PENDAHULUAN
Infeksi dengue merupakan kekhawatiran pada seluruh dunia, namun 75% infeksi dengue
terjadi di Asia-Pasifik. 187.333 kasus dengue di Asia Tenggara dilaporkan kepada WHO pada
tahun 2010. Delapan negara di Asia Tenggara sekarang diklasifikasikan sebagai negara
hiperendemik dengan keberadaan seluruh serotipe dengue. Severe Dengue endemik pada hampir
seluruh negara di Asia Tenggara dengan angka kejadian 18 kali lebih tinggi dibandingkan di
Amerika. (1)
Di Indonesia, dimana lebih dari 35% populasi tinggal di area urban, sebanyak 150.000
kasus telah dilaporkan pada tahun 2007 dengan lebih dari 25.000 kasus berada di Jakarta dan
Jawa Barat. Pada tahun 2015 telah ditemukan 126.675 kasus DBD di Indonesia. (2)
Angka kematian karena DBD sangat tinggi, yaitu sebesar 41,4% pada awal kasus DBD
merebak di Indonesia, namun kemudian menurun sampai 0,97% pada tahun 2015. Penurunan
angka kematian tersebut dimungkinkan karena diagnosis dan tatalaksana penanganan kasus
semakin baik dan kewaspadaan dini masyarakat terhadap DBD semakin meningkat. (3)
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Epidemiologi
Hampir 3.6 miliar penduduk tinggal di daerah tropis dan subtropis dimana virus dengue
memiliki potensi untuk ditransmisikan. Diperkirakan terdapat 50 sampai 200 juta infeksi dengue
di seluruh dunia, dengan 500.000 kasus merupakan dengue berat, dan lebih dari 20.000 kasus
menyebabkan kematian per tahunnya. (1)
Infeksi dengue merupakan kekhawatiran pada seluruh dunia, namun 75% infeksi dengue
terjadi di Asia-Pasifik. 187.333 kasus dengue di Asia Tenggara dilaporkan kepada WHO pada
tahun 2010. Delapan negara di Asia Tenggara sekarang diklasifikasikan sebagai negara
hiperendemik dengan keberadaan seluruh serotipe dengue. Severe Dengue endemik pada hampir
seluruh negara di Asia Tenggara dengan angka kejadian 18 kali lebih tinggi dibandingkan di
Amerika. (1)
Di Indonesia, dimana lebih dari 35% populasi tinggal di area urban, sebanyak 150.000
kasus telah dilaporkan pada tahun 2007 dengan lebih dari 25.000 kasus berada di Jakarta dan
Jawa Barat. Pada tahun 2015 telah ditemukan 126.675 kasus DBD di Indonesia. Peningkatan dan
penyebaran kasus DBD tersebut dapat disebabkan oleh mobilitas penduduk yang tinggi,
perkembangan wilayah perkotaan, perubahan iklim, perubahan kepadatan dan distribusi
penduduk dan faktor epidemiologi lainnya.(2, 3)
2.2 Etiologi
Infeksi virus dengue ditularkan melalui gigitan vektor nyamuk Stegomiya aegipty dan
Stegomiya albopictus. Transmisi virus tergantung dari faktor biotik dan abiotik. Termasuk dalam
faktor biotik adalah faktor virus, vektor nyamuk, dan pejamu manusia; sedangkan faktor abiotik
adalah suhu lingkungan, kelembaban, dan curah hujan. (4)
Virus dengue termasuk genus flavivirus dari famili Flaviviridae. Berdasarkan genom
yang dimiliki, virus dengue termasuk virus (positive sense single stranded) RNA. Genom ini
dapat ditranslasikan langsung menghasilkan satu rantai polipeptida berupa tiga protein struktural
(capsid = C, pre-membrane = prM, envelope = E) dan tujuh protein non-struktural (NS1, NS2A,
2
NS2B, NS3, NS4A, NS4B dan NS5). Protein prM yang terdapat pada saat virus belum matur
oleh enzim furin yang berasal dari sel pejamu diubah menjadi protein M sebelum virus tersebut
disekresikan oleh sel pejamu. Protein M bersama dengan protein C dan E membentuk kapsul dari
virus, sedangkan protein nonstruktural tidak ikut membentuk struktur virus. Protein NS1
merupakan satu-satunya protein nonstruktural yang dapat disekresikan oleh sel pejamu mamalia
tapi tidak oleh nyamuk, sehingga dapat ditemukan dalam darah pejamu sebagai antigen NS1. (4)
Berdasarkan sifat antigen dikenal ada empat serotipe virus dengue, yaitu DENV-1,
DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Masing-masing serotipe mempunyai beberapa strain atau
genotipe yang berbeda. Serotipe yang dapat ditemukan dan yang paling banyak beredar di suatu
negara atau area geografis tertentu berbeda-beda. Di Indonesia keempat serotipe virus dengue
tersebut dapat ditemukan dan DENV-3 merupakan strain yang paling virulen. Pada penelitian
yang dilakukan di Thailand, DENV-2 dan DENV-3 memiliki resiko progress demam dengue
menjadi demam berdarah dengue dua kali lebih tinggi dibandingkan serotipe lainnya. (4, 5)
Nyamuk akan mentransmisikan virus dengan memberikan darah pada penjamu. Pertama,
virus akan menginfeksi dan bereplikasi pada epitel usus dari nyamuk dan akan menyebar ke
organ lain hingga mencapai kelenjar saliva setelah 10-14 hari dimana akan menginokulasi
terhadap orang lain. (6)
2.3 Patogenesis
Sebagian besar patogenesis infeksi dengue masih menganut the secondary heterologous
infection hypothesis atau the sequential infection hypothesis yang menyatakan bahwa demam
berdarah dengue dapat terjadi apabila seseorang setelah terinfeksi virus dengue pertama kali
mendapatkan infeksi kedua dengan virus dengue serotipe lain dalam jarak waktu 6 bulan sampai
5 tahun. Sistem imun sendiri memiliki berbagai peran dalam infeksi virus dengue. Infeksi primer
menimbulkan kekebalan seumur hidup untuk serotipe penyebab. Infeksi sekunder dengan
serotipe virus yang berbeda pada umumnya memberikan manifestasi klinis yang lebih berat
dibandingkan dengan infeksi primer. Bayi yang lahir dari ibu memiliki antibodi dapat
menunjukkan manifestasi klinis berat walaupun pada infeksi primer. (4, 7)
Hipotesis yang pertama disebut debagai The Immunological Enhancement Hypothesis.
Pada hipotesis ini disebutkan bahwa antibodi yang terbentuk pada infeksi dengue terdiri dari IgG
yang berfungsi menghambat peningkatan replikasi virus dalam monosit, yaitu enhancing-
3
antibody dan neutralizing antibody. Pada saat ini dikenal 2 jenis tipe antibodi yaitu (1)
Kelompok monoklonal reaktif yang tidak mempunyai sifat menetralisasi tetapi memacu replikasi
virus, dan (2) Antibodi yang dapat menetralisasi secara spesifik tanpa disertai daya memacu
replikasi virus. Perbedaan ini berdasarkan adanya virion determinant spesificity. Antibodi non-
neutralisasi yang dibentuk pada infeksi primer akan menyebabkan terbentuknya kompleks imun
pada infeksi sekunder dengan akibat memacu replikasi virus. Teori ini pula yang mendasari
pendapat bahwa infeksi sekunder virus dengue oleh serotipe dengue yang berbeda cenderung
menyebabkan manifestasi berat. Dasar utama hipotesis ialah meningkatnya reaksi imunologis
yang berlangsung sebagai berikut: (7)
1. Sel fagosit mononuklear yaitu monosit, makrofag, histiosit dan sel Kuppfer merupakan
tempat utama terjadinya infeksi virus dengue primer.
2. Non neutralizing antibody baik yang bebas dalam sirkulasi maupun yang melekat pada
sel, bertindak sebagai reseptor spesifik untuk melekatnya virus dengue pada
permukaan sek fagosit mononuklear. Mekanisme pertama ini disebut mekanisme
aferen.
3. Virus dengue kemudian akan bereplikasi dalam sel fagosit mononuklear yang telah
terinfeksi.
4. Selanjutnya sel monosit yang mengandung kompleks imun akan menyebar ke usus,
hati, limpa dan sumsum tulang. Mekanisme ini disebut mekanisme eferen. Parameter
perbedaan terjadinya DBD dengan dan tanpa renjatan ialah jumlah sel yang terkena
infeksi.
5. Sel monosit yang telah teraktivasi akan mengadakan interaksi dengan sistem humoral
dan sistem komplemen dengan akibat dilepaskannya mediator yang mempengaruhi
permeabilitas kapiler dan mengaktivasi sistem koagulasi. Mekanisme ini disebut
mekanisme efektor.
