Anda di halaman 1dari 14

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/316629727

Observasi Karakteristik Perairan Selat Bali melalui Pendekatan Insitu dan


Numerik

Chapter · August 2015

CITATIONS READS

0 455

3 authors:

Wingking Era Rintaka Bayu Priyono


Ministry of Marine Affairs and Fisheries Ministry of Marine Affairs and Fisheries
18 PUBLICATIONS   4 CITATIONS    10 PUBLICATIONS   5 CITATIONS   

SEE PROFILE SEE PROFILE

Teguh Agustiadi
Ministry of Marine Affairs and Fisheries
16 PUBLICATIONS   7 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Toward Indonesia Operational Oceanography View project

Validation of PFZF in Tolo Bay Central Sulawesi View project

All content following this page was uploaded by Teguh Agustiadi on 02 May 2017.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Observasi Karakteristik Perairan Selat Bali
Melalui Pendekatan Insitu Dan Numerik
Wingking Era Rintaka Siwi1, Bayu Priyono1, Teguh Agustiadi1
1
Balai Penelitian dan Observasi Laut, Jl. Baru Perancak, Negara, Jembrana, Bali
email: era09.bpol@gmail.com

ABSTRAK
Balai Penelitian dan Observasi Laut melakukan penelitian mengenai “Model ekosistem untuk
memprediksi kesuburan perairan” tahun 2012-2013 yang mewakili musim barat dan musim timur pada
bulan Januari dan Juni. Survei laut mengambil data suhu dan klorofil untuk menggambarkan
karakteristik perairan berdasarkan pendekatan insitu maupun model numerik. Dari sisi besarnya usaha
yang diperlukan, pendekatan model numerik akan lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan
pengukuran insitu, karena dengan pendekatan numerik dapat membuat suatu prediksi karakteristik
perairan yang dipengaruhi oleh fenomena oseanografi di perairan selat Bali. Perairan selat Bali
merupakan daerah potensial penangkapan lemuru (Bali sardenella). Produksi lemuru di perairan ini
berfluktuasi setiap tahun. Fluktuasi tersebut tidak terlepas dari pengaruh fenomena oseanografi
seperti upwelling yang dilihat dari suhu dan klorofil. Pengamatan kontinyu (time series) suhu dan
klorofil-a akan sulit dilakukan karena memerlukan waktu dan biaya yang mahal sehingga diperlukan
pendekatan model numerik dan observasi sebagai validasinya. Tulisan ini bertujuan untuk mengkaji
data-data dan informasi observasi karakteristik perairan Selat Bali melalui pendekatan insitu maupun
numerik. Pendekatan insitu dilakukan dengan pengukuran parameter suhu, salinitas dan klorofil dengan
mengggunakan CTD (conductivity temperature depth). Pendekatan numerik parameter suhu dari
HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) dan klorofil-a dengan perhitungan empiris Gaussian. Data
bathimetri diperoleh dari peta dunia GeoMap. Hasil observasi baik insitu maupun numerik
menunjukkan pada musim timur suhu permukaan laut di perairan selat Bali relatif lebih rendah
dibandingkan pada musim barat, begitu juga dengan konsentrasi klorofil-a musim timur lebih tinggi
dibandingkan musim barat terutama terlihat di lapisan permukaan sampai dengan kedalaman 20 m.

Kata kunci : observasi, selat Bali, insitu, numerik

Observation Of Bali Strait Using Insitu And Numerical Modelling Approach

ABSTRACT
Field observation of a research program called “Ecosystem Model to Predict the Water Fertility” by
IMRO has done in 2012-2013. We measured temperature and chlorophyll-a used as representation
of the water environment and as numerical model validation. We consider that the effort for
developing the numerical model can be more effective and efficient than continuous field
measurement and the numerical model approach can be used to predict the water environment at
Bali Strait. Bali Strait is a potential catching area of Lemuru (Bali sardenella). This fish production is
fluctuating every year that can be caused by the oceanographic phenomenon at Bali Strait, including
upwelling. This upwelling can be shown from the temperature and chlorophyll-a profile from the
field observation. Because the long field observation would take more effort and cost, numerical
model can provide solution to understand the phenomenon and its influence to water environment.
This research purpose is to review data and information of characteristic of Bali Strait water using
field observation and numerical model. The field measurement was done using the CTD (conductivity
temperature depth) instrument. For the numerical model approach we used the HAMburg Shelf
Ocean Model (HAMSOM) for temperature and Gaussian empirical calculation for chlorophyll-a. The
bathymetry was acquired from GeoMap global. Both field observation and numerical model showed
that the surface temperature at Bali Strait was lower during the east monsoon than during west
13
monsoon. Chlorophyll-a concentration was higher during east monsoon during west monsoon
especially in the surface layer up to 20 meter depth.

