Anda di halaman 1dari 45

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Stroke masih merupakan penyebab utama invaliditas kecacatan

sehingga orang yangmengalaminya memiliki ketergantungan pada orang lain –

pada kelompok usia 45 tahun ke atas dan angka kematian yang diakibatnya cukup

tinggi. [1]

Perdarahan intra serebral terhitung sekitar 10 – 15% dari seluruh stroke dan

memiliki tingkat mortalitas lebih tinggi dari infark cerebral. Literature lain

menyatakan 8 – 18% dari stroke keseluruhan yang bersifat hemoragik. Namun,

pengkajian retrospektif terbaru menemukan bahwa 40,9% dari 757 kasus stroke

adalah stroke hemoragik. Namun pendapat menyatakan bahwa peningkatan

presentase mungkin dikarenakan peningkatan kualitas pemeriksaan seperti

ketersediaan CT scan, taupun peningkatan penggunaan terapeutik agen platelet dan

warfarin yang dapat menyebabkan perdarahan. [2]

Stroke adalah penyebab kematian dan disabilitas utama. Dengan kombinasi

seluruh tipe stroke secara keseluruhan, stroke menempati urutan ketiga penyebab

utama kematian dan urutan pertama penyebab utama disabilitas. Morbiditas yang

lebih parah dan mortalitas yang lebih tinggi terdapat pada stroke hemoragik

dibandingkan stroke iskemik. Hanya 20% pasien yang mendapatkan kembali

kemandirian fungsionalnya. [2]

1
2

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

Otak terdiri dari sel-sel otak yang disebut neuron, sel-sel penunjang yang

dikenal sebagai sel glia, cairan serebrospinal, dan pembuluh darah. Semua orang

memiliki jumlah neuron yang sama sekitar 100 miliar, tetapi koneksi di antara

berbagi neuron berbeda-beda. Pada orang dewasa, otak membentuk hanya sekitar

2% (sekitar 1,4 kg) dari berat tubuh total, tetapi mengkonsumsi sekitar 20% oksigen

dan 50% glukosa yang ada di dalam darah arterial.(1)

Otak harus menerima lebih kurang satu liter darah per menit, yaitu sekitar

15% dari darah total yang dipompa oleh jantung saat istirahat agar berfungsi

normal. Otak mendapat darah dari arteri. Yang pertama adalah arteri karotis interna

yang terdiri dari arteri karotis (kanan dan kiri), yang menyalurkan darah ke bagian

depan otak disebut sebagai sirkulasi arteri cerebrum anterior. Yang kedua adalah

vertebrobasiler, yang memasok darah ke bagian belakang otak disebut sebagai

sirkulasi arteri cerebrum posterior. Selanjutnya sirkulasi arteri cerebrum anterior

bertemu dengan sirkulasi arteri cerebrum posterior membentuk suatu sirkulus

willisi. (1)

Ada dua hemisfer di otak yang memiliki masing-masing fungsi. Fungsi-

fungsi dari otak adalah otak merupakan pusat gerakan atau motorik, sebagai pusat

sensibilitas, sebagai area broca atau pusat bicara motorik, sebagai area wernicke

atau pusat bicara sensoris, sebagai area visuosensoris, dan otak kecil yang berfungsi
3

sebagai pusat koordinasi serta batang otak yang merupakan tempat jalan serabut-

serabut saraf ke target organ. Jika terjadi kerusakan gangguan otak maka akan

mengakibatkan kelumpuhan pada anggota gerak, gangguan bicara, serta gangguan

dalam pengaturan nafas dan tekanan darah. Gejala di atas biasanya terjadi karena

adanya serangan stroke. (1)

Gambar 2.1 Anatomi Otak

2.2 Pengertian Stroke dan Stroke Hemoragik

Menurut definisi WHO, stroke adalah suatu tanda klinis yang berkembang

secara cepat akibat gangguan otak fokal (atau global) dan gejala-gejala yang

berlangsung selama 24 jam atau lebih dan dapat menyebabkan kematian

tanpa adanya penyebab lain yang jelas selain vaskular. Stroke hemoragik adalah

stroke yang terjadi apabila lesi vaskular intraserebrum mengalami ruptur sehingga

terjadi perdarahan ke dalam ruang subaraknoid atau langsung ke dalam jaringan

otak [3]
4

2.3 Epidemiologi Stroke dan Stroke Hemoragik

Stroke merupakan penyebab kematian ketiga dan penyebab utama

kecacatan. [2] Sekitar 0,2% dari populasi barat terkena stroke setiap tahunnya yang

sepertiganya akan meninggal pada tahun berikutnya dan sepertiga sisanya dapat

sembuh kembali seperti semula. Dari keseluruhan data di dunia, ternyata stroke

sebagai penyebab kematian mencapai 9% dari total kematian per tahunnya[ 4 ]

Insidens kejadian stroke di Amerika Serikat yaitu 500.000

pertahunnya dimana 10-15% merupakan stroke hemoragik khususnya perdarahan

intraserebral. Mortalitas dan morbiditas pada stroke hemoragik lebih berat dari pada

stroke iskemik. Dilaporkan hanya sekitar 20% saja pasien yang mendapatkan

kembali kemandirian fungsionalnya. Selain itu ada sekitar 40-80% akhirnya

meninggal pada 30 hari pertama setelah serangan dan sekitar 50% meninggal pada

48 jam pertama. Penelitian menunjukkan dari 251 penderita

stroke, a d a 4 7 % wanita dan 53% kali-laki dengan rata-rata umur 69 tahun (78%)

berumur lebih dari 60 tahun. Pasien dengan umur lebih dari 75 tahun dan

berjenis kelamin laki-lakimenunjukkan outcome yang lebih buruk. [2]

2.4 Etiologi

Hipertensi merupakan penyebab terbanyak perdarahan intraserebral.

Perdarahan intraserebral spontan yang tidak berhubungan dengan hipertensi,

biasanya berhubungan dengan diskrasia darah, hemartroma, neoplasma, aneurisma,

AVM, tumor otak metastasis, pengobatan dengan antikoagulans, gangguan

koagulasi seperti pada leukemia atau trombositopenia, serebralarteritis, amyloid

angiopathy dan adiksi narkotika. (6),(7)


5

Perdarahan intraserebral dapat disebabkan oleh:

1. Hipertensi

Penyebab tersering perdarahan intraserebral adalah hipetensi arterial.

Peningkatan tekanan darah patologis merusak dinding pembuluh darah

arteri yang kecil, menyebabkan mikroaneurisme yang dikenal sebagai

Charcot Bouchard. Aneurisme ini dapat ruptur secara spontan. Lokasi

predileksi untuk perdarahan intraserebral hipertensif adalah ganglia basalis,

thalamus, nukelus serebri, dan pons. Substansia alba serebri yang dalam,

sebaliknya jarang terkena. (6)

Manifestasi perdarahan intraserebral tergantung pada lokasinya. Perdarahan

ganglia basalis dengan kerusakan kapsula interna biasanya menyebabkan

hemiparesis kontralateral berat, sedangkan perdarahan pons menimbulkan

tanda-tanda mati batang otak. Ancaman utama perdarahan intraserebral

adalah hipertensif intrakranial akibat efek massa hematom. Tidak seperti

infark, yang meningkatkan tekanan intrakranial secara perlahan ketika

edema sitotoksik yang menyertainya bertambah berat, perdarahan

intraserebral meningkatkan tekanan intrakranial secara cepat. (6)

