Anda di halaman 1dari 28

INTERVENSI TRAUMA DAN KRISIS

INTOXICASY DAN OVERDOSIS

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah Intervensi Trauma Dan Krisis

Dosen Pengampu : Bu Liya Novitasari, S.Kep.,Ns.,M.Kep

Disusun Oleh :

1. Ayun Vitika D (010115a021)


2. Destri Mahesti (010115a027)
3. Dina Purnamasari (010115a033)
4. Fitriyah (010115a044)
5. Hapiana (010115a050)
6. Nurul Khotimah (010115a090)
7. Putri Astuti (010115a096)
8. Saiful Amri (010115a109)
9. Siti Nurul Hikmah (010115a122)

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN
UNIVERSITAS NGUDI WALUYO UNGARAN
2018
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Keracunan bukanlah sesuatu yang diharapkan. Namun, hal ini bukan
tidak mungkin terjadi pada diri kita, orang yang dekat dengan kita, atau
masyarakat luas. Yang umumnya terjadi di masyarakat adalah keracunan
makanan, gigitan binatang, zat-zat kimia, dan obat-obatan. Kejadian
keracunan ini ternyata kelazimannya masih terlalu tinggi.
Racun dapat mengganggu fungsi tubuh atau bahkan menghentikan
fungsi tubuh yang berakibat terjadinya penurunan kesehatan dalam
kondisi gawat darurat. Penatalaksanaan keracunan membutuhkan terapi
yang tepat sehingga dapat menyelamatkan nyawa pasien dan membuat
pengobatan menjadi efektif dan efisien.
Pada periode 2012-2014 ditemukan 117 kasus keracunan dengan
angka kematian 0 kasus. Penyebab tertinggi keracunan yakni gigitan ular
(69,2%) selain itu ditemukan juga keracunan pestisida, makanan, obat,
alkohol, racun tanaman, dan shellfish. Pasien mayoritas adalah laki-laki
(70,1%), usia 28–45 tahun (30,5%), memiliki pendidikan rendah yaitu
SD (49,6%) serta tidak memiliki pekerjaan (71,8%).Penatalaksanaan
bervariasi antar tiap pasien menggunakan antidotum, antibiotik,
antihistamin, analgetik-antipiretik, hemostatic agent, anti infeksi, dan
beberapa obat gastrointestinal lainnya. Penatalaksanaan keracunan yang
sudah sesuai buku pedoman Badan Pengawasan Obat dan Makanan
(BPOM) RI sebanyak 24 kasus (20,51%), belum sesuai sebanyak 75
kasus (64,10%) dan belum terdapat di dalam pedoman sebanyak 18 kasus
(15,38%)
Penyebab tertinggi keracunan merupakan gigitan ular (69,2%)
sejalan dengan penelitian Pramaswar dan Illias yang menemukan gigitan
ular merupakan penyebab tertinggi. Gigitan ular terjadi karena
kecelakaan (tergigit) namun tidak dapat teridentifikasi dengan jelas dan
spesifik ular jenis apa yang menggigit. Diagnosa pasti cukup sulit karena
hanya bisa dilakukan jika ular yang menggigit ditangkap dalam keadaan
hidup. Selain itu karena pasien juga kurang paham mengenai jenis ular
yang ada di lingkungan sekitar dan kurangnya sarana laboratorium
toksikologi yang tersedia di rumah sakit di Indonesia.
Pestisida menjadi penyebab tertinggi kedua diantaranya pestisida
organofosfat (2,8%), karbamat (2,8%) dan pestisida tidak spesifik (5,6%)
yang terjadi akibat disengaja untuk percobaan bunuh diri dan tidak
disengaja akibat terminum. Minyak tanah yang termasuk dalam
hidrokarbon juga menyebabkan keracunan yang terjadi akibat terminum
oleh anak-anak dibawah umur. Keracunan alprazolam (1,7%) dan alcohol
(1,7%) terjadi akibat penyalahgunaan. Sementara itu keracunan shellfish
dan tanaman terjadi akibat tidak disengaja.
Menangani overdosis dan keracunan adalah singkirkan berbagai
perlengkapan atau benda-benda yang bisa membahayakan korban,
upayakan korban tetap sadar, misalnya dengan mengajak berjalan,
menggungcangkan tubuhnya perlahan atau menepuk pipi korban, jika
tidak ada respon bukalah mulutnya dan pastikan tidak ada sumbatan atau
cairan atau benda asing lainnya dalam tenggorokan, jika tidak bernapas,
berilah pernapasan buatan dari mulut ke mulut.
(Jurnal Litbangkes, 2016)
B. TUJUAN
1. Mengetahui pengertian intoxicasi.
2. Mengerti Apa klasifikasi racun
3. Mengetahui Apa saja penggolongan racun.
4. Mengetahui mekanisme terjadinya keracunan .
5. Mengetahui efek racun terhadap tubuh.
6. Mengetahui gejala keracunan.
7. Memahami diagnosa keracunan.
8. Memahami penata laksanaan umum pada keracunan.
9. Mengetahui pengertian overdosisis
10. Mengetahui etiologi overdosis
11. Mengetahui klasifikasi overdosis
12. Mengetahui mekanisme overdosis
13. Mengetahui gejala overdosis
14. Mengetahui mekanisme terjadinya overdosis
15. Mengetahui diagnosa pada overdosis
16. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada overdosis
17. Mengetahui tatalaksana yang tepat pada overdosis.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. INTOXICASY / KERACUNAN
1. Pengertian Racun
Racun adalah suatu zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorpsi,
menempel pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah
yang relatif kecil dapat mengakibatkan cedera dari tubuh dengan
adanya reaksi kimia. Racun merupakan zat yang bekerja pada tubuh
secara kimiawi dan fisiologik yang dalam dosis toksik akan
menyebabkan gangguan kesehatan atau mengakibatkan kematian.
Racun dapat diserap melalui pencernaan, hisapan, intravena, kulit, atau
melalui rute lainnya. Reaksi dari racun dapat seketika itu juga, cepat,
lambat atau secara kumulatif (Sudoyo, 2009).
Intoksikasi adalah masuknya zat atau senyawa kimia dalam tubuh
manusia yang menimbulkan efek merugikan pada yang
menggunakannya (Sudoyo, 2009).
Keracunan berarti bahwa suatu zat kimia telah mengganggu proses
fisiologis, sehingga keadaan badan organisme itu tidak lagi dalam
keadaan sehat. Dengan perkataan lain organisme itu menjadi sakit
(Koeman, 1987). Keracunan adalah keadaan sakit yang ditimbulkan
oleh racun. Bahan racun yang masuk ke dalam tubuh dapat langsung
mengganggu organ tubuh tertentu, seperti paru paru, hati, ginjal dan
lainnya.
2. Klasifikasi Racun
Racun diklasifikasikan menurut aksinya sebagai berikut:
a. Racun Korosif: racun ini adalah agen pengiritasi yang sangat aktif
yang menghasilkan peradangan dan ulserasi jaringan. Kelompok
ini terdiri dari asam kuat dan basa.
Keracunan zat korosif meliputi alkalin dan agens asam
yang dapat menyebabkan kerusakan jaringan setelah kontak
dengan membrane mukosa.
1) Produk alkalin : pembersih kering, pembersih toilet, deterjen
nonfosfat, pembersih oven, dll
2) Produk asam : pembersih toilet, pembersih kolam renang,
pembersih logam, pembersih karat, asam baterai.
b. Racun Iritan : racun ini menghasilkan gejala sakit di perut, muntah
1) Racun Anorganik
Logam : arsen, merkuri, timbal, tembaga dan antimon
Non logam : fosfor, klorin, bromin, dan iodin
2) Racun organik
Tumbuh-tumbuhan : minyak jarak
Hewan : ular, kalajengking,laba-laba
3) Racun mekanik : bubuk kaca, debu berlian
c. Racun Saraf Racun ini beraksi di sistem saraf pusat. Gejala yang
dirimbulkan biasanya sakit kepala, ngantuk, pusing, delirium,
stupor, koma, dan kejang.
1) Racun serebral: opium, alkohol, agen sedatif, agen hipnotik,
anastetik.
2) Racun spinal: Strychinine.
3) Periferal: Curare.
d. Racun jantung : Digitalis, rokok.
e. Asphyxiants: Gas batubara, CO, CO2, war gasses.
f. Lain-lain: Analgesik, antipiretik, penenang, antidepresan
(Chadha, 2003)
g. Intoksikasi alcohol.
Intoksikasi alcohol biasanya ditunjukan dengan gejala-
gejala (1/lebih) bicara cadel, inkoordinasi, jalan sempoyongan.
