Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG


Penyakit Tuberkulosis (TB) adalah penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis, yang sebagian besar
menyerang paru-paru sebagai organ tempat infeksi primer, namun dapat
juga menyerang organ lain seperti kulit, kelenjar limfe, tulang dan selaput
otak. Gejala utama pasien TB adalah batuk berdahak selama 2-3 minggu
atau lebih. Batuk dapat diikuti dengan gejala tambahan yaitu dahak
bercampur darah, sesak nafas, nafsu makan menurun, berat badan menurun,
malaise, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, demam meriang lebih
satu bulan. Sumber penularan adalah pasien TB paru dengan BTA positif
yaitu pada waktu pasien batuk atau bersin dapat menyebarkan kuman ke
udara dalam bentuk percikan ludah (droplet). Penyakit ini sering terkait
dengan faktor lingkungan tempat tinggal yang tidak sehat serta terdapat
sumber penular aktif.
Berdasarkan data World Health Organization (WHO) pada tahun
2013 terdapat 9 juta penduduk dunia telah terinfeksi kuman TB (WHO,
2014). Pada tahun 2014 terdapat 9,6 juta penduduk dunia terinfeksi kuman
TB (WHO, 2015). Pada tahun 2014, jumlah kasus TB paru terbanyak berada
pada wilayah Afrika (37%), wilayah Asia Tenggara (28%), dan wilayah
Mediterania Timur (17%) (WHO, 2015).
Di Indonesia, prevalensi TB paru dikelompokkan dalam tiga wilayah,
yaitu wilayah Sumatera (33%), wilayah Jawa dan Bali (23%), serta wilayah
Indonesia Bagian Timur (44%) (Depkes, 2008). Penyakit TB paru
merupakan penyebab kematian nomor tiga setelah penyakit jantung dan
saluran pernafasan pada semua kelompok usia serta nomor satu untuk
golongan penyakit infeksi. Korban meninggal akibat TB paru di Indonesia
diperkirakan sebanyak 61.000 kematian tiap tahunnya (Depkes RI, 2011).
Indonesia berada pada peringkat kelima negara dengan beban TB
tertinggi di dunia, dengan prevalensi TB semua kasus pada tahun 2010
adalah 660.000 kasus dan insidensi berjumlah 430.000 kasus/tahun. Jumlah
kematian TB diperkirakan mencapai 61.000/tahun.
Jawa Timur sendiri menempati peringkat kedua di Indonesia pada
tahun 2016 didapatkan temuan TB BTA positif kasus baru mencapai 21.606
kasus dengan total jumlah seluruh kasus TB 45.239 kasus (di bawah Jawa
Barat). Akan tetapi dari angka penemuan kasus baru BTA positif (Case
Detection Rate/CDR), Provinsi Jawa Timur menempati urutan kedelapan
dari 34 provinsi di Indonesia.
Di Kabupaten Probolinggo, pada tahun 2015 jumlah seluruh kasus TB
sebanyak 1.068 kasus dan 693 kasus diantaranya TB Paru BTA Positif.
Dengan presentase kesembuhan mencapai 90,11% dari 809 pasien BTA
positif yang diobati pada tahun 2014. Cakupan kesembuhan tersebut sudah
memenuhi target MDGs 2016 sebesar 85%.
Pada tahun 2017 dilaporkan jumlah pasien TB paru yang tergolong
Kategori 1 yang ada di wilayah Puskesmas Pajarakan mencapai 44 kasus.
Meningkat dari tahun 2016 yang berjumlah 40 kasus.
World Health Organization (WHO) merekomendasikan strategi
Directly Observed Treatment Short-Cours (DOTS) sebagai upaya
pendekatan yang paling tepat saat ini untuk menanggulangi masalah TB di
Indonesia khususnya keberhasilan dalam penemuan kasus TB yang
diharapkan dapat mencapai target. Beberapa faktor utama dalam pencapaian
target yaitu pengawasan minum obat, memperkuat mobilisasi, dan advokasi
serta memperkuat kemitraan dan kolaborasi dengan berbagai tingkat.
Pada dasarnya lingkungan yang berada dalam ruang lingkup manusia
sangat berperan dalam aspek kehidupan masyarakat, maka perlu dicermati
bahwa lingkungan yang baik berarti mengindikasi kesehatannya juga baik
dan juga mengindikasikan pada gizi yang baik. Sedangkan penyebab utama
meningkatnya beban masalah TB adalah kemiskinan, kondisi sanitasi,
papan, sandang dan pangan yang buruk pada berbagai kelompok
masyarakat, terutama pada negara-negara yang sedang berkembang.
Permasalahan sosial seperti peningkatan angka pengangguran, tingkat
pendidikan dan pendapatan perkapita yang masih rendah berakibat pada
kerentanan masyarakat terhadap TB. Selain penyebab utama tersebut,
perubahan demografi juga berpengaruh seperti meningkatnya jumlah
penduduk dan perubahan struktur umur kependudukan.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah “Faktor-faktor apakah yang mempengaruhi terjadinya
kasus TB paru di Puskesmas Pajarakan Kabupaten Probolinggo?”