Keywords: Observation, Bali Strait, numerical model

PENDAHULUAN

Perairan selat Bali merupakan daerah potensial penangkapan lemuru (Bali sardenella).
Produksi lemuru di perairan ini berfluktuasi setiap tahunnya. Fluktuasi tersebut tidak
terlepas dari pengaruh fenomena oseanografi yang diobservasi melalui karakteristik
perairan. Salah satu fenomena yang terjadi di perairan selat Bali adalah fenomena
upwelling. Upwelling akan mengangkat massa air dari dasar perairan ke permukaan untuk
mengisi kekosongan akibat berpindahnya massa air permukaan ikut membawa nutrien
dalam jumlah yang besar. Secara fisis daerah upwelling ditandai dengan massa air dengan
suhu yang lebih dingin, dan salinitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah
sekitarnya. Secara kimiawi ditandai dengan tingginya zat hara (fosfat dan nitrat) dan secara
biologis umumnya ditandai dengan tingginya kandungan plankton atau klorofil-a. Semakin
tinggi konsentrasi klorofil-a pada suatu perairan maka semakin tinggi pula kelimpahan
fitoplanktonnya (Prezelein, 1981). Parameter suhu dan klorofil-a merupakan indikator
utama upwelling di perairan selat Bali. Pengamatan suhu dan klorofil-a yang kontinyu (time
series) akan sulit dilakukan karena memerlukan waktu dan biaya banyak, untuk itu
diperlukan pendekatan model numerik dan observasi sebagai validasinya. Paper ini berisi
mengenai kajian data-data dan informasi hasil penelitian observasi karakteristik perairan
Selat Bali baik melalui pendekatan insitu maupun numerik yang dilakukan tahun 2012-
2013.

LOKASI STUDI

Wilayah observasi insitu dan numerik dilakukan di perairan selat Bali dengan batas
koordinat 8.10 °S – 8.90 °LS dan 114.25 °BT – 115.25 °BT seperti terlihat pada Gambar 1,
dimana titik-titik merah adalah statsiun pengukuran insitu dengan CTD (conductivity
temperature depth), kotak hitam stasiun pengukuran insitu untuk validasi model numerik.

14
Gambar 1. Wilayah penelitian dan stasiun validasi model di perairan Selat Bali

METODE OBSERVASI INSITU DAN NUMERIK

Observasi insitu parameter suhu, salinitas dan klorofil dengan mengggunakan CTD
(conductivity temperature depth). Metode observasi numerik parameter suhu
menggunakan hasil keluaran HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) dan menggunakan
perhitungan dari persamaan empiris Gaussian untuk parameter klorofil-a.

