Anda di halaman 1dari 24

CASE REPORT

KONJUNGTIVITIS ET CAUSA STEVEN JONHSON SINDROM

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan


Pendidikan Program Profesi Dokter Stase Ilmu Penyakit Mata
Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta

Pembimbing :

dr. Ida Nugrahani, Sp.M

Diajukan Oleh :
Iin Nila Nuraini, S.Ked
J510170011

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
CASE REPORT

KONJUNGTIVITIS ET CAUSA STEVEN JONHSON SINDROM

Disusun Oleh :
Iin Nila Nuraini, S. Ked
J510170011

Telah disetujui dan disahkan oleh bagian Program Pendidikan Fakultas


Kedokteran Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada hari, Juli 2017

Pembimbing:
dr. Ida Nugrahani, Sp.M ( )

dipresentasikan di hadapan
dr. Ida Nugrahani, Sp.M ( )

Disahkan Ka. Program Profesi :


dr. Dona Dewi Nirlawati ( )

KEPANITERAAN KLINIK BAGIAN ILMU PENYAKIT MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UMS / RSUD KARANGANYAR
2017
BAB 1
PENDAHULUAN

Sindrom Stevens Johnson (SSJ) merupakan gangguan inflamasi


multisistem yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata. Sindrom
ini jarang terjadi, insidensinya diperkirakan 2-3% per satu juta populasi setiap
tahun di Eropa dan Amerika Serikat, tetapi bersifat akut dan mengancam nyawa.
Di Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta terdapat kira-kira 12 pasien per
tahun. Umumnya merupakan pasien dewasa dan biasanya disebabkan oleh alergi
obat (Djuanda A, 2007).
Sindrom Stevens Johnson umumnya disebabkan oleh alergi obat misalnya
sulfonamide, barbiturate, dan chlorpropramide, tetapi dapat dipicu oleh agen
infeksius misalnya Mycoplasma pneumonia, virus herpes simpleks, adenovirus,
alergi dan penyakit autoimun, terapi radiasi, serta keganasan. Patogenesis
Sindrom Stevens Johnson belum diketahui secara pasti, tetapi berhubungan
dengan reaksi hipersenstivitas tipe III (kompleks imun) dan tipe IV (delayed)
menurut klasifikasi Coomb dan Gel. Pada Sindrom Stevens Johnson, yang
menjadi sasaran utama adalah kulit yang berupa destruksi keratinosit (Djuanda A,
2007).
Sindrom ini jarang dijumpai pada usia ≤ 3 tahun karena imunitas belum
begitu berkembang. Mulainya penyakit dapat disertai gejala prodromal yang
berupa demam, malaise, arthralgia, ruam, dan gejala mirip flu. Kemudian disusul
dengan trias kelainan SSJ yang berupa kelainan kulit, kelainan selaput lendir di
orifisium, dan kelainan mata (Djuanda A, 2007).
BAB II
LAPORAN KASUS

I. Identitas Pasien
Nama : Ny.W
Umur : 43 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Janten
No. RM : 37588*

II. Anamnesis
1. Keluhan Umum
Mata terasa ngeres atau seperti ada yang mengganjal.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar diantar keluarganya
dengan keluhan bintik-bintik merah yang awalnya muncul
bintik kecil kemudian semakin membesar didaerah wajah lalu
menyebar punggung, dada dan esktremitas. Keluhan sekarang
yang dirasakan pasien adalah mata terasa ngeres seperti ada
yang mengganjal, mata terasa lengket, perih, tidak nyaman
dibadan, sakit tenggorokan, bibir terasa kaku, batuk dan nyeri
saat BAK. Keluhan ini muncul setelah pasien berobat ditempat
praktek dokter dengan keluhan pasien demam, pasien bercerita
bahwa dirinya diberi obat untuk diminum. Setelah pulang dari
dokter pasien meminum obat tersebut lalu tertidur, ketika
malam bangun pasien sudah merasakan muncul bintik-bintik
merah atau ruam merah dibagian wajah dan punggung.
Untuk sat ini pasien mengeluhkan mata terasa ngeres atau
seperti ada yang mengganjal, perih, saat diberi obat tetes mata
tetesan pertama nyeri kemudian tetesan kedua sudah tidak
nyeri lagi.

3. Riwayat Penyakit Dahulu


a. Riwayat penyakit mata : disangkal
b. Riwayat memakai kacamata : disangkal
c. Riwayat trauma : diakui (kelilipan saat
naik motor)
d. Riwayat hipertensi : disangkal
e. Riwayat diabetes melitus : disangkal
f. Riwayat alergi : disangkal

4. Riwayat Penyakit Keluarga


a. Riwayat sakit serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : diakui (ibu pasien)
c. Riwayat diabetes melitus : disangkal
d. Riwayat alergi : disangkal

5. Riwayat Penyakit di Lingungan


a. Penyakit Serupa : disangkal

III. Pemeriksaan Fisik


1. Status General
a. Keadaan umum : baik
b. Kesadaran : Compos mentis
c. Gizi : Obesitas
2. Status Oftalmologikus
NO PEMERIKSAAN OD OS
MATA
1 VISUS 6/6 6/6
2 PALPEBRA Edema (+) Edema (+)
Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Nyeri Tekan (-) Nyeri Tekan (-)
Blefarospasme (-) Blefarospasme (-)
Lagoftalmus (-) Lagoftalmus (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Entropion (-) Entropion (-)
Lesi Kulit (-) Lesi Kulit (-)
Krusta hemoragik pada Krusta hemoragik pada
margo palpebra bagian margo palpebra bagian
bawah (+) bawah (+)
3 KONJUNGTIVA Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Anemis (-) Anemis (-)
Infiltrat (-) Infiltrat (-)
Injeksi siliar (-) Injeksi siliar (-)
Injeksi Konjungtiva (+) Injeksi Konjungtiva (+)
Folikel (-) Folikel (-)
Secret mukopurulen (+) Secret mukopurulen (+)
Terdapat jaringan Terdapat jaringan
fibrovaskular fibrovaskular
pertengahan antara tepi pertengahan antara tepi
pupil dan limbus (-) pupil dan limbus (-)
4 KORNEA Jernih (-) Jernih (-)
Edema (-) Edema (-)
Infiltrat (-) Infiltrat (-)
5 COA Jernih (+) Jernih (+)
Kedalaman cukup Kedalaman cukup
6 IRIS Edema (-) Edema (-)
Warna hitam Warna hitam
7 PUPIL Bulat Bulat
Central Central
RC D/I (+/+) RC D/I (+/+)
Diameter 3mm Diameter 3mm
8 LENSA Jernih Jernih
9 FUNDUS MEDIA Tidak dilakukan Tidak dilakukan
10 PAPIL Tidak dilakukan Tidak dilakukan
N.OPTICUS
11 MACULA Tidak dilakukan Tidak dilakukan
LUTEA
12 RETINA Tidak dilakukan Tidak dilakukan
13 TIO Normal Normal
14 SISTEM Epifora (-) Epifora (-)
LAKRIMASI Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
Gambar :

IV. Diagnosis Kerja


ODS Konjungtivitis et causa steven jonhson sindrom.

V. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
- C. Fenicol salep mata / 3x1 ODS
- C. Floxa ED /2 jam gtt 1 ODS
- C. Enfresh ED /1-2 jam gtt 1 ODS

2. Non medikamentosa (Edukasi)


- Jangan menggosok-ngosok mata (mengucek-ngucek mata).
- Membersihkan sekret setiap 1-2 jam.
- Rajin untuk menggunakan tetes mata sesuai anjuran dokter dan
salep sebelum tidur.
- Menghindari faktor pencetus seperti angin, debu ataupun benda
asing dengan menggunakan kacamata untuk melindungi mata.
VI. Prognosis

Quo ad vitam : dubia ad bonam


Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanam : dubia ad bonam

RESUME

SUBJEKTIF

1. Keluhan Utama : Kedua mata terasa ngeres seperti ada yang mengganjal
2. Riwayat Penyakit Sekarang
- Kedua mata terasa ngeres seperti ada yang mengganjal
- Mata terasa perih
- Mata terasa lengket
- Keluar sekret mukopurulen
- Saat diberi tetes mata tetesan pertama terasa perih, kemudian saat
tetesan kedua sudah tidak nyeri.

OBJEKTIK

PEMERIKSAAN OD OS
MATA
VISUS 6/6 6/6
PALPEBRA Edem (+) Edema (+)
Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Krusta hemoragik pada Krustahemoragik pada
margo palpebra bagian margo palpebra bagian
bawah (+) bawah (+)
KONJUNGTIVA Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Injeksi konjungtiva (+) Injeksi konjungtiva (+)
Sekret mukopurulen (+) Secret mukopurulen (+)
SISTEM Epifora (-) Epifora (-)
LAKRIMASI Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)

3. Diagnosis Kerja
Konjungtivitis et causa steven jonhson sindrom (SJS).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

1. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang dan transparan
yang membungkus permukaan belakang kelopak dan permukaan depan bola
mata. Konjungtiva terbagi menjadi 3 bagian yaitu (1) konjungtiva palpebra,
menutupi permukaan belakang palpebra (2) konjungtiva bulbi, menutupi
permukaan depan bola mata hingga berbatasan dengan kornea di limbus (3)
konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva palpebra dan
konjungtiva bulbi.
Konjungtiva palpebra
Hubungannya dengan tarsus sangat erat. Gambaran dengan
glandula meibom yang ada di dalamnya tampak membayang sebagai garis
sejajar berwarna putih. Permukaan licin, di celah konjungtiva terdapat
kelenjar henle. Gambaran histologis terdiri dari sel epitel silindris,
dibawahnya terdapat stroma dengan bentuk adenoid dengan banyak
pembuluh getah bening.
Konjungtiva forniks
Struktur sama dengan konjungtiva palpebra, tetapi hubungan
dengan jaringan yang di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan dan
juga mengandung banyak pembuluh darah. Di bawah konjungtiva forniks
superior terdapat glandula lakrimal dari krause dan terdapat muara saluran
air matta.
Konjungtiva bulbi
Struktur konjungtiva bulbi tipis dan tembus pandang. Di bawah
konjungtiva bulbi terdapat kapsula tenon, tidak memiliki kelenjar. Didekat
kantus internus, konjungtiva bulbi membentuk plika semilunaris yang
mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang mengandung rambut
dan kelenjar yang disebut karunkula.
Vaskularisasi dan inervasi

Berasal dari A. Konjungtiva posterior dan A. Siliaris anterior.


Yang berasal dari A.siliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m.rektus
menembus sklera deket limbus untuk mencapai bagian dalam mata.
Persarafan berasal dari N. V facialis.

2. Definisi Steven Johnson Sindrom


Steven johnson sindrom adalah reaksi buruk yang sangat gwat
terhadap obat. Efek samping obat mempengaruhi kulit, terutama selaput
mukosa. SJS merupakan suatu kumpulan gejala klinis erupsi mukokutaneus
yang ditandai oleh trias kelainan kulit vesikobulosa, mukosa orifisium serta
mata disertai gejala umum berat (Adhitan, 2006).
Sindrom Stevens Johnson (SSJ) merupakan gangguan inflamasi
multisistem yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata
(Djuanda A, 2007). Sindrom Stevens Johnson sering disebut eritema
multiforme mayor. Eritema multiforme merupakan penyakit kulit dan
membran mukosa yang bersifat akut dan self-limiting yang pertama kali
dikemukakan oleh Von Hebra (1866). Karakteristik penyakit ini berupa lesi
pada kulit yang bersifat simetris, terletak terutama pada badan dan
ekstremitas, dan memiliki kecenderungan rekuren (Foster et al, 2002).

3. Etiologi Steven Jonhson Sindrom


Sindrom Stevens Johnson dapat terjadi akibat dicetuskan oleh berbagai
agen, yaitu : (Gerstenblith, 2012).
1. Obat : sulfonamide, barbiturate, chlorpropamide, diuretik tiazid, fenitoin,
salisilat, allopurinol, chlormezanone, kortikosteroid, isoniazid, tetrasiklin,
kodein, aminopenisilin, agen kemoterapi, dan sebagainya
2. Agen infeksius : Mycoplasma pneumoniae, virus herpes simpleks, dan
adenovirus
3. Alergi dan penyakit autoimun
4. Genetik: HLA B-12 meningkatkan risiko terjadinya Sindrom Stevens
Johnson
5. Terapi radiasi
6. Keganasan

4. Patofisiologi Steven Jonhson Sindrom

Patogenesis Sindrom Stevens Johnson belum diketahui secara pasti,


tetapi berhubungan dengan reaksi hipersenstivitas tipe III (kompleks imun) dan
tipe IV (delayed) menurut klasifikasi Coomb dan Gel. Pada reaksi
hipersensitivitas tipe III, terjadi kerusakan akibat pengendapan kompleks imun
yang berlangsung melalui 4 tahap yaitu:9,10
1. Ikatan antigen dengan antibodi membentuk kompleks imun. Antigen dapat
berupa faktor penyebab SSJ yaitu partikel obat atau metabolitnya, virus,
alergen, atau produk yang timbul akibat aktivitas dari faktor penyebab SSJ
yaitu struktur sel atau jaringan sel yang rusak dan terbebas akibat infeksi,
inflamasi, atau proses metabolik. Adanya antigen memicu respon imun
sehingga dilakukan produksi antibodi sekitar ± 1 minggu setelah
pengenalan antigen. Antigen kemudian berikatan dengan antibodi yaitu
IgM dan IgG membentuk kompleks imun.
2. Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel,
kulit, mukosa, ginjal, dan persendian.
3. Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler
misalnya neutrofil akan berkumpul di daerah pengendapan.
4. Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan seluler. Selama
fase ini, sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat terjadi manifestasi
klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi, pembesaran limfonodi, dan
proteinuria. Pada beberapa kasus yang dilakukan biopsi kulit dapat
ditemukan endapan IgM, IgA, C3, dan fibrin, serta kompleks imun beredar
dalam sirkulasi.
Reaksi hipersensitivitas tipe III memiliki 2 bentuk reaksi yaitu lokal dan sistemik.
1. Reaksi lokal atau fenomena Arthus
Pada pemeriksaan mikroskopis, terlihat neutrofil menempel pada
endotel vaskular dan bermigrasi ke jaringan tempat kompleks imun
diendapkan. Reaksi yang timbul berupa kerusakan jaringan lokal dan
vaskular akibat akumulasi cairan (edema) dan sel darah merah (eritema)
sampai nekrosis. C3a dan C5a (anafilatoksin) yang terbentuk pada aktivasi
komplemen, meningkatkan permeabilitas pembuluh darah yang dapat
menimbulkan edema. C3a dan C5a juga berfungsi sebagai faktor kemotaktik
yang mengerahkan neutrofil dan trombosit di tempat reaksi dan
menimbulkan stasis dan obstruksi total aliran darah. Neutrofil akan
memakan kompleks imun dan bersama dengan trombosit yang digumpalkan
melepas berbagai bahan seperti protease, kolagenase, dan bahan vasoaktif
sehingga terjadi perdarahan yang disertai nekrosis jaringan setempat
(Baratawidjaja, 2012).

2. Reaksi sistemik atau serum sickness


Pada reaksi sistemik, antigen dalam jumlah besar yang masuk ke
dalam sirkulasi darah dapat membentuk kompleks imun. Bila antigen jauh lebih
banyak dibanding antibodi, kompleks yang dibentuk lebih kecil sehingga tidak
mudah dibersihkan oleh fagosit. Akibatnya, terjadi kerusakan jaringan di berbagai
tempat. Antibodi yang berperan biasanya jenis IgM atau IgG. Komplemen yang
diaktifkan melepas anafilatoksin (C3a dan C5a) yang memacu sel mast dan
basophil melepas histamine. Mediator lainnya dan MCF (C3a, C5a, C5, C6, C7)
mengerahkan polimorf yang melepas enzim proteolitik dan protein polikationik.
Kompleks imun lebih mudah untuk diendapkan di tempat-tempat dengan tekanan
darah yang meninggi dan disertai putaran arus, misalnya dalam kapiler
glomerulus, bifurkasi pembuluh darah, pleksus koroid, dan korpus silier mata.
Komplemen juga menimbulkan agregasi trombosit yang membentuk mikrotrombi
dan melepas amin vasoaktif. Bahan vasoaktif yang dilepas sel mast dan trombosit
menimbulkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas vascular dan inflamasi.
Neutrofil dikerahkan dan menyingkirkan kompleks imun. Neutrofil yang
terkepung di jaringan akan sulit untuk menangkap dan memakan kompleks imun,
tetapi akan melepaskan granulnya sehingga minumbulkan lebih banyak kerusakan
jaringan. Makrofag yang dikerahkan ke tempat tersebut melepas berbagai
mediator antara lain enzim-enzim yang dapat merusak jaringan. Dalam beberapa
hari-minggu dapat terlihat manifestasi panas dan gatal, bengkak, kemerahan, rasa
sakit di beberapa bagian tubuh, sendi, dan pembesaran limfonodi, dan dapat
terjadi vaskulitis sistemik, glomerulonephritis, dan arthritis (Baratawidjaja, 2012).

