Anda di halaman 1dari 41

TUGAS.

I
K3-DAN HUKUM KENAKER

NAMA : DAUD GRESTO KOSHO


NIM : 16-311-022

PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI DAN KEBUMIAN
UNIVERSITAS SAINS DAN TEKNOLOGI JAYAPURA
PAPUA 2018

1
1. DASAR HUKUM K3 DI INDONESIA
Dasar Hukum K3 di Sektor Pertambangan dan Energi
 By indra Bagus Pratama
 Postado Selasa, 25 Juni 2013 at 07.27
Dasar Hukum Pengawasan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di
Sektor Pertambangan dan Energi
P) dan Keputusan Presiden terkait penyelenggaraan Keselamatan dan
Kesehatan Kerja (K3), diantaranya adalah :
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. Siapa sih yang mau
celaka? Tentunya tidak ada seorang pun yang mau celaka. Tetapi resiko
kecelakaan bisa terjadi kapan saja dan dimana saja termasuk di linkungan
tempat kerja. Nah, Keselamatan dan Kesehatan Kerja yg sering disingkat K3
adalah salah satu peraturan pemerintah yang menjamin keselamatan dan
kesehatan kita dalam bekerja. Jadi, tidak ada salahnya kita mempelajari lebih
jauh mengenai K3.
Keselamatan dan Kesehatan Kerja adalah suatu kondisi dalam
pekerjaan yang sehat dan aman baik itu bagi pekerjaannya, perusahaan
maupun bagi masyarakat dan lingkungan sekitar pabrik atau tempat kerja
tersebut. Keselamatan dan kesehatan kerja juga merupakan suatu usaha untuk
mencegah setiap perbuatan atau kondisi tidak selamat, yang dapat
mengakibatkan kecelakaan
Apa di Indonesia, ada Undang-Undang yang mengatur mengenai K3?
Jawabannya ada. Undang-Undang yang mengatur K3 adalah sebagai berikut :
 Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja
Undang-Undang ini mengatur dengan jelas tentang kewajiban
pimpinan tempat kerja dan pekerja dalam melaksanakan keselamatan
kerja.
 Undang-undang nomor 23 tahun 1992 tentang Kesehatan.
Undang- Undang ini menyatakan bahwa secara khusus perusahaan
berkewajiban memeriksakan kesehatan badan, kondisi mental dan
kemampuan fisik pekerja yang baru maupun yang akan dipindahkan ke

1
tempat kerja baru, sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan
kepada pekerja, serta pemeriksaan kesehatan secara berkala. Sebaliknya
para pekerja juga berkewajiban memakai alat pelindung diri (APD)
dengan tepat dan benar serta mematuhi semua syarat keselamatan dan
kesehatan kerja yang diwajibkan. Undang-undang nomor 23 tahun 1992,
pasal 23 Tentang Kesehatan Kerja juga menekankan pentingnya
kesehatan kerja agar setiap pekerja dapat bekerja secara sehat tanpa
membahayakan diri sendiri dan masyarakat sekelilingnya hingga
diperoleh produktifitas kerja yang optimal. Karena itu, kesehatan kerja
meliputi pelayanan kesehatan kerja, pencegahan penyakit akibat kerja
dan syarat kesehatan kerja.
 Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan
 Undang-Undang ini mengatur mengenai segala hal yang berhubungan
dengan ketenagakerjaan mulai dari upah kerja, jam kerja, hak maternal,
cuti sampi dengan keselamatan dan kesehatan kerja. Sebagai penjabaran
dan kelengkapan Undang-undang tersebut, Pemerintah juga
mengeluarkan Peraturan Pemerintah (P11 Tahun 1979 tentang
Keselamatan Kerja Pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan Gas
Bumi
 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1973 tentang Pengawasan Atas
Peredaran, Penyimpanan dan Penggunaan Pestisida
 Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan
Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan
 Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 1993 tentang Penyakit Yang
Timbul Akibat Hubungan Kerja
Undang-Undang Dasar 1945 mengisyaratkan hak setiap warga negara
atas pekerjaan dan penghasilan yang layak bagi kemanusiaan. Pekerjaan baru
dapat disebut memenuhi kelayakan bagi kemanusiaan, apabila keselamatan
tenaga kerja sebagai pelaksananya terjamin. Kematian, cacat, cedra, penyakit,
dan lain-lain sebagai akibat kecelakaan dalam melakukan pekerjaan
bertentangan dengan dasar kemanusiaan. Maka dari itu, atas dasar landasan

2
UUD 1945 lahir undang-undang dan ketentuan-ketentuan pelaksanaannya
dalam keselamatan kerja.
Pada umumnya setiap sektor mempunyai dasar hukum dalam
bentuk Undang-undang sebagai landasan pelaksanaan kegiatan di sektor
tersebut. Berdasarkan Undang-undang tersebut diterbitkan berbagai
Peraturan Pemerintah (PP) tentang berbagai hal yang dalam undang-
undang tersebut perlu jabarkan dalam Peraturan Pemerintah. Peraturan
Pemerintah disusun atas dasar ketentuan dalam Undang-undang terkait.
Peraturan Pemerintah dibuat sebagai pelaksanaan suatu Undang-undang.
Jadi seharusnya tidak ada Peraturan Pemerintah yang tidak ada
landasan Undang-undangnya. Dalam Undang-undang maupun Peraturan
Pemerintah pada umumnya disebut instansi yang bertanggung jawab
atas ketentuan yang diatur.
Sejarah pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja di sektor
pertambangan dan energi secara terkendali dimulai pada Tahun 1930 yaitu
sejak dikeluarkannya Undang-Undang Hindia Belanda yakni Mijn Politie
Reglement (MPR) 1930 tentang pengawasan keselamatan kerja perminyakan.
Seirama dengan derap langkah kemajuan pembangunan di sektor
pertambangan dan energi telah melahirkan banyak kebijakan menyangkut
keselamatan dan kesehatan kerja, baik di bidang minyak dan gas bumi,
bidang ketenagalistrikan maupun bidang pertambangan umum. Ini
menunjukkan bahwa penanganan pengawasan keselamatan kerja di sektor
pertambangan dan energi mendapat perhatian yang serius oleh pemerintah.
Sesuai dengan bidangnya masing-masing dalam sector pertambangan
dan energi, maka pengaturan regulasinyapun diatur berdasarkan bidang-
bidang tersebut, yakni :

3
Bidang Ketenagalistrikan
Dasar Hukum yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pengawasan
keselamatan dan kesehatan kerja bidang ketenagalistrikan adalah sebagai
berikut :
1. UU No.1 / 1970 ttg Keselamatan Kerja
2. UU No.15 / 1985 ttg Ketenagalistrikan
3. PP No.03 / 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor
10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga Listrik.
4. PP No.26 / 2006 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah
Nomor 10 tahun 1989 tentang Penyediaan dan Pemanfaatan Tenaga
Listrik.
5. Keppres No.22 / 1993 ttg Penyakit Yang Timbul Karena Hubungan Kerja
6. Kep Menaker No.5/Men/1996 ttg Sistem Manajemen K3 (SMK3)
7. Kep Direksi No.090.K/DIR/2005 ttg Pedoman Keselamatan Instalasi
8. Kep Direksi No.091.K/DIR/2005 ttg Pedoman Keselamatan Umum
9. Kep Direksi No.092.K/DIR/2005 ttg Pedoman Keselamatan Kerja
10. Kep Direksi No. 093.K/DIR/2005 ttg Pedoman Keselamatan
Lingkungan

Bidang Minyak dan Gas Bumi (Migas)


Dasar Hukum yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pengawasan
keselamatan dan kesehatan kerja bidang minyak dan gas bumi adalah sebagai
berikut :
1. Undang-undang No. 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.
2. Undang-Undang No.1 / 1970 tentang Keselamatan Kerja.
3. Mijn Politie Reglement Staatsblad 1930 Nomor 341 Peraturan
Keselamatan Kerja Tambang.
4. PP. No. 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan
Keselamatan Kerja di Bidang Pertambangan.
5. PP. No. 17 Tahun 1974 tentang Pengawasan Pelaksanaan Eksplorasi dan
Eksploitasi Migas di Daerah Lepas Pantai.

4
6. PP. No. 11 Tahun 1979 tentang Keselamatan Kerja pada Pemurnian dan
Pengolahan Minyak dan Gas Bumi.
7. PP. No. 35 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hulu Migas.
8. PP. No. 36 Tahun 2004 tentang Kegiatan Usaha Hilar Migas.
9. Permen Pertambangan Nomor 02/P/M/Pertamb/1975 Keselamatan Kerja
Pada Pipa Penyalur Serta Fasilitas kelengkapan Untuk Pengangkutan
Minyak Dan Gas Bumi Diluar Wilayah Kuasa Pertambangan Minyak
Dan Gas Bumi.
10. Permen Pertambangan No. 05/P/M/Pertamb/1977 tentang Kewajiban
Memiliki Sertifikat Kelayakan Konstruksi untuk Platform Migas di
Daerah Lepas Pantai.
11. Permen Pertambangan dan Energi No. 06P/0746/M.PE/1991 tentang
Pemeriksaan Keselamatan Kerja atas Instalasi, Peralatan dan Teknik
yang Dipergunakan dalam Pertambangan Migas dan Pengusahaan
Sumberdaya Panas Bumi.
12. Permen Energi Dan Sumber Daya Mineral Nomor : 045 Tahun 2006
Pengelolaan Lumpur Bor, Limbah Lumpur Dan Serbuk Bor Pada
Kegiatan Pengeboran Minyak Dan Gas Bumi.
13. Kepmen Pertambangan Dan Energi Nomor 300k/38/Mpe/1997
Keselamatan Kerja Pipa Penyalur Minyak Dan Gas Bumi.
14. Keputusan Direktur Jenderal Minyak Dan Gas Bumi Nomor 39
K/38/DJM/2002 tentang Pedoman Dan Tatacara Pemeriksaan
Keselamatan Kerja Atas Tangki Penimbun Minyak Dan Gas Bumi.

