BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1
2.1.1
Anatomi Hati
Hati adalah organ terbesar dalam tubuh manusia, beratnya sekitar 1,6 kg
pada pria dan 1,4 kg pada wanita, atau sekitar 2% dari berat badan orang dewasa.
Letaknya di bawah diafragma pada sisi kanan atas perut, bagian anterior dan
posterior dilindungi oleh tulang rusuk. Hati terbagi dalam dua belahan utama,
kanan dan kiri (North-Lewis, 2008). Permukaan hati halus, mengkilat dan
berwarna merah kecoklatan. Pada permukaan atas berbentuk cembung dan
terletak di bawah diafragma, sedangkan permukaan bawah tidak rata dan
memperlihatkan lekukan fisura transversus. Di bawah permukaan ini terdapat
ginjal kanan, gaster, pankreas dan usus (Pearce, 2002). Anatomi hati dapat dilihat
seperti gambar 2.1 di bawah ini.
Gambar 2.2 Histologi Hati (Gartner, P. Leslie and James L. Hiatt, 2007)
Di dalam sinusoidal hati terdapat sel stellanta yang berguna untuk
menyimpan retinoid, yang merupakan derivat vitamin A. Melalui proses inflamsi
yang khas dan kompleks, sel stellanta bertransformasi menjadi miofibroblast yang
mampu mensekresi kolagen ke ruang sinusoidal dan mengatur tekanan portal
dengan cara berkontraksi ataupun relaksasi. Sel stellanta dapat juga terlibat dalam
proses fibrosis pada hati (Tsao, 2003).
2.1.3
Sirkulasi Hati
Arteri hepatika, yang keluar dari aorta memberikan seperlima darahnya
kepada hati, darah ini mempunyai kejenuhan oksigen 95% sampai 100%. Vena
portal yang terbentuk dari vena linealis dan vena mesentrika superior,
mengantarkan empat perlima darahnya ke hati, darah ini mempunyai kejenuhan
oksigen hanya 70% sebab beberapa oksigen telah diambil oleh limpa dan usus.
Darah vena portal ini membawa ke hati zat makanan yang telah diabsorpsi oleh
mukosa usus halus (Pearce, 2002). Vena portal bersifat unik karena terletak di
antara dua kapiler, yang satu terletak dalam hati dan yang lainnya dalam saluran
cerna. Saat memasuki hati, vena portal bercabang-cabang yang menepel
melingkari lobulus hati. Cabang-cabang ini kemudian mempercabangkan venavena interlobularis yang melintasi lobulus-lobulus. Vena-vena ini kemudian
membentuk sinusoid yang berjalan di antara lempengan hepatosit dan bermuara
dalam vena sentralis. Vena sentralis dari beberapa lobulus bersatu membentuk
vena sublobularis yang selanjutnya menyatu dan membentuk vena hepatika.
Cabang-cabang terhalus arteri hepatika juga mengalirkan darahnya ke dalam
sinusoid, sehingga terjadi campuran darah arteri dari arteri hepatika dan darah
vena dari vena portal (Lindseth, 2005).
10
Fungsi hati
Fungsi hati berkaitan erat dengan proses metabolik tubuh, khususnya
mengenai pengaruh atas makanan dan darah. Dalam tabel berikut akan dibahas
tentang fungsi utama hati (Baradero et al, 2005; Lindseth, 2005; North-Lewis,
2008).
Table II.1 Fungsi Utama Hati
Fungsi
Pembentukan dan Ekskresi
Keterangan
Garam empedu penting untuk pencernaan dan absorpsi lemak serta
Empedu
Metabolisme Garam dan Pigmen
Empedu
Metabolisme Karbohidrat
Glukogenesis
Glikogenolisis
dalam hati
Dari depot glikogen ini glukosa dilepaskan secara konstan ke dalam
merupakan
hasil
akhir
darah
11
dan lemak
Protein serum yang disintesis oleh hati adalah
albumin, globulin alfa dan beta (gama globulin
tidak). Faktor pembekuan darah yang disintesis oleh
hati adalah fibrinogen (I), protrombin (II) dan faktor
V, VII, IX, dan X. Vitamin K merupakan faktor yang
penting dalam sintesis semua faktor ini, kecuali
Pembentukan Urea
Metabolisme Lemak
utama
dalam
sintesis
Metabolisme Steroid
Detoksifikasi
estrogen,
progesterone
dan
testosteron.
