat menghancurkan seluruh kuman, makrofag alveolus akan memfagosit kuman TB
yang sebagian besar dihancurkan. Akan tetapi, sebagian kecil kuman TB yang tidak dapat
dihancurkan akan terus berkembang biak di dalam makrofag, dan akhirnya menyebabkan lisis
makrofag. Selanjutnya, kuman TB membentuk lesi di tempat tersebut, yang dinamakan fokus
primer Ghon.
Dari fokus primer Ghon, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju kelenjar
limfe regional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke lokasi fokus primer.
Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran limfe (limfangitis) dan di
kelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus primer terletak di lobus bawah atau
tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat adalah kelenjar limfe parahilus (perihiler),
sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru, yang akan terlibat adalah kelenjar
paratrakeal. Gabungan antara fokus primer, limfangitis, dan limfadenitis dinamakan
kompleks primer (primary complex).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya kompleks
primer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi. Hal ini berbeda dengan pengertian
masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman
hingga timbulnya gejala penyakit. Masa inkubasi TB bervariasi selama 2−12 minggu,
biasanya berlangsung selama 4−8 minggu. Selama masa inkubasi tersebut, kuman
berkembang biak hingga mencapai jumlah 103–104, yaitu jumlah yang cukup untuk
merangsang respons imunitas selular
Pada saat terbentuknya kompleks primer, TB primer dinyatakan telah terjadi. Setelah
terjadi kompleks primer, imunitas selular tubuh terhadap TB terbentuk, yang dapat diketahui
dengan adanya hipersensitivitas terhadap tuberkuloprotein, yaitu uji tuberkulin positif.
Selama masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif. Pada sebagian besar individu dengan
sistem imun yang berfungsi baik, pada saat sistem imun selular berkembang, proliferasi
kuman TB terhenti. Akan tetapi, sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup dalam
granuloma. Bila imunitas selular telah terbentuk, kuman TB baru yang masuk ke dalam

26
alveoli akan segera dimusnahkan oleh imunitas selular spesifik (cellular mediated immunity,
CMI).
Setelah imunitas selular terbentuk, fokus primer di jaringan paru biasanya akan
mengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi setelah terjadi
nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional juga akan mengalami fibrosis dan
enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya tidak sesempurna fokus primer di jaringan
paru. Kuman TB dapat tetap hidup dan menetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini,
tetapi tidak menimbulkan gejala sakit TB.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi akibat fokus di paru atau di
kelenjar limfe regional. Fokus primer di paru dapat membesar dan menyebabkan pneumonitis
atau pleuritis fokal. Jika terjadi nekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan
mencair dan keluar melalui bronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru
(kavitas).
Kelenjar limfe hilus atau paratrakeal yang mulanya berukuran normal pada awal
infeksi, akan membesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut, sehingga bronkus dapat
terganggu. Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal menimbulkan hiperinflasi
di segmen distal paru melalui mekanisme ventil (ball-valve mechanism). Obstruksi total dapat
menyebabkan atelektasis. Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis perkijuan dapat
merusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga menyebabkan TB endobronkial
atau membentuk fistula. Massa kiju dapat menimbulkan obstruksi komplit pada bronkus
sehingga menyebabkan gabungan pneumonitis dan atelektasis, yang sering disebut sebagai
lesi segmental kolaps-konsolidasi.
Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas selular, dapat terjadi
penyebaran limfogen dan hematogen. Pada penyebaran limfogen, kuman menyebar ke
kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer, atau berlanjut menyebar secara
limfohematogen. Dapat juga terjadi penyebaran hematogen langsung, yaitu kuman masuk ke
dalam sirkulasi darah dan menyebar ke seluruh tubuh. Adanya penyebaran hematogen inilah
yang menyebabkan TB disebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hematogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk penyebaran
hematogenik tersamar (occult hematogenic spread). Melalui cara ini, kuman TB menyebar
secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak menimbulkan gejala klinis. Kuman
TB kemudian akan mencapai berbagai organ di seluruh tubuh, bersarang di organ yang
mempunyai vaskularisasi baik, paling sering di apeks paru, limpa, dan kelenjar limfe
superfisialis. Selain itu, dapat juga bersarang di organ lain seperti otak, hati, tulang, ginjal,

27
dan lain-lain. Pada umumnya, kuman di sarang tersebut tetap hidup, tetapi tidak aktif
(tenang), demikian pula dengan proses patologiknya. Sarang di apeks paru disebut dengan
fokus Simon, yang di kemudian hari dapat mengalami reaktivasi dan terjadi TB apeks paru
saat dewasa.
Bentuk penyebaran hematogen yang lain adalah penyebaran hematogenik generalisata
akut (acute generalized hematogenic spread). Pada bentuk ini, sejumlah besar kuman TB
masuk dan beredar di dalam darah menuju ke seluruh tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
timbulnya manifestasi klinis penyakit TB secara akut, yang disebut TB diseminata.
Tuberkulosis diseminata ini timbul dalam waktu 2−6 bulan setelah terjadi infeksi. Timbulnya
penyakit bergantung pada jumlah dan virulensi kuman TB yang beredar serta frekuensi
berulangnya penyebaran. Tuberkulosis diseminata terjadi karena tidak adekuatnya sistem
imun pejamu (host) dalam mengatasi infeksi TB, misalnya pada anak bawah lima tahun
(balita) terutama di bawah dua tahun.
Bentuk penyebaran yang jarang terjadi adalah protracted hematogenic spread.
Bentuk penyebaran ini terjadi bila suatu fokus perkijuan di dinding vaskuler pecah dan
menyebar ke seluruh tubuh, sehingga sejumlah besar kuman TB akan masuk dan beredar di
dalam darah. Secara klinis, sakit TB akibat penyebaran tipe ini tidak dapat dibedakan dengan
acute generalized hematogenic spread.(4,5)