1.3. TUJUAN PENELITIAN


1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kasus
TB paru di Puskesmas Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
1.3.2. Tujuan Khusus
a. Untuk mengetahui pengaruh umur dengan kejadian TB paru di
Puskesmas Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
b. Untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin dengan kejadian TB
paru di Puskesmas Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
c. Untuk mengetahui pengaruh status gizi dengan kejadian TB
paru di Puskesmas Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
d. Untuk mengetahui pengaruh pekerjaan dengan kejadian TB paru
di Puskesmas Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
e. Untuk mengetahui pengaruh penghasilan dengan kejadian TB
paru di Puskesmas Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
f. Untuk mengetahui pengaruh pendidikan dengan kejadian TB
paru di Puskesmas Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
g. Untuk mengetahui pengaruh status imunisasi BCG dengan
kejadian TB paru di Puskesmas Pajarakan Kabupaten
Probolinggo.
h. Untuk mengetahui pengaruh merokok dengan kejadian TB paru
di Puskesmas Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
i. Untuk mengetahui pengaruh pengetahuan dengan kejadian TB
paru di Puskesmas Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
j. Untuk mengetahui pengaruh kepadatan hunian dengan kejadian
TB paru di Puskesmas Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
k. Untuk mengetahui pengaruh pencahayaan hunian dengan
kejadian TB paru di Puskesmas Pajarakan Kabupaten
Probolinggo.

1.4. MANFAAT PENELITIAN


1.4.1. Manfaat Bagi Puskesmas
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan
masukan dalam membuat kebijakan untuk menyusun perencanaan
penanggulangan penyakit TB paru di wilayah kerja Puskesmas
Pajarakan Kabupaten Probolinggo.
1.4.2. Manfaat Bagi Masyarakat
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan
informasi tentang faktor yang mempengaruhi terjadinya TB paru
sehingga masyarakat mampu melakukan pencegahan.
1.4.3. Manfaat Bagi Peneliti
 Sebagai bahan untuk menambah wawasan dalam mengkaji
program penanggulangan TB paru beserta faktor yang sampai
saat ini masih menjadi masalah.
 Sebagai sarana belajar dalam meningkatkan kemampuan
bidang penelitian, dan untuk pengembangan penelitian
selanjutnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. TUBERKULOSIS
2.1.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang parenkim paru tidak termasuk pleura. TB dapat juga
ditularkan ke bagian tubuh lainnya, TB yang menyerang paru disebut
tuberkulosis paru dan yang menyerang selain paru disebut
tuberkulosis ekstra paru termasukmeninges, ginjal, tulang, dan nodus
limfe.

2.1.2. Etiologi Tuberkulosis


Disebabkan oleh infeksi kuman Mycobacterium tuberculosis
berbentuk batang lurus atau sedikit melengkung, tidak berspora dan
tidak berkapsul. Bakteri ini berukuran lebar 0,3–0,6μm dan panjang
1–4μm. Dinding M.tuberculosis sangat kompleks, terdiri dari lapisan
lemak cukup tinggi (60%). Penyusun utama dinding sel
M.tuberculosis ialah asam mikolat, lilin kompleks (complex-waxes),
trehalosadimikolat yang disebut “cord factor”, dan mycobacterial
sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Asam mikolat merupakan
asam lemak berantai panjang (C60–C90) yang dihubungkan dengan
arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh
jembatan fosfodiester. Unsur lain yang terdapat pada dinding sel
bakteri tersebut adalah polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan bakteri M.tuberculosis bersifat tahan asam.

2.1.3. Epidemiologi Tuberkulosis


TB paru masih menjadi permasalah kesehatan masyarakat secara
global, dikarenakan jumlah kasusnya yang terus mengalami
peningkatan. Laporan WHO menyatakan terdapat 9 juta penduduk
dunia menderita TB, dan terjadi peningkatan pada tahun 2014 menjadi
9,6 juta penduduk. Pada tahun 2015 Indonesia merupakan negara
penyumbang kedua kasus TB di dunia setelah negara India dan diikuti
negara China urutan ketiga.
Pada tahun 2015 ditemukan jumlah kasus TB sebanyak 330.910
kasus, meningkat bila dibandingkan semua kasus TB yang ditemukan
pada tahun 2014 hanya 324.539 kasus. Kasus TB tertinggi terdapat di
Jawa Barat, Jawa Timur dan Jawa Tengah dengan kasus BTA+
hampir sebesar 40% dari jumlah kasus di Indonesia.

