Anda di halaman 1dari 10

EPISTAKSIS

DEFINISI
Epistaksis adalah keluarnya darah dari hidung; merupakan suatu gejala atau keluhan, bukan
penyakit. Perdarahan dari hidung dapat merupakan gejala yang sangat menjengkelkan dan mengganggu, dan
dapat pula mengancam nyawa. Faktor etiologi harus dicari dan dikoreksi untuk mengobati epistaksis secara
efektif. Epistaksis adalah perdarahan akut yang berasal dari lubang hidung, rongga hidung atau nasofaring
dan mencemaskan penderita serta para klinisi. Epistaksis bukan suatu penyakit, melainkan gejala dari suatu
kelainan yang mana hampir 90 % dapat berhenti sendiri.
ETIOLOGI
Perdarahan hidung diawali oleh pecahnya pembuluh darah di dalam selaput mukosa hidung. 80
perdarahan berasal dari pembluh darah Pleksus Kiesselbach (area little). Pleksus Kiesselbach terletaj di spetu
nasi bagian anterior, di belakang persambungan mukokutaneus tempat pembuluh darah yang kaya
anastomosis. Epistaksis dapat ditimbulkan oleh sebab-sebab local dan umum atau kelainan sistemik.
1) Lokal
a. Trauma. Epistaksis yang berhubungan dengan neoplasma biasanya mengeluarkan sekeret dengan
kuat, bersin, mengorek hidung, trauma seperti dipukul, jatuh dan sebagainya. Selain itu iritasi
oleh gas yang merangsang dan trauma pada pembedahan dapat juga menyebabkan epistaksis.
b. Infeksi. Infeksi hidung dan sinus paranasalis, rhinitis, sinusitis, serta granuloma spesifik, seperti
lupus, sifilis, dan lepra.
c. Neoplasma. Epistaksis yang berhbungan dengan neoplasma biasanya sedikit dan intermitten,
kadang-kadang ditandai dengan mucus yang bernoda darah. Hemangioma karsinoma serta
angiofibroma dapat menyebabkan eistaksis berat.
d. Kelainan konginetal. Kelainan konginetal yang sering menyebabkan epistaksis ialah perdarahan
telengiektasis kherediter (Osles;s disease). Pasien ini juga menderita telengiektsis di wajah,
tangan atau bahkan di takrus gastrointestinal dan atau pembuluh darah paru.
e. Sebab –sebab lain termasuk benda asing dan perforasi septum. Perforasi septum nasi atau
abnormalitas septum dapat menjadi presdiposisi perdarahan hidung. Bagian anterior septum nasi,
bila mengalami deviasi atau erforasi, akan terpapar aliran udara perafasan yang cenderung
mengeringkan sekeresi hidung. Pembentukan krusta yang keras dan usaha melepaskan dengan
jari menimbulkantrauma digital. Pengeluaran krusta berulang menyebabkan erosi membrane
mukosa spetum dan kemudian perdarahan.
f. Pengaruh lingkungan. Misalnya tinggal di daerah yang snagat tinggi, tekanan udara rendah, atau
lingkungan yang sangat kering.
2) Sistemik
a. Kelainan darah, misalnya trombositopenia, hemophilia, dan leukemia, obat-obatan seperti terapi
antikoagulan, aspirin, dan fenilbutazon dapat pula mempredisposisi epistaksis berulang.
b. Penyakit kardiovaskuler. Hipertensi dan kelainan pembuluh darah, seperti pada arteriosklerosis,
nefritis kronik, sirosis hepatis, diabetes mellitus dapat menyebabkan epistaksis. Epistaksis akibat
hipertensi bias any hebat, sering kambuh, dan prognosisnya tidak baik.
c. Infeksi akut, demam berdarah, influenza, morbili, demam tifoid.
d. Gangguan endokrin. Pada wanita hamil, menarche, menopause sering terjadi epistaksis, kdang-
kadang beberapa wanita mengalami perdarahan persisten dari hidung menyertai fase menstruasi.
e. Defisiensi vitamin C dan K
f. Alkoholisme
g. Penyakit von Willebrand