Limfosit T juga memegang peran penting dalam patogenesis DBD. Akibat rangsang
monosit yang terinfeksi virus dengue atau antigen virus dengue, limfosit dapat mengeluarkan
interferon (IFN- dan ). Pada infeksi sekunder oleh virus dengue (serotipe berbeda dengan
infeksi pertama), limfosit T CD4+ berproliferasi dan menghasilkan IFN-. IFN-, selanjutnya
merangsang sel yang terinfeksi virus dengue dan mengakibatkan monosit memproduksi
4
mediator. Oleh limfost T CD4+ dan CD8+ spesifik virus dengue, monosit akan mengalami lisis
dan mengeluarkan mediator yang menyebabkan kebocoran plasma dan perdarahan. (7)
Hipotesis kedua patogenesis DBD mempunyai konsep dasar bahwa keempat serotipe
virus dengue mempunyai potensi patogen yang sama dan gejala berat terjadi sebagai akibat
serotipe/ strain serotipe virus dengue yang paling virulen. (7)
Untuk lebih memahami imunopatogenesis infeksi virus dengue, berikut ini diuraikan
mengenai respons imun humoral dan selular, mekanisme autoimun, peran sitokin dan mediator
lain, serta peran sistem komplemen. (4)
Respon imun humoral diperankan oleh limfosit B dengan menghasilkan antibodi spesidik
terhadap virus dengue. Antibodi spsifik untuk virus dengue terhadap satu serotipe tertentu juga
dapat menimnulkan reaksi silang dengan serotipe lain selama enam bulan. Antibodi yang
dihasilkan dapat menguntungkan dalam arti melindungi terjadinya penyakit, namun sebaliknya
dapat pula menjadi pemicu terjadinya infeksi yang berat melalui mekanisme antibody-dependent
enhancement (ADE). (4)
Antibodi anti dengue yang dibentuk umumnya berupa IgG dengan aktivitas yang
berbeda. Virus dengue mempunyai empat serotipe yang secara antigenik berbeda. Infeksi virus
dengue primer oleh satu serotipe tertentu dapat menimbulkan kekebalan yang menetap untuk
serotipe bersangkutan. Pada saat bersamaan, sebagai bagian dari kekebalan silang akan dibentuk
antibodi untuk serotipe lain. Apabila kemudian terjadi infeksi oleh serotipe yang berbeda, maka
antibodi heterotipik yang bersifat non atau subneutralisasi berikatan dengan virus yang baru
membentuk kompleks imun. Kompleks imun akan berikatan dengan reseptor Fc yang banyak
terdapat terutama pada monosit dan makrofag, sehingga memudahkan virus menginfeksi sel.
Virus bermultiplikasi di dalam sel dan selanjutnya virus keluar dari sel, sehingga terjadi viremia.
Kompleks imun juga dapat mengaktifkan kaskade sistem komplemen untuk menghasilkan C3a
dan C5a yang mempunyai dampak langsung terhadap peningkatan permeabilitas vaskular. (4)
Respons imun selular yang berperan yaitu limfosit T. Sel T spesifik untuk virus dengue
dapat mengenali sel yang terinfeksi virus dengue dan menimbulkan respons beragam berupa
proliferasi sel T, lisis sel yang terinfeksi dengue, serta memproduksi berbagai sitokin. Pada
infeksi sekunder oleh virus dengue serotipe yang berbeda, ternyata sel T memori mempunya
aviditas yang lebih besar terhadap serotipe yang sebelumnya dibandingkan dengan serotipe virus
yang baru. Fenomena ini disebut sebagai original antigenic sin. Dengan demikian, fungsi lisis
5
terhadap virus yang baru tidak optimal, sedangkan produksi sitokin berlebihan. Sitokin yang
dihasilkan oleh sel T pada umumnya berperan dalam memacu respons inflamasi dan
meningkatkan permeabilitas sel endotel vaskular. (4)
Antibodi terhadap protein NS1 dengue menunjukkan reaksi silang dengan sel endotel dan
trombosit, sehingga menimbulkan gangguan pada kedua sel tersebut serta dapat memacu respons
inflamasi. Selain antibodi terhadap protein NS1 ternyata antibodi terhadap prM juga dapat
menyebabkan reaksi autoimun. Proses autoimun ini diduga kuat karena terdapat kesmaan atau
kemiripan antara protein NS1 dan prM dengan komponen tertentu pada sel endotel dan trobosit
yang disebut molecular mimicry. Autoantibodi yang bereaksi dengan komponen yang dimaksud,
mengakibatkan sel yang mengandung molekul hasil ikatan dihancurkan oleh makrofag atau
mengalami kerusakan. Akibatnya, pada trombosit terjadi penghancuran dan menyebabkan
trombositopenia dan pada sel endotel terjadi peningkatan permeabilitas yang mengakibatkan
perembesan plasma. (4)
Pada infeksi virus dengue, sitokin juga berperan dalam menentukan derajat penyakit.