28
Gambar 1. Patogenesis Infeksi Tuberkulosis

*Catatan:

1. Penyebaran hematogen umumnya terjadi secara sporadik (occult


hematogenic spread). Kuman TB kemudian
membuat fokus koloni di berbagai organ dengan
vaskularisasi yang baik. Fokus ini berpotensi
mengalami reaktivasi di kemudian hari.
2. Kompleks primer terdiri dari fokus primer (1), limfangitis (2), dan
limfadenitis regional (3).

29
3. TB primer adalah kompleks primer dan komplikasinya.
4. TB pasca primer terjadi dengan mekanisme reaktivasi fokus lama TB
(endogen) atau reinfeksi (infeksi sekunder) oleh
kuman TB dari luar (eksogen), ini disebut TB tipe
dewasa (adult type TB)

3.6 Manifestasi Klinis


Tuberkulosis merupakan penyakit infeksi sistemik dan organ yang paling sering
terkena adalah paru. Gejala klinis penyakit ini dapat berupa gejala sistemik/umum atau sesuai
organ terkait. Perlu ditekankan bahwa gejala klinis TB pada anak tidak khas, karena gejala
serupa juga dapat disebabkan oleh berbagai penyakit selain TB.

Gejala sistemik/umum TB anak adalah sebagai berikut:

1) Berat badan turun tanpa sebab yang jelas atau berat badan tidak naik dengan
adekuat atau tidak naik dalam 1 bulan setelah diberikan upaya perbaikan gizi
yang baik.
2) Demam lama (≥2 minggu) dan/atau berulang tanpa sebab yang jelas (bukan
demam tifoid, infeksi saluran kemih, malaria, dan lain-lain). Demam
umumnya tidak tinggi. Keringat malam saja bukan merupakan gejala
spesifik TB pada anak apabila tidak disertai dengan gejala-gejala
sistemik/umum lain.
3) Batuk lama ≥3 minggu, batuk bersifat non-remitting (tidak pernah reda atau
intensitas semakin lama semakin parah) dan sebab lain batuk telah dapat
disingkirkan.
4) Nafsu makan tidak ada (anoreksia) atau berkurang, disertai gagal tumbuh
(failure to thrive).
5) Lesu atau malaise, anak kurang aktif bermain.
6) Diare persisten/menetap (>2 minggu) yang tidak sembuh dengan pengobatan
baku diare.(4)
Manifestasi klinis TB di berbagai organ muncul dengan pola yang konstan,
sehingga dari studi Wallgren dan peneliti lain dapat disusun suatu kalender
terjadinya TB di berbagai organ seberi pada gambar d bawah ini.

30
Gambar 2. Kalender perjalanan penyakit tuberkulosis primer

Proses infeksi TB tidak langsung memberikan gejala. Uji tuberkulin


biasanya positif dalam 4-8 minggu setelah kontak awal dengan kuman TB. Paa
awal terjadinya infeksi TB, dapat dijumpai demam yang tidak tinggi dan eritema
nodosum, tetapi kelainan kulit ini berlangsung singkat sehingga jarang terdeteksi.
Sakit TB primer dapat terjadi kapan saja pada tahap ini.
Tuberkulosis milier dapat terjadi setiap saat, tetapi biasanya berlangsung
dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi Tb, begitu juga dengan meningitis TB.
Tuberkulosis pleura terjadi dalam 3-6 bulan pertama setelah infeksi TB.
Tuberkuloma sistem skeletal terjadi pada tahun pertama, walaupun dapat terjadi
pada tahun kedua dan ketiga. Tuberkulosis ginjal biasanya terjadi lebih lama,
yaitu 5-25 tahun setelah infeksi primer. Sebagian besar manifestasi klinis sakit Tb
terjadi pada 5 tahun pertama, terutama 1 tahun pertama, dan 90% kematian karena
TB terjadi pada tahn pertama setelah diagnosis TB.
Secara Singkat resiko sakit TB pada anak yang terinfeksi TB dapat dilihat
pada tabel dibawah ini.(4,6)

31
Tabel 2. Resiko sakit tuberkulosis pada anak yang terinfeksi Tuberkulosis
Resiko Sakit
Umur saat infeksi
TB Diseminata
Primer (tahun) Tidak Sakit TB Paru (milier, meningitis)

<1 50% 30 – 40% 10 – 20%


1–2 75 – 80% 10 – 20% 2 – 5%
2–5 95% 5% 0,5%
5 – 10 98% 2% <0,5%
>10 80 – 90% 10 – 20% <0,5%

3. 7 Diagnosis TB Pada Anak

1. Penemuan Pasien TB Anak


Pasien TB anak dapat ditemukan dengan cara melakukan pemeriksaan pada
anak yang kontak erat dengan pasien TB menular, yang dimaksud dengan kontak
erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering bertemu dengan pasien TB
menular. Pasien TB menular adalah terutama pasien TB yang hasil pemeriksaan
sputumnya BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa.
Pemeriksaan kontak erat ini akan diuraikan secara lebih rinci dalam pembahasan
pada bab profilaksis TB pada anak. Dan pada anak yang mempunyai tanda dan
gejala klinis yang sesuai dengan TB anak.(4)