SUMBER PERDARAHAN
Melihat asal pendarahan epistaksis dibagi menjadi epistaksis anterior dan epistaksis posterior. Untuk
penatalaksanaannya, penting dicari sumber pendarahan walaupun kadang-kadang sulit.
1. Epistaksis Anterior
Kebanyakan berasal dari pleksus Kisselbach di septum bagian anterior atau arteri etmoidalis anterior.
Pendarahan pada septum anterior biasanya ringan karena keadaan mukosa yang hiperemis atau kebiasaan
mengorek hidung dan kebanyakan terjadi pada anak, sering kali berulang. Pendarahan dapat berhenti sendiri
dan dapat dikendalikan dengan tindakan sederhana.
2. Epistaksis Postrior
Dapat berasal dari arteri etmoidalis posterior atau arteri sfenopalatina. Pendarahan biasanya lebih
hebat dan jarang dapat berhenti sendiri, sehingga dapat menyebabkan anemia, hipovolemi dan syok. Sering
ditemukan pada pasien dengan hipertensi, arteriorsklerosis atau pasien dengan penyakit kardiovaskuler
karena pecahnya arteri sfenopalatina.

GAMBARAN KLINIS DAN PEMERIKSAAN


Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.
Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang
terbanyak mengeluarkan darah.
Pada anamnesis harus ditanyakan secara spesifik mengenai beratnya perdarahan, frekuensi, lamanya
perdarahan, dan riwayat perdarahan hidung sebelumnya. Perlu ditanyakan juga mengenai kelainan pada
kepala dan leher yang berkaitan dengan gejala-gejala yang terjadi pada hidung. Bila perlu, ditanyakan juga
megenai kondisi kesehatan pasien secara umum yang berkaitan dengan perdarahan misalnya riwayat darah
tinggi, arteriosclerosis, koagulopati, riwayat perdarahan yang memanjang setelah dilakukan operasi kecil,
riwayat penggunaan obat-obatan seperti koumarin, NSAID, aspirin, warfarin, heparin, ticlodipin, serta
kebiasaan merokok dan minum-minuman keras.
Pasien sering menyatakan bahwa perdarahan berasal dari bagian depan dan belakang hidung.
Perhatian ditujukan pada bagian hidung tempat awal terjadinya perdarahan atau pada bagian hidung yang
terbanyak mengeluarkan darah.
Epistaksis anterior menunjukkan gejala klinik yang jelas berupa perdarahan dari lubang hidung dan
dengan warna darah berwarna merah segar.
Dan pada epistaksis posterior jika dilakukan pemeriksaan perdarahaan berasal dari dinding nasal
lateral dan seringkali menunjukkan gejala yang tidak terlalu jelas seperti mual, muntah darah, batuk darah,
dan biasanya epistaksis posterior melibatkan pembuluh darah besar sehingga perdarahan yang terjadilebih
hebat. Sehingga jarang berhenti spontan. Perdarahan yang hebat dapat menimbulkan syok dan anemia ini
disebabkan karena lebih banyak penyebab epistaksis posrerior dari penyakit kardiovaskuler atau penyakit
sistemik lainnya.
Pada pemeriksaan fisik, epistaksis seringkali sulit dibedakan dengan hemoptysis atau hematemesis.
Untuk pemeriksaan yang adekuat pasien harus ditempatkan dalam posisi dan ketinggian yang memudahkan
pemeriksa bekerja. Harus cukup sesuai untuk mengobservasi atau mengeksplorasi sisi dalam hidung.
Dengan spekulum hidung dibuka dan dengan alat pengisap dibersihkan semua kotoran dalam hidung baik
cairan, sekret maupun darah yang sudah membeku, sesudah dibersihkan semua lapangan dalam hidung
diobservasi untuk mencari tempat dan faktor-faktor penyebab perdarahan. Setelah hidung dibersihkan,
dimasukkan kapas yang dibasahi dengan larutan anestesi lokal yaitu larutan pantokain 2% atau larutan
lidokain 2% yang ditetesi larutan adrenalin 1/1000 ke dalam hidung untuk menghilangkan rasa sakit dan
membuat vasokontriksi pembuluh darah sehingga perdarahan dapat berhenti untuk sementara. Sesudah 10
sampai 15 menit kapas dalam hidung dikeluarkan dan dilakukan evaluasi.
Pasien yang mengalami perdarahan berulang atau sekret berdarah dari hidung yang bersifat kronik
memerlukan fokus diagnostik yang berbeda dengan pasien dengan perdarahan hidung aktif yang prioritas
utamanya adalah menghentikan perdarahan. Pemeriksaan yang diperlukan berupa:
a. Rinoskopi anterior
Pemeriksaan harus dilakukan dengan cara teratur dari anterior ke posterior. Vestibulum, mukosa
hidung dan septum nasi, dinding lateral hidung dan konkhainferior harus diperiksa dengan cermat.