2. Cerebral Amyloid Angiopathy

Cerebral Amyloid Angiopathy adalah suatu perubahan vaskular yang unik

ditandai oleh adanya deposit amiloid di dalam tunika media dan tunika

adventisia pada arteri kecil dan arteri sedang di hemisfer serebral. Arteri-

arteri yang terkena biasanya adalah arteri-arteri kortikal superfisial dan

arteri-arteri leptomening. Sehingga perdarahan lebih sering di daerah


6

subkortikal lobar berbanding daerah basal ganglia. Deposit amiloid

menyebabkan dinding arteri menjadi lemah sehingga pecah dan terjadi

perdarahan intraserebral. Di samping hipertensi, amyloid angiopathy

dianggap faktor penyebab kedua terjadinya perdarahan intraserebral

pada penderita lanjut usia. Kelainan ini khas dengan deposit fibril amiloid

pada media dan intima arteria ukuran kecil dan sedang pada otak dan

leptomening pasien lanjut usia. Perdarahan itu mungkin disebabkan karena

robeknya dinding pembuluh yang lemah atau mikroaneurisma. Angiopati

amiloid serebral tidak berhubungan dengan angiopati amiloid sistemik dan

terjadi sporadis, namun hubungan famili pernah dilaporkan. Hubungan

dengan Alzheimer dipostulasikan karena plak dijumpai pada lebih dari 50

% kasus dan 10‐30 % pasien menunjukkan demensia progresif. Berbeda

dengan perdarahan hipertensif, ia mempunyai predileksi pada lapisan

superfisial dari korteks serebral, terutama pada lobus parietal dan oksipital,

dan jarang tampak pada substansi putih atau abu-abu dalam. Perdarahan

spontan berganda pada pasien lanjut usia normotensif lebih mungkin karena

angiopati amiloid. Perdarahan berulang sering pada kasus yang operatif

maupun nonoperatif.(8)

Perdarahan di putamen, thalamus, dan pons biasanya akibat ruptur a.

lentikulostriata, a. thalamoperforating dan kelompok basilar-paramedian.

Sedangkan perdarahan di serebelum biasanya terdapat di daerah nukleus

dentatus yang mendapat pendarahan dari cabang a. serebelaris superior dan

a. serebelaris inferior anterior.


7

2.5 Faktor Resiko Stroke

Berbagai penelitian menunjukkan terdapat beberapa faktor resiko membuat

seorang individu menjadi lebih rentan mengalami stroke. Resiko terjadinya stroke

meningkat seiring dengan bertambahnya usia dan jenis kelamin laki-laki memiliki

resiko yang lebih tinggi daripada perempuan pada seluruh kelompok usia. Faktor

resiko utama untuk iskemia serebral dan perdarahan adalah adanya riwayat

keluarga hipertensi, merokok, diabetes melitu, Indeks Massa Tubuh (IMT) yang

tinggi, dan faktor resiko lain yang meningkatkan perkembangan aterosklerosis

seperti hiperkolesterolemia. Secara singkat, faktor resiko stroke terbagi dalam 2

kategori, faktor resiko yang tak dapat dirubah (non modifiable) dan yang dapat

dirubah (modifiable) seperti tertera pada tabel berikut ini: (9)


8

Tabel 2.1 Faktor Resiko Stroke(9)

Faktor resiko yang tak dapat diubah Faktor yang dapat dirubah

ü Usia ü Hipertensi

 Jenis Kelamin  Atrial fibrilasi

 Herediter  Hiperkolesterolemia

 Ras/suku  Asymptomatic carotid

disease

 Merokok

 Konsumsi alkohol

 TIA

 Obesitas

 Kurangnya aktivitas fisik

 Hiperhormosisteinemia

 Drug abuse

 Penggunaan obat

kontrasepsi

 Hormone replacement

therapy

 Proses inflamasi

 Hypercoagulability
9

2.6 Patogenesis Stroke Hemoragik

A. Perdarahan Intraserebral

Perdarahan intraserebral paling sering terjadi ketika tekanan darah tinggi

kronis melemahkan arteri kecil, menyebabkannya robek. Penggunakan kokain atau

amfetamin dapat menyebabkan tekanan darah dan perdarahan sementara tapi sangat

tinggi. Pada beberapa orang tua, sebuah protein abnormal yang disebut amiloid

terakumulasi di arteri otak. Akumulasi ini (disebut angiopati amiloid) melemahkan

arteri dan dapat menyebabkan perdarahan.[6]

Penyebab umum yang kurang termasuk kelainan pembuluh darah saat lahir,

luka, tumor, peradangan pembuluh darah (vaskulitis), gangguan perdarahan, dan

penggunaan antikoagulan dalam dosis yang terlalu tinggi. Pendarahan gangguan

dan penggunaan antikoagulan meningkatkan resiko kematian dari perdarahan

intraserebral.[6]

B. Perdarahan Subaraknoid

Perdarahan subaraknoid biasanya hasil dari cedera kepala. Namun,

perdarahan karena cedera kepala menyebabkan gejala yang berbeda dan tidak

dianggap sebagai stroke.[6]

Perdarahan subaraknoid dianggap stroke hanya jika terjadi secara spontan

yaitu, ketika perdarahan tidak hasil dari kekuatan-kekuatan eksternal, seperti

kecelakaan atau jatuh. Sebuah perdarahan spontan biasanya hasil dari pecahnya

aneurisma mendadak di sebuah arteri otak, yaitu pada bagian aneurisma yang

menonjol di daerah yang lemah dari dinding arteri itu.[6]


10

Aneurisma biasanya terjadi di percabangan arteri. Aneurisma dapat muncul

pada saat kelahiran (bawaan), atau dapat berkembang kemudian, yaitu setelah

bertahun-tahun dimana tekanan darah tinggi melemahkan dinding arteri.

Kebanyakan perdarahan subaraknoid adalah hasil dari aneurisma kongenital.7

Mekanisme lain yang kurang umum adalah perdarahan subaraknoid dari

pecahnya koneksi abnormal antara arteri dan vena (malformasi arteri) di dalam atau

di sekitar otak. Sebuah malformasi arteri dapat muncul pada saat kelahiran, tetapi

biasanya hanya diidentifikasi jika gejala berkembang. Jarang sekali suatu bentuk

bekuan darah pada katup jantung yang terinfeksi, perjalanan (menjadi emboli) ke

arteri yang memasok otak, dan menyebabkan arteri menjadi meradang. arteri

kemudian dapat melemah dan pecah.[6]

C. Perdarahan Intraventrikuler

Merupakan terdapatnya darah dalam sistem ventrikuler. Secara umum dapat

digolongkan menjadi dua yaitu perdarahan intraventrikular primer dan perdarahan

intraventrikular sekunder. Perdarahan intraventrikular primer adalah terdapatnya

darah hanya dalam sistem ventrikuler, tanpa adanya ruptur atau laserasi dinding

ventrikel. Disebutkan pula bahwa PIVH merupakan perdarahan intraserebral

nontraumatik yang terbatas pada sistem ventrikel.(10)

Sedangkan perdarahan sekunder intraventrikuler muncul akibat pecahnya

pembuluh darah intraserebral dalam dan jauh dari daerah periventrikular, yang

meluas ke sistem ventrikel.(10)

Sekitar 70% perdarahan intraventrikular (IVH) terjadi sekunder, IVH

sekunder mungkin terjadi akibat perluasan dari perdarahan intraparenkim atau


11

subarachnoid yang masuk ke system intraventrikel. Kontusio dan perdarahan

subarachnoid (SAH) berhubungan erat dengan IVH. Perdarahan dapat berasal dari

middle communicating artery atau dari posterior communicating artery(10)

2.7 Patofisiologi Stroke Hemoragik

Penghentian total aliran darah ke otak menyebabkan hilangnya kesadaran

dalam waktu 15-20 detik dan kerusakan otak yang irreversibel terjadi setelah tujuh

hingga sepuluh menit. Penyumbatan pada satu arteri menyebabkan gangguan di

area otak yang terbatas (stroke). Mekanisme dasar kerusakan ini adalah selalu

defisiensi energi yang disebabkan oleh iskemia. Perdarahan juga menyebabkan

iskemia dengan menekan pembuluh darah di sekitarnya.[7]

Pembengkakan sel, pelepasan mediator vasokonstriktor, dan penyumbatan

lumen pembuluh darah oleh granulosit kadang-kadang mencegah reperfusi,

meskipun pada kenyataannya penyebab primernya telah dihilangkan. Kematian sel

menyebabkan inflamasi, yang juga merusak sel di tepi area iskemik (penumbra).