Bidang Pertambangan Umum.


Dasar Hukum yang menjadi landasan dalam pelaksanaan pengawasan
keselamatan dan kesehatan kerja bidang pertambangan umum adalah sebagai
berikut :
1. Undang-undang No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara.
2. Undang-undang No. 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja.

5
3. PR 1930 No. 341 tentang Peraturan Kepolisian Pertambangan
4. PP No. 19 Tahun 1973 tentang Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan
Kerja di Bidang Pertambangan.
5. Peraturan Umum Tenaga Listrik (PUIL).
6. Peraturan Menteri Tamben No. 1/P/M/Pertamb/1978 tentang
pengawasan Keselamatan Kerja Kapal Keruk.
7. Keputusan Menteri Pertambangan dan Energi Nomor :
555.K/26/M.PE/1995 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Pertambangan Umum.

Peraturan K3 Terkait Sektor Pertambangan dan Energi.


Dalam pelaksanaan pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja di
sektor pertambangan dan energi harus memperhatikan undang-undang yang
telah dibuat sebelumnya, yang sampai sekarang ini masih tetap dipakai.
Peraturan-peraturan tersebut di bawah ini, umumnya dapat dikategorikan
sebagai landasan sektor ketenagakerjaan (sektor yang khusus menangani
persoalan tenaga kerja serta segala persoalannya) dalam melakukan
pengawasan keselamatan dan kesehatan kerja.
A. Undang-Undang.
1. Undang-undang Uap Tahun 1930, mengatur tentang keselamatan
dalam pemakaian pesawat uap. Pesawat uap menurut
Undang-undang ini adalah ketel uap, dan alat-alat lain yang
bersambungan dengan ketel uap, dan bekerja dengan tekanan yang
lebih tinggi dari tekanan udara. Undang-undang ini melarang
menjalankan atau mempergunakan pesawat uap yang tidak
mempunyai ijin yang diberikan oleh kepala jawatan
pengawasan keselamatan kerja (sekarang Direktur Jenderal
Pembinaan Hubungan Ketenaga Kerjaan dan Pengawasan Norma
Kerja-Departemen Tenaga Kerja). Terhadap pesawat uap yang
dimintakan ijinnya akan dilakukan pemeriksaan dan pengujian dan
apabila memenuhi persyaratan yang diatur peraturan Pemerintah

6
diberikan Akte Ijin. Undang-undang ini juga mengatur
prosedur pelaporan peledakan pesawat uap, serta proses
berita acara pelanggaran ketentuan undang-undang ini.
2. Undang-undang nomor 3 Tahun 1969 tentang Persetujuan
Konvensi Organisasi Perburuhan Internasional nomor 120
mengenai Higiene dalam Perniagaan dan Kantor-kantor.
Undang-undang ini memberlakukan Konvensi ILO nomor 120,
yang berlaku bagi badan-badan perniagaan, jasa, dan bagian
bagiannya yang pekerjanya terutama melakukan pekerjaan kantor.
Dalam azas umum konvensi ini diatur syarat kebersihan,
penerangan yang cukup dan sedapat mungkin mendapat
penerangan alam, suhu yang nyaman, tempat kerja dan
tempat duduk, air minum, perlengkapan saniter, tempat ganti
pakaian, persyaratan bangunan dibawah tanah, keselamatan
terhadap bahan, proses dan teknik yang berbahaya,
perlindungan terhadap kebisingan dan getaran, dan perlengkapan
P3K.
3. Undang-undang No. 1 tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja terdiri
dari XI bab dan 18 pasal. Didalam penjelasan umum, disebutkan
bahwa Undang-undang ini merupakan pembaharuan dan
perluasan dibandingkan dengan undang-undang sebelumnya
(Veilegheids Reglement Tahun 1910).

B. Peraturan Pemerintah
1. Peraturan Uap 1930, mengatur pembagian pesawat uap berdasarkan
tekanan uapnya, yaitu lebih besar dari 1 kg/cm2 di atas
tekanan udara luar dan paling tinggi 1kg/cm2 di atas tekanan
udara luar. Peraturan in memuat ketentuan untuk mendapatkan ijin
penggunaan pesawat uap, serta ketentuan mengenai pesawat
uap yang tidak memerlukan akte ijin. Peraturan ini memuat
persyaratan teknis keselamatan ketel uap dan pesawat uap selain

7
ketel uap, pengering uap, penguap, bejana uap antara lain
mengenai persyaratan bahan pembuat, perlengkapan pengaman dan
tata cara pengujian.
2. Peraturan Pemerintah R.I nomor 19 Tahun 1973 tentang
Pengaturan dan Pengawasan Keselamatan Kerja di Bidang
Pertambangan, mengatur pengaturan keselamatan kerja di
bidang pertambangan dilakukan oleh Menteri Pertambangan
setelah mendengar pertimbangan Menteri Tenaga Kerja.
Menteri Pertambangan melakukan pengawasan keselamatan
kerja berpedoman kepadan Undang-undang nomor 1 Tahun
1970 serta Peraturan pelaksanaannya. Pengangkatan pejabat
pegawasan keselamatan kerja setelah mendengar pertimbangan
Menteri Tenaga Kerja. Pejabat tersebut mengadakan
kerjasama dengan pejabat pengawasan keselamatan kerja dari
departemen Tenaga Kerja baik di Pusat dan di Daerah. Juga
diatur pelaporan pelaksanaan pengawasan serta pengecualian
pengaturan dan pengawasan ketel uap dari Peraturan Pemerintah ini.
3. Peraturan Pemerintah R.I nomor 11 Tahun 1975 tentang
Keselamatan Kerja terhadap Radiasi, terdiri dari 9 Bab dan 25
pasal. Peraturan ini mewajibkan setiap instalasi atom mempunyai
petugas proteksi radiasi. Untuk mengawasi ditaatinya peraturan
keselamatan kerja terhadap radiasi perlu ditunjuk ahli proteksi
radiasi oleh instansi yang berwenang. Peraturan Pemerintah ini telah
diganti dengan Peraturan Pemerintah No. 63 tahun 2000 tentang
Keselamatan dan Kesehatan terhadap Pemanfaatan Radiasi Pengion
4. Peraturan Pemerintah R.I. No. 11 Tahun 1979 tentang
Keselamatan Kerja pada Pemurnian dan Pengolahan Minyak dan
Gas Bumi, yang terdiri dari 31 Bab dan 58 pasal mengatur tata usaha
dan pengawasan keselamatan kerja pada pemurnian dan
pengolahan minyak dan gas bumi, wewenang dan tanggung
jawab menteri pertambangan, dan dalam pelaksanaan

8
pengawasan menyerahkan kepada Dirjen dengan hak
substitusi sedang tugas dan pekerjaan pengawasan tersebut
dilaksanakan oleh kepala inspeksi dan pelaksana inspeksi
tambang. Peraturan pemerintah ini juga mengatur persyaratan
teknis keselamatan dalam pemurnian dan pengolahan mulai
dari perencanaan, pembangunan, pengoperasian, pemeliharaan
dan perbaikan instalasi, termasuk persyaratan keselamatan
untuk bangunan, jalan tempat kerja, pesawat dan perkakas,
demikian pula kompressor, pompa vakum, bejana tekan dan bejana
vakum, instalasi uap air, tungku pemanas, dan heat
exchanger, instalasi penyalur, tempat penimbunan,
pembongkaran dan pemuatan minyak dan gas bumi, pengolahan
bahan berbahaya, termasuk mudah terbakar dan mudah meledak
dalm ruang kerja, proses dan peralatan khusus, listrik,
penerangan lampu, pengelasan, penyimpanan dan pemakaian zat
radioaktif, pemadam kebakaran, larangan dan pencegahan umum,
pencemaran lingkungan, perlengkapan penyelamatan dan pelindung
diri, pertolongan pertama pada kecelakaan, syarat-syarat
pekerja, kesehatan dan kebersihan , kewajibannnnn umum
pengusaha, kepala teknik dan pekerja, pengawasan, tugas dan
wewenang pelaksana inspeksi tambang, keberatan dan
pertimbangan, ketentuan pidana, ketentuan peralihan dan penutup.

