Penegakan Hukum Di Indonesia
Penegakan Hukum Di Indonesia
Pengertian penegakan hukum itu dapat pula ditinjau dari sudut objeknya, yaitu dari
segi hukumnya. Dalam hal ini, pengertiannya juga mencakup makna yang luas dan sempit.
Dalam arti luas, penegakan hukum itu mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung
di dalamnya bunyi aturan formal maupun nilai-nilai keadilan yang hidup dalam
masyarakat. Tetapi, dalam arti sempit, penegakan hukum itu hanya menyangkut
penegakan peraturan yang formal dan tertulis saja. Karena itu, penerjemahan perkataan
‘law enforcement’ ke dalam bahasa Indonesia dalam menggunakan perkataan ‘penegakan
hukum’ dalam arti luas dan dapat pula digunakan istilah ‘penegakan peraturan’ dalam arti
sempit. Pembedaan antara formalitas aturan hukum yang tertulis dengan cakupan nilai
keadilan yang dikandungnya ini bahkan juga timbul dalam bahasa Inggeris sendiri dengan
dikembangkannya istilah ‘the rule of law’ versus ‘the rule of just law’ atau dalam istilah ‘the rule
of law and not of man’ versus istilah ‘the rule by law’ yang berarti ‘the rule of man by law’.
Dalam istilah ‘the rule of law’ terkandung makna pemerintahan oleh hukum, tetapi bukan
dalam artinya yang formal, melainkan mencakup pula nilai-nilai keadilan yang terkandung
di dalamnya. Karena itu, digunakan istilah ‘the rule of just law’. Dalam istilah ‘the rule
of law and not of man’ dimaksudkan untuk menegaskan bahwa pada hakikatnya
pemerintahan suatu negara hukum modern itu dilakukan oleh hukum, bukan oleh orang.
Istilah sebaliknya adalah ‘the rule by law’ yang dimaksudkan sebagai pemerintahan oleh orang
yang menggunakan hukum sekedar sebagai alat kekuasaan belaka.
Seperti disebut di muka, secara objektif, norma hukum yang hendak ditegakkan
mencakup pengertian hukum formal dan hukum materiel. Hukum formal hanya
bersangkutan dengan peraturan perundang-undangan yang tertulis, sedangkan hukum
materiel mencakup pula pengertian nilai-nilai keadilan yang hidup dalam masyarakat.
Dalam bahasa yang tersendiri, kadang-kadang orang membedakan antara pengertian
penegakan hukum dan penegakan keadilan. Penegakan hukum dapat dikaitkan dengan
pengertian ‘law enforcement’ dalam arti sempit, sedangkan penegakan hukum dalam arti luas,
dalam arti hukum materiel, diistilahkan dengan penegakan keadilan. Dalam bahasa Inggeris juga
terkadang dibedakan antara konsepsi ‘court of law’ dalam arti pengadilan hukum dan ‘court
of justice’ atau pengadilan keadilan. Bahkan, dengan semangat yang sama pula, Mahkamah
Agung di Amerika Serikat disebut dengan istilah ‘Supreme Court of Justice’. Istilah-istilah itu
dimaksudkan untuk menegaskan bahwa hukum yang harus ditegakkan itu pada intinya
bukanlah norma aturan itu sendiri, melainkan nilai-nilai keadilan yang terkandung di
dalamnya. Memang ada doktrin yang membedakan antara tugas hakim dalam proses
pembuktian dalam perkara pidana dan perdata. Dalam perkara perdata dikatakan bahwa hakim
cukup menemukan kebenaran formil belaka, sedangkan dalam perkara pidana barulah
hakim diwajibkan mencari dan menemukan kebenaran materiel yang menyangkut nilai-
nilai keadilan yang harus diwujudkan dalam peradilan pidana. Namun demikian, hakikat
tugas hakim itu sendiri memang seharusnya mencari dan menemukan kebenaran materiel
untuk mewujudkan keadilan materiel. Kewajiban demikian berlaku, baik dalam bidang
pidana maupun di lapangan hukum perdata. Pengertian kita tentang penegakan hukum sudah
seharusnya berisi penegakan keadilan itu sendiri, sehingga istilah penegakan hukum dan
penegakan keadilan merupakan dua sisi dari mata uang yang sama.