Metode Observasi Insitu


Metode observasi insitu parameter suhu, salinitas dan klorofil dengan mengggunakan CTD
(conductivity temperature depth). CTD adalah instrumen yang digunakan untuk mengukur
karakteristik air seperti suhu, salinitas, tekanan, kedalaman, dan densitas. Secara umum,
sistem CTD terdiri dari unit masukan data, sistem pengolahan, dan unit luaran. Unit
masukan data terdiri dari sensor CTD, rosette, botol sampel, kabel koneksi dll. Sensor
berfungsi untuk mengukur parameter karakteristik fisik air laut yang terdiri dari sensor
tekanan, temperatur, dan konduktivitas. Botol sampel berfungsi sebagai wadah sampel air
sedangkan rosset berfungsi untuk mengatur penutupan botol. Kabel koneksi berfungsi
sebagai penompang, dan juga berfungsi sebagai pengantar sinyal. Telekomando akan
memberikan sinyal kepada rosset untuk menutup botol secara berurutan, setelah
mengambil sampel air laut. Unit pengolah terdiri dari sebuah unit pengontrol CTDS (CTD
Sensor) dan komputer yang dilengkapi perangkat lunak. Unit pengontrol berfungsi sebagai
pengolah sinyal CTD, penampil hasil pengukuran serta pengubah sinyal analog ke digital.
CTD mengontrol setiap kegiatan akusisi dan pengambilan sampel serta kalibrasi. Setiap
penekanan tombol fungsi sesuai pada menu, maka printer akan mencetak posisi,
kedalaman, salinitas, konduktifitas dan temperatur sehingga kronologis kegiatan
pengoprasian CTD dapat terekam.
Sensor adalah sebuah piranti yang mengubah fenomena fisika menjadi sinyal elektrik. CTD
memiliki tiga sensor utama, yakni sensor tekanan, sensor temperatur, dan sensor untuk
mengetahui daya hantar listrik air laut (konduktivitas). Sensor tekanan merupakan sensor

15
yang memanfaatkan hubungan langsung antara tekanan dan kedalaman. Sensor ini terdiri
dari tahanan yang berbentuk seperti jembatan wheatsrone kemudian dinamakan strain
gauge. Strain gauge merupakan alat resistansi yang berubah ketika mendapat tekanan.
Tahanan ini akan memegang peranan ketika mendapat gaya dalam bentuk fisika seperti
tekanan, beban (berat), dan lain-lain Sensor temperatur adalah sensor yang berpengaruh
terhadap suatu hambatan, dalam bentuk termistor. Termistor (tahanan termal) merupakan
alat semikonduktor yang berperan sebagai tahanan dengan besar koefisien tehanan
temperatur yang tinggi dan biasanya bernilai negative. Alatini terbuat dari campuran
oksida-oksida logam yang diendapkan seperti mangan, nikel, kobalt dll. Sensor
konduktofitas merupakan sensor yang mendeteksi adanya nilai daya hantar listrik di suatu
perairan. Sensor ini merupakan sensor yang terdiri dari tabung berongga danempet buah
terminal elektroda platina-rhodium di belakang sisinya. Sebagai sensor yang melewati nilai
konduktifitas maka rata-rata hasil proses dalam pengukuran akan melewati nilai rendah
(low pass fliter). Sensor ini akan mulai mengukur ketika alat telah bergerak masuk kedalam
air sampai pada posisi yang diinginkan. Sebenarnya sensor ini mengukur nilai konduktifitas
untuk mengetahui nilai salinitas atau kadar garam di sebuah perairan sacara tidak
langsung.

Pada Prinsipnya teknik pengukuran pada CTD ini adalah untuk mengarahkan sinyal dan
mendapatkan sinyal dari sensor yang menditeksi suatu besaran, kemudian mendapatkan
data dari metode multiplexer dan pengkodean (decode), kemudian memecah data dengan
metode enkoder untuk di transfer ke serial data stream dengan dikirimkan ke kontrolunit
via cabel. CTD diturunkan ke kolom perairan dengan menggunakan winch disertai
seperangkat kabel elektrik secara perlahan hingga ke lapisan dekat dasar kemudian ditarik
kembali ke permukaan. CTD memiliki tiga sensor utama, yakni sensor tekanan, sensor
temperatur, dan sensor untuk mengetahui daya hantar listrik air laut (konduktivitas).
Pengukuran tekanan pada CTD menggunakan strain gauge pressure monitor atau quartz
crystal. Tekanan akan dicatat dalam desibar kemudian tekanan dikonversi menjadi
kedalaman dalam meter. Sensor temperatur yang terdapat pada CTD menggunakan
thermistor, termometer platinum atau kombinasi keduanya. Sel induktif yang terdapat
dalam CTD digunakan sebagai sensor salinitas. Pengukuran data tercatat dalam bentuk
data digital. Data tersebut tersimpan dalam CTD dan ditransfer ke komputer setelah CTD
diangkat dari perairan atau transfer data dapat dilakukan secara kontinu selama perangkat
perantara (interface) dari CTD ke komputer tersambung. Data suhu, salinitas, konduktivitas
dan klorofil yang telah tertransfer ke komputer tidak langsung dilakukan pengolahan,
tetapi harus dilakukan tahap filtering data. Filtering data dimaksudkan untuk
menghilangkan data noise pada saat pengukuran. Data noise terjadi kerena pengaruh
gesekan alat dengan kapal, hanyutnya tali CTD saat penurunan/pengangkatan oleh angin,
arus, maupun gelombang.

