Dalam kehidupan pribadi, saya pernah mengalami krisis dalam kehidupan
saya, yaitu pada saat saya lulus SMA dan menjelang pendaftaran perkuliahan. Saat itu, saya bingung harus memilih universitas mana untuk kuliah. Ibu saya menyarankan untuk masuk universitas yang dekat-dekat saja dan tidak ke luar kota. Di samping itu, saya pribadi merasa memiliki keinginan untuk berkuliah jauh dan merantau seperti kakak saya. Ibu saya melarang karena tidak ingin berpisah dengan saya karena kebetulan saya adalah anak terakhir dan satu satunya yang belum berkeluarga diantara kakak kakak saya. Jadi ibu saya mengatakan jika saya tidak berkuliah seperti keinginan ibu saya maka dia tidak akan membiayai perkuliahan saya. Karena hal itu, saya bingung, takut sekaligus tidak tahu harus berbuat apa. Di satu sisi, saya tidak tega meninggalkan kedua orang tua saya dirumah karena ketiga kakak saya sudah berumah tangga dan tinggal di rumahnya masing-masing. Belum lagi ibu harus mengurus nenek yang sudah tua dan sakit-sakitan. Saya sangat ingin membantu ibu saya. Tetapi, di sisi lain, saya juga memiliki keinginan yang besar untuk berkuliah jauh dan merantau seperti teman-teman saya pada umumnya. Dan jika saya nekat, maka saya takut ibu saya benar-benar tidak mau membayar uang kuliah saya. Suatu hari, saya membicarakan ini dengan kedua orang tua saya. Bapak saya menyarankan untuk saya mengikuti apa kata ibu saya, sedangkan ibu saya bersikukuh dengan pendiriannya untuk tidak memperbolehkan saya merantau. Awalnya, saya sempat putus asa dan berpikir tidak akan melanjutkan kuliah, juga tidak bekerja. Saya hanya akan bermalas-malasan di rumah dan merepotkan kedua orang tua saya, mereka harus menuruti semua keinginan saya. Sebenarnya, itu bukanlah hal yang benar-benar ingin saya lakukan. Tentu saja tidak, saya tidak akan membuang waktu di sisa hidup saya untuk hal yang tidak berguna. Itu hanya pemikiran sebagai pelampiasan ego saya karena kedua orang tua saya tidak setuju dengan apa yang menjadi pilihan saya. Selama beberapa hari, pikiran itu tetap menghantui saya, rasa takut, cemas meimikirkan masa depan, semua terbayang di hari itu. Bagaimana jika saya benar- benar tidak berkuliah? Atau, bagaimana jika saya memang harus menuruti keinginan mereka untuk berkuliah di kampung saya. Tidak. Saat itu, saya memiliki tingkat keangkuhan yang tinggi sampai saya mengatakan pada kedua orang tua saya bahwa lebih baik saya tidak berkuliah daripada harus berkuliah di sana. Sebenarnya, saya tahu bahwa yang saya lakukan itu salah. Tetapi, saya juga tidak bisa membenarkan apa yang mereka lakukan. Sampai suatu hari, saat pendaftaran SNMPTN, saya memberanikan diri untuk mendaftar di salah satu universitas negeri di kota Semarang. Mengingat perkataan ibu saya yang tidak akan membiayai kuliah saya jika saya berkuliah jauh, saya mendaftar jalur bidikmisi agar bebas biaya kuliah. Semua persyaratan dan surat-surat saya urus sendiri tanpa bantuan mereka. Saya hanya menceritakan hal ini pada teman dekat saya. Sebenarnya, saat itu saya takut akan banyak hal. Pertama, takut ketahuan oleh kedua orang tua saya dan takut kena marah. Kedua, jika saya tidak lolos pada seleksi ini, saya akan bingung kemana lagi saya harus mencari kuliah gratis. Di hari pengumuman, perasaan saya bercampur aduk. Takut, cemas, keringat dingin semua saya rasakan dalam detik-detik dibukanya website pengumuman. Saya tidak memiliki cukup keyakinan untuk bisa lolos di seleksi itu, tapi harapan saya besar di dalamnya. Ada banyak konsekuensi yang harus saya terima apabila saya tidak lolos seleksi itu. Dan benar, mungkin restu orang tua yang nomor satu. Saya tidak lolos seleksi itu. Dan detik saya mengetahui bahwa saya tidak lolos, detik itu pula saya merasa lemas seketika, sudah berjuang sedemikian jauhnya, menentang orang tua, dan akhirnya ego saya harus kalah dengan kenyataan. Menangis. Hanya itu yang bisa saya lakukan hari itu. Ditambah lagi melihat postingan teman di social media memajang namanya terpampang lolos di seleksi, semakin sempurna membuat hati saya teriris. Tetapi rupanya perjuangan saya tidak sampai disitu. Seorang teman menyemangati saya untuk ikut seleksi SBMPTN, dimana seleksi tertulis itu juga bisa diikuti melalui jalur bidikmisi. Mau tidak mau, saya mencoba untuk mendaftar. Walaupun, tidak sesemangat pendaftaran seleksi kemarin, tapi apa boleh buat? Dan lagi lagi, saya tidak lolos seleksinya. Putus asa. Hanya itu yang saya tahu. Mau bagaimana lagi, itu adalah kesempatan terakhir saya bisa mewujudkan mimpi saya. Tapi sekali lagi, restu orang tua, restu Tuhan. Dan setelah hari itu, saya memberanikan diri untuk menceritakan semua yang terjadi pada kedua orang tua saya. Saya pasrah, mungkin hanya sedikit marah, atau apapun itu. Saya tidak peduli. Yang saya pikir hanya yang penting saya sudah usaha, mau bagaimanapun jalannya, itu sudah takdir. Tetapi, jawaban kedua orang tua saya mengejutkan, tidak ada amarah, sama sekali. Mereka benar-benar menghargai apa yang saya lakukan. Iba, mungkin. Tapi hati saya terenyuh melihat sikap mereka. Sungguh diluar dugaan. Mereka meminta saya untuk menceritakan segala yang terjadi, dan apa keinginan saya saat ini. Saya menceritakannya. Suatu hari, ibu saya menemui saya di kamar dan menawarkan hal mengejutkan. Ia meminta saya untuk berkuliah di salah satu sekolah tinggi kesehatan di Semarang, dan tinggal bersama kakak saya yang sudah berkeluarga disana. Saya terharu, dia rela mengesampingkan apa yang menjadi keinginannya demi memenuhi apa yang menjadi mimpi anaknya. Dan tentu, saya setuju. Satu minggu kemudian, saya berangkat bersama ibu saya dan mendaftarkan diri di Stikes Ngudi Waluyo, hari itu juga saya melakukan tes akademik dan hari itu pula saya diterima menjadi mahasiswa. Tidak bisa dibayangkan betapa senangnya saya hari itu. Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya saya bisa menyelesaikan masalah ini tanpa menyakiti pihak manapun. Itu adalah pelajaran yang berharga dalam hidup saya, pesan yang bisa saya ambil, kejujuran dan keterbukaan. Orang tua tetap nomor satu. Sekian.