Dengan uraian di atas sudah jelas bahwa yang dimaksud dengan penegakan hukum itu
kurang lebih merupakan upaya yang dilakukan untuk menjadikan hukum, baik dalam arti
formil yang sempit maupun dalam arti materiel yang luas, sebagai pedoman perilaku
dalam setiap perbuatan hukum, baik oleh para subjek hukum yang bersangkutan maupun oleh
aparatur penegakan hukum yang resmi diberi tugas dan kewenangan oleh undang-undang
untuk menjamin berfungsinya norma-norma hukum yang berlaku dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara.
1) Kepolisian
Berdasarkan Undang-undang RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara
RI.
Fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2).
Kepolisian bertujuan untuk mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi
terpeliharanya keamanan dan ketertiban masyarakat, tertib dan tegaknya hukum,
terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat serta
terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia
(Pasal4).
Fungsi dan tujuan kepolisian semacam itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
tugas pokok kepolisian yang meliputi:
2) Kejaksaan
Kejaksaan merupakan salah satu lembaga penegak hukum yang bertugas melaksanakan
tugas dan wewenang serta fungsi Kejaksaan di daerah hukum Kejaksaan Tinggi yang
bersangkutan sesuai dengan peraturan perundangan-undangan dan kebijaksanaan yang
ditetapkan oleh Jaksa serta tugas-tugas lain yang ditetapkan oleh Jaksa Agung.
Fungsi kejaksaan:
1. Perumusan kebijaksanaan pelaksanaan dan kebijaksanaan teknis pemberian
bimbingan dan pembinaan serta pemberian perijinan sesuai dengan bidang tugasnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan oleh
Jaksa Agung;
2. penyelengaraan dan pelaksanaan pembangunan prasarana dan sarana, pembinaan
manajemen, administrasi, organisasi dan tatalaksanaan serta pengelolaan atas milik
negara menjadi tanggung jawabnya;
3. pelaksanaan penegakan hukum baik preventif maupun yang berintikan keadilan di
bidang pidana;
4. pelaksanaan pemberian bantuan di bidang intelijen yustisial, dibidang ketertiban
dan ketentraman umum, pemberian bantuan, pertimbangan, pelayanan
dan penegaakan hukum di bidang perdata dan tata usaha negara serta tindakan
hukum dan tugas lain, untuk menjamin kepastian hukum, kewibawaanm
pemerintah dan penyelamatan kekayaan negara, berdasarkan peraturan
perundang-undangan dan kebijaksanaan yang ditetapkan Jaksa Agung;
5. penempatan seorang tersangka atau terdakwa di rumah sakit atau tempat perawatan
jiwa atau tempat lain yang layak berdasarkan penetapan Hakim karena tidak mampu
berdiri sendiri atau disebabkan hal - hal yang dapat membahayakan orang lain,
lingkungan atau dirinya sendiri;
6. pemberian pertimbangan hukum kepada instansi pemerintah, penyusunan peraturan
perundang-undangan serta peningkatan kesadaran hukum masyarakat;
3) Pengadilan Negeri
Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk
menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan (Pasal 24 ayat 1
Undang-Undang Dasar pasca Amandemen). Kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh
Mahkamah Agung RI, Badan-badan peradilan lain di bawah Mahkamah Agung
(Peradilan Umum, PTUN, Peradilan Militer, Peradilan Agama) serta Mahkamah
Konstitusi (Pasal 24 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945). Penyelenggaraan kekuasaan
Kehakiman tersebut diserahkan kepada badan-badan peradilan (Peradilan Umum,
Peradilan Agama, Peradilan Militer, dan Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi
dengan tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya).(Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 10 ayat (1) dan ayat
(2))
Peradilan Umum adalah salah satu pelaksana kekuasaan Kehakiman bagi rakyat
pencari keadilan pada umumnya (Pasal 2 UU No.2 Tahun 1984). Pengadilan Negeri
bertugas dan berwenang, memeriksa, mengadili, memutuskan dan menyelesaikan perkara
pidana dan perkara perdata di tingkat pertama (Pasal 50 UU No.2 Tahun 1986)
Pengadilan dapat memberikan keterangan, pertimbangan dan nasihat tentang hukum
kepada instansi pemerntah di daerahnya apabila diminta (Pasal 52 UU No.2 Tahun
1986). Selain menjalankan tugas pokok, pengadilan dapat diserahi tugas dan kewenangan
lain oleh atau berdasarkan Undang-Undan
Kewenangan
a. Pengadilan Negeri bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan perkara pidana dan perdata di tingkat pertama;
b. Pengadilan Negeri dapat memberikan keterangan, pertimbangan, dan
nasehat tentang hukum kepada instansi pemerintah di daerah hukumnya
apabila diminta;
c. Selain tugas dan kewenangan tersebut diatas, Pengadilan Negeri dapat
diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-undang
4) LP (Lembaga Pemasyarakatan)
Adapun Fungsi Pemasyarakatan menurut KepMen No NOMOR : M.01.PR.07.03
tahun 1985 Pasal 2 seperti :
a. Melakukan pembinaan narapidana/anak didik.
b. Memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana dan mengelola hasil kerja;
c. Melakukan bimbingan sosial/kerokhaniaan narapidana/anak didik
d. Melakukan pemeliharaan keamanan dan tata tertib LAPAS
e. Melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga
Dalam proses bekerjanya aparatur penegak hukum itu, terdapat tiga elemen penting
yang mempengaruhi, yaitu:
(i) institusi penegak hukum beserta berbagai perangkat sarana dan prasarana
pendukung dan mekanisme kerja kelembagaannya
(ii) budaya kerja yang terkait dengan aparatnya, termasuk mengenai kesejahteraan
aparatnya
(iii) perangkat peraturan yang mendukung baik kinerja kelembagaannya maupun
yang mengatur materi hukum yang dijadikan standar kerja, baik hukum
materielnya maupun hukum acaranya. Upaya penegakan hukum secara sistemik
haruslah memperhatikan ketiga aspek itu secara simultan, sehingga proses penegakan
hukum dan keadilan itu sendiri secara internal dapat diwujudkan secara nyata.
Namun, selain ketiga faktor di atas, keluhan berkenaan dengan kinerja penegakan hukum
di negara kita selama ini, sebenarnya juga memerlukan analisis yang lebih menyeluruh
lagi. Upaya penegakan hukum hanya satu elemen saja dari keseluruhan persoalan kita
sebagai Negara Hukum yang mencita-citakan upaya menegakkan dan mewujudkan keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Hukum tidak mungkin akan tegak, jika hukum itu
sendiri tidak atau belum mencerminkan perasaan atau nilai-nilai keadilan yang hidup
dalam masyarakatnya. Hukum tidak mungkin menjamin keadilan jika materinya sebagian
besar merupakan warisan masa lalu yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman. Artinya,
persoalan yang kita hadapi bukan saja berkenaan dengan upaya penegakan hukum tetapi juga
pembaruan hukum atau pembuatan hukum baru. Karena itu, ada empat fungsi penting
yang memerlukan perhatian yang seksama, yang yaitu (i) pembuatan hukum (‘the
legislation of law’ atau ‘law and rule making’), (ii) sosialisasi, penyebarluasan dan bahkan
pembudayaan hukum (socialization and promulgation of law, dan (iii) penegakan hukum (the
enforcement of law). Ketiganya membutuhkan dukungan (iv) adminstrasi hukum (the
administration of law) yang efektif dan efisien yang dijalankan oleh pemerintahan
(eksekutif) yang bertanggungjawab (accountable). Karena itu, pengembangan administrasi
hukum dan sistem hukum dapat disebut sebagai agenda penting yang keempat sebagai
tambahan terhadap ketiga agenda tersebut di atas. Jika sistem administrasinya tidak jelas,
bagaimana mungkin akses masyarakat luas terhadap aneka bentuk produk hukum tersebut
dapat terbuka? Jika akses tidak ada, bagaimana mungkin mengharapkan masyarakat dapat
taat pada aturan yang tidak diketahuinya? Meskipun ada teori ‘fiktie’ yang diakui sebagai
doktrin hukum yang bersifat universal, hukum juga perlu difungsikan sebagai sarana
pendidikan dan pembaruan masyarakat (social reform), dan karena itu ketidaktahuan
masyarakat akan hukum tidak boleh dibiarkan tanpa usaha sosialisasi dan pembudayaan
hukum secara sistematis dan bersengaja.