Gejala ditentukan oleh tempat perfusi yang terganggu, yakni daerah yang disuplai

oleh pembuluh darah tersebut.[7]

Penyumbatan pada arteri serebri media yang sering terjadi menyebabkan

kelemahan otot dan spastisitas kontralateral, serta defisit sensorik (hemianestesia)

akibat kerusakan girus lateral presentralis dan postsentralis. Akibat selanjutnya

adalah deviasi okular, hemianopsia, gangguan bicara motorik dan sensorik,

gangguan persepsi spasial, apraksia, dan hemineglect.[7]

Penyumbatan arteri serebri anterior menyebabkan hemiparesis dan defisit

sensorik kontralateral, kesulitan berbicara serta apraksia pada lengan kiri jika
12

korpus kalosum anterior dan hubungan dari hemisfer dominan ke korteks motorik

kanan terganggu. Penyumbatan bilateral pada arteri serebri anterior menyebabkan

apatis karena kerusakan dari sistem limbik.[7]

Penyumbatan arteri serebri posterior menyebabkan hemianopsia

kontralateral parsial dan kebutaan pada penyumbatan bilateral. Selain itu, akan

terjadi kehilangan memori.[7]

Penyumbatan arteri karotis atau basilaris dapat menyebabkan defisit di

daerah yang disuplai oleh arteri serebri media dan anterior. Jika arteri koroid

anterior tersumbat, ganglia basalis (hipokinesia), kapsula interna (hemiparesis), dan

traktus optikus (hemianopsia) akan terkena. Penyumbatan pada cabang arteri

komunikans posterior di talamus terutama akan menyebabkan defisit sensorik.[7]

Penyumbatan total arteri basilaris menyebabkan paralisis semua

eksteremitas dan otot-otot mata serta koma. Penyumbatan pada cabang arteri

basilaris dapat menyebabkan infark pada serebelum, mesensefalon, pons, dan

medula oblongata. Efek yang ditimbulkan tergantung dari lokasi kerusakan:[7]

 Pusing, nistagmus, hemiataksia (serebelum dan jaras aferennya, saraf

vestibular).

 Penyakit Parkinson (substansia nigra), hemiplegia kontralateral dan

tetraplegia (traktus piramidal).

 Hilangnya sensasi nyeri dan suhu (hipestesia atau anastesia) di bagian wajah

ipsilateral dan ekstremitas kontralateral (saraf trigeminus [V] dan traktus

spinotalamikus).
13

 Hipakusis (hipestesia auditorik; saraf koklearis), ageusis (saraf traktus

salivarus), singultus (formasio retikularis).

 Ptosis, miosis, dan anhidrosis fasial ipsilateral (sindrom Horner, pada

kehilangan persarafan simpatis).

 Paralisis palatum molle dan takikardia (saraf vagus [X]). Paralisis otot lidah

(saraf hipoglosus [XII]), mulut yang jatuh (saraf fasial [VII]), strabismus

(saraf okulomotorik [III], saraf abdusens [V]).

 Paralisis pseudobulbar dengan paralisis otot secara menyeluruh (namun

kesadaran tetap dipertahankan).

Pada IVH hipertensi dan aneurisma pembuluh darah pada otak dapat

menyebabkan timbulnya perdarahan pada sistem ventrikel. Ventrikel mempunyai

fungsi sebagai sarana penghasil LCS dan juga mengatur aliran. Bila terdapat

penambahan volume pada sistem ventrikel terlebih lagi darah maka ventrikel akan

melebar dan lebih mudah terjadi sumbatan. Sumbatan dapat terjadi pada bagian

yang menyempit, dapat terjadi clotting sehingga terjadi sumbatan. Bila terbentuk

sumbatan di situ akan Secara otomatis tekanan intrakranila pun ikut meningkat

yang menyebabkan terjadinya desakan pada area sekitar otak. Penekanan dapat

menimbulkan reaksi berupa penurunan kesadaran akibat adanya penekanan pada

batang otak, menimbulkan nyeri kepala bila timbul penekanan pada area yang

sensitif nyeri, bila menyebabkan penekanan berat perfusi ke bagian-bagian otak

tertentu dapat berkurang. Berkurangnya perfusi dapat menyebabkan gangguan

fungsi otak. Seperti yang diketahui tiap bagian otak memiliki fungsi masing-masing

dalam menjalankan tugasnya seperti : frontalis bekerja untuk mengatur kegiatan


14

motorik, parietalis sebagai fungsi sensorik, temporalis sebagai pusat berbicara dan

mendengar. Kerusakan menimbulkan gejala klinis sesuai area yang terkena.(11)

2.8 Gejala Klinis Stroke Hemoragik

Gejala klinis stroke ada berbagai macam, diantaranya adalah ditemukan

perdarahan intraserebral (ICH) yang dapat dibedakan secara klinis dari stroke

iskemik, hipertensi biasanya ditemukan, tingkat kesadaran yang berubah atau koma

lebih umum pada stroke hemoragik dibandingkan dengan stroke iskemik.

Seringkali, hal ini disebabkan peningkatan tekanan intrakranial. Meningismus

dapat terjadi akibat adanya darah dalam ventrikel.[2]

Defisit neurologis fokal. Jenis defisit tergantung pada area otak yang

terlibat. Jika belahan dominan (biasanya kiri) terlibat, suatu sindrom yang terdiri

dari hemiparesis kanan, kerugian hemisensory kanan, meninggalkan tatapan

preferensi, bidang visual kana terpotong, dan aphasia mungkin terjadi. Jika belahan

nondominant (biasanya kanan) terlibat, sebuah sindrom hemiparesis kiri, kerugian

hemisensory kiri, preferensi tatapan ke kanan, dan memotong bidang visual kiri.

Sindrom belahan nondominant juga dapat mengakibatkan pengabaian dan

kekurangan perhatian pada sisi kiri.[2]

Jika cerebellum yang terlibat, pasien beresiko tinggi untuk herniasi dan

kompresi batang otak. Herniasi bisa menyebabkan penurunan cepat dalam tingkat

kesadaran, apnea, dan kematian. Tanda-tanda lain dari keterlibatan cerebellar atau

batang otak antara lain: ekstremitas ataksia, vertigo atau tinnitus, mual dan muntah,

hemiparesis atau quadriparesis, hemisensori atau kehilangan sensori dari semua

empat anggota, gerakan mata yang mengakibatkan kelainan diplopia atau


15

nistagmus, kelemahan orofaringeal atau disfagia, wajah ipsilateral dan kontralateral

tubuh.[2]

A. Perdarahan Intraserebral

Sebuah perdarahan intraserebral dimulai tiba-tiba. Di sekitar setengah dari jumlah

penderita, serangan dimulai dengan sakit kepala parah, sering selama aktivitas.