Setelah data dilakukan filtering kemudian data diolah menggunakan software Ocean Data
View (ODV) untuk mengetahui karakteristik perairan melalui visualisai penampang
melintang suhu, klorofil di perairan selat Bali . Ocean Data View (ODV) adalah software
16
yang dikembangkan oleh Prof. R. Schlitzer dari Alfred Wegener Institute for Polar and
Marine Research, Bremerhaven, Germany. Software ODV yang bisa diakses gratis di
(http://odv.awi.de/en/home/). ODV dapat digunakan secara langsung dengan format data
yang direkam dari CTD.

Metode Observasi Numerik


Pendekatan numerik parameter suhu (sea surface temperature, SST) menggunakan
keluaran dari HAMburg Shelf Ocean Model (HAMSOM) dan klorofil-a menggunakan
perhitungan dari persamaan empiris Gaussian. HAMSOM merupakan salah satu model laut
yang telah banyak digunakan dan diterapkan di dunia . HAMSOM dibangun sebagai model
hidrodinamika 3D dan merupakan sebuah model baroklinik (Backhaus, 1987) dimana
perubahan densitas dan gaya pembangkit atmosfer diperhatikan dalam simulasi ini.
Persamaan utama yang digunakan dalam model ini adalah persamaan momentum,
persamaan vertikal hidrostatik, persamaan kontinuitas, dan persamaan kekekalan
temperatur dan salinitas. Model ini telah pula diterapkan untuk perairan Indonesia dan
telah menjalani proses validasi yang cukup baik untuk perairan Indonesia, khususnya
Indonesia bagian barat (Putri, 2005).

Data bathimetri diperoleh dari peta dunia GeoMap dengan resolusi 200 meter x 200 meter
terhadap lintang dan bujur digunakan sebagai pembatas lapisan eufotik dan pengontrol
perhitungan klorofil. Data suhu memiliki resolusi horizontal 5 x 5 menit atau 9 km x 9 km
yang mempunyai 30 lapisan kedalaman dari 3 meter sampai dengan 10.455 meter,
sehingga perlu dilakukan regridding pada sumbu x dan y menjadi 200 meter x 200 meter.
Data klorofil yang digunakan adalah data klorofil vertikal hasil pengukuran observasi bulan
Juni dan September 2012 dan permukaan bulan Januari dan April dari citra satelit
Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang diakses melalui
http://www.science.oregonstate.edu/ ocean.productivity/. Data pengukuran lapangan
digunakan untuk mendapatkan lima koefisien parameter pembentuk model Gauss bulan
Juni dan September. Selanjutnya model Gauss tersebut masing-masing digunakan untuk
menghitung klorofil vertikal secara spasial di selat Bali pada bulan Januari, April, Juni dan
September dengan acuan data klorofil permukaan dari satelit. Data klorofil permukaan
MODIS merupakan rata-rata bulanan dengan resolusi 9 km x 9 km sehingga dilakukan
regriding pada sumbu x dan y menjadi 200 meter x 200 meter sesuai dengan resolusi
bathimetri. Kemudian klorofil vertikal hasil perhitungan Model Gauss dibandingkan
terhadap data observasi tahun 2012 dan 2013 untuk pengujian data. Kedua pendekatan
baik insitu maupun numerik tersebut mewakili dua musim yaitu musim barat dan musim
timur.

HASIL DAN PEMBAHASAN OBSERVASI INSITU DAN NUMERIK

Berdasarkan hasil dan pembahasan observasi insitu dan numerik karakteristik perairan
Selat Bali untuk parameter suhu dan klorofil adalah sebagai berikut :

17
Observasi Insitu Suhu dan Klorofil-a
Berdasarkan dari hasil pengukuran insitu dengan menggunakan CTD yang dilakukan pada
April, Juni dan September 2013 terlihat bahwa secara spasial suhu permukaan laut (SPL)
bervariasi untuk pengukuran April, Juni dan Agustus 2013 (Gambar 2). SST pada April 2013
berkisar 26,5-29,5 °C cross section dari barat (Pulau Jawa) ke timur (Pulau Bali). SST di
perairan sisi timur sebesar 29,5 °C lebih hangat dibandingkan perairan sisi barat yaitu 26,5
°C. Suhu minimum ditemukan di kedalaman 55-60 m sebesar 26 °C. SST pada Juni 2013
relatif seragam dibanding pengukuran pada April yaitu berkisar 29,5-30 °C. Seperti yang
terjadi pada April dan Juni SST sisi timur relatif lebih hangat dibandingkan sisi barat. Suhu
minimum ditemukan pada kedalaman 90-100 m yaitu berkisar antara 26-26,5 °C. SST pada
Agustus 2013 lebih dingin dibandingkan pada April dan Juni, begitu juga suhu di kedalaman
55-60 m lebih dingin yaitu mencapai 20-22 °C dan akan semakin turun dengan
bertambahnya kedalaman, seperti di kedalaman 90-100 m dimana suhu minimum
mencapai 17,5-20 °C. Di kedalaman yang sama pada Agustus, temperatur relatif lebih
dingin dibandingkan pada April (26 °C) maupun Juni 2013 (26-26,5 °C), hal ini dimungkinkan
karena pada Agustus telah memasuki musim timur, dimana pada saat musim ini SST
perairan selatan Jawa, Bali, Nusa Tenggara relatif rendah yang akan berpengaruh terhadap
perairan selat Bali. Hendiarti et.al. (2005) menyampaikan bahwa kondisi oseanografi Selat
Bali dipengaruhi oleh angin muson. Pada saat berlangsungnya angin muson
tenggara/musim timur (Juni-Agustus) suhu relatif rendah dan konsentrasi klorofil-a
meningkat, sedangkan musim barat (Desember-Februari) akan berlaku sebaliknya.
Parameter suhu dan klorofil-a merupakan indikator utama dalam menentukan terjadinya
upwelling di suatu perairan, dimana saat upwelling ditandai dengan pengangkatan massa
air dingin dari dasar ke permukaan yang menyebabkan penurunan SST dan peningkatan
konsentrasi klorofil perairan.

Suhu
April
2013

Suhu
Juni
2013

Suhu
Agustus
2013

Gambar 2. Observasi suhu hasil pengukuran insitu perairan Selat Bali

Kondisi upwelling di selat Bali selain dilihat dari konsentrasi SST juga bisa dilihat dari
konsentrasi SSC (sea surface chlorophyll) di perairan tersebut. Berdasarkan hasil
18
pengukuran CTD terlihat distribusi spasial SSC (sea surface chlorophyll) juga terlihat
bervariasi untuk tiap-tiap pengukuran pada April, Juni dan Agustus 2013. Pada April 2013
berkisar 0,02-0,04 mg/m3 cross section dari barat (Pulau Jawa) ke timur (Pulau Bali), terlihat
di lapisan permukaan di pertengahan selat nilai klorofil minimum sebesar 0,02 mg/m3
sedangkan klorofil maksimum berkisar antara 0,05-0,06 mg/m3 terlihat di kedalaman 20-25
m di perairan mendekati Pulau Jawa. Konsentrasi SSC meningkat pada Juni 2012 menjadi 1-
1,5 mg/m3, klorofil minimum masih ditemui di lapisan permukaan pertengahan selat
seperti pada April dengan nilai konsentrasi meningkat menjadi 0,5 mg/m3, sedangkan
konsentrasi maksimum berkisar antara 2-2,25 mg/m3 pada Juni ditemukan di kedalaman
35-60 m di perairan mendekati Pulau Jawa. Pada Agustus konsentrasi maksimum berada di
kedalaman 35-60 m pada Juni bergerak naik hingga kedalaman 20 m sampai permukaan
(Gambar 3). Secara spasial pada Agustus konsentrasi SSC paling tinggi (2-6 mg/m3), hal ini
memperkuat pernyataan sebelumnya oleh Hendiarti et al. (2005) yaitu pada saat musim
timur perairan selat Bali mendapatkan pengaruh upwelling dari perairan selatan Jawa, Bali
dan Nusa tenggara yang ditandai dengan peningkatan konsentrasi klorofil. Pada saat
musim timur yang diwakili pengukuran pada Juli dan Agustus 2012 di perairan selat Bali,
konsentrasi klorofil maksimum ditemukan di kedalaman 23-25 m dengan nilai berkisar
antara 4,61-6,53 mg/m3 (Rintaka dkk., 2013).

Klorofil-a
April
2013

Klorofil-a
Juni
2013

Klorofil-a
Agustus
2013

Gambar 3. Observasi klorofil-a hasil pengukuran insitu perairan Selat Bali.

Observasi Hasil Keluaran Model Suhu dan Klorofil-a


Suhu permukaan laut menggunakan data reanalisis keluaran model HAMSOM rata-rata
dari Januari, April, Juni dan September sebagai perwakilan dari setiap musimnya (Gambar
4). Pada saat musim barat (northwest monsoon) yang diwakili bulan Januari SST berkisar
antara 27,1-28,9 0C dimana terlihat nilai SST lebih tinggi dan akan terus bergerak menurun
memasuki awal musim peralihan I pada April menjadi 26,5-27.1 0C. Pada saat memasuki
musim timur (southeast monsoon) pada Juli SST berkisar antara 25,3-26,1 0C dan semakin

19
menurun sampai dengan awal musim peralihan II, pada September terlihat minimum
dengan kisaran 24,3-25,1 0C. Sachoemar & Yanagi (2000) menyatakan bahwa pada saat
musim barat (northwest monsoon) Januari-Maret SST Samudera Hindia selatan Jawa
berkisar 28-29 0C dan menurun pada April-Mei berkisar 28-27 0C, saat memasuki musim
timur (southeast monsoon) pada Juni-September SST semakin turun sampai dengan 25 0C.
Hasil penelitian yang lain dilakukan oleh Ridla dan Hartoko (2012) berdasarkan citra Satelit
Aqua MODIS rata-rata bulanan tahun 2012 terlihat SST musim timur menunjukkan kisaran
suhu (22-28 0C) lebih rendah dari pada musim barat dengan kisaran suhu 27-30 0C

Januari April

Juni September
Gambar 4. Observasi suhu permukaan laut hasil keluaran model HAMSOM

Fenomena upwelling terlihat jelas dari distribusi vertikal suhu rata-rata bulanan (Gambar 5)
yang melintang dari barat ke timur (dari Pulau Jawa ke Pulau Bali). Pada saat musim barat
yang diwakili Januari, massa air hangat dengan suhu 25,5-27,5 0C terdistribusi hingga
mencapai kedalaman 60 m. Pada saat memasuki musim peralihan I (April), massa air dingin
tersebut bergerak ke permukaan hingga kedalaman 50 m dan akan terus bergerak ke
permukaan saat memasuki musim timur (Juli) di kedalaman 40 m dan terjadi penurunan
suhu menjadi 25-26 0C. Pada saat memasuki musim peralihan I suhu akan terus menurun
hingga mencapai 25 0C di kedalaman 23 m. Hal ini mengindikasikan pada saat musim timur
sekitar Juli-September di perairan Selat Bali terjadi pengangkatan massa air dingin dari
dasar ke permukaan, yang secara fisis ditandai dengan suhu permukaan yang lebih dingin
dan salinitas yang lebih tinggi. Terlihat pada Juli-September suhu permukaan lebih rendah
dan berdasarkan distribusi vertikal massa air dingin di kedalaman 23-30 m dan pada
Januari-April massa air dingin bergerak ke dasar hingga kedalaman 50-60 m. Berdasarkan

20
hasil keluaran model terlihat terjadi pengangkatan massa air dingin dari dasar ke permukan
saat memasuki musim timur (Juli-September), dan massa air dingin akan bergerak turun
saat memasuki musim barat sampai berakhirnya musim peralihan I (Januari-April).