Kemudian Al. Wisnubroto dalam bukunya yang berjudul Hakim dan peradilan di
Indonesia (1997:88-90) memuat beberapa faktor internal yang mempengaruhi hakim dalam
mengambil keputusan. Adapun beberapa faktor yang mempengaruhi hakim dalam
mempertimbangkan suatu keputusan adalah :
1. Faktor Subjektif
Sering kali hakim dalam mengadili suatu perkara sejak awal dihinggapi suatu
prasangka atau dugaan bahwa terdakwa atau tergugat bersalah, sehingga harus dihukum
atau dinyatakan sebagai pihak yang kalah. Sikap ini jelas bertentangan dengan asas yang
dijunjung tinggi dalam peradilan modern, yakni asas praduga tak bersalah (presumtion of
innocence), terutama dalam perkara pidana. Sikap yang bersifat memihak salah satu
pihak (biasanya adalah penuntut umum atau penggugat) dan tidak adil ini bisa saja terjadi
karena hakim terjebak oleh rutinitas penanganan perkara yang menumpuk dan target
penyelesaian yang tidak seimbang.
Perilaku hakim yang mudah tersinggung, pendendam dan pemarah akan berbeda
dengan prilaku hakim yang penuh pengertian, sabar dan teliti dalam menangani suatu
perkara. Hal ini jelas sangat berpengaruh pada hasil putusannya.
Hakim yang memiliki sikap arogan, merasa dirinya berkuasa dan pintar melebihi
orang lain seperti jaksa, penasihat hukum apalagi terdakwa atau pihak-pihak yang
bersengketa lainnya, sering kali mempengaruhi Keputusannya.
d. Moral
Faktor ini merupakan landasan yang sangat vital bagi insan penegak keadilan,
terutama hakim. Faktor ini berfungsi membentengi tindakan hakim terhadap cobaan-
cobaan yang mengarah pada penyimpangan, penyelewengan dan sikap tidak adil lainnya.
2. Faktor Objektif
Indonesia tengah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan
substansinya. Permasalahan hukum di Indonesia yang saat ini sedang terjadi disebabkan oleh
beberapa hal yaitu sistem peradilannya, perangkat hukumny, inkonsistensi penegakan hukum,
intervensi kekuasaan maupun perlindungan hukum. Diantara banyaknya permasalahan tersebut
adalah adanya inkonsistensi penegakan hukum yang dilaksanakan oleh aparat baik polisi, jaksa,
hakim maupun pemerintah (eksekutif) yang ada dalam wilayah peradilan yang bersangkutan.
Inkonsistensi penegakan hukum kadang melibatkan masyarakat itu sendiri dan dalam media
elektronik maupun media cetak. Inkonsistensi penegakan hukum ini secara tidak disadari telah
berlangsung dari hari ke hari.
Ketimpangan dan putusan hukum yang tidak menyentuh rasa keadilan masyarakat tetap
dirasakan dari hari ke hari. Berikut ini beberapa kasus inkonsistensi penegakan hukum di
Indonesia yang dikelompokan berdasarlan beberapa alasan yang banyak ditemui oleh masyarakat
awam baik melalui pengalaman pencari keadilan itu sendiri maupun peristiwa lain yang bisa
diikuti melalui media cetak dan media elektronik.
Tingkat kekayaan seseorang dapat memperingan masa tahan seseorang yang melakukan
pelanggaran. Pelaku pelanggaran bisa menyewa pengacara mahal yang bisa mementahkan
dakwaan kejaksaan untuk memperingan masa tahanannya atau jika perlu pelaku dapat membayar
hakim atau jaksa agar memperingan masa tahanannya. Sebaliknya dengan pelaku pelanggaran
yang tidak memiliki uang yang banyak maka pelaku hanya bisa membayar pengacara
semampunya atau tidak sedikit pula yang mereka hanya pasrah menerima putusan hakim.
Padahal jika dibandingkan kasus pelanggarannya tidak merugikan pemerintah milyaran rupiah.