b. Rinoskopi posterior
Pemeriksaan nasofaring dengan rinoskopi posterior penting pada pasien dengan epistaksis berulang
dan sekret hidung kronik untuk menyingkirkan neoplasma.

c. Pengukuran tekanan darah


Tekanan darah perlu diukur untuk menyingkirkan diagnosis hipertensi, karena hipertensi dapat
menyebabkan epistaksis yang hebat dan sering berulang.
d. Rontgen sinus
Rontgen sinus penting mengenali neoplasma atau infeksi.
e. Skrining terhadap koagulopati
Tes-tes yang tepat termasuk waktu protrombin serum, waktu tromboplastin parsial, jumlah platelet
dan waktu perdarahan.
f. Riwayat penyakit
Riwayat penyakit yang teliti dapat mengungkapkan setiap masalah kesehatan yang mendasari
epistaksis.

DIAGNOSIS
Dalam mendiagnosis pasien epistaxis memerlukan anamnesis yang lengkap untuk mengetahui
penyebab pasti epistaxis. Dalam anamnesis ditanyakan :
 Lamanya pendarahan dan frekuensinya
 Apakah darah ada mengalir ke tenggorokan
 Riwayat pendarahan sebelumnya
 Menanyakan riwayat penyakit seperti ada tidaknya hipertensi, diabetes mellitus, gangguan
pendarahan dalam keluarga, kelainan darah, infeksi local atau infeksi sistemik
Kemudian melakukan pemeriksaan fisik berupa :
 Keadaan umum dan kesadaran pasien
 Pengukuran tekanan darah
 Frekuensi denyut nadi
 Frekuensi pernafasan
 Suhu tubuh
Pemeriksaan Penunjang
Jika perdarahan sedikit dan tidak berulang, tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang. Jika
perdarahan berulang atau hebat lakukan pemeriksaan lainnya untuk memperkuat diagnosis epistaksis.
o Pemeriksaan darah tepi lengkap.
o Fungsi hemostatis
o EKG
o Tes fungsi hati dan ginjal
o Pemeriksaan foto hidung, sinus paranasal, dan nasofaring.
o CT scan dan MRI dapat diindikasikan untuk menentukan adanya rinosinusitis, benda asing dan
neoplasma.

DIAGNOSIS BANDING
Sebagian besar pasien epistaksis mempunyai tempat perdarahan yang terletak anterior dalam cavitas
nasalis akibat kejadian traumatik ringan, misalnya perdarahan bisa akibat memasukkan objek (lazim suatu
jari tangan). Keadaan kering, terutama musim dingin, akibat sistem pemanasan dan kurangnya kelembaban,
maka membrana hidung menjadi kering dan retak yang menyebabkan permukaannya berdarah. Area ini tepat
mengelilingi perforasi septum atau deviasi septum bisa menjadi kering karena aliran udara hidung abnormal
dan bisa timbul perdarahan. Pada kelompok usia pediatri, benda asing dan alergi menjadi sebab lazim
epistaksis. Beberapa anak bisa berdarah akibat ruptura pembuluh darah septum yang membesar yang muncul
dari lantai hidung. Perdarahan juga dapat terjadi pada trauma pembuluh darah disekitar basis cranii yang
kemudian masuk ke hidung melalui sinus sphenoid atau tuba eustachius.