Nistagmus, tidak dapat memusatkan perhatian daya ingat menurun
dan stupor/ koma. Penatalaksanaan untuk klien yang mengalami
koma dengan menidurkan klien terlentang dan posisi “ facedown”
untuk mencegah aspirasi, melakukan observasi tanda vital dengan
ketat tiap 15 menit, memberikan tindakan kolaboratif dengan
pemberian thiamine 100 mg secara IV untuk rofilaksis terjadinya
wernicke encephalopathy kemudian memberikan 50 ml dextrose
5% secara IV serta memberikan 0.4 sampai 2 mg.
Bila klien memiliki riwayat atau kemungkinan pemakaian
oipoida. Dalam penatalaksanaan intoksikasi alcohol, perawat harus
selalu waspada atas perilaku klien diantaranya adalah antisipasi
jika klien agresif. Untuk mengatasi klien angresif, dapat diberikan
sedative dengan dosis rendah dan jika perlu dapat diberikan
haloperidol injecsi secara IM.
h. Intoksikasi kokain.
Tanda dan gejala ( dua atau lebih ) yang muncul
diantaranya adalah takikardia atau bradikardia, dilatasi pupil,
penurunan atau peningkatan tekanan darah, berkeringat atau rasa
dingin, mual atau muntah, penurunan berat badan, agitasi atau
retardasi psikomotor, kelemahan otot, depresi, nyeri dada atau
aritmia jantung, kejang dyskinesia, dystonia, hingga dapat
menimbulkan koma. Penatalaksanaan setelah bantuan hidup dasar
adalah dengan melakukan tindakan kolaborasi berupa pemberian
terapi-terapi simtomatik misalnya pemberian Benzodiazepin bila
timbul gejala agitasi, pemberian obat-obat anti psikotik, dan
pemberian terapi-terapi lainnya sesuai dengan gejala yang
ditemukan.
i. Intoksikasi kontaminasi kulit.
Keparahan luka bakar ditentukan oleh mekanisme kerja,
kekuatan penetrasi, konsentrasi, dan jumlah durasi pemajanan zat
kimia ke kulit. Penatalaksanaannya basahi kulit dengan air
mengalir, berikan bilas yang lebih lama dengan sejumlah air
hangat, tentukan identitas dan karakteristik agens kimia untuk
tindak lanjut. Berikan tindakan luka bakar yang tepat untuk ukuran
dan lokasi luka, intruksikan pasien untuk memeriksa kembali area
yang terkena pada 24 dan 72 jam dan hari ke 7.
j. Intoksikasi melalui tusukan
1) Sengatan serangga.
Alergi bisa diperkirakan menjadi reaksi humoral-IgE
dengan resiko kedaruratan akut. Sengatan pada daerah kepala
dan leher adalah hal yang serius, meskipun sengatan pada
daerah tubuh dapat menyebabkan anafilaksis.
2) Gigitan ular.
Bisa ular terdiri dari protein yang mempunyai efek fisiologi
yang bervarias, system multiorgan, terutama neurologic,
kardiovaskuler, system pernapasan mungkin terpengaruh.
Bantuan awal pertama pada daerah gigitan ular meliputi
mengistirahatkan korban, melepaskan benda yang mengikat,
memberikan kehangatan, membersihkan luka, menutup luka
dengan balutan steril, dan imobilisasi tubuh dibawah tinggi
jantung
k. Keracunan makanan.
Keracunan makanan adalah penyakit yang tiba-tiba dan
mengejutkan yang dapat terjadi setelah menelan makanan atau
minuman yang terkontaminasi. Botulisme adalah keracunan
makanan yang serius yang membutuhkan surveilens terus-menerus.
3. Penggolongan Racun
a. Menurut cara terjadinya
1) Meracuni diri (Self poisoning). Penderita berusaha bunuh diri
dengan tujuan menarik perhatian saja. Penderita biasanya
menelan racun dalam dosis besar untuk membahayakan
dirinya. Contohnya adalah keracunan baygon (Anonim, 2009).
2) Usaha bunuh diri (attempted suicide). Dalam hal ini penderita
ingin benar-benar bunuh diri dan dapat berakhir dengan
kematian (Anonim, 2009).
3) Keracunan akibat kecelakaan (accidental poisoning).
Keracunan ini terjadi benar-benar karena kecelakan dan tidak
ada unsur kesengajaan (Anonim, 2009).
4) Keracunan akibat pembunuhan (homicidal poisoning). Terjadi
akibat tindakan criminal yaitu diracuni pasien (Anonim, 2009).