Inilah yang terjadi di Indonesia saat ini. Hukum bisa dibeli dengan uang.
c. Nepotisme
Terdakwa Letda (Inf) Agus Isrok anak mantan Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD),
Jendral (TNI) Subagyo H.S. diperingan hukumannya oldh mahkamah militer dari empat tahum
penjara menjadi dua tahun penjara. Disamping itu, terdakwa juga dikembalikan ke kesatuannya
selama dua minggu sambil menunggu dan berpikir terhadap vonis mahkamah militer tinggi.
Putusan ini terasa tidk adil dibandingkan dengan vonis-vonis kasus narkoba lainnya yang terjadi
di Indonesia yang didasarkan atas pelaksanaan UU Psikotropika. Disamping itu, proses
pengadilan ini juga memperlihatkan eksklusivitas hukum militer yang diterapkan pada kasus
narkoba. Jelas sekaki kasus ini mengesankan adanya diskriminasi hukum bagi keluarga bekas
pejabat.
d. Tekanan Internasional
Kasus Atambua, Nusa Tenggara Timur xang terjadi 6 September 2000 yang menewaskan tiga
orang staf NHCR mendapat perhatian Internasional dengan cepat. Tekanan Internasional ini
mengakibatjan pemerintah Indonesia bertindak dengan melucuti pesenjataan milisi Timor Timor
dan mengadiji beberapa bekas anggota milisi Timor Leste yang dianggap bertanggungjawab.
Apabila dibandingkan dengan kasus-kasus kekerasan yamg terjadi di bagian lain di Indonesia
seperti Ambon, Aceh, Samlar, Sampit, kasus Atambua termasuk kasus yang memgalami
penyelesaian secara cepat dan tanggap dari aparat. Dalam enam bulan sejak kasus ini terjadi,
kekerasan berhasil diatasi, milisi berhasil dilucuti dan situasi kembali aman dan normal.
Meskipun kasus lainnya juga mendapat perhatian dari Internasional, namun tekanan yang
diberikn pada kasus ini lebih menekan pemerintah Indonesia untuk dapat diselesaikan
secepatnya. Jadi dapat disimpulkan bahwa derajat tekanan Internasional menentukan kecepatan
aparat melakukan penegakan hukum dalam mengatasi kasus kekerasan.
Jadi, keterpurukan penegakan hukum di Indonesia terletak pada faktor integritas aparat
penegak hukum, aturan hukum yang tidak responsif, serta tidak diaplikasikannya nilai-
nilai Pancasila khususnya nilai kemanusiaan, nilai musyawarah untuk mufakat dan nilai
keadilan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum, sehingga menimbulkan
ketidakpercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum yang ada di Indonesia. Hasil
penelitian, menunjukkan tingkat kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum
sangat dipengaruhi oleh keadaan atau situasional suatu daerah, apabila disuatu daerah
penegakan hukumnya baik, maka tingkat kepercayaan masyarakat juga baik di daerah
tersebut, namun apabila penegakan hukumnya kurang baik, maka tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap penegakan hukum di daerah tersebut menjadi kurang baik.
Oleh karena itu, akibat-akibat yang ditimbulkan dari masalah penyelewengan hukum tersebut
diantaranya, yaitu:
Masyarakat berependapat hukum banyak merugikan mereka, terlebih lagi soal materi sehingga
mereka berusaha untuk menghindarinya. Karena mereka percaya bahwa uanglah yang berbicara,
dan dapat meringankan hukuman mereka, fakta-fakta yang ada diputar balikan dengan materi
yang siap diberikan untuk penegak hukum. Kasus-kasus korupsi di Indonesia tidak terselesaikan
secara tuntas karena para petinggi Negara yang terlibat di dalamnya mempermainkan hukum
dengan menyuap sana sini agar kasus ini tidak terungkap, akibatnya kepercayaan
masayarakatpun pudar.
Penyelesaian konflik dengan kekerasan contohnya ialah pencuri ayam yang dipukuli warga,
pencuri sandal yang dihakimi warga. Konflik yang terjadi di sekelompok masyarakat di
Indonesia banyak yang diselesaikan dengan kekerasan, seperti kasus tawuran antar pelajar,
tawuran antar suku yang memperebutkan wilayah, atau ada salah satu suku yang tersakiti
sehingga dibalas degan kekerasan. Mereka tidak mengindahkan peraturan-peraturan
kepemerintahan, dengan masalah secara geografis, mereka. Ini membuktikan masayarakat
Indonesia yang tidak tertib hukum, seharusnya masalah seperti maling sandal atau ayam dapat
ditangani oleh pihak yang yang berwajib, bukan dihakimi secara seenakanya, bahkan dapat
menghilangkan nyawa seseorang.
Dari beberapa kasus di Indonesia, banyak warga Negara Indonesia yang memanfaatkan
inkonsistensi penegakan hukum untuk kepentingan pribadi. Contohnya ialah pengacara yang
menyuap polisi ataupun hakim untuk meringankan terdakwa, sedangkan polisi dan hakim yang
seharusnya bisa menjadi penengah bagi kedua belah pihak yang sedang terlibat kasus hukum
bisa jadi lebih condong pada banayknya materi yang diberikan oleh salah satu pihak yang sedang
terlibat dalam kasus hukum tersebut.
Dalam hal ini kita dapat mengambil contoh pengrusakan lingkungan yang diakibatkan oleh suatu
perusahaan asing yang membuka usahanya di Indonesia, mereka akan minta bantuan dari
negaranya untuk melakukan upaya pendekatan kepada Indonesia, agar mereka tidak
mendapatkan hukuman yang berat, atau dicabut izin memproduksinya di Indonesia (Supriadi,
2008: 312).
Suatu hukum hanya dapat dilaksanakan dan diterapkan dengan baik apabila dalam
masyarakat terdapat suatu struktur yang memungkinkan bagi setiap anggota masyarakat untuk
mewujudkan cita-cita hukum tersebut. Oleh karena itu jika kita mengharapkan perilaku hukum
masyarakat yang baik, maka kita harus menciptakan struktur sosial masyarakat yang baik pula.
Selama struktur sosial masyarakat tidak terkandung kearah susunan masyarakat yang baik
maka selama itu pula perilaku hukum masyarakat sulit untuk mengarah kepada perilaku hukum
yang baik.
Selanjutnya, harus pula dipahami bahwa kesadaran hukum yang menyangkut perilaku
manusia, tidak dapat dilepaskan dari sikap batin. Oleh karena itu kesadaran hukum yang
dimaksudkan haruslah memiliki keterkaitan pula dengan sikap batin pelakunya. Dengan kata
lain, harus terdapat kaitan yang erat antara sikap batin dan tindakan yang dilakukan oleh
seseorang.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah kami kemukakan pada bahagian terdahulu, maka
pada bahagian ini dapat kami simpulkan hal-hal sebagai berikut: 1) Bahwa pemberdayaan
masyarakat dalam proses penegakan hukum meliputi peningkatan, pengetahuan masyarakat
terhadap kaedah hukum itu sendiri termasuk pengetahuan dan pemahamannya terhadap isi
kaedah hukum itu, ketaatan dan kepatuhan masyarakat terhadap kaedah hukum itu dan pola
perilaku hukum masyarakat itu sendiri; 2) Bahwa pemahaman hukum masyarakat dipengaruhi
oleh struktur sosial tempat di mana hukum itu berlaku, karenanya untuk mencapai terpeliharanya
tertib hukum melalui kesadaran hukum masyarakat, maka perlu pula dibenahi struktur
masyarakat yang bersangkutan, seperti struktur ekonomi, politik, pendidikan, pertahanan
keamanan dan lain sebagainya yang terdapat dalam sistem sosial; 3) Bahwa pemberdayaan
masyarakat untuk memelihara tertib hukum, tidak hanya dipengaruhi oleh faktor juridis semata,
tetapi juga dipengaruhi oleh faktor non juridis seperti sikap penegak hukum, sarana dan
prasarana, budaya hukum dan masyarakat sebagai pemegang peran; 4) Bahwa perlu kiranya
untuk menumbuhkan kesadaran hukum masyarakat agar tertib hukum terpelihara dengan baik
disusun suatu kaedah hukum yang sesuai dengan aspirasi masyarakat Indonesia, sesuai dengan
asas-asas hukum Indonesia dengan kata lain perlu diperhatikan segi substansialnya, bukan segi
formalnya seperti yang berkembang selama ini
PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA
OLEH: