Anda di halaman 1dari 2

1.

Apakah Islam mengatur secara rinci system pemerintahan yang harus diterapkan oleh umat
Islam ? Apa alasannya ?
Jawab :
IYA Islam mengatur secara rinci tentang system pemerintahan
Bentuk pemerintahan menurut Islam ialah berdasarkan musyawarah. Berfirmanlah Allah swt.:
“Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat
"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya
kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam
urusan itu (Artinya urusan duniawi seperti urusan politik, ekonomi, kemasyarakatan dan lain-lain).” (Ali-
Imran 159).
Dalam ayat pertama ditentukan bahwa pengurusan urusan –urusan muslimin harus dilakukan dengan
dasar permusyawaratan dan tidak dibenarkan dilakukan oleh seorang saja dengan kemauannya sendiri
selaku diktator. Sedang dalam ayat kedua Allah memerintahkan kepada Rasulullah hendaknya
bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam soal-soal yang belum atau tidak diwahyukan kepadanya.
Dan jelaslah bukan soal-soal keagamaan yang diperintahkan untuk dipermusyawarahkan, tetapi soal-soal
yang menyangkut urusan-urusan duniawi seperti ketatanegaraan, pemerintahan dan lain-lainnya.
Demikianlah maka Rasulullah saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya tentang hal-hal yang
belum ditentukan oleh wahyu Ilahi.
Maka dengan sendirinya termasuk hal-hal duniawi yang harus dipermusyawarahkan, ialah soal
pemilihan dan pengangkatan para penguasa-penguasa pemerintahan yang dipercayakan untuk memimpin
rakyat dan negara. Permusyawaratan itu adalah jiwa dan inti demokrasi.

2. Dalam konsep Khilafah adakah system pengangkatan dan pemberhentian khalifah yang baru ?
apa alasannya ?
Jawab :
Bagi seluruh kaum Muslim di dunia. Khilafah bertanggung jawab menerapkan hukum Islam, dan
menyampaikan risalah Islam ke seluruh muka bumi. Khilafah terkadang juga disebut Imamah; dua kata ini
mengandung pengertian yang sama dan banyak digunakan dalam hadits-hadits shahih.
Sistem pemerintahan Khilafah tidak sama dengan sistem manapun yang sekarang ada di
Dunia Islam. Meskipun banyak pengamat dan sejarawan berupaya menginterpretasikan Khilafah menurut
kerangka politik yang ada sekarang, tetap saja hal itu tidak berhasil, karena memang Khilafah adalah sistem
politik yang khas.
Khalifah adalah kepala negara dalam sistem Khilafah. Dia bukanlah raja atau diktator, melainkan
seorang pemimpin terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari kaum Muslim, yang secara ikhlas
memberikannya berdasarkan kontrak politik yang khas, yaitu bai’at. Tanpa bai’at, seseorang tidak bisa
menjadi kepala negara. Ini sangat berbeda dengan konsep raja atau dictator, yang menerapkan kekuasaan
dengan cara paksa dan kekerasan. Contohnya bisa dilihat pada para raja dan diktator di Dunia Islam saat ini,
yang menahan dan menyiksa kaum Muslim, serta menjarah kekayaan dan sumber daya milik umat.
Kontrak bai’at mengharuskan Khalifah untuk bertindak adil dan memerintah rakyatnya
berdasarkan syariat Islam. Dia tidak memiliki kedaulatan dan tidak dapat melegislasi hukum dari
pendapatnya sendiri yang sesuai dengan kepentingan pribadi dan keluarganya. Setiap undang-undang yang
hendak dia tetapkan haruslah berasal dari sumber hukum Islam, yang digali dengan metodologi yang
terperinci, yaitu ijtihad. Apabila Khalifah menetapkan aturan yang bertentangan dengan sumber hukum
Islam, atau melakukan tindakan opresif terhadap rakyatnya, maka pengadilan tertinggi dan paling berkuasa
dalam sistem Negara Khilafah, yaitu Mahkamah Mazhalim dapat memberikan impeachmentkepada
Khalifah dan menggantinya.
Khalifah tidak ditunjuk oleh Allah, tetapi dipilih oleh kaum Muslim, dan memperoleh
kekuasaannya melalui akad bai’at.Sistem Khilafah bukanlah sistem teokrasi. Konstitusinya tidak terbatas
pada masalah religi dan moral sehingga mengabaikan masalah-masalah sosial, ekonomi, kebijakan luar
negeri dan peradilan. Kemajuan ekonomi, penghapusan kemiskinan, dan peningkatan standar hidup
masyarakat adalah tujuan-tujuan yang hendak direalisasikan oleh Khilafah. Ini sangat berbeda dengan
sistem teokrasi kuno di zaman pertengahan Eropa dimana kaum miskin dipaksa bekerja dan hidup dalam
kondisi memprihatinkan dengan imbalan berupa janji-janji surgawi. Secara histories, Khilafah terbukti
sebagai negara yang kaya raya, sejahtera, dengan perekonomian yang makmur, standar hidup yang tinggi,
dan menjadi pemimpin dunia dalam bidang industri serta riset ilmiah selama berabad-abad.

3. Apakah konsep imamah yang diyakini oleh Syi’ah berbahaya untuk NKRI? Apa alasanya ?
Jawab :
Ideologi takfiri yang menyelimuti Syiah dasarnya adalah akidah mereka tentang konsep “Imamah”,
dimana mereka meyakini dan mengimani bahwa setelah nabi meninggal maka kepemimpinan dunia dan
agama akan diwariskan kepada para imam-imam Syang juga diyakini mendapatkan wahyu dari Allah dan
maksum tanpa salah, tanpa dosa, serta dapat mengeluarkan syariat-syariat dan ketentuan-ketentuan
keagamaan baru yang dinilai perlu dan sebagai tempat merujuk urusan dunia akherat, persis seperti Nabi.
Keyakinan Tentang imamah ini adalah pondasi utama Syiah sesat, rukun iman mereka, bagai trinitas
dalam kristen. Tanpa rukun iman imamah Syiah tiada, dan siapapun yang tidak mengimani konsep
imamah maka dia tidak beriman alias kafir.
Dengan demikian, dapat dipastikan dengan valid tanpa keraguan bahwa Syiah akan mengkafirkan
semua kaum muslimin yang bikan Syiah, semua kamum maslimin yang tidak mengimani konsep Imamah
KAFIR.
Syiah menjadikan Imamah bagian dari pondasi agama, alias rukun imannya mereka, layaknya
seperti mengimani kenabian dan hari akherat, bahkan mereka menganggap bahwa mengimani imamah jauh
lebih penting dari Rukun Iman Utama lainnya, lebih penting dari rukun iman kepada nabi.
Ada banyak ulama Syiah yang menukil bahwa Imamah sebagai rukun iman (ushuluddin) mereka,
diantaranya:
Pertama, ayatullah Ja’far Sobhani, menukil dalam kitabnnya Al-Milal Wan Nihal dengan judul, “ ‫هل‬
‫ ”اإلمامة من األصول أو من الفروع‬dan mengatakan bahwa para ulama Syiah telah konsensus bahwa imamah
adalah rukun iman mereka. Dalam buku itu dituliskan, “sejak awal Syiah sudah melakukan konsensus
bahwa imamah adalah salah satu dari rukun iman dan merupakan pondasi utama akidah Syiah. Para ulama-
ulama Syiah sudah memberikan dalil-dalil akidah imamah dalam kitab-kitab mereka.
Oleh karena itu, keyakinan akan imamah para imam Syiah dianggap menjadi bagian yang wajib
dalam rukun iman yang sahih, menurut mereka”. Sedangkan dalam akidah kaum muslimin, imamah bukan
bagian dari rukun iman mereka.
Kedua, Muhammad Rida Al-Muzaffar mengatakan, “Kami mengimani dan meyakini bahwa Imamah
adalah rukun Iman agama kami, Tidak akan dianggap beriman bagi siapa saja yang tidak meyakini
imamah.”
Ketiga, tokoh Syiah Imam Khumaini sendiri pernah mengatakan, “Imamah adalah salah satu rukun
agama kami.”
Keempat, Abdul Husein Al-Muzaffar mengatakan, “oleh karena itu kami wajib mempelajari konsep
imamah, karena itu adalah bagian dari rukun iman agama kami, dan agama kami tidak akan ada tanpa
Ideologi imamah.”
Kelima, ulama Syiah lain, Ayatullah Naser Makarem Shirazi pernah mengatakan, “Imamah dalam
pAndangan Syiah dan sekte ahlul bait adalah rukun iman dan pondasi akidah agama kami, oleh karena itu
mengimani imamah bagian dari akidah agama ini, bukan asesioris belaka.”
Enam, sedangkan Ali Al-Husaini tokoh Syiah pengarang buku “Tidak ada penyelewengan al-
Qur’an” mengatakan, “Terkait, apakah Imamah bagian dari rukun iman atau bukan, maka sesungguhnya
Imamah adalah rukun iman seperti wajibnya mengimani kenabian.”
Tujuh, Ayatullah Abdul Husein Syarafuddin dalam kitab al-Muraja’at mengatakan, “Maka sudah
maklum bahwa Ali sebagai pewaris kepemimpinan nabi adalah rukun Iman menurut agama Syiah”.

Anda mungkin juga menyukai