Namun, pada orang tua, sakit kepala mungkin ringan atau tidak ada. Gejala

disfungsi otak menggambarkan perkembangan yang terus memburuk sebagai

perdarahan. Beberapa gejala, seperti kelemahan, kelumpuhan, hilangnya sensasi,

dan mati rasa, sering hanya mempengaruhi satu sisi tubuh. Orang mungkin tidak

dapat berbicara atau menjadi bingung. Visi dapat terganggu atau hilang. Mata

dapat menunjukkan arah yang berbeda atau menjadi lumpuh. Mual, muntah, kejang,

dan hilangnya kesadaran yang umum dan dapat terjadi dalam beberapa detik untuk

menit.[8]

B. Perdarahan Subaraknoid

Sebelum robek, aneurisma yang biasanya tidak menimbulkan gejala kecuali

menekan pada saraf atau kebocoran sejumlah kecil darah, biasanya sebelum pecah

besar (yang menyebabkan sakit kepala), menghasilkan tanda-tanda peringatan,

seperti berikut:[8]

 Sakit kepala, yang mungkin luar biasa tiba-tiba dan parah (kadang-kadang

disebut sakit kepala halilintar)

 Sakit pada mata atau daerah fasial

 Penglihatan ganda
16

 Kehilangan penglihatan tepi

Tanda-tanda peringatan dapat terjadi menit ke minggu sebelum pecahnya

aneurisma. Individu harus melaporkan setiap sakit kepala yang tidak biasa ke dokter

segera.[8]

Aneurisma yang pecah biasanya menyebabkan sakit kepala, tiba-tiba parah

dan mencapai puncak dalam beberapa detik. Hal ini sering diikuti dengan

kehilangan kesadaran singkat. Hampir setengah dari orang yang terkena meninggal

sebelum mencapai rumah sakit. Beberapa orang tetap berada dalam koma atau

tidak sadar dan sebagian lainnya bangun, merasa bingung, dan mengantuk. Dalam

beberapa jam atau bahkan menit, penderita mungkin menjadi tidak responsif dan

sulit untuk dibangunkan. [8]

Dalam waktu 24 jam, darah dan cairan serebrospinal di sekitar otak

mengiritasi lapisan jaringan yang menutupi otak (meninges), menyebabkan leher

kaku serta sakit kepala terus, sering dengan muntah, pusing, dan nyeri pinggang. [2]

Sekitar 25% dari orang yang mengalami gejala-gejala yang

mengindikasikan kerusakan pada bagian tertentu dari otak, seperti berikut: [2,8]

 Kelemahan atau kelumpuhan pada satu sisi tubuh (paling umum)

 Kehilangan sensasi pada satu sisi tubuh

 Kesulitan memahami dan menggunakan bahasa

Gangguan berat dapat berkembang dan menjadi permanen dalam beberapa

menit atau jam. Demam adalah gejala umum selama 5 sampai 10 hari pertama.
17

Sebuah perdarahan subaraknoid dapat menyebabkan beberapa masalah serius

lainnya, seperti: [2,8]

 Hydrocephalus: Dalam waktu 24 jam, darah dari perdarahan subaraknoid

dapat membeku. Darah beku dapat mencegah cairan di sekitar otak (cairan

serebrospinal) dari pengeringan seperti biasanya tidak. Akibatnya, darah

terakumulasi dalam otak, peningkatan tekanan dalam tengkorak.

Hydrocephalus mungkin akan menyebabkan gejala seperti sakit kepala,

mengantuk, kebingungan, mual, dan muntah-muntah dan dapat

meningkatkan risiko koma dan kematian.

 Vasospasme: Sekitar 3 sampai 10 hari setelah pendarahan itu, arteri di otak

dapat kontrak (kejang), membatasi aliran darah ke otak. Kemudian,

jaringan otak tidak mendapatkan oksigen yang cukup dan dapat mati, seperti

pada stroke iskemik. Vasospasm dapat menyebabkan gejala mirip dengan

stroke iskemik, seperti kelemahan atau hilangnya sensasi pada satu sisi

tubuh, kesulitan menggunakan atau memahami bahasa, vertigo, dan

koordinasi terganggu.

 Pecah kedua: Kadang-kadang pecah kedua terjadi, biasanya dalam

seminggu.

C. Perdarahan Intraventrikuler

Sindroma klinis perdarahan intraventrikular menyerupai gejala

perdarahan subarakhnoid yaitu nyeri kepala yang mendadak, kaku kuduk,

muntah dan letargi. Pada saat yang sama didapatkan peningkatan refleks dan

respon plantar yang simetris. Bila perdarahan terutama terdapat pada satu
18

ventrikel, akan dijumpai tanda fokal yang asimetris .Beberapa gambaran klinis

dari perdarahan intraventrikular yang sering dijumpai diantaranya adalah :

(Tabel 2.2)(12)

Tabel 2.2 Gambaran Klinis Pada Perdarahan Intraventrikular(12)

Gejala dan Tanda Klinis Frekuensi (%)

Penurunan kesadaran 77-92

Mual/muntah 42-80

Nyeri kepala 69-77

Agitasi 20

Koma 20-35

Kejang 7-23

Iritasi meningeal 12-33

Defisit nervus kranialis 8-47

Hemiparesis 8-33

Refleks ekstensor plantar 12-40

Refleks tendon dalam yang asimetrIs 27


19

2.9 Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Stroke Hemoragik

Diagnosis stroke dapat ditegakkan berdasarkan riwayat dan keluhan utama

pasien. Beberapa gejala/tanda yang mengarah kepada diagnosis stroke antara lain:

hemiparesis, gangguan sensorik satu sisi tubuh, hemianopia atau buta mendadak,

diplopia. Vertigo, afasia, disfagia, disartria, ataksia, kejang atau penurunan

kesadaran yang keseluruhannya terjadi secara mendadak. [1]

Pada manifestasi perdarahan intraserebral, terdapat pembagian berdasarkan

Luessenhop et al. Pembagian ini juga berguna dalam menentukan prognosis pada

pasien stroke dengan perdarahan intraserebral.[9]

Khusus untuk manifestasi perdarahan subaraknoid, pada banyak studi

mengenai perdarahan subaraknoid ini dipakai sistem skoring untuk menentukan

berat tidaknya keadaan perdarahan subaraknoid ini dan dihubungkan dengan

keluaran pasien. [10]


20

Sistem grading yang dipakai antara lain :

 Hunt & Hess Grading of Sub-Arachnoid Hemorrhage

Grade Kriteria

I Asimptomatik atau minimal sakit keoala atau leher kaku

II Sakit kepala sedang hingga berat, kaku kuduk, tidak ada defisit

neurologis

III Mengantuk, kebingungan, atau gejala fokal ringan

IV Stupor, hemiparese sedang hingga berat, kadang ada gejala

deselerasi awal

V Koma

Sistem skoring pada no 1 dan 2 dipakai pada kasus SAH primer akibat

rupturnya aneurisma. [10]

Pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung diagnosis stroke dan

menyingkirkan diagnosis bandingnya. Laboratorium yang dapat dilakukan pada

penderita stroke diantaranya adalah hitung darah lengkap, profil pembekuan darah,

kadar elektrolit, dan kadar serum glukosa. [2]

Pemeriksaan pencitraan juga diperlukan dalam diagnosis. Pencitraan otak

adalah langkah penting dalam evaluasi pasien dan harus didapatkan dalam basis

kedaruratan. Pencitraan otak membantu dalam diagnosis adanya perdarahan, serta

dapat menidentifikasi komplikasi seperti perdarahan intraventrikular, edem otak,


21

dan hidrosefalus. Baik CT non kontras ataupun MRI otak merupakan pilihan yang

dapat digunakan.(2)