Januari April

Juni September
Gambar 5. Observasi suhu vertikal kedalaman hasil keluaran model HAMSOM

Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa secara fisis daerah upwelling ditandai dengan
pengangkatan massa air yang bersuhu lebih dingin dan bersalinitas yang lebih tinggi
dibanding dengan daerah sekitarnya dan secara biologis umumnya ditandai dengan
tingginya kandungan plankton atau klorofil-a. Semakin tinggi konsentrasi klorofil-a pada
suatu perairan maka semakin tinggi pula kelimpahan fitoplanktonnya (Prezelein, 1981).
Daerah upwelling mendapatkan masukan nutrien yang tinggi dari lapisan kedalaman,
semakin tinggi konsentrasi nutrien, semakin tinggi pula konsentrasi klorofil-a dan diikuti
dengan peningkatan kelimpahan fitoplankton yang merupakan makanan utama bagi
lemuru. Konsentrasi klorofil-a hasil keluaran model rata-rata dari Juni – Juli (M. Peralihan I),
Agustus – September (M.Timur), Oktober – November (M. Peralihan II) seperti terlihat
pada Gambar 6. Pada saat musim peralihan I (Juni – Juli) (3,0-3,4 mg/m3) terlihat
konsentrasi klorofil-a minimum dibandingkan pada musim timur bulan Agustus -
September (3,3-4,5 mg/m3) dan musim peralihan II bulan Oktober – November (0,5-3,3
mg/m3). Konsentrasi klorofil-a maksimum terlihat pada Agustus – September – Oktober,
terlihat tinggi di pesisir timur selat Bali terutama barat daya pulau Bali dan di pesisir selatan
Jawa timur Semenanjung Belambangan/perairan tenggara Banyuwangi.

21
Juni Juli

Agustus September

Oktober November
Gambar 6. Observasi klorofil-a permukaan laut hasil keluaran model empiris Gausian

Berdasarkan hasil keluaran model sebaran horizontal tersebut terlihat konsentrasi rata-rata
bulanan klorofil-a tertinggi pada Agustus – September – Oktober, hal ini memperkuat
pernyataan sebelumnya oleh Hendiarti et al. (2005) yaitu pada saat musim timur perairan
selat Bali mendapatkan pengaruh upwelling dari perairan selatan Jawa, Bali dan Nusa
tenggara. Kondisi ini ditandai dengan peningkatan konsentrasi klorofil-a, dimana pada
musim timur di perairan selatan Pulau Jawa – Bali terjadi upwelling, rata-rata konsentrasi
klorofil-a sebesar 0,39 mg/L dan pada musim barat sekitar 0,18 mg/L. Berdasarkan hasil
analisa dari citra satelit MODIS rata-rata bulanan pada 2012 yang dijelaskan sebelumnya,
sebaran klorofil-a di perairan selat Bali pada saat musim timur adalah lebih tinggi
22
dibandingkan pada musim barat (Ridla & Hartoko, 2012). Kandungan klorofil-a musim
timur berkisar antara 0,09-3,9 mg/m3, sedangkan musim barat rata-rata 0,01-0,9 mg/m3.

Juni Juli

Agustus September

Oktober November
Gambar 7. Observasi klororil-a vertikal kedalaman hasil keluaran keluaran model empiris
Gausian

Fenomena upwelling terlihat jelas dari distribusi vertikal klorofil-a dari barat – timur (Jawa
–Bali) yang diwakili di lintang 8,7 °LS (Gambar 7). Konsentrasi klorofil-a terlihat tinggi pada
Juni – Juli yaitu 2,3-5 mg/m3 di kedalaman 5-23 m dan mencapai maksimum pada Agustus
sekitar 5 mg/m3. Konsentrasi klorofil-a permukaan tinggi saat memasuki musim timur
sampai dengan berakhirnya musim timur, dimana terjadi pengangkatan massa air dingin
dari dasar ke permukaan yang membawa nutrien dengan konsentrasi klorofil-a tinggi.
Keadaan ini disebabkan oleh tingginya konsentrasi nutrien yang dihasilkan melalui proses
fisik massa air, dimana massa air dalam mengangkat nutrien dari lapisan dalam ke lapisan
permukaan (Valiela, 1984). Semakin memasuki musim barat (Oktober-November)