5. Manifestasi Klinis Stevem Jonhson Sindrom


Penderita sindrom Stevens Johnson dapat mengalami demam, malaise,
arthralgia, ruam, gejala mirip flu yang dapat berlangsung hingga 14 hari sebelum
munculnya lesi mukokutan, dan mata merah (Gerstenblith, 2012).
Trias kelainan yang ditemukan pada sindrom Stevens Johnson berupa:
(Djuanda, 2007).
a. Kelainan kulit
b. Kelainan selaput lendir di orifisium
c. Kelainan mata
Di samping trias kelainan, dapat dijumpai adanya kelainan kuku yaitu
onikolisis, dan kelainan organ tubuh yang lain, misalnya gangguan saluran
napas, gangguan saluran pencernaan, nefritis, dan gangguan hepar.
Kelainan pada mata
a. Tanda akut (Kanski 2011 dan Reidy 2011).
- Palpebra : edema, kemerahan, dan krusta berdarah pada daerah margo
yang dapat berkumpul menjadi besar, serta ulserasi pada margo palpebra
dan konjungtiva tarsal.
- Konjungtiva : konjungtivitis papilaris yang bervariasi dari ringan,
sementara, dan dapat sembuh sendiri hingga berat, konjungtivitis
mukopurulen, membran konjungtiva dan pseudomembran, hiperemis,
hemoragi, lepuh, dan patchy infarction.
- Kornea : keratopathy dari erosi punctate hingga defek epitel yang besar,
keratitis bakteri sekunder, dan kadang-kadang perforasi.
- Sklera : episkleritis

Gambar. Tanda akut pada mata pasien SJS.


a. Konjungtivitis akut dan krusta hemoragik pada palpebra
b. pembentukan pseudomembran

b. Tanda lanjut (Kanski 2011 dan Reidy 2011).


- komplikasi palpebra berupa entropion dan ektropion sikatrikal, trikiasis
rekuren, metaplastic lashes, dan ankiloblefaron (fusi antara palpebra
superior dan inferior), disfungsi glandula meibom
- komplikasi pada konjungtiva berupa sikatrisasi konjungtiva,
pemendekan forniks, pembentukan simblefaron, dan subconjungtival
scarring, conjungtival shrinkage
- komplikasi pada kornea berupa chronic epitheliopathy, nonhealing
epithelial defects, pembentukan pannus fibrovaskuler, scar subepitel,
dan neovaskularisasi stroma, sikatrisasi dan penipisan kornea
- penyakit mata kering dapat terjadi akibat destruksi sel goblet, disfungsi
glandula meibom, dan scar pada glandula lakrimalis
- pasien Sindrom Stevens Johnson berisiko tinggi terkena infeksi okuler
yang berat karena hilangnya barrier epitel.

Gambar. Tanda lanjut kelainan mata pada SJS.


c. keratinisasi konjungtiva, d. keratinisasi margo palpebra posterior,
e. metaplasia cilia, f. keratinisasi kornea

6. Penegakan Diagnosis
Diagnosis Stevens Johnson Sindrom ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan adanya
riwayat minum obat, riwayat sakit sebelumnya, alergi, maupun hal-hal lain
yang diduga dapat mencetuskan Sindrom Stevens Johnson. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan adanya gejala prodromal, dan tanda klinis
berupa trias Sindrom Stevens Johnson yaitu kelainan kulit, kelainan selaput
lendir orifisium, dan kelainan mata.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk
menegakkan diagnosis Sindrom Stevens Johnson. Bila didapatkan adanya
leukositosis, dapat dipikirkan adanya infeksi. Bila didapatkan eosinophilia,
dapat dipikirkan adanya kemungkinan alergi obat. Selain itu dapat
ditemukan adanya peningkatan serum enzim transaminase, albuminuria,
gangguan elektrolit, dan gangguan fungsi organ tubuh yang terkena. Pada
Sindrom Stevens Johnson juga dapat dilihat adanya peningkatan serum
tumor necrosis factor (TNF)-alpha, soluble interleukin 2-receptor,
interleukin 6, dan C-reactive protein. Akan tetapi, pemeriksaan serologik ini
tidak rutin dilakukan untuk mendiagnosis SSJ.

7. Diagnosis Banding
Diangnosis Steven Jonhson Sindrom dibagi berdasarkan lokasi keluhan, yaitu:
A. Kulit
a. Toxic Epidermal Nekrolysis (TEN) merupakan bentuk parah dari Sindrom
Stevens Johnson. Pada TEN, didapatkan bula dan erosi > 20% area tubuh,
epidermolisis generalisata, tanda Nikolsky (+) yaitu kulit dapat terpisah
dengan gesekan ringan,, dengan keadaan umum lebih buruk dibanding SSJ
(Djuanda A 2007 dan Kankis 2011).

Gambar. Toxic Epidermal Nekrolysis (TEN)


b. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome (SSSS): disebabkan oleh
eksotoksin atau protein ekstraseluler Staphylococcus aureus. Penyakit ini
umumnya menyerang anak-anak dan bayi, tetapi dapat juga menyerang
orang dewasa. SSSS memberi gejala panas mendadak, serta menimbulkan
skuamasi yang lebar dalam bentuk lembaran-lembaran (Siregar, 2002).

Gambar. Staphylococcal Scalded Skin Syndrome


c. Pemfigus vulgaris : penyakit kulit berlepuh ini disebabkan oleh autoimun,
banyak dijumpai pada dasawarsa ke-5 dan ke-6, ditandai dengan
pembentukan bula berdinding kendur, eritema, krusta, erosi,
hipo/hiperpigmentasi pada kulit dan selaput lendir, tanda Nikolsky (+),
pemeriksaan sel Tzanck positif (Siregar, 2002).

Gambar. Pemfigus vulgaris

B. Mata
a. Konjungtivitis membranosa yang ditandai dengan adanya massa putih atau
kekuningan yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan konjungtiva
bulbi dan bila diangkat timbul perdarahan (Reidy, 2011).

Gambar. Konjungtivitis membranosa

b. Konjungtivitis sikatrikal, pada infeksi disebabkan oleh trachoma,


adenovirus, Corynebacterium diphtheriae, pada alergi disebabkan oleh
keratokonjungtivitis atopik, pada autoimun disebabkan oleh ocular
cicatrical pemphigoid, sarcoidosis, lupus, scleroderma (penyakit autoimun
jaringan ikat sehingga terbentuk fibrosis pada kulit dan organ tubuh lain),
lichen planus (inflamasi autoimun kronik mukokutaneus), dan dapat
disebabkan oleh ocular rosacea, trauma kimia, trauma mekanik, radiasi,
dan neoplasia (Reidy, 2011).

Gambar. Konjungtivitis sikatrikak


8. Tatalaksana
Tatalaksana Steven Jonhson Sindrom dibagi menjadi tatalaksana
Okuler dan tatalaksana sistemik, yaitu: (Tauber J, 2008).
A. Tatalaksana sistemik
a. Menghilangkan penyebab sindrom Stevens Johnson misalnya
menghentikan pemakaian obat dan terapi penyakit infeksi yang
mencetuskan Sindrom Stevens Johnson (Djuanda A, 2007).
b. Menjaga keseimbangan hidrasi dan elektrolit. Kebutuhan volume cairan
awal dihitung dengan menggunakan modifikasi formula Baxter-
Parklands yaitu, Body Surface Area (BSA) affected x berat badan x 3ml
Kebutuhan cairan ini diberikan pada 24 jam pertama, selanjutnya
diberikan sesuai dengan kondisi pasien. Cairan yang digunakan berupa
kristaloid misalnya ringer lactate, Hartmann’s solution. Bila terjadi
kekurangan volume dalam jumlah besar, dapat dipertimbangkan untuk
menggunakan koloid.
c. Antibiotik sistemik dapat diberikan sebagai profilaksis terhadap infeksi
kulit maupun infeksi sistemik. Antibiotik yang dipilih, hendaknya yang
jarang menyebabkan alergi, berspektrum luas, bersifat bakterisidal,
tidak segolongan atau memiliki rumus mirip dengan antibiotik yang
diduga menyebabkan alergi, dan tidak atau hanya sedikit nefrotoksik.
Antibiotik yang dapat digunakan misalnya ciprofloxacin 2x400mg IV,
klindamisin 2x600mg IV, ceftriaxone 1x2g IV, gentamisin 2x60
mg/hari (IM/IV), cefotaxim: 3x1 gr/hari (IV,IM, dibagi 3-4x
pemberian). Bila terjadi infeksi, antibiotik diberikan sesuai dengan hasil
pemeriksaan mikrobiologi (Djuanda, 2007).
d. Intravena imunoglobulin (IVIG). Dosis awal dengan 0,5 mg/kg BB
pada hari 1, 2, 3 4, dan 6 masuk rumah sakit. Pemberian IVIG akan
menghambat reseptor FAS dalam proses kematian keratinosit yang
dimediasi FAS (Siregar, 2004).
B. Tatalaksana Okuler
a. Tahap akut (Tauber 2008, Reidy 2011 dan Kankis 2011).
 hygiene permukaan okuler misalnya sering membersihkan sekret,
mukous dan krusta yang menempel pada palpebra, irigasi
konjungtiva untuk membilas sekret mukoid yang seringkali
menempel di forniks.
 lubrikan topikal dan air mata buatan yang tidak mengandung
pengawet .
 lisis simblefaron dengan cotton bud lembap, karena palpebra yang
nekrotik dan kasar, serta permukaan konjungtiva bulbi dapat saling
menempel. Beberapa peneliti menganjurkan lisis simblefaron
setiap hari dan penggunaan scleral ring yang berupa lensa
berhaptik besar dengan lubang di bagian tengah, tetapi dalam
jangka panjang, hasilnya kurang baik karena lisis konjungtiva
berulang dapat mengeksaserbasi inflamasi dan morbiditas
permukaan konjungtiva.
 pseudomembrane/ membrane peeling
 antibiotik topikal sebagai profilaksis maupun terapi infeksi pada
kornea misalnya keratitis bakteri.
 pemakaian kortikosteroid topikal masih kontroversial, karena
kortikosteroid topikal dapat menurunkan inflamasi dan
angiogenesis kornea, tetapi berperan serta dalam proses penipisan
kornea dan infeksi.
b. Tahap Kronis (Tauber 2008, Reidy 2011 dan Kankis 2011).
 lubrikasi adekuat untuk mencegah timbulnya defek pada epitel
kornea
 oklusi punctum bila diperlukan untuk mencegah adanya mata
kering
 topical transretinoic acid 0,01% atau 0,25% untuk mencegah
keratinisasi yang dioleskan pada mata sehari sekali
 tatalaksana terhadap trikiasis dengan cara epilasi, elektrolisis,
diatermi, atau cryotherapy.

9. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering dijumpai pada sindrom Stevens
Johnson adalah bronkopneumonia (16%) dan seringkali menimbulkan kematian.
Komplikasi lain yang dapat ditemukan adalah kehilangan cairan sehingga dapat
menimbulkan gangguan keseimbangan elektrolit, sepsis, dan syok. Komplikasi
pada mata yang dapat ditemukan adalah entropion, ektropion, trikiasis,
sikatrisasi konjungtiva, simblepharon, kekeruhan kornea, neovaskularisasi
kornea, penyakit mata kering, bahkan kebutaan (Foster CS et al, 2005).

10. Prognosis
Bila pengobatan cepat dan tepat, prognosis cukup baik, tetapi bila
keadaan umum pasien buruk, didapatkan adanya purpura, dan
bronkopneumonia, prognosisnya lebih buruk. Angka mortalitas SSJ ditentukan
berdasarkan luasnya body surface area (BSA) yang terlibat. Bila BSA yang
terlibat kurang dari 10%, angka mortalitasnya 1-5%. Bila BSA yang terlibat
lebih dari 30%, angka mortalitasnya 25-35% (Foster CS, 2014).
BAB IV
KESIMPULAN

Sindrom Stevens Johnson (SSJ) merupakan gangguan inflamasi


multisistem yang mengenai kulit, selaput lendir di orifisium, dan mata (Djuanda,
2007). Sindrom Stevens Johnson umumnya disebabkan oleh alergi obat misalnya
sulfonamide, barbiturate, dan chlorpropramide, tetapi dapat dipicu oleh agen
infeksius misalnya Mycoplasma pneumonia, virus herpes simpleks, adenovirus,
alergi dan penyakit autoimun, terapi radiasi, serta keganasan (Tauber J, 2008).
Mulainya penyakit dapat disertai gejala prodromal yang berupa demam,
malaise, arthralgia, ruam, dan gejala mirip flu. Kemudian disusul dengan trias
kelainan SSJ yang berupa kelainan kulit, kelainan selaput lendir di orifisium, dan
kelainan mata (Gerstenblith A dan Rabinowitz MP, 2012). Kelainan kulit terdiri
atas eritema, lesi target, vesikel, dan bula. Vesikel dan bula yang memecah dapat
menjadi erosi yang luas. Kelainan selaput lendir yang tersering terjadi pada
mukosa mulut (100%), kemudian disusul kelainan di lubang alat genital (50%), di
lubang hidung (8%), dan di anus (4%). Kelainannya berupa vesikel dan bula yang
dapat memecah menjadi erosi dan ekskoriasi serta krusta kehitaman (Djuanda,
2007).
Kelainan pada mata terjadi pada 80% kasus. Pada saat akut, kelainan mata
berupa edema, kemerahan pada palpebra, konjungtivitis, membran konjungtiva,
dan keratopathy. Pada saat lanjut, dapat terjadi enteropion, ektropion, trikiasis,
sikatrisasi konjungtiva, epitheliopathy kornea, pembentukan pannus,
neovaskularisasi, dan sikatrisasi kornea (Djuanda, 2007).
Diagnosis penyakit ini ditegakkan berdasarkan anamnesis berupa riwayat
minum obat, riwayat sakit sebelumnya, alergi, maupun hal-hal lain yang diduga
dapat mencetuskan sindrom Stevens Johnson dan pemeriksaan fisik yaitu gejala
prodromal dan trias kelainan SSJ. Diagnosis banding SSJ adalah Toxic Epidermal
Necrolysis (TEN), eksantema fikstum multiple generalisata, Staphylococcal
Scalded Skin Syndrome (SSSS), pemfigus vulgaris, konjungtivitis membranosa,
dan konjungtivitis sikatrikal akibat infeksi, alergi, autoimun, trauma kimia, trauma
mekanik, radiasi, dan neoplasia.
Tatalaksana sindrom Stevens Johnson terdiri dari tatalaksana sistemik dan
tatalaksana okuler. Tatalaksana sistemik meliputi menghilangkan penyebab
sindrom Stevens Johnson, menjaga keseimbangan hidrasi, elektrolit, dan nutrisi,
perawatan kulit, pemberian steroid sistemik, imunosupressan, dan antibiotik
sistemik sebagai profilaksis terhadap infeksi kulit maupun infeksi sistemik.
Tatalaksana okuler dilakukan pada tahap akut, tahap lanjut, dan tahap rehabilitasi
karena kelainan pada mata yang disebabkan oleh sindrom Stevens Johnson dapat
berlanjut walaupun kelainan pada kulit dan selaput lendir orifisium telah sembuh
(Kanski JJ dan Bowling B, 2011).
DAFTAR PUSTAKA

Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. pg 163-5

Tauber J. Autoimmune diseases affecting the ocular surface. In: Ocular Surface
Disease: Medical and Surgical Management. 2008. pg 118-20
Gerstenblith A, Rabinowitz MP, editor. The Wills eye manual 6th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2012. pg 400-1
Foster CS, Azar DT, Dohlman CH, editor. Smolin and Thof’s the cornea:
scientific foundations and clinical practice 4th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2005. pg. 483-8
Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophthalmology: a systematic approach 7th edition.
London: Elsevier Saunders; 2011.
Reidy JJ, Bouchard CS, Florakis GJ, Goins KM, Hammersmith K, Rootman DS,
et al. Basic and clinical science course: external disease and cornea. San
Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2011. pg. 196-8
Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012. pg. 383-9
Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit Edisi 2. Jakarta: EGC. 2002.
pg. 141-2

Anda mungkin juga menyukai