CT non kontras otak dapat digunakan untuk membedakan stroke hemoragik

dari stroke iskemik. Pencitraan ini berguna untuk membedakan stroke dari patologi

intrakranial lainnya. CT non kontras dapat mengidentifikasi secara virtual

hematoma yang berdiameter lebih dari 1 cm.(2)

MRI telah terbukti dapat mengidentifikasi stroke lebih cepat dan lebih bisa

diandalkan daripada CT scan, terutama stroke iskemik. MRI dapat mengidentifikasi

malformasi vaskular yang mendasari atau lesi yang menyebabkan perdarahan.(2)

Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah elektrokardiogram (EKG)

untuk memulai memonitor aktivitas hantung. Disritmia jantung dan iskemia

miokard memiliki kejadian signifikan dengan stroke.(2)

Oleh karena tidak seluruh Rumah Sakit memiliki alat-alat di atas, maka

untuk memudahkan pemeriksaan dapat dilakukan dengan sistem lain, misalnya

sistem skoring yaitu sistem yang berdasarkan gejala klinis yang ada pada saat

pasien masuk Rumah Sakit. Sistem skoring yang sering digunakan antara lain:
22

Siriraj Hospital Score [11]


Versi orisinal:
= (0.80 x kesadaran) + (0.66 x muntah) + (0.33 x sakit kepala) + (0.33x
tekanan darah diastolik) – (0.99 x atheromal) – 3.71.

Versi disederhanakan:
= (2.5 x kesadaran) + (2 x muntah) + ( 2 x sakit kepala) + (0.1 x tekanan darah
diastolik) – (3 x atheroma) – 12.

Kesadaran:
Sadar = 0; mengantuk, stupor = 1; semikoma, koma = 2
Muntah: tidak = 0 ; ya = 1
Sakit kepala dalam 2 jam: tidak = 0 ; ya = 1
Tanda-tanda ateroma: tidak ada = 0 ; 1 atau lebih tanda ateroma = 1
(anamnesis diabetes; angina; klaudikasio intermitten)

Pembacaan:
Skor > 1 : Perdarahan otak
< -1: Infark otak
Sensivitas : Untuk perdarahan: 89.3%.
Untuk infark: 93.2%.
Ketepatan diagnostic : 90.3%.

Stroke dapat didiagnosa banding dengan penyakit-penyakit lain seperti:

ensefalitis, meningitis, migrain, neoplasma otak, hipernatremia, stroke iskemik,

perdarahan subaraknoid, hematoma subdural, kedaruratan hipertensif,

hipoglikemia, labirinitis, dan Transient Ischemic Attack (TIA).2


23

Diagnosis klinis dari IVH sangat sulit dan jarang dicurigai sebelum CT scan

meskipun gejala klinis menunjukkan diagnosis mengarah ke IVH, namun CT Scan

kepaladiperlukan untuk konfirmasi. Diantara pemeriksaan diagnosis yang dapat

digunakan adalah sebagai berikut.(10,11)

a. Computed Tomography-Scanning (CT- scan).

CT Scan merupakan pemeriksaan paling sensitif untuk PIS (perdarahan intra

serebral/ICH) dalam beberapa jam pertama setelah perdarahan. CT-scan dapat

diulang dalam 24 jam untuk menilai stabilitas. Bedah emergensi dengan

mengeluarkan massa darah diindikasikan pada pasien sadar yang mengalami

peningkatan volume perdarahan. .(10,11)

Gambar 1.2 CT-scan intraventrikular hemorrage


Didapatkan pada gambar adanya perdarahan pada sistem ventrikel.
24

Gambar 2.3 CT-scan intracerebral hemorrage

Gambar 3.4 CT-scan subarachnoid hemorrage

Graeb Score pertama kali diperkenalkan pada tahun 1980 oleh dr. Douglas

Graeb, dkk sebagai alat untuk menilai volume perdarahan intraventrikular dan

membagi tingkat keparahannya berdasarkan jumlah darah yang terdapat dalam

ventrikel lateral, ke-tiga dan ke-empat dengan nilai dari 0 sampai 12.Graeb Score
25

merupakan penilaian semikuantitatif terhadap volume perdarahan intraventrikular

yang mudah & cepat diaplikasikan, dapat dipercaya dan memberikan makna

klinis(13).

Modified Graeb Score merupakan modifikasi dari Original Graeb Score

(OGS) sebelumnya, dimana penilaian dilakukan pada setiap kompartemen ventrikel

(total nilai maksimal adalah 32) sehingga merefleksikan total volume perdarahan

intraventrikular yang lebih baik (13)

Modified Graeb Score dinilai berdasarkan jumlah darah pada ventrikel

keempat (nilai maksimum 4), ventrikel ke-tiga (nilai maksimum 4), ventrikel lateral

kanan & kiri (nilai maksimal 4 untuk masing-masing), occipital horn kanan & kiri

(nilai maksimal 2 untuk masing-masing), temporal horn kanan & kiri (nilai

maksimal 2) dan pelebaran pada setiap bagian masing-masing (nilai 1) (13)

Gambar 2.5 Kompartemen Ventrikular Dalam Penilaian Modified Graeb Score

(mGS)
Jumlah darah pada masing-masing ventrikel diberi nilai : ventrikel lateral

kanan & kiri (0 = tidak ada darah, 1 = ≤ 25% terisi darah, 2 = > 25% - ≤ 50% terisi

darah, 3 = > 50% - ≤ 75% terisi darah, 4 = > 75% - 100% terisi darah), ventrikel
26

ke-tiga dan ke-empat (0 = tidak ada darah, 2 = ≤ 25% - ≤ 50% terisi darah, 4 = >

50– 100% terisi darah), occipital horn kanan & kiri (0 = tidak ada darah,1 = ≤ 25%

- ≤ 50% terisi darah, 2 = > 50% - 100% terisi darah), temporal horn kanan & kiri

(0 = tidak ada darah, 1 = ≤ 25% - ≤ 50% terisi darah, 2 = > 50% - 100% terisi darah)

dan setiap pelebaran pada ventrikel masing-masing diberi nilai 1, dengan total nilai

adalah 32 (Tabel 2.3) (Morgan dkk, 2013).

Tabel 2.3 Penilaian Modified Graeb Score (mGS)

Modified Graeb Score digunakan untuk menentukan tingkat keparahan pada

perdarahan intraventrikular berdasarkan ukuran perdarahan dan terdapatnya dilatasi

pada setiap ventrikel. mGS merupakan perangkat yang dapat dipercaya dan valid

dalam menilai tingkat keparahan perdarahan intraventrikular. mGS mudah

diaplikasikan dan dapat juga digunakan sebagai monitoring pada penderita

perdarahan intraventrikular yang mendapat terapi trombolitik (13)

Terdapatnya perdarahan dalam sistem ventrikel memiliki hubungan yang

signifikan dengan meningkatnya resiko outcome yang buruk (OR = 1,12; 95% CI,

1,05 – 1,19, p = < 0,0001) dan volume perdarahan secara langsung berkorelasi

dengan kemungkinan terjadinya kematian (p = 0,005) (13)


27

b. Magnetic resonance imaging (MRI).

MRI dapat menunjukkan perdarahan intraserebral dalam beberapa jam pertama

setelah perdarahan. Perubahan gambaran MRI tergantung stadium disolusi

hemoglobinoksihemoglobin-deoksihemogtobin-methemoglobin-ferritin dan

hemosiderin. .(10,11)

c. USG Doppler (Ultrasonografi dopple)

Mengindentifikasi penyakit arteriovena (masalah system arteri karotis (aliran

darah atau timbulnya plak) dan arteiosklerosis. Pada hasil USG terutama pada area

karotis didapatkan profil penyempitan vaskuler akibat thrombus. .(10,11)

d. X Ray.

Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pienal daerah yang berlawanan

dari massa yang meluas, kalsifikasi karotis interna terdapat pada thrombosis

serebral; kalsifikasi persial dinding aneurisma pada perdarahan subarachnoid. .(10,11)


28

2.10 Penatalaksanaan Stroke Hemoragik

A. Penatalaksanaan di Ruang Gawat Darurat

1. Evaluasi cepat dan diagnosis

2. Terapi umum (suportif)

a. stabilisai jalan napas dan pernapasan

b. stabilisasi hemodinamik/sirkulasi

c. pemeriksaan awal fisik umum

d. pengendalian peninggian TIK

e. penanganan transformasi hemoragik

f. pengendalian kejang

g. pengendalian suhu tubuh

h. pemeriksaan penunjang

B. Penatalaksanaan Stroke Perdarahan Intra Serebral (PIS)

Terapi medik pada PIS akut:

a. Terapi hemostatik 1

 Eptacog alfa (recombinant activated factor VII [rF VIIa]) adalah obat

haemostasis yang dianjurkan untuk pasien hemofilia yang resisten

terhadap pengobatan faktor VIII replacement dan juga bermanfaat untuk

penderita dengan fungsi koagulasi yang normal.

 Aminocaproic acid terbuktitidak mempunyai efek menguntungkan.


29

 Pemberian rF VIIa pada PIS pada onset 3 jam hasilnya adalah highly-

significant, tapi tidak ada perbedaan bila pemberian dilakukan setelah

lebih dari 3 jam.

b. Reversal of anticoagulation 1

 Pasien PIS akibat dari pemakaian warfarin harus secepatnya diberikan

fresh frozen plasma atau prothrombic complex concentrate dan vitamin

K.

 Prothrombic-complex concentrates suatu konsentrat dari vitamin K

dependent coagulation factor II, VII, IX, dan X, menormalkan INR lebih

cepat dibandingkan FFP dan dengan jumlah volume lebih rendah

sehingga aman untuk jantung dan ginjal.

 Dosis tunggal intravena rFVIIa 10-90µg/kg pada pasien PIS yang

memakai warfarin dapat menormalkan INR dalam beberapa menit.

Pemberian obat ini harus tetap diikuti dengan coagulation-factor

replacement dan vitamin K karena efeknya hanya beberapa jam.

 Pasien PIS akibat penggunaan unfractionated atau low moleculer weight

heparin diberikan Protamine Sulfat, dan pasien dengan trombositopenia

atau adanya gangguan fungsi platelet dapat diberikan dosis tunggal

Desmopressin, transfusi platelet, atau keduanya.

 Pada pasien yang memang harus menggunakan antikoagulan maka

pemberian obat dapat dimulai pada hari ke-7-14 setelah erjadinya

perdarahan.
30

c. Tindakan bedah pada PIS berdasarkan EBM

 Keputusan mengenai apakah dioperasi dan kapan dioperasi masih tetap

kontroversial.

 Tidak dioperasi bila: 1

 Pasien dengan perdarahan kecil (<10cm3) atau defisit neurologis

minimal.

 Pasien dengan GCS <4. Meskipun pasien GCS <4 dengan

perdarahan intraserebral disertai kompresi batang otak masih

mungkin untuk life saving.

 Dioperasi bila: 1

 Pasien dengan perdarahan serebelar >3cm dengan perburukan klinis

atau kompresi batang otak dan hidrosefalus dari obstruksi ventrikel

harus secepatnya dibedah.

 PIS dengan lesi struktural seperti aneurisma malformasi AV atau

angioma cavernosa dibedah jika mempunyai harapan outcome yang

baik dan lesi strukturnya terjangkau.

 Pasien usia muda dengan perdarahan lobar sedang s/d besar yang

memburuk.

 Pembedahan untuk mengevakuasi hematoma terhadap pasien usia

muda dengan perdarahan lobar yang luas (>50cm3) masih

menguntungkan.
31

B. Penatalaksanaan Perdarahan Sub Arakhnoid

1. Pedoman Tatalaksana 1

a. Perdarahan dengan tanda-tanda Grade I atau II (H&H PSA):

 Identifikasi yang dini dari nyeri kepala hebat merupakan petunjuk

untuk upaya menurunkan angka mortalitas dan morbiditas.

 Bed rest total dengan posisi kepala ditinggikan 30 dalam ruangan

dengan lingkungan yang tenang dan nyaman, bila perlu diberikan

O2 2-3 L/menit.

 Hati-hati pemakaian obat-obat sedatif.

 Pasang infus IV di ruang gawat darurat dan monitor ketat kelainan-

kelainan neurologi yang timbul.

b. Penderita dengan grade III, IV, atau V (H&H PSA), perawatan harus lebih

intensif: 1

 Lakukan penatalaksanaan ABC sesuai dengan protocol pasien di

ruang gawat darurat.

 Intubasi endotrakheal untuk mencegah aspirasi dan menjamin jalang

nafas yang adekuat.

 Bila ada tanda-tanda herniasi maka dilakukan intubasi.

 Hindari pemakaian sedatif yang berlebhan karena aan menyulitkan

penilaian status neurologi.


32

2. Tindakan untuk mencegah perdarahan ulang setelah PSA 1

a. Istirahat di tempat tidur secara teratur atau pengobatan dengan antihipertensi

saja tidak direkomendasikan untuk mencegah perdarahan ulang setelah

terjadi PSA, namun kedua hal tersebut sering dipakai dalam pengobatan

pasien dengan PSA.

b. Terapi antifibrinolitik untuk mencegah perdarahan ulang direkomendasikan

pada keadaan klinis tertentu. Contohnya pasien dengan resiko rendah untuk

terjadinya vasospasme atau memberikan efek yang bermanfaat pada operasi

yang ditunda.

c. Pengikatan karotis tidak bermanfaat pada pencegahan perdarahan ulang.

d. Penggunaan koil intra luminal dan balon masih uji coba.

3. Operasi pada aneurisma yang rupture 1

a. Operasi clipping sangat direkomendasikan untuk mengurangi perdarahan

ulang setelah rupture aneurisma pada PSA.

b. Walaupun operasi yang segera mengurangi resiko perdarahan ulang setelah

PSA, banyak penelitian memperlihatkan bahwa secara keseluruhan hasil

akhir tidak berbeda dengan operasi yang ditunda. Operasi yang segera

dianjurkan pada pasien dengan grade yang lebih baik serta lokasi aneurisma

yang tidak rumit. Untuk keadaan klinis lain, operasi yang segera atau

ditunda direkomendasikan tergantung pada situasi klinik khusus.

c. Aneurisma yang incompletely clipped mempunyai resiko yang tinggi untuk

perdarahan ulang.
33

4. Tatalaksana pencegahan vasospasme 1

a. Pemberian nimodipin dimulai dengan dosis 1-2 mg/jam IV pada hari ke-3

atau secara oral 60 mg setiap 6 jam selama 21 hari. Pemakaian nimodipin

oral terbukti memperbaiki deficit neurologi yang ditimbulkan oleh

vasospasme. Calcium antagonist lainnya yang diberikan secara oral atau

intravena tidak bermakna.

b. Pengobatan dengan hyperdinamic therapy yang dikenal dengan triple H

yaitu hypervolemic-hypertensive-hemodilution, dengan tujuan

mempertahankan “cerebral perfusion pressure” sehingga dapat mengurangi

terjadinya iskemia serebral akibat vasospasme. Hati-hati terhadap

kemungkinan terjadinya perdarahan ulang pada pasien yang tidak dilakukan

embolisasi atau clipping.

c. Fibrinolitik intracisternal, antioksidan, dan anti-inflamasi tidak begitu

bermakna.

d. Angioplasty transluminal dianjurkan untuk pengobatan vasospasme pada

pasien-pasien yang gagal dengan terapi konvensional.

e. Cara lain untuk manajemen vasospasme adalah sebagai berikut:

 Pencegahan vasospasme:

 Nimodipine 60 mg per oral 4 kali sehari.

 3% NaCl IV 50 mL 3 kali sehari.

 Jaga keseimbangan cairan.


34

 Delayed vasospasm:

 Stop Nimodipine, antihipertensi, dan diuretika.

 Berikan 5% Albumin 250 mL IV.

 Pasang Swan-Ganz (bila memungkinkan), usahakan wedge pressure

12-14 mmHg.

 Jaga cardiac index sekitar 4 L/menit/m2.

 Berikan Dobutamine 2-15 µg/kg/menit.

5. Antifibrinolitik

Obat-obat anti-fibrinolitik dapat mencegah perdarahan ulang. Obat-obat yang

sering dipakai adalah epsilon aminocaproic acid dengan dosis 36 g/hari atau

tranexamid acid dengan dosis 6-12 g/hari.1

6. Antihipertensi 1

a. Jaga Mean Arterial Pressure (MAP) sekitar 110 mmHg atau tekanan darah

sistolik (TDS) tidak lebih dari 160 dan tekanan darah diastolic (TDD) 90

mmHg (sebelum tindakan operasi aneurisma clipping).

b. Obat-obat antihipertensi diberikan bila TDS lebih dari 160 mmHg dan TDD

lebih dari 90 mmHg atau MAP diatas 130 mmHg.

c. Obat antihipertensi yang dapat dipakai adalah Labetalol (IV) 0,5-2 mg/menit

sampai mencapai maksimal 20 mg/jam atau esmolol infuse dosisnya 50-200

mcg/kg/menit. Pemakaian nitroprussid tidak danjurkan karena

menyebabkan vasodilatasi dan memberikan efek takikardi.


35

d. Untuk menjaga TDS jangan meurun (di bawah 120 mmHg) dapat diberikan

vasopressors, dimana hal ini untuk melindungi jaringan iskemik penumbra

yang mungkin terjadi akibat vasospasme.

7. Hiponatremi

Bila Natrium di bawah 120 mEq/L berikan NaCl 0,9% IV 2-3 L/hari. Bila perlu

diberikan NaCl hipertonik 3% 50 mL, 3 kali sehari. Diharapkan dapat terkoreksi

0,5-1 mEq/L/jam dan tidak melebihi 130 mEq/L dalam 48 jam pertama.1

Ada yang menambahkan fludrokortison dengan dosis 0,4 mg/hari oral atau

0,4 mg dalam 200 mL glukosa 5% IV 2 kali sehari. Cairan hipotonis sebaiknya

dihindari karena menyebabkan hiponatremi. Pembatasan cairan tidak dianjurkan

untuk pengobatan hiponatremi.1

8. Kejang

Resiko kejang pada PSA tidak selalu terjadi, sehingga pemberian antikonvulsan

tidak direkomendasikan secara rutin, hanya dipertimbangkan pada pasien-pasien

yang mungkin timbul kejang, umpamanya pada hematom yang luas, aneurisma

arteri serebri media, kesadaran yang tidak membaik. Akan tetapi untuk menghindari

risiko perdarahan ulang yang disebabkan kejang, diberikan anti konvulsan sebagai

profilaksis.1

Dapat dipakai fenitoin dengan dosis 15-20 mg/kgBB/hari oral atau IV.

Initial dosis 100 mg oral atau IV 3 kali/hari. Dosis maintenance 300-400

mg/oral/hari dengan dosis terbagi. Benzodiazepine dapat dipakai hanya untuk

menghentikan kejang.1
36

Penggunaan antikonvulsan jangka lama tidak rutin dianjurkan pada

penderita yang tidak kejang dan harus dipertimbangkan hanya diberikan pada

penderita yang mempunyai faktor-faktor risiko seperti kejang sebelumnya,

hematom, infark, atau aneurisma pada arteri serebri media.1

9. Hidrosefalus 1

a. Akut (obstruksi)

Dapat terjadi setelah hari pertama, namun lebih sering dalam 7 hari pertama.

Kejadiannya kira-kira 20% dari kasus, dianjurkan untuk ventrikulostomi (atau

drainase eksternal ventrikuler), walaupun kemungkinan risikonya dapat

terjadi perdarahan ulang dan infeksi.

b. Kronik (komunikan)

Sering terjadi setelah PSA. Dilakukan pengaliran cairan serebrospinal secara

temporer atau permanen seperti ventriculo-peritoneal shunt.

10. Terapi Tambahan 1

a. Laksansia (pencahar) iperlukan untuk melembekkan feses secara regular.

Mencegah trombosis vena dalam, dengan memakai stocking atau pneumatic

compression devices.

b. Analgesik:

 Asetaminofen ½-1 g/4-6 jam dengan dosis maksimal 4 g/hari.

 Kodein fosfat 30-60 mg oral atau IM per 4-6 jam.

 Tylanol dengan kodein.


37

 Hindari asetosal.

 Pada pasien dengan sangat gelisah dapat diberikan:

 Haloperidol IM 1-10 mg tiap 6 jam.

 Petidin IM 50-100 mg atau morfin SC atau IV 5-10 mg/4-6 jam.

 Midazolam 0,06-1,1 mg/kg/jam.

 Propofol 3-10 mg/kg/jam.

 Cegah terjadinya “stress ulcer” dengan memberikan:

 Antagonis H2

 Antasida

 Inhibitor pompa proton selama beberapa hari.

 Pepsid 20 mg IV 2 kali sehari atau zantac 50 mg IV 2 kali

sehari.

 Sucralfate 1 g dalam 20 mL air 3 kali sehari.

D. Penatalaksanaan Perdarahan Intraventrikuler(14,15)

Penanganan emergency

 Kontrol tekanan darah

Rekomendasi dari American Heart Organization/ American Strouke

Association guideline 2009 merekomendasikan terapi tekanan darah bila >

180 mmHg. Tujuan yang ingin dicapai adalah tekanan darah sistolik ≥140

mmHg, dimaksudkan agar tidak terjadi kekurangan perfusi bagi jaringan


38

otak. Penapat ini masih kontroversial karena mempertahankan tekanan

darah yang tinggi dapat juga mencetuskan kembali perdarahan. Nilai

pencapaian CPP 60 mmHg dapat dijadikan acuan untuk mencukupi perfusi

otak yang cukup.

 Terapi anti koagulan

Dalam 24 jam pertama IVH ditegakkan dapat diberikan antikoagulan.

Pemberian yang dianjurkan adalah fres frozen plasma diikuti oleh vitamin

K oral. Perhatikan waktu pemberian antikoagulan agar jangan melebihi 24

jam. Dimasudkan untuk menghindari tejadinya komplikasi.

Penanganan peningkatan TIK:

 Elevasi kepala 300C

Dimaksudkan untuk melakukan drainage dari vena-vena besar di leher

seperti vena jugularis

 trombolitik

Dimaksudkan untuk mencegah terjadinya clotting yang dapat menyumbat

aliran LCS di sistem ventrikel sehingga menimbulkan hidrosefalus.