Tabel 1.Cakupan TB Paru BTA positif sembuh, pengobatan lengkap dan angka
keberhasilan pengobatan (succses rate) menurut provinsi tahun 2016

Dilihat dari angka Case Detection Rate (CDR) Kasus TB Paru


BTA+ di Indonesia terjadi peningkatan yaitu pada tahun 2009
(73,1%), tahun 2010 (78,3%), tahun 2011 (83,5%). WHO menetapkan
standar angka penemuan kasus sebesar 70% dengan demikian
penemuan kasus untuk TB Paru BTA+ sudah mencapai target.
Pada tahun 2015 jumlah seluruh kasus TB sebanyak 1.068 kasus
dan 693 diantaranya adalah TB paru BTA+. Sedangkan persentase
kesembuhan mencapai 90,11% dari 809 pasien BTA+ yang diobati
pada tahun 2014. Cakupan kesembuhan tersebut sudah memenuhi
target MDGs 2015 sebesar 85%.

Grafik 1. Perkembangan penderita TB Paru di Kabupaten Probolinggo Tahun


2011-2015

2.1.4. Faktor Risiko Tuberkulosis


Faktor risiko TB dibagi menjadi faktor host dan faktor lingkungan :
a. Faktor Host terdiri dari:
1. Umur
Umur merupakan faktor predisposisi terjadinya perubahan
perilaku yang dikaitkan dengan kematangan fisik dan psikis
penderita TB paru. umur berperan dalam kejadian penyakit TB
paru. Dari hasil penelitian yang dilaksanakan di New York pada
panti penampungan orang-orang gelandangan menunjukkan
bahwa kemungkinan mendapat infeksi TB paru aktif meningkat
secara bermakna sesuai umur. Prevalensi TB paru tampaknya
meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada wanita
prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun dan
kemudian berkurang sedangkan pada pria prevalensi terus
meningkat sampai sekurang-kurangnya mencapai usia 60 tahun.

2. Jenis kelamin
Merupakan salah satu variabel untuk membedakan
presentasi penyakit antara laki-laki dan perempuan . Pada tahun
2012 WHO melaporkan bahwa disebagian besar dunia lebih
banyak laki-laki dari pada perempuan yang terdiagnosa TB paru.
Hal ini dikarenakan sebagian besar laki-laki memiliki kebiasaan
merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.

3. Status gizi
Perilaku gizi makanan dan minuman dapat memelihara
dan meningkatkan kesehatan seseorang, bahkan dapat
mendatangkan penyakit. Status nutrisi, seseorang dengan berat
badan kurang atau gizi buruk akan berpengaruh terhadap
kekuatan, daya tahan dan respon imun terhadap serangan
penyakit sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
terkena TB paru.

4. Imunisasi BCG
Berhubungan dengan kekebalan (status imunisasi)
bersamaan dengan kejadian TB paru, bahwa pada anak yang
telah divaksinasi BCG memiliki risiko yang lebih rendah untuk
terinfeksi TB paru, dibandingkan dengan anak-anak yang belum
divaksin. Walaupun sebenarnya imunisasi BCG tidak mencegah
infeksi TB paru namun dapat mengurangi risiko TB yang berat.

5. Pendidikan
Menggambarkan perilaku seseorang dalam kesehatan,
semakin rendah pendidikan maka pengetahuan dibidang
kesehatan semakin berkurang. Maka tingkat pendidikan secara
langsung maupun tidak dapat mempengaruhi lingkungan fisik,
lingkungan fisiologis dan lingkungan sosial yang merugikan
kesehatan dan dapat mempengaruhi tingginya kasus penyakit
salah satunya TB paru. Pendidikan yang rendah mempengaruhi
program pengobatan yang dijalani dan sangat erat kaitannya
dengan ketidakteratuaran dalam berobat.
6. Pengetahuan
Semakin baik pengetahuan mengenai penyakit TB paru
yang dimiliki oleh penderita TB, dapat meningkatkan
keteraturan penderita dalam pengobatan. Selain itu dapat
menurunkan angka penularan.

7. Pendapatan
Tingkat pendapatan berpengaruh terhadap perilaku dalam
menjaga kesehatan per-individu dan keluarga. Status ekonomi
mempengaruhi pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam
mencari pengobatan, mempengaruhi asupan makanan,
mempengaruhi lingkungan tempat tinggal seperti keadaan
rumah dan bahkan kondisi pemukiman yang ditempati. Sekitar
90% penderita TB paru di dunia menyerang kelompok dengan
sosial ekonomi yang menengah kebawah.

8. Pekerjaan
Penyakit TB paru erat kaitannya dengan pekerjaan. Secara
umum peningkatan angka kematian yang dipengaruhi rendahnya
tingkat sosial ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaan
merupakan penyebab tertentu yang didasarkan pada tingkat
pekerjaan.