PENATALAKSANAAN
Prinsipnya penatalaksanaan epistaxis
1. Awalnya perbaiki keadaan umum pasien, bila ada kelainan diatasi terlebih dulu misalnya dengan
pemasangan infuse. Bila jalan nafas tersumbat oleh darah atau bekuan darah, maka dibersihkan atau
diisap.
2. Mencari sumber pendarahan apakah dari anterior atau posterior. Diperlukan alat pemeriksaan berupa
lampu kepala, speculum hidung, dan alat pengisap. Pasien diperiksa dalam posisi duduk biarkan darah
mengalir keluar dari hidung sehingga bisa dimonitor. Pasien dengan keadaan lemah sebaiknya setengah
duduk atau berbaring dengan posisi kepala ditinggikan. Untuk pasien anak-anak duduk dipangku
dengan kepala dipegang agar tidak bergerak-gerak.
3. Tentukan sumber perdarahan dengan memasang tampon anterior yang telah dibasahi dengan adrenalin
dan pantokain/ lidokain 2%, serta bantuan alat penghisap untuk membersihkan bekuan darah. Tampon
dibiarkan 10-15 menit lalu dapat dilihat apakah pendarahan dari anterior atau posterior.
4. Pada epistaksis anterior, jika sumber perdarahan dapat dilihat dengan jelas, dilakukan kaustik dengan
larutan nitras argenti 20%-30%, asam trikloroasetat 10% atau dengan elektrokauter. Sebelum kaustik
diberikan analgesik topikal terlebih dahulu. Bila dengan kaustik perdarahan anterior masih terus
berlangsung, diperlukan pemasangan tampon anterior dengan kapas atau kain kasa yang diberi vaselin
yang dicampur betadin atau zat antibiotika. Dapat juga dipakai tampon rol yang dibuat dari kasa
sehingga menyerupai pita dan diletakkan berlapis-lapis mulai dari dasar sampai ke puncak rongga
hidung. Tampon yang dipasang harus menekan tempat asal perdarahan dan dapat dipertahankan selama
1-2 hari.
5. Perdarahan posterior diatasi dengan pemasangan tampon posterior atau tampon Bellocq, dibuat dari
kasa dengan ukuran lebih kurang 3x2x2 cm dan mempunyai 3 buah benang, 2 buah pada satu sisi dan
sebuah lagi pada sisi yang lainnya. Tampon harus menutup koana (nares posterior).

Teknik Pemasangan
Untuk memasang tampon Bellocq, dimasukkan kateter karet melalui nares anterior sampai tampak di
orofaring dan kemudian ditarik ke luar melalui mulut. Ujung kateter kemudian diikat pada dua buah benang
yang terdapat pada satu sisi tampon Bellocq dan kemudian kateter ditarik keluar hidung. Benang yang telah
keluar melalui hidung kemudian ditarik, sedang jari telunjuk tangan yang lain membantu mendorong tampon
ini ke arah nasofaring. Jika masih terjadi perdarahan dapat dibantu dengan pemasangan tampon anterior,
kemudian diikat pada sebuah kain kasa yang diletakkan di tempat lubang hidung sehingga tampon posterior
terfiksasi. Sehelai benang lagi pada sisi lain tampon Bellocq dikeluarkan melalui mulut (tidak boleh terlalu
kencang ditarik) dan diletakkan pada pipi. Benang ini berguna untuk menarik tampon keluar melalui mulut
setelah 2-3 hari. Setiap pasien dengan tampon Bellocq harus dirawat.
Semakin meningkatnya penggunaan endoskop, akhir-akhir ini dikembangkan teknik kauterisasi atau
ligasi pada arteri sfenopalatina dengan panduan endoskop.

KOMPLIKASI
Dapat terjadi langsung akibat epistaksis sendiri atau akibat usaha penanggulangannya.
Akibat perdarahan hebat :
1. Aspirasi darah ke dalam saluran pernapasan bawah
2. Syok dan anemia
3. Gagal ginjal
4. Tekanan darah yang turun mendadak dapat menimbulkan hipotensi, hipoksia, iskemia serebri, insufisiensi
koroner sampai infark miokard sehingga dapat menyebabkan kematian.
5. Pembuluh darah yang terbuka dapat menyebabkan infeksi
Akibat pemasangan tampon :
1. Pemasangan tampon dapat menimbulkan sinusitis, otitis media, dan septikemia. Oleh karena itu pada
setiap pemasangan tampon hidung harus selalu diberikan antibiotik dan setelah 2-3 hari harus dicabut.
Bila perdarahan masih berlanjut, dipasang tampon baru.
2. Sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui tuba Eustachius, dapat terjadi
hemotimpanum
3. Sebagai akibat mengalirnya darah secara retrograd melalui duktus nasolakrimalis, dapat terjadi air mata
berdarah (bloody tears).

4. Pada pemasangan tampon posterior (tampon Bellocq) dapat terjadi laserasi palatum mole atau sudut
bibir jika benang yang keluar dari mulut terlalu ketat dilekatkan pada pipi.
5. Kateter balon atau tampon balon yang dipompa terlalu keras dapat menyebabkan nekrosis mukosa
hidung atau septum.

PENATALAKSANAAN
Tiga prinsip utama dalam menanggulangi epistaksis yaitu menghentikan perdarahan, mencegah
komplikasi dan mencegah berulangnya epistaksis.
Pasien yang datang dengan epistaksis diperiksa dalam posisi duduk, sedangkan kalau sudah terlalu
lemah dibaringkan dengan meletakkan bantal di belakang punggung, kecuali bila sudah dalam keadaan syok.
Sumber perdarahan dicari dengan bantuan alat penghisap untuk menyingkirkan bekuan darah. Kemudian
diberikan tampon kapas yang telah dibasahi dengan adrenalin 1: 10.000 dan lidokain atau pantokain 2 %.
Kapas ini dimasukkan ke dalam rongga hidung untuk menghentikan perdarahan dan mengurangi rasa sakit
pada saat tindakan selanjutnya. Tampon ini dibiarkan selama 3 – 5 menit. Dengan cara ini dapat ditentukan
apakah sumber perdarahan letaknya di bagian anterior atau posterior.
Pada penanganan epistaksis, yang terutama diperhatikan adalah perkiraan jumlah dan kecepatan
perdarahan. Pemeriksaan hematokrit, hemoglobin dan tekanan darah harus cepat dilakukan. Pada pasien
dalam keadaan syok, kondisi ini harus segera diatasi. Jika ada kecurigaan defisiensi faktor koagulasi harus
dilakukan pemeriksaan hitung trombosit, masa protrombin dan masa tromboplastin (APTT), sedangkan
prosedur diagnosis selanjutnya dilaksanakan sesuai dengan kebutuhan. Bila terjadi kehilangan darah yang
banyak dan cepat, harus difikirkan pemberian transfusi sel-sel darah merah (packed red cell) disamping
penggantian cairan.

A. Epistaksis Anterior
1. Kauterisasi
Sebelum dilakukan kauterisasi, rongga hidung dianestesi lokal dengan menggunakan tampon
kapas yang telah dibasahi dengan kombinasi lidokain 4% topikal dengan epinefrin 1 : 100.000 atau
kombinasi lidokain 4% topikal dan penilefrin 0.5 %.10 Tampon ini dimasukkan dalam rongga hidung
dan dibiarkan selama 5 – 10 menit untuk memberikan efek anestesi lokal dan vasokonstriksi.5
Kauterisasi secara kimia dapat dilakukan dengan menggunakan larutan perak nitrat 20 – 30% atau
dengan asam triklorasetat 10%.2 Becker (1994) menggunakan larutan asam triklorasetat 40 – 70%.
Setelah tampon dikeluarkan, sumber perdarahan diolesi dengan larutan tersebut sampai timbul krusta
yang berwarna kekuningan akibat terjadinya nekrosis superfisial. Kauterisasi tidak dilakukan pada
kedua sisi septum, karena dapat menimbulkan perforasi. Selain menggunakan zat kimia dapat
digunakan elektrokauter atau laser.
2. Tampon Anterior
Apabila kauter tidak dapat mengontrol epistaksis atau bila sumber perdarahan tidak dapat
diidentifikasi, maka diperlukan pemasangan tampon anterior dengan menggunakan kapas atau kain
kassa yang diberi vaselin atau salap antibiotik. Pemakaina pelumas ini agar tampon mudah dimasukan
dan tidak menimbulkan perdarahan baru saat dimasukan atau dicabut. Tampon dimasukan sebanyak2-4
buah, disusun dengan teratur dan harus dapat menekan asal perdarahan. Tampon dipertahankan selama
2 x 24 jam, harus dikeluarkan untuk mencegah infeksi hidung. Selama 2 hari ini dilakukan pemeriksaan
penunjang untuk mencari faktor penyebab epistaksis. Bila perdarahan masih belum berhenti, dipasang
tampn baru.

