Anda di halaman 1dari 42

BAB I

PENDAHULUAN

Chronic Liver Disease merupakan penyakit kronis hati yang ditandai dengan
fibrosis, disorganisasi dari lobus dan arsitektur vaskular, serta regenerasi nodul
hepatosit. Penyakit tahap akhir dari penyakit hati kronis yang akan menyebabkan
penurunan fungsi hati dan bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya
penekanan pada pembuluh darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang
akhirnya menyebabkan hipertensi portal.Penyakit hati kronis menyebabkan sekitar
35.000 kematian setiap tahun di Amerika Serikat dan disebabkan oleh berbagai faktor,
seperti konsumsi alcohol atau infeksi virus hepatitis B dan C..(1,2,3)

Chronic Liver Disease menimbulkan tantangan sulit dalam manajemennya,


sedangkan pencegahan, deteksi, dan terapi penyakit iniakan menimbulkan masalah
dalam biaya kesehatan.Belum lama ini, sirosis hepatis stadium awal terbukti dapat
membaik dengan regresi dari jaringan kolagen. Regresi biasanya terkait dengan
peningkatan status klinis, tetapi dapat bervariasi dalam tingkat perbaikan, tergantung
pada reversibilitas kerusakan hati. Jaringan parut yang luas dengan kehancuran
parenkim tidak mungkin untuk regresi. Oleh karena itu,diagnosis dini sangat penting
dalammanajemen penyakit hati kronis. Pencitraan diagnostik menawarkan beragam
modalitas untuk digunakan dalam evaluasi noninvasif hati. Pencitraan diagnosis dasar
sirosis hepatis telah berkembang selama beberapa dekade terakhir, memungkinkan
deteksi awal perubahan morfologi hati menggunakan ultrasonografi (USG),
Computed Tomography (CT) scan, dan Magnetic Resonance Imaging (MRI).
Modalitas intervensi, yang dulunya digunakan untuk diagostik, sekarang dapat
digunakan untuk mengobati komplikasi seperti hipertensi portal dan neoplasia.(1,3,4)

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Definisi

Chronic Liver Disease(CLD) didefinisikan sebagai destruksi progresif


parenkim hati yang berlangsung sekurang-kurangnya 6 bulan yang menyebabkan
terjadinya fibrosis dan sirosis.oxx Meskipun penyebabnya dam mekanisme yang
beragam, proses destruksi parenkim hati yang berlangsung lama dan progresif akan
menghasilkan pembentukan jaringan fibrosis pada parenkim hati sebagai respon
penyembuhan. Proses ini biasanya dimulai dengan adanya proses peradangan,
nekrosis sel hati yang luas, pembentukan jaringan ikat dan usaha regenerasi yang
berakhir dengan terjadinya sirosis pada hati.(11)

Sirosis mengacu pada kondisi terbentuknya fibrosis dan nodul progresif yang
mengganggu keseluruhan struktur dan fungsi normal hati. Distorsi arsitektur hati akan
menimbulkan perubahan sirkulasi mikro dan makro menjadi tidak teratur akibat
penambahan jaringan ikat dan nodul tersebut. Telah diketahui bahwa penyakit ini
merupakan stadium terakhir dari CLD dan menyebabkan penurunan fungsi hati dan
bentuk hati yang normal akan berubah disertai terjadinya penekanan pada pembuluh
darah dan terganggunya aliran darah vena porta yang akhirnya menyebabkan
hipertensi portal.(12)

Gambar 1. Jaringan dan sel hati normal.11

2
Gambar 2. Jaringan dan sel hati yang mengalami fibrosis.11

II.2 Anatomi Hepar

Hati adalah kelenjar terbesar dalam tubuh dan memiliki berbagai fungsi. Tiga
fungsi dasar hati yaitu produksi dan sekresi empedu, yang dilewatkan ke system
intestinal; keterlibatan dalam berbagai kegiatan metabolik untuk metabolisme
karbohidrat, lemak, dan protein; dan filtrasi darah, menghilangkan bakteri dan partikel
asing lainnya yang telah masuk ke darah dari lumen usus. Hati mensintesis heparin,
zat antikoagulan,dan memiliki fungsi penting dalam detoksikasi. Hati yang lembut
dan lentur menempati bagian atas rongga perut tepat di bawah diafragma. Sebagian
besar dari hati tertutup di bawah dari iga kanan, dan hemidiafragma kanan
memisahkan hati dari pleura, paru-paru, perikardium, dan jantung. Hati meluas ke kiri
untuk mencapai hemidiafragma kiri. Permukaan cembung atas hati dibentuk dari
kubah diafragma. Bagian posteroinferior, atau permukaan visceral, dibentuk dari
jaringan yang berdekatan dan oleh karena itu tidak teratur bentuknya; bagian ini
berkontak dengan bagian adomen dari esofagus, lambung, duodenum, fleksura kolik
kanan, ginjal kanan, glandula suprarenal kanan, dan kantong empedu.Secara
anatomis, hati dibagi menjadi 4 lobus, yaitu;

 Lobus kanan (lobus terbesar)


 Lobus kiri
 Lobus kuadratus (berada diantara kandung empedu dan ligamentum teres)
 Lobus kaudatus (berada diantara vena cava inferior, ligamentum venosum,
dan porta hepatica)(1,2)

3
Gambar 3. Anatomi Hati.16

Secara fungsional dan surgikal, hati dibagi menjadi kanan dan kiri (lobus
kuadratus dan kaudatus merupakan bagian dari lobus kiri.). Hali bedah sering
membagi hati lebih lanjut ke delapan segmen vaskular independen berdasarkan
pembuluh darah, dengan masing-masing segmen menerima cabang utama dari arteri
hepatika,vena portal, vena hepatika (mengalirkan darah hati ke dalam vena cava
inferior), dan drainase bilier. Demarkasi eksternal kedua bagian hati berada pada
bidang imajiner sagital melewati kantong empedu dan vena cava inverior.Porta
hepatik, atau hilus hati, ditemukan di permukaan posteroinferior dan terletak di antara
lobus kaudatus dan lobus kuadratus.(2)

II.3 Fisiologi

Hati sangat penting untuk mempertahankan hidup dan berperanan pada hampir
setiap fungsi metabolik tubuh, dan khususnya bertanggung jawab atas lebih dari 500
aktivitas berbeda. Untunglah hati memiliki kapasitas cadangan yang besar, dan hanya
dengan 10-20% jaringan yang berfungsi, hati mampu mempertahankan kehidupan.
Destruksi total atau pembuangan hati mengakibatkan kematian dalam 10 jam. Hati
memiliki kemampuan regenerasi yang tinggi. Pada sebagian besar kasus,
pengangkatan sebagian hati, baik karena sel sudah mati atau sakit, akan diganti
dengan jaringan hati yang baru.(13)

4
Tabel 1. Fungsi utama hati.(20)
Fungsi Keterangan

Pembentukan dan ekskresi empedu Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak
dan vitamin yang larut dalam lemak di usus.
Metabolisme garam empedu

Metabolisme pigmen empedu Bilirubin, pigmen empedu utama, merupakan hasil akhir
metabolisme pemecahan sel darah merah yang sudah tua;
proses konjugasinya.

Metabolisme karbohidrat Hati memegang peranan penting dalam mempertahankan


kadar glukosa darah normal dan menyediakan energi untuk
Glikogenesis tubuh. Karbohidrat disimpan dalam hati sebagai glikogen.
Glikogenolisis

Glukoneogenesis

Metabolisme protein Protein serum yang disintesis oleh hati termasuk albumin serta
α dan β globulin (γ globulin tidak).
Sintesis protein
Faktor pembekuan darah yang disintesis oleh hati adalah
fibrinogen (I), protrombin (II), dan faktor V, VII, VIII, IX,
dan X. Vitamin K diperlukan sebagai kofaktor pada sintesis
semua faktor ini kecuali faktor V.