5) Keracunan akibat ketergantungan obat. Keracunan terjadi
akibat sifat toleransi obat sehingga memerlukan peningkatan
dosis. Peningkatan dosis yang tidak terukur/ tidak terkendali
menimbulkan overdosis yang fatal (Anonim, 2009).
b. Menurut cepat lambatnya proses keracunan
1) Keracunan akut
Gejala keracunan muncul dengan cepat segera setelah
korban menelan atau kontak dengan zat racun misalnya
keracunan makanan, sianida dan insektisida (Anonim, 2009).
2) Keracunan kronik
Gejala muncul dalam waktu relative lama sehingga korban
sering tidak sadar mengalami keracunan. Keracunan kronis
yang sering terjadi antara lain keracunan bromid, salisilat,
fenitoin dan digitalis karena tidak diawasi (Anonim, 2009).
c. Menurut organ yang terkena
Keracunan dapat dibedakan menurut organ yang terkenan
yaitu neurotoksik (racun saraf), kardiotoksik (racun pada jantung),
nefrotoksik dan hepatotoksik. Satu zat racun dapat mempengaruhi
beberapa organ sekaligus misalnya CCl4 mempengaruhi hepar,
ginjal dan jantung (Anonim, 2009).
d. Bahan kimia
Zat kimia dalam golongan sejenis biasanya menimbulkan
gejala keracunan yang sama seperti keracunan alkohol, logam
berat, fenol dan organofosfat (Anonim, 2009).
4. Mekanisme Teradinya Keracunan
Absorpsi racun ditandai oleh masuknya racun dari tempat paparan
menuju sirkulasi sistemik tubuh atau pembuluh limfe. Absorpsi
didefinisikan sebagai jumlah racun yang mencapai sistem sirkulasi
sistemik dalam bentuk tidak berubah. Racun dapat terabsorpsi
umumnya apabila berada dalam bentuk terlarut atau terdispersi
molekular. Jalur utama absorpsi racun adalah saluran cerna, paru-paru
dan kulit. Setelah racun mencapai sistemik, ia bersama darah akan
diedarkan ke seluruh tubuh. Dari sistem sirkulasi sistemik ia akan
terdistribusi lebih jauh melewati membran sel menuju sistem organ
atau ke jaringan-jaringan tubuh. Selanjutnya racun akan mengalami
reaksi biotransformasi (metabolisme) dan ekskresi racun melalui
ginjal, empedu, saluran pencernaan, dan jalur ekskresi lainnya
(kelenjar keringat,kelenjar mamae, kelenjar ludah, dan paru-paru).
Jalur eliminasi yang paling penting adalah eliminasi melalui hati
(reaksi metabolisme) dan ekskresi melalui ginjal (Wirasuta dan Niruri,
2006)
5. Efek Racun Terhadap Tubuh
a. Lokal
Efek lokal terbatas pada beberapa bagian tubuh yang
kontak dengan zat kimia yaitu kulit, mata, jalur udara, dan usus.
Contoh efek racun lokal yakni kulit terbakar, mata berair dan iritasi
pada tenggorokan yang menyebabkan batuk. Banyak racun yang
menyebabkan efek lokal namun ada juga yang tidak.
1) Kulit
Bahan-bahan kimia yang membahayakan kulit
menyebabkan kulit memerah, sakit ketika kulit disentuh, tapi
tidak menyebabkan rasa terbakar ketika sudah dicuci. Agen
korosif dapat dengan cepat menyebabkan rasa sakit dan
terbakar dan membahayakan kulit. Mungkin ada rasa melepuh
dan kulit berubah warna menjadi abu-abu-putih atau coklat
(WHO, 1997).
2) Mata
Agen pengiritasi atau agen korosif dapat menyebabkan
sakit yang parah ketika terpapar di mata. Mereka dapat dengan
cepat membakar permukaan mata dan menyebabkan bekas luka
bahkan kebutaan. Mata akan terlihat merah dan berair. Pasien
yang terkena racun mungkin tidak ingin membuka matanya dan
cahaya akan menyebabkan rasa sakit di mata (WHO, 1997).