Hati bertanggung jawab atas biotransformasi zat-zat
berbahaya (misalnya obat) menjadi zat-zat yang tidak
Definisi
Kata sirosis pertama kali dikemukakan oleh Laennac pada tahun 1826
yang diambil dari bahasa Greek (latin) Kirrhos yang artinya orange atau warna
kuning jingga pada hati (Stragand et al, 2008). Sirosis hati merupakan penyakit
hati menahun yang ditandai dengan proses peradangan, nekrosis sel hati, usaha
regenerasi dan penambahan jaringan ikat difus dengan terbentuknya nodul yang
mengganggu susunan lobulus hati. Nodul-nodul ini dapat berukuran kecil
(mikronodular) atau besar (makronodular) (Tarigan, 2004).
Hati yang sehat mampu meregenerasi sebagian besar selnya sendiri.
Ketika menjadi rusak akibat sirosis stadium akhir, hati tidak bisa lagi secara
12
efektif menggantikan sel yang rusak. Prognosis yang buruk pada sirosis hati
terjadi karena tingginya insiden komplikasi, termasuk dekompensasi fungsi hati
(asites, ikterus, ensefalopati, hipertensi portal dan perdarahan varises), dan
pengembangan kearah hepato cellular carcinoma (Minino et al, 2008; GuangChen et al 2012).
2.2.2
Epidemologi
Sirosis termasuk 10 besar penyebab kematian di dunia barat . Meskipun
Etiologi
Pemicu utama yang mengakibatkan sirosis hati adalah peradangan yang
13
14
2.2.3.4 Alkohol
Alkohol menjadi salah satu penyebab sirosis hati dengan hipertensi portal
dengan mekanisme sebagai berikut, etanol diabsorbsi dengan baik di usus halus,
kemudian akan dimetabolisme oleh ADH (Gastric Alcohol Dehydrogenase)
membentuk asetaldehid yang merupakan molekul sangat reaktif. Pada akhirnya,
asetaldehid mengalami
15
struktur hati terutama hepatosit yang akan diikuti dengan menurunnya fungsi
sintesis hati khususnya sintesis albumin. Kadar albumin plasma dapat menurun
jika sudah terjadi keadaan kerusakan hati lanjut (sirosis bilier). Hal ini terjadi
karena pada keadaan obstruktif yang lebih lanjut akan terjadi kerusakan hati yaitu
nekrosis hepatoselular, proliferasi sel-sel epitelial duktus biliaris, aktivasi sel-sel
stellanta yang diikuti dengan fibrosis hati (Nuanza, 2013).
2.2.3.6 Infeksi parasit yang kronis yaitu skistosomiasis
Schistosomiasis hati merupakan hasil dari granulomatosa host. Mediasi
sel, ketika timbulnya sistem kekebalan tubuh terhadap telur antigen dari S.
Mansoni, yang berkembang kearah fibrosis irreversibel dan mengakibatkan
hipertensi portal yang parah. Telur tetap dapat hidup di hati selama 3 minggu.
Terutama, telur yang menyebabkan seseorang mengaktivasi sel T helper tipe 1
(Th-1) untuk menanggapi telur antigen. Namun, hal ini biasanya berkembang
untuk mengaktivasi Th-2 yang dominan pada sistem kekebalan tubuh terhadap
antigen telur. Kemudian terjadi rekrutmen eosinofil, pembentukan granuloma dan
fibrogenesis hati (Elbaz and Gamal, 2012).
2.2.4
Klasifikasi Sirosis
Secara mikroskopik sirosis hati umumya dibagi atas tiga bagian yaitu
16
biasanya terjadi setelah hepatitis virus disertai nekrosis yang luas. Hati membesar
dan bentuknya sangat tidak teratur akibat besarnya nodul.
2.2.4.3 Sirosis Biliaris
Sirosis Biliaris lebih jarang ditandai dengan fibrosis di sekitar duktus
intrahepatik yang melebar. Bisa terjadi setelah kolangitis kronis dan obstruksi
bilier atau idiopatik (primer).
2.2.5 Patogenesis
Peningkatan atau perubahan sintesis kolagen dan jaringan penghubung
yang lain atau komponen membran basal dari matriks seluler terlibat dalam
pembentukan fibrosis liver dan patogenesis dari sirosis (Lingappa & Nguyen,
2006). Fibrosis liver sering muncul dalam 3 tahap (i) sebagai respon imun, (ii)
sebagai bagian dari proses penyembuhan luka, (iii) pada respon terhadap agen
fibrinogenesis. Hepatitis B virus (HBV) dan spesies Schistosoma adalah contoh
agen penyebab terjadinya fibrosis dan proses imunologis. Karbon tetraklorida
(CCl4) dan hepatitis A yang menyerang dan membunuh hepatosit secara langsung
adalah contoh agen yang menghasilkan fibrosis sebagai dari bagian penyembuhan
luka. Pada respon imun dan penyembuhan luka, fibrosis dipicu secara tidak
langsung oleh efek sitokinin yang dikeluarkan oleh sel yang mengelami inflamasi.
Beberapa senyawa seperti etanol dan besi dapat menyebabkan fibrosis primer
dengan secara langsung meningkatkan transkripsi gen pembentuk kolagen
sehingga meningkatkan jumlah jaringan penghubung yang disekresikan oleh sel
(Lingappa & Nguyen, 2006).
Sel penyimpan lemak (liposit) bertanggung jawab atas mekanisme dari
peningkatan fibrogenesis dalam system retikuloendotel liver. Sebagai respon
terhadap sitokin, liposit berdiferensiasi dari sel yang tidak aktif, dimana vitamin A
disimpan menjadi miofibroblas yang akan kehilangan kapasittas untuk
menyimpan vitamin A. miofibroblas ini menjadi aktif dalam produksi matriks
ekstraseluler. Sirosis hepatik muncul dalam dua tahap. Tahap pertama ditandai
oleh suatu perubahan dalam komposisi matriks ekstraseluler dari non-crosslinked, non-fibril-forming collagen menjadi kolagen yang lebih rapat dan menuju
17
cross-linked. Pada tahap ini kerusakan liver masih bersifat reversible. Tahap kedua
adalah pembentukan dari kolagen cross-linked subendotel, poliferasi sel-sel
mioepitel, dan distorsi dari struktur liver dengan penempakan regenerasi nodul.
Tahap kedua ini sifatnya irreversible (Lingappa & Nguyen, 2006).
Tahap akhir dari peyakit hati kronis ditandai berdasarkan tiga karakteristik,
yaitu (i) Bridging Fibrous Septa dalam bentuk pita halus atau jaringan parut lebar
yang menggantikan lobulus, (ii) Nodul parenkim yang terbentuk oleh regenerasi
hepatosit, dengan ukuran bervariasi dari yang sangat kecil (kurang dari 3 mm)
hingga sangat besar (beberapa sentimeter), (iii) kerusakan struktur hati secara
keseluruhan, yang ditandai dengan distorsi percabangan pembuluh hepatik dan
gangguan aliran darah portal (Robbins, 2005). Patogenesis hati dapat dilihat pada
gambar 2.4.
18
19
20
(3) Hipotesis vasodilatasi arteri perifer, hipotesis ini adalah hipotesis terbaru
yang merupakan gabungan dari kedua hipotesis sebelumnya. Hipertensi
portal menyebabkan vasodilatasi arteri perifer, dan berakibat penurunan
EABV. Sesuai dengan perjalanan alami penyakit, terdapat peningkatan
eksitasi neurohumoral, dan peningkatan retensi natrium oleh ginjal
sehingga volume plasma meningkat. Urutan kejadian antara hipertensi
portal dan retensi natrium ginjal belum jelas. Hipertensi portal juga
menyebabkan peningkatan kadar nitrat oksida Nitrat oksida (NO)
merupakan mediator kimia yang menyebabkan vasodilatasi pembuluh
darah splanknik dan perifer. Kadar NO pada arteri hepatika pasien asites
lebih besar daripada pasien tanpa asites. Peningkatan kadar epinefrin dan
norepinefrin, dan hipoalbuminemia juga berkontribusi dalam pembentukan
asites. Hipoalbuminemia mengakibatkan penurunan tekanan onkotik
plasma sehingga terjadi ekstravasasi cairan plasma ke rongga peritoneum.
Dengan demikian, asites jarang terjadi pada pasien sirosis tanpa hipertensi
portal dan hipoalbuminemia.
C. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)
SBP terjadi karena berkembangnya infeksi pada cairan asites,
mikroorganisme patogen pada cairan peritoneum berasal dari saluran cerna.
Pada keadaan sirosis dengan hipertensi portal akan terjadi enteropati sehingga
bakteri yang ada dalam saluran cerna masuk ke dalam cairan asites karena
perforasi exudate dan transudate. Disamping itu cairan asites merupakan
cairan plasma yang mengandung protein sehingga baik untuk media
pertumbuhan bakteri patogen, diantaranya enterobactericeae (E. coli), bakteri
gram negatif, kelompok enterococcus (Dipiro et al, 2008)
Pasien dengan SBP biasanya tidak ada tanda infeksi tetapi beberapa
pasien mungkin menunjukkan tanda-tanda sepsis dan shok, ensefalopati, atau
kerusakan fungsi hati. Angka kematian SBP tanpa pengobatan adalah sebesar
lebih dari 50%, tetapi dapat dikurangi menjadi kurang dari 20% dengan
diagnosis dini dan pengobatan. SBP terlihat pada sekitar 12% dari pasien
yang dirawat di rumah sakit dengan sirosis dan asites. SBP dicirikan oleh
21
adanya sel-sel neutrofil dalam cairan asites (250/l) atau kultur cairan asites
positif (Bendtsen et al, 2012).
D. Sindrom Hepato Renal (SHR)
Sindrom hepatorenal merepresentasikan disfungsi dari ginjal yang
dapat diamati pada pasien yang mengalami sirosis dengan komplikasi asites.
Sindrom ini diakibatkan oleh vasokonstriksi dari arteri ginjal besar dan kecil
sehingga menyebabkan menurunnya perfusi ginjal yang selanjutnya akan
menyebabkan penurunan laju filtrasi glomerulus. Diagnosa sindrom
hepatorenal ditegakkan ketika ditemukan kliren kreatinin kurang dari 40
ml/menit atau saat serum kreatinin lebih dari 1,5 mg/dl, volume urin kurang
dari 500 mL/d dan natrium dalam urin kurang dari 10 mEq/L (Kopacova,
2012).
E. Hepatik Ensefalopati (HE)
Ensepalopati hepatikum merupakan suatu kelainan neuropsikiatri
yang bersifat reversibel dan umumnya didapat pada pasien dengan sirosis hati
setelah mengeksklusi kelainan neurologis dan metabolik. Derajat keparahan
dari kelainan ini terdiri dari derajat 0 (subklinis) dengan fungsi kognitif yang
masih bagus sampai ke derajat 4 dimana pasien sudah jatuh ke keadaan koma.
Patogenesis terjadinya ensefalopati hepatik diduga oleh karena adanya
gangguan metabolisme energi pada otak dan peningkatan permeabelitas
sawar darah otak. Peningkayan permeabelitas sawar darah otak ini akan
memudahkan masuknya neurotoxin ke dalam otak. Neurotoxin tersebut
diantaranya, asam lemak rantai pendek, mercaptans, neurotransmitter palsu
(tyramine, octopamine, dan beta- phenylethanolamine), amonia, dan gammaaminobutyric acid (GABA). Kelainan laboratoris pada pasien dengan
ensefalopati hepatik adalah berupa peningkatan kadar amonia serum (Saskara
dan Suryadarma, 2012).
F. Karsinoma Hepatoseluler (KHS)
22
KHS adalah salah satu jenis keganasan hati primer yang paling sering
ditemukan dan banyak menyebabkan kematian. Dari seluruh keganasan hati,
80-90% adalah KHS. Beberapa faktor patogenesis karsinoma hepatoseluler
telah didefinisikan baru-baru ini. Hampir semua tumor di hati berada dalam
konteks kejadian cedera kronik (chronic injury) dari sel hati, peradangan dan
meningkatnya kecepatan perubahan hepatosit. Respons regeneratif yang
terjadi dan adanya fibrosis menyebabkan timbulnya sirosis, yang kemudian
diikuti oleh mutasi pada hepatosit dan berkembang menjadi karsinoma
hepatoseluler. HBV atau HCV mungkin ikut terlibat di dalam berbagai
tahapan proses onkogenik ini. Misalnya, infeksi persisten dengan virus
menimbulkan inflamasi, meningkatkan perubahan sel, dan menyebabkan
sirosis. Sirosis selalu didahului oleh beberapa perubahan patologis yang
reversibel, termasuk steatosis dan inflamasi, baru kemudian timbul suatu
fibrosis yang ireversibel dan regenerasi nodul (Siregar, 2005).
2.2.7 Prognosis Sirosis
Prognosis sirosis sangat bervariasi dan dipengaruhi oleh sejumlah faktor,
diantaranya etiologi, beratnya kerusakan hati, komplikasi, dan penyakit yang
menyertai. Beberapa tahun terakhir, metode prognostik yang paling umum dipakai
pada pasien dengan sirosis adalah sistem klasifikasi Child-Turcotte-Pugh. Sistem
klasifikasi Child-Turcotte-Pugh dapat dilihat pada tabel 2.2. Sistem klasifikasi
Child- Turcotte-Pugh dapat memprediksi angka kelangsungan hidup pasien
dengan sirosis tahap lanjut. Dimana angka kelangsungan hidup selama setahun
untuk pasien dengan kriteria Child-Pugh A adalah 100%, Child-Pugh B adalah
80%, dan Child-Pugh C adalah 45% (Saskara dan Suryadarma, 2012).
Skor
1
Asites
Tidak Ada
Minimal
Sedang-Berat
Ensefalopati
Tidak Ada
Minimal-Sedang
Sedang-Berat
23
Bilirubin (mg/dl)
< 2,0
2-3
>3
Albumin (g/dl)
> 3,5
2,8-3,5
< 2,8
Watktu Protombin/
INR (detik)
1,7
2,3
2,3
24
kepribadian, adanya flapping tremor pada tangan (asteriksis) atau hingga terjadi
koma.
2.2.9 Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium merupakan deteksi awal dan langkah untuk
menentukan manajemen terapi penyakit hati. Tes ini sering disebut "tes fungsi
hati", pemeriksaan klinis dan pemeriksaan fisik memainkan peranan penting
untuk menafsirkan fungsi hati. Pemeriksaan fungsi hati dapat dilakukan dengan
pengujian kapasitas hati untuk mengangkut senyawa anion organik dan untuk
memetabolisme obat, tes deteksi cedera pada hepatosit (tes enzim serum) serta tes
kapasitas biosintesis liver.
2.2.9.1 Pengujian Kapasitas Hati untuk Mengangkut Anion Endogen dan
Metabolisme Obat
A. Bilirubin
Peningkatan bilirubin dapat disebabkan karena peningkatan produksi,
berkurangnya ekskresi bilirubin karena obstruksi saluran empedu dan
berkurangnya metabolisme. Peningkatan produksi sebagai akibat obstruktsi
liver diikuti oleh peningkatan enzim liver lainnya (alkaline phosphatase dan
GGT ). Pada mekanik obstruksi pada penyakit hati 50% diantaranya adalah
conjugated bilirubin. Serum bilirubin normal adalah 3 sampai 17 mol/l.
Jaundice dapat terdeteksi jika hasil diatas 40 mol/l. Dibutuhkan cahaya
matahari untuk mendeteksi jaundice minimal. Hiperbilirubinemia bisa
menandakan penyakit hepatobilier atau hemolisis. Dapat dipakai sebagai
petunjuk penyakit hepatobiliari atau hemolisis. Terdapat 3 jenis bilirubin, yaitu
(Thapa dan Anuj, 2007):
1. Bilirubin total diukur sebagai jumlah yang bereaksi setelah penambahan
alkohol dalam 30 menit. Kisaran normal adalah 0,2-0,9 mg/dl
(2-15
mol/L). Hal ini sedikit lebih tinggi 3-4 umol/L pada laki-laki
dibandingkan dengan perempuan.
2. Bilirubin direct merupakan fraksi yang larut dalam air. Hal ini diukur oleh
reaksi dengan diazotisasi asam sulfanilat dalam 1 menit dan ini
25
26
27
sudah tua usianya akan diurai kembali menjadi berbagai komponen asam
amino yang kemudian siap digunakan untuk berbagai sintesis protein yang
dibutuhkan tubuh. Sisanya sebanyak 40-60% di sel otot dan kulit. Distribusi
albumin terjadi di dalam pembuluh darah maupun di luar pembuluh darah
(cairan intertitial). Pada sirosis hati akan dijumpai rendahnya produksi albumin
(Dipiro et al, 2008).
B. Waktu Protrombin
Protrombin (faktor II), faktor VII, IX dan X merupakan faktor
koagulasi yang dihasilkan oleh hati dimana dalam pembentukannya
memerlukan vitamin K. Vitamin K ini pun dihasilkan di hati. Adapun peranan
vitamin K pada tahap karboksilasi gugus gamma glutamil. Waktu protrombin
pertama kali diperkenalkan oleh Quick tahun 1935 dimana prinsip
pemeriksaan ini, mengukur lamanya waktu yang dibutuhkan dalam detik
untuk
pembentukan
fibrin
dari
plasma
sitrat,
setelah
penambahan
2.3.1
Definisi
Hati orang dewasa normalnya mendapat perfusi sekitar 1500 ml darah
permenit. Kira-kira dua pertiga aliran darah hati dan setengah suplai oksigen
dilakukan oleh vena portal, sisanya berasal dari arteri hepatika. Dalam keadaan
normal, tekanan dalam vena portal sangat rendah, yaitu 10 mmHg-15 mmHg,
karena resistensi vaskuler dalam sinusoid hati juga rendah. Regenerasi noduler
dan perubahan susunan lobulus hati yang mengalami sirosis, mengakibatkan
peningkatan restensi vaskuler dalam vena portal dan peningkatan tekanan vena
portal (hipertensi portal) disebabkan karena gangguan aliran darah (Isselbacher,
2000).
28
Epidemologi
Pada orang dewasa penyebab hipertensi portal dapat dikatakan selalu
dikaitkan dengan sirosis hati, meskipun beberapa penyebab lain dapat menjadi
penyebab meningkatnya tekanan portal ini. Di Amerika Serikat 85% penyebab
hipertensi portal adalah sirosis hati, dan sebagian besar disebabkan oleh
alkoholisme. Di Cekoslawakia, sirosis hati dilaporkan sebagai penyebab
hipertensi portal hampir pada 90% kasus. Hipertensi portal idiopatik sendiri
banyak dilaporkan di India dan Jepang. Di Indonesia, hipertensi portal non sirotik
pernah dilaporkan beberapa kali, diduga prevalensinya di bawah 5%
(Kusumobroto, 2004).
29
2.3.3
Etiologi
Beberapa faktor dapat menjadi penyebab dari hipertensi portal,
diantaranya penyebab dari presinusoidal, intra hepatik dan kenaikan aliran darah
ke sistem portal (Anonim, 2008).
2.3.3.1 Presinusoidal
1. Sumbatan vena portal ekstra hepatik
a. Trombosis intrinsik akibat:
-
Sepsis neonates
Tumor pankreas
Pankreatitis
Penyakit retikuloendotelia
dua, yaitu:
30
pada berbagai keadaan, yang dapat dibagi menjadi tiga, yaitu penyebab prahati,
intrahati, dan pasca hati. Penyebab prahati yang utama adalah trombosis oklusif
dan penyempitan vena portal sebelum pembuluh ini bercabang-cabang di dalam
hati. Splenomegali masif juga dapat mengalihkan darah dalam jumlah besar ke
dalam vena lienalis. Penyebab pascahati yang utama adalah gagal jantung kanan
yang parah, perikarditis konstriktiva, dan obstruksi aliran keluar vena hepatika.
Penyebab intrhati yang dominan adalah sirosis yang merupakan penyebab
sebagian besar kasus hipertensi portal. Penyebab intrahati yang paling jarang
adalah skistosomiasis, perlemakan masif, penyakit granulomatosa difus dan
penyakit yang mengenai mikrosirkularis portal, misalnya hiperplasia regeneratif
nodular (Robbins et al, 2007).
Hipertensi portal timbul apabila mekanisme kompensasi tidak serasi lagi
akibat peningkatan resistensi vaskular intrahepatik dan peningkatan aliran darah
melalui sistem portal. Resistensi intrahepatik meningkat melalui 2 cara yaitu
secara mekanik dan dinamik. Secara mekanik resistensi berasal dari fibrosis yang
terjadi pada sirosis, sedangkan secara dinamik berasal dari vasokontriksi vena
portal sebagai efek sekunder dari kontraksi aktif vena portal dan septa
miofibroblas, untuk mengaktifkan sel stelata dan sel-sel otot polos. Tonus
vaskular intra hepatik diatur oleh vasokonstriktor (norepineprin, angiotensin II,
leukotrin dan trombioksan A2) dan diperparah oleh penurunan produksi
vasodilator (seperti nitrat oksida) (Berzigotti et al, 2013).
Akibat dari sirosis timbul kolateral porto-sistemik secara spontan, sebagai
usaha untuk menurunkan tekanan sistem portal. Namun meskipun pintasan portosistemik timbul secara spontan, tekanan portal tetap tinggi, akibat terjadinya
keadaan hiperdinamik sirkulasi splanknik maupun sistemik, yang menyebabkan
31
makin meningkatnya aliran darah vena portal. Timbulnya keadaan sirkulasi yang
hiperdinamik ini dipengaruhi oleh meningkatnya kadar vasodilator endogen dalam
darah (circulating endogenous vasodilator) dan menurunnya kepekaan terhadap
vasokonstriktor (Kusumobroto, 2004). Gambar 2.5 menjelaskan tentang
patofisiologi hipertensi portal.
Hipertensi Portal
Peningkatan Retensi
Vaskuler Hepatik
Perubahan Struktur
Fibrosis Trombosis
Peningkatan Aliran
Portal
Peningkatan Tekanan
Penurunan Produksi
NO dan Vasodilatasi
Endogenus Vasokonstriktor
32
2.4.2
33
Balon tamponade ada dua macam yaitu LN tube yang mempunyai balon
lambung terutama untuk perdarahan varises kardia dan fundus Sb tube terdiri dari
dua balon pada lambung dan esofagus, terutama untuk perdarahan varises
esofagus. Efektivitas menghentikan perdarahan pada pemasangan pertama
berkisar 55-92%, perdarahan ulang terjadi 24-60% kasus dan angka kematian
antara 20-60% (Kusomobroto, 2004).
2.5.2
terjadi perdarahan varises dari lambung. Cara ini lebih efektif untuk mencegah
perdarahan berulang dibandingkan dengan terapi endoskopi. TIPSS dapat
menurunkan tekanan portal secara cepat namun sekitar 60% stent akan tertutup
dalam waktu 3-12 bulan, sehingga prosedur ini merupakan terapi sementara. Salah
satu kerugian TIPSS adalah kemungkinan terjadinya ensefalopati hepatik pada
25% penderita. Kontarindikasi alat ini adalah pembentukan vena potal dan
34
35
sehari dan meningkat secara bertahap sampai maksimal 160 mg dua kali sehari.
Dosis awal yang rendah (20 mg) dicadangkan untuk pasien dengan tekanan arteri
rata-rata rendah. Dalam banyak penelitian RCT, dosis telah disesuaikan untuk
memperoleh penurunan denyut jantung sebesar 25%, namun karena perubahan
dalam denyut jantung tidak memprediksikan penurunan tekanan portal, maka
pedoman baru-baru ini telah merekomendasikan penyesuaian NSBB ke dosis
toleransi tertinggi atau pengukuran detak jantung dari 50 sampai dengan 55
beats/min (Minano and Guadalupe, 2011).
Nadolol memiliki waktu paruh panjang dan dapat digunakan sekali sehari
yang dapat meningkatkan kepatuhan pasien . Dosis awal adalah 20 sampai 40 mg
oral sekali sehari. Dosis maksimumnya 240 mg sekali sehari dengan cara yang
sama seperti yang dijelaskan untuk propranolol . Nadolol mungkin memiliki efek
samping yang lebih sedikit daripada propranolol karena tidak melewati sawar
darah otak, meskipun penelitian lebih lanjut belum dilakukan (Minano and
Guadalupe, 2011).
Efek samping yang paling sering berhubungan dengan NSBB dilaporkan
dalam sirosis ringan, kelelahan, dan sesak napas. Beberapa efek samping
menghilang setelah pengurangan dosis. Dalam uji klinis, efek samping dapat
menyebabkan penghentian NSBB pada sekitar 15% pasien. Dalam sebuah
penelitian yang membandingkan preferensi pasien antara NSBB dan ligasi (terapi
endoskopi), lebih dari setengah pasien menyukai ligasi karena NSBB terkait sisi
efek samping. Selain itu, sampai dengan 15% dari pasien mungkin memiliki
riwayat (sinus bradikardia, insulin-dependent diabetes) atau kontraindikasi mutlak
untuk NSBB, seperti penyakit paru obstruktif, gagal jantung, penyakit katup aorta,
kedua dan ketiga derajat blok jantung atrio ventrikular, dan insufisiensi arteri
perifer (Minano and Guadalupe, 2011).
2.6.1.2 Vasopresin
Vasopresin menyebabkan vasokonstriksi splanknik dan sistemik. Akibat
vasokonstriksi splanknik terjadi penurunan aliran darah portal dan tekanan portal
yang menyebabkan ketegangan pada dinding varises (Soemoharjo dan Stephanus,
2007). Penggunaan infus 0,4 unit vasopressin per menit yang terus menerus
36
kembali besar
37
2.6.3 Obat yang menurunkan tekanan portal dan retensi aliran darah
Penggunaan vasodilator saja saat ini tidak dianjurkan. Namun demikian,
baru-baru ini dalam uji meta analisis, dari data pasien yang menggunakan ARB
dan penghambat angiotensin-converting enzim menunjukkan bahwa, pada pasien
dengan sirosis Child A, obat tersebut dapat mengurangi tekanan portal dengan
efek samping yang minimal. Kombinasi vasodilator intrahepatik dan hasil
vasokonstriktor splanknikus dalam efek mengurangi tekanan portal pertama kali
ditunjukkan dalam sebuah studi hemodinamik. Studi ini dilakukan pada pasien
dengan sirosis dimana dengan penambahan nitrogliserin pada terapi vasopresin
menyebabkan penurunan HVPG lebih cepat. Pengamatan ini menunjukkan bahwa
pengurangan HVPG disebabkan oleh nitrat yang dihasilkan dari penurunan
resistensi intrahepatik. Efek ini juga telah diamati ketika ISMN atau prazosin
dikombinasikan dengan NSBB , dengan pengurangan HVPG sekitar 20% sampai
24% dengan terapi kombinasi, dibandingkan dengan terapi NSBB sendiri (15%).
Tingkat penurunan HVPG dengan NSBB dan ISMN adalah 44%, tingkat yang
jauh lebih tinggi dari yang diamati dengan NSBB saja (37 %). Namun, kombinasi
ini dikaitkan dengan efek samping yang lebih, yaitu retensi cairan atau gejala
hipotensi. Carvedilol adalah nonselektif -blocker dengan aktivitas yang lemah
pada aktivitas adrenergik anti-1 (vasodilator) dan oleh karena itu bertindak
sebagai kombinasi NSBB dan vasodilator. Ketika digunakan dengan dosis 25
sampai 30 mg per hari, telah dikaitkan dengan penurunan yang signifikan dalam
HVPG (16% -19%) (Minano and Guadalupe, 2011).
2.6.4 Sasaran Terapi
Pada table 2.3 berikut akan menjelaskan tentang dosis obat untuk
menurunkan tekanan dan resitensi pembuluh darah portal serta pencegahannya
untuk perdarahan variceal beserta sasaran pengobatan yang dicapai (Minano and
Guadalupe, 2011).
38
Obat
Propranolol
Dosis
Awal: 20-40 mg dua kali
1.
Sasaran Terapi
Ditingkatkan sampai toleransi
per menit
2.
Nadolol
1.
sehari
per menit
2.
Somastostatin
(bisa
diulang
jika
Pemeliharaan:
hingga
Isosorbidmononitrat
dilanjutkan
250-500
g/hari
secara oral
dengan NSBB
2. Meningkat
sehari
sampai
dosis
Vasopresin
mm Hg
Harus selalu dugunakan dengan
infus intravena
40 g/menit secara IV
komplikasi iskemik
10 mg dalam 24 jam 2.
Maksimal
secara transdermal
dengan
dan -
Nitrogliserin
durasi
dosis
24
yang
jam
paling
rendah.
3. Jarang digunakan
2.7
Penggunaan Propranolol
Propranolol merupakan golongan -bloker yang pertama kali
39
subtituen cincin naftil yang lebih banyak terletak pada posisi dibanding posisi
menyebabkan kelarutan propranolol dalam lemak tinggi (Siswandono et al, 2000).
Berikut struktur kimia propranolol yang mempengaruhi mekanisme kerjanya.
Famakodinamik
Mekanisme kerja non selektif -adrenergik bloker (kelas II antiaritmia)
jantung, kontraktilitas
miokard,
penurunan tekanan darah, dan kebutuhan oksigen miokard. Nonselektif adrenergik blockers (propranolol, nadolol) mengurangi tekanan portal dengan
40
nyaman
pada epigastrium,
kolitis
iskemik,
mual,
muntah;
41