Pembentukan urea Urea dibentuk semata-mata dalam hati dari NH3, yang
kemudian diekskresi dalam kemih dan feses.
Penyimpanan protein (asam
amino) NH3 dibentuk dari deaminsasi asam amino dan kerja bakteri
usus terhadap asam amino.

Metabolisme lemak Hidrolisis trigliserida, kolesterol, fosfolipid, dan lipoprotein


(diabsorbsi dari usus) menjadi asam lemak dan gliserol.

Ketogenesis

Sintesis kolesterol Hati memegang peranan utama pada sintesis kolesterol,


sebagian besar diekskresi dalam empedu sebagai kolesterol
atau asam kolat.

Penyimpana lemak

Penyimpanan vitamin dan mineral Vitamin yang larut lemak (A, D, E, K) disimpan dalam hati;
juga vitamin B12, tembaga dan besi.

Metabolisme steroid Hati menginaktifkan dan mensekresi aldosteron,


glukokortikoid, estrogen, dan testosteron.

Detoksifikasi Hati bertanggung jawab atas biotransformasi zat-zat


berbahaya menjadi zat-zat tidak berbahaya yang kemudian
dieksresi oleh ginjal (misalnya obat-obatan)

Ruang penampung dan fungsi Sinusoid hati merupakan depot darah yang mengalir kembali
penyaring dari vena kava (payah jantung kanan); kerja fagositik sel
Kupffer membuang bakteri dan debris dari darah.

5
II.4 Epidemiologi

Sekitar 150.000 pasien dengan CLD didiagnosis dalam praktik


gastroenterologi setiap tahun selama tahun 1999-2001. Sebagian besar pasien
menderita hepatitis C atau peminum alkohol berat. Hampir 20% pasien CLD atau
sekitar 30.000 pasien CLD per tahun, mengalami sirosis hepatik.(14)

Pada sebuah penelitian dari seluruh sampel yang diidentifikasi sebanyak 2.353
pasien yang didiagnosa mengalami CLD (63,9 kasus / 100.000 penduduk) dimana
1.225 diantaranya mengalami hepatitis C (33,2 kasus / 100.000). Pria berusia 45-54
tahun memiliki tingkat kejadian hepatitis C paling tinggi yaitu 111,3 / 100.000. Di
antara 1.040 pasien yang terdaftar, usia rata-rata adalah 48 tahun (kisaran 19-86 th).
Hepatitis C, baik sendiri (442 [42%]) atau dikombinasikan dengan penyakit hati
terkait alkohol (ALD) (228 [22%]), menyumbang dua pertiga dari kejadian kasus
sirosis pada CLD. Etiologi lainnya termasuk penyakit hati berlemak nonalkohol
(NAFLD, 95 [9%]), ALD (82 [8%]), dan hepatitis B (36 [3%]). Etiologi lain yang
diidentifikasi masing-masing menyumbang <3% kasus.Lebih dari 40% pasien sirosis
asimtomatis. Pada keadaan ini sirosis ditemukan waktu pemeriksaan rutin kesehatan
atau pada waktu autopsy. Keseluruhan insidensi sirosis di Amerika diperkirakan 360
per 100.000 penduduk.(14)

Di Indonesia sendiri belum terdapat data yang dapat merepresentasikan jumlah


penderita sirosis hepatis secara akurat. Umumnya angka-angka yang berasal dari
rumah-rumah sakit di kita-kota besar di Indonesia memperlihatkan bahwa penderita
pria lebih banyak dari wanita dengan perbandingan antara 1,5 sampai 2 : 1. Secara
umum diperkirakan angka insiden sirosis hepatis di rumah sakit seluruh Indonesia
berkisar antara 0,6-14,5%.14 Di Indonesia data prevalensi sirosis hepatis belum ada.
Di RS Sardjito Yogyakarta jumlah pasien sirosis hepatis berkisar 4,1% dari pasien
yang dirawat di Bagian Penyakit Dalam dalam kurun waktu 1 tahun (data tahun
2004).(12)

6
II.5 Etiologi

Berikut ini adalah etiologi dari Chronic Liver Disease.(15)


1. Non-alcoholic fatty liver disease (NAFLD)/ Non-alcoholic
steatohepatatis (NASH)
 Berkaitan dengan diabetes, sindoma metabolic
o DM tipe II, Hipertensi, Obesitas, Hiperlipidemia
 Penemuan pada pemeriksaan penunjang
o AST:ALT biasanya <1 (rendah)
o Biopsi : steatosis mikrovesikular
2. Virus : virus hepatitis B,C dan D
3. Obstruksi Bilier
4. Alkohol : merupakan causal terbesar terjadinya CLD di USA
dan UK
5. Genetik
 Cystic fibrosis
 Hereditary haemachromatosis
o Absorpsi zat besi yang berlebihan menyebabkan
penumpukan zat besi di hepar dan organ lainnya
o Gen HFE pada kromosom 6
 Wilson’s
o Gangguan resesif autosomal yang menyebabkan
akumulasi tembaga menyebabkan terjadinya sirosis
hati, gejala neuropsikiatrik termasuk parkinsonisme,
kardiomiopati, dan aritmia
o Kadar caeruloplasmin serum yang rendah dan kadar
tembaga pada urin tinggi
o Gangguan pada penyimpanan glikogen
6. Autoimmun
 Wanita > pria
 2 puncak
o Peri-dan pasca menopause (tipe I dan III)
o Remaja / awal dua puluhan (didominasi tipe II)

7
 Predisposisi genetik dipikirkan untuk digabungkan dengan
pemicu lingkungan yang tidak diketahui untuk
menonaktifkannya
7. Obat-obatan

Obat-obat yang bersifat hepatotoksik seperti : Isoniazid, methotrexate,


amiodarone, phenytoin, sodium valproate,nitrofurantoin

8. Vaskuler : Budd-Chiari
9. Idiopatik/kriptogenik

II.6 Diagnosis
II.6.1 Anamnesis
CLD merupakan penyakit dengan sebagian besar pasien tetap
asimtomatik sampai dekompensasi terjadi, yaitu apabila sudah terjadi
kehilangan 80% - 90% fungsi hati yang mana sudah terjadi sirosis yang cukup
berat. Dokter harus menanyakan tentang faktor risiko yang menyebabkan
pasien mengalami masalah ini. Jumlah danstadium awal sirosis pada CLD
sering kali dijumpai tanpa gejala (asimptomatis) sehingga kadang ditemukan
pada waktu pasien melakukan pemeriksaan kesehatan rutin atau karena
kelainan penyakit lain. Gejala awal sirosis (kompensata) pada CLD meliputi
perasaan mudah lelah dan lemas, selera makan berkurang, perasaan perut
kembung, mual, berat badan menurun, malabsorbsi terutama vitamin D yang
akhirnya menyebabkan osteoporosis, pada laki-laki dapat timbul impotensi,
testis mengecil, buah dada membesar, hilangnya dorongan seksualitas. Bila
sudah lanjut (sirosis dekompensata), gejala-gejala lebih menonjol terutama
bila timbul komplikasi kegagalan hati dan hipertensi porta, meliputi gangguan
pembekuan darah, perdarahan gusi, epistaksis, gangguan siklus haid, ikterus
dengan air kemih seperti teh pekat, muntah darah dan/atau melena akibat
pecahnya varises esofagus, asites, spontaneous bacterial peritonitis serta
perubahan mental sebagai manifestasi dari ensefalopati meliputi mudah lupa,
sukar konsentrasi, bingung, agitasi, sampai koma. Mungkin disertai hilangnya
rambut badan, gangguan tidur, demam tidak begitu tinggi.(11)

8
II.6.2Pemeriksaan Fisik
Tanda-tanda klinik yang dapat terjadi yaitu:(16)
a. Adanya ikterus (penguningan) pada penderita sirosis. Timbulnya ikterus
(penguningan) pada seseorang merupakan tanda bahwa ia sedang
menderita penyakit hati. Penguningan pada kulit dan mata terjadi ketika
liver sakit dan tidak bisa menyerap bilirubin. Ikterus dapat menjadi
penunjuk beratnya kerusakan sel hati. Ikterus terjadi sedikitnya pada 60
% penderita selama perjalanan penyakit.
b. Timbulnya asites dan edema pada penderita sirosis.Ketika liver
kehilangan kemampuannya membuat protein albumin, air menumpuk
pada kaki (edema) dan abdomen (ascites). Faktor utama asites adalah
peningkatan tekanan hidrostatik pada kapiler usus. Edema umumnya
timbul setelah timbulnya asites sebagai akibat dari hipoalbuminemia dan
resistensi garam dan air. Hati yang membesar Pembesaran hati dapat ke
atas mendesak diafragma dan ke bawah. Hati membesar sekitar 2-3 cm,
dengan konsistensi lembek dan menimbulkan rasa nyeri bila ditekan.
c. Hipertensi portal. Hipertensi portal adalah peningkatan tekanan darah
vena portal yang memetap di atas nilai normal. Penyebab hipertensi
portal adalah peningkatan resistensi terhadap aliran darah melalui hati.
d. Spider angioma-spiderangiomata (atau spider telangiektasis), suatu lesi
vaskular yang dikelilingi beberapa vena-vena kecil. Tanda ini sering
ditemukan di bahu, muka, dan lengan atas. Mekanisme terjadinya belum
diketahui secara pasti, diduga berkaitan dengan peningkatan rasio
estradiol/testosteron bebas. Tanda ini juga bisa ditemukan pula pada
orang sehat, walau umumnya ukuran lesi kecil.
e. Eritema Palmaris, warna merah saga pada thenar dan hipothenar
telapak tangan. Hal ini juga dikaitkan dengan perubahan metabolisme
hormon estrogen. Tanda ini juga tidak spesifik pada sirosis. Ditemukan
pula pada kehamilan, arthritis rheumatoid, hipertiroidisme, dan
keganasan hematologi.
f. Perubahan kuku-kuku Muchrche berupa pita putih horizontal dipisahkan
dengan warna normal kuku. Mekanismenya juga belum diketahui,
diperkirakan akibat hipoalbuminemia. Tanda ini juga bisa ditemukan
pada kondisi hipoalbuminemia yang lain seperti sindrom nefrotik.

9
g. Jari gada lebih sering ditemukan pada sirosis billier. Osteoarthropati
hipertrofi suatu periostitis proliferative kronik, menimbulkan nyeri.
h. Kontraktur Dupuytren akibat fibrosis fasia Palmaris menimbulkan
kontraktur fleksi jari-jari berkaitan dengan alkoholisme tetapi tidak
secara spesifik berkaitan dengan sirosis. Tanda ini juga ditemukan pada
pasien diabetes mellitus, distrofi reflex simpatetik, dan perokok yang
juga mengkonsumsi alkohol.
i. Ginekomastia secara histologist berupa proliferasi benigna jaringan
glandula mammae laki-laki, kemungkinan akibat peningkatan
androstenedion. Selain itu, ditemukan juga hilangnya rambut dada dan
aksilla pada laki-laki, sehingga laki-laki mengalami perubahan ke arah
feminism. Kebalikannya pada perempuan menstruasi cepat berhenti
sehingga diduga fase menopause.
j. Atrofi testis hipogonadisme menyebabkan impotensi dan infertile. Tanda
ini menonjol pada alkoholik sirosis dan hemokromatosis.
k. Splenomegali sering ditemukan terutama pada sirosis yang penyebabnya
nonalkoholik. Pembesaran ini akibat kongesti pulpa merah lien karena
hipertensi porta.
l. Foetor Hepatikum, Bau napas yang khas pada pasien sirosis disebabkan
peningkatan konsentrasi dimetil sulfide akibat pintasan porto sistemik
yang berat.
m. Asterixis bilateral tetapi tidak sinkron berupa pergerakan mengepak-
ngepak dari tangan, dorsofleksi tangan.

Tanda-tanda lain lain yang menyertai diantaranya:(16)


a. Demam yang tidak tinggi akibat nekrosis hepar
b. Batu pada vesika felea akibat hemolysis
c. Pembesaran kelenjar parotis terutama pada sirosis alkoholik, hal ini
akibat sekunder infiltrasi lemak, fibrosis, dan edema.
d. Diabetes melitus dialami 15 sampai 30% pasien sirosis. Hal ini akibat
resistensi insulin dan tidak adekuatnya sekresi insulin oleh sel beta
pankreas.

10
Gambar 4. Alur diagnosis CLD.11

II.6.3 Pemeriksaan Penunjang


II.6.3.1 Laboratorium
Tidak ada tes serologis yang bisa mendiagnosis CLD dan sirosis secara
akurat. Istilah tes fungsi hati adalah keliru karena pemeriksaan panel hati
standar kebanyakan, tidak mencerminkan fungsi hati dengan benar. Meskipun
tes fungsi hati mungkin tidak berkorelasi persis dengan fungsi hati,
menafsirkan pola biokimia abnormal bersamaan dengan gambaran klinis dapat
sangat membantu dalam penentuan penyakit hati tertentu penyebab CLD dan

11
sirosis. Bila terdapat dugaan adanya kelainan hati maka pemeriksaan panel
hati, jumlah darah lengkap (CBC) dengan trombosit, dan tes waktu protrombin
harus dilakukan. Tes umum pada panel hati standar meliputi pemeriksaan
enzim serum aspartat transaminase (AST), alanine transaminase (ALT),
alkaline phosphatase, dan g-glutamyltransferase; totalbilirubin serum, bilirubin
direct dan indirect; dan albumin serum. ALT dianggap sebagai tes skrining
paling murah untuk mengidentifikasi cedera hati akibat proses metabolik atau
obat, namun seperti tes fungsi hati lainnya, penggunaan tes ini terbatas dalam
memprediksi tingkat peradangan dan tidak berguna dalam memperkirakan
tingkat keparahan fibrosis. Satu studi menemukan bahwa jumlah trombosit
kurang dari 160.000 per mm3 memiliki sensitivitas 80% untuk mendeteksi
sirosis pada pasien dengan hepatitis C kronis. Sebuah studi prospektif
menunjukkan korelasi kuat antara peningkatan hasil tes fungsi hati lebih dari
dua kali batas atas normal selama setidaknya enam bulan dengan terjadinya
suatu penyakit hati, hasil penelitian ini dibuktikan dengan temuan kelainan
pada biopsi hati. Pemeriksaan serologis tambahan harus dilakukan untuk
mengevaluasi berbagai etiologi sirosis. Jika kecurigaan klinis terhadap
penyakit hati tinggi, maka diperlukan pemeriksaan serologis lebih lanjut dalam
enam bulan. Jika pasien memiliki tingkat ALT yang terus meningkat, serologi
hepatitis virus harus dikerjakan. Jika negatif, pemeriksaan serologi hepatits
yang lain, mencakup antinuclear antibodies testatau anti–smooth muscle
antibody test atau keduanya, untuk mengevaluasi hepatitis autoimun; dan
fasting transferrin saturation level atauunsaturated iron-binding capacity dan
ferritin level untuk mengevaluasi hemochromatosis herediter harus dikerjakan.
(11)

Pada pasien yang berusia di bawah 40 tahun di mana terdapat dugaan


yang tinggi adanya penyakit Wilson maka, serum ceruloplasmin dan kadar
tembaga harus dikerjakan. Primary biliary cirrhosisatau primary sclerosing
cholangitis harus dicurigai pada pasien dengan cholestasis kronis. Uji
defisiensi a1-antitrypsin (A1AT) mungkin bermanfaat pada pasien dengan
CLD dan tidak ada penyebab lain yang jelas. Meskipun peran defisiensi A1AT
pada CLD yang terjadi pada orang dewasa belum sepenuhnya didefinisikan
dengan jelas, namun uji ini sangat penting pada neonatus dengan adanya bukti

12
cedera hati. Ultrasonografi atau biopsi diperlukan untuk menegakkan
diagnosis NAFLD.(11)

Gambar 5. Pemeriksaan Lab pada CLD.11

II.6.3.2 Radiologi

Secara umum tujuan pada pemeriksaan radiologi hati memiliki 4


tujuan, yaitu Pertama, menilai penyebab hepatomegali atau dari melokalisasi
massa hati lokal. Kedua, mendiagnosa neoplasma, baik primer atau metastasis.
Ketiga, mengkonfirmasi atau menyingkirkan penyakit inflamasi atau parasit.