3) Usus
Bahan kimia beracun dapat membahayan mulut dan
tenggorokan atau usus. Pasien mungkin merasakan sakit perut,
muntah dan diare serta muntah dan fesesnya mungkin
mengandung darah. Jika tenggorokan terbakar maka dengan
cepat membengkak dan menyebakan pasien sulit bernafas
(WHO,1997)
4) Saluran Udara dan Paru-paru
Beberapa gas dan uap dapat mengiritasi hidung,
tenggorokan dan saluran udara bagian atas dan menyebabkan
batuk dan terjadi dengan cepat ketika pasien menghirup zat
racun atau ketika setelah 48 jam. Cairan dalam paru-paru
menyebabkan pasien tidak dapat bernafas dengan benar dan
harus segera dibawa ke rumah sakit karena memiliki udema.
Beberapa gas beracun seperti karbon monoksida tidak memiliki
efek pada hidung dan tenggorokan. Gas beracun yang tidak
menyebabkan batuk dan tersedak sangat berbahaya karena
pasien tidak tahu ketika sudah menghirup zat tersebut. Ketika
saluran udara pasien tidak menutup, makanan, minuman atau
muntah dapat masuk ke paru-paru dan menghalangi saluran
udara atau menyebabkan edema paru. Itulah mengapa sangat
berbahaya untuk memberikan makanan, minuman atau obat-
obatan untuk pasien yang sadar (WHO, 1997).
5) Lokasi Injeksi
Racun yang mengiritasi yang disuntikkan ke dalam kulit,
seperti racun dari sengatan serangga dan gigitan ular, dapat
menyebabkan rasa sakit dan bengkak di tempat mereka
disuntikkan. Pasien-pasien yang sengaja menyuntikkan diri
dengan produk hewan mungkin mendapatkan efek lokal
(WHO, 1997)
b. Sistemik
Ada banyak cara di mana racun dapat menyebabkan
kerusakan:
1) Dengan merusak organ-organ seperti otak, saraf, jantung, hati,
paru-paru, ginjal atau kulit. Kebanyakan racun memiliki efek
lebih besar pada satu atau dua organ dari pada bagian lain
tubuh. Organ yang paling terpengaruh disebut organ sasaran.
2) Dengan memblokir pesan antara saraf.
3) Dengan menghentikan tubuh bekerja dengan baik misalnya,
dengan memblokir pasokan energi atau suplai oksigen.

Efek sistemik hanya terjadi ketika jumlah racun dalam tubuh


lebih besar dari jumlah yang dapat tubuh tangani. Biasanya bila
kontak dengan racun berlangsung hanya dalam waktu singkat
(akut), efek terjadi segera setelah terpapar dan tidak berlangsung
lama. Namun dalam beberapa kasus, efek racun yang tidak terlihat
selama beberapa jam atau bahkan hari setelah akut. Ketika paparan
racun berlangsung untuk waktu yang lama (kronis), efek dapat
berlangsung untuk waktu yang lama (WHO,1997).
c. Efek racun terhadap bayi dalam rahim
Beberapa racun dapat membahayakan bayi dalam rahim.
Hal ini kemungkinan besar selama tiga bulan pertama kehamilan
ketika sistem saraf dan semua organ utama mulai terbentuk.
Bagian-bagian tubuh dari bayi biasanya terkena adalah tulang,
mata, telinga, mulut dan otak. Jika kerusakan sangat buruk, bayi
akan berhenti tumbuh dan mati. Beberapa bahan kimia beracun
dapat membahayakan bayi dalam kandungan tanpa merugikan ibu.
Jika ibu minum alkohol atau merokok selama kehamilan dapat
membahayakan bayinya. Obat-obatan juga dapat membahayakan
bayi dalam kandungan. Wanita hamil tidak harus meminum obat-
obatan kecuali yang diresepkan oleh dokter (WHO, 1997).
