Patofisiologi
Berkurnagnya jumlah Acetylcholine reseptor (AChR) oleh karena proses autoimun dalam
tubuh yang memproduksi anti-AChR bodies menyebabkan blok pada AChR dan merusak
membrane post-synaptic, sehingga menyebabkan Acetylcholine (Ach) yang tetap dilepaskan
dalam jumlah normal kurang dapat mengantarkan potensial aksi pada membrane post-synaptic,
oleh karena itu terjadi penurunan jumlah serabut saraf yang diaktifkan oleh impuls tertentu dan
menyebabkan rasa sakit pada pasien.
Diduga dipengaruhi oleh timus, yaitu kelenjar yang berfungsi memproduksi sel T
diperuntukkan dalam system imun adaptif. Pada 65% pasien terdapat hyperplasia timus yang
menandakan aktifnya respon imun, sedangkan pada 10% pasien terdapat timoma, yaitu tumor
pada kelenjar timus.
Gambaran Klinis
1. Kelemahan otot yang progresif (biasanya pada otot kelopak mata & gerak bola
mata/ocular).
2. Kelemahan meningkat dengan cepat pada kontraksi otot yang berulang.
3. Kelemahan biasanya memburuk menjelang malam.
4. Atrofi dan/atau fasikulasi otot (kedutan otot)
5. Dapat menyerang otot wajah menyebabkan penderita tampak seperti menggeram
saat senyum dan/atau wajah tanpa ekspresi
6. Kesulitan mengunyah, menelan, berbicara.
7. Sebagian besar mengalami kelemahan otot diseluruh tubuh, termasuk ekstremitas.
8. Dapat menyerang otot pernapasan sehingga menyebabkan sesak napas.
Klasifikasi
Kelompok I (Myasthenia Ocular), hanya menyerang otot ocular, disertai ptosis
dan diplopia. Sangat ringan dan kasus kematian (15-20%)
Kelompok II A (Myasthenia Umum Ringan), progress lambat, biasanya pada
mata, lambat laun menyebar ke otot rangka dan bulbar. Sistem pernapasan tidak
terkena, respon terhadap tereapi obat baik, angka kematian rendah (30%)
Kelompok II B (Myasthenia Umum Sedang), progress bertahap dan sering
disertai gejala-gejala ocular, lalu berlanjut semakin berat dengan terserangnya
otot-otot rangka dan bulbar. Respon pada obat kurang memuaskan dan aktivitas
pasien berkurang/terbatas (25%).
Kelompok III (Myasthenia Fulminan Akut), progress cepat dengan kelemahan
otot-otot rangka dan bulbar yang berat, disertai mulai terserangnya otot-otot
pernapasan. Biasanya berkemabang maksimal dalam waktu 6 bulan. Respon pada
obat buruk dan angka kematian tinggi. Dalam kelompok ini, presentasi timoma
paling tinggi.
Kelompok IV (Myasthenia Berat Lanjut), timbul paling sedikit 2 tahun sesudah
progress gejala-gejala kelompok I dan II. Respon terhadap obat dan prognosis
buruk.
Diagnosis
1. Anamnesis:
Adanya kelemahan/kelumpuhan otot yang berkurang, setelah aktivitas dan
membaik setelah istirahat. Otot mata ptosis dan/atau diplopia
Kelumpuhan anggota badan, terutama triceps dan ekstensor jari
2. Tes Klinik Sederhana:
Tes Watenberg/Simpson Test, memandang objek di atas bidang antara
kedua bola mata selama lebih dari 30 detik (positif bila mata yang lemah
menjadi ptosis)
Tes pita suara, penderita diminta menghitung 1-100 (positif bila suara
bertahap menghilang)
3. Uji Tensilon/Edrophonium chloride, adalah anticholinesterase kerja produk yang
memperpanjang kerja asetilkolinpada neuromuscular junction dalam beberapa
menit:
Suntikan 2mg tensilon secara intravena selama 15 detik. Bila dalam 30
detik tidak ada reaksi, suntik lagi sebanyak 8-9 mg tensilon secara
intravena.
Perhatikan otot yang lemah (contoh: ptosis), bila lemahnya menghilang
didiagnosa myasthenia gravis
4. Tes Prostigmin: suntikan 3ccc/1,5mg prostigmin methylsulfat secara
intramuscular (bila perlu beri atropine 0,8mg). Perhatikan otot yang lemah
(contoh: ptosis), bila lemahnya menghilang didiagnosa myasthenia gravis.
5. Tes Laboratorium:
Anti-striated muscle (Anti SM) antibodi
Anti-asetilkolin reseptor antibody, 70-95% terdapat pada Myasthenia
Gravis generalisata dan 50-70% terdapat pada Myasthenia Gravis ocular.
Dapat digunakan untuk diagnosis
6. Elektrodiagnostik: dapat memperlihatkan defek pada transmisi neuromuscular
Single Fiber Electromyograph (SFEMG)
Repetitive Nerve Stimulation (RNS), tampak penurunan aksi.
Terapi
1. Antikolinesterase
Dapat diberikan piridogstimin 30-120mg per oral tiap 3 jam atau neostigmin
bromide 15-45 mg per oral tiap 3 jam. Terapi kombinasi tidak menunjukkan hasil
yang mencolok. Bila diperlukan, neostigmin metilsulfat dapat diberikan secara
subkutan atau intramuskularis (15 mg per oral setara dengan 1 mg
subkutan/intramuskularis), didahului dengan pemberian atropine 0,5 mg – 1 mg.
2. Steroid
Prednisolon paling sesuai untuk myasthenia gravis, diberikan selang-seling. Dosis
awalnya harus kecil (10 mg) dan dinaikkan secara bertahap (5-10 mg/minggu)
3. Azatioprin
Obat ini diberikan dengan dosis 2,5 mg/KgBB selama 8 minggu pertama. Setiap
minggu harus dilakukan pemerikasaan darah lengkap dan fungsi hati.
4. Timektomi
Pada penderita tertentu dapat dilakukan timektomi.
5. Plasmaferesis
Tiap hari dilakukan penggantian plasma sebanyak 3-8 kali, dengan dosis 50
ml/KgBB.
Guillain-Barre Syndrome (GBS)
Definisi
Etiologi
Penyebab pasti belum diketahui, beberapa teori menyebut gangguan autoimun sehingga
terjadi inflamasi dan destruksi myelin, sebagian besar kasus didahului oleh infeksi virus
(Epstein-Barr virus, influenza virus, dll), bakteri (Campylobacter jejuni, Mycoplasma
pneumonia, dll), vaksinasi (BCG, tetanus, varicella, dll). Keadaan lain seperti penyakit sistemik
seperti kanker, kehamilan, pembedahan dan anestesi epidural.
Patofisiologi
Mekanisme imunitas humoral dan seluler berperan dalam manifestasi GBS. Onset GBS
umumnya muncul 1-4 minggu setelah penyakit infeksius muncul. Banyak organism infeksius
yang dianggap menginduksi produksi antibody yang bereaksi silang dengan gangliosid dan
glikolipid, seperti GM1 dan GD1b, yang tersebar luass disepanjang myelin pada system saraf
perifer. Reaksi silang ini dikenal dengan istilah molecular mimicry.
Ditemukan sel inflamasi dan makrofag pada saraf penderita GBS, yang selanjutnya akan
diikuti dengan destruksi myelin akibat aktivitas sitokin. Inflamsi dan degenerasi myelin
menyebabkan kebocoran protein dari darah ke cairan cerebrospinal, menyebabkan peningkatan
konsentrasi protein cairan cerebrospinal. Tanda ini merupakan cirri khas pada GBS. Sel Schwann
yang memiliki kemampuan membentu serabut myelin biasanya tidak mengalami destruksi,
sehingga menjelaskan bagaimana pasien GBS dapat sembuh total.
Tahap 1, terjadi migrasi limfosit melalui pembuluh darah endoneural dan disekitar
nerve fiber, tapi serabut myelin dan akson belum mengalami kerusakan.
Tahap 2, limfosit tampak lebih menginvasi dan menekan dan tampak makrofag.
Mulai terjadinya segmental demyelination, namun axon masih belum terlibat.
Tahap 3, kerusakan pada multifocal myelin dan axonal. Terjadi chromatolysis
sentral pada badan sel saraf, dan otot mulai terlibat denervasi atrofi.
Tahap 4, destruksi axonal yang luas. Beberapa badan sel saraf mengalami
kerusakan yang ireversibel, tapi fungsi tetap.
Gejala Klinis
Pemeriksaan Neurologi
Pemeriksaan Penunjang
Lumbal pungsi LCS didapatkan cirri khas berupa disosiasi citoalbumin (protein
LCS meningkat tetapi sel normal)
EMG: gambaran demyelinating dan atau gangguan axonal
Pemeriksaan lain untuk menyingkirkan diagnosis banding seperti: elektrolit darah,
gula darah, fungsi ginjal hati, dll.
Diagnosis
Algoritme diagnosis
1. Progresif
2. Relatif simetris
3. Gejala sensoris ringan
2. Temuan yang sangat
4. Keterlibatan n. cranialis
mendukung diagnosis 5. Penyembuhan
6. Disfungsi otonomik
7. Tidak ada demam
Diagnosa Banding
Myasthenia gravis akut, paralisis periodic, botulisme, Tick paralysis, neuropati akibat logam
berat, polimielitis dan thrombosis arteri basilaris.
Penatalaksanaan
Farmakoterapi
Plasma exchange therapy (PE) regimen standar terdiri dari 5 sesi (40-50
ml/KgBB) dengan saline dan albumin sebagai penggantinya.
Intravenous infusion of human Immunoglobulin (IVIg) dosis 0,4 g/KgBB/hari
selama 5 hari. Diberikan terutama 2 minggu pertama setelah onset.
NSID dapat diberikan bila ada gejala nyeri
LMWH dapat diberikan untuk mencegah terjadinya Deep Vein Thrombosis
(DVT).
Pemberian neurotrapik untuk mempercepat remielinisasi seperti metilcobalamin.
Non Farmakologi
Terapi fisik
Terapi wicara
Prognosis
Pasien GBS 75% diantaranya sembuh total. 15% kelemahan ringan atau gejala sisa, 5-7%
meninggal akibat gagal napas dan aritmia, dan 3% mengalami relaps.