23
pengangkatan konsentrasi klorofil-a tinggi ke permukaan semakin berkurang, dengan kata
lain bahwa konsentrasi klorofil-a terangkat mendekati permukaan (upwelling) pada saat
musim timur dan bergerak ke kedalaman (down-welling) pada saat memasuki musim barat.
Upwelling di perairan selat Bali terjadi pada awal musim timur dan berakhir pada akhir
musim peralihan.

KESIMPULAN

Di dalam kegiatan observasi karakteristik perairan Selat Bali 2012-2013 telah diperoleh
banyak data dan informasi serta beberapa publikasi nasional mengenai karakteristik
perairan Selat Bali baik hasil pengukuran insitu maupun hasil keluaran model numerik.
Observasi karakteristik perairan Selat Bali berdasarkan hasil insitu maupun analisa keluaran
model numerik menunjukkan bahwa pada saat muson tenggara (southeast monsoon),
suhu permukaan laut (SPL) perairan selat Bali lebih rendah dan konsentrasi klorofil-a lebih
tinggi dibandingkan pada saat berlangsungnya muson baratlaut (nortwest monsoon).
Konsentrasi klorofil-a maksimum terutama terlihat di kedalaman permukaan sampai
kedalaman 20 m. Metode observasi insitu maupun pendekatan pemodelan numerik bisa
memberikan gambaran yang cukup akurat mengenai karakteristik perairan termasuk
fenomena upwelling di perairan Selat Bali.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada tim penelitian “Model
Ekosistem Untuk Memprediksi Kesuburan Perairan” atas kerjasama saat survey maupun
saat pengolahan dan analisis data perairan Selat Bali serta tidak lupa disampaikan
penghargaan tertinggi yaitu kepada Kepala Balai dan Observasi Laut, Balitbang
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Kelautan dan Perikanan, atas dana
DIPA Penelitian 2012-2013.

DAFTAR PUSTAKA
Backhaus, J. O. and D. Hainbucher. (1987). A finite-difference general circulation model for
shelf seas and ist application to low frequency variability on the North European
Shelf. In: Three–dimensional Models of Marine and Estuarine Dynamics. J.C.J.
Nihoul and B.M. Jamart (eds.), pp.221-244, Elsevier Science Publishers B.V.,
Amsterdam
Hendiarti, N., E. Suwarso, Aldrian, K. Amri, R. Andiastuti, S. Sachoemar, & I.B. Wahyono.
(2005). Seasonal Variation of Pelagis Fish Catch Around Java. Oceanography, 18(4):
112-123
Prézelein, B.B. (1981). Light Reactions in Photosynthesis Dalam: Physiological Bases of
Phytoplankton Ecology (T. Piatt ed.) Canadian Bulletin of Fish, and Aquatic Science
210:1-43.
Putri, M. R. (2005). Study of Ocean Climate Variability (1959-2002) in the Eastern Indian
Ocean, Java Sea and Sunda Strait Using the HAMburg Shelf Ocean Model, Disertasi
Doktor. Universit¨at Hamburg.

24
Rintaka. W.E, Setiawan. A, Susilo. E, Trenggono. M. (2013). Variasi Sebaran Suhu, Salinitas
dan Klorofil terhadap Jumlah Tangkapan Lemuru di Perairan Selat Bali saat Muson
Tenggara. Pertemuan Ilmiah Nasional Tahunan X ISOI 2013
Suhendar, I.S., & Yanagi, T. (2000). Seasonal variation in surface temperature java derived
from NOAA AVHRR. La mer 38 : 65-75, 2000 Sociêté franco-japonaise
d’océanographie, Tokyo
Valiela, I., (1984). Marine Ecological Processes. Library of Congress Catalogy in
Publication Data, New York,USA

25

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai