PENDAHULUAN
2.1. TUBERKULOSIS
2.1.1. Definisi Tuberkulosis
Tuberkulosis adalah penyakit infeksius, yang terutama
menyerang parenkim paru tidak termasuk pleura. TB dapat juga
ditularkan ke bagian tubuh lainnya, TB yang menyerang paru disebut
tuberkulosis paru dan yang menyerang selain paru disebut
tuberkulosis ekstra paru termasukmeninges, ginjal, tulang, dan nodus
limfe.
Tabel 1.Cakupan TB Paru BTA positif sembuh, pengobatan lengkap dan angka
keberhasilan pengobatan (succses rate) menurut provinsi tahun 2016
2. Jenis kelamin
Merupakan salah satu variabel untuk membedakan
presentasi penyakit antara laki-laki dan perempuan . Pada tahun
2012 WHO melaporkan bahwa disebagian besar dunia lebih
banyak laki-laki dari pada perempuan yang terdiagnosa TB paru.
Hal ini dikarenakan sebagian besar laki-laki memiliki kebiasaan
merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru.
3. Status gizi
Perilaku gizi makanan dan minuman dapat memelihara
dan meningkatkan kesehatan seseorang, bahkan dapat
mendatangkan penyakit. Status nutrisi, seseorang dengan berat
badan kurang atau gizi buruk akan berpengaruh terhadap
kekuatan, daya tahan dan respon imun terhadap serangan
penyakit sehingga memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
terkena TB paru.
4. Imunisasi BCG
Berhubungan dengan kekebalan (status imunisasi)
bersamaan dengan kejadian TB paru, bahwa pada anak yang
telah divaksinasi BCG memiliki risiko yang lebih rendah untuk
terinfeksi TB paru, dibandingkan dengan anak-anak yang belum
divaksin. Walaupun sebenarnya imunisasi BCG tidak mencegah
infeksi TB paru namun dapat mengurangi risiko TB yang berat.
5. Pendidikan
Menggambarkan perilaku seseorang dalam kesehatan,
semakin rendah pendidikan maka pengetahuan dibidang
kesehatan semakin berkurang. Maka tingkat pendidikan secara
langsung maupun tidak dapat mempengaruhi lingkungan fisik,
lingkungan fisiologis dan lingkungan sosial yang merugikan
kesehatan dan dapat mempengaruhi tingginya kasus penyakit
salah satunya TB paru. Pendidikan yang rendah mempengaruhi
program pengobatan yang dijalani dan sangat erat kaitannya
dengan ketidakteratuaran dalam berobat.
6. Pengetahuan
Semakin baik pengetahuan mengenai penyakit TB paru
yang dimiliki oleh penderita TB, dapat meningkatkan
keteraturan penderita dalam pengobatan. Selain itu dapat
menurunkan angka penularan.
7. Pendapatan
Tingkat pendapatan berpengaruh terhadap perilaku dalam
menjaga kesehatan per-individu dan keluarga. Status ekonomi
mempengaruhi pendidikan dan pengetahuan seseorang dalam
mencari pengobatan, mempengaruhi asupan makanan,
mempengaruhi lingkungan tempat tinggal seperti keadaan
rumah dan bahkan kondisi pemukiman yang ditempati. Sekitar
90% penderita TB paru di dunia menyerang kelompok dengan
sosial ekonomi yang menengah kebawah.
8. Pekerjaan
Penyakit TB paru erat kaitannya dengan pekerjaan. Secara
umum peningkatan angka kematian yang dipengaruhi rendahnya
tingkat sosial ekonomi yang berhubungan dengan pekerjaan
merupakan penyebab tertentu yang didasarkan pada tingkat
pekerjaan.
9. Kebiasaan merokok
Merokok merupakan penyebab utama penyakit paru yang
bersifat kronis dan obstruktif sehingga kebiasaan rokok ini
meningkatkan resiko untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali.
b. Faktor Lingkungan
Sanitasi lingkungan adalah status kesehatan suatu lingkungan
yang mencakup perumahan, pembuangan kotoran, penyediaan air
bersih dan sebagainya. Lingkungan rumah adalah segala sesuatu
yang berada di dalam rumah. Lingkungan rumah terdiri dari
lingkungan fisik yaitu ventilasi, suhu, kelembaban, lantai, dinding
serta lingkungan sosial yaitu kepadatan penghuni. Rumah yang
ruangan terlalu sempit atau terlalu banyak penghuninya akan
kekurangan oksigen sehingga menyebabkan menurunnya daya
tahan tubuh yang memudahkan terjadinya penyakit sehingga
penularan penyakit saluran pernapasan seperti TB paru akan mudah
terjadi di antara penghuni rumah.
1. Kepadatan Penghuni Rumah
Cepat lambatnya penularan penyakit salah satunya
ditentukan oleh faktor kepadatan yang ditentukan oleh jumlah
dan distribusi penduduk. Dalam hal ini kepadatan hunian yang
apabila tidak dapat suplai rumah sehat yang memadai dan
terjangkau, dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit
seperti penyakit TB paru. Orang yang tinggal serumah dengan
seorang penderita TB akan berisiko untuk terkena TB.
Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan
penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit khususnya
penyakit melalui udara akan semakin mudah dan cepat. Oleh
sebab itu kepadatan hunian dalam rumah merupakan variabel
yang berperan dalam kejadian penyakit TB paru.
2. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak
kurang dan tidak terlalu banyak, kurangnya cahaya matahari
yang masuk kedalam ruangan rumah disamping kurang nyaman,
juga merupakan media atau tempat yang baik untuk
berkembangnya bibit-bibit penyakit. Sebaliknya terlalu banyak
cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau, dan akhirnya
dapat merusakan mata.
Pencahayaan dapat dibedakan menjadi 2, yakni :
Cahaya alamiah, yakni matahari. Cahaya matahari ini sangat
penting, karena dapat membunuh bakteri-bakteri patogen di
dalam rumah, misalnya Mycobacterium tuberculosis. Oleh
karena itu, rumah yang sehat harus mempunyai jalan masuk
cahaya yang cukup.
Cahaya buatan, yaitu menggunakan sumber cahaya yang
bukan alamiah, seperti lampu minyak tanah, listrik, api dan
sebagainya. Kualitas dari cahaya buatan tergantung dari
terangnya sumber cahaya (brighness of the source).
Rumah dengan pencahayaan yang buruk sangat
berpengaruh terhadap kejadian penyakit TB paru. Bakteri
Mycobacterium tuberculosis dapat bertahan hidup pada tempat
yang sejuk, lembab dan gelap tanpa sinar matahari bertahun-
tahun lamanya, dan mati bila terkena sinar matahari, lisol,
sabun, karbon dan kapas api, bakteri ini akan mati dalam waktu
dua jam.
2. Gejala Sistemik
Demam
Demam merupakan gejala pertama dari TB paru, biasanya
timbul pada sore dan malam hari disertai dengan keringat mirip
demam influenza yang segera mereda. Tergantung dari daya
tahan tubuh penderita dan virulensi kuman. Serangan demam
yang berikut dapat terjadi setelah 3 bulan, 6 bulan, dan 9 bulan.
Demam seperti influenza ini hilang timbul dan semakin lama
makin panjang masa serangannya. Demam dapat mencapai suhu
tinggi yaitu 40°−41°C.
Malaise
Karena tuberkulosis bersifat radang menahun. maka dapat
terjadi rasa tidak enak badan, pegal-pegal, nafsu makan
berkurang, badan makin kurus, sakit kepala, mudah lelah dan
pada wanita kadang-kadang dapat terjadi gangguan siklus haid.
f. Kasus kronik
Adalah penderita dengan hasil pemeriksaan dahak BTA
masih positif setelah selesai pengobatan ulang kategori 2 dengan
pengawasan yang baik.
g. Kasus bekas TB
Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada
fasilitas) negatif dan gambaran radiologik paru menunjukkan
lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologik serial
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan
OAT yang adekuat akan lebih mendukung.
Pada kasus dengan gambaran radiologic meragukan lesi TB
aktif, namun setelah mendapat pengobatan OAT selama 2
bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran radiologik.
Gambar 1. Skema Klasifikasi Tuberkulosis Paru
b. Pemeriksaan fisik
Pada pemeriksaan fisis, kelainan paru pada umumnya terletak
didaerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen
posterior, serta daerah apeks lobus inferior. Pada pemeriksaan fisik
dapat ditemukan antara lain suara nafas bronkial, amforik, suara
napas melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru,
diafragma, dan mediastinum.
c. Pemeriksaan Bakteriologik
Bahan-bahan untuk pemeriksaan bakteriologik ini dapat
berasal dari dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan
bronkus, bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar
(bronchoalveolar lavage/BAL), urin, faeces dan jaringan biopsi
(termasuk biopsi jarum halus/BJH).
d. Pemeriksaan radiologi
Pada pemeriksaan radiologi, gambaran yang dicurigai sebagai
lesi TB aktif adalah:
1. Bayangan berawan atau nodular disegmen apikal dan posterior
lobus atas paru dan segmen superior lobus bawah.
2. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular.
3. Bayangan bercak milier.
4. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang).
e. Pemeriksaan penunjang
Salah satu masalah dalam mendiagnosis pasti tuberkulosis
adalah lamanya waktu yang dibutuhkan untuk pembiakan kuman
tuberkulosis secara konvensional. Dalam perkembangan kini ada
beberapa teknik baru yang dapat mengidentifikasi kuman
tuberkulosis secara lebih cepat.
Polymerase chain reaction (PCR):
Pemeriksaan PCR adalah teknologi canggih yang dapat
mendeteksi DNA, termasuk DNA M.tuberculosis. Salah satu
masalah dalam pelaksanaan teknik ini adalah kemungkinan
kontaminasi.
Pemeriksaan serologi, dengan berbagai metoda Enzym linked
immunosorbent assay (ELISA).
b. Kategori 2 (2RHZES/RHZE/5R3H3E3)
Pada kategori 2 OAT diberikan untuk pasien TB BTA+ yang
diobati sebelumnya (pengobatan ulang) yang diberikan pada pasien
kambuh, pasien gagal pengobatan dengan panduan OAT kategori 1
sebelumnya dan pasien yang diobati kembali setelah putus berobat
(lost to follow up). Pada kategori 2 OAT diberikan selama 8 bulan
kepada pasien. Berikut merupakan dosis dan lamanya pengobatan
kategori 2 OAT-KDT yang disesuaikan dengan berat badan pasien.
Tahap Intensif tiap hari Tahap lanjutan 3 kali
Berat RHZE(150/75/400/275)+S seminggu
Badan Selama 28 RH(150/150)+E(400)
Selama 56 hari
hari Selama 20 hari
2 tab 4 KDT + 500 mg 2 tab 2 KDT + 2 tab
30-37 kg 2 tab 4 KDT
Streptomisin inj. Etambutol
3 tab 4 KDT + 750 mg 3 tab 2 KDT + 3 tab
38-54 kg 3 tab 4 KDT
Streptomisin inj. Etambutol
4 tab 4 KDT + 1000 4 tab 2 KDT + 4 tab
55-70 kg 4 tab 4 KDT
mg Streptomisin inj. Etambutol
5 tab 4 KDT + 1000 5 tab 2 KDT + 5 tab
>71 kg 5 tab 4 KDT
mg Streptomisin inj. Etambutol
Tabel 4. Dosis Paduan OAT-KDT Kategori 2
Etambutol Jumlah
Tablet Kaplet Tablet
Tahap Lama Tabl Tabl hari/ka
Isoniazi Rifampis Pirazinam Streptomis
pengobat pengobat et et @ li
d @300 in @450 id @500 in injeksi
an an @25 400 menela
mg mg mg
0 mg mg n obat
Tahap
awal
-
(dosis 2 bulan 1 1 3 3 0,75 gr 56
harian)
1 bulan 1 1 2 2 28
Tahap
lanjutan
2
(dosis 3x 5 bulan 2 1 - 1 - 60
seminggu
)
Tabel 5. Dosis Paduan OAT Kombipak Kategori 2
Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang
dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak secara
mikroskopis. Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik
dibandingkan dengan pemeriksaan radiologis dalam memantau
kemajuan pengobatan. Untuk memantau kemajuan pengobatan
dilakukan pemeriksaan dua contoh uji dahak (sewaktu dan pagi).
Hasil pemeriksaan dinyatakan negatif bila ke-2 uji dahak tersebut
negatif. Bila salah satu uji positif atau keduanya positif maka hasil
pemeriksaan ulang dahak tersebut dinyatakan positif.
Pemeriksaan ulang dahak pasien TB BTA+ merupakan
suatu cara terpenting untuk menilai hasil kemajuan pengobatan.
Setelah pengobatan tahap awal, tanpa memperhatikan hasil
pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA+ atau sudah
menjadi BTA_, pasien harus memulai pengobatan tahap lanjutan
(tanpa pemberian OAT sisipan apabila tidak mengalami konversi).
Pada semua pasien TB BTA+, pemeriksaan ulang dahak
selanjutnya dilakukan pada bulan ke-5. Apabila hasilnya negatif,
pengobatan dilanjutkan hingga seluruh dosis pengobatan selesai
dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada akhir
pengobatan.
Menurut Kemenkes (2014) dalam Pedoman Nasional
Pengendalian Tuberkulosis, sebagian besar penderita TB paru
dapat menyelesaikan pengobatan tanpa mengalami efek samping
OAT. Namun beberapa penderita dapat mengalami efek samping
yang merugikan ataupun berat, oleh karena itu pemantauan
kemungkinan terjadinya efek samping sangat penting dilakukan
selama pengobatan. Efek samping berat yaitu efek samping yang
dapat menjadi sakit serius. Dalam kasus TB Paru, maka pemberian
obat harus dihentikan dan penderita harus segera dirujuk ke UPK
spesialistik. Sedangkan efek samping ringan yaitu hanya
menyebabkan sedikit perasaan yang tidak enak. Gejala yang
menyebabkan perasaan tidak enak tersebut dapat ditanggulangi
dengan obat sederhana. Dalam hal ini, pemberian OAT dapat
diteruskan.