Infeksi yang berat dalam hal ini DBD ditandai dengan peningkatan jenis dan jumlah sitokin yag
sering disebut sebagai badai sitokin. Dari beberapa penelitian sitokin yang perannya paling
banyak dikemukakan yaitu TNF-, Il-1, IL-6, IL-8, dan IFN-. (4)
Sistem komplemen diketahui ikut berperan dalam patogenesis infeksi virus dengue. Pada
pasien DBD atau SSD ditemukan penurunan kadar komplemen, sehingga diduga bahwa aktivasi
sistem komplemen mempunyai peran dalam patogenesis terjadi penyakit yang berat. Kompleks
imun virus dengue dan antibodi pada infeksi sekunder dapat mengaktivasi sistem komplemen
melalui jalur klasik. Protein NS1 dapat mengaktifkan sistem komplemen secara langsung melalui
jalur alternatif. Selain melalui kedua jalur tersebut, ternata aktivasi komplemen pada infeksi virus
dengue juga dapat melalui jalur mannose-binding lectin. Aktivasi komplemen menghasilkan
peptida yang mempunyai aktivitas biologik sebagai anafilatoksin yaitu C3a dan C5a.
Komplemen C5a mengindukasi produksi beberapa sitokin proinflamasi dan meningkatkan
ekspresi molekul adhesi baik pada neutrofil maupun sel endotel, sehingga peran C5a dalam
peningkatan permeabilitas vaskular sangat besar. (4)
6
2.4 Perjalanan Penyakit
Manifestasi klinis infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari sifatnya. Dapat terjadi
secara asimtomatik, sindrom virus, demam dengue, demam berdarah dengue dan Expanded
dengue syndrome. (4)
7
besar, remaja, dan dewasa. Pada hari ketiga sakit pada umumnya suhu tubuh menurun, namun
masih di atas normal, kemudian suhu naik kembali. Gejala lain dapat berupa gangguan
pencernaan, nyeri perut, sakit tenggorok, dan depresi. (4, 8)
Pada hari sakit ke-3 atau 4 ditemukan ruam makulopapular atau rubeliformis. Manifestasi
perdarahan pada umumnya sangat ringan berupa uji tourniquet yang positif (>10 petekie dalam
area 2,8 x 2,8 cm) atau beberapa petekie spontan. (4)
Pemeriksaan laboratorium menunjukkan jumlah leukosit yang normal, namun pada
beberapa kasus ditemukan leukositosis pada awal demam, namun kemudian terjadi leukopenia
dengan jumlah PMN yang turun, dan ini berlangsung selama fase demam. Jumlah trombosit
dapat normal atau menurun (100.000-150.000/mm3), jarang ditemukan jumlah trombosit kurang
dari 50.000/mm3. Peningkatan nilai hematokrit sampai 10% mungkin ditemukan akibat dehidrasi
karena demam tinggi, muntah, atau karena asupan cairan yang kurang. Pemeriksaan serum
biokimia pada umumnya normal, SGOT, dan SGPT dapat meningkat. (4)
8
Pada DBD terjadi kebocoran plasma yang secara klinis berbentuk efusi pleura dan asites.
Penebalan dinding kandung empedu mendahului manifestasi klinis kebocoran plasma lain.
Peningkatan nilai hematokrit >20% dari data dasar dan penurunan kadar protein plasma terutama
albumin >0,5g/dl dari data dasar merupakan tanda indirek kebocoran plasma. (4)
Manifestasi klinis DBD terdiri dari tiga fase yaitu fase demam (2-7 hari), kritis atau
kebocoran plasma (24-48 jam), serta konvalesens (2-7 hari). Pada fase demam, kasus ringan
semua tanda dan gejala sembuh seiring dengan menghilangnya demam. Penurunan demam
terjadi secara lisis, artinya suhu tubuh menurun segera. Menghilangnya demam dapat disertai
berkeringat dan perubahan laju nadi dan tekanan darah, hal ini merupakan gangguan ringan sitem
sirkulasi akibat kebocoran plasma yang tidak berat. Pada kasus sedang sampai berat terjadi
kebocoran plasma yang bermakna sehingga akan menimbulkan hipovolemi dan bila berat
menimbulkan syok dengan mortalitas yang tinggi. Demam dapat disertai dengan tourniquet +
serta leukopenia <5.000 sel/mm3. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan berupa uji
NS1Ag yaitu pada 5 hari pertama, PCR, untuk IgG dan IgM tidak dapat digunakan sebagai
diagnosis dini karena baru muncul setelah hari kelima demam. (4,9)
Fase kritis terjadi pada saat demam turun (time of fever defervescence), pada saat ini
terjadi puncak kebocoran plasma sehingga pasien mengalami syok hipovolemi. Kewaspadaan
dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok yaitu dengan mengenal tanda dan gejala
yang mendahului syok (Warning signs). Warning signs umumnya terjadi menjelang akhir fase
demam, yaitu antara hari sakit ke 3-7. Muntah terus-menerus dan nyeri perut hebat merupakan
petunjuk awal perembesan plasma dan bertambah hebat saat pasien masuk ke keadaan syok.
