Pembimbing :
Diajukan Oleh :
Iin Nila Nuraini, S.Ked
J510170011
Disusun Oleh :
Iin Nila Nuraini, S. Ked
J510170011
Pembimbing:
dr. Ida Nugrahani, Sp.M ( )
dipresentasikan di hadapan
dr. Ida Nugrahani, Sp.M ( )
I. Identitas Pasien
Nama : Ny.W
Umur : 43 tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Bangsa : Indonesia
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Alamat : Janten
No. RM : 37588*
II. Anamnesis
1. Keluhan Umum
Mata terasa ngeres atau seperti ada yang mengganjal.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Karanganyar diantar keluarganya
dengan keluhan bintik-bintik merah yang awalnya muncul
bintik kecil kemudian semakin membesar didaerah wajah lalu
menyebar punggung, dada dan esktremitas. Keluhan sekarang
yang dirasakan pasien adalah mata terasa ngeres seperti ada
yang mengganjal, mata terasa lengket, perih, tidak nyaman
dibadan, sakit tenggorokan, bibir terasa kaku, batuk dan nyeri
saat BAK. Keluhan ini muncul setelah pasien berobat ditempat
praktek dokter dengan keluhan pasien demam, pasien bercerita
bahwa dirinya diberi obat untuk diminum. Setelah pulang dari
dokter pasien meminum obat tersebut lalu tertidur, ketika
malam bangun pasien sudah merasakan muncul bintik-bintik
merah atau ruam merah dibagian wajah dan punggung.
Untuk sat ini pasien mengeluhkan mata terasa ngeres atau
seperti ada yang mengganjal, perih, saat diberi obat tetes mata
tetesan pertama nyeri kemudian tetesan kedua sudah tidak
nyeri lagi.
V. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
- C. Fenicol salep mata / 3x1 ODS
- C. Floxa ED /2 jam gtt 1 ODS
- C. Enfresh ED /1-2 jam gtt 1 ODS
RESUME
SUBJEKTIF
1. Keluhan Utama : Kedua mata terasa ngeres seperti ada yang mengganjal
2. Riwayat Penyakit Sekarang
- Kedua mata terasa ngeres seperti ada yang mengganjal
- Mata terasa perih
- Mata terasa lengket
- Keluar sekret mukopurulen
- Saat diberi tetes mata tetesan pertama terasa perih, kemudian saat
tetesan kedua sudah tidak nyeri.
OBJEKTIK
PEMERIKSAAN OD OS
MATA
VISUS 6/6 6/6
PALPEBRA Edem (+) Edema (+)
Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Krusta hemoragik pada Krustahemoragik pada
margo palpebra bagian margo palpebra bagian
bawah (+) bawah (+)
KONJUNGTIVA Hiperemis (+) Hiperemis (+)
Injeksi konjungtiva (+) Injeksi konjungtiva (+)
Sekret mukopurulen (+) Secret mukopurulen (+)
SISTEM Epifora (-) Epifora (-)
LAKRIMASI Lakrimasi (-) Lakrimasi (-)
3. Diagnosis Kerja
Konjungtivitis et causa steven jonhson sindrom (SJS).
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
1. Anatomi Konjungtiva
Konjungtiva merupakan membran mukosa tipis yang dan transparan
yang membungkus permukaan belakang kelopak dan permukaan depan bola
mata. Konjungtiva terbagi menjadi 3 bagian yaitu (1) konjungtiva palpebra,
menutupi permukaan belakang palpebra (2) konjungtiva bulbi, menutupi
permukaan depan bola mata hingga berbatasan dengan kornea di limbus (3)
konjungtiva forniks, merupakan tempat peralihan konjungtiva palpebra dan
konjungtiva bulbi.
Konjungtiva palpebra
Hubungannya dengan tarsus sangat erat. Gambaran dengan
glandula meibom yang ada di dalamnya tampak membayang sebagai garis
sejajar berwarna putih. Permukaan licin, di celah konjungtiva terdapat
kelenjar henle. Gambaran histologis terdiri dari sel epitel silindris,
dibawahnya terdapat stroma dengan bentuk adenoid dengan banyak
pembuluh getah bening.
Konjungtiva forniks
Struktur sama dengan konjungtiva palpebra, tetapi hubungan
dengan jaringan yang di bawahnya lebih lemah dan membentuk lekukan dan
juga mengandung banyak pembuluh darah. Di bawah konjungtiva forniks
superior terdapat glandula lakrimal dari krause dan terdapat muara saluran
air matta.
Konjungtiva bulbi
Struktur konjungtiva bulbi tipis dan tembus pandang. Di bawah
konjungtiva bulbi terdapat kapsula tenon, tidak memiliki kelenjar. Didekat
kantus internus, konjungtiva bulbi membentuk plika semilunaris yang
mengelilingi suatu pulau kecil terdiri dari kulit yang mengandung rambut
dan kelenjar yang disebut karunkula.
Vaskularisasi dan inervasi
6. Penegakan Diagnosis
Diagnosis Stevens Johnson Sindrom ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik. Dari anamnesis didapatkan adanya
riwayat minum obat, riwayat sakit sebelumnya, alergi, maupun hal-hal lain
yang diduga dapat mencetuskan Sindrom Stevens Johnson. Dari
pemeriksaan fisik didapatkan adanya gejala prodromal, dan tanda klinis
berupa trias Sindrom Stevens Johnson yaitu kelainan kulit, kelainan selaput
lendir orifisium, dan kelainan mata.
Pemeriksaan laboratorium tidak ada yang spesifik untuk
menegakkan diagnosis Sindrom Stevens Johnson. Bila didapatkan adanya
leukositosis, dapat dipikirkan adanya infeksi. Bila didapatkan eosinophilia,
dapat dipikirkan adanya kemungkinan alergi obat. Selain itu dapat
ditemukan adanya peningkatan serum enzim transaminase, albuminuria,
gangguan elektrolit, dan gangguan fungsi organ tubuh yang terkena. Pada
Sindrom Stevens Johnson juga dapat dilihat adanya peningkatan serum
tumor necrosis factor (TNF)-alpha, soluble interleukin 2-receptor,
interleukin 6, dan C-reactive protein. Akan tetapi, pemeriksaan serologik ini
tidak rutin dilakukan untuk mendiagnosis SSJ.
7. Diagnosis Banding
Diangnosis Steven Jonhson Sindrom dibagi berdasarkan lokasi keluhan, yaitu:
A. Kulit
a. Toxic Epidermal Nekrolysis (TEN) merupakan bentuk parah dari Sindrom
Stevens Johnson. Pada TEN, didapatkan bula dan erosi > 20% area tubuh,
epidermolisis generalisata, tanda Nikolsky (+) yaitu kulit dapat terpisah
dengan gesekan ringan,, dengan keadaan umum lebih buruk dibanding SSJ
(Djuanda A 2007 dan Kankis 2011).
B. Mata
a. Konjungtivitis membranosa yang ditandai dengan adanya massa putih atau
kekuningan yang menutupi konjungtiva palpebra bahkan konjungtiva
bulbi dan bila diangkat timbul perdarahan (Reidy, 2011).
9. Komplikasi
Komplikasi yang paling sering dijumpai pada sindrom Stevens
Johnson adalah bronkopneumonia (16%) dan seringkali menimbulkan kematian.
Komplikasi lain yang dapat ditemukan adalah kehilangan cairan sehingga dapat
menimbulkan gangguan keseimbangan elektrolit, sepsis, dan syok. Komplikasi
pada mata yang dapat ditemukan adalah entropion, ektropion, trikiasis,
sikatrisasi konjungtiva, simblepharon, kekeruhan kornea, neovaskularisasi
kornea, penyakit mata kering, bahkan kebutaan (Foster CS et al, 2005).
10. Prognosis
Bila pengobatan cepat dan tepat, prognosis cukup baik, tetapi bila
keadaan umum pasien buruk, didapatkan adanya purpura, dan
bronkopneumonia, prognosisnya lebih buruk. Angka mortalitas SSJ ditentukan
berdasarkan luasnya body surface area (BSA) yang terlibat. Bila BSA yang
terlibat kurang dari 10%, angka mortalitasnya 1-5%. Bila BSA yang terlibat
lebih dari 30%, angka mortalitasnya 25-35% (Foster CS, 2014).
BAB IV
KESIMPULAN
Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, editor. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007. pg 163-5
Tauber J. Autoimmune diseases affecting the ocular surface. In: Ocular Surface
Disease: Medical and Surgical Management. 2008. pg 118-20
Gerstenblith A, Rabinowitz MP, editor. The Wills eye manual 6th edition.
Philadelphia: Lippincott Williams and Wilkins; 2012. pg 400-1
Foster CS, Azar DT, Dohlman CH, editor. Smolin and Thof’s the cornea:
scientific foundations and clinical practice 4th edition. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2005. pg. 483-8
Kanski JJ, Bowling B. Clinical ophthalmology: a systematic approach 7th edition.
London: Elsevier Saunders; 2011.
Reidy JJ, Bouchard CS, Florakis GJ, Goins KM, Hammersmith K, Rootman DS,
et al. Basic and clinical science course: external disease and cornea. San
Fransisco: American Academy of Ophthalmology; 2011. pg. 196-8
Baratawidjaja KG, Rengganis I. Imunologi dasar. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2012. pg. 383-9
Siregar RS. Atlas berwarna saripati penyakit kulit Edisi 2. Jakarta: EGC. 2002.
pg. 141-2