Anda di halaman 1dari 5

GAJI DAN INSENTIF SEBAGAI MOTIVASI BAGI KARYAWAN

16 Juni 2013 pukul 18:17


LATAR BELAKANG
Ada banyak alasan yang kita terima, ketika kita menanyakan tentang alasan apa yang membuat seseorang mengambil keputusan
untuk berhenti bekerja disebuah tempat atau disebuah perusahaan, mulai dari alasan yang kelihatan sepele sampai pada alasan
yang serius dan prinsipil. Dari sekian banyak alasan tersebut, alasan yang paling banyak muncul biasanya berkaitan dengan upah,
baik gaji maupun insentif atau premi, misalnya gaji yang tidak layak atau gaji yang sering telat pembayarannya atau yang
parah...gaji yang tidak juga dibayar-bayar, bahkan sampai keringat pekerjanya telah kering.
Alasan demikian barangkali selaras dengan adanya fakta bahwa dewasa ini banyak perusahaan yang mengalami masalah –
masalah yang berkaitan dengan sistem penggajian. Menurut Stephen C Bushardt dan Audrey R Fowler (2002), beberapa masalah
yang berhubungan dengan lemahnya sistem penggajian antara lain :

1. Biaya kompensasi pegawai yang terus meningkat sedangkan produktifitas dan performa individu tidak dapat
mengimbanginya.
2. Pegawai yang memenuhi kualifikasi, sering meninggalkan organisasi, sehingga memerlukan penerimaan pegawai baru
yang tidak diinginkan serta biaya pelatihan mereka.
3. Pegawai sekarang kurang termotivasi untuk beperforma terbaik dan lebih cenderung tidak bertahan lama.

Lebih lanjut mereka mengatakan, yang terpenting bagi pemecahan masalah produktifitas adalah penekanan kembali pada
penghargaan individual yang ditawarkan. Pertama, perlu diusahakan pencanangan system yang dapat mengukur dengan secara
tepat dan tidak memihak tingkat performa semua pegawai yang bersangkutan, kemudian menentukan penghargaan spesifik dan
yang diinginkan kepada tingkat-tingkat performa tertentu. Kedua, system itu harus dikomunikasikan kepada pegawai dengan cara
yang jelas menyatakan bahwa penghargaan yang ditawarkan serta performa yang diperlukan untuk mendapatkannya. Ketiga ,
organisasi harus memberikan kesempatan kepada semua pegawai untuk bersaing secara sehat mendapatkan penghargaan, tanpa
gangguan kekurang latihan yang perlu, pembagian sumber dana yang kurang atau tidak tepat, atau perlakuan berprasangka yang
berlandaskan hal lain diluar performa. Keempat, organisasi harus selalu mengadakan tindak lanjut dalam penerapan system,
mengukur serta memberi penghargaan tingkat performa sesuai dengan standar yang telah ditetapkan oleh system.

Menurut Herzberg (dalam Lin Grensing, 2002), terdapat faktor instrinsik (sudah terkandung) yang diasosiasikan langsung dengan
pelaksanaan tugas dan faktor ekstrinsik (berada diluar pekerjaan) yang mengelilingi pekerjaan dan tidak berfungsi motivasional.
Untuk lebih jelasnya, rincian dari kedua faktor tersebut kami uraikan sebagai berikut :

Faktor Intrinsik :

 Pengakuan
 Pencapaian
 Kemungkinan untuk tumbuh
 Kemungkinan untuk maju
 Pekerjaan itu sendiri

Faktor Ekstrinsik :

 Gaji
 Hubungan dengan kawan sekerja
 Pengawasn teknis
 Kebijakan perusahaan dan administrasi
 Kondisi kerja
 Status
 Faktor kehidupan pribadi
 Kepastian pekerjaan

Selanjutnya menurut Schwab, De Vitt dan Cummings (dalam Lin Grensing, 2002) bahwa faktor eksrinsik pun dapat berpengaruh
dalam memotivasi performa tinggi. Sampai disini kita mulai dapat melihat, betapa sebenarnya memang ada indikasi yang sangat
kuat bahwa gaji atau upah dapat digunakan dalam memotivasi karyawan untuk menjadi lebih betah dan nyaman bekerja disebuah
perusahaan dan yang lebih penting lagi dengan system upah yang baik, dapat distimulir peningkatan produktifitas kerja. Bert
Metzger, Presiden Profit Sharing Research Foundation dan Donald Nightingale, Profesor pada The Queen’s University School of
Business Ontario (dalam Carol Cain, 2002) mengajukan hasil riset mereka pada konferensi tahunan ke -35 dari The Profit
Sharing Council of America, bahwa pembagian laba dapat memotivasi pegawai, walaupun banyak diantara mereka tidak lagi
termotivasi oleh uang. Keduanya mengatakan bahwa langkah pertama kearah penciptaan iklim motivasi adalah mengerti tenaga
kerja mereka. Bisnis sebaiknya berminat dalam riset motivasi karena prinsip umumnya, “pola motivasi pegawai adalah hasil dari
saling mempengaruhi antara motivator pribadi dan lingkungan dimana pegawai itu bekerja,” demikian Nightingale. “Hal terbaik
yang dapat dilakukan oleh manajemen adalah menciptakan iklim bagi hasil, atau lingkungan memotivasi”, kata Metzger. Lebih
lugas lagi pendapat Kevin Francella (2002). “Terimakan uang – penghargaan uang, apakah berupa penambahan gaji atau
penghargaan karena performa – masih menjadi alat paling popular untuk mengoptimalkan kepuasan pegawai dan memotivasi
mereka melaksanakan pekerjaan lebih baik lagi. Alasannya sederhana saja, lebih banyak uang anda tawarkan, lebih giat ia akan
bekerja “.

MOTIVASI
Sebuah teori motivasi yang paling popular adalah yang dikemukakan Maslow yang kita kenal dengan hirarki kebutuhan. Maslow
menguraikan bahwa manusia memiliki 7 jenis kebutuhan, yaitu : fisiologis, rasa aman, cinta dan rasa memiliki, harga diri,
estetika, kognitif dan aktualisasi diri. Kebutuhan-kebutuhan ini dipenuhi manusia secara bertahap, mulai dari yang paling rendah
yaitu kebutuhan fisiologis (makan, minum, seks) sampai kepada kebutuhan yang paling tinggi yaitu aktualisasi diri, dimana
manusia mewujudkan semua potensi diri dan menjadi seseorang dengan kapasitas maksimal yang dapat diraih. Dalam konteks
dunia kerja, seorang karyawan akan merasa nyaman bekerja ketika dengan pekerjaannya itu dia mendapatkan pemenuhan akan
kebutuhan dasarnya. Berkaitan dengan Maslow, menarik sekali kalau kita mencermati apa yang diidentifikasi Frederick Herzberg
dkk dari Psychological Service of Pitshburgh pada tahun 1950 (dalam J.B. Gayle & F. R. Searle, 2002), dalam uraian dibawah ini
:

Faktor Pegawai :
Higienis : pengawasan, kondisi kerja dan jaminan pekerjaan.
Motivator : pengakuan, tanggung jawab-tantangan, potensi pertumbuhan.

Faktor Managemen :
Higienis : kehadiran, penerimaan tugas pekerjaan, penerimaan managemen-hubungan kerja dengan pegawai lainnya.
Motivator : tingkat pengawasan yang diperlukan, tanggung jawab, kreatifitas sikap.

Dari uraian diatas, ternyata faktor higienis dikedua sisi bidang pembatas yang paling sedikit merupakan hasil dari kebutuhan akan
keteraturan dan jaminan. Jadi pegawai membutuhkan kepastian pekerjaan yang berlanjut di bawah kondisi kerja yang wajar dan
penggajian yang dapat diterima. Managemen membutuhkan pegawai yang menerima penghargaan dan melakukan tugas yang
diberikan menurut kebijakan yang telah ditetapkan.
Bagaimana seorrang pegawai atau karyawan dapat melakukan pekerjaan sebaik-baiknya, sudah tentu juga berkaitan dengan
kualitas diri yang bersangkutan. Stephen C Bushardt dan Audrey R. Fowler (2002), menguraikan 5 kualitas pribadi yang
bersangkutan dengan motivasi pekerjaan :
Kemampuan
Jika kemampuan seseorang (kecerdasan, kreatifitas, energy, kematangan) cukup sesuai dengan persyaratan pekerjaan, maka hal
itu akan bekerja sebagai kekuatan motivasi. Jika kemampuan pegawai jauh lebih tinggi atau lebih rendah dari yang dituntut
pekerjaan, maka dalam hal tersebut terkandung faktor kontra dari motivasi.

Kebutuhan
Bila kebutuhan pegawai (kebutuhan untuk benar-benar, tidak hanya merasa saja, dijamin, disukai, dihargai, menjadi efektif,
nyaman, penting, membawahi, otonom, dipercaya dan diterima secara social) ditemui dalam derajat yang wajar dalam
pekerjaannya, maka motivasi batiniah akan terkandung dan tumbuh. Bila kebutuhan itu selalu dihalangi, motivasi mungkin tak
pernah meningkat dan pekerjaan hanya menjadi tempat dimana pegawai dapat mencetak uang sebanyak mungkin dengan usaha
minimal.

Toleransi terhadap frustrasi


Pegawai dengan toleransi frustrasi baik mampu berlaku cukup sabar menghadapi penghalang. Mereka bersedia mengorbankan
kenikmatan segera untuk dapat mencapai sasaran jangka panjang.

Harga diri
Pegawai yang terlahir dengan harga diri memiliki kebanggaan yang sehat yan g menggerakan mereka untuk melakukan pekerjaan
dengan baik, dengan atau tidak adanya orang yang memperhatikan atau yang mengkonfirmasikan usaha mereka.

Dukungan luar
Pasangan kerja yang tepat sangat membantu penyelesai pekerjaan.

Untuk lebih jelasnya dibawah ini kami uraikan faktor-faktor motivasi dan demotivasi dalam mengelola karyawan (orang) dalam
sebuah perusahaan atau organisasi menurut Jane Alan (1991). Faktor-faktor motivasi meliputi : prestasi, pengakuan, kemajuan,
kesenangan dalam pekerjaan itu sendiri, kemungkinan pengembangan diri dan tanggung jawab. Faktor – faktor demotivasi
meliputi : gaji, jaminan pekerjaan, kehidupan pribadi, kondisi pekerjaan, status, peraturan adminsitrasi dan kebijakan perusahaan,
supervisi, subungan inter-personal dengan rekan dan bawahan. Khusus gaji, Jane mengatakan, jika gaji salah semuanya menjadi
salah. Gaji yang salah biasanya gaji yang terlalu rendah. Bila tingkat gaji dirasakan lebih rendah daripada gaji yang tersedia di
tempat lain untuk pekerjaan yang sama, seseorang bisa menjadi tidak puas. Tempatkan gaji secara benar dan tidak akan ada lagi
yang berbicara. Tetapi Jane juga mengatakan, membayar gaji terlalu tinggi, sebagai imbalan atau sebagai cara memastikan anda
tidak akan kehilangan staf penting, dan anda akan mendapatkan timbulnya demotivasi dengan tingkat yang sama. Sesungguhnya,
gaji yang terlalu tinggi dapat memberikan efek yang hampir lebih buruk daripada gaji yang rendah.
Selanjutnya, bagaimana proses memotivasi individu atau pekerja, sehingga sungguh dapat meningkatkan produktifitasnya dalam
bekerja. Menurut Mankunegara (2005), proses memotivasi individu meliputi 6 tahapan yaitu :

1. Kebutuhan yang tidak dipenuhi


2. Mencari jalan untuk memenuhi kebutuhan
3. Perilaku yang berorientasi pada tujuan
4. Hasil karya (evaluasi dari tujuan yang tercapai)
5. Imbalan atau hukuman
6. Kebutuhan yang tidak dipenuhi dinilai kembali oleh karyawan.
UPAH, GAJI DAN SISTEM UPAH
Menurut As’ad (2003), upah adalah penghargaan dari energy karyawan yang dimanisfestasikan sebagai hasil produksi atau suatu
jasa yang dianggap sama dengan itu, yang berujud uang, tanda suatu jaminan yang pasti dalam tiap-tiap minggu atau bulan. Maka
hakekat upah adalah penghargaan dari energy karyawan yang dimanisfestasikan dalam bentuk uang.
Gaji sebenarnya juga upah, tetapi sudah pasti banyaknya dan waktunya.
As’ad mengutip Purwodarminto (1966), mengatakan bahwa gaji adalah upah kerja yang dibayar dalam waktu yang tetap. Lebih
lanjut As’ad menjelaskan perbedaan pokok antara upah dengan gaji adalah dalam jaminan ketepatan waktu dan kepastian
banyaknya upah.
Berkaitan dengan system upah, As’ad yang mengutip Maier (1965), menguraikan 4 sistem upah sebagai berikut :

1. System upah menurut produksi


2. System upah menurut lamanya kerja
3. System upah menurut senioritas
4. Sistem upah menurut kebutuhan karyawan

Lebih lanjut As’ad juga menjelaskan 5 macam system upah perangsang, yaitu :
Differential Piece-rate Plan dari Taylor
Memberikan tambahan upah per unit produksi bila karyawan dapat mencapai standar.
The Rowan Plan
Pemberian premi dengan besar pada kisaran 20% - 50% bagi dari upah dasar bagi karyawan yang dapat melampaui standar.
The Giant Task and Bonus System
Jika karyawan tidak mencapai standar, maka upah yang diberikan : jumlah jam kerja x upah perjam. Jika karyawan mencapai
standar, maka upah yang diberikan : jumlah jam kerja x (upah perjam + bonus perjam).
The Halsey Plan
Pemberian premi bagi karyawan yang mencapai standar sebesar 50% dari upah dasar.
Sistem Jasa Produksi
Memberikan jasa kepada karyawan yang bekerja aktif paling tidak tiga bulan sebelum tutup buku pada akhir tahun. Misalnya
dalam setahun, karyawan bekerja aktif selama 4 bulan, maka jasa produksi yang diberikan = 4/12 kali besarnya jumlah upah
selama setahun.

Sekarang muncul pertanyaan : system upah yang baik seperti apa ? Menurut Robert W Braid (2002), system upah yang
disebutnya sebagai program kompensasi harus meliputi :

Bersaing :
Tingkat gaji dan manfaat harus cukup tinggi agar menarik orang yang berkompeten. Kemampuan mempekerjakan pegawai yang
memenuhi kualifikasi adalah sangat kritis bagi keberhasilan setiap organisasi.

Rasional :
Gaji pegawai individual harus sebanding dengan performa yang terukur dari pekerjaan dan dapat diperbandingkan dengan gaji di
perusahaan lain untuk pekerjaan serupa. Perhatian harus juga dicurahkan kepada tingkat performa pekerjaan dan lamanya
berdinas.

Berlandaskan Performa :
Supaya efektif, program kompensasi harus dapat membangkitkan dan memberi penghargaan bagi performa yang meningkat.
Secara ideal, peningkatan gaji harus mengakui kontribusi pegawai kepada perusahaan belum lama berselang. Sementara itu,
syarat system upah yang baik menurut Halsey (dalam As’ad 2003)adalah:
1. Adil bagi pekerja dan pimpinan perusahaan.
2. Sistem upah berpotensi mendorong semangat kerja.
3. Selain upah dasar, perlu disediakan upah perangsang.
4. Sistem upah mudah dimengerti oleh karyawan dan managemen.

KESIMPULAN
Mencermati uraian –uraian diatas, berikut ini dapat diberikan beberapa kesimpulan :

1. Banyak masalah yang dihadapi perusahaan dewasa ini berkaitan dengan usaha – usaha peningkatan produktifitas
perusahaan dengan karyawan sebagai salah satu penentu keberhasilan.
2. Keberhasilan peningkatan produktifitas perusahaan sangat tergantung dari motivasi karyawan dalam bekerja.
3. Upah dan sistem penggajian yang baik dapat menjadi salah satu alat untuk memotivasi karyawan.
4. Upah dan system penggajian yang baik mengandung keadilan bagi pekerja dan pimpinan perusahaan, mendorong
semangat kerja dan dapat dipahami dan dilaksanakan dengan baik, dengan interpretasi yang sama antara karyawan dan
pimpinan.

Pendapat Linda Gail Christie (2002), kiranya mempertegas semua uraian diatas. “Jika para manager kehilangan kuasa dan
wewenang untuk memberikan kompensasi dan penghargaan kepada pegawai menurut pandangan mereka, maka kemampuan
mereka untuk memimpin dan menghasilkan laba berkurang. Karena itu manager harus mengatakan kepada Departemen SDM apa
yang mereka perlukan untuk melakukan pekerjaan mereka, dan bukan sebaliknya”. Dan salah satu yang diperlukan oleh
karyawan dalam meningkatkan motivasi kerjanya adalah gaji dan insentif. Jika gaji dan insentif dapat diberikan oleh perusahaan
sesuai dengan prestasi kerja karyawan dan dalam sebuah mekanisme atau sistem yang jelas, sejatinya masalah-masalah yang
sering dialami perusahaan seperti diuraikan pada awal tulisan ini dapat dieliminir. Semoga. Salam Joss…

PUSTAKA
As’ad, Moh. Psikologi Industri. Edisi Keempat. Liberty. Yogyakarta. 2003.
Alan, Jane. Mengatasi Masalah Manusia Dalam Organisasi. Binarupa Aksara. Jakarta. 1991.
Braid, Robert W. Pengaruh Penggajian ( Dalam Memotivasi Manusia suntingan A. Dale Timpe). Elex Media Komputindo.
Jakarta. 2002
Bushardt, Stephen C & Fowler, Audrey R. Kompensasi dan Tunjangan : Dilema Masa Kini Dalam Memotivasi. (Dalam
Memotivasi Manusia suntingan A. Dale Timpe). Elex Media Komputindo. Jakarta. 2002
Cain, Carol. Mungkin Uang Tidak Lagi Dapat Memotivasi Beberapa Pegawai (Dalam Memotivasi Manusia suntingan A. Dale
Timpe). Elex Media Komputindo. Jakarta. 2002
Christie, Linda Gail. Kebijakan Penggajian (Dalam Memotivasi Manusia suntingan A. Dale Timpe). Elex Media Komputindo,
2002).
Francella, Kevin. Berilah Penghargaan, Jika Pegawai Berprestasi (Dalam Memotivasi Manusia suntingan A. Dale Timpe). Elex
Media Komputindo. Jakarta. 2002
Gayle, J. B & Searle F. R. Maslow, Motivasi dan Manager (Dalam Memotivasi Manusia suntingan A. Dale Timpe). Elex Media
Komputindo. Jakarta. 2002
Goble, Frank G. Mazhab Ketiga. Psikologi Humanistik Abraham Maslow. Kanisius. Yogyakarta. 1987.
Grensing, Lin. Memotivasi Tanpa Uang – Lebih Mudah Dari Yang Diduga (Dalam Memotivasi Manusia suntingan A. Dale
Timpe). Elex Media Komputindo. Jakarta. 2002
Mangkunegara, A.A. Anwar Prabu. Perilaku dan Budaya Organisasi. Refika Aditama. Bandung. 2005.

Anda mungkin juga menyukai