Anda di halaman 1dari 36

BAB I

PENDAHULUAN

Hepatitis merupakan peradangan pada hati yang disebabkan oleh banyak


hal namun yang terpenting diantaranya adalah karena agen infeksius dari
virus. Virus hepatitis dapat disebabkan oleh berbagai macam virus yang
berbeda seperti virus hepatitis A,B,C,D,dan E. Pada virus hepatitis yang
membedakan dari virus-virus lain yang juga dapat menyebabkan peradangan
pada hati oleh karena sifat hepatotropik virus-virus golongan ini. Petanda
adanya kerusakan hati (hepatocellular necrosis) adalah meningkatnya
transaminase dalam serum terutama peningkatan alanin aminotransferase
(ALT) yang umumnya berkorelasi baik dengan beratnya nekrosis pada sel-sel
hati. Virus pada hepatitis dapat memberikan peradangan hati akut, juga dapat
menjadi kronik. Virus-virus hepatitis penting yang dapat menyebabkan
hepatitis akut adalah virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC) dan E
(VHE) sedangkan virus hepatitis yang dapat menyebabkan hepatitis kronik
adalah virus hepatitis B dan C.
Hepatitis akut walaupun kebanyakan bersifat self-limited kecuali hepatitis
C, dapat menyebabkan penurunan produktifitas dan kinerja pasien untuk
jangka waktu yang cukup panjang. Hepatitis kronik selain juga dapat
menurunkan kinerja dan kualitas hidup pasien, lebih lanjut dapat
menyebabkan kerusakan hati yang signifikan dalam bentuk sirosis hati dan
kanker hati. Sedangkan pada hepatitis kronik dibedakan dengan hepatitis akut
apabila masih terdapat tanda-tanda peradangan hati dalam jangka waktu lebih
dari 6 bulan.
Pada bentuk hepatitis yang dikenal sebagai HAV ( Hepatitis A ) dan HBV
(Hepatitis B), dahulunya di istilahkan sebagai hepatitis infeksiosa dan hepatitis
serum, sebab kedua penyakit ini dapat ditularkan secara parenteral dan non
parenteral. Hepatitis virus yang tidak dapat digolongkan sebagai Hepatitis A
atau B melalui pemeriksaan serologi disebut sebagai Hepatitis non-A dan non-
B (NANBH) dan saat ini disebut Hepatitis C. Selanjutnya ditemukan bahwa
jenis hepatitis ini ada 2 macam, yang pertama dapat ditularkan secara

1
parenteral ( Parenterally Transmitted ) atau disebut PT-NANBH dan yang
kedua dapat ditularkan secara enteral ( Enterically Transmitted ) disebut ET-
NANBH. Tata nama terbaru menyebutkan PT-NANBH sebagai Hepatitis C
dan ET-NANBH sebagai Hepatitis E. Virus delta atau virus Hepatitis D (
HDV ) merupakan suatu partikel virus yang menyebkan infeksi hanya bila
sebelumnya telah ada infeksi Hepatitis B, HDV dapat timbul sebagai infeksi
pada seseorang pembawa HBV.
Kasus hepatitis secara global, didapatkan lebih dari 350 juta orang
terinfeksi virus hepatitis B. Diperkirakan bahwa lebih dari sepertiga penduduk
dunia telah terinfeksi virus hepatitis B. Sekitar 5% dari populasi adalah carrier
kronis HBV, dan secara umum hampir 25% carrier dapat mengalami penyakit
hati yang lebih parah seperti hepatitis kronis, sirosis, dan karsinoma
hepatoseluler primer. Prevalensi nasional di tiap Negara di dunia berkisar
antara 0,5% di AS dan Eropa Utara sampai 10% di daerah Asia.
Di Indonesia sendiri sebanyak 1,5 juta orang berpotensi mengidap kanker
hati dikarenakan Indonesia merupakan negara dengan prevalensi hepatitis B
dengan tingkat endemisitas tinggi yaitu lebih dari 8 persen. Jumlah penderita
Hepatitis B dan C saat ini diperkirakan mencapai 30 juta orang, sekitar 15 juta
orang dari penderita Hepatitis B dan C berpotensi mengalami chronic liver
disease. Hasil Riskesdas tahun 2013, prevalensi hepatitis 2013 adalah 1,2
persen, dua kali lebih tinggi dibandingkan 2007. Dan lima provinsi dengan
prevalensi hepatitis tertinggi adalah Nusa Tenggara Timur (4,3%), Papua
(2,9%), Sulawesi Selatan (2,5%), Sulawesi Tengah (2,3%) dan Maluku
(2,3%). Bila dibandingkan dengan Riskesdas 2007, Nusa Tenggara Timur
masih merupakan provinsi dengan prevalensi hepatitis tertinggi. Selama
periode itu telah terkumpul 5.870 kasus hepatitis di Indonesia. Dari pendataan
itu, Depkes memperoleh data kasus hepatitis C di Indonesia yang menjadi
proyek percontohan menurut umur, yaitu terbanyak pada usia 30-59 tahun
dengan puncak pada usia 30-39 tahun yang berjumlah 1.980 kasus.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Hepatitis


Hepatitis adalah inflamasi/radang yang terjadi pada hepar. Virus hepatitis
adalah penyebab paling umum pada hepatitis di dunia namun juga terdapat infeksi
lainnya, yaitu zat beracun (misalnya alkohol, obat-obatan tertentu), dan penyakit
autoimun juga dapat menyebabkan hepatitis. Kondisinya bisa hanya sebatas
inflamasi atau bisa berkembang menjadi fibrosis (jaringan parut), sirosis atau
kanker hati. (WHO, 2016)

2.2 Hepar
2.2.1 Anatomi Hepar
Hepar adalah organ yang terbesar yang terletak di sebelah kanan atas
rongga perut di bawah diafragma. Beratnya 1.500 gr atau 2,5 % dari berat badan
orang dewasa normal. Hepar pada manusia terletak pada bagian atas cavum
abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar
terdapat pada sebelah kanan. Permukaan atas terletak bersentuhan di bawah
diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen.
Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh
peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava
inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak
diliputi oleh peritoneum disebut bare area. Terdapat refleksi peritoneum dari
dinding abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa
ligamen.
Macam-macam ligamennya:

1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding anterior abdomen


dan terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian bawah lig.
falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :Merupakan
bagian dari omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan

3
duodenum sebelah proximal ke hepar. Di dalam ligamentum ini terdapat
Aa.hepatica, v.porta dan duct.choledocus communis. Ligamen
hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior dari Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior kiri–kanan dan Lig coronaria posterior kiri-
kanan : Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis kiri-kanan : Merupakan fusi dari ligamentum
coronaria anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
Secara anatomis, organ hepar terletak di hipochondrium kanan dan
epigastrium, dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum
toraks dan bahkan pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada
pembesaran hepar). Permukaan lobus kanan dpt mencapai sela iga 4/ 5 tepat di
bawah aerola mammae. Lig falciformis membagi hepar secara topografis bukan
secara anatomis yaitu lobus kanan yang besar dan lobus kiri.

a. Perdarahan
Aliran darah dari seluruh traktus gastrointestinal dibawa menuju ke hepar oleh v.
porta hepatis. Cabang dari vena ini berjalan diantara lobulus dan berakhir di
sinusoid. Oksigenasi darah disuplai oleh arteri hepatica. Darah meninggalkan
hepar melalui v. sentralis dari setiap lobulus yang mengalir melalui v. hepatica.

 Vena hepatica: Satu dari beberapa vena pendek yang berasal dari lobus
hepar sebagai cabang kecil. Vena ini mengarah langsung menuju v. kava
inferior, mengalirkan darah dari hepar.
 Vena cava inferior: Terbentuk dari bersatunya v. iliaka komunis kanan dan
kiri, mengumpulkan darah dari bagian tubuh dibawah diaphragma dan
mengalir menuju atrium kanan jantung
 Arteri hepatica: Arteri ini merupakan cabang dari truncus coeliacus
(berasal dari aorta abdminalis) dan mensuplai 20 % darah hepar.
 Vena porta hepatis: Pembuluh darah yang mengalirkan darah yang berasal
dari seluruh traktus gastrointestinal. Pembuluh ini mensuplai 80 % darah
hepar.
Hepar menrima darah dari dua sumber : arterial dan vena. Perdarahan arterial
dilakukan oleh a. hepatika yang bercabang menjadi kiri dan kanan dalam porta

4
hepatis (berbentuk Y). Darah vena dibawa ke hepar oleh v. porta yang didalam
porta hepatis terbagi menjadi cabang kanan dan kiri. Vena ini mengandung darah
yang berisi produk-produk digestif dan dimetabolisme oleh sel hepar. Dari v.
porta darah memasuki sinusoid-sinusoid hepar lalu menuju ke lobulus-lobulus
hepar untuk mencapai sentralnya. Darah arteri dan vena bergabung dalam sinusoid
dan masuk kedalam vena sentral dan berakhir pada v. hepatika. Terdapat tiga vena
utama yaitu: medial (terbesar), dekstra dan sinistra.

b. Drainase limfatik
Aliran limfatik hepar menuju nodus yang terletak pada porta hepatis (nodus
hepatika). Jumlahnya sebanyak 3-4 buah. Nodi ini juga menerima aliran limfe dari
vesika fellea. Dari nodus hepatika, limpe dialirkan (sesuai perjalanan arteri) ke
nodus retropylorika dan nodus seliakus.

c. Persarafan
Persarafan dilakukan oleh :

 N. simpatikus : dari ganglion seliakus, berjalan bersama pembuluh darah


pada lig. hepatogastrika dan masuk porta hepatis
 N. Vagus : dari trunkus sinistra yang mencapai porta hepatis menyusuri
kurvatura minor gaster dalam omentum.