Trombolitik yang digunakan sebagai obat pilihan untuk intraventrikular

adalah golongan rt-PA ( recombinant tissue plasminogen activator ). Obat

golongan ini bekerja dengan mengubah plaminogen menjadi plasmin ,

plasmin akan melisis fibrin clot atau bekuan yang ada menjadi fibrin

degradation product. Contoh obat yang beredar adalah alteplase yang

diberikan bolus bersama infus.


39

 Pemasangan EVD ( Eksternal Ventrikular Drainage)

Teknik yang digunakan untuk memantau TIK ataupun untuk kasus ini

digunakan untuk melakukan drainase pada LCS dan darah yang ada di

ventrikel. Indikasi dilakukannya teknik ini bila didapatkan adanya obstruksi

akut hidrosefalus. Dapat diketahui dengan melakukan penilaian graeb score.

Langkah-langkah :

 General anestesi

 Pasien dibersihkan dan diberikan local anestesi infiltrasi

 Dilakukan insisi pada os parietal atau pada titik kocher’s ( 1 cm

anterior dari sulkus coronarius ).

 Dilakukan burr holes

 Dura di insisi lalu digumpalkan bersama dengan piamater

 Masukkan kateter melalui lubang dan hubungkan dengan eksternal

drain

 Kemudian tutup insisi

Setelah pemasangan EVD dilakukan dilakukan tindakan pemantauan.

Dilakukan tindakan imaging kepala secara berkala serta pengukuran

tekanan intrakranial. Bila didapatkan adanya pertambahan volume dari

perdarahan serta adanya peningkatan tekanan intrakranial, maka dilakukan

tindakan pemasangan VP shunt.

Rekomendasi AHA Guideline 2009:

1. Pasien dengan nilai GCS <8, dan dengan bukti klinis herniasi transtentorial,

atau dengan IVH yang nyata atau hidrosefalus dipertimbangkan untuk monitor
40

dan tatalaksana TIK. Cerebral perfusion pressure (CPP) 50-70 mmHg

beralasan untuk dipertahankan tergantung dari autoregulasi serebri. (IIb; C).

(rekomendasi baru).

2. Drainase ventrikuler sebagai terapi untuk hidrosefalus beralasan pada pasien

dengan penurunan tingkat kesadaran.

3. Terapi hidrosefalus pada pasien dilanjutkan dengan konsul ke bagian bedah

saraf dengan rencana tindakan VP shunt cito. Ventriculoperitoneal (VP) Shunt

merupakan tehnik operasi yang paling popular untuk tatalaksana hidrosefalus,

yaitu LCS dialirkan dari ventrikel otak ke rongga peritoneum.

Tindakan ini dapat juga dilakukan dengan menggunakan guiding imaging.

Gambar 2.6 Eksternal Ventricular Drainage

5. Pemberian obat anti kejang

Pasien yang mempunyai perdarahan pada kepala tidak terkecuali perdarahan

intraventrikel mempunyai risiko tinggi akan terjadinya kejang. Menrut

rekomendasi American Heart Association tahun 2007 pemberian obat anti kejang
41

seperti Obat Anti Epilepsi pada pasien-pasien dengan perdarahan di otak , dapat

mencegah terjadinya kejang awal.

2.12 Komplikasi dan Prognosis Stroke Hemoragik

Peningkatan tekanan intrakranial dan herniasi adalah komplikasi yang

paling ditakutkan pada perdarahan intraserebral. Perburukan edem serebri sering

mengakibatkan deteoriasi pada 24-48 jam pertama. Perdarahan awal juga

berhubungan dengan deteorisasi neurologis, dan perluasan dari hematoma tersebut

adalah penyebab paling sering deteorisasi neurologis dalam 3 jam pertama. Pada

pasien yang dalam keadaan waspada, 25% akan mengalami penurunan kesadaran

dalam 24 jam pertama. Kejang setelah stroke dapat muncul. Selain dari hal-hal yang

telah disebutkan diatas, stroke sendiri adalah penyebab utama dari disabilitas

permanen.2

Prognosis bervariasi bergantung pada tingkap keparahan stroke dan lokasi

serta ukuran dari perdarahan. Skor dari Skala Koma Glasgow yang rendah

berhubungan dengan prognosis yang lebih buruk dan mortalitas yang lebih tinggi.

Apabila terdapat volume darah yang besar dan pertumbuhan dari volume

hematoma, prognosis biasanya buruk dan outcome fungsionalnya juga sangat buruk

dengan tingkat mortalitas yang tinggi. Adanya darah dalam ventrikel bisa

meningkatkan resiko kematian dua kali lipat. Pasien yang menggunakan

antikoagulasi oral yang berhubungan dengan perdarahan intraserebral juga

memiliki outcome fungsional yang buruk dan tingkat mortilitas yang tinggi.
42

DAFTAR PUSTAKA

1. Kelompok Studi Stroke Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf


Indonesia.Guideline Stroke 2007. Edisi Revisi. Perhimpunan Dokter
Spesialis Saraf Indonesia: Jakarta, 2007.
2. Nasissi, Denise. Hemorrhagic Stroke Emedicine. Medscape, 2010.
Available at: http://emedicine.medscape.com/article/793821-overview.
Access on : September 29, 2012.
3. Price, Sylvia A. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-proses Penyakit
ed.6.EGC, Jakarta. 2006
4. Sotirios AT,. Differential Diagnosis in Neurology and Neurosurgery.New
York. Thieme Stuttgart. 2000.
5. Ropper AH, Brown RH. Adams dan Victor’s Principles of Neurology. Edisi
8. BAB 4. Major Categories of Neurological Disease: Cerebrovascular
Disease. McGraw Hill: New York.2005
6. Silbernagl, S., Florian Lang. Teks & Atlas Berwarna Patofisiologi. EGC:
Jakarta, 2007.

7. Poungvarin, N. Skor Siriraj stroke dan studi validasi untuk membedakan


perdarahan intraserebral supratentorial dari infark. Diunduh dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1670347/. [Tanggal: 14
Februari 2018]
8. MERCK, 2007. Hemorrhagic Stroke. Available at:
http://www.merck.com/mmhe/sec06/ch086/ch086d.html. ( Tanggal : 14
Februari, 2018)
9. Rohkamm, R. 2004.Stroke in Color Atlas of Neurology. Stuttgart-New
York:Thieme, p: 166-175
10. Brust John C.M. current diagnosis & treatment neurology. 2nd edition.
United States: Mc Graw-Hill companies;2012. h.538-9.
43

11. Annibal J david. Periventrikuler hemorrage-intraventrikuler hemorrage.


Diunduh dari : http://emedicine.medscape.com/article/976654-overview,
14 Februari 2018.

12. Zai, W.C., Hanley, D. 2012. Intraventricular Hemorrhage Chapter 46. In :


Caplan, L.R., Gijn, J.V (Eds) Stroke Syndrome Third Edition. Cambridge
University Press. NewYork.
13. Morgan, T., Dawson, J., Spengler, D., Lees, K., Aldrich, C., Mishra, N., et
al. 2013. The Modified Graeb Score an Enhanced Tool for Intraventricular
Hemorrhge Measurement and Predictor Outcome. Stroke. 44 : 635-641
14. Hinson E. Holly,Henly Daniel F, Ziai Wendy C. Management of
Intraventricular Hemorrage.Diunduhdari: http://search.proquest .com/
docview/ 871549251/ 141CA7C3BEF235BCE02/ 9?accountid=50673, 14
Februari 2018.
15. Dey Mahua, Jaffe Jannifer,Stadnik Agniezka, Awad Issam A. External
Ventricular Drainage for Intraventricular Hemorrhage. http://
search.proquest.com/ docview/915051654/
141C6865433B347F03/3?accountid=50673,14 Februari 2018.
44
45

Anda mungkin juga menyukai