9. Kebiasaan merokok
Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru yang
bersifat kronis dan obstruktif sehingga kebiasaan rokok ini
meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.

b. Faktor Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan
yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air
bersih dan sebagainya. Lingkungan rumah adalah segala sesuatu
yang berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari
lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding
serta lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni. Rumah yang
ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak penghuninya akan
kekurangan oksigen sehingga menyebabkan menurunnya daya
tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga
penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah
terjadi di antara penghuni rumah.
1. Kepadatan Penghuni Rumah
Cepat lambatnya penularan penyakit salah satunya
ditentukan oleh faktor kepadatan yang ditentukan oleh jumlah
dan distribusi penduduk. Dalam hal ini kepadatan hunian yang
apabila tidak dapat suplai rumah sehat yang memadai dan
terjangkau, dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit
seperti penyakit TB paru. Orang yang tinggal serumah dengan
seorang penderita TB akan berisiko untuk terkena TB.
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan
penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya
penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh
sebab itu kepadatan hunian dalam rumah merupakan variabel
yang berperan dalam kejadian penyakit TB paru.

2. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak
kurang dan tidak terlalu banyak, kurangnya cahaya matahari
yang masuk kedalam ruangan rumah disamping kurang nyaman,
juga merupakan media atau tempat yang baik untuk
berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak
cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya
dapat merusakan mata.
Pencahayaan dapat dibedakan menjadi 2, yakni :
 Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya matahari ini sangat
penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di
dalam rumah, misalnya Mycobacterium tuberculosis. Oleh
karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk
cahaya yang cukup.
 Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang
bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan
sebagainya. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari
terangnya sumber cahaya (brighness of the source).
Rumah dengan pencahayaan yang buruk sangat
berpengaruh terhadap kejadian penyakit TB paru. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup pada tempat
yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-
tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, lisol,
sabun, karbon dan kapas api, bakteri ini akan mati dalam waktu
dua jam.

2.1.5. Gejala Klinis Tuberkulosis


Pada stadium awal penyakit TB Paru tidak menunjukan tanda
dan gejala yang spesifik. Namun seiring dengan perjalanan penyakit
akan menambah kerusakan jaringan paru, sehingga dapat
meningkatkan produksi sputum yang ditunjukkan dengan seringnya
penderita batuk sebagai bentuk kompensasi pengeluaran dahak. Selain
itu, penderita dapat merasa letih, lemah, dan ditandai dengan
berkeringat pada malam hari tanpa melakukan aktivitas dan
mengalami penurunan berat badan yang berarti.
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik. Bila organ yang terkena adalah paru maka
gejala lokal ialah gejala respiratorik.
1. Gejala Respiratorik
Gejala respiratorik sangat bervariasi dari mulai tidak
bergejala sampai gejala yang cukup berat bergantung dari luas lesi.
Gejala respiratorik terdiri dari:
 Batuk ≥ 3 minggu
Batuk baru timbul apabila proses penyakit telah
melibatkan bronkus. Batuk mula-mula terjadi oleh karena iritasi
bronkus, selanjutnya akibat adanya peradangan pada bronkus,
batuk akan menjadi produktif dengan kata lain sifat batuk
dimulai dari batuk kering (non produktif) kemudian setelah
timbul peradangan menjadi batuk produktif (sputum).
 Batuk darah
Batuk darah terjadi akibat pecahnya pembuluh darah.
Berat dan ringannya batuk darah yang timbul, tergantung dari
besar kecilnya pembuluh darah yang pecah.
 Sesak napas
Pada penyakit ringan belum ditemukan atau dirasakan.
Sesak akan terjadi pada penyakit yang sudah lanjut, yang
infiltrasinya sudah meliputi setengah bagian paru-paru.
 Nyeri dada
Gejala ini jarang ditemukan, gejala ini timbul apabila
sistem persyarafan yang terdapat di pleura terkena sehingga
menimbulkan pleuritis, gejala ini bersifat lokal.

2. Gejala Sistemik
 Demam
Demam merupakan gejala pertama dari TB paru, biasanya
timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip
demam influenza yang segera mereda. Tergantung dari daya
tahan tubuh penderita dan virulensi kuman. Serangan demam
yang berikut dapat terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan.
Demam seperti influenza ini hilang timbul dan semakin lama
makin panjang masa serangannya. Demam dapat mencapai suhu
tinggi yaitu 40°−41°C.
 Malaise
Karena tuberkulosis bersifat radang menahun. maka dapat
terjadi rasa tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan
berkurang, badan makin kurus, sakit kepala, mudah lelah dan
pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan siklus haid.