2.2.2 Histologi Hepar


Hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan
jaringan elastis yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam
parenchym hepar mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris.
Massa dari hepar seperti spons yg terdiri dari sel-sel yg disusun di dalam
lempengan-lempengan/ plate dimana akan masuk ke dalamnya sistem pembuluh
kapiler yang disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut berbeda dengan kapiler-
kapiler di bagian tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang meliputinya
terediri dari sel-sel fagosit yg disebut sel kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang
artinya mudah dilalui oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain .
Lempengan sel-sel hepar tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan
sinusoid. Pada pemantauan selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-

5
lobuli. Di tengah-tengah lobuli terdapat 1 vena sentralis yg merupakan cabang
dari vena-vena hepatika (vena yang menyalurkan darah keluar dari hepar). Di
bagian tepi di antara lobuli-lobuli terhadap tumpukan jaringan ikat yang disebut
traktus portalis/ TRIAD yaitu traktus portalis yang mengandung cabang-cabang
v.porta, A.hepatika, ductus biliaris. Cabang dari vena porta dan A.hepatika akan
mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid setelah banyak percabangan
Sistem bilier dimulai dari canaliculi biliaris yang halus yg terletak di antara sel-sel
hepar dan bahkan turut membentuk dinding sel. Canaliculi akan mengeluarkan
isinya ke dalam intralobularis, dibawa ke dalam empedu yg lebih besar, air keluar
dari saluran empedu menuju kandung empedu.

2.2.3 Fisiologi Hepar

Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber


energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada
beberapa fungsi hati yaitu :

a. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat


Pembentukan, perubahan dan pemecahan karbohidrat, lemak dan protein
saling berkaitan 1 sama lain. Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap
dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis.
Glikogen lalu ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan
glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen menjadi glukosa
disebut glikogenelisis. Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber
utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui

6
heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa
mempunyai beberapa tujuan: Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida,
nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C)
yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs).

b. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak


Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak. Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :

1. Senyawa 4 karbon – KETON BODIES


2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak
dan gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi
kholesterol. Dimana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan
metabolisme lipid.

c. Fungsi hati sebagai metabolisme protein


Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. Dengan proses
deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.
Dengan proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan
non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma
albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi produksi urea. Urea
merupakan end product metabolisme protein. ∂ - globulin selain dibentuk di
dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang. β – globulin hanya
dibentuk di dalam hati. Albumin mengandung ± 584 asam amino dengan BM
66.000.

d. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah


Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor
V, VII, IX, X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi
adalah faktor ekstrinsik, bila ada hubungan dengan katup jantung – yang

7
beraksi adalah faktor intrinsik. Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya
dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk
pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi.

e. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin


Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K

f. Fungsi hati sebagai detoksikasi


Hati adalah pusat detoksikasi tubuh. Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai
macam bahan seperti zat racun, obat over dosis.

g. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas


Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan
melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ -
globulin sebagai imun livers mechanism.

h. Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ±
1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam
a.hepatica ± 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati.
Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan
dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari,
shock.Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.

2.3 HEPATITIS B
2.3.1 Definisi

Hepatitis B merupakan penyakit inflamasi dan nekrosis dari sel-sel hati yang
disebabkan oleh virus hepatitis B. Virus hepatitis B merupakan jenis virus DNA
untai ganda, famili hepadnavirus dengan ukuran sekitar 42 nm yang terdiri dari 7
nm lapisan luar yang tipis dan 27 nm inti di dalamnya. Masa inkubasi virus ini
antara 30-180 hari rata-rata 70 hari. Virus hepatitis B dapat tetap infektif ketika

8
disimpan pada 30-32°C selama paling sedikit 6 bulan dan ketika dibekukan pada
suhu -15°C dalam 15 tahun (WHO, 2002).

Virus ini memiliki tiga antigen spesifik, yaitu antigen surface, envelope, dan core.
Hepatitis B surface antigen (HBsAg) merupakan kompleks antigen yang
ditemukan pada permukaan VHB, dahulu disebut dengan Australia (Au) antigen
atau hepatitis associated antigen (HAA). Adanya antigen ini menunjukkan infeksi
akut atau karier kronis yaitu lebih dari 6 bulan. Hepatitis B core antigen (HbcAg)
merupakan antigen spesifik yang berhubungan dengan 27 nm inti pada VHB
(WHO, 2002). Antigen ini tidak terdeteksi secara rutin dalam serum penderita
infeksi VHB karena hanya berada di hepatosit. Hepatitis B envelope antigen
(HBeAg) merupakan antigen yang lebih dekat hubungannya dengan nukleokapsid
VHB. Antigen ini bersirkulasi sebagai protein yang larut di serum. Antigen ini
timbul bersamaan atau segera setelah HBsAg, dan hilang bebebrapa minggu
sebelum HBsAg hilang (Price & Wilson, 2005). Antigen ini ditemukan pada
infeksi akut dan pada beberapa karier kronis (Mandal & Wilkins, 2006).

2.3.2 Etiologi Hepatitis B


Virus Hepatitis B adalah virus (Deoxyribo Nucleic Acid) DNA terkecil
berasal dari genus Orthohepadnavirus famili Hepadnaviridae berdiameter 40-42
nm (Hardjoeno, 2007). Masa inkubasi berkisar antara 15-180 hari dengan rata-
rata 60-90 hari (Sudoyo et al, 2009). Bagian luar dari virus ini adalah protein
envelope lipoprotein, sedangkan bagian dalam berupa nukleokapsid atau core
(Hardjoeno, 2007).
Genom VHB merupakan molekul DNA sirkular untai-ganda parsial dengan
3200 nukleotida (Kumar et al, 2012). Genom berbentuk sirkuler dan memiliki
empat Open Reading Frame (ORF) yang saling tumpang tindih secara parsial
protein envelope yang dikenal sebagai selubung HBsAg seperti large HBs
(LHBs), medium HBs (MHBs), dan small HBs (SHBs) disebut gen S, yang
merupakan target utama respon imun host, dengan lokasi utama pada asam amino
100-160 (Hardjoeno, 2007). HBsAg dapat mengandung satu dari sejumlah subtipe
antigen spesifik, disebut d atau y, w atau r. Subtipe HBsAg ini menyediakan
penanda epidemiologik tambahan (Asdie et al, 2012).

9
Gen C yang mengkode protein inti (HBcAg) dan HBeAg, gen P yang
mengkode enzim polimerase yang digunakan untuk replikasi virus, dan terakhir
gen X yang mengkode protein X (HBx), yang memodulasi sinyal sel host secara
langsung dan tidak langsung mempengaruhi ekspresi gen virus ataupun host, dan
belakangan ini diketahui berkaitan dengan terjadinya kanker hati (Hardjoeno,
2007).

2.3.3 Epidemiologi Hepatitis B

Infeksi Virus Hepatitis B (VHB) adalah suatu masalah kesehatan utama di dunia
pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Diperkirakan bahwa sepertiga
populasi dunia pernah terpajan virus ini dan 350-400 juta diantaranya merupakan
pengidap hepatitis B. Prevalensi yang lebih tinggi didapatkan di negara
berkembang, termasuk Indonesia. Di Indonesia, angka pengidap hepatitis B pada
populasi sehat diperkirakan mencapai 4.0-20.3%, dengan proporsi pengidap di
luar Pulau Jawa lebih tinggi daripada di Pulau Jawa. Secara genotip, virus
hepatitis B di Indonesia kebanyakan merupakan virus dengan genotip B (66%),
diikuti oleh C (26%), D (7%), dan A (0,8%).

2.3.4 Penularan Hepatitis B


HBV menyebar terutama oleh paparan perkutan atau mukosa pada darah yang
terinfeksi dan berbagai cairan tubuh, termasuk cairan air liur, menstruasi, vagina.
Penularan hepatitis B secara seksual dapat terjadi, terutama pada pria yang tidak
divaksinasi yang berhubungan seks dengan pria dan heteroseksual dengan banyak
pasangan seks atau kontak dengan pekerja seks. Infeksi pada masa dewasa
menyebabkan hepatitis kronis kurang dari 5% kasus. Penularan virus juga

10
diakibatkan oleh jumlah darah atau pemasangan uid selama prosedur medis,
bedah dan gigi, atau dari alat cukur dan benda serupa yang terkontaminasi dengan
darah yang terinfeksi; penggunaan jarum suntik dan jarum yang tidak disterilkan;
penyalahgunaan obat-obatan secara intravena dan perkutan; tato; tindik badan;
dan akupunktur.

Transmisi perinatal: Transmisi perinatal adalah jalur utama penularan HBV di


banyak bagian dunia, terutama di China dan Asia Tenggara. Dengan tidak adanya
profilaksis, sebagian besar ibu viremik, terutama mereka yang seropositif untuk
HBeAg, mengirimkan infeksi ke bayi mereka pada saat, atau sesaat setelah
kelahiran (21). Risiko infeksi perinatal juga meningkat jika ibu memiliki hepatitis
B akut pada trimester kedua atau ketiga kehamilan atau dalam waktu dua bulan
setelah melahirkan. Meskipun HBV dapat menginfeksi janin dalam rahim, ini
tampaknya jarang terjadi dan umumnya terkait dengan perdarahan antepartum dan
plasenta. Risiko terkena infeksi kronis adalah 90% setelah infeksi perinatal
(sampai usia 6 bulan) namun menurun sampai 20-60% antara usia 6 bulan dan 5
tahun (21,22) (Gambar 3.1).

Transmisi horisontal, termasuk rumah tangga, intrafamilial dan terutama anak-


anak, juga penting. Sedikitnya 50% infeksi pada anak-anak tidak dapat
dipertanggungjawabkan oleh penularan dari ibu ke bayi dan, di banyak daerah
endemik, sebelum diperkenalkannya vaksinasi neonatal, prevalensi mencapai
puncak pada anak-anak berusia 7-14 tahun (23).

11
2.3.5 Patogenesis Hepatitis B
Infeksi VHB berlangsung dalam dua fase. Selama fase proliferatif, DNA
VHB terdapat dalam bentuk episomal, dengan pembentukan virion lengkap
dan semua antigen terkait. Ekspresi gen HBsAg dan HBcAg di permukaan sel
disertai dengan molekul MHC kelas I menyebabkan pengaktifan limfosit T CD8+
sitotoksik. Selama fase integratif, DNA virus meyatu kedalam genom pejamu.
Seiring dengan berhentinya replikasi virus dan munculnya antibodi virus,
infektivitas berhenti dan kerusakan hati mereda. Namun risiko terjadinya
karsinoma hepatoselular menetap. Hal ini sebagian disebabkan oleh disregulasi
pertumbuhan yang diperantarai protein X VHB. Kerusakan hepatosit terjadi akibat
kerusakan sel yang terinfeksi virus oleh sel sitotoksik CD8+ (Kumar et al, 2012).
Proses replikasi VHB berlangsung cepat, sekitar 1010-1012 virion dihasilkan
setiap hari. Siklus hidup VHB dimulai dengan menempelnya virion pada reseptor
di permukaan sel hati (Gambar 3). Setelah terjadi fusi membran, partikel core
kemudian ditransfer ke sitosol dan selanjutnya dilepaskan ke dalam nucleus
(genom release), selanjutnya DNA VHB yang masuk ke dalam nukleus mula-
mula berupa untai DNA yang tidak sama panjang yang kemudian akan terjadi
proses DNA repair berupa memanjangnya rantai DNA yang pendek sehingga
menjadi dua untai DNA yang sama panjang atau covalently closed circle DNA
(cccDNA). Proses selanjutnya adalah transkripsi cccDNA menjadi pre-genom
RNA dan beberapa messenger RNA (mRNA) yaitu mRNA LHBs, MHBs, dan
mRNA SHBs (Hardjoeno, 2007).

12
Semua RNA VHB kemudian ditransfer ke sitoplasma dimana proses translasi
menghasilkan protein envelope, core, polimerase, polipeptida X dan pre-C,
sedangkan translasi mRNA LHBs, MHBs, dan mRNA SHBs akan
menghasilkan protein LHBs, MHBs, dan SHBs. Proses selanjutnya adalah
pembuatan nukleokapsid di sitosol yang melibatkan proses encapsidation yaitu
penggabungan molekul RNA ke dalam HBsAg. Proses reverse transcription
dimulai, DNA virus dibentuk kembali dari molekul RNA. Beberapa core yang
mengandung genom matang ditransfer kembali ke nukleus yang dapat dikonversi
kembali menjadi cccDNA untuk mempertahankan cadangan template
transkripsi intranukleus. Akan tetapi, sebagian dari protein core ini bergabung ke
kompleks golgi yang membawa protein envelope virus. Protein core memperoleh
envelope lipoprotein yang mengandung antigen surface L, M, dan S, yang
selanjutnya ditransfer ke luar sel (Hardjoeno, 2007).

2.3.6 Patofisiologi Hepatitis B


Sel hati manusia merupakan target organ bagi virus Hepatitis B.
Virus Hepatitis B mula-mula melekat pada reseptor spesifik di membran sel
hepar kemudian mengalami penetrasi ke dalam sitoplasma sel hepar. Virus
melepaskan mantelnya di sitoplasma, sehingga melepaskan nukleokapsid.
Selanjutnya nukleokapsid akan menembus sel dinding hati. Asam nukleat VHB
akan keluar dari nukleokapsid dan akan menempel pada DNA hospes dan
berintegrasi pada DNA tersebut. Proses selanjutnya adalah DNA VHB
memerintahkan sel hati untuk membentuk protein bagi virus baru. Virus Hepatitis
B dilepaskan ke peredaran darah, terjadi mekanisme kerusakan hati yang kronis
disebabkan karena respon imunologik penderita terhadap infeksi (Mustofa &
Kurniawaty, 2013).
Proses replikasi virus tidak secara langsung bersifat toksik terhadap sel,
terbukti banyak carrier VHB asimtomatik dan hanya menyebabkan kerusakan hati
ringan. Respon imun host terhadap antigen virus merupakan faktor penting
terhadap kerusakan hepatoseluler dan proses klirens virus, makin lengkap
respon imun, makin besar klirens virus dan semakin berat kerusakan sel hati.
Respon imun host dimediasi oleh respon seluler terhadap epitop protein VHB,
terutama HBsAg yang ditransfer ke permukaan sel hati. Human Leukocyte

13
Antigen (HLA) class I-restricted CD8+ cell mengenali fragmen peptida VHB
setelah mengalami proses intrasel dan dipresentasikan ke permukaan sel hati oleh
molekul Major Histocompability Complex (MHC) kelas I. Proses berakhir dengan
penghancuran sel secara langsung oleh Limfosit T sitotoksik CD8+ (Hardjoeno,
2007

2.8 Manifestasi Klinis


Masa inkubasi virus hepatitis B adalah 1-4 bulan. Setelah masa inkubasi,
pasien masuk ke dalam periode prodromal, dengan gejala konstitusional, berupa
malaise, anoreksia, mual, muntah, mialgia, dan mudah lelah. Pasien dapat
mengalami perubahan rasa pada indra pengecap dan perubahan sensasi bau-bauan.
Sebagian pasien dapat mengalami nyeri abdomen kuadran kanan atas atau nyeri
epigastrium intermiten yang ringan sampai moderat.
Demam lebih jarang terjadi pada pasien dengan infeksi hepatitis B dan D, bila
dibandingkan dengan infeksi hepatitis A dan E, namun demam dapat terjadi pada
pasien dengan serum sickness-like syndrome, dengan gejala berupa demam,
kemerahan pada kulit, artralgia, dan artritis. Serum sickness-like syndrome terjadi
pada 10-20% pasien. Gejala diatas terjadi pada umumnya 1-2 minggu sebelum
terjadi ikterus. Sekitar 70% pasien mengalami hepatitis subklinis atau hepatitis
anikterik. Hanya 30% pasien yang mengalami hepatitis dengan ikterus. Pasien
dapat mengalami ensefalopati hepatikum dan kegagalan multiorgan bila terjadi
gagal hati fulminan.
Gejala klinis dan ikterus biasanya hilang setelah 1-3 bulan, tetapi sebagian
pasien dapat mengalami kelelahan persisten meskipun kadar transaminase serum
telah mencapai kadar normal. Kelainan fisik yang paling sering ditemui adalah
demam dengan suhu yang tidak terlalu tinggi, ikterus, dan hepatomegali ringan.
Splenomegali dapat dijumpai pada 5-15% kasus. Limfadenopati ringan dapat
terjadi. Selain itu, palmar eritema atau spider nervi dapat dijumpai meskipun
jarang.
Pada hepatitis B akut, HBsAg muncul di serum dalam waktu 2-10 minggu
setelah paparan virus, sebelum onset gejala dan peningkatan kadar ALT. Pada
sebagian pasien dewasa, HBsAg hilang dalam waktu 4-6 bulan. Anti-HBs dapat
muncul beberapa minggu setelah serokonversi HBsAg. Setelah serokonversi

14
HBsAg menjadi anti-HBs, HBV-DNA masih dapat dideteksi pada hati, dan
respon sel T spesifik terhadap virus hepatitis B dapat dijumpai pada beberapa
dekade berikutnya. Hal tersebut menunjukkan kontrol imunitas yang persisten
setelah infeksi akut. Pada kondisi yang jarang, pasien dengan anti-HBs yang
positif dapat kembali terinfeksi virus hepatitis B kembali karena proteksi
inkomplit dari anti-HBs terhadap serotipe virus hepatitis B lainnya.
Adanya HBsAg yang persisten lebih dari 6 bulan menunjukkan bahwa pasien
menderita infeksi hepatitis B kronik. HBsAg dan anti-HBs dapat dijumpai secara
bersamaan pada individu yang sama pada 10-25% kasus. Fenomena tersebut
muncul lebih sering pada pasien dengan hepatitis B kronik dibandingkan pada
hepatitis B akut. Pada keadaan ini biasanya titer antibodi rendah. Mekanisme yang
menjelaskan fenomena tersebut masih belum sepenuhnya diketahui, tetapi
mungkin diakibatkan oleh infeksi hepatitis B lebih dari 1 serotipe. Pada pasien
yang terdapat HBsAg dan anti-HBs bersamaan, pasien tersebut dianggap
menderita infeksi virus hepatitis B, dan adanya anti-HBs tidak mempengaruhi
aktivitas penyakit dan hasil akhir penyakit tersebut. HBeAg yang persisten lebih
dari 3 bulan setelah onset penyakit jarang terjadi dan menunjukkan progresivitas
menjadi hepatitis B kronik.
Pada hepatitis B akut, periode antara hilangnya HBsAg dan munculnya anti-
HBs dikenal dengan periode jendela (window period). Pada periode ini, HBeAg
negatif dan HBV-DNA biasanya tidak terdeteksi. Penanda satu-satunya yang
positif adalah IgM anti-HBc, suatu antibodi terhadap antigen hepatitis B core.
Sehingga IgM anti-HBc merupakan pendanda serologis paling penting pada
hepatitis B akut. IgM anti-HBc biasanya bertahan 4-6 bulan selama hepatitis B
akut, dan jarang persisten sampai 2 tahun. Meskipun IgM anti-HBc merupakan
penanda hepatitis B akut, penanda tersebut juga dapat positif selama hepatitis B
kronik yang mengalami eksaserbasi akut. IgG anti-HBc merupakan pendanda
paparan hepatitis B. Penanda tersebut positif baik pada hepatitis B kronik dan
pada pasien yang telah sembuh dari hepatitis B akut. Pada kasus pasien yang telah
sembuh dari hepatitis B akut, biasanya penanda tersebut disertai dengan adanya
anti-HBs yang positif.

15
Peningkatan ALT dan AST sampai 1000-2000 IU/L sering dijumpai, dimana
ALT lebih tinggi daripada AST. Peningkatan kadar bilirubin biasanya muncul
setelah peningkatan ALT. Peningkatan kadar ALT puncak tidak berkolerasi
dengan prognosis. Karena faktor pembekuan mempunyai waktu paruh yang
singkat (6 jam untuk faktor VII), waktu protrombin merupakan indikator yang
paling baik. Leukopenia ringan dengan limfositosis relatif sering dijumpai. Pada
pasien yang sembuh, ALT biasanya kembali normal setelah 1-4 bulan diikuti
kadar bilirubin yang menjadi normal.
Risiko perjalanan penyakit infeksi hepatitis B akut menjadi kronik
berbanding terbalik secara proporsional terhadap usia terjadinya infeksi. Infeksi
kronik akan terjadi kurang dari 5% pada pasien dewasa yang imunokompeten.
Pasien hepatitis B akut yang mengalami hepatitis B fulminan kurang dari 1%.
Sebanyak 35-70% hepatitis virus fulminan berasal dari infeksi hepatitis B akut.
Angka ketahanan hidup spontan pada hepatitis B fulminan berkisar 20% tanpa
transplantasi hati. Transplantasi hati menghasilkan angka ketahanan hidup 50-
60%. Reinfeksi akibat transplantasi hati jarang terjadi karena adanya profilaksis
imunisasi hepatitis B dan agen antivirus.
Hepatitis B kronis didefinisikan sebagai peradangan hati yang berlanjut lebih
dari enam bulan sejak timbul keluhan dan gejala penyakit. Perjalanan hepatitis B
kronik dibagi menjadi lima fase penting yaitu :
 Fase immune-tolerant:
- Ditandai dengan kadar DNA HBV serum yang tinggi, positif
HBeAg, kadar alanin aminotransferase normal (ALT), dan tidak
adanya nekroinflamasi hepar.
- Perkembangan penyakit minimal pada pasien yang bertahan
dalam fase ini [28].
- Penderita sangat menular pada fase ini.
• Fase immune-reactive (HBeAg-positif CHB):
- Pasien memasuki fase ini setelah waktu yang bervariasi, terkait
dengan usia ketika terjadi infeksi HBV.
- Sistem kekebalan tubuh menjadi lebih aktif dan hepatosit yang
terinfeksi diserang.

16
- Ditandai dengan tingkat HBV-DNA yang sangat berfluktuasi,
namun semakin menurun, ALT yang meningkat, dan
nekroinflamasi hepar (HBeAg-positive CHB).
- Fase imun aktif yang berkepanjangan dengan banyak ALT dapat
menyebabkan fibrosis hati progresif, yang menyebabkan sirosis.
• Fase Immune-control (and inactive carrier state)::
- Transisi ke fase ini sebagai hasil fase imun-aktif ditandai dengan
serokonversi dari HBeAg menjadi positif anti-HBe.
- Ditandai dengan rendahnya (<2000 IU / mL) atau DNA HBV
serum tidak terdeteksi, kadar ALT normal, dan hilangnya
nekroinflammisasi hati (keadaan pembawa tidak aktif).
• Fase reactivation (HBeAg-negative CHB):
- Ditandai dengan tingkat antibodi anti-HBe yang positif, tingkat
DNA HBV dan ALT yang berfluktuasi, dan berisiko tinggi
mengalami fibrosis hati berat (HBeAg-negative CHB).
- Bahaya ALT periodik dengan normalisasi intervensi dapat
membuat sulit untuk membedakan antara CHB HBeAg-negatif dan
penyakit tidak aktif, dan dengan demikian tindak lanjut lanjutan
diperlukan sebelum pasien dengan ALT normal dan tingkat DNA
HBV rendah ditetapkan sebagai inaktif pembawa.
- Bukti yang muncul menunjukkan bahwa titer DNA HBV rendah
(<2000 IU / mL) dikombinasikan dengan titer antigenase hepatitis
B (HBsAg) rendah (<1000 IU / mL) dapat membantu
mengidentifikasi pembawa tidak aktif, terutama yang memiliki
infeksi genotipe D [29 ].
• Fase negatif HBsAg:
- Setelah kehilangan HBsAg, replikasi HBV tingkat rendah dapat
bertahan, dengan DNA HBV terdeteksi di hati dan jarang di serum
[30].
- Pada pasien dengan infeksi HBV "okultisme", persistensi kontrol
imunologi HBV yang efektif telah ditunjukkan [31].
- Signifikan imunosupresi dapat menyebabkan reaktivasi HBV,

17
dengan kemunculan kembali HBsAg, yang dikenal sebagai
"serokonversi balik."

2.9 Diagnosis Hepatitis B


Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
penunjang. Anamnesis umumnya tanpa keluhan, perlu digali riwayat transmisi
seperti pernah transfusi, seks bebas, riwayat sakit kuning sebelumnya.
Pemeriksaan fisik didapatkan hepatomegali. Pemeriksaan penunjang terdiri
dari pemeriksaan laboratorium, USG abdomen dan Biopsi hepar (Mustofa &
Kurniawaty, 2013). Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari pemeriksaan
biokimia, serologis, dan molekuler (Hardjoeno, 2007). Pemeriksaan USG
abdomen tampak gambaran hepatitis kronis, selanjutnya pada biopsi hepar
dapat menunjukkan gambaran peradangan dan fibrosis hati (Mustofa &
Kurniawaty, 2013).
Pemeriksaan laboratorium pada VHB terdiri dari :
1. Pemeriksaan Biokimia
Stadium akut VHB ditandai dengan AST dan ALT meningkat >10 kali nilai
normal, serum bilirubin normal atau hanya meningkat sedikit, peningkatan
Alkali Fosfatase (ALP) >3 kali nilai normal, dan kadar albumin serta
kolesterol dapat mengalami penurunan. Stadium kronik VHB ditandai
dengan AST dan ALT kembali menurun hingga 2-10 kali nilai normal dan
kadar albumin rendah tetapi kadar globulin meningkat (Hardjoeno, 2007).

2. Pemeriksaan serologis

18
Indikator serologi awal dari VHB akut dan kunci diagnosis penanda
infeksi VHB kronik adalah HBsAg, dimana infeksi bertahan di serum >6
bulan (EASL, 2009). Pemeriksaan HBsAg berhubungan dengan selubung
permukaan virus. Sekitar 5-10%pasien, HBsAg menetap di dalam darah yang
menandakan terjadinya hepatitis kronis atau carrier (Hardjoeno, 2007).
Setelah HBsAg menghilang, anti-HBs terdeteksi dalam serum pasien dan
terdeteksi sampai waktu yang tidak terbatas sesudahnya. Karena terdapat
variasi dalam waktu timbulnya anti-HBs, kadang terdapat suatu tenggang
waktu (window period) beberapa minggu atau lebih yang memisahkan
hilangnya HBsAg dan timbulnya anti-HBs. Selama periode tersebut, anti-
HBc dapat menjadi bukti serologik pada infeksi VHB (Asdie et al, 2012).

Penanda serologi Virus Hepatitis B akut (Sumber: Roche Diagnostics,


2011)

Hepatitis B core antigen dapat ditemukan pada sel hati yang terinfeksi, tetapi
tidak terdeteksi di dalam serum (Hardjoeno, 2007). Hal tersebut dikarenakan
HBcAg terpencil di dalam mantel HBsAg. Penanda Anti-HBc dengan cepat
terlihat dalam serum, dimulai dalam 1 hingga 2 minggu pertama timbulnya
HBsAg dan mendahului terdeteksinya kadar anti-HBs dalam beberapa minggu
hingga beberapa bulan (Asdie et al, 2012).
Penanda serologik lain adalah anti-HBc, antibodi ini timbul saat terjadinya
gejala klinis. Saat infeksi akut, anti HBc IgM umumnya muncul 2 minggu setelah
HBsAg terdeteksi dan akan menetap ± 6 bulan. Pemeriksaan anti- HBc IgM

19
penting untuk diagnosis infeksi akut terutama bila HBsAg tidak terdeteksi
(window period). Penanda anti-HBc IgM menghilang, anti-HBc IgG muncul dan
akan menetap dalam jangka waktu lama (Hardjoeno, 2007).
Hepatitis B envelope antigen merupakan peptida yang berasal dari core virus,
ditemukan hanya pada serum dengan HBsAg positif. Penanda HBeAg timbul
bersamaan dengan dihasilkannya DNA polimerase virus sehingga lebih
menunjukkan terjadinya replikasi virus dan jika menetap kemungkinan akan
menjadi penyakit hati kronis (Hardjoeno, 2007).

Penanda serologi Virus Hepatitis B kronis (Sumber: Roche Diagnostics, 2011)

Tes-tes yang sangat sensitif telah banyak dikembangkan secara luas untuk
menegakkan diagnosis Hepatitis B dalam kasus-kasus ringan, sub klinis atau yang
menetap (Handojo, 2004). Beberapa metode yang digunakan untuk mendiagnosis
hepatitis adalah Immunochromatography (ICT), ELISA, EIA, dan PCR. Metode
EIA dan PCR tergolong mahal dan hanya tersedia pada laboratorium yang
memiliki peralatan lengkap. Peralatan rapid diagnostic ICT adalah pilihan yang
tepat digunakan karena lebih murah dan tidak memerlukan peralatan kompleks
(Rahman et al, 2008).
Diagnostik dengan rapid test merupakan alternatif untuk enzym immunoassays
dan alat untuk skrining skala besar dalam diagnosis infeksi VHB, khususnya di
tempat yang tidak terdapat akses pemeriksaan serologi dan molekuler secara
mudah (Scheiblauer et al, 2010).
Pemeriksaan HBsAg (cassette) adalah pemeriksaan rapid chromatographic
secara kualitatif untuk mendeteksi HBsAg pada serum atau plasma. Pemeriksaan

20
HBsAg Diaspot® (Diaspot Diagnostics, USA) adalah pemeriksaan kromatografi
yang dilakukan berdasarkan prinsip double antibody-sandwich. Membran dilapisi
oleh anti-HBs pada bagian test line. Selama tes dilakukan, HBsAg pada spesimen
serum atau plasma bereaksi dengan partikel anti-HBs. Campuran tersebut
berpindah ke membran secara kromatografi oleh mekanisme kapiler yang bereaksi
dengan anti-HBs pada membran dan terbaca di colored line (Gambar 7). Adanya
colored line menandakan bahwa hasilnya positif, jika tidak ada colored line
menandakan hasil negatif (Okonko & Udeze, 2011).
Penanda HBsAg telah digunakan sebagai penanda diagnostik kualitatif
untuk infeksi virus Hepatitis B. Seiring dengan kemajuan perkembangan, terdapat
pemeriksaan HBsAg kuantitatif untuk memonitor replikasi virus (Ahn & Lee,
2011). Pemeriksaan HBsAg kuantitatif adalah alat klinis yang dibutuhkan untuk
akurasi, mudah, terstandarisasi, dan secara luas tersedia untuk memastikan
perbedaan yang ditemukan pada pemeriksaan laboratorium.Salah satu
pemeriksaan yang telah dikembangkan untuk penilaian HBsAg kuantitatif
adalah pemeriksaan HBsAg Architect (Abbott Diagnostics). Pemeriksaan HBsAg
Architect memiliki jarak linear dari 0,05-250 IU/mL (Zacher, et al. 2011).
Pemeriksaan HBsAg kuantitatif dilakukan dengan pemeriksaan HbsAg
Architect berdasarkan metode CMIA (Gambar 8). Metode CMIA adalah generasi
terbaru setelah ELISA dengan kemampuan deteksi yang lebih sensitif
(Primadharsini & Wibawa, 2013). Pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect
memiliki dua langkah dalam pemeriksaan. Langkah pertama, sampel dan
mikropartikel paragmanetik dilapisi anti-HBs dikombinasikan. Keberadaan
HBsAg pada sampel akan berikatan dengan mikropartikel yang dilapisi anti-HBs.
Proses selanjutnya adalah washing, kemudian acridinium-labeled anti-HBs
conjugate ditambahkan pada langkah kedua. Setelah proses washing kembali,
larutan pre-trigger dan trigger ditambahkan ke dalam campuran Larutan pre-
trigger mengandung 1, 32% hydrogen peroksida, sedangkan larutan trigger
mengandung 0,35 mol/L natrium hidroksida. Hasil dari reaksi
chemiluminescent diukur sebagai Relative Unit Light (RLU) dan dideteksi dengan
system optic Architect (Abbott Laboratories, 2008). Interpretasi hasil dari
pemeriksaan HBsAg kuantitatif Architect adalah nonreaktif jika spesimen dengan

21
nilai konsentrasi <0,05 IU/mL dan reaktif jika spesimen dengan nilai konsentrasi
>0,05 IU/mL. Sampel nonreaktif menandakan negatif untuk HBsAg dan
tidak membutuhkan tes selanjutnya (Abbott Laboratories, 2008).
Pemeriksaan molekuler menjadi standar pendekatan secara laboratorium
untuk deteksi dan pengukuran DNA VHB dalam serum atau plasma. Pengukuran
kadar secara rutin bertujuan untuk mengidentifikasi carrier, menentukan
prognosis, dan monitoring efikasi pengobatan antiviral. Metode
pemeriksaannya antara lain:
a. Radioimmunoassay (RIA) mempunyai keterbatasan karena waktu paruh
pendek dan diperlukan penanganan khusus dalam prosedur kerja dan
limbahnya.
b. Hybrid Capture Chemiluminescence (HCC) merupakan teknik
hibridisasi yang lebih sensitif dan tidak menggunakan radioisotop karena
sistem deteksinya menggunakan substrat chemiluminescence.
2.10 Komplikasi Hepatitis B
Hepatitis B kronik merupakan penyulit jangka lama pada Hepatitis B akut.
Penyakit ini terjadi pada sejumlah kecil penderita Hepatitis B akut. Kebanyakan
penderita Hepatitis B kronik tidak pernah mengalami gejala hepatitis B akut
yang jelas. Hepatitis fulminan merupakan penyulit yang paling ditakuti karena
sebagian besar berlangsung fatal. Lima puluh persen kasus hepatitis virus
fulminan adalah dari tipe B dan banyak diantara kasus hepatitis B akut fulminan
terjadi akibat ada koinfeksi dengan hepatitis D atau hepatitis C. Angka kematian
lebih dari 80% tetapi penderita hepatitis fulminan yang berhasil hidup biasanya
mengalami kesembuhan biokimiawi atau histologik. Terapi pilihan untuk hepatitis
B fulminan adalah transplantasi hati (Soewignjo & Gunawan, 2008).

Sirosis hati merupakan kondisi dimana jaringan hati tergantikan oleh jaringan
parut yang terjadi bertahap. Jaringan parut ini semakin lama akan mengubah
struktur normal dari hati dan regenerasi sel-sel hati. Maka sel-sel hati akan
mengalami kerusakan yang menyebabkan fungsi hati mengalami penurunan
bahkan kehilangan fungsinya (Mustofa & Kurniawaty, 2013).

22
2.11 Tatalaksana Hepatitis B
Indikasi terapi pada infeksi Hepatitis B ditentukan berdasarkan kombinasi dari
empat kriteria, antara lain: (1) nilai DNA VHB serum, (2) status HBeAg, (3) nilai
ALT dan (4) gambaran histologis hati.

Nilai DNA VHB merupakan salah satu indikator mortalitas dan morbiditas yang
paling kuat untuk hepatitis B. Studi REVEAL yang melibatkan lebih dari 3.000
responden di Taiwan menyatakan bahwa kadar DNA VHB basal merupakan
prediktor sirosis dan KHS yang paling kuat baik pada pasien dengan HBeAg
positif maupun negatif. Pasien dengan kadar DNA VHB antara 300-1000 kopi/mL
memiliki risiko relatif 1.4 kali lebih tinggi untuk terjadinya sirosis pada 11.4 tahun
bila dibandingkan dengan pasien dengan DNA VHB tak terdeteksi. Lebih jauh

lagi, pasien dengan DNA VHB antara 103-104 kopi/ mL memiliki risiko relatif

2.4, pasien dengan DNA VHB antara 104-105 kopi/ mL memiliki risiko relatif

5.4, dan pasien dengan DNA VHB > 105 kopi/mL memiliki risiko relatif 6.7.12

Pasien yang memiliki kadar DNA VHB > 104 kopi/ mL juga memiliki risiko KHS

3-15 kali lipat lebih tinggi daripada mereka yang memiliki kadar DNA VHB <104

kopi/mL.13 Merujuk pada uraian tersebut, maka level DNA VHB dapat dijadikan
sebagai indikator memulai terapi dan indikator respon terapi.

Status HBeAg pasien telah diketahui memiliki peran penting dalam prognosis
pasien dengan hepatitis B kronik. Pasien dengan HBeAg positif diketahui

memiliki risiko morbiditas dan mortalitas yang lebih tinggi.14 Namun, pada
pasien dengan HBeAg negatif, respon terapi jangka panjang seringkali lebih sulit
diprediksi dan relaps lebih sering dijumpai. Beberapa panduan yang ada telah
mencoba membedakan indikasi terapi hepatitis B berdasarkan status HBeAg,
dengan pasien HBeAg negatif diindikasikaan memulai terapi pada kadar DNA

VHB yang lebih rendah.15,16 Kadar ALT serum telah lama dikenal sebagai
penanda kerusakan hati, namun kadar ALT yang rendah juga menunjukkan bahwa
pasien berada pada fase immune tolerant dan akan mengalami penurunan respon
terapi. Adanya tingkat kerusakan histologis yang tinggi juga merupakan prediktor

23
17-19
respon yang baik pada pasien dengan hepatitis B.

Pada pasien dengan HBeAg positif, terapi dapat dimulai pada DNA VHB diatas 2

x 104 IU/mL dengan ALT 2-5x batas atas normal yang menetap selama 3-6 bulan
atau ALT serum > 5x batas atas normal, atau dengan gambaran histologis fibrosis
derajat sedang sampai berat. Sedangkan pada pasien HBeAg negatif, terapi

dimulai pada pasien dengan DNA VHB lebih dari 2 x 103 IU/mL dan kenaikan
ALT > 2x batas atas normal yang menetap selama 3-6 bulan.

Gambar 1. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg positif

24
Gambar 2. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B dengan HBeAg negatif

Pada pasien dengan sirosis terkompensasi terapi dimulai pada pasien dengan DNA

VHB >2 x 103 IU/mL. Sedangkan pada sirosis tidak terkompensasi, terapi harus
segera dimulai untuk mencegah deteriorasi tanpa memandang nilai DNA VHB
ataupun ALT.

25
Gambar 3. Algoritma Penatalaksanaan Hepatitis B pada Pasien dengan Sirosis

Pemeriksaan histologis hati pada pasien hepatitis B kronik tidak dilakukan secara
rutin. Namun, pemeriksaan ini mempunyai peranan penting karena penilaian
fibrosis hati merupakan faktor prognostik pada infeksi hepatitis B kronik. Indikasi
dilakukannya pemeriksaan histologis hati adalah pasien yang tidak memenuhi
kriteria pengobatan dan berumur > 30 tahun atau < 30 tahun dengan riwayat KHS
dan sirosis dalam keluarga. Pengambilan angka 30 tahun sebagai batasan
didasarkan pada studi yang menunjukkan bahwa rata-rata umur kejadian sirosis di
Indonesia adalah 40 tahun, sehingga pengambilan batas 30 tahun dirasa cukup

memberikan waktu untuk deteksi dini sirosis.20

Pada pasien yang tidak termasuk dalam indikasi terapi, maka pemantauan harus
dilakukan tiap 3 bulan bila HBeAg positif dan tiap 6 bulan bila HBeAg negatif.
Pemeriksaan histologis hati dapat dilakukan dengan cara invasif maupun non
invasif. Saat ini, metoda yang paling baik untuk pemeriksaan histologis adalah
biopsi hati, prosedur ini tidak nyaman dan tidak praktis bila digunakan sebagai
alat pemantau. Terdapat beberapa laporan yang menyatakan bahwa metode

26
noninvasif seperti liver stiffness measurement (LSM) dengan elstografi transien
dan pemeriksaan serologis lain dapat digunakan sebagai alternatif pemeriksaan
histologis pada pasien hepatitis B kronik. LSM mempunyai performa yang baik
dalam mendiagnosis fibrosis lanjut, dibandingkan dengan tes serologis lain. LSM
menunjukkan NPV 92% pada cut off 6.0 kPa pada pasien dengan ALT normal
dan 7.5 kPa pada pasien dengan ALT meningkat. Selain itu, LSM menunjukkan
PPV 98% pada cut-off 9 kPa pada pasien dengan ALT normal dan 12 kPa pada

pasien dengan ALT meningkat.21

Mengingat adanya peningkatan risiko KHS yang cukup signifikan pada pasien
hepatitis B, penapisan dan evaluasi risiko KHS menjadi hal yang penting
dilakukan. Sebuah studi buta acak berganda yang melibatkan 18.816 orang
dengan hepatitis B kronik menunjukkan bahwa pemeriksaan alfa fetoprotein
(AFP) dan USG setiap 6 bulan mampu menurunkan mortalitas akibat KHS sampai

37%.22 Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa, pada pasien dengan hepatitis
B kronik, evaluasi risiko KHS dengan USG maupun AFP tiap 6 bulan harus
dilakukan, terutama bagi pasien dengan risiko tinggi (laki-laki ras Asia dengan
usia >40 tahun, perempuan ras Asia dengan usia >50 tahun, pasien dengan sirosis
hati, atau pasien dengan riwayat penyakit hati lanjut di keluarga).

2.4 Hepatitis C

2.4.1 Definisi Hepatitis C


Virus hepatitis C adalah virus RNA dari keluarga Flaviviridae. Virus ini memiliki
partikel untuk menyelimuti untalan RNA yang panjangnya 9.600 basa nukleotida.
Genom VHC terdiri dari protein structural (C, E1 dan E2) dan protein non-
struktural (NS1, NS2, NS3, NS4A, NS4B, NS5A dan NS5B) yang terletak di
dalam poliprotein 5’NTR dan 3’NTR. Protein non-struktural dan RNA virus
hepatitis C telah terbukti ditemukan pada hati pasien yang terinfeksi hepatitis C
sehingga membuktikan bahwa hati adalah tempat replikasi virus hepatitis C.

2.4.2 Epidemiologi Hepatitis C


Sejak ditemukan pada tahun 1089, virus hepatitis C (VHC) telah menjadi salah
satu penyebab utama penyakit hati kronik di seluruh dunia. World Heath

27
Organization (WHO) memperkirakan prevalensi penderita hepatitis C kronik
sebesar 3% dari total populasi dunia atau sekitar 170 juta jiwa dimana terdapat
penambahan 3-4 juta kasus baru setiap tahunnya. Infeksi VHC menyebabkan
kematian 350.00 jiwa setiap tahunnya terkait dengan berbagai komplikasi
penyakit hati yang ditimbulkannya. Infeksi VHC endemik di seluruh dunia akan
tetapi prevalensinya berbeda-beda di setiap negara. Wilayah Asia Tengah, Asia
Timur, Afrika Utara dan Timur Tengah memiliki prevalensi infeksi VHC yang
paling tinggi yaitu >3,5%. Asia Selatan, Asia Tenggara, Afrika Sub-Sahara,
Amerika Latin, Amerika Selatan, Australia dan Eropa Barat memiliki prevalensi
infeksi VHC 1,5-3,5% sedangkan wilayah Asia Pasifik dan Amerika Utara
memiliki prevalensi terendah yaitu <1,5%.

Prevalensi hepatitis C di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar


(Riskesdas) 2007 dari 12.715 laki-laki dan 14.821 perempuan didapatkan anti-
HCV positif sebesar 1,7% dan 2,4%. Data hasil surveilans hepatitis C oleh
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Dirjen
P2PL) pada tahun 2007-2012 yang dilaksanakan di 21 provinsi dengan 128 unit
pengumpul data (50 rumah sakit, 51 labioratorium dan 27 unit transfuse darah
PMI) dengan jumlah sampel 5.064.431 didapatkan anti-HCV positif pada 35.453
sampel (0,7%). Data juga menunjukkan jumlah kasus terbanyak didapatkan pada
golongan umur 20-29 tahun (30,94%) dengan perbandingan laki-laki : perempuan
adalah 83% : 17%

2.4.3 Penularan Hepatitis C


Transmisi VHC melalui paparan media darah dan cairan tubuh yang
terkontaminasi virus hepatitis C. Resiko tertular VHC sangat tinggi pada
pengguna narkoba suntik (penasun). Data di Amerika Serikat dan Australia
menunjukkan bahwa transmisi virus hepatitis C dikalangan penasun mendominasi
penularan VHC dalam kurun waktu 30 tahun terakhir yaitu sebesar 68-80%.
Penularan VHC melalui praktik medis yang tidak steril juga cukup tinggi. Pada
tahun 2000, data WHO menunjukkan adanya 2 juta kasus infeksi hepatitis C baru
akibat praktik medis yang tidak aman. Pemberian transfuse produk darah terutama
di negara berkembang juga berisiko tinggi tertular virus hepatitis C. Berdasarkan

28
WHO’s Global Database of Blood Safety diperkirakan 43% produk darah di
negara berkembang tidak mendapatkan penapisan virus hepatitis C yang adekuat.
Risiko terinfeksi virus hepatitis C di kalangan tenaga medis akibat tertusuk jarum
sebesar 3-10%. Prevalensi perinatal dari ibu yang tertular hepatitis C ke bayi
adalah sebesar 5%. Transplantasi organ yang terinfeksi, perilaku seksual yang
tidak aman terutama pada pasangan homoseksual, pembuatan tato juga
dapatmenjadi metode transmisi VHC meskipun dalam angka kejadian yang lebih
rendah. Angka infeksi hepatitis C meningkat pada beberapa sub-populasi tertentu
seperti narapidana, pengguna narkotika suntik, para gelandangan, pasien
hemodialysis dan pasien yang mendapatkan transfusi produk darah rutin sebelum
tahun 1992.

2.4.4 Manifestasi Klinis


Setelah paparan perkutan terhadap virus hepatitis C, viremia terjadi pada sebagian
besar kasus dalam hitungan hari. Sebagian pasien dapat mengalami gejala
prodromal tipikal berupa flu-like syndrome, tetapi sebagian besar kasus
asimptomatik. Sebagian kasus dapat mengatasi infeksi tanpa anti-HCV atau
respons kuat dari sel T. biasanya, respon sel T lebih kuat pada pasien infeksi virus
hepatitis C yang dapat mengeradikasi virus secara spontan.

Masa inkubasi hepatitis C akut rata-rata 6-10 minggu. Kebanyakan orang


(80%) yang menderita hepatitis C akut tidak memiliki gejala. Awal penyakit
biasanya berbahaya, dengan anoreksia, mual dan muntah, demam dan kelelahan,
berlanjut untuk menjadi penyakit kuning sekitar 25% dari pasien, lebih jarang
daripada hepatitis B. Infeksi HCV dapat dibagi dalam dua fase, yaitu :
1. Infeksi HCV akut
HCV menginfeksi hepatosit (sel hati). Masa inkubasi hepatitis C akut rata-
rata 6-10 minggu. Kebanyakan orang (80%) yang menderita hepatitis C akut
tidak memiliki gejala. Awal penyakit biasanya berbahaya, dengan anoreksia,
mual dan muntah, demam dan kelelahan, berlanjut untuk menjadi penyakit
kuning sekitar 25% dari pasien, lebih jarang daripada hepatitis B. Tingkat
kegagalan hati fulminan terkait dengan infeksi HCV adalah sangat jarang.
Mungkin sebanyak 70% -90% dari orang yang terinfeksi, gagal untuk

29
membunuh virus selama fase akut dan akan berlanjut menjadi penyakit kronis
dan menjadi karrier.
Pada keadaan hepatitis C yang simptomatik, titer aviditas C akut terhadap
infeksi hepatitis C kronik yang mengalami eksaserbasi akut. Namun,
pemeriksaan tersebut tidak tersedia secara rutin. Pengukuran viral load serial
dapat digunakan untuk memprediksi infeksi virus akut tanpa adanya
intervensi.
2. Infeksi HCV kronis
Hepatitis kronis dapat didefinisikan sebagai penyakit terus tanpa perbaikan
selama setidaknya enam bulan. Kebanyakan orang (60% -80%) yang telah
kronis hepatitis C tidak memiliki gejala. Infeksi HCV kronis berkembang
pada 75% -85% dari orang dengan persisten atau berfluktuasi ALT kronis.
Pada fitur epidemiologi antara pasien dengan infeksi akut telah ditemukan
menunjukkan peningkatan penyakit hati aktif, berkembang dalam 60% -70%
dari orang yang terinfeksi telah ditemukan sudah menjadi penyakit hati
kronis.
Hepatitis kronis dapat menyebabkan sirosis hati dan karsinoma hepatoseluler
(HCC). Sirosis terkait HCV menyebabkan kegagalan hati dan kematian pada
sekitar 20% -25% kasus sirosis. Sirosis terkait HCV sekarang merupakan
sebab utama untuk transplantasi hati. 1% -5% orang dengan hepatitis C kronis
berkembang menjadi karsinoma hepatoseluler. Pengembangan HCC jarang
terjadi pada pasien dengan hepatitis C kronis yang tidak memiliki sirosis.
Periode masa penularan dari satu minggu atau lebih sebelum timbulnya gejala
pertama dan mungkin bertahan pada sebagian besar orang selamanya. (WHO,
2010).
Penularan terjadi melalui paparan perkutan terhadap darah yeng
terkontaminasi. Jarum suntik yang terkontaminasi adalah sarana penyebaran
yang paling penting, khususnya di kalangan pengguna narkoba suntikan.
Transmisi melalui kontak rumah tangga dan aktivitas seksual tampaknya
rendah. Transmisi saat lahir dari ibu ke anak juga relatif jarang (WHO, 2010).

30
2.4.5 Diagnosis Hepatitis C
Pada infeksi hepatitis C akut, HCV RNA dapat terdeteksi dalam 7-10 hari setelah
paparan, kemudian anti-HCV positif mulai dapat terdeteksi di awal darah 2-8
minggu setelah paparan. Saat diagnosis awal hepatitis C akut, pemeriksaan anti-
HCV hanya ditemukan pada sekitar 50% pasien. Diagnosis hepatitis C akut dapat
ditegakkan jika terjadi serokonversi anti-HCV pada pasien yang sebelumnya telah
diketahui anti-HCV negatif, oleh karena tidak adanya penanda serologi yang dapat
membuktikan infeksi akut VHC. Pada pasien dengan gejala yang sesuai (alanine
aminotransferase(ALT) > 10x nilai batas atas normal, ikterik) tanpa adanya
riwayat penyakit hati kronik atau penyebab lain hepatitis akut, dan/ atau sumber
penularan dapat diidentifikasi maka dapat dicurigai hepatitis C akut, meskipun
80% infeksi hepatitis C akut bersifat asimptomatik.

Diagnosis hepatitis C kronik dapat ditegakkan apabila anti-HCV dan HCV RNA
tetap terdeteksi lebih dari 6 bulan sejak terinfeksi disertai dengan gejala-gejala
penyakit hati kronik.

Pemeriksaan serologi untuk mendeteksi anti-HCV dengan menggunakan teknik


enzyme linkage immunosorbent assay (ELISA) atau chemiluminescent
immunoassay (CLIA). Apabila dari pemeriksaan ELISA atau CLIA didapatkan
hasil anti-HCV positif maka seseorang dapat dinyatakan terinfeksi virus hepatitis
C dan dilanjutkan dengan pemeriksaan HCV RNA.

Mengingat masa serokonversi anti-HCV 5-10 minggu setelah paparan sehingga


pemeriksaan anti-HCV saja dapat menyebabkan terjadinya misdiagnosis pada
sekitar 30% kasus hepatitis C akut. Selain itu, pada pasien dengan imunodefisiensi
(pasien HIV, pasien hemodialisis dan penggunaan obat-obatan imunosupresan)
pemeriksaan anti-HCV dapat memberikan hasil negative palsu. Pada kondisi
tersebut atau apabila kecurigaan infeksi hepatitis C cukup besar maka diperlukan
pemeriksaan lanjutan yaitu pemeriksaan HCV RNA. Pemeriksaan HCV RNA
dengan real time-PCR dapat mendeteksi keberadaan jumlah virus VHC sampai
muatan virus minimal <50IU/mL untuk dual therapy dan <15 IU/mL untuk triple
therapy. Pemeriksaan ini penting untuk menegakkan diagnosis maupun
pemantauan terapi antivirus.

31
Pada infeksi hepatitis C kronik didapatkan bukti anti-HCV dan HCV RNA positif
disertai tanda-tanda hepatitis kronik. Interpretasi hasil anti-HCV dan HCV RNA
dapat dilihat pada tabel

Anti-HCV HCV RNA Interpretasi


Positif Positif Akut atau kronik bergantung pada gejala klinis
Positif Negatif Resolusi VHC; status infeksi tidak dapat
ditentukan (mungkin dalam status intermitten
viremia)
Negatif Positif Infeksi VHC akut awal; VHC kronik pada pasien
dengan status imunosupresi; pemeriksaan HCV
RNA positif palsu
Negatif Negatif Tidak terinfeksi VHC

Dalam menyatakan muatan jumlah virus (HCV RNA), beberapa laboratorium


selain menggunakan satuan IU/mL juga masih ada yang menggunakan satuan
kopi/mL. meskipun telah disepakati muatan jumlah virus dinyatakan dalam satuan
IU/mL. perhitungannya akan berbeda tergantung dari jenis assay yang digunakan.

Assay Faktor konversi


Amplicor HCV Monitor v2.0 1 IU/mL = 0.9 kopi/mL
Cobas Amplicor HCV Monitor 1 IU/mL = 2.7 kopi/mL
v2.0
Versant HCV RNA 3.0 1 IU/mL = 5.2 kopi/mL
LCx HCV RNA Quantification 1 IU/mL = 3.8 kopi/mL
Assa
SuperQuant 1 IU/mL = 3.4 kopi/mL

Untuk meminimalkan risiko penularan hepatitis C melalui donor darah, maka


Palang Merah Indonesia (PMI) melakukan penapisan terhadap darah donor. Pada
beberapa kota telah menggunakan metode penapisan darah donor dengan Nucleic
Acid Testing (NAT). keunggulan utama NAT adalah kemampuannya mendeteksi
keberadaan HCV RNA pada masa window period (sejak terinfeksi sampai anti-
HCV positif di dalam darah = 60 hari)

2.4.6 Tatalaksana Hepatitis C


Pemberian terapi antivirus dapat dipertimbangkan bagi pasien dengan hepatitis C
kronik naïve dengan sirosis kompensata tanpa memandang nilai ALT dan tidak

32
memiliki kontraindikasi terhadap interferon alfa maupun ribavirin. Pasien dengan
fibrosis berat (METAVIR score F3-F4) terapi antivirus sangat dianjurkan untuk
segera diberikan, pasien dengan fibrosis sedang (METAVIR score F2) maupun
fibrosis ringan pemberian terapi antivirus dapat diberikan dengan
mempertimbangkan manfaat dan risiko pengobatan. Pemberian terapi antivirus
pada pasien dengan sirosis hati kompensata ditujukan untuk mengurangi risiko
komplikasi terjadinya sirosis hati dekompensata dan risiko terjadinya karsinoma
hepatoseluler.

Kondisi Interferon alfa Ribavirin


Kontraindikasi absolut Depresi berat Kehamilan
Psikotik atau riwayat Gagal ginjal
psikotik Gagal jantung berat
Kejang yang tidak
terkontrol
Sirosis hati dekompensata
Kontraindikasi relative Riwayat depresi Penyakit vascular yang
Diabetes mellitus yang berat
tidak terkontrol Anemia
Hipertensi yang tidak Penyakit jantung iskemik
terkontrol
Retinopati
Psoriasis
Autoimmune tiroiditis
Autoimun hepatitis
Penyakit autimun lainnya
Perhatian khusus Neutropenia (hitung
neutrophil <1.500 sel/ul)
Transplantasi organ
Riwayat penyakit
autoimun
Keberadaan autoantibodi
tiroid
Usia > 70 tahun

Tatalaksana hepatitis C akut dapat ditunda sampai 8-16 minggu untuk menunggu
terjadinya resolusi spontan terutama pada pasien hepatitis C akut yang
simptomatik. Akan tetapi, pada pasien dengan genotype IL28B non-CC
pemberian terapi antivirus dapat diberikan lebih awal yaitu 12 minggu karena
kemungkinan terjadinya resolusi spontan lebih rendah. Pemberian monoterapi
dengan Pegylated Interferon- 𝑎 (Peg-IFN 𝑎) dapat diberikan dalam tatalaksana

33
hepatitis akut. Durasi terapi hepatitis C akut pada genotype 1 dilanjutkan selama
24 minggu dan pada genotype 2 atau 3 dilanjutkan selama 12 minggu. Penmbahan
ribavirin tidak meningkatkan pencapaian SVR pada pasien hepatitis C akut yang
sedang diterapi dengan Peg-IFN.

Dalam kurun waktu 10 tahun terakhir, pilihan terapi standar untuk hepatitis C
kronik adalah terapi kombinasi antara Pegylated Interferon- 𝑎 (Peg-IFN 𝑎) dan
ribavirin (RBV). Terapi ini memberikan hasil yang kurang memuaskan pada
pasien dengan genotype 1 karena hanya 40-50% pasien yang berhasil mencapai
sustained virological respons (SVR) sedangkan pada genotype 2 dan 3 sekitar
80% dapat mencapai SVR. Kemajuan yang dicapai pada terapi hepatitis C kronik
adalah penemuan agen direct acting antivirus (DAA) yaitu boceprevir (BOC),
telaprevir (TVR), simeprevir, sofosbuvir, dll.

Pasien dengan hepatitis C kronis dan infeksi HIV bersamaan mungkin


memiliki program akselerasi penyakit HCV. Oleh karena itu, meskipun tidak ada
terapi HCV secara khusus disetujui untuk pasien koinfeksi dengan HIV, pasien
tersebut harus dipertimbangkan untuk pengobatan. Pemberian kortikosteroid,
ursodiol, thymosin, acyclovir, amantadine, dan rimantadine tidak efektif (WHO,
2010)

34
BAB III
KESIMPULAN

1. Hepatitis A merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis A


(HAV). HAV ditularkan dari orang ke orang melalui mekanisme fekal-
oral. Seseorang bisa tertular karena memakan makanan yang
terkontaminasi oleh HAV.
2. Hepatitis B merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus Hepatitis B
(HBV). Secara umum seseorang dapat tertular HBV melalui hubungan
seksual, penggunaan jarum suntuk yang bergantian pada IDU,
menggunakan alat yang terkontaminasi darah dari penderita (pisau cukur,
tato, tindik), 90% berasal dari ibu yang terinfeksi HBV, transfusi darah,
serta lewat peralatan dokter.
3. Penyakit hepatitis C merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus
Hepatitis C (HCV). Penularannya spesifik memalui darah, misalnya pada
donor darah, atau penggunaan narkoba suntik. Sebagian besar kejadian
penyakit adalah asimptomatik, namun ada juga yang menunjukkan gejala
diantaranya anoreksia, mual dan muntah, demam dan kelelahan, berlanjut
untuk menjadi Sebagian besar abses serebri berasal langsung dari
penyebaran infeksi tengah, sinusitis (paranasal, ethmoidalis, sphenoidalis
dan maxillaries), dapat timbul akibat penyebaran secara hematogen dari
infeksi paru sistemik (empyema, abses paru, bronkiektase, pneumonia),
endokarditis bacterial akut dan subakut dan pada penyakit jantung bawaan
Tetralogi Fallot ( abses multiple, lokasi pada substansi putih dan abu dari
jarinagn otak). Dapat juga timbul akibat trauma tembus pada kepala atau
trauma pasca operasi.

35
DAFTAR PUSTAKA

1. Mardjono, Mahar, dkk. Abses Serebri. Neurologi Klinis Dasar.hal 320-321.


Jakarta: Dian Rakyat. 2008.
2. Robert H. A. Haslam. Brain Abscess. In Nelson Textbook of Pediatrics 17th ed.
USA: WB Saunders. 2004. 2047-2048.
3. Robert H. A. Haslam. Neurologic Evaluation. In Nelson Textbook of Pediatrics
17th ed. USA: WB Saunders. 2004. 1973-1982.
4. Faiz, Omar dan Moffat David. Anatomy at a Glance. Oxford: Blackwell
Science, 2002
5. Snell RS. Clinical Anatomy by Regions 9th Edition. Philadelphia: Lippincott
Williams and Wilkins, 2012
6. Sudewi, AA Raka, dkk. Abses Serebri. Infeksi pada system saraf
“PERDOSSI”. Hal 21-27. Surabaya: Pusat Penerbitan dan Percetakan Unair.
2011.
7. Misbach, H Jusuf, dkk. Serebritis dan Abses Otak. Buku Pedoman SPM dan
SPO Neurologi “ PERDOSSI’’. Jakarta: 2006. 27-29.
8. Tanto C, L iwang F, Hanifati S, Pradipta EA. Kapita Selekta Kedokteran II
edisi IV. Jakarta: Media Aesculapius. 2014.
9. Çavuşoglu H, Kaya R, Türkmenoglu O, Çolak I, Aydin Y. Brain abscess:
analysis of results in a series of 51 patients with a combined surgical and
medical approach during an 11-year period. Neurosurgical FOCUS.
2008;24(6):E9.
10. Mathisen GE, Johnson JP. Brain abscess. Clin Infect Dis 1997; 25:763.
11. Adams RD, Victor Maurice. Brain Abscess. In Principles of Neurology.
5th ed. USA:McGraw-Hill Inc, 1993:612-616.

36

Anda mungkin juga menyukai