C. Peraturan Menteri.
1. Peraturan Menteri Tenaga Kerja, Transmigrasi dan Koperasi
nomor Per-03/Men/1978 tentang Persyaratan penunjukan dan
wewenang serta kewajiban Pegawai pengawas keselamatan
kerja dan ahli keselamatan kerja, terdiri atas tujuh pasal. Peraturan
menteri ini mengatur persyaratan untuk ditunjuk sebagai
pengawas keselamatan kerja dan sebagai ahli keselamatan kerja,
kewenangan dan kewajiban pegawai pengawas serta kewenangan

9
dan kewajiban ahli keselamatan. kerja. Salah satu kewajiban
pegawai pengawas dan ahli keselamatan kerja adalah menjaga
kerahasiaan keterangan yang didapat karena jabatannya.
Kesengajaan membuka rahasia ini diancam hukuman sesuai
ketentuan Undang-undang Pengawasan Perburuhan.
2. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor Per
02/Men/1980 tentang Pemeriksaan Kesehatan Kerja dalam
Penyelenggaraan Keselamatan kerja, terdiri atas sebelas
pasal. Semua perusahaan yang termasuk dalam ruang lingkup
Undang-undang Keselamatan kerja harus mengadakan
pemeriksaan kesehatan sebelum bekerja dan pemeriksaan
kesehatan berkala. Pemeriksaan kesehatan khusus dilakukan
terhadap tenaga kerja/golongan tenaga kerja tertentu.
Direktur Jenderal dapat menunjuk Badan sebagai
penyelenggara pemeriksaan kesehatan tenaga kerja.
3. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor
04/Men/1980 tentang Syarat-syarat Pemasangan dan Pemeliharaan
Alat Pemadam Api ringan, terdiri atas enam bab dan 27 pasal. Dalam
peraturan ini kebakaran digolongkan menjadi golongan A, B, C dan
D. Sedang alat pemadam api ringan dibagi menjadi jenis cairan,
jenis busa, jenis tepung kering dan jenis gas. Alat pemadam api
ringan harus ditempatkan pada posisi yang mudah dilihat dengan
jelas, mudah dicapai dan diambil dan dilengkapi tanda pemasangan.
Dalam peraturan menteri ini juga diatur tatacara pemeiiksaan
dan pemeliharaan alat pemadam api ringan.
4. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor
01/Men/1982 tentang Bejana Tekan, terdiri atas sepuluh bab dan 48
pasal. Peraturan menteri ini mencabut peraturan khusus FF
dan peraturan khusus DD. Mengatur bejana tekan selain pesawat
uap, termasuk botol-botol baja, bejana transport, pesawat
pendingin, bejana penyimpanan gas yang dikempa menjadi

10
cair terlarut atau terbeku. Peraturan ini mengatur tentang kode
warna, cara pengisian, pengangkutan, pembuatan dan
pemakaian, dan pemasangan, perbaikan dan perubahan teknis.
5. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi nomor
02/Men/1982 tentang Kualifikasi Juru Las di Tempat Kerja, terdiri
dari enam bab, dan 36 pasal. Menurut peraturan ini, juru las
digolongkan menjadi juru las kelas I, kelas II, dan kelas III.
Juru las dianggap terampil apabila telah menempuh ujian las
dengan hasil memuaskan, dan mempunyai sertifikat juru las.
Pengujian juru las terdiri dari ujian teori dan ujian praktek.
Ujian praktek harus dapat menunjukkan keterampilan mengelas
seperti yang ditentukan peraturan ini.
6. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 02 Tahun 1983 tentang
Instalasi Alarm Kebakaran Otomatik, terdiri dari delapan bab dan
87 pasal, mengatur perencanaan, pemasangan, pemeliharaan
dan pengujian instalasi alarm kebakaran otomatik di tempat
kerja. Diatur ruangan dan bagiannya yang memerlukan
detektor kebakaran. Instalasi harus dipelihara dan diuji secara
berkala, mingguan, bulanan atau tahunan, yang diatur tatacaranya
dalam peraturan ini. Juga diatur berbagai sistem detektor alarm
kebakaran, antara lain sistem deteksi panas, asap dan api.
7. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 03 Tahun 1985 tentang
Keselamatan dan Kesehatan kera Pemakaian Asbes, terdiri
atas sepuluh bab dan 25 pasal, melarang pemakaian asbes biru dan
cara penggunaan asbes dengan menyemprotkan. Selain itu
diatur kewajiban pengurus untuk menyediakan alat pelindung
diri, penerangan pekerja, melaporkan proses dan jenis asbes yang
digunakan, memasang tanda/rambu, pengendalian debu asbes,
analisa debu asbes, buku petunjuk mengenai bahaya debu asbes dan
cara pencegahannya. Kewajiban tenaga kerja untuk memakai
alat pelindung diri, memakai dan melepas alat pelidung diri di

11
tempat yang ditentukan, dan melaporkan kerusakan alat pelindung
diri, alat kerja dan/atau ventilasi. Selain itu diatur kebersihan
lingkungan kerja, dan pemeriksaan kesehatan tenaga kerja.
8. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 04 Tahun 1985 tentang
Pesawat Tenaga dan Produksi, terdiri atas dua belas bab dan 147
pasal, mengatur ketentuan umum teknis keselamatan kerja
pada pesawat tenaga dan pesawat produksi, ketentuan
mengenai alat perlindungan, pengujian bagi bejana tekan sebagai
penggerak mula motor diesel, keselamatan perlengkapan
transmisi mekanik, keselamatan mesin perkakas dll. Juga diatur
mengenai pemeriksaan, pengujian dan pengesahan pesawat tenaga
dan pesawat produksi.
9. Menteri Tenaga Kerja nomor 05 Tahun 1985 tentang
Pesawat angkat dan Angkut, terdiri atas dua belas bab
dan 146 pasal, mengatur perencanaan, pembuatan,
pemasangan, peredaran, pemakaian, perubahan dan atau perbaikan
teknis,serta pemeliharaan pesawat angkat dan angkut. Syarat
keselamatan mencakup bahan konstruksi, serta perlengkapan
pesawat angkat dan angkut, harus cukup kuat, tidak cacat dan
memenuhi syarat. Beban maksimum yang diijinkan harus ditulis
pada bagian yang mudah dilihat dan dibaca dengan jelas. Setiap
pesawat angkat dan angkut tidak boleh dibebani melebihi beban
maksimum yang diijinkan. Peraturan ini mengatur syarat-
syarat teknis berbagai pesawat angkat dan angkut, termasuk
komponen-komponennya. Demikian pula pesawat angkutan di atas
landasan dan diatas permukaan, alat angkutan jalan riil, pengesahan,
pemeriksaan dan pengujian.
10. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 04 Tahun 1987 tentang
Panitia Pembina Keselamatan dan Kesehatan Kerja dan Tata-cara
Penunjukan Ahli Keselamatan Kerja, terdiri dari 16 pasal.
Peraturan Menteri ini mewajibkan pengusaha atau pengurus tempat

12
kerja yang mempekerjakan 100 orang pekerja atau lebih atau
menggunakan bahan, proses dan instalasi yang mempunyai
risiko besar terjadi peledakan, kebakaran, keracunan dan
penyinaran radioaktif membentuk P2K3. Keanggotaan P2K3
adalah unsur pengusaha dan unsur pekerja. Sekretaris P2K3 adalah
ahli K3 dari perusahaan yang bersangkutan. Selain mengatur tugas
dan fungsi p2K3, juga mengatur tentang tatacara penunjukan ahli
K3.
11. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 01 Tahun 1988 tentang
Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator Pesawat Uap, terdiri
atas delapan bab dan 13 pasal. Kualifikasi operator pesawat uap
terdiri dari operator kelas I dan operator kelas II. Peraturan
ini mengatur persyaratan pendidikan, pengalaman, umur,
kesehatan, administrasi, mengikuti kursus operator dan lulus
ujian sesuai kualifikasinya. Operator diberi kewenangan
sesuai dengan kualifikasinya. Jumlah dan kualifikasi operator
untuk ketel uap serta kurikulum operator sesuai kualifikasinya
dicantumkan dalam lampiran peraturan ini.
12. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 04 Tahun 1988 tentang
Berlakunya Standard Nasional Indonesia (SNI) No: SNI-225-
1987 Mengenai Peraturan Umum Instalasi Listrik Indonesia
1987 (PUIL 1987) di Tempat Kerja, terdiri atas sepuluh pasal,
memberlakukan PUIL 1987 di tempat kerja. Pengurus wajib
menyesuaikan instalasi listrik yang digunakan di tempat kerjanya
dengan ketentuan SNI 225-1987.
13. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 01 Tahun 1989 tentang
Kualifikasi dan Syarat-syarat Operator Keran Angkat,
terdiri atas delapan bab dan 13 pasal. Kualifikasi operator terdiri
dari operator kelas I, Operator kelas II dan operator kelas
III. Peraturan ini mengatur persyaratan pendidikan,
pengalaman, umur, kesehatan, administrasi, mengikuti kursus

13
operator dan lulus ujian sesuai kualifikasinya. Operator
diberi kewenangan sesuai dengan kualifikasinya, dan mempunyai
kewajiban dan tanggung jawab sesuai dengan kualifikasinya. Jumlah
dan kualifikasi operator untuk masing-masing keran dicantumkan
dalam lampiran peraturan ini.
14. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 02 Tahun 1989 tentang
Pengawasan Instalasi Penyalur Petir, terdiri atas sebelas bab dan 60
pasal, mengatur persyaratan istalasi penyalur petir tentang
kemampuan perlindungan, ketahanan teknis dan ketahanan terhadap
korosi, persyaratan bahan dan sertifikat atau hasil pengujian bagian-
bagian instalasi. Memuat persyaratan teknis untuk penerima,
penghantar penurunan, pembumian, menara, bangunan yang
mempunyai antena, persyaratan instalasi penyalur petir untuk
cerobong asap. Selain itu diatur juga pemeriksaan dan
pengujian, pengesahan dan ketentuan pidana.
15. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 02 Tahun 1992
tentang Tatacara Penunjukan Kewajiban dan Wewenang Ahli
Keselamatan dan Kesehatan Kerja, terdiri dari lima bab dan 15
pasal, mengatur persyaratan untuk dapat ditunjuk menjadi
ahli keselamatan dan kesehatan kerja harus memenuhi persyaratan
pendidikan, pengalaman, pekerjaan, dan lulus seleksi. Ditetapkan
berdasarkan permohonan dari pimpinan instansi dan dokumen
pribadi yang perlu dilampirkan.. Kewajibannya adalah
membantu mengawasi pelaksanaan peraturan perundang-
undangan K3 dan melaporkan pelaksanaan tugasnya kepada
Menteri Tenaga Kerja serta merahasiakan keterangan yang didapat
karena jabatannya. Diatur pula kewenangan Ahli Keselamatan Kerja
untuk memasuki tempat kerja, minta keterangan, memonitor dan
menetapkan syarat keselamatan dan kesehatan kerja.
16. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 05 Tahun 1996 tentang
Sistem Manajemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja, terdiri