Pasien tampak semakin lesu, tetapi pada umumnya tetap sadar. Perdarahan mukosa spontan atau
perdarahan di tempat pengambilan darah merupakan manifestasi perdarahan penting.
Hepatomegali dan nyeri perut sering ditemukan. Penurunan jumlah trombosit yang cepat dan
progresif menjadi di bawah 100.000 sel/mm3 serta kenaikan hematokrit di atas data dasar, dan
pada umumnya didahului oleh leukopenia (<5000 sel/mm3). Peningkatan hematokrit merupakan
salah satu tanda paling awal yang sensitif dalam mendeteksi perembesan plasma yang pada
umumnya berlangsung selama 24-48 jam. Deteksi ada tidaknya efusi pleura dan asites melalui
pemeriksaan fisik masih sulit dilakukan pada fase ini. Foto rontgen thorax dengan posisi lateral
dekubitus, usg dan serum albumin <3.5 gm% adalah alternatif lain untuk mendeteksi ada
tidaknya kebocoran plasma. (4, 9)
9
Bila syok terjadi, mula-mula tubuh melakukan kompensasi, namun apabila mekanisme
tersebut tidak berhasil pasien akan jatuh ke dalam syok dekompensasi yang dapat berupa syok
hipotensif dan profound shock yang menyebabkan asidosis metabolik, gangguan organ progresif,
dan koagulasi intravaskular diseminata. Perdarahan hebat yang terjadi menyebabkan penurunan
hematokrit, dan jumlah leukosit yang semula leukopenia dapat meningkat sebagai respons stres
pada pasien dengan perdarahan hebat. (4)
Apabila pasien dapat melalui fase kritis yang berlangsung sekitar 24-48 jam, terjadi
reabsorpsi cairan dari ruang ekstravaskular ke dalam ruang intravaskular yang berlangsung
secara bertahap pada 48-72 jam berikutnya. Keadaan ini dikenal sebagai fase penyembuhan.
Keadaan umum dan nafsu makan membaik, gejala gastrointestinal mereda, status hemodinamik
stabil, dan diuresis menyusul kemudian. Hematokrit kembali stabil karena efek dilusi cairan.
Jumlah leukosit mulai meningkat segera setelah penurunan suhu tubuh akan tetapi pemulihan
jumlah trombosit umumnya lebih lambat. Gangguan pernapasan akibat efusi pleura masif dan
ascites, edema paru atau gagal jantung kongestif akan terjadi selama fase kritis dan/atau fase
pemulihan jika cairan intravena diberikan berlebihan. (4)
10
Gambar 2. Perjalanan penyakit infeksi dengue
11
Fase Gejala Klinis
Demam Dehidrasi
Demam tinggi dapat menyebabkan gangguan neurologi dan kejang demam
Kritis Syok akibat perembesan plasma,
Perdarahan masif,
Gangguan Organ
Konvalesens Hipervolemia,
Edema paru akut
Tabel 1. Penyulit pada fase demam, kritis dan konvalesens (4)
12
tidak adekuat akan terjadi profound shock yang ditandai dengan nadi tidak teraba dan tekanan
darah tidak terukur, sianosis makin jelas terlihat. (4)
Syok hipotensif berkepanjangan dan hipoksia menyebabkan asidosis metabolik berat,
kegagalan orgna multipel serta perjalanan klinis yang sangat sulit diatasi. Pasien DBD berat
memiliki derajat kelainan koagulasi yang bervariasi. Terjadinya perdarahan masif hampir selalu
berhubungan dengan profound shock yang bersama-sama dengan trombositopenia, hipoksia serta
asidosis dapat menyebabkan kegagalan organ multipel dan koagulasi intravaskular diseminata. (4)
13
Gambar 3. Klasifikasi infeksi dengue berdasarkan guideline WHO 2009
14
Gambar 4. Timeline munculnya biomarker dengue pada infeksi primer dan sekunder
15
2.6.1 Isolasi Virus
Isolasi virus merupakan metode tradisional dalam diagnosis infeksi virus dengue. Namun,
seiring berjalannya waktu, metode ini sudah mulai digantikan dengan reverse-transcription
polymerase chain reaction (RT-PCR) dan NS1 antigen-capture enzyme-linked immunosorbent
assays (ELISAs) untuk diagnosis lebih cepat. Sampel darah diambil pada pasien dengan demam
kurang dari hari kelima untuk hasil yang memuaskan. Namun, isolasi virus pada infeksi sekunder
membuat metode ini lebih sulit dikerjakan karena sudah terbentuknya kompleks imun terhadap
virus pada fase akut. Metode ini juga memakan waktu yang lama untuk mendapatkan hasil yaitu
dalam beberapa hari sampai beberapa minggu. (10)
2.6.2 RT-PCR
Metode molekular seperti RT-PCR dan hibridisasi asam nukleat sudah dilakukan dan
memberikan efek dan hasil yang memuaskan dalam mendiagnosis infeksi virus dengue.
Keuntungan yang diberikan dengan metode PCR ini berupa dapat dideteksinya RNA virus sejak
onset penyakit pertama kali muncul, dan pemeriksaan ini memiliki sensitivitas dan spesifisitas
yang tinggi dan juga tidak memakan banyak waktu untuk mendapatkan hasil dibandingkan
dengan metode isoasi virus. Namun, pemeriksaan ini membutuhkan alat khusus yang jarang
tersedia pada area yang endemis. (10)
16
2.6.4 Serologi
Pemeriksaan serologi yang dapat dilakukan pada pasien infeksi dengue sangat bervariasi.
Pemeriksaan yang dapat dilakukan berupa Hemagglutination Inhibition Assays, Tes Fiksasi
Komplemen, dot-blot assays, Western blotting, indirect immunofluorescent antibody test, plaque
reduction neutralization test, dan Pemeriksaan antibodi IgG dan IgM. HI dan Pemeriksaan IgG
dan IgM merupakan pemeriksaan serologi yang paling sering dilakukan. IgM akan muncul
pertama kali pada hari ketiga-kelima demam pada infeksi primer dan akan terus meningkat
setelah beberapa minggu dari fase pemulihan. IgG seringkali tidak timbul pada fase akut dari
infeksi primer namun, pada infeksi sekunder, IgG dapat timbul pada hari ketiga demam.
Pemeriksaan kadar IgG dan IgM secara bersamaan dapat menentukan apakah pasien mengalami
infeksi dengue primer atau sekunder pada fase akut. (10)
17
merupakan tanda dari adanya kebocoran plasma. Trombositopeni dibawah 100.000/L dan
peningkatan hematokrit lebih dari 20% merupakan bagian dari diagnosis klinis DBD. (4)
18
-Ditemukan adanya efusi pleura, asites.
-Hipoalbuminemia, hipoproteinemia
7. Trombositopenia <100.000/mm3.
Demam disertai dengan dua atau lebih manifestasi klinis, ditambah bukti perembesan plasma dan
trombositopenia cukup untuk menegakkan diagnosis DBD.
Tanda bahaya (warning signs) untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya syok pada
penderita DBD tertera pada Boks C. (4)
Boks C Tanda bahaya (Warning Signs)
Klinis Demam turun tetapi keadaan anak memburuk.
Nyeri perut dan nyeri tekan abdomen.
Muntah yang menetap.
Letargi, gelisah.
Perdarahan mukosa.
Pembesaran hati.
Akumulasi cairan.
Oliguria.
Laboratorium Peningkatan kadar hematokrit bersamaan dengan penurunan cepat
jumlah trombosit.
Hematokrit awal tinggi.
19
6. Urine output menurun, <1ml/kgBB/jam
7. Anak gelisah
20
antigen dengue pada pemeriksaan NS1, atau apabila didapatkan serokonversi pemeriksaan IgG
dan IgM (dari negatif menjadi positif) pada pemeriksaan serologi berpasangan. (4)
2.9 Tatalaksana
Tatalaksana dari demam dengue dibagi menjadi 3 grup yaitu grup A dimana pasien dapat
dilakukan rawat jalan, grup B yaitu pasien yang memerlukan rawat inap di rumah sakit, dan grup
C yang membutuhkan terapi emergensi. (2)
Pasien yang termasuk ke grup A merupakan pasien yang dapat menerima intake oral
yang adekuat dan tidak memiliki warning sign. Berikut adalah tatalaksana yang dapat diberikan:
(2)
1. Intake oral yang adekuat untuk rehidrasi hilangnya cairan akibat demam dan muntah.
21
2. Pemberian paracetamol untuk demam tinggi. Pemberian paracetamol tidak boleh
kurang dari 6 jam. Hindari pemberian aspirin, ibuprofen atau NSAID karena dapat
menyebabkan gastritis dan perdarahan.
3. Instruksikan untuk segera membawa pasien ke rumah sakit jika tidak ditemukan
adanya perbaikan, nyeri perutt hebat, muntah terus menerus, akral dingin, letargi,
perdarahan, dan tidak berkemih lebih dari 4-6 jam.
Grup B terdiri atas pasien yang memasuki fase kritis dan memiliki warning sign. Berikut
adalah tatalaksana yang dapat diberikan pada pasien grup B: (2)
1. Lakukan pemeriksaan hematokrit awal kemudian berikan larutan isotonis seperti 0,9%
saline dan Ringer Laktat. Dimulai dengan 5-7ml/lg/jam dalam waktu 1-2 jam, lalu
dikurangi menjadi 3-5 ml/kg/jam dalam waktu 2-4 jam, dan dikurangi kembali
menjadi 2-3 ml/kg/jam.
2. Evaluasi ulang klinis dan hematokrit pasien setelah diberikan terapi cairan. Jika
hematokrit tetap sama, lanjutkan pemberian cairan sebanyak 2-3ml/kg/jam dalam 2-4
jam. Apabila tanda vital memburuk, berikan cairan 5-10 ml/kg/jam dalam 1-2 jam.
3. Parameter yang harus dimonitor selain tanda vital dan perfusi perifer setiap 1-4 jam
sampai keluar fase kritis, urine output setiap 4-6 jam, hematokrit, glukosa darah, dan
fungsi organ lainnya.
Grup C terdiri atas pasien yang membutuhkan terapi emergensi pada fase kritis jika
memiliki kebocoran plasma hebat yang dapat menyebabkan syok dengue dan/atau akumulasi
cairan dengan distress pernafasan, perdarahan hebat, kerusakan organ hebat. (2)
Penatalaksanaan syok: (2)
1. Pemberian larutan isotonik kristaloid 5-10ml/kg/jam dalam 1 jam. Evaluasi tanda vital,
capillary refill time, hematokrit, urine output.
2. Jika keadaan membaik, cairan intravena harus diturunkan perlahan menjadi 5-7
ml/kg/jam dalam 1-2 jam, kemudian 3-5 ml/kh/jam dalam 2-4 jam, lalu 2-3 ml/kg/jam,
dan selanjutnya tergantung status hemodinamik selama 24-48 jam.
3. Jika tanda vital tidak stabil, cek hematokrit setelah bolus pertama. Apabila hematokrit
>50%, ulangi pemberian bolus kedua cairan kristaloid pada 10-20ml/kg/jam dalam 1
22
jam. Setelah bolus kedua, jika ada perbaikan, kurangi menjadi 7-10 ml/kg/jam dalam
1-2 jam, dan lanjutkan penurunan seperti yang tertera sebelumnya. Jika hematokrit
<40%, hal ini mengindikasikan adanya perdarahan dan segera persiapkan transfusi
darah.
2.10 Komplikasi
a. Kelebihan cairan
Kelebihan cairan dapat ditemukan saat fase kritis dan fase konvalesens. Penyulit ini dapat
menyebabkan edema paru atau gagal jantung. Pemberian cairan pada hari sakit ketiga sampai
23
kelima sesuai panduan yang diberikan, pada umumnya tidak akan menyebabkan edema paru oleh
karena perembesan plasma masih terjadi.(4)
Kelebihan cairan dapat disebabkan karena pemberian cairan intravena terlalu awal
dengan volume yang besar, penggunaan cairan hipotonik dengan volume yang besar, tidak
menurunkan jumlah volume cairan infus ataupun menghentikannya walaupun sudah masuk ke
fase konvalesens, tidak menggunakan cairan koloid walau sudah ada indikasi, tidak segera
memberikan transfusi darah walaupun sudah jelas ada indikasi perdarahan, dan pasien dengan
status nutrisi overweight/obesitas diberikan cairan infus yang tidak sesuai dengan berat badan
ideal.(4)
Gejala yang dapat ditimbulkan pada pasien dengan kelebihan cairan berupa tampak sakit
berat, distres pernapasan, dispnea dan takipnea, hepatomegali, asites masif, takikardi, krepitasi
dan atau ronki dan atau wheezing di seluruh lapang paru, serta perfusi yang buruk.(4)
b. Gangguan elektrolit
Gangguan elektrolit sering terjadi pada fase kritis yaitu hiponatremia dan hipokalsemia.
Hiponatremia terjadi akibat pemberian cairan infus larutan hipotonis yang tidak adekuat.