2. Pemeriksaan Penunjang untuk Diagnosis TB anak


TB merupakan salah satu penyakit menular dengan angka kejadian yang
cukup tinggi di Indonesia. Diagnosis pasti TB seperti lazimnya penyakit menular
yang lain adalah dengan menemukan kuman penyebab TB yaitu kuman
Mycobacterium tuberculosis pada pemeriksaan sputum, bilas lambung, cairan
serebrospinal, cairan pleura ataupun biopsi jaringan.
Diagnosis pasti TB ditegakkan berdasarkan pemeriksaan mikrobiologi yang
terdiri dari beberapa cara, yaitu pemeriksaan mikroskopis apusan langsung atau
biopsi jaringan untuk menemukan BTA dan pemeriksaan biakan kuman TB. Pada
anak dengan gejala TB, dianjurkan untuk melakukan pemeriksaan mikrobiologi.
Pemeriksaan serologi yang sering digunakan tidak direkomendasikan oleh WHO
untuk digunakan sebagai sarana diagnostik TB dan Direktur Jenderal BUK
Kemenkes telah menerbitkan Surat Edaran pada bulan Februari 2013 tentang
larangan penggunaan metode serologi untuk penegakan diagnosis TB.

32
Pemeriksaan mikrobiologik sulit dilakukan pada anak karena sulitnya
mendapatkan spesimen. Spesimen dapat berupa sputum, induksi sputum atau
pemeriksaan bilas lambung selama 3 hari berturut-turut, apabila fasilitas tersedia.
Pemeriksaan penunjang lain yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
histopatologi (PA/Patologi Anatomi) yang dapat memberikan gambaran yang
khas. Pemeriksaan PA akan menunjukkan gambaran granuloma dengan nekrosis
perkijuan di tengahnya dan dapat pula ditemukan gambaran sel datia langhans
dan atau kuman TB.(6)

3. Perkembangan Terkini Diagnosis TB


Saat ini beberapa teknologi baru telah didukung oleh WHO untuk
meningkatkan ketepatan diagnosis TB anak, diantaranya pemeriksaan biakan
dengan metode cepat yaitu penggunaan metode cair, molekular (LPA=Line Probe
Assay) dan NAAT=Nucleic Acid Amplification Test) (misalnya Xpert MTB/RIF).
Metode ini masih terbatas digunakan di semua negara karena membutuhkan biaya
mahal dan persyaratan laboratorium tertentu.
WHO mendukung Xpert MTB/RIF pada tahun 2010 dan telah
mengeluarkan rekomendasi pada tahun 2011 untuk menggunakan Xpert
MTB/RIF. Update rekomendasi WHO tahun 2013 menyatakan pemeriksaan
Xpert MTB/RIF dapat digunakan untuk mendiagnosis TB MDR pada anak, dan
dapat digunakan untuk mendiagnosis TB pada anak ada beberapa kondisi tertentu
yaitu tersedianya teknologi ini. Saat ini data tentang penggunaan Xpert MTB/RIF
masih terbatas yaitu menunjukkan hasil yang lebih baik dari pemeriksaan
mikrokopis, tetapi sensitivitasnya masih lebih rendah dari pemeriksaan biakan
dan diagnosis klinis, selain itu hasil Xpert MTB/RIF yang negatif tidak selalu
menunjukkan anak tidak sakit TB.(7)
Cara Mendapatkan sampel pada Anak

1) Berdahak
Pada anak lebih dari 5 tahun dengan gejala TB paru, dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan dahak mikroskopis, terutama bagi anak yang
mampu mengeluarkan dahak. Kemungkinan mendapatkan hasil positif lebih
tinggi pada anak >5 tahun.

33
2) Bilas lambung
Bilas lambung dengan NGT (Naso Gastric Tube) dapat dilakukan
pada anak yang tidak dapat mengeluarkan dahak. Dianjurkan spesimen
dikumpulkan selama 3 hari berturut-turut pada pagi hari.

3) Induksi Sputum
Induksi sputum relatif aman dan efektif untuk dikerjakan pada anak
semua umur, dengan hasil yang lebih baik dari aspirasi lambung, terutama
apabila menggunakan lebih dari 1 sampel. Metode ini bisa dikerjakan secara
rawat jalan, tetapi diperlukan pelatihan dan peralatan yang memadai untuk
melaksanakan metode ini.
Berbagai penelitian menunjukkan organ yang paling sering berperan
sebagai tempat masuknya kuman TB adalah paru karena penularan TB
sebagai akibat terhirupnya kuman M.tuberculosis melalui saluran nafas
(inhalasi). Atas dasar hal tersebut maka baku emas cara pemeriksaan untuk
menegakkan diagnosis TB adalah dengan cara menemukan kuman dalam
sputum. Namun upaya untuk menemukan kuman penyebab TB pada anak
melalui pemeriksaan sputum sulit dilakukan oleh karena sedikitnya jumlah
kuman dan sulitnya pengambilan spesimen sputum.
Guna mengatasi kesulitan menemukan kuman penyebab TB anak
dapat dilakukan penegakan diagnosis TB anak dengan memadukan gejala
klinis dan pemeriksaan penunjang lain yang sesuai. Adanya riwayat kontak
erat dengan pasien TB menular merupakan salah satu informasi penting
untuk mengetahui adanya sumber penularan. Selanjutnya, perlu dibuktikan
apakah anak telah tertular oleh kuman TB dengan melakukan uji tuberkulin.
Uji tuberkulin yang positif menandakan adanya reaksi hipersensitifitas
terhadap antigen (tuberkuloprotein) yang diberikan. Hal ini secara tidak
langsung menandakan bahwa pernah ada kuman yang masuk ke dalam
tubuh anak atau anak sudah tertular. Anak yang tertular (hasil uji tuberkulin
positif) belum tentu menderita TB oleh karena tubuh pasien memiliki daya
tahan tubuh atau imunitas yang cukup untuk melawan kuman TB. Bila daya
tahan tubuh anak cukup baik maka pasien tersebut secara klinis akan
tampak sehat dan keadaan ini yang disebut sebagai infeksi TB laten. Namun
apabila daya tahan tubuh anak lemah dan tidak mampu mengendalikan