13
Keempat, membantu perencanaan terapi-medis, radiologi intervensi, atau
bedah.(4)

A. Hepatitis Kronis
Ultrasonografi
Deskripsi meliputi (9)
 Hepatomegali (tanda paling sensitif) > 15,5 cm pada garis
midclavicular
 Jika telah ditemukan "penampilan langit berbintang (starry sky)"
merupakan tanda sensitivitas danspesifisitas yang buruk
 Penebalan dinding kandung empedu
 Edema periportal
 Menonjolkan kecerahan dinding radial vena porta
 Warna / spektral Doppler: normal
 Keseluruhan echotexture sering menurun

Gambar 3. Hepatitis dengan Starry Sky.(9)

CT-Scan
Temuan meliputi:(10)
 Hepatomegali > 15,5 cm pada garis midclavicular
 Penurunan atenuasi terjadi di sekitar sistem portal dan pada hilum
hepar (edema periportal)
 Atenuasi parenkim difus yang mungkin berkurang pada CT
nonkontras
 Perubahan edema yang menyebar

14
 Steatosis hati bisa menjadi penyebab (steatohepatitis) atau hasil
hepatitis akut
 Kemungkinan limfadenopati periportal / hepatoduodenal

Gambar 4. Hepatitis B.(10)

Gambar 5. Sirosis ec Hepatitis B.(10)

MRI
Temuan pada MRI tidak spesifik dan MRI sering digunakan untuk
menyingkirkan etiologi lain dari kelainan fungsi tes hati serum.(10)
 T2:Peningkatan sinyal T2 di sekitar sistem portal (edema periportal)
Kemungkinan peningkatan generalisata ringan pada intensitas
sinyal parenkim
 T1 C + (Gd):Tertunda, peningkatan periportal bertahap

15
 IP/OP:steatosis hati mungkin tampak jelas
 Hepatitis autoimun biasanya tidak hadir dengan limfadenopati.

Gambar 6. Hepatitis Kronik (a dan b) dan sirosis (c dan d).(10)

B. Sirosis Hepatis
Terlepas dari etiologi, perubahan morfologi sirosis dapat dikenali
dengan berbagai teknik pencitraan. Pembesaran lobus kiri dan lobus kaudatus,
diyakini hasil dari regenerasi relatif lobus daripada fibrosis, sekunder akibat
kesalahan pasokan vaskular, dapat dikenali oleh teknik cross-sectional, seperti
computed tomography (CT) scan, magnetic resonance imaging (MRI), atau
ultrasonografi (USG). Terdapat beberapa cara untuk mendiagnosis sirosis
hepatis pada:
a. Radiografi
Radiografi merupakan pemeriksaan paling sederhana dalam diagnosis dan
manajemen pasien dengan sirosis, digunakan misalnya, dalam skrining untuk
ascites, mencari bukti perforasi usus pada pasien dengan dugaan peritonitis
bakteri, dan pemantauan distensi usus pada pasien untuk pengobatan
dekompensasi atau perdarahan varises. Radiografi dada rutin pada pasien
dengan sirosis dapat menunjukkan elevasi diafragma dari asites. Ginekomastia
dapat muncul. Vena azygos dapat membesar karena aliran kolateral dan efusi
pleura, mungkin terjadi dari adanya fistula pleuroperitoneal.(5)

16
Gambar 7. Seorang laki-laki 51 tahun penderita sirosis dengan asites masif. Pada
ginjal, ureter, kandung kemih, putaran usus halus terlihat terutama di regio
midabdomen. abdomen tampak kabur.(5)

Gambar 8. Pirau dapat terjadi melalui jaluir retroperitoneum dan azygos. Sebuah
rontgen dada pada seorang pasien dengan konfigurasi menunjukkan sebuah
pembesaran vena azygos pada arkus azygos (panah). Pencitraan ini dikonfirmasi
dengan MRI potongan sagital.(5)

17
Gambar 9. Seorang laki-laki 48 tahun dengan sirosis akibat hepatitis C dengan ascites dan
efusi pleura. Rontgen dada diperoleh 1 hari sebelum scintigrafi menunjukkan efusi pleura sisi
kanan.Terkadang, varises esofagus raksasa dapat dijumpai sebagai massa jaringan lunak di
gastroesophageal junction.(5)

Gambar 10. Densitas jaringan lunak abnormal terlihat di mediastinum bawah (panah),
tumpang tintih di atas bayangan aorta desenden. Densitas ini merupakan dilatasi varises
esofagus masif dan dikonfirmasi dengan CT scan (panah), tepat di atas hemidiafragma kiri,
berbatasan langsung dengan aorta. (5)

18
b. Ultrasonografi
USG Real-time, dalam kombinasi dengan USG Doppler, saat ini yang
paling sering digunakan sebagai modalitas pencitraan diagnostik di seluruh
dunia dalam skrining dan evaluasi pasien dengan sirosis. Selain menunjukkan
karakteristik morfologi sirosis, termasuk kontur hati, tekstur, dan adanya
munculnya kolateral portal, USG Doppler memberikan informasi yang
berguna tentang hemodinamik Portal.USG real-time dapat digunakan untuk
mendeteksi asites dan splenomegali, untuk membedakan penyebab ikterus
intrahepatik atau ekstrahepatik, dan mendeteksi trombosis vena porta pada
pasien dekompensasi.(5)

Gambar 11. Pasien wanita dengan sirosis menunjukkan tekstur echo "kasar" dan lobus kiri
yang membesar. (5)

Gambar 12. Tampilan melintang, USG real-time menunjukkan kontur eksternal yang tidak
teratur dari lobus kiri (panah). (5)

19
Gambar 13. Perkembangan dari trombus vena portal pada sirosis lanjut, dengan defisit sinyal
USG Doppler (panah). Tampak ascites. (5)

Gambar 14. Skrining USG real-time. Sebuah CT Scan mendapatkan hasil negatif.
Ultrasonografi biposi terpandu menunjukkan karsinoma hepatoseluler di lobus kanan hati.
Perhatikan pseudo-kapsul disekitar lesi (pada tampilan diperbesar lebih terlihat).(5)

20
Gambar 15. Ultrasonografi Doppler pada seorang pasien dengan sirosis yang memiliki massa
hipoechoik, seperti yang terdeteksi pada USG. Kursor ditempatkan di tepi lesi menunjukkan
pirau vaskular dengan kecepatan maksimum lebih dari 50 cm / detik. (5)