B. Epistaksis Posterior
Perdarahan dari bagian posterior lebih sulit diatasi, sebab biasanya perdarahan hebat dan sulit
dicari sumber perdarahan dengan rinoskopi anterior. Epistaksis posterior dapat diatasi dengan
menggunakan tampon posterior, balloon tamponade , ligasi arteri dan embolisasi.
1. Tampon Posterior
Prosedur ini menimbulkan rasa nyeri dan memerlukan anestesi umum atau setidaknya dengan
anestesi lokal yang adekuat. Prinsipnya tampon dapat menutup koana dan terfiksasi di nasofaring untuk
menghindari mengalirnya darah ke nasofaring. Kemudian dilakukan pemasangan tampon anterior.
Tekhnik ini pertama sekali diperkenalkan oleh Bellocq, dengan menggunakan tampon yang diikat
dengan tiga pita (band).
Masukkan kateter karet kecil melalui hidung kedalam faring, kemudian ujungnya dipegang
dengan cunam dan dikeluarkan dari mulut agar dapat diikat pada kedua ujung pita yang telah
disediakan. Kateter ditarik kembali melalui rongga hidung sehingga tampon tertarik ke dalam koana
melalui nasofaring. Bantuan jari untuk memasukkan tampon kedalam nasofaring akan mempermudah
tindakan ini.
Apabila masih tampak perdarahan keluar dari rongga hidung, maka dapat pula dimasukkan
tampon anterior ke dalam kavum nasi. Kedua pita yang keluar dari nares anterior kemudian diikat pada
sebuah gulungan kain kasa didepan lubang hidung, supaya tampon yang terletak di nasofaring tidak
bergerak. Pita yang terdapat di rongga mulut dilekatkan pada pipi pasien. Gunanya untuk menarik
tampon keluar melalui mulut setelah 2 – 3 hari.

2. Tampon Balon
Pemakaian tampon balon lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan pemasangan tampon
posterior konvensional tetapi kurang berhasil dalam mengontrol epistaksis posterior. Ada dua jenis
tampon balon, yaitu: kateter Foley dan tampon balon yang dirancang khusus. Setelah bekuan darah dari
hidung dibersihkan, tentukan asal perdarahan. Kemudian lakukan anestesi topikal yang ditambahkan
vasokonstriktor. Kateter Foley no. 12 - 16 F diletakkan disepanjang dasar hidung sampai balon terlihat
di nasofaring. Kemudian balon diisi dengan 10 -20 cc larutan salin dan kateter Foley ditarik kearah
anterior sehingga balon menutup rongga hidung posterior. Jika dorongan terlalu kuat pada palatum mole
atau bila terasa sakit yang mengganggu, kurangi tekanan pada balon. Selanjutnya dipasang tampon
anterior dan kateter difiksasi dengan mengunakan kain kasa yang dilekatkan pada cuping hidung.
Apabila tampon balon ini gagal mengontrol perdarahan, maka dilakukan pemasangan tampon posterior.
3. Ligasi Arteri
Penanganan yang paling efektif untuk setiap jenis perdarahan adalah dengan meligasi
pembuluh darah yang ruptur pada bagian proksimal sumber perdarahan dengan segera. Tetapi
kenyataannya sulit untuk mengidentifikasi sumber perdarahan yang tepat pada epistaksis yang berat
atau persisten. Ada beberapa pendekatan ligasi arteri yang mensuplai darah ke mukosa hidung.
a. Ligasi Arteri Karotis Eksterna
Ligasi biasanya dilakukan tepat dibagian distal a. tiroid superior untuk melindungi suplai
darah ke tiroid dan memastikan ligasi arteri karotis eksterna.12 Tindakan ini dapat dilakukan
dibawah anestesi lokal. Dibuat insisi horizontal sekitar dua jari dibawah batas mandibula yang
menyilang pinggir anterior m. sternokleidomastoideus. Setelah flap subplatisma dielevasi, m.
sternokleidomastoideus di retraksi ke posterior dan diseksi diteruskan ke arah bawah menuju
selubung karotis. Lakukan identifikasi bifurkasio karotis kemudian a. karotis eksterna dipisahkan.
Dianjurkan untuk melakukan ligasi dibawah a. faringeal asendens, terutama apabila epistaksis
b. Ligasi Arteri Maksilaris Interna
Ligasi arteri maksilaris interna dapat dilakukan dengan pendekatan transantral. Pendekatan
ini dilakukan dengan anestesi local atau umum lalu dilakukan insisi Caldwell – Luc dan buat lubang
pada fosa kanina. Setelah dijumpai antrum maksila, secara hati-hati buang dinding sinus posterior
dengan menggunakan pahat kecil, kuret atau bor, dimulai dari bagian inferior dan medial untuk
menghindari trauma orbita.
Setelah terbentuk jendela (window) pada tulang, lakukan insisi pada periostium posterior.
Dengan operating microscope pada daerah itu lakukan observasi untuk melihat adanya pulsasi yang
menandakan letak arteri. Jaringan lemak dan jaringan ikat pada fosa pterigopalatina didiseksi dengan
menggunakan hemostat, alligator clips, bayonet forcep dengan bipolar electrocauter dan nervehook.
Setelah a. maksila interna diidentifikasi, arteri ini diretraksi dengan menggunakan nervehook dan
identifikasi cabang-cabangnya. Dibuat nasoantral window dan masukkan tampon yang telah diberi
salap antibiotik selama 24 jam.
Maceri (1984) menjelaskan pendekatan transoral untuk ligasi a. maksilaris interna. Plane of
buccinator dimasuki melalui insisi gingivobukal. Jaringan lemak bukal dibuang, dan identifikasi
perlekatan m. temporalis ke prosessus koronoid mandibula. Lakukan diseksi tumpul pada daerah ini
dan identifikasi a. maksila interna. Selanjutnya arteri dipisahkan, dijepit atau diligasi. Prosedur ini
berguna apabila pendekatan transantral tidak dapat dilakukan oleh karena trauma sinus atau
malignansi. Kelemahan dari prosedur ini adalah lokasi ligasi terletak lebih ke proksimal
dibandingkan dengan pendekatan transantral sehingga lebih memungkinkan untuk terjadinya
kegagalan. Komplikasi utama pendekatan ini adalah pembengkakan pipi dan trismus yang dapat
berlangsung selama tiga bulan.
c. Ligasi Arteri Etmoidalis
Perdarahan yang berasal dari bagian superior konka media paling baik diterapi dengan ligasi
a. etmoidalis anterior atau posterior, atau keduanya. Ligasi dilakukan pada tempat arteri keluar
melalui foramen etmoidalis anterior dan posterior yang berada pada sutura frontoetmoid. Foramen
etmoidalis anterior berada kira-kira 1,5 cm posterior dari Krista lakrimalis posterior. Foramen
etmoidalis posterior berada hanya 4 - 7 mm. sebelah anterior n. optikus. Insisi etmoid eksterna
dilakukan untuk mencapai daerah ini. Retraktor orbita digunakan untuk meretraksi periostium orbita
dan sakus lakrimalis. Diseksi dilakukan disebelah posterior disepanjang garis sutura pada lamina
subperiosteal. Dua klem arteri diletakkan pada a. etmoidalis anterior, dan rongga hidung dievaluasi
kembali. Jika perdarahan berhenti, a. etmoidalis posterior tidak diganggu untuk menghindari trauma
n. optikus. Tetapi bila perdarahan persisten, a. etmoidalis posterior diidentifikasi dan diklem.
Hidarkan pemakaian kauter untuk menghindari trauma.
4. Angiografi dan Embolisasi
Sokoloff (1974) pertama kali memperkenalkan teknik embolisasi perkutan pada a. maksilaris interna
dengan menggunakan absorbable gelatin sponge untuk epistaksis yang persisten. Beberapa laporan terakhir
mendiskusikan kegunaan angiografi dalam menentukan sumber perdarahan. Merland, (1980) melaporkan
penggunaan embolisasi untuk pengobatan telangiektasi hemoragik herediter, epistaksis (primer dan
traumatik), angiofibroma nasofaring, tumor ganas dan penyakit pendarahan. Mereka menjumpai kesulitan
dalam melakukan embolisasi a. etmoidalis tetapi tindakan ini lebih menguntungkan bila dibandingkan
dengan ligasi a. maksila interna oleh karena terjadinya obliterasi dibagian distal arteri. Komplikasi
embolisasi mencakup paralisis fasial dan hemiplegi. Rasa nyeri pada wajah dan trismus juga sering dijumpai.
Beberapa material telah digunakan untuk embolisasi tetapi absorbable gelatin sponge merupakan zat yang
paling sering digunakan. Walaupun tekhnik ini masih kontroversi, ada kesepakatan bahwa embolisasi pada
penanganan epistaksis dilakukan bila terapi lainnya gagal dan apabila ada kontraindikasi untuk operasi.

Anda mungkin juga menyukai