14
dari sepuluh bab dan 12 pasal serta tiga lampiran, mengatur
tujuandan sasaran Sistem Manajemen K3, kriteria
perusahaan yang wajib melaksanakannya, dan harus dilaksanakan
oleh pengurus, pengusaha dan seluruh tenaga kerja sebagai suatu
kesatuan. Ketentuan-ketentuan yang wajib dilaksanakan perusahaan
dalam menerapkan SMK3. Selain itu ketentuan mengenai Audit
SMK3 dan Sertifikat Keselamatan dan Kesehatan Kerja.
Lampiran I memuat pedoman penerapan SMK3, lampiran II
memuat pedoman teknis audit, lampiran III memuat formulir laporan
audit dan lampiran IV memuat ketentuan penilaian hasil audit.
17. Peraturan Menteri Tenaga Kerja nomor 03 Tahun 1998
tentang Tatacara Pelaporan dan Pemeriksaan Kecelakaan, terdiri dari
enam bab dan 15 pasal, mengatur kewajiban pengurus atau
pengusaha DK3N – LK3I 12melaporkan kecelakaan, tatacara
pelaporan dan pemeriksaan dan pengkajian kecelakaan oleh
pengawas ketenagakerjaan. Lampiran satu adalah bentuk laporan
kecelakaan, lampiran II laporan pemeriksaan dan pengkajian
kecelakaan kerja, lampiran III bentuk laporan pemeriksaan dan
pengkajian penyakit akibat kerja, lampiran IV bentuk
laporan pemeriksaan dan pengkajian peristiwa kebakaran/
peledakan/bahaya pembuangan limbah.

15
2. STANDAR K3 INTERNASIONAL
ILO-OSH 2001, Standar K3 dari PBB

Pada beberapa kesempatan yang lalu, ISO Center telah mengupas


beberapa standar K3 baik dari tingkat global (OHSAS 18001 dan ISO 45001)
maupun nasional (SMK3 PP No.50 Tahun 2012). Kali ini ISO Center akan
mengupas lagi salah satu standar K3 di tingkat internasional yang mungkin
jarang didengar oleh banyak orang. Standar tersebut adalah Standar ILO-
OSH 2001.
Standar ILO-OSH 2001 Occupational Safety and Health Management
Systemsadalah standar Internasional yang diterbitkan oleh PBB (Perserikatan
Bangsa-Bangsa / United Nations) yang mengatur penerapan Sistem
Manajemen dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja secara Nasional maupun
di tingkat Organisasi (Perusahaan).
Standar ILO-OSH 2001 memberikan suatu model yang cukup unik di
tingkat internasional, cocok dengan standar sistem manajemen dan semua
pedoman yang terkait dengannya. Tidak mengikat secara hukum, dan tidak
dimaksudkan untuk menggantikan hukum nasional, regulasi, dan standar
yang telah diterima oleh umum. Ini menggambarkan bahwa nilai-nilai pada
ILO, seperti persetujuan antara tiga pihak, dan relevan dengan standar
internasional yang termasuk di dalamnya Konvensi Keselamatan dan
Kesehatan tahun 1981 dan Konvensi Pelayanan Kesehatan Kerja tahun 1985.
Pengaplikasiannya tidak memerlukan sertifikasi, tetapi tidak
mengecualikan sertifikasi sebagai alat pengakuan praktek yang baik jika ini
adalah keinginan negara tersebut dalam melaksanakan pedoman-pedoman
ILO demi mendorong terjadinya integrasi Sistem Manajemen K3 dengan

16
system manajemen lain, dan menyatakan bahwa K3 harus menjadi bagian
integral dari manajemen bisnis. Sedangkan integrasi yang diinginkan,
diperlukan pengaturan yang fleksibel tergantung pada ukuran dan jenis
operasi. Memastikan kinerja K3 yang baik adalah lebih penting daripada
formalitas integrasi. Standar ILO-OSH 2001 menekankan bahwa K3 harus
menjadi tanggung jawab manajemen lini di organisasi. Pedoman memberikan
panduan untuk implementasi pada dua tingkat : Organisasi dan Nasional.
Kelebihan dari standar ILO-OSH 2001 ialah terdapat tuntunan untuk
menerapkan Kebijakan K3 dan Standar K3 secara Nasional kemudian
mewajibkan seluruh Organisasi yang berada di wilayah ataupun kendali
Negara menerapkan Kebijakan K3 dan Standar K3 sesuai yang ditetapkan
oleh Negara.
Akan tetapi standar ILO-OSH 2001 tidak secara mutlak mengharuskan
teknis penerapan K3 secara Nasional seperti disebutkan di atas dikarenakan
standar ILO-OSH 2001 juga bisa diterapkan secara individual dalam
Organisasi (Perusahaan).

Penerapan Standar ILO-OSH 2001 di Tingkat Nasional


Pada tingkat nasional, mereka menyediakan untuk pembentukan
kerangka nasional demi system manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
(K3), hal ini sebaiknya didukung oleh UU dan peraturan nasional. Aksi di
tingkat nasional termasuk nominasi dari lembaga yang kompeten untuk
sistem manajemen K3, perumusan kebijakan nasional yang koheren dan
pembentukan kerangka kerja untuk aplikasi nasional yang efektif dari Standar
ILO-OSH 2001, baik dengan cara langsung melaksanakan dalam organisasi
atau yang adaptasi dengan kondisi nasional dan praktek oleh pedoman
nasional serta kebutuhan spesifik organisasi sesuai dengan ukuran dan sifat
kegiatan (oleh pedoman disesuaikan).
Kebijakan nasional untuk system manajemen K3 harus dirumuskan
oleh lembaga yang kompeten dalam berkonsultasi dengan organisasi pekerja
dan pengusaha, selain itu juga harus mempertimbangkan:

17
1. Promosi Sistem Manajemen K3 sebagai bagian dari manajemen
keseluruhan
2. Menghindari birokrasi, administrasi, serta biaya yang tidak terlalu
diperlukan,
3. Dukungan oleh Inspektorat tenaga kerja, keselamatan dan kesehatan,
juga layanan lainnya.

Penerapan Standar ILO-OSH 2001 di Tingkat Organisasi


Pedoman menekankan bahwa kepatuhan terhadap hukum dan peraturan
nasional adalah tanggung jawab majikan. ILO-OSH 2001 mendorong
terintegrasinya elemen sistem manajemen K3 ke dalam kebijakan secara
keseluruhan dan pengaturan manajemen, serta menekankan hal tersebut pada
tingkat organisasi, K3 harus menjadi tanggung jawab lini manajemen, dan
tidak harus dilihat sebagai tugas untuk departemen K3 dan/atau spesialis.
Sistem manajemen K3 dalam organisasi memiliki lima bagian utama
yang mengikuti siklus berstandar internasional, yakni siklus Plan-Do-Check-
Act, dimana dasar dari pendekatan sistem ini diperuntukan bagi manajemen.
Bagian tersebut adalah Kebijakan, Pengorganisasian, Perencanaan dan
Pelaksanaan, Evaluasi, danTindakan Perbaikan.
Kebijakan tersebut mengandung unsur-unsur kebijakan K3 dan
partisipasi kerja. Hal itu adalah dasar dari system manajemen K3, seperti
menentukan arah bagi organisasi untuk mengikutinya.
Pengorganisasian (Organizing) dalam hal ini mengandung unsur
tanggung jawab dan akuntabilitas, kompetensi dan pelatihan, dokumentasi
dan komunikasi. Utamanya daripada hal tersebut untuk memastikan struktur
manajemen di tempat, serta tanggung jawab yang diperlukan dialokasikan
untuk memberikan kebijakan K3.
Perencanaan dan implementasi (Planning and
Implementation) mengandung unsur-unsur dari tinjauan awal, sistem
perencanaan, pengembangan dan implementasi, tujuan K3 dan pencegahan
bahaya. Melalui kajian awal, menunjukkan di mana organisasi tersebut berdiri

18
khususnya tentang K3, dan menggunakan hal ini sebagai dasar untuk
melaksanakan kebijakan K3.
Evaluasi (Evaluation) mengandung unsur-unsur pemantauan dan
pengukuran kinerja, investigasi cedera yang berhubungan dengan pekerjaan,
sakit dan sehat, penyakit dan insiden, serta audit dan tinjauan manajemen. Hal
itu menunjukkan bagaimana fungsi sistem manajemen K3 dan
mengidentifikasi setiap kelemahan yang perlu diperbaiki. Hal ini termasuk
unsur yang sangat penting dari audit, yang harus dilakukan pada setiap tahap.
Pihak independen dari kegiatan yang akan diaudit haruslah melakukan audit.
Hal ini tidak selalu berarti auditor itu dari pihak ketiga saja.
Tindakan Perbaikan mencakup unsur-unsur tindakan pencegahan dan
perbaikan yang ditingkatkan secara terus-menerus. Hal tersebut menerapkan
tindakan preventif dan korektif yang diperlukan, lalu diidentifikasi,
dievaluasi, serta di audit pula. Hal tersebut juga menekankan perlunya
perbaikan secara terus-menerus terhadap kinerja K3 melalui perkembangan
kebijakan yang konstan, sistem dan teknik untuk mencegah dan
mengendalikan cedera yang berhubungan dengan pekerjaan, kesakitan,
penyakit, dan insiden.
Jika anda berminat untuk mendapatkan dokumen Standar ILO-OSH
2001, silakan untuk menghubungi kami via ChatWeb yanga da pada website
ini. Kami akan memberikan kepada anda secara gratis.
Demikian penjelasan dari ISO Center terkait Standar ILO-OSH 2001,
semoga bermanfaat untuk menambah pengetahuan anda terkait Standar K3
yang ada di tingkat internasional.

Standar Sistem Manajemen K3 atau Occupational Health and Safety


Assesment Series (OHSAS 18001)
Posted on April 12, 2013
Berbagai alasan perusahaan menerapkan Sistem Manajemen
Keselamatan dan Kesehatan Kerja (SMK3) atau Occupational Health and
Safety Assesment Series(OHSAS 18001). Ada yang sekedar ikut-ikutan trend,

19
upaya pencitraan perusahaan, memenuhi keinginan pelanggan (Customer),
benar-benar mengganggap OHS / K3 merupakan kewajiban perusahaan untuk
menerapkannya ataupun kombinasi berbagai alasan. Sebelum masuk
penerapan K3, alangkah baiknya memaknai Lambang dan Arti dari lambang
K3 tersebut.
Bentuk lambang : Palang dilingkari roda bergerigi sebelas berwarna
hijau di atas dasar putih.
Arti dan makna lambang :
Palang : Bebas dari kecelakan dan sakit akibat kerja.
Roda gigi : Bekerja dengan kesegaran jasmani dan rohani
Warna putih : Bersih, Suci
Warna hijau : selamat, sehat dan sejahtera
Sebelas gerigi roda : 11 Bab dalam Undang-undang No. 1 tahun 1970
tentang Keselamatan Kerja

1. Ruang Lingkup
Seri persyaratan penilaian keselatan dan keselamatan kerja ini
memuat persyaratan sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja
(K3) agar organisasi mampu mengendalikan resiko-resiko K3 dan dapat
meningkatkan kinerja K3 nyq. Persyaratan ini tidak secara khusus
menyatakan kriterira kinerja K3 (yang harus dipenuhi), juga tidak
memberikan spesifikasi detil tentang sistem manajemen.
Standar OHSAS ini dapat diterapkan oleh organisasi yang inging:
1. Menerapkan sistem manajemen K3 untuk mengurangi atau
menghilangkan resiko kecelakaan dan keselamatan terkait aktifitas
organisasi pada personil dan pihak lain yang berkepentingan.
2. Menerapkan, memelihara dan terus meningkatkan sistem manajemen
K3
3. Menjamin bahwa organisasi sesuai dengan kebijakan K3 yang dibuat
sendiri oleh organisasi
4. Menunjukkan kesesuai dengan standar OHSAS ini dengan cara:

20
a. Melakukan penilaian diri sendiri dan mendeklarasikan diri sendiri
(sesuai dengan standar OHSAS ini)
b. Mendapat pengakuran kesesuaian (dengan standar OHSAS ini)
dari pihak-pihak yang berkepentingan seperti pelanggan.
c. Mendapat pengakuan untuk menguatkan deklarasi (point a) dari
pihak ketiga.
d. Mendapatkan sertifikat sistem manajemen K3
Standar OHSAS ini dimaksudkan untuk hanya mencakup
kesehatan dan keselamatan kerja, dan tidak dimaksudkan untuk
mencakup area lain seperti program kesehatan karyawan (asuransi
dan sebagainya), keamanan produk, kerusakan properti dan
dampak lingkungan.
2. Publikasi yang menjadi acuan
Beberapa standar yang memberikan informasi atau panduan yang
berkaitan dengan stndar OHSAS 18001 ini:
 OHSAS 18002, sistem manajemen K3 – pandukan untuk penerapan
OHSAS 18001
 International Labour Organization:2001, Panduan sistem manajemen
kesehatan dan keselamatan kerja.
3. Istilah dan Definisi
Berikut ini adalah Istilah yang definisi yang berlaku yang digukan
dalam dokumen OHSAS 18001 ini:
3.1 Resiko yang dapat diterima
Resiko yang telah diturunkan hingga menjpai tingkat yang dapat
ditoleransi dengan mempertimbangkan peraturan legal dan kebijakan
K3 organisasi.
3.2 Audit
Proses sistematic, independen dan terdokumentasi unutk
memperleh bukti audit dan mengevaluasinya secara objective untuk
menentukan sejauh mana kriteria audit terpenuhi.

21
Catatan 1: Independen tidak berarti harus pihak dari luar organisasi.
Dalam banyak kasus, khususnya di organisasi kecil, independensi dapat
berarti bebas dari tanggung jawab terhadap aktifitas yang diaudit.
Catatan 2: Untuk panduan lebih lanjut tentang bukti audit dan kriteria
audit, lihat ISO 19011.
3.3 Peningkatan berkelanjutan
Proses berulang untuk meningkatkan sistem manajemen K3 untuk
mencapai peningkatan dalam kinerja K3 secara keseluruhan yang
selaras dengan kebijakan K3 organisasi.
Catatan 1 Proses Peningkatan tidak perlu dilakukan di semua area
secara bersamaan.
Catatan 2 Definisi diatas disadur dari ISO 14001:2004
3.4 Tindakan koreksi
Tindakan untuk menghilangkan penyebab ketidaksesuaian atau
situasi yang tidak diinginkan yang terdeteksi.
Catatan 1 Bisa saja ada lebih dari satu penyebab ketidaksesuaian.
Catatan 2: Tindakankoreksi adalah tindakan yang diambil untuk
mencegah terulangnya kejadian sedangkan tindakan pencegahan
diambil untuk mencegah terjadinya kejadian (yang belum terjadi).
3.5 Dokumen
Informasi dan media pendukungnya.
Catatan: Media dapat berupa kerjtas, magnetik, CD, foto atau sample
master atau kombiasi dari hal hal tersebut.
3.6 Bahaya (hazard)
Sumber, situasi, tindakan yang potensial menimbulkan cedera atau
penyakit atau kombinasi keduanya terhadap manusia.
3.7 Identifikasi bahawa
Proses untuk mengetahui adanya bahaya dan menentukan sifat-safatnya.

22
3.8 Penyakit
Kondisi fisik atau mental yang meburuk yang dapat diketahui
yang mucul dari dan/atau diperburuk oleh aktifitas dalam pekerjaan
dan/atau situasi yang berhubungan dengan pekerjaan.
3.9 Insiden
Kejadian terkait dengan pekerjaan dimana terjadi atau dapat saja
terjadi cedera atau penyakit (terlepas dari tingkat bahayanya) atau
terjadinya kamatian.
Catatan 1: Kecelakaan (accident) adalah insiden yang menyebabkan
cidera, penyakit atau kematian.
Catatan 2: Suatu insiden yang tidak menyebabkan cidera, penyakit atau
kematian dapat disebut nyaris terjadi (near miss), nyaris terkena (near
hit, near call) atau kejadian berbahaya.
Catatan 3: Suatu keadaan darurat merupakan suatu jenis insiden khusus.
3.10 Pihak-pihak terkait
Individu atau kelompok, di dalam dan diluar lokasi kerja yang
berkepentingan atau yang dipengaruhi oleh kinerja K3 organisasi.
3.11 Ketidaksesuaian
Tidak terpenuhinya persyaratan
Catatan A: Ketidaksesuaian dapat berupa penyimpangan terhadap:
 Standar kerja, prektek, prosedur, persyaratan legal yang terkait.
 Persyaratan-persyaratan sistem manajemen K3.
3.12 Keselamatan dan kesehatan kerja
Kondisi dan faktor-faktor yang mempengaruhi atau dapat
mempengaruhi kesehatan dan keselamatan karyawan atau pekerja
(termasuk pekerja sementara dan personal kontraktor), pengunjung atau
orang lain dalam lokasi kerja.
Catatan: Organisasi dapat terkena persyaratan legal tentang kesehatan
dan keselamatan orang diluar tempat kerja langsung, atau yang terkena
dampak dan aktifitas di tempat kerja.

23
3.13 Sistem Manajemen K3
Bagian dari sistem manajemen organisasi untuk membangun dan
menerapkan kebijakan K3 dan mengelola resiko resiko K3.
Catatan1: Sistem manajemen adalah sekumpulan elemen yang berkaitan
yang digunakan untuk menetapkan kebijakan dan sasaran dan untuk
mencapai sasaran tersebut.
Catatan 2: Sistem manajemen mencakup struktur organisasi, aktifitas
perencanaan (termasuk, sebagai contoh, penilaian resiko dan penetapan
sasaran), tanggung jawab, praktek-praktek, prosedur-prosedur, proses-
proses dan sumber daya.
Catatan 3: Diadopsi dari ISO !$001:2004
3.14 Sasaran K3
Sasaran terkait dengan kinerja K3 yang ditetapkan organisasi
untuk dicapai.
Catatan 1: Sasaran harus quantitatif sejauh memungkinkan.
Catatan 2: Klausul 4.3.3 mensyaratkan bahwa sasaran K3 konsisten
dengan kebijakan K3.
3.15 Kinerja K3
Hasil terukur dari pengelolaan organisasi terhadap resiko-resiko K3.
Catatan 1: Pengukuran Kinerja K3 mencakup pengukuran dan
efektifitas dari pengendalian yang dilakukan organisasi.
Catatan 2:Dalam konteks sistem manajemen K3, hasil dapat diukur
terhadap kebijakan K3, Sasaran K3 dan persyaratan kinerja K3 yang
lain.
3.16 Kebijakan K3
Arahan yang bersifat menyeluruh bagi organisasi terkait dengan
kinerja K3 dan secara formal diungkapkan oleh manajemen puncak.
Catatan1: Kebijakan K3 memberi kerangka untuk melakukan tindakan
dan untuk menetapkan sasaran K3.

24
3.17 Organisasi
Perusahaan, korporasi, firma, kelompok perusahaan, lembaga,
instituis atau kombinasi dari hal tersebut, kelompok atau bukan, publik
ataupun pribadi yang mempunyai fungsi dan adminsitrasi sendir.
Catatan: Untuk organisasi dengan lebih dari satu unit operasi, unit
operasi tunggal dapat disebut sebagai organisasi.
3.18 Tindakan Pencegahan
Tindakan untuk menghilangkan penyebab dari ketidaksesuaian
yang potensial terjadi atau situasi atau kondisi yang tidak diinginkan
yang potensial terjadi.
Catatan 1: Penyebab ketidak sesuaian potensial bisa saja lebih dari 1
Catatan 2: Tindakan pencegahan diambil untuk mencegah terjadinya
suatu kejadian (yang belum terjadi) sedang tindakan koreksi diambil
untuk mencegah terulangnya kejadian (yang sudah terlanjur terjadi).
3.19 Prosedur
Cara untuk melakukan aktifitas atau untuk melakukan proses.
3.20 Catatan
Dokumen yang yang menggambarkan hasil yang dicapai dari aktifitas
yang dilakukan atau menggambarkan bukti dari aktifitas yang
dilakukan.
3.21 Resiko
Kombinasi dari tingkat kemungkinan terjadinya suatu kejadian
yang berbahaya atau yang mengakibatkan bahaya dan tingkat keparahan
dari cedera atau penyakit yang diakibatkan.
3.22 Penialian resiko
Proses untuk mengavaluasi resiko yang muncul dari suatu bahaya,
dengan mempertimbangkan kelayakan kontrol yang ada, dan
memutuskan apakah resiko tersebut dapat diterima atau tidak.
3.23 Area kerja
Suatu lokasi fisik dimana aktifitas terkait dengan pekerjaan
dilakukan dibawah kontrol organisasi.

25
Catatan: Untuk menentukan mana yang termasuk ‘area kerja’,
organisasi perlu mempertimbangkan dampak K3 terhadap personil
yang, misalnya, melakukan perjalanan atau transit (mengemudi,
melakukan perjalan dengan pesawat terbang, kapal laut ataupun
kerena), bekerja di tempat klien atau pelanggan, bekerja dirumah.
4.1 Persyaratan Umum
Organisasi haris menetapkan, mendokumentasikan, menerapkan,
memeliharai dan meningkatkan secara berkelanjutan sistem manajemen
kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sesuai dengan persyaratan
standar OHSAS ini dan menentukan bagaimana sistem tersebut
memenuhi persyaratan ini.
Organisasi harus menentukan dan mendokumentasikan lingkup sistem
manajemen K3-nya.
4.2 Kebijakan K3
Manajemen puncak harus menetapkan dan mengesahkan
kebijakan K3 dan menjamin bahwa kebijakan tersebut:
a. Sesuai dengan sifat dan skala resiko K3 yang ada di organisasinya
masing-masing
b. Mencakup komitmen untuk mencegah kecelakaan dan
berkurangnya kesehatan secara berkelanjutan meningkatkan sistem
manajemen K3 dan kinerja K3.
c. Mencakup komitmen untuk paling tidak sesuai persyaratan legal
yang berlakudan dengan persyaratan lain
d. Memberi kerangka untuk penetapan dan peninjauan sasaran K3;
e. Di dokumentasikan, diterapkan dan dipelihara
f. Di komunikasikan ke semua orang yang bekerja dibawah kontrol
organisasi agar mereka menyadari kewajiban individual mereka
terkait K3;
g. Terbuka bagi pihak-pihak yang berkepentingan; dan
h. Di tinjau secara berkala untuk menjamin bahwa kebijakan tersebut
masih relevan dan tepat bagi organisasi

26
4.3 Perencanaan
4.3.1 Identifikasi bahaya, penilaian resiko dan penetapan kontrol
Organisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara
prosedur-prosedure untuk identifikasi bahaya secara berkelanjutan,
penilaian resiko dan penentuan kontrol-kontrol yang diperlukan.
Prosedur-prosedur untuk identifikasi bahaya dan penilaian resiko harus
mempertimbangkan:
a. Aktifitas rutin dan non-rutin
b. Aktifitas dari semua orang yang mempunyai akses ke lokasi kerja
(termasuk kontraktor dan pengunjung)
c. Perilaku orang, kemampuan dan faktor-faktor manusia lainnya.
d. Bahaya yang telah teridentifikasi yang berasal dari luar lokasi kerja
yang dapat merugikan kesehatan dan keselamatan orang-orang di
lokasi kerja.
e. Bahaya bagi lingkungan sekitar lokasi kerja yang dihasilkan oleh
aktifitas-aktifitas dari lokasi kerja
Catatan 1: Lebih tepat bila bahaya seperti diatas dinilai sebagai
aspek lingkungan.
f. Infrastruktur, peralatan dan material di lokasi kerja, baik yang
dihasilkan oleh organisasi maupun oleh pihak lain;
g. Perubahan-perubahan atau rencana perubahan dalam organisasi,
aktifitas atau material.
h. Perubahan dari sistem manajemen K3, termasuk perubahan
sementara dan akibat dari perubahan tersebut bagi operasi, proses
dan aktifitas;
i. Semua persyaratan legal terkait dengan penilaian resiko dan
penerapan kontrol yang diperlukan;
j. Rancangan area kerja, proses, instalasi, peralatan, prosedur
operasional dan pengaturan kerja, termasuk penyesuaiannya dengan
kemampuan manusia

27
Metodologi untuk identifikasi bahaya dan penilaian resiko harus:
a. Ditentukan lingkupnya, sifatnya, waktunya untuk menjamin agar
identifikasi bahaya dan penilaian resiko dilakukan secara pro-aktif,
bukan reactif; dan
b. Memberi panduan untuk identifikasi, prioritasisasi dan dokumentasi
resiko, dan penerapan kontrol dengan layak.
Untuk mengatur perubahan, organisasi harus mengidentifikasi
bahaya K3 dan resiko K3 yang berhubungan dangan perubahan-
perubahan dalam organisasi, sistem manajemen atau aktifitas sebelum
perbuahan-perubahan tersebut diberlakukan.
Organisasi harus menjamin bahwa hasil dari penilaian
dipertimbangkan dalam menentukan kontrol.
Ketika menentukan kontrol, atau ingin merubah kontral yang
sudah ada, harus dipertimbangkan untuk menurunkan resiko menurut
hirarki sebagai berikut:
a. Penghilangan
b. Penggantian
c. Kontrol secara teknis
d. Pemberian tanda dan/atau kontrol administatif
e. Pemakaian peralatan pelindung
Organisasi harus mendokumentasikan hasil dari identifikasi
bahaya, penilaian resiko dan kontrol yang ditentukan dan menjaga
dokumentasi tersebut tetap up-to-date.
Organisasi harus menjamin agar resiko K3 dan kontrol yang telah
ditentukan dipertimbangkan dalam menngembangkan, menerapkan dan
memelihara sistem manajemen K3.
Catatan 2: Untuk panduan lebih lanjut mengenai identifikasi bahaya,
penilaian resiko dan penentuan kontrol, lihat OHSAS 18002.

28
4.3.2 Persyaratan Legal dan Persyaratan Lainnya.
Oerganisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara
prosedur untuk mengidentifikasi dan mengakses persyaratan-
persyaratan legal K3 dan lainnya yang berlaku bagi organisasi masing
masing.
Organisasi harus menjamin agar persyaratan-persyaratan tersebut
dipertimbangkan dalam menetapkan, menerapkan dan memelihara
sistem manajemen K3-nya.
Organisasi harus menjaga agar informasi tersebut (persyaratan-
persyaratan K3) tetap up-to-date.
Organisasi harus mengkomunikasikan informasi yang relevan
terkait persyaratan-persyaratan K3 tersebut kepada personil-personil
yang bekerja dalam kontrol organisasi dan kepada pihak-pihak lain
yang berkepentingan.
4.3.3 Sasaran dan Program
Organisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara
sasaran terkokumentasi yang terdokumentasi, pada fungsi-fungsi dan
tingkatan yang relevan dalam organisasi.
Sasaran harus terukur, sejauh memungkinkan, dan konsisten
dengan kebijakan K3, termasuk komitmen untuk mencegah terjadinya
luka atau masalah kesehatan, untuk sesuai dengan persyaratan legal dan
persyaratan lainnya yang berlaku dan untuk peningkatan berkelanjutan.
Saat menentukan dan meninjau sasaran, organisasi harus
mempertimbangkan persyaratan-persyaratan legal dan persyaratan
lainnya dan resiko-resiko K3. Organisasi juga harus
mempertimbangkan pilihan-pilihan teknologi yang tersedia, masalah
finansial, operasioan dan persyaratan-persyaratan bisnis, dan
pandangan-pandangan dari pihak-pihak yang berkepentingan.
Organisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara
program-program untuk mencapai sasaran. Minimal, program harus
mencakup:

29
a. Penentuan tanggung jawab dan wewenang untuk mencapai sasaran-
sasaran pada fungsi-fungsi dan tingkatan yang relevan dalam
organisasi, dan
b. Cara dan kerangka waktu sasaran tersebut akan dicapai.
Program-program harus ditinjau secara berkala pada interval yang
terencana, harus di sesuaikan bila diperlukan untuk menjamain sasaran-
sasaran tersebut dapat tercapai.
4.4 Penerapan dan operasi
4.4.1 Sumber daya, peranan, tanggung jawab, akuntabilitas dan
kewenangan.
Manajemen puncak harus mengambil tanggung jawab tertinggi
untuk K3 dan sistem manajemen K3.
Manajemen puncak harus menunjukkan komitmennya dengan cara:
a. Menjamin tersedianya sumber daya yang penting untuk
menetapkan, menerapkan, memelihara dan meningkatkan sistem
manajemen K3.
Catatan 1: Sumber daya mencakup sumber daya manusia dan skil
khusus, infrastruktur, teknologi dan finansial.
b. Menentukan peranan, mengalokasikan penanggung jawab dan
akuntabilitas, dan mendelegasikan kewenangan untuk memfasilitasi
manajemen K3. Peranan, tanggung jawab dan akuntabilitas, dan
kewenangan harusdikokumnetasikan dan dikomunikasikan.
Organisasi harus menunjuk anggota dan manajemen puncak
dengan tanggung khusus untuk K3, yang mempunyai peranan dan
tangung jawab untuk (diluar tanggung jawab lainnya):
a. Menjamin bahwa sistem manajemen K3 ditetapkan, diterapkan dan
dipelihara sesuai dengan standar OHSAS ini.
b. Menjamin agar laporan-laporan terkait kinerja sistem manajemen
K3 di berikan kepada manajemen puncak untuk ditinjau dan
digunakan sebagai dasar peningkatan sistem manajemen K3.

30
Catatan 2: Manajemen puncak yang ditunjuk (dalam organisasi besar,
misalnya, anggota komite eksekutif atau dewan eksekuit) dapat
mendelegasikan tugas-tugas mereka kepada wakil manajemen di bawah
mereka dengan tetap mempertahankan akuntabilitas.
Identitas dari manajemen puncak yang ditunjuk harus dapat
diketahui oleh semua orang yang bekerja di bawah kontrol organisasi.
Semua yang mempunyai tanggung jawab manajemen harus
menunjukkna komitmen mereka untuk peningkatan secara
berkelanjutan kinera K3.
Orgnisasi harus menjamin agar orang-orang di lokasi kerja
mengambil tanggung jawab terhadap aspek-aspek K3 yang berada
dalam kontrol mereka dan taat kepada persyaratan-persyaratan K3 yang
berlaku.
4.4.2 Kompetensi, pelatihan dan kesadaran
Organisasi harus menjamin agar semua orang yang bekerja di
bawah kontrol organisasi, yang melakukan pekerjaan yang dapat
berdampak kepada K3 adalah orang-orang yang berkompeten dilihat
dari pendidikan, pelatihan atau pengalaman. Organisasi harus
menyimpan catatan-catatan terkait kompetensi tersebut.
Organisasi harus mengidentifikasi kebutuhan pelatihan terkait
dengan resiko K3 dan terkait sistem manajemen K3. Organisasi harus
memberikan pelatihan atau tindakan lain untuk memenuhi kebutuhan
tersebut, mengevaluasi efektifitasnya dan menyimpan catatan-catatan
terkait.
Organsiasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara
prosedur untuk membuat orang-orang yang bekerja di bawah kontrol
organsiasi sadar akan:
a. Konsekwensi K3, baik aktual maupun potensial dari aktifitas dan
perilaku mereka dan keuntungan yang diperoleh dari peningkatan
kinerja personal.

31
b. Peranan dan tanggung jawab serta pentingnya mencakai kesesuaian
dengan kebijakan dan prosedur-prosedur K3 dan dengan
persyaratan-persyaratan sistem manajemen K3, termasuk
persyaratan mengenai kesiapan dan tanggap darurat.
c. Konsekwensi potensial bila mengabaikan prosedur-prosedur yang
telah ditetapkan.
Prosedur pelatihanharus mempertimbangkan perbedaan-perbedaan
dalam hal:
a. Tanggung jawab, kemampuan, bahasa dan tulisan
b. Resiko
4.4.3 Komunikasi, partisipasi dan konsultasi
4.3.1 Komunikasi
Organisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara prosedur
untuk:
a. Komunikasi internal antara berbagai tingkatan dan fungsi dalam
organisasi
b. Komunikasi dengan kontraktor dan pengunjung lokasi kerja lain.
c. Menerima, mendokumentasi dan menanggapi komunikasi yang
relevan dari pihak-pihak luar yang berkepentingan
4.3.2 Partisipasi dan konsultasi
Organisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara
prosedur untuk:
a. Partisipasi para pekerja melalui:
 Keterlibatan yang cukup dalam identifikasi bahaya, penilaian
resiko dan dalam penetapan kontrol
 Keterlibatan yang cukup dalam investigasi kecelakaan
 Keterlibatan dalam pengembangan dan peninjauan kebijakan
dan sasaran K3.
 Konsultasi bila ada perubahan-perubahan yang mempengaruhi
K3 mereka
 Keterwakilan dalam urusan-urusan menyangkut K3

32
b. Konsultasi dengan kontraktor bila ada perubahan-perubahan yang
mempengaruhi K3 mereka.
Organisasi harus menjamin bahwa, bila dianggap perlu, pihak-
pihak luar yang berkepentingan dan relevan dikonsultasikan
mengenai hal-hal terkait dengan K3.
4.4.4 Dokumentasi
Dokumentasi sistem manajemen K3 harus mencakup:
a. Kebijakan dan sasaran K3
b. Penjelasan tentang lingkup sistem manajemen K3
c. Elemen-elemen utama sistem manajemen K3 dan interaksinya, dan
acuan-acuan dokumennya.
d. Dokumen, termasuk catatan, yang diperlukan oleh standar K3 ini.
e. Dokumen, termasuk catatan, yang dianggap perlu oleh organisasi
untuk menjamin perencanaan, operasi dan kontrol proses yang
efektif terkait dengan manajemen dan resiko K3.
Catatan: Penting sekali bahwa dokumentasi proporsional dengan
kompleksitas, bahaya dan resiko yang ada, dan dijaga agar minimal,
seperlunya untuk efektifitas dan efisiensi.
4.4.5 Pengendalian dokumen
Dokumen yang diperlukan oleh sistem manajemen K3 dan oleh
standar OHSAS ini harus dikontrol. Catatan adalah type khusus
dokumen dan harus dikontrol sesuai dengan klausul 4.5.4.
Organisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara prosedur
untuk:
a. Penyetujuan kelayakan dokumen sebelum diterbitkan
b. Peninjauan dan pembaharuan bila diperlukan dan penyetujuan
ulang
c. Menjamin bahwa perubahan dan status revisi terbaru dokumen
teridentifikasi (diketahui)
d. Menjamin bahwa versi yang relevandari dokumen yang berlaku
tersedia di lokasi penggunaan

33
e. Menjamin bahwa dokumen tetap dapat terbaca dan dikenali dengan
mudah
f. Menjamin bahwa dokumen yang berasal dari luar, yang ditentukan
oleh organisasi perlu untuk perencanaan dan operasi sistem
manajemen K3-nya, diidentifikasi dan distribusinya dikontrol
g. Mencegah penggunaan yang tidak diinginkan dokumen-dokumen
yang kadaluarsa dan melakukan penandaan dengan cara yang tepat
bila dokumen kadaluarsa tersebut di simpan untuk tujuan tertentu.
4.6 Kontrol operasional
Organisasi harus menentukan operasi dan aktifitas yang terkait
dengan bahaya-bahaya yang telah teridentifiasi,. Semua operasi dan
aktifitas tersebut memerlukan kontrol untuk penanganan resiko K3.
Perubahan-perubahan terhadap aktifitas dan operasi tersebut juga harus
diatur.
Untuk operasi dan aktifitas tersebut, organisasi harus menerapkan
dan memelihara:
a. Kontrol operasional yang dapat diterapan. Organisasi harus
mengintegrasikan kontrol operasional dalam sistem manajemen K3
secara keseluruhan.
b. Kontrol terkait dengan barang-barang, peralatan dan jasa yang
dibeli,
c. Kontrol terkait kontraktor dan pengunjung lain ke lokasi kerja
d. Prosedur terdokumentasi, diperlukan bila dianggap bahwa ketiadaan
prosedur dapat membuat penyimpangan terhadap kebijakan dan
sasaran K3,
e. Kriteria operasi, bila dianggap bahwa ketiadaan kriteria dapat
membuat penyimpangan terhadap kebijakan dan sasaran K3.
4.4.7 Kesiapan dan tanggap darurat
Organisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara prosedur
a. Untuk mengidentifikasi situasi darurat yang potensial
b. Untuk menanggapi situasi darurat tersebut

34
Organisasi harus tanggap terhadap situasi darurat aktual dan
mencegah atau mengurangi konsekwensi K3 yang merugikan.
Dalam merencanakan tanggap darurat organisasi harus
mempertimbangkan pihak-pihak terkait yang relevan, seperti layanan
darurat dan tetangga.
Organisasi juga harus menguji prosedur tanggap darurat secara
berkalai dengan, bila memungkinkan, melibatkan pihak-pihak yang
berkepentingan.
Organisasi harus meninjau prosedur tersebut secara berkala dan
melakukan perubahan-perubahan bila diperlukan, khususnya setelah
pengujian prosedur dan setelah terjadinya situasi darurat (lihat 4.5.3)
4.5 Pemeriksaan
4.5.1 Pengukuran dan pemantauan kinerja
Organisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara
prosedur untuk memantau dan mengukur kinerja K3 secara teratur.
Prosedur tersebut harus memberi aturan tentang:
a. Ukuran qualitative dan quantitatie yang sesuai dengan kebutuhan
organisasi
b. Pemantauan tingkat pencapaian sasaran K3
c. Pemantauan efektifitas dari kontrol (baik untuk kesehatan maupun
keselamatan)
d. Ukuran kinerja yang bersifat proaktif yang memantau kesesuaian
dengan program-program K3, kontrol dan kriteria operasional
e. Ukuran kinerja yang bersifat reaktif yang memantau kondisi
kesehatan yang buruk, insiden (termasuk kecelakaan dan ‘nyaris
kecelakaan’, dll.) dan bukti-bukti historis lain tentang kurang
baiknya kinerja K3
f. Pencatatan data dan hasil dari pemantauan dan pengukuran yang
cukup untuk dijadikan bahan analisa tindakan koreksi dan
pencegahan selanjutnya.

35
Jika diperlukan peralatan untuk melakukan pemantauan atau
pengukuran kinerja, organisasi harus menetapkan dan memelihara
prosedur untuk mengkalibras dan memelihara peralatan tersebut dengan
layak. Catatan kalibrasi dan pemeliharaan dan hasilnya harus disimpan.
4.5.2 Evaluasi kesesuaian
4.5.2.1 Konsistem dengan komitmen organisasi untuk sesuai dengan
persyaratan legal dan persyaratan lian terkait K3, organisasi harus
menetapkan, menerapkan dan memelihara prosedur untuk mengevaluasi
kesesuaian dengan persyaratan legal K3 secara berkala (lihat 4.3.2)
Organisasi harus menyimpan catatan-catatan hasil dari evaluasi berkala
tersebut.
Catatan: frekwensi evaluasi dapat berbeda-beda untuk setiap perayratan
legal K3.
4.5.2.2 Organisasi harus mengevaluasi kesesuaian dengan persyaratan K3
lain yang berlaku bagi organisai (lihat 4.3.2). Organisasi dapat
menggabungkan evaluasi ini dengan evaluasi kesesuaian terhadap
persyaratan legal yang disebut dalam klausul 4.5.2.1 atau membuat
prosedur yang terpisah.
Organisasi harus menyimpat catatan hasil evaluasi.
Catatan: Frekwensi evaluasi dapat berbeda-beda untuk setiap
persyaratan
4.5.3 Investigasi insiden, ketidaksesuaian, tindakan koreksi dan tindakan
pencegahan
4.5.3.1 Investigasi insiden
Organsiasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara
prosedur untuk mencatat, menginvestigasi dan menganalisa insiden
untuk:
a. Menentukan ketidaklayakan K3 yang menjadi penyebab dan faktor
lain yang dapat menyebabkan atau memberi kontribusi terjadinya
insiden.
b. Mengidentifikasi kebutuhan tindakan koreksi

36
c. Mengidentifikasi peluang untuk tindakan pencegahan
d. Mengkomunikasikan hasil dari investigasi.
e. Investigasi harus dilakukan tepat waktu.
Setiap kebutuhan tindakan koreksi atau peluang untuk tindakan
pencegahan harus ditangani sesuai dengan klausul 4.5.3.2
4.5.3.2 Ketidaksesuaian, tindakan koreksi dan tindakan pencegahan
Organisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara
prosedur untuk menangani ketidaksesuaian aktual dan potensial dan
untuk melakukan tindakan koreksi dan tindakan pencegahan. Prosedur
harus menetapkan aturan untuk:
a. Mengidentifikasi dan mengkoreksi ketidaksesuaian dan melakukan
tindakan untuk meminimalkan konsekwensi K3.
b. Menginvestigasi ketidaksesuaian, menentukan penyebab-
penyebabnya dan melakukan tindakan untuk menghindari
terulangnya kejadian.
c. Mengevaluasi kebutuhan tindakan untuk mencegah ketidaksesuaian
dan menerapkan tindakan yang layak untuk menghindari kejadian.
d. Mencatat dan mengkomunikasikan hasil tindaka koreksi dan
tindakan pencegahan.
e. Meninjau efektifitas tindakan koreksi dan tindakan pencegahan
yang diambil.
Bila dalam tindakan koreksi dan tindakan pencegahan
teridentifikasi adanya bahaya baru atau bahaya yang berubah atau
dibutuhkan kontrol baru atau perubahan kontrol, prosedur harus
mensyaratkan agar penilaian resiko dilakukan sebelum tindakan
diterapkan.
Tindakan koreksi dan tindakan pencegahan yang diambil untuk
menhilangkan penyebab dari ketidaksesuaian aktuan dan potensial
harus layak sesuai dengan tingkat permasalahan dan sepadan dengan
resiko K3 yang dihadapi.

37
Organisasi harus menjamin agar setiap perubahan yang terjadi
karena dilakukannya tindakan koreksi dan tindakan pencegahan disertai
dengan perubahan dokumentasi sistem manajemen K3 yang diperlukan.
4.5.4 Pengendalian catatan
Organisasi harus menetapkan dan memelihara catatan-catatan
yang diperlukan untuk menunjukkan kesesuaian terhadap persyaratan-
persyaratan sistem manajemen K3 organisasi dan terhadap standar
OHSAS ini, dan untuk menunjukkan hasil-hasil yang dicapai.
Organisasi harus menetapkan, menerapkan dan memelihara
prosedur untuk mengidentifikasi, menyimpan, melindungi, mengakses
dan membuang catatan.
Catatan harus dijaga agar tetap dapat terbaca, dapat diidentifikasi
dan ditelusuri.
4.5.5 Audit internal
Organisasi harus menjamin agar audit internal terhadap sistem
manajemen K3 dilakukan berkala dan terencana untuk:
a. Menentukan apakan sistem manajemen K3:
b. Sesuai dengan pengaturan sistem K3 yang telah direncanakan dan
dengan persyaratan standar OHSAS ini.
c. Telah diterapkan dengan tepat dan dipelihara, dan
d. Efektif memenuhi sasaran dan kebijakan organisasi.
e. Memberikan informasi hasil audit kepada manajemen.
Program audit harus direncanakan, ditetapkan, diterapkan dan
dipelihara oleh organisasi, didasarkan pada hasil penilaian resiko dari
aktifitas-aktifitas organisasi dan pada hasil audit sebelumnya.
Prosedur audit harus ditetapkan, diterapkan dan dipelihara, mencakup:
a. Tanggung jawab, kompetensi dan syarat-syarat dalam perencanaan
dan pelaksanaan audit, pelaporan hasil audit dan penyimpanan
catatan terkait.

38
b. Penentuan kriteria audit, lingkup, frekwensi dan metoda.
Pemilihan auditor dan pelaksanaan audit harus menjamin
objektifitas dan impartiality (tidak berat sebelah) proses audit.
4.6 Tinjauan manajemen
Manajemen puncak harus meninjau sistem manajemen K3 pada
interval yang terencana, untuk menjamin kecocokan sistem, kelayakan
dan efektifitas. Peninjauan harus mencakup penilaian peluang untuk
peningkatan dan kebutuhan perubahan sistem manajemenK3, termasuk
kebijakan K3 dansasaran K3. Catatan tinjauan manajemen harus
dipelihara.
Masukan tinjauan manajemen harus mencakup:
a. Hasil audit internal dan hasil dari evaluasi kesesuaian dengan
persyaratan legal dan persyaratan lain yang berlaku.
b. Hasil dari partisipasi dan konsultasi (lihat 4.4.3)
c. Komunikasi relevan dengan pihak luar yang berkepentingan,
termasuk keluhan,
d. Kinerja K3 organisasi,
e. Tingkat pencapaian sasaran
f. Status investigasi insiden, tindakan koreksi dan tindakan
pencegahan,
g. Tindaklanjut dari tinjauan manajemen sebelumnya,
h. Hal-hal yang berubah, termasuk perkembangan persyaratan legal
dan persyaratan lain terkait K3, dan
i. Usulan-usulan untuk peningkatan.
Hasil dari tinjauan manajemen harus konsisten dengan komitmen
organisasi untuk peningkatan berkelanjutan dan harus mencakup
keputusan-keputusan dan tindakan-tindakan terkait kemungkinan
perubahan dalam hal:

39
a. Kinerja K3,
b. Sasaran dan kebijakan K3,
c. Sumberdaya, dan
d. Elemen-elemen lain dari sistem manajemen K3.
Hasil yang relevan dari tinjauan manajemen harus tersedia (dapat
diakses) untuk proses komunikasi dan konsultasi (lihat 4.4.3)
Advertisements

40

Anda mungkin juga menyukai