34
kuman, maka anak akan menjadi menderita TB serta menunjukkan gejala
klinis maupun radiologis. Gejala klinis dan radiologis TB anak sangat tidak
spesifik, karena gambarannya dapat menyerupai gejala akibat penyakit lain.
Oleh karena itulah diperlukan ketelitian dalam menilai gejala klinis pada
pasien maupun hasil foto toraks.
Pemeriksaan penunjang utama untuk membantu menegakkan
diagnosis TB pada anak adalah membuktikan adanya infeksi yaitu dengan
melakukan uji tuberkulin/mantoux test. Tuberkulin yang tersedia di
Indonesia saat ini adalah PPD RT-23 2 TU dari Staten Serum Institute
Denmark produksi dari Biofarma. Namun uji tuberkulin belum tersedia di
semua fasilitas pelayanan kesehatan.(4,5)
Pemeriksaan penunjang lain yang cukup penting adalah pemeriksaan
foto toraks. Namun gambaran foto toraks pada TB tidak khas karena juga
dapat dijumpai pada penyakit lain. Dengan demikian pemeriksaan foto
toraks saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis TB, kecuali
gambaran TB milier. Secara umum, gambaran radiologis yang menunjang
TB adalah sebagai berikut:

a. Pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat


(visualisasinya selain dengan foto toraks AP, harus disertai foto toraks
lateral)
b. Konsolidasi segmental/lobar
c. Efusi pleura
d. Milier
e. Atelektasis
f. Kavitas
g. Kalsifikasi dengan infiltrat
h. Tuberkuloma

4. Diagnosis TB pada anak dengan Sistem Skoring


Dalam menegakkan diagnosis TB anak, semua prosedur diagnostik dapat
dikerjakan, namun apabila dijumpai keterbatasan sarana diagnostik yang tersedia,
dapat menggunakan suatu pendekatan lain yang dikenal sebagai sistem skoring.
Sistem skoring tersebut dikembangkan diuji coba melalui tiga tahap penelitian

35
oleh para ahli yang IDAI, Kemenkes dan didukung oleh WHO dan disepakati
sebagai salah satu cara untuk mempermudah penegakan diagnosis TB anak
terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dasar. Sistem skoring ini membantu
tenaga kesehatan agar tidak terlewat dalam mengumpulkan data klinis maupun
pemeriksaan penunjang sederhana sehingga diharapkan dapat mengurangi
terjadinya underdiagnosis maupun overdiagnosis TB.(1,4)
Penilaian/pembobotan pada sistem skoring dengan ketentuan sebagai
berikut:

• Parameter uji tuberkulin dan kontak erat dengan pasien TB menular


mempunyai nilai tertinggi yaitu 3.
• Uji tuberkulin bukan merupakan uji penentu utama untuk menegakkan
diagnosis TB pada anak dengan menggunakan sistem skoring.
• Pasien dengan jumlah skor ≥6 harus ditatalaksana sebagai pasien TB dan
mendapat OAT.

Setelah dinyatakan sebagai pasien TB anak dan diberikan pengobatan OAT


(Obat Anti Tuberkulosis) harus dilakukan pemantauan hasil pengobatan secara
cermat terhadap respon klinis pasien. Apabila respon klinis terhadap pengobatan
baik, maka OAT dapat dilanjutkan sedangkan apabila didapatkan respons klinis
tidak baik maka sebaiknya pasien segera dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan
rujukan untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.

36
Tabel 3. Sistem Skoring (Scoring System) Gejala dan Pemeriksaan
Penunjang TB

Parameter 0 1 2 3 Skor
Laporan
keluarga, BTA (-)
Kontak TB Tidak jelas - BTA (+)
/ BTA tidak jelas/
tidak tahu
Positif ≥10 mm
Uji tuberkulin
Negatif - - atau ≥5 mm pada
(Mantoux)
imunokompromais
Klinis gizi
BB/TB<90%
Berat Badan/ buruk atau
- atau -
Keadaan Gizi BB/TB<70%
BB/U<80%
atau BB/U<60%
Demam yang
tidak
- ≥2 minggu - -
diketahui
penyebabnya
Batuk kronik - ≥3 minggu - -
Pembesaran
≥1 cm, lebih
kelenjar limfe
- dari 1 KGB, - -
kolli, aksila,
tidak nyeri
inguinal
Pembengkaka
n tulang/sendi Ada
- - -
panggul, lutut, pembengkakan
falang
Gambaran
Normal/
sugestif
Foto toraks kelainan - -
(mendukung)
tidak jelas
TB
Skor Total

Catatan:
Parameter Sistem Skoring:
o Kontak dengan pasien pasien TB BTA positif diberi skor 3 bila ada bukti
tertulis hasil laboratorium BTA dari sumber penularan yang bisa diperoleh
dari TB 01 atau dari hasil laboratorium.
o Penentuan status gizi:
 Berat badan dan panjang/ tinggi badan dinilai saat pasien datang
(moment opname).
 Dilakukan dengan parameter BB/TB atau BB/U. Penentuan status gizi
untuk anak usia <5 tahun merujuk pada buku KIA Kemenkes, sedangkan
untuk anak usia >5 tahun merujuk pada kurva CDC 2000.