Hipokalsemia terjadi akibat perembesan kalsium mengikuti albumin masuk ke rongga pleura
atau peritoneal. Hipokalemia sering terjadi pada fase konvalesens akibat kondisi stres dan
pemberian diuretik. (4)
d. Perdarahan masif
Perdarahan pada infeksi dengue dapat ringan sampai berat yang kadang memerlukan
perawatan kedaruratan. Perdarahan hebat umumnya akibat KID dan gagal multiorgan seperti
24
disfungsi hati dan ginjal, hipoksia yang berhubungan dengan syok yang berat dan
berkepanjangan, asidosis metabolik yang disertai dengan trombositopenia. Adanya aktivasi
koagulasi yang luas menyebabkan pembentukan fibrin intravaskular dan oklusi pembuluh darah
kecil yang mengakibatkan timbulnya trombosis. Peningkatan penggunaan trombosit pada KID
menyebabkan makin menurunnya jumlah trombosit dan faktor pembekuan sehingga memicu
perdarahan hebat. (4)
e. Infeksi ganda
Di daerah endemik terdapat laporan infeksi dengue terjadi bersamaan dengan infeksi lain
seperti diare akut, pneumonia, campak, cacar air, demam tifoid, infeksi saluran kemih,
leptospirosis, dan malaria. Jika pasien infeksi dengue masih mengalami demam setelah fase kritis
dan syok terlewati, maka sumber infeksi lainnya harus segera dicari atau penyebab lain. (4)
f. Kelainan ginjal
Gagal ginjal akut pada umumnya terjadi pada fase terminal syok, sebagai akibat dari syok
yang tidak teratasi dengan baik. Diuresis merupakan parameter yang penting untuk mengetahui
apakah syok telah teratasi. Diuresis diusahakan >1 ml/kgBB/jam. (4)
g. Miokarditis
Disfungsi kontraktilitas miokardium dapat terjadi pada pasien infeksi dengue yang
mengalami syok berkepanjangan. Penyebabnya terutama adalah asidosis metabolik,
hipokalsemia, dan kardiomiopati. Beberapa pasien dengan edema paru atau kelebihan cairan
dapat mengalami miokarditis, sehingga jika didapat kecurigaan terhadap miokarditis, pemberian
cairan harus berhati-hati. (4)
25
BAB III
KESIMPULAN
infeksi virus dengue bervariasi tergantung dari sifatnya. Dapat terjadi secara asimtomatik,
sindrom virus, demam dengue, demam berdarah dengue dan Expanded dengue syndrome. Setiap
sifat memiliki manifestasi klinis dan perjalanan penyakit yang berbeda-beda.
Kriteria diagnosis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis klinis dan kriteria
diagnosis laboratoris. Kriteria diagnosis klinis infeksi dengue dibagi menjadi kriteria diagnosis
klinis demam dengue, demam berdarah dengue, demam berdarah dengue dengan syok, dan
expanded dengue syndrome. Pada kriteria diagnosis klinis terdapat beberapa hal yang dinilai
seperti demam, manifestasi perdarahan, tanda kebocoran plasma, tanda syok, hepatomegali,
kadar hematokrit dan trombosit, ada tidaknya warning sign serta manifestasi klinis yang tidak
biasa. Manifestasi klinis DBD terdiri dari tiga fase yaitu fase demam (2-7 hari), kritis atau
kebocoran plasma (24-48 jam), serta konvalesens (2-7 hari).
Disamping pemeriksaan klinis, pemeriksaan laboratorium diperlukan untuk menunjang
diagnosis infeksi dengue. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan berupa isolasi virus,
RT-PCR, Antigen NS1, Serologi, dan Hematologi Rutin. Pemeriksaan laboratorium ini harus
disesuaikan dengan perjalanan penyakit dari infeksi dengue untuk mendapatkan kadar yang tepat
dalam menunjang diagnosis infeksi dengue.
26
DAFTAR PUSTAKA
1. Murray NEA, Quam MB, Wilder-Smith A. Epidemiology of dengue: past, present, and
future prospects. Clinical Epidemiology 2013; 5:299-309.
2. World Health Organization. Dengue: Guidelines for diagnosis, treatment, prevention and
control. 2009.
3. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Situasi DBD. Info DATIN. 2016.
4. UKK Infeksi dan Penyakit Tropis Ikatan Dokter Anak Indonesia. Pedoman diagnosis dan
tata laksana infeksi virus dengue pada anak. 2014.
5. Vaughn DW, Green S, Kalayanarooj S, Innis BL, Nimmannitya S, Suntayakorn S, et al.
Dengue in the early febrile phase: viremia and antibody responses. JID 1997;176.
6. Nedjadi T, El-Kafrawy S, Sohrab SS, Despires P, Damanhouri G, Azhar E. Tackling
dengue fever: current status and challenges. Virology journal 2015; 12:212.
7. Buku biru
8. Malavige GN, Fernando S, Fernando DJ, Seneviratne SL. Dengue viral infections. Postgrad
Med J 2004;80:588-601.
9. Kalayanarooj S. Clinical manifestations and management of dengue/dhf/dss. Tropical
medicine and health 2011; 39:83-87.
10. Muller DA, Depelsenaire ACI, Young PR. Clinical and laboratory diagnosis of dengue
virus infection. The journal of infectious diseases 2017; 215:89-95.
11. Chan HBY, How CH, Ng CWM. Definitive tests for dengue fever: when and which should
I use? Singapore med J 2017; 58:632-635.
12. World Health Organization for India. National guidelines for clinical management of
dengue fever. 2014.
27