USG sudah tersedia dan dapat digunakan dalam bimbingan biopsi


perkutan dan etanol ablatif atau injeksi asam asetat fokal pada lesi, serta fakta
bahwa hal itu dapat digunakan dalam hubungannya dengan radiofrekuensi (RF)
probe untuk ablasi termal, berarti bahwa pasien dievaluasi, didiagnosis, dan
diobati dengan menggunakan 1 modalitas. Penggunaan agen kontras USG
(SonoVue®) telah membantu dalam membedakan jaringan viabel dan nekrotik,
sehingga meningkatkan akurasi diagnostik, terutama untuk lesi di bawah 2 cm.
Wu et al mencapai akurasi diagnostik yang lebih baik untuk lesi yang dievaluasi
oleh kontras sebelum biopsi dibandingkan mereka yang dievaluasi dengan USG
tanpa kontras (97,1% vs 78,8%).Dalam sebuah studi Livraghi menggunakan
etanol ablasi perkutan, tingkat kelangsungan hidup 5 tahun untuk pasien dengan
lesi HCCA berukuran lebih kecil dari 5 cm dengan kriteria Child C, B, atau A
masing-masing adalah 0%, 29%, dan 47%.(5)
Kehadiran hipertensi portal dapat disimpulkan berdasarkan pengukuran
diameter vena portal; sensitivitas 75% dan spesifisitas 100% untuk diameter
lebih besar dari 1,3 cm. Pengukuran aliran dan diameter pembuluh hanya secara
tidak langsung berhubungan dengan tekanan portal, derajat dan tingkat
obstruksi intrahepatik (presinusoidal atau postsinusoidal), aliran arteri ke hati,
dan kapasitansi dari aliran kolateral dapat mempengaruhi parameter aliran.(5)

21
c. CT Scan
CT scan berguna untuk menunjukkan bukti morfologi sirosis hepatis
dan dalam menunjukkan kelainan mesenterika dan Gastrointestinal, serta
perkembangan pembuluh darah kolateral pada hipertensi portal.(5)

Gambar 16. Pasien dengan sirosis menunjukkan arteri hepatika berliku-liku di samping lobus
kiri dan kaudatus (C) yang membesar.(5)

Gambar 17. Pada sirosis stadium lanjut, CT scan dengan gambar vena Portal menunjukkan
lobus kiri (L) dan kaudatus (C) yang membesar, dengan area fibrosis fokal dan atrofi pada
lobus kanan posterior, dan deformasi kontur (panah). Tampak secara insidental kolateral yang
menonjol pada regio kurvatura (panah putih). (5)

22
Gambar 18. CT Scan menunjukkan edema kolon pada pasien dengan sirosis. Perhatikan
adanya ascites. (5)

Gambar 19. CT Scan fase vena porta menunjukkan penebalan dinding kandung empedu,
splenomegali, kolateral dalam omentum (panah), dan ditandai ascites (A). Hati telah atrofi
dan tidak teratur. (5)

23
CT scan umumnya digunakan untuk mengevaluasi pasien
stadium dekompensasi akut yang diduga mengalami peritonitis bakteri
subakut, dengan tujuan untuk menyingkirkan penyebab inflamasi
lainnya. CT scan sangat penting dalam menggambarkan lesi yang
ditunjukkan oleh ultrasonografi atau dalam mengevaluasi pasien
dekompensasi. Selain itu, CT scan semakin banyak dimasukkan ke
dalam manajemen pasien stabil yang menjalani skrining untuk
mengidentifikasi lesi neoplastik.(5)
Dengan kemajuan teknologi, yang memungkinkan pemindaian
dinamis secara cepat menggunakan multi-slice CT scanner, scanning
hati dalam beberapa tahapan peningkatan kontras kini rutin
direkomendasikan sebagai metode yang paling sensitif untuk
mendeteksi Space Occupying Lesions (SOL) dan mengevaluasi
struktur vaskular. Namun, keterbatasan substansial tetap dalam
menggambarkan lesi kecil (<2 cm), terutama pada pasien dengan
sirosis lanjut.(5)
Bentuk yang paling khas dari karsinoma hepatoseluler (HCCA)
adalah nodul hiperdens yang ditemukan pada pencitraan fase arteri,
dengan hiperdens dan/atau hipodenspada pencitraan fase vena porta.
Pada CT scan, hiperdens dalam fase arteri sudah cukup karakteristik
untuk meyakinkan diagnosis. Karakterisasi nodul hati sulit ketika
temuan tidak "khas" dari HCCA, dan klasifikasi Liver Imaging
Reporting and Data (LI-RAD) baru-baru ini telah diperkenalkan untuk
meningkatkan konsistensi dan bantuan dalam keputusan
manajemen.Lima fitur utama telah dipilih, yang, dalam kombinasi,
mendukung diagnosis HCCA: (1) konfigurasi seperti massa, (2)
hyperenhancement fase arteri, (3) hypoenhancement fase vena portal
atau selanjutnya, (4) peningkatan diameter 10 mm atau lebih dalam 1
tahun, dan (5) tumor dalam lumen vena. Skala kategorisasi 5-poin ini
berdasarkan tingkat kepastian dari jinak, lesi intermediet, atau
diagnosis HCCA.(5)

24
Gambar 20. Karakteristik hepatocellular carcinoma unifokal pada laki-laki dengan sirosis
akibat komsumsi alkohol. Scan Precontrast menunjukkan lesi hipodens diatemeter 4,7-cm di
lobus kiri hati. (5)

Gambar 21. Fase arteri CT scan (pasien yang sama seperti pada gambar sebelumnya).
Tampak peningkatan densitas pada lesi. (5)

25
Gambar 22.Fase vena porta CT scan. Enhancement parenkim hati meningkat
dan daerah lesi telah tercampur antara hyperattenuated dan hipoattenuated,
dengan hipodens pada daerah central. (5)

Nino-Murcia et al mendeskripsikan peningkatan gambaran


arteri dengan pembuluh internal yang abnormal atau penampilan
beraneka ragam. Dalam beberapa kasus, fokus hiperdens tunggal
mungkin satu-satunya bukti HCCA, tanpa membedakan karakteristik
dari gamabran precontrast atau fase vena portal. Namun, terdapat
sebagian dari lesi hipodens atau isodens pada fase pencitraan arteri.
Nodul displastik mungkin juga sangat mirip dengan HCCA
karakteristik enhancement.(5)
Nodul hipoattenuasi yang digambarkan pada CT scan memiliki
potensi malignansi tinggi. Pada seri oleh Takayasu et al, 36 (60%) dari
60 lesi hipodens dikonversi menjadi lesi hiperdens, dengan tingkat
konversi kumulatif 60 lesi ini mencapai 58,7% dalam waktu 3 tahun
pemantauan. Tiga belas lesi dibiopsi segera setelah konversi diamati
untuk membuktikan bahwa mereka HCCA. Kehadiran antibodi virus
hepatitis C dan ukuran lesi pada saat deteksi berkorelasi dengan tingkat
konversi.(5)

26
Gambar 23.Nodul regeneratif pada pasien dengan sirosis. Tampak beberapa
lesi hiperdens subsentimeter pada pencitraan fase arteri. Sulit untuk
membedakan nodul ini dari lesi ganas. Nodul mewakili spektrum kontinu dari
respon terhadap cedera hati, dengan meningkatnya tingkat displasia
berpuncak pada karsinoma hepatoseluler.

Dalam hal tingkat kepercayaan, CT multidetektor adalah


modalitas pencitraan yang kuat, dengan sensitivitas dilaporkan 100%
untuk tumor lebih besar dari 2 cm, tapi sensitivitas rendah (setinggi
96%) untuk lesi di kisaran 1 sampai 2 cm. Merupakan kewajiban ahli
radiologi untuk waspada pada pasien berisiko tinggi yang menjalani
skrining dan evaluasi pretransplantasi dan menyarankan suspek tumor
intrahepatik untuk dikonfirmasi oleh modalitas pencitraan tambahan
seperti MRI, biopsi, atau pengawasan serial ketat jika karakteristik
pencitraan yang ditemukan atipikal, sesuai dengan pedoman American
Association for the Study of Liver Diseases (AASLD) untuk lesi di
kisaran 1 sampai 2 cm. Penggunaan sistem klasifikasi LI-RAD
diharapkan dapat meningkatkan konsistensi dalam pelaporan dan
kelainan.(5,6)
Sebuah dilema diagnostik utama untuk ahli radiologi jika
mendapatkan temuan transient hepatic attenuation difference (THAD)
dalam CT skrining pasien untuk hepatoma. Bahkan jika semua tahapan
pencitraan lainnya normal, secara statistik, pada pencitraan fase arteri

27
hepatika, fokus lesi hati hiperdens pada sirosis biasanya HCCA.
Dugaan tumor hipervaskular ini tentu saja lebih tinggi jika ditemukan
pencitraan suatu daerah hipodens relatif pada fase vena portal.THAD
juga dapat terjadi dalam kondisi tumor lain, seperti
cholangiocarcinoma perifer, dan neoplasma nonmalignan, seperti
hemangioma kecil. THAD dikaitkan dengan perubahan dalam suplai
darah ke hati, yang dapat terjadi dengan perkembangan pirau
arterioportal; perubahan perfusi berhubungan dengan trombosis vena,
kongesti, atau infiltrasi lemak pasca ablasi radiofrequency; dan di
lokasi di mana suplai darah tambahan hadir seperti segmen IV atau
fossa kandung empedu. Jika lesi memiliki bentuk wedge, memiliki
margin lurus, atau jika pembuluh yang normal dapat dilihat melewati
lesi, kemungkinan THAD nontumor menjadi lebih besar.Pembesaran
lobus kaudatus pada sirosis, dengan retraksi daerah lain, dapat meniru
pada pasien dengan karsinoma payudara metastatis ke hati yang sedang
menjalani kemoterapi.(5,6)

Gambar 24. Karsinoma payudara dapat meniru sirosis, dengan pembesaran


lobus kiri, ketidakteraturan kontur permukaan, dan perkembangan hipertensi
portal (lihat vena paraumbilikal pada panah).

28
d. MRI
Magnetic Resonance Imaging menawarkan metode alternatif
pencitraan hati non-invasif berdasarkan karakteristik spesifik jaringan. MRI
juga memiliki kelebihan dalam pencitraan jaringan. Selain menunjukkan
perubahan morfologi pada sirosis, MRI cocok untuk evaluasi struktur
vaskular untuk patensi atau invasi tumor. gambar T1-weighted penting dalam
memberikan detil anatomi, dan gambar T2-weighted lebih sensitif dalam
mendeteksi lesi massa, karakteristik kista, dan hemangiomata. Teknologi
MRI terus berkembang pesat, dengan perkembangan teknik, seperti
penggunaan gradien-echo spin-echo (SE) cepat, dan urutan difusi-weighted,
yang memungkinkan akuisisi cepat dari gambar yang diperlukan dalam
hubungannya dengan penggunaan kontras paramagnetik. Pola tumor pasca
pemberian agen kontras gadolinium dimasukkan ke dalam kriteria LI-
RAD.(5,6)

Gambar 25. Magnetic Resonance Imaging potongan koronal menunjukkan


pembesaran lobus kiri hati pada pasien lain dengan sirosis.(10)

Gadolinium, melalui sifat paramagnetik nya, mengurangi waktu relaksasi


T1 dan T2, dengan peningkatan rasio signal-to-noise. Gadolinium adalah
senyawa organik kelasi untuk membentuk agen kontras ekstraseluler yang,

29
setelah memasuki hati, terdistribusikan dari intravaskular ke ruang interstitial.
Agen-agen kini telah dikembangkan dengan karakteristik agen kontras
ekstraseluler dikombinasikan dengan karakteristik hepatosit-selektif. Agen
gabungan, seperti gadobenate dimeglumine dan asam gadoxetic, dapat
digunakan untuk pencitraan fase dinamis untuk deteksi lesi hati dan
karakterisasi dengan sensitivitas mirip dengan agen kontras ekstraseluler.(5)

Gambar 26. Seorang laki-laki 48 tahun dengan sirosis akibat infeksi hepatitis C dan
splenomegali. Sebuah scan MRI pregadolinium menunjukkan sebuah tumor isointense
5-cm x 6-cm dengan kapsul. Gambar fase arteri (b) menunjukkan peningkatan
kapsuler. Sebuah computed tomography (CT) scan (d-f) dari pasien yang sama
menunjukkan lesi dari dengan densitas sedikit lebih tinggi dari parenkim hati pada
gambar precontrast, diikuti oleh peningkatan minimal pada fase arteri (e) dan menjadi
lebih isodens dengan hati pada gambar fase vena Portal (f). Kedua, lesi yang lebih kecil
(lobus kanan, posterior) tidak jelas pada gambar pra atau fase arteri tetapi menjadi lebih
hipodens pada fase vena porta. (5)

MRI memiliki peranan yang semakin meningkat dalam skrining terutama


di pusat-pusat transplantasi khusus. Tingkat kepercayaan MRI, terutama ketika
agen kontras yang lebih baru digunakan, tampaknya setara, atau melebihi,
tingkat kepercayaan spiral CT scan dual atau MDCT scan tiga fase. Dalam
pelaporan awal, sensitivitas secara keseluruhan MRI dilaporkan oleh Bartolozzi
et al adalah 86% untuk penilaian precontrast dan postcontrast. Sensitivitas
serupa telah dilaporkan oleh Kondo et al, yang menganalisis secara retrospektif

30
gambar hati dari 33 pasien secara segmen demi segmen. Sebanyak 261 segmen,
termasuk 39 HCCA dan 21 metastasis, secara independen ditinjau oleh 3 ahli
radiologi. Agen hati yang lebih spesifik seperti gadobenate dimeglumine,
ferucarbotran, dan asam gadoxetic telah meningkatkan akurasi, kini dilaporkan
memiliki spesifisitas melebihi 95%.Namun, MRI masih memiliki keterbatasan
yang signifikan dalam spesifisitas deteksi tumor kecil, yang dengan
pengembangan lebih lanjut dari agen kontras spesifik jaringan mungkin dapat
diatasi.(5)

e. Pencitraan Nuklir
99m
Teknik pencitraan fungsional menggunakan koloid sulfur berlabel Tc
memberikan beberapa pencitraan dari fungsi hati. Agen diambil oleh sel
reticuloepithelial (RE), dan pergeseran koloid ke organ RE lainnya (sumsum
tulang, limpa) memberikan bukti langsung dari adanya hipertensi portal.
Selain itu, serapan heterogen memungkinkan pengenalan disfungsi hati yang
mendasari. Estimasi volumetrik hati dapat dibuat tetapi telah digantikan oleh
teknik pencitraan lain.(5)

Gambar 27. Seorang laki-laki berusia 56 tahun dengan sirosis sekunder akibat
penyalahgunaan alkohol. Koloid sulfur Technetium-99m (99mTc) (6 millicuries)
diberikan secara intravena. Gambar planar menunjukkan splenomegali tanpa defek
fokal. Sebuah Single Photon Emission Computed Tomography (SPECT)

31
menunjukkan pergeseran radiokoloid ringan sampai limpa dan sumsum tulang, yang
mengindikasikan keberadaan "ringan" dari hipertensi portal. (5)