37
 Bila BB kurang, diberikan upaya perbaikan gizi dan dievaluasi selama 1
bulan.

o Demam (≥2 minggu) dan batuk (≥3 minggu) yang tidak membaik setelah
diberikan pengobatan sesuai baku terapi di puskesmas
o Gambaran foto toraks menunjukkan gambaran mendukung TB berupa:
pembesaran kelenjar hilus atau paratrakeal dengan/tanpa infiltrat, atelektasis,
konsolidasi segmental/lobar, milier, kalsifikasi dengan infiltrat,
tuberkuloma.(4)

Penegakan diagnosis pada sistem skoring

 Anak dengan skor 6 yang diperoleh dari kontak dengan pasien BTA positif dan hasil
uji tuberkulin positif, tetapi TANPA gejala klinis, maka dilakukan observasi atau
diberi INH profilaksis tergantung dari umur anak tersebut. Foto toraks bukan
merupakan alat diagnostik utama pada TB anak.
 Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dengan gejala klinis yang meragukan, maka
pasien tersebut dirujuk ke RS untuk evaluasi lebih lanjut
 Anak dengan skor 5 yang terdiri dari kontak BTA positif dan 2 gejala klinis lain, pada
fasyankes yang tidak tersedia uji tuberkulin, maka dapat didiagnosis, diterapi dan
dipantau sebagai TB anak. Pemantauan dilakukan selama 2 bulan terapi awal, apabila
terdapat perbaikan klinis, maka terapi OAT dilanjutkan sampai selesai.
 Semua bayi dengan reaksi cepat (<2 minggu) saat imunisasi BCG dicurigai telah
terinfeksi TB dan harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak
 Jika dijumpai skrofuloderma pasien dapat langsung didiagnosis TB.
 Untuk daerah dengan fasilitas pelayanan kesehatan dasar yang terbatas (uji tuberkulin
dan atau foto toraks belum tersedia) maka evaluasi dengan sistem skoring tetap
dilakukan, dan dapat didiagnosis TB dengan syarat skor ≥ 6 dari total skor 13.
 Pada anak yang pada evaluasi bulan ke-2 tidak menunjukkan perbaikan klinis
sebaiknya diperiksa lebih lanjut adanya kemungkinan faktor penyebab lain misalnya
kesalahan diagnosis, adanya penyakit penyerta, gizi buruk, TB MDR maupun masalah
dengan kepatuhan berobat dari pasien. Apabila fasilitas tidak memungkinkan, pasien
dirujuk ke RS. Yang dimaksud dengan perbaikan klinis adalah perbaikan gejala awal
yang ditemukan pada anak tersebut pada saat diagnosis.(6,7)

38
3.8 Tatalaksana TB
Tatalaksana medikamentosa TB Anak terdiri dari terapi (pengobatan) dan profilaksis
(pencegahan). Terapi TB diberikan pada anak yang sakit TB, sedangkan profilaksis TB
diberikan pada anak yang kontak TB (profilaksis primer) atau anak yang terinfeksi TB tanpa
sakit TB (profilaksis sekunder).(8)

Beberapa hal penting dalam tatalaksana TB Anak adalah:

o Obat TB diberikan dalam paduan obat tidak boleh diberikan sebagai monoterapi.
o Pemberian gizi yang adekuat.
o Mencari penyakit penyerta, jika ada ditatalaksana secara bersamaan.

1. Prinsip pengobatan TB anak:


o OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah
terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler
o Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain
untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan
o Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap:
• Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan
minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan
berat ringannya penyakit.
• Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil
pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit.
Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari
untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi
jika obat tidak diminum setiap hari.(8,9)

o Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal
seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lain-lain dirujuk ke fasilitas pelayanan
kesehatan rujukan.
o Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB
endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison)
dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone
adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis
penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian
steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

39
o Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian
Tuberkulosis di Indonesia adalah:
• Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR
• Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR

o Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi
Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat
dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas
dalam satu paket untuk satu pasien.
o OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.(7,8)

Gambar 3. Skema Panduan OAT Anak

Tabel 4. Obat antituberkulosis (OAT) yang biasa dipakai dan dosisnya

Dosis harian Dosis


Nama Obat maksimal Efek samping
(mg/kgBB/ hari) (mg /hari)

Isoniazid (H) 10 (7-15) 300 Hepatitis, neuritis perifer,


hipersensitivitis

Rifampisin (R) 15 (10-20) 600 Gangguan gastrointestinal, reaksi


kulit, hepatitis, trombositopenia,
peningkatan enzim hati, cairan tubuh
berwarna oranye kemerahan

40
Pirazinamid (Z) 35 (30-40) - Toksisitas hepar, artralgia, gangguan
gastrointestinal

Etambutol (E) 20 (15–25) - Neuritis optik, ketajaman mata


berkurang, buta warna merah hijau,
hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin (S) 15 – 40 1000 Ototoksik, nefrotoksik

Tabel 5. Panduan OAT Kategori Anak

Jenis Fase intensif Fase lanjutan Prednison Lama

TB Ringan 2HRZ 4HR - 6 bulan

2 mgg dosis penuh-


Efusi pleura TB
kemudian tappering off

TB BTA positif 2HRZE 4HR -

TB paru dengan 2HRZ+E atau 7-10HR 4 mgg dosis penuh- 9-12


tanda-tanda S kemudian tappering off bulan
kerusakan luas:

TB milier

TB + destroyed
lung

10HR 4 mgg dosis penuh- 12 bulan


Meningitis TB
kemudian tappering off

2 mgg dosis penuh-


Peritonitis TB
kemudian tappering off

Perikarditis TB 2 mgg dosis penuh-

41
kemudian tappering off

Skeletal TB -

Kombinasi dosis tetap OAT KDT (FDC=Fixed Dose Combination)


Untuk mempermudah pemberian OAT sehingga meningkatkan keteraturan minum obat,
paduan OAT disediakan dalam bentuk paket KDT/ FDC. Satu paket dibuat untuk satu pasien
untuk satu masa pengobatan. Paket KDT untuk anak berisi obat fase intensif, yaitu rifampisin
(R) 75mg, INH (H) 50 mg, dan pirazinamid (Z) 150 mg, serta obat fase lanjutan, yaitu R 75
mg dan H 50 mg dalam satu paket. Dosis yang dianjurkan dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 6. Dosis kombinasi pada TB anak

Berat badan 2 bulan 4 bulan

(kg) RHZ (75/50/150) (RH (75/50)

5-7 1 tablet 1 tablet

8-11 2 tablet 2 tablet

12-16 3 tablet 3 tablet

17-22 4 tablet 4 tablet

23-30 5 tablet 5 tablet

BB > 30 kg diberikan 6 tablet atau menggunakan KDT dewasa

Keterangan:
R: Rifampisin; H: Isoniasid; Z: Pirazinamid

o Bayi di bawah 5 kg pemberian OAT secara terpisah, tidak dalam bentuk


kombinasi dosis tetap, dan sebaiknya dirujuk ke RS rujukan
o Apabila ada kenaikan BB maka dosis/jumlah tablet yang diberikan,
menyesuaikan berat badan saat itu
o Untuk anak obesitas, dosis KDT menggunakan Berat Badan ideal (sesuai
umur). Tabel Berat Badan berdasarkan umur dapat dilihat di lampiran

42
o OAT KDT harus diberikan secara utuh (tidak boleh dibelah, dan tidak boleh
digerus)
o Obat dapat diberikan dengan cara ditelan utuh, dikunyah/dikulum
(chewable), atau dimasukkan air dalam sendok (dispersable).
o Obat diberikan pada saat perut kosong, atau paling cepat 1 jam setelah makan
o Apabila OAT lepas diberikan dalam bentuk puyer, maka semua obat tidak
boleh digerus bersama dan dicampur dalam satu puyer.(8)

3.9 Pemantauan dan Hasil Pengobatan TB Anak

1) Pemantauan pengobatan pasien TB Anak


Pada fase intensif pasien TB anak kontrol tiap minggu, untuk melihat
kepatuhan, toleransi dan kemungkinan adanya efek samping obat. Pada fase
lanjutan pasien kontrol tiap bulan. Setelah diberi OAT selama 2 bulan,
respon pengobatan pasien harus dievaluasi. Respon pengobatan dikatakan
baik apabila gejala klinis berkurang, nafsu makan meningkat, berat badan
meningkat, demam menghilang, dan batuk berkurang. Apabila respon
pengobatan baik maka pemberian OAT dilanjutkan sampai dengan 6 bulan.
Sedangkan apabila respon pengobatan kurang atau tidak baik maka
pengobatan TB tetap dilanjutkan tetapi pasien harus dirujuk ke sarana yang
lebih lengkap. Sistem skoring hanya digunakan untuk diagnosis, bukan
untuk menilai hasil pengobatan.(9)
Setelah pemberian obat selama 6 bulan, OAT dapat dihentikan dengan
melakukan evaluasi baik klinis maupun pemeriksaan penunjang lain seperti
foto toraks. Pemeriksaan tuberkulin tidak dapat digunakan sebagai
pemeriksaan untuk pemantauan pengobatan, karena uji tuberkulin yang
positif masih akan memberikan hasil yang positif. Meskipun gambaran
radiologis tidak menunjukkan perubahan yang berarti, tetapi apabila
dijumpai perbaikan klinis yang nyata, maka pengobatan dapat dihentikan
dan pasien dinyatakan selesai.
Pada pasien TB anak yang pada awal pengobatan hasil pemeriksaan
dahaknya BTA positif, pemantauan pengobatan dilakukan dengan
melakukan pemeriksaan dahak ulang sesuai dengan alur pemantauan
pengobatan pasien TB BTA pos.

43
2) Efek Samping pengobatan TB Anak
Pasien dengan keluhan neuritis perifer (misalnya: kesemutan) dan
asupan piridoksin (vitamin B6) dari bahan makanan tidak tercukupi, maka
dapat diberikan vitamin B6 10 mg tiap 100 mg INH.
Untuk pencegahan neuritis perifer, apabila tersedia piridoksin 10 mg/
hari direkomendasikan diberikan pada

o Bayi yang mendapat ASI eksklusif,


o Pasien gizi buruk,
o Anak dengan HIV positif.
Penanganan efek samping lain dari OAT pada anak mengacu pada
buku Pedoman Nasional Pengendalian TB.(4,8)

3) Tatalaksana pasien yang berobat tidak teratur


Ketidakpatuhan minum OAT pada pasien TB merupakan penyebab
kegagalan terapi.

o Jika anak tidak minum obat >2 minggu di fase intensif atau > 2 bulan di
fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, beri pengobatan kembali
mulai dari awal.
o Jika anak tidak minum obat <2 minggu di fase intensif atau <2 bulan di
fase lanjutan DAN menunjukkan gejala TB, lanjutkan sisa pengobatan
sampai selesai.
Pada pasien dengan pengobatan yang tidak teratur akan meningkatkan
risiko terjadinya TB kebal obat.

4) Pengobatan ulang TB anak


Anak yang pernah mendapat pengobatan TB, apabila datang kembali
dengan keluhan gejala TB, perlu dievaluasi apakah anak tersebut benar-
benar menderita TB. Evaluasi dapat dilakukan dengan cara pemeriksaan
dahak atau sistem skoring. Evaluasi dengan sistem skoring harus lebih
cermat dan dilakukan di fasilitas rujukan. Apabila hasil pemeriksaan dahak
menunjukkan hasil positif, maka anak diklasifikasikan sebagai kasus
Kambuh. Pada pasien TB anak yang pernah mendapat pengobatan TB, tidak
dianjurkan untuk dilakukan uji tuberkulin ulang.(10)

44
4.0 Pencegahan TB
A. Pencegahan Primer atau pencegahan tingkat pertama yang meliputi promosi
kesehatan dan pencegahan khusus yang dapat ditujukan pada host, agent dan
lingkungan. Contohnya :

– Pencegahan pada faktor penyebab tuberculosis (agent) bertujuan mengurangi


penyebab atau menurunkan pengaruh agent tuberculosis yaitu mycobacterium
tuberkulosa serendah mungkin dengan melakukan isolasi pada penderita tuberkulosa
selam menjalani proses pengobatan.

– Mengatasi faktor lingkungan yang berpengaruh pada penularan tuberkulosa seperti


meningkatkan kualitas pemukiman dengan menyediakan ventilasi pada rumah dan
mengusahakan agar sinar matahari dapat masuk ke dalam rumah

– Meningkatkan daya tahan pejamu seperti meningkatkan status gizi individu,


pemberian imunisasi BCG terutama bagi anak.

– Tidak membiarkan penderita tuberculosis tinggal serumah dengan bukan penderita


karena bisa menyebabkan penularan.

– Meningkatkan pengetahuan individu pejamu (host) tentang tuberkulosa definisi,


penyebab, cara untuk mencegah penyakit tuberculosis paru seperti imunisasi BCG,
dan pengobatan tuberculosis paru.

B. Pencegahan Sekunder atau pencegahan tingkat kedua yang meliputi diagnosa dini
dan pencegahan yang cepat untuk mencegah meluasnya penyakit, untuk mencegah
proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi. Sasaran
pencegahan ini ditujukan pada mereka yang menderita atau dianggap menderita
(suspect).Contohnya :

- Penemuan kasus tuberkulosa paru sedini mungkin


Pasien Tb anak dapat ditemukan melalui upaya berikut:
1. Penemuan secara pasif
Upaya ini dilakukan pada anak yang mempunyai gejala dan/atau tanda klinis
TB yang dating ke fasyankes. Pada anak tersebut dilakukan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan penunjang sesuai dengan fasilitas yang tersedia. Penemuan
secara intensif dilakukan melalui kolaborasi dengan program HIV, penyakit tidak

45
menular (diabetes mellitus, keganasan, penyakit kronis lain) program gizi dan
KIA (manajemen terpadu balita sakit (MTBS)), dan sebagainya.(1)

2. Penemuan secara aktif


Upaya ini dilakukan berbasis keluarga dan masyarakat melalui kegiatan
investigasi kontak pada anak yang kontak erat dengan pasien TB menular. Yang
dimaksud dengan kontak erat adalah anak yang tinggal serumah atau sering
bertemu dengan pasien TB menular. Pasien TB menular terutama pasien TB paru
dengan BTA positif dan umumnya terjadi pada pasien TB dewasa.

Gambar 4. Alur Investigasi Kontak

Dosis INH adalah 10mg/kgBB/hari (maksimal 300 mg/hari). Obat dikonsumsi


satu kali sehari, sebaiknya pada waktu yang sama saat perut kosong (1 jam
sebelum makan atau 2 jam setelah makan). Lama pemberian PP INH adalah 6
bulan (1 bulan - 30 hari pengobatan), dengan catatan bila keadaan klinis anak
baik. Bila dalam follow up timbul gejala TB, lakukan pemeriksaan untujk
penegakan diagnosis TB. Jika anak tersebut sakit TB, PP INH duhentikan dan
berikan OAT.

46
- Diagnosa TB pada anak berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penunjang sesuai dengan algoritma diagnosis TB pada anak

- Pemberian obat anti tuberculosis (OAT) pada penderita tuberkulosa paru sesuai
dengan kategori pengobatan seperti isoniazid atau rifampizin.

- Libatkan keluarga terdekat sebagai pengawas minum obat anti tuberkulosa(4)

47
BAB IV

ANALISA KASUS

Pasien seorang anak laki - laki usia 17 tahun 10 bulan datang ke IGD RSUD
Budhi Asih dengan keluhan batuk berdahak disertai dengan darah sejak 1 hari SMRS.
Batuk dirasa semakin hari semakin memberat dan bertambah. Batuk dengan darah
segar, sebanyak kurang lebih 1/4 gelas aqua. Batuk disertai dengan demam sumer -
sumer sejak kurang lebih 1 bulan SMRS. Batuk dahak yang disertai dengan darah
menunjukan adanya proses inflamasi pada parenkim paru yang cukup berat. Pasien
juga sering mengalami keringat malam. Ibu pasien mengatakan bahwa tetangga dekat
rumah pasien ada yang mengalami penyakit TBC dan sedang dalam pengobatan.
Tetangga pasien berusia 35 tahun. Riwayat adanya kontak dengan pasien TB dapat
menjadi faktor resioko pada pasien. Pasien belakangan ini juga mengalami buang air
besar yang disertai dengan darah menetes setelahnya. Pasien memang sulit untuk
buang air besar dan jarang mengkonsumsi sayur serta buah - buahan. Hal tersebut
bisa dikarenakan akibat pola makan pasien atau bisa dikarenakan peningkatan tekanan
intraabdominal akibat batuk. Pasien memiliki kebiasaan berada dikamarnya yang
dimana kamar pasien pencahayaan dan ventilasi sangat kurang, dimana ini dapat
mejadi resiko untuk terkena kuman TB.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital suhu 37,6o C (Subfebris).
Pemeriksaan status generalisata lain tidak ada kelainan.
Pada pemeriksaan laboratorium darah didapatkan Hb 12,1 gr/dL,
Trombositosis, penurunan nilai indeks eritrosit dan LED memanjang. Pada hasil
laboratorium darah didapatkan anemia dengan mikrositik hipokrom dan adanya LED
memanjang menungjukan adanya suatu inflamasi kronik yang dialami pasien. Pada
pemeriksaan foto thoraks didapatkan bercak infiltrat pada lobus superior sinistra.
Hasil pemeriksaan tersebut menunjukan kearah TB Paru, ditunjang dengan
pemeriksaan Xpert MTB-RIF Assay G4  MTB Detected.

48
BAB V

KESIMPULAN

Tuberkulosis (TB) masih merupakan masalah kesehatan di negara maju maupun di


negara berkembang termasuk Indonesia, baik dari segi morbiditas maupun mortalitas. TB
merupakan penyebab kematian nomor 3 dari seluruh kelompok usia dan nomor 1 di antara
penyakit infeksi. Berbagai upaya penanggulangan TB secara nasional sudah lama
diupayakan, tetapi usaha tersebut belum menampakkan hasil yang memuaskan. Indonesia
menempati urutan ketiga di bawah Cina dan India sebagai negara yang paling banyak
penderita TB.
Tuberkulosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar kuman TB menyerang paru, tetapi dapat juga
mengenai organ tubuh lainnya. Paru merupakan port d’entree lebih dari 98% kasus infeksi
TB. Meningkatnya kasus TB pada anak diperkirakan berkaiatan dengan kesulitan dalam
menegakkan diagnosis. Salah satu diantaranya adalah, kesulitan mendapatkan M.
Tuberculosis sebagai kuman penyebab. Berbagai kemajuan teknologi telah memberi
dukungan sebagai penunjang diagnosis. Namun, pada sarana pelayanan kesehatan dengan
fasilitas terbatas, penerapan teknologi sebagai penunjang diagnosis TB pada anak tidak
mungkin dilakukan. Karena itu, sistem skoring sebagai alternatif untuk menegakan diagnosis
sangat mungkin diterapkan.

49
DAFTAR PUSTAKA

1. Sarwani D, Yulistyaningrum. Hubungan Riwayat Kontak Penderita Tuberkulosis


Paru Dengan Kejadian TB Paru Anak di Balai Pengobatan Penyakit Paru -
paru Purwekerto. KesMas 2010;4(1):1-75.
2. Dudeng, D, Naning R. dan Pramono D. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan
Kejadian Tuberkulosis pada Anak. Berita Kedokteran Masyarakat 2006;22(2).
3. Satrio B, Naning R, Halim. Faktor - Faktor Kejadian TB Paru Pada Anak Usia 1 - 5
Tahun di Kabupaten Kebumen. Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains
2015;17(2): 26-39.
4. Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan. Petunjuk
Teknis Manajemen TB Anak, Jakarta : Kementerian Kesehatan RI; 2013.
5. Behrman R, Jenson H, Kliegman R, Marcdante K. Nelson Textbook of Pediatrics. 6th
ed. Elsevier Saunders. United State of America: 2014.
6. Nastiti N.R, Darmawan B.S. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak. Dalam : Nastiti
N.R, Bambang S., Darmawan B.S., penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2008.
7. Kemenkes. Pedoman Nasional Pengendaluan Tuberkulosis. Jakarta: 2011.
8. Rahajoe, N, Basir D, Makmuri M.S, Kartasasmita C. Pedoman Nasional
Tuberkulosis Anak. Jakarta : UKK Respirologi PP IDAI. 2008.
9. World Health Organization. Dosing Instruction for the Use of Currently Available
Fixed-dose Combination TB Medicines for Children. 2009.
10. Bakhtiar. Pendekatan Diagnosis Tuberkulosis Pada Anak di Sarana Pelayanan
Kesehatan dengan Fasilitas Terbatas. JKS-2016;16(2):122-27.
11. Setyanto DB. Tantangan diagnosis TB pada anak. Dalam:Trihono PP, Djer MM.
Indawati W, penyunting. Peningkatan kualitas pelayanan kesehatan anak pada
tingkat pelayanan primer. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia,
2013.hlm.16-7.

50

Anda mungkin juga menyukai