6. Gejala Keracunan
Gejala klinis akibat keracunan dapat bervariasi, hal ini tergantung
dari penyebabnya. Contoh berbagai macam gangguan klinis dan
penyebab keracunan dapat dilihat :
a. Gangguan sistem saraf : fungsi motorik (alkohol,
penyalahgunaan obat), gangguan berjalan/bergerak
(halusinogen, amfetin, karbamazepin, litium, kokain), kejang
b. Status mental : psikosis (illcit drugs), disorientasi
c. Tekanan darah : hipotensi (fenotiazin), hipertensi
(kortikosteroid, kokain, fenilpropalamin, antikolinergik)
d. Jantung : nadi tidak teratur (fenotiazin, prokainamid,
amiodaron, lidokain), heart block (calcium blocker, beta
blocker, digitalis, kokain, antidepresan trisiklik)
e. Temperatur : hipertermia (LSD, kokain, MDMA)
f. Respirasi : depresi pernapasan (opiat, barbiturat,
benzodiazepin), hipoventilasi (salisilat)
g. Otot : spasme dan kram (botulism, crimidin, strikinin)
h. Kulit : kering (parasimpatoliyik, antidepresan trisiklik),
berwarna merah (karbon momoksida), berwarna biru (sianosis),
kuning (liver damage : alkohol, jamur, rifampisin)
i. Mata : pinpoint (opiat, inhibitor kolinesterase), dilatasi pupil
(atropin, amfetamin, kokain), kemerahan (cannabis)
j. Hidung : nasal septum komplikasi (kokain)
k. Dada : Radiography (bronkokontriksi, logam, aspirasi)
l. Perut : diare (laksatif, organofosfat), obstruksi (opiat, atropin),
radigrafi (timbal, talium)
m. Bau : bisa dilihat dari keringat, mulut, pakaian, sisa muntah
:Alkohol (etanol, pembersih), aseton (aseton, asidosis
metabolik), ammonia (ammonia), almond (sianida),
pemutuh/klorin (hipoklorit/klorit), disinfektan (kreosat, fenol,
tar), formaldehid (formaldehid, fetanol), bawang (arsen,
malation, fosfor kuning), asap (nikotin, karbonmonoksida)
7. Diagnosa Keracunan
Untuk mendiagnosa keracunan dapat ditinjau dari riwayat pasien,
uji fisik, pemeriksaan laboratorium dan toxicological screening.
a. Riwayat
Diagnosa berdasarkan riwayat pasien merupakan indikator
yang paling penting untuk racun yang tertelan. Dengan mengetahui
riwayat pasien kita dapat mengidentifikasi racun, jumlah obat dan
lama waktu terpapar. Informasi tentang peresepan obat yang
diterima pasien, obat bebas dan zat berbahaya lain harus diketahui.
Teman, pasien terdekat dan health care providers harus ditanyakan
dan pengobatan yang diterima diidentifikasi. Obat yang ditemukan
disekitar pasien harus dijauhkan dan meminta pertanggungjawaban
took obat/apotek yang menjual obat tersebut tentang obat-obatan
yang diberikan ke pasien (Chadha, 2003).
b. Uji fisik
Evaluasi jalan nafas, respirasi dan sirkulasi. Status mental,
suhu tubuh, ukuran pupil, otot, refleks, kulit dan aktivitas
peristaltic juga harus segera diperiksa kemudian tentukan status
pasien apakah termasuk dalam depressed status atau agitated
status. Obat yang menyebabkan depressed status adalah
sympatholytics seperti adrenergic blockers, anti-aritmia, anti
hipertensi, anti-psikotik, kolinergik seperti nikotin, karbamat,
organofosfat, fisostigmin, pilokarpin. Obat yang menyebabkan
agitated status adalah symptomatic seperti agonis adrenergik,
amfetamin, kafein, teofilin, MAO-inhibitors, anti spasmodik,
antikolinergik seperti antihistamin obat anti-parkinson (Chadha,
2003).
c. Evaluasi laboratorium
Data laboratorium klinik yang menggambarkan keracunan
terdiri atas yaitu :
1) Anion gap
Menggambarkan perbedaan antara kation dan anion. [Na+]-
[Cl-] – [HCO3-]. Nilai normal = 12±4 meqL-1. Adanya anion
gap mengindikasikan adanya kelebihan kation dibanding anion
(Chadha, 2003).
2) Osmolal gap
Beberapa obat dan racun yang memiliki berat molekul
rendah menyebabkan perbedaan antara osmolaritas plasma
yang diukur dengan yang dihitung. Osmolaritas plasma normal
= 285-295 mosmL-1 (Chadha, 2003)
3) Arterial oksigen saturation gap
Racun yang berhubungan dengan peningkatan Arterial
oksigen saturation gap [> 5% perbedaan antara saturasi
dihitung dari ABG dan saturasi diukur dengan co-oximetery]
termasuk karbon monoksida dan methemoglobin. Racun ini
menghambat oksigen mengikat hemoglobin dan dengan
demikian secara signifikan menurunkan kadar oksigen tanpa
menurunkan PaO2 (Chadha, 2003).
d. Toxicological Screening
Dengan uji ini kita dapat mengetahui dengan pasti racun
apa yang tertelan namun langkah-langkah pertolongan awal tidak
boleh menunggu hasil uji tersebut. Toxicological Screening
digunakan sebagai