Fluorine-18 fluorodeoxyglucose (18F-FDG) diambil oleh sel-sel tumor,


tetapi penggunaan agen ini dalam hubungannya dengan Positron Emission
Tomography (PET) scanning tampaknya lebih cocok untuk lesi yang lebih
besar. Oleh karena itu, saat ini, Trojan et al percaya bahwa 18F-FDG PET tidak
mungkin untuk menggantikan teknik lainnya. Sensitivitas muncul di kisaran
hanya 55%, dibandingkan dengan sensitivitas 90% dari CT scan, dan Khan et al
melaporkan bahwa tumor cenderung memiliki tingkat yang lebih rendah dalam
penyerapan. Implikasi prognostik dari temuan ini belum dijelaskan. Dalam
penyelidikan, Kim et al menyatakan harapan bahwa teknik pencitraan
fungsional mungkin dapat memprediksi respon tumor terhadap kemoterapi.
Karena sensitivitas PET relatif rendah, modalitas ini tidak direkomendasikan
sebagai alat skrining klinis untuk HCCA, dan penggunaannya masih dalam
penelitian. Kurtaran et al melaporkan bahwa PET mungkin bermanfaat dalam
membedakan lesi hepatik jinak, seperti focal nodular hyperplasia (FNH), dari
lesi ganas, karena ada penurunan penyerapan di FNH.(6)

f. Angiografi
Angiography telah berevolusi dari modalitas invasif yang digunakan
dalam evaluasi diagnostik tumor dan komplikasi lain sirosis (dalam dekade
sebelum pengenalan modalitas pencitraan non invafsif) menjadi metode
pencitraan dengan intervensi dan terapeutik yang jauh lebih canggih.
Karakteristik angiografi dari sirkulasi hati pada sirosis dan vaskularisasi tumor,
termasuk demonstrasi dari karateristik pirau AV HCCA, didesripsikan beberapa
dekade yang lalu, dan pengetahuan tentang karakteristik ini sekarang
membentuk pondasi dari pemahaman kita tentang pencitraan hati dinamis
menggunakan USG, CT scan, dan MRI.Saat ini peranan diagnostic dari
angiografi telah disingkirkan oleh USG dan CT scan.(5)

32
Gambar 23. Penampilan khas sirosis (pada perempuan berusia 22 tahun) pada
angiografi. Injeksi trunkus celiaca menunjukkan arteri hepatika yang membesar,
cabang intrahepatik yang berliku-liku, dengan konfigurasi "pembuka botol".(3)

Demonstrasi angiografi dari perfusi hati tetap penting dalam penilaian


transplantasi, mengingat variabilitas yang luar biasa dari arteri hepar dan
drainase vena, meskipun Smith et al menunjukkan bahwa pengembangan
berbasis komputer, teknik 3-dimensi dapat membuat teknik ini menjadi usang.
Dapat diterima bahwa angiografi, meskipun berguna dalam menunjukkan
anatomi pembuluh darah, bukan teknik yang paling sensitif yang tersedia untuk
mendiagnosis HCCA kecil. Pasien dengan noninvasif multifokal HCCA
asimtomatik terbatas pada hati dan fungsi hati yang baik adalah kandidat untuk
transcatheter arterial chemoembolization (TACE). Penilaian yang akurat dari
hemodinamik portal pasien dengan sirosis diperlukan untuk tujuan prognostik.
Penilaian tersebut memerlukan pengukuran tekanan hati, pengukuran langsung
dari tekanan atrium kanan, dan pengukuran tekanan vena kava inferior pada
hati.(3)

33
Gambar 28. Visualisasi indirek dari sistem vena porta dapat diperoleh dengan
injeksi arteri mesenterika superior dengan pencitraan tertunda. angiogram fase
vena ini menunjukkan kolateral menonjol dan opasitas samar (panah) dari vena
portal.(5)

Gambar 29. Tekanan wedge vena hepatika dapat diukur setelah kateterisasi
langsung dari vena hepatika, dengan penyumbatan sementara vena dengan balon.
Dalam penelitian ini, tekanan wedge vena hepatika adalah 20 mmHg, tekanan
vena hepatika yang normal adalah 8 mmHg, tekanan atrium kanan adalah 4-8
mmHg, vena cava inferior pada tingkat hati adalah 8 mm Hg, dan vena cava
inferior di bawah hati adalah 9 mm Hg. Gradien tekanan adalah perbedaan antara
tekanan atrium kanan dan tekanan wedge vena hepatika.

34
II.7. Diagnosis Banding
Abses hati

Abses hati yang belum diobati dindingnya rata, bagian dalam abses
biasanya reolatif hypoechoic yang menunjukkan bahwa isinnya cair. Tetapi
mungkin terdapat abses yang isinya kelihatan hyperechoioc atau dengan
”multiple echo level” bila nanahnya masih kental yang sering dikelirukan
sebagai abses ganas. Untuk membedakan dengan tumor yang solid kita lihat
adanya acoustic enhancement yaitu warna keputihan dibawah massa yang
menunjukkan bahwa massa tersebut cair dan meneruskan suara dengan baik.
Sedangkan bila massa itu solid justru akan terlihat acoustic shadow yaitu warna
kehitaman dibawah massa. Abses yang isinya hyperechoic sering juga
dikelirukan sebagai massa padat dan didiagnosa sebagai hepatoma. Kadang-
kadang memang sulit dibedakan. Dalam hal ini seringkali kita memberi terapi
abses dengan anti amuba dan antibiotik dan setelah beberapa hari dilakukan
USG ulang. Bila memang abses isinya menjadi lebih hypoechoic karena
cairannya lebih encer.(18,19)

(18,19)

35
Lymphoma maligna pada hati :
Lymphoma maligna primer dihati relatif jarang dijumpai. Tetapi bila ada
gambaran yang khas yaitu gambaran hypoechoic yang uniforum jangan sampai
luput dari diagnosa, karena diagnosa itu sangat penting bagi klinisi terutama
untuk memutuskan dilakukan khemotherapi. Lymphoma maligna hati biasanya
multiple tetapi dapat juga single. Suatu hal yang khas pada lymphoma respon
terhadap khemotherapi cepat kelihatan.(18,19)

II.8. Tatalaksana
Usaha-usaha dalam manajemen CLD terutama adalah mengobati atau
mengendalikan penyebab dan mencegah timbulnya penyulit-penyulit.
Membatasi kerja fisik, tidak minum alcohol, dan menghindari obat-obat dan
bahan-bahan hepatotoksik merupakan suatu keharusan. Bilamana tidak ada

36
koma hepatic diberikan diet yang mengandung protein 1g/KgBB dan kalori
sebanyak 2000-3000 kkal/hari.(16)

Tatalaksana pasien CLD sama dengan tatalaksana yang


diberikan pada pasien dengan sirosis. Pada pasien dengan sirosis yang masih
kompensata, tatalaksana ditujukan untuk mengurangi progresi kerusakan hati.
Terapi pasien ditujukan untuk menghilangkan etiologi, diantaranya: alkohol dan
bahan-bahan lain yang toksik dan dapat mencederai hati dihentikan
penggunaannya. Pemberian asetaminofen, kolkisin dan obat herbal bisa
menghambat kolagenik. Hepatitis autoimun; bisa diberikan steroid atau
imunosupresif. Penyakit hati nonalkoholik; menurunkan berat badan akan
mencegah terjadinya sirosis.(16)

Pada hepatitis B, interferon alfa dan lamivudin (analog nukleosida)


merupakan terapi utama. Lamivudin sebagai terapi lini pertama diberikan 100
mg secara oral setiap hari selama satu bulan kemudian dilakukan pengecekan
kepekaan terhadap obat dan perbaikan klinis. Interferon alfa diberikan secara
suntikan subkutan 3 MIU, tiga kali seminggu selama 4-6 bulan.(16)

Pada hepatitis C kronik, kombinasi interferon dengan ribavirin merupakan


terapi standar. Interferon diberikan secara suntikan subkutan dengan dosis 5
MIU tiga kali seminggu dan dikombinasikan ribavirin 800-1000 mg/ hari
selama 6 bulan.(16)

Pada pengobatan fibrosis hati; pengobatan antifibrotik pada saat ini lebih
mengarah kepada peradangan dan tidak terhadap fibrosisnya. Di masa datang,
menempatkan sel stelata sebagai target pengobatan dan mediator fibrogenik
akan merupakan terapi utama. Pengobatan untuk mengurangi aktifasi sel stelata
bisa merupakan salah satu pilihan. Interferon memiliki aktifitas antifibrotik
yang dihubungkan dengan pengurangan aktivasi sel stelata. Kolkisin memiliki
efek antiperadangan dan mencegah pembentukan kolagen, namun belum tebukti
dalam penelitian sebagai anti fibrosis dan sirosis. Metotreksat dan vitamin A
juga dicobakan sebagai antifibrosis. Selain itu, obat-obatan herbal juga sedang
dalam penlitian.(16)

37
Pada kodisi sirosis dekompensata, muncul keluhan asites, ensefalopati,
peritonitis dan lain-lain. Pada sirosis denganasites, tirah baring dan diawali diet
rendah garam merupakan terapi awalnya. Konsumsi garam sebanyak 5,2 gram
atau 90 mmol/hari. Diet rendah garam dikombinasi dengan obat-obatan diuretic.
Pemberian diuretic hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam
dan pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg
setelah 4 hari. Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic
adalah hipokalemia dan hal ini dapat mencetuskan encepalophaty hepatic, maka
pilihan utama diuretic adalah spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah,
serta dapat dinaikkan dosisnya bertahap tiap 3-4 hari. Awal pemberian
spironolakton dengan dosis 100-200 mg sehari.Respon diuretic bisa dimonitor
dengan penurunan berat badan 0,5 kg/hari, tanpa adanya edema kaki atau 1
kg/hari dengan edema kaki. Bilamana pemberian spironolakton tidak adekuat
bisa dikombinasikan dengan furosemid dengan dosis 20-40 mg/hari. Pemberian
furosemid bisa ditambah dosisnya bila tidak ada respon, maksimal dosisnya 160
mg/hari. Parasentesis dilakukan bila asites sangat besar. Pengeluaran asites bisa
hingga 4-6 liter dan harus dengan pemberian albumin.(16)

Pada ensefalopati hepatik, Prinsip penggunaan ada 3 sasaran yaitu


mengenali dan mengobati factor pencetus, intervensi untuk menurunkan
produksi dan absorpsi amoniak serta toxin-toxin yang berasal dari usus dengan
jalan diet rendah protein dan pemberian antibiotik (neomisin) serta pemberian
lactulose/ lactikol, dan yang terakhir adalah dengan pemberian obat-obat yang
memodifikasi balance neutronsmiter secara langsung (Bromocriptin,
Flumazemil) dan tak langsung (Pemberian AARS). Varises esophagus, Sebelum
berdarah dan sesudah berdarah bisa diberikan obat β-blocker. Waktu perdarahan
akut, bisa diberikan preparat somatostatin atau oktreotid, diteruskan dengan
tindakan skleroterapi atau ligasi endoskopi. Peritonitis bakterial spontan,
diberikan antibiotika dengan memberikan Cephalosporins Generasi III
(Cefotaxime), secara parental selama lima hari, atau Qinolon secara oral.
Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk Profilaxis dapat diberikan
Norfloxacin (400mg/hari) selama 2-3 minggu. Sedangkan pada sindrom
hepatorenal, prinsip tatalaksananya adalah dengan mengatasi perubahan
sirkulasi darah hati, mengatur keseimbangan garam dan air. Sindroma ini

38
dicegah dengan menghindari pemberian diuretik yang berlebihan, penanganan
secara konservatif dapat dilakukan berupa ritriksi cairan, garam, potassium dan
protein serta menghentikan obat-obatan yang nefrotoksik.(16)

II.9. Prognosis

Prognosis pada pasien dengan Chronic Liver Disease tergantung dari


penyebab dan keparahan penyakit. Prognosis yang malam meliputi chronic liver
disease grade III atau IV disertai dengan ensefalopati, usia lebih dari 40 tahun,
dan ada drug induced hepatic failure. (6)

39
BAB III

KESIMPULAN

Mengingat pengobatan CLD hanya yang beragam dan sulitnya mengobati


penyulit, maka prognosa CLD terutama yang sudah berkembang kearah sirosi
dekompensatabias sangat buruk. Namun penemuan kasus CLD dan sirosis hati yang
masih terkompensasi mempunyai prognosa yang baik. Oleh karena itu ketepatan
diagnosa dan penanganan yang tepat sangat dibutuhkan dalam penatalaksanaan sirosis
hati guna memperoleh hasil yang diinginkan.

40
DAFTAR PUSTAKA

1. Hansen JT. Netter’s Clinical Anatomy. 2nd ed. 2010. Philadelphia:


Elsevier.p.147.
2. Snell RS. Clinical Anatomy by Region. 9th ed. 2012. Philadelphia: Lippincott
Williams & Wilkins.p.196-8.
3. Wolf DC. Cirrhosis. In: Anand BS, editor. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/185856-overview#a1. Accessed on:
December 15th, 2017
4. Dick R, Watkinson A. The Liver and Spleen. In: Sutton D. Textbook of
Radiology and Imaging. 7th ed. 2003. Churcill Livingstone: Edinburgh.p.737-
46.
5. Taylor CR. Cirrhosis Imaging. In: Karani J, editor. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/366426-overview#a1. Accessed on:
November 15th, 2016
6. Yeom SK, Lee CH, Cha SH, Park CM. Prediction of Liver Cirrhosis, Using
Diagnostic Imaging Tools. World J Hepatol 2015;7(17):2069-79.
7. S Mgaieth et al. Impact of Viral Hepatitis Aetiology on Survival Outcomes in
hepatocellular carcinoma: A large Multicentre Cohort Study.J Viral Hepat 24
(11), 982-9.2016 jun 09.
8. YJ Cai et al. A Diagnostic Algorithm for Assessment of Liver Fibrosis by
Liver Siffiness Measurement in Patients with Chronic Hepatitis B.J Viral
Hepat 24 (11),1005-15.2015 May 12.
9. Tchelepi H, Ralls PW, Radin R,Grant E. Sonography of Diffuse liver disease.J
Ultrasound Med. 2002;Sep 21 (9):1023-32;quiz 1033-4.
10. Kurtz AB, Rubin CS, Cooper HS, Medoff J. Ultrasound findings in hepatitis.
2001 Sep;136(3):717-23.DOI:10.1148/radiology.136.3.7403553
11. Heidelbaugh JJ, Brudely M. Cirrhosis and Chronic Liver Failure: Part I.
Diagnosis and Evaluation. American Family Physician 2006;74:756-62
12. Nurdjanah S. Sirosis Hati dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam , edisi IV
jilid II, Jakarta, Pusat penerbitan Departemen Ilmu penyakit dalam FK UI.,
2006 hal 445-8
13. Wilson LM, Lester LB. Hati, saluran empedu, dan pankreas. In Wijaya C,
editor. Patofisiologi konsep klinis proses proses penyakit. Jakarta: ECG; 1994.
p. 426-63.
14. Ghany M, Hoofnagle JH. Approach to the patient with liver disease. In Kasper
DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL. Harrison's
principles of internal medicine. New York: McGraw-Hill; 2005. p. 1808-13
15. Choudhury, J., Sanyal, A. J. 2006, Cirrhosis and its complications in K.
RajenderReddy & Thomas Faust (eds), The Clinician’s guide to liver disease,
SlackInc., New Jersey, USA.

41
16. Nurdjanah S. Sirosis hati. In Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, K. MS, Setiati
S, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia;
2006. p. 443-6.
17. Oxvord Medical Education. Chronic Liver Disease. Availabel at
:www.oxfordmedicaleducation.com/gastroenterology/chronic-liver-disease-
cld-compensated/. Accessed on: December 15th, 2017
18. Zheng RQ, Wang QH, Lu MD, Xie SB, Ren J, Su ZZ, Cai YK, Yao JL. Liver
fibrosis in chronic viral hepatitis: An Ultrasonographic study. World J
Gastroenterol 2003; 9: 2484-2489.
19. Ong TZ, Tan HJ. Ultrasonography is not Realible in Diagnosing Liver
Cirrhosis in Clinical Practice. Singapore Med J 2003; 44: 293-295.
20. Sloane, E., 2004. Anatomi dan Fisiologi Untuk Pemula. Penerbit Buku
Kedokteran (EGC). Jakarta.

42

Anda mungkin juga menyukai