2.1.6. Klasifikasi Tuberkulosis


1. Berdasar hasil pemeriksaan dahak (BTA)
TB paru dibagi dalam :
a. Tuberkulosis Paru BTA +
 Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak menunjukkan
hasil BTA+.
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA+
dan kelainan radiologik menunjukkan gambaran tuberkulosis
aktif.
 Hasil pemeriksaan satu spesimen dahak menunjukkan BTA+
dan biakan positif.
b. Tuberkulosis Paru BTA-
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA-,
gambaran klinik dan kelainan radiologik menunjukkan
tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan pemberian
antibiotic spektrum luas.
 Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif
dan biakan M.tuberculosis positif.
 Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum
diperiksa.
2. Berdasarkan Tipe Penderita
Tipe penderita ditentukan berdasarkan riwayat pengobatan
sebelumnya, ada beberapa tipe penderita yaitu :
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat
pengobatan dengan OAT atau sudah pernah menelan OAT
kurang dari satu bulan (30 dosis harian).

b. Kasus kambuh (relaps)


Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh
atau pengobatan lengkap, kemudian kembali lagi berobat
dengan hasil pemeriksaan dahak BTA+ atau biakan positif. Bila
hanya menunjukkan perubahan pada gambaran radiologik
sehingga dicurigai lesi aktif kembali, harus dipikirkan beberapa
kemungkinan :
 Infeksi sekunder
 Infeksi jamur
 TB paru kambuh

c. Kasus pindahan (Transfer In)


Adalah penderita yang sedang mendapatkan pengobatan di
suatu kabupaten dan kemudian pindah berobat ke kabupaten
lain. Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah.

d. Kasus lalai berobat


Adalah penderita yang sudah berobat paling kurang 1
bulan, dan berhenti 2 minggu atau lebih, kemudian datang
kembali berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA+.
e. Kasus Gagal
 Adalah penderita BTA+ yang masih tetap positif atau
kembali menjadi positif pada akhir bulan ke-5 (1 bulan
sebelum akhir pengobatan).
 Adalah penderita dengan hasil BTA- gambaran radiologik
positif menjadi BTA+ pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan
atau gambaran radiologik ulang hasilnya perburukan.

f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.

g. Kasus bekas TB
 Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada
fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan
lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT yang adekuat akan lebih mendukung.
 Pada kasus dengan gambaran radiologic meragukan lesi TB
aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2
bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik.
Gambar 1. Skema Klasifikasi Tuberkulosis Paru

2.1.7. Patogenesis Tuberkulosis


Kebanyakan infeksi TB terjadi melalui udara, yaitu melalui
inhalasi droplet saluran nafas yang mengandung kuman-kuman basil
tuberkel yang berasal dari orang yang terinfeksi. Basil tuberkel yang
mencapai permukaan alveolus biasanya diinhalasi sebagai suatu unit
yang terdiri dari satu sampai tiga basil. Setelah berada dalam ruang
alveolus, biasanya dibagian bawah lobus atas paru atau dibagian atas
lobus bawah, basil tuberkel membangkitkan reaksi peradangan.
Leukosit polimorfonuklear tampak pada tempat tersebut dan
memfagosit bakteri tersebut, namun tidak membunuh organisme
tersebut.
Sesudah hari-hari pertama, leukosit diganti oleh makrofag.
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi. Bakteri terus
difagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil juga menyebar
melalui getah bening menuju ke kelenjar getah bening regional.
Makrofag yang mengadakan infiltrasi menjadi lebih panjang dan
sebagian bersatu sehingga membentuk sel tuberkel epiteloid, yang
dikelilingi oleh limfosit. Reaksi ini biasanya membutuhkan waktu 10
sampai 20 hari. Kuman yang bersarang di jaringan paru akan
berbentuk sarang tuberkulosis pneumoni kecil dan disebut sarang
primer atau fokus Ghon. Dari sarang primer akan timbul peradangan
saluran getah bening menuju hilus dan juga diikuti pembesaran
kelenjar getah bening hilus. Semua proses ini memakan waktu 3-8
minggu. Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi:
a. Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
b. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis
fibrotik, kalsifikasi di hilus dan dapat terjadi reaktivasi lagi karena
kuman yang dormant.
c. Berkomplikasi dan menyebar.

Kuman yang dormant akan muncul bertahun-tahun kemudian


sebagai infeksi endogen menjadi tuberkulosis dewasa. TB sekunder
ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di region atas paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk tuberkel yakni suatu
granuloma yang dikelilingi oleh sel-sel limfosit dan berbagai jaringan
ikat. Sarang dini yang meluas sebagai granuloma berkembang
menghancurkan jaringan ikat sekitar dan bagian tengahnya mengalami
nekrosis menjadi lembek membentuk perkejuan. Bila jaringan
perkejuan dibatukkan, akan menimbulkan kavitas.
Gambar 2. Patogenesis Tuberkulosis Paru

2.1.8. Diagnosis Tuberkulosis


Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik/jasmani, pemeriksaan bakteriologik, radiologik dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
a. Gejala klinik
 batuk ≥ 3 minggu
 batuk darah
 sesak napas
 nyeri dada, demam, malaise

b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisis, kelainan paru pada umumnya terletak
didaerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma, dan mediastinum.

c. Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan-bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH).

Cara pengambilan dahak 3 kali, setiap pagi 3 hari berturutturut atau


dengan cara:
 Sewaktu/spot (dahak sewaktu saat kunjungan)
 Dahak pagi (keesokan harinya)
 Sewaktu/spot (pada saat mengantarkan dahak pagi)

Cara pemeriksaanya dapat dengan Pemeriksaan Mikroskopik atau


dengan Pemeriksaan Biakan.
1. Pemeriksaan mikroskopik:
Mikroskopik biasa : Pewarnaan Ziehl-Nielsen
Pewarnaan Kinyoun Gabbett
Mikroskopik fluoresens :Pewarnaan auramin-rhodamin
(khususnya untuk screening)

lnterpretasi hasil pemeriksaan mikroskopik dari 3 kali


pemeriksaan ialah bila :
 2 kali positif, 1 kali negatif → Mikroskopik positif
 1 kali positif, 2 kali negatif → ulang BTA 3 kali , kemudian
 bila 1 kali positif, 2 kali negatif → Mikroskopik positif bila 3
kali negatif →Mikroskopik negatif
Untuk interpretasi pemeriksaan mikroskopis dahak pasien
dapat dibaca dengan skala IUATLD (International Union
Against Tuberculosis and Lung Disease) (rekomendasi WHO).
Skala IUATLD yaitu:
 Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut
negatif
 Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis
jumlah kuman yang ditemukan
 Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +
atau (1+)
 Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++
atau (2+)
 Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++
atau (3+)

2. Pemeriksaan biakan kuman:


Pemeriksaan biakan M.tuberculosis dengan metode
konvensional ialah dengan cara :
 Egg base media (Lowenstein-Jensen, Ogawa, Kudoh)
 Agar base media: Middle brook
Melakukan biakan dimaksudkan untuk mendapatkan
diagnosis pasti, dan dapat mendeteksi Mycobacterium
tuberculosis dan juga Mycobacterium other than tuberculosis
(MOTT).

d. Pemeriksaan radiologi
Pada pemeriksaan radiologi, gambaran yang dicurigai sebagai
lesi TB aktif adalah:
1. Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).

e. Pemeriksaan penunjang
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis
adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman
tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada
beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman
tuberkulosis secara lebih cepat.
 Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat
mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu
masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi.
 Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda Enzym linked
immunosorbent assay (ELISA).

Teknik ini merupakan salah satu uji serologi yang dapat


mendeteksi respon humoral berupa proses antigen-antibodi yang
terjadi. Beberapa masalah dalam teknik ini antara lain adalah
kemungkinan antibodi menetap dalam waktu yang cukup lama.
Gambar 3. Alur diagnosis TB paru

2.1.9. Penatalaksanaan Tuberkulosis


Penyakit TB paru termasuk penyakit yang serius jika tidak
ditangani secara cepat dan tepat, sehingga untuk mencegah terjadinya
peningkatan kasus TB paru, maka pasien dengan terdiagnosis TB paru
harus melakukan pengobatan secara teratur dengan waktu kurang
lebih 6 bulan untuk pasien baru, dan pengobatan selama 8 bulan untuk
pasien yang kambuh, gagal pengobatan dan dropout. Pengobatan TB
paru disebut juga sebagai OAT. Pengobatan pasien TB paru ini
memiliki beberapa tujuan diantaranya :
a. Menyembuhkan pasien dan memperbaiki produktivitas serta
kualitas hidup.
b. Mencegah terjadinya kematian oleh karena TB atau dampak buruk
selanjutnya.
c. Mencegah terjadinya kekambuhan TB.
d. Menurunkan penularan TB.
e. Mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat.
Pengobatan TB paru harus selalu meliputi :
a. Pengobatan tahap awal
Tahap dimana pasien TB paru untuk minum obat setiap hari.
Panduan pengobatan pada tahap ini adalah dimaksudkan untuk
secara efektif menurunkan jumlah kuman yang ada dalam tubuh
pasien dan meminimalisir pengaruh dan sebagian kecil kuman
yang mungkin pada semua pasien baru, harus diberikan selama 2
bulan pada umumnya dengan pengobatan secara teratur dan tanpa
adanya penyulit, daya penularan sudah sangat menurun setelah
pengobatan selama 2 minggu.
b. Pengobatan tahap lanjutan
Tahap yang penting untuk membunuh sisa-sisa kuman yang
masih ada dalam tubuh khususnya kuman persisten sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.

WHO dan ISTC merekomendasikan pengobatan TB paru di


Indonesia dengan panduan OAT yang terbagi menjadi kategori 1 dan
kategori 2 yang disediakan dalam bentuk paket obat kombinasi dosis
tetap (OAT-KDT). Tablet OAT-KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau
4 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat
badan pasien. Panduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu
pasien. Selain itu, paket kombipak adalah paket obat lepas yang terdiri
dari Isoniazid, Rifampisin, Pirazinamid dan Etambutol yang dikemas
dalam bentuk blister. Panduan OAT ini disediakan program untuk
digunakan dalam pengobatan pasien yang terbukti mengalami efek
samping pengobatan dengan OAT-KDT sebelumnya.
a. Kategori 1 (2RHZE/4H3R3)
Diberikan untuk pasien baru yang terdiagnosis TB paru,
penderita TB paru BTA- dan rontgen positif, penderita TB ekstra
paru berat. Berikut merupakan dosis dan lamanya pengobatan
kategori 1 OAT-KDT yang disesuaikan dengan berat badan pasien.
Tahap Intensif tiap Tahap Lanjutan 3 kali
Berat
hari selama 56 hari seminggu selama 16 minggu
Badan
RHZE (150/75/400/275) RH (150/150)
30-37 kg 2 tablet 4 KDT 2 tablet 2 KDT
38-58 kg 3 tablet 4 KDT 3 tablet 2 KDT
55-70 kg 4 tablet 4 KDT 4 tablet 2 KDT
>71 kg 5 tablet 4 KDT 5 tablet 2 KDT
Tabel 2. Dosis Paduan OAT-KDT Kategori 1

Panduan OAT tidak hanya diberikan dalam bentuk kombinasi


dosis tepat (KDT). Namun, bisa diberikan dengan panduan OAT
kombipak.

Dosis per hari/kali Jumlah


Tahap Lama hari/kali
Tablet Kaplet Tablet Tablet
pengobatan pengobatan menelan
Isoniazid Rifampisin Pirazinamid Etambutol
obat
@300 mg @450 mg @500 mg @250 mg
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 4
Tabel 3. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 1

b. Kategori 2 (2RHZES/RHZE/5R3H3E3)
Pada kategori 2 OAT diberikan untuk pasien TB BTA+ yang
diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yang diberikan pada pasien
kambuh, pasien gagal pengobatan dengan panduan OAT kategori 1
sebelumnya dan pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
(lost to follow up). Pada kategori 2 OAT diberikan selama 8 bulan
kepada pasien. Berikut merupakan dosis dan lamanya pengobatan
kategori 2 OAT-KDT yang disesuaikan dengan berat badan pasien.
Tahap Intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
Berat RHZE(150/75/400/275)+S seminggu
Badan Selama 28 RH(150/150)+E(400)
Selama 56 hari
hari Selama 20 hari
2 tab 4 KDT + 500 mg 2 tab 2 KDT + 2 tab
30-37 kg 2 tab 4 KDT
Streptomisin inj. Etambutol
3 tab 4 KDT + 750 mg 3 tab 2 KDT + 3 tab
38-54 kg 3 tab 4 KDT
Streptomisin inj. Etambutol
4 tab 4 KDT + 1000 4 tab 2 KDT + 4 tab
55-70 kg 4 tab 4 KDT
mg Streptomisin inj. Etambutol
5 tab 4 KDT + 1000 5 tab 2 KDT + 5 tab
>71 kg 5 tab 4 KDT
mg Streptomisin inj. Etambutol
Tabel 4. Dosis Paduan OAT-KDT Kategori 2

Selain panduan OAT –KDT kategori 2, paduan OAT


kombipak kategori 2 juga diberikan pada pasien gagal pengobatan,
kambuh maupun dropout.

Etambutol Jumlah
Tablet Kaplet Tablet
Tahap Lama Tabl Tabl hari/ka
Isoniazi Rifampis Pirazinam Streptomis
pengobat pengobat et et @ li
d @300 in @450 id @500 in injeksi
an an @25 400 menela
mg mg mg
0 mg mg n obat
Tahap
awal
-
(dosis 2 bulan 1 1 3 3 0,75 gr 56
harian)
1 bulan 1 1 2 2 28
Tahap
lanjutan
2
(dosis 3x 5 bulan 2 1 - 1 - 60
seminggu
)
Tabel 5. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang
dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau
kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi).
Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke-2 uji dahak tersebut
negatif. Bila salah satu uji positif atau keduanya positif maka hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA+ merupakan
suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil
pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA+ atau sudah
menjadi BTA_, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan
(tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi).
Pada semua pasien TB BTA+, pemeriksaan ulang dahak
selanjutnya dilakukan pada bulan ke-5. Apabila hasilnya negatif,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai
dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir
pengobatan.
Menurut Kemenkes (2014) dalam Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, sebagian besar penderita TB paru
dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek samping
OAT. Namun beberapa penderita dapat mengalami efek samping
yang merugikan ataupun berat, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping berat yaitu efek samping yang
dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus TB Paru, maka pemberian
obat harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke UPK
spesialistik. Sedangkan efek samping ringan yaitu hanya
menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak. Gejala yang
menyebabkan perasaan tidak enak tersebut dapat ditanggulangi
dengan obat sederhana. Dalam hal ini, pemberian OAT dapat
diteruskan.

Efek samping OAT Penyebab Penanganan

Tidak nafsu makan, Obat diminum pada


Rifampisin
mual, sakit perut malam hari sebelum tidur

Nyeri sendi Pirazinamid Beri aspirin

Kesemutan dan rasa Beri vitamin


Isoniazid
terbakar di kaki B6(100mg/hari)
Waktu kemerahan Hanya perlu diberi
Rifampisin
pada urin penjelasan
Tabel 6. Efek samping ringan OAT

Efek samping OAT Penyebab Penanganan


Gatal dan kemerahan Semua jenis Ikuti petunjuk
kulit OAT penanganan
Streptomisin dihentikan,
Tuli Streptomisin
ganti dengan Etambutol
Gangguan Streptomisin dihentikan,
Streptomisin
keseimbangan ganti dengan Etambutol
Hentikan semua OAT
Kekuningan (ikterus) Hampir semua
sampai ikterus
tanpa penyebab OAT
menghilang
Bingung dan muntah- Hentikan semua OAT,
Hampir semua
muntah (penularan segera lakukan test fungsi
OAT
ikterus karena obat) hati
Gangguan penglihatan Etambutol Hentikan Etambutol
Purpura dan renjatan
Rifampisin Hentikan Rifampisin
(syok)
Tabel 7.Efek samping berat OAT
2.1.10. Pencegahan Tuberkulosis
Pencegahan dapat dilakukan baik perorangan maupun
kelompok. Tujuan mendeteksi dini seseorang dengan infeksi TB
adalah untuk mengidentifikasi siapa saja yang akan memperoleh
keuntungan dari terapi pencegahan untuk menghentikan
perkembangan TB yang aktif secara klinis.
Hal-hal yang dapat dilakukan untuk mencegah penularannya adalah:
a. Kebersihan ruangan dalam rumah terjaga terutama kamar tidur
dan setiap ruangan dalam rumah dilengkapi jendela yang cukup
untuk pencahayaan alami dan ventilasi untuk pertukaran udara
serta usahakan agar sinar matahari dapat masuk kesetiap
ruangan dalam rumah melalui jendela atau genting kaca, karena
kuman TB mati dengan sinar matahari yang mengandung sinar
ultraviolet.
b. Menjemur kasur dan bantal secara teratur.
c. Pengidap TB diminta menutupi hidung dan mulutnya apabila
mereka batuk atau bersin dan menggunakan masker.
d. Minum obat secara teratur sampai selesai, gunakan Pengawas
Minum Obat (PMO) untuk menjaga keteraturan minum obat.
e. Jangan meludah disembarang tempat karena ludah yang
mengandung Mycobacterium Tuberculosis akan terbawa udara
dan dapat terhirup orang lain.
f. Gunakan tempat penampungan dahak seperti kaleng atau
sejenisnya yang ditambahkan air sabun atau karbol/lysol.
g. Cuci dan bersihkan barang-barang yang digunakan oleh
penderita. Seperti alat makan dan minum, atau perlengkapan
lain.
h. Melakukan imunisasi BCG pada bayi.
i. Makan makanan yang bergizi seimbang sehingga daya tahan
tubuh meningkat untuk membunuh kuman TBC.
DAFTAR PUSTAKA
1.Depkes RI, Ditjen PP dan PL. Pedoman Nasional Penanggulangan Tuberkulosis
dan Standar Internasional Untuk Pelayanan Tuberkulosis; 2008
2.Pedoman Diagnosis & Penatalaksanaan Tuberkulosis di Indonesia.
3. (WHO 2015)
4. kemenkes RI 2016
5. Crofton, Jhon, et al.Clinical Tuberculosis. Hongkong :McMillan Education,
Ltd;2002
6. Aditama,T.Yoga.Tuberkulosis:Diagnosa, Terapi dan Masalahnya Edisi
IV.Jakarta:Yayasan Penerbitan Ikatan Dokter Indonesia;2002
7. Notoatmodjo, S. Ilmu Kesehatan Masyarakat, Prinsip-prinsip Dasar.
Jakarta:Rineka Cipta;2011
8. kemenkes RI 2014

Anda mungkin juga menyukai