Anda di halaman 1dari 3

RA.

FATIMAH FARAH
010115A0097
PSK B

INTERVENSI TRAUMA DAN KRISIS


KRISIS INDIVIDU

Dalam kehidupan pribadi, saya pernah mengalami krisis dalam kehidupan


saya, yaitu pada saat saya lulus SMA dan menjelang pendaftaran perkuliahan. Saat
itu, saya bingung harus memilih universitas mana untuk kuliah. Ibu saya
menyarankan untuk masuk universitas yang dekat-dekat saja dan tidak ke luar kota.
Di samping itu, saya pribadi merasa memiliki keinginan untuk berkuliah jauh dan
merantau seperti kakak saya. Ibu saya melarang karena tidak ingin berpisah dengan
saya karena kebetulan saya adalah anak terakhir dan satu satunya yang belum
berkeluarga diantara kakak kakak saya. Jadi ibu saya mengatakan jika saya tidak
berkuliah seperti keinginan ibu saya maka dia tidak akan membiayai perkuliahan
saya. Karena hal itu, saya bingung, takut sekaligus tidak tahu harus berbuat apa. Di
satu sisi, saya tidak tega meninggalkan kedua orang tua saya dirumah karena ketiga
kakak saya sudah berumah tangga dan tinggal di rumahnya masing-masing. Belum
lagi ibu harus mengurus nenek yang sudah tua dan sakit-sakitan. Saya sangat ingin
membantu ibu saya. Tetapi, di sisi lain, saya juga memiliki keinginan yang besar
untuk berkuliah jauh dan merantau seperti teman-teman saya pada umumnya. Dan
jika saya nekat, maka saya takut ibu saya benar-benar tidak mau membayar uang
kuliah saya.
Suatu hari, saya membicarakan ini dengan kedua orang tua saya. Bapak saya
menyarankan untuk saya mengikuti apa kata ibu saya, sedangkan ibu saya bersikukuh
dengan pendiriannya untuk tidak memperbolehkan saya merantau. Awalnya, saya
sempat putus asa dan berpikir tidak akan melanjutkan kuliah, juga tidak bekerja. Saya
hanya akan bermalas-malasan di rumah dan merepotkan kedua orang tua saya, mereka
harus menuruti semua keinginan saya. Sebenarnya, itu bukanlah hal yang benar-benar
ingin saya lakukan. Tentu saja tidak, saya tidak akan membuang waktu di sisa hidup
saya untuk hal yang tidak berguna. Itu hanya pemikiran sebagai pelampiasan ego saya
karena kedua orang tua saya tidak setuju dengan apa yang menjadi pilihan saya.
Selama beberapa hari, pikiran itu tetap menghantui saya, rasa takut, cemas
meimikirkan masa depan, semua terbayang di hari itu. Bagaimana jika saya benar-
benar tidak berkuliah? Atau, bagaimana jika saya memang harus menuruti keinginan
mereka untuk berkuliah di kampung saya. Tidak. Saat itu, saya memiliki tingkat
keangkuhan yang tinggi sampai saya mengatakan pada kedua orang tua saya bahwa
lebih baik saya tidak berkuliah daripada harus berkuliah di sana. Sebenarnya, saya
tahu bahwa yang saya lakukan itu salah. Tetapi, saya juga tidak bisa membenarkan
apa yang mereka lakukan.
Sampai suatu hari, saat pendaftaran SNMPTN, saya memberanikan diri untuk
mendaftar di salah satu universitas negeri di kota Semarang. Mengingat perkataan ibu
saya yang tidak akan membiayai kuliah saya jika saya berkuliah jauh, saya mendaftar
jalur bidikmisi agar bebas biaya kuliah. Semua persyaratan dan surat-surat saya urus
sendiri tanpa bantuan mereka. Saya hanya menceritakan hal ini pada teman dekat
saya. Sebenarnya, saat itu saya takut akan banyak hal. Pertama, takut ketahuan oleh
kedua orang tua saya dan takut kena marah. Kedua, jika saya tidak lolos pada seleksi
ini, saya akan bingung kemana lagi saya harus mencari kuliah gratis.
Di hari pengumuman, perasaan saya bercampur aduk. Takut, cemas, keringat
dingin semua saya rasakan dalam detik-detik dibukanya website pengumuman. Saya
tidak memiliki cukup keyakinan untuk bisa lolos di seleksi itu, tapi harapan saya besar
di dalamnya. Ada banyak konsekuensi yang harus saya terima apabila saya tidak lolos
seleksi itu. Dan benar, mungkin restu orang tua yang nomor satu. Saya tidak lolos
seleksi itu. Dan detik saya mengetahui bahwa saya tidak lolos, detik itu pula saya
merasa lemas seketika, sudah berjuang sedemikian jauhnya, menentang orang tua, dan
akhirnya ego saya harus kalah dengan kenyataan. Menangis. Hanya itu yang bisa saya
lakukan hari itu. Ditambah lagi melihat postingan teman di social media memajang
namanya terpampang lolos di seleksi, semakin sempurna membuat hati saya teriris.
Tetapi rupanya perjuangan saya tidak sampai disitu. Seorang teman
menyemangati saya untuk ikut seleksi SBMPTN, dimana seleksi tertulis itu juga bisa
diikuti melalui jalur bidikmisi. Mau tidak mau, saya mencoba untuk mendaftar.
Walaupun, tidak sesemangat pendaftaran seleksi kemarin, tapi apa boleh buat? Dan
lagi lagi, saya tidak lolos seleksinya. Putus asa. Hanya itu yang saya tahu. Mau
bagaimana lagi, itu adalah kesempatan terakhir saya bisa mewujudkan mimpi saya.
Tapi sekali lagi, restu orang tua, restu Tuhan.
Dan setelah hari itu, saya memberanikan diri untuk menceritakan semua yang
terjadi pada kedua orang tua saya. Saya pasrah, mungkin hanya sedikit marah, atau
apapun itu. Saya tidak peduli. Yang saya pikir hanya yang penting saya sudah usaha,
mau bagaimanapun jalannya, itu sudah takdir. Tetapi, jawaban kedua orang tua saya
mengejutkan, tidak ada amarah, sama sekali. Mereka benar-benar menghargai apa
yang saya lakukan. Iba, mungkin. Tapi hati saya terenyuh melihat sikap mereka.
Sungguh diluar dugaan. Mereka meminta saya untuk menceritakan segala yang
terjadi, dan apa keinginan saya saat ini. Saya menceritakannya.
Suatu hari, ibu saya menemui saya di kamar dan menawarkan hal
mengejutkan. Ia meminta saya untuk berkuliah di salah satu sekolah tinggi kesehatan
di Semarang, dan tinggal bersama kakak saya yang sudah berkeluarga disana. Saya
terharu, dia rela mengesampingkan apa yang menjadi keinginannya demi memenuhi
apa yang menjadi mimpi anaknya. Dan tentu, saya setuju. Satu minggu kemudian,
saya berangkat bersama ibu saya dan mendaftarkan diri di Stikes Ngudi Waluyo, hari
itu juga saya melakukan tes akademik dan hari itu pula saya diterima menjadi
mahasiswa. Tidak bisa dibayangkan betapa senangnya saya hari itu. Setelah melalui
perjuangan yang panjang, akhirnya saya bisa menyelesaikan masalah ini tanpa
menyakiti pihak manapun. Itu adalah pelajaran yang berharga dalam hidup saya,
pesan yang bisa saya ambil, kejujuran dan keterbukaan. Orang tua tetap nomor satu.
Sekian.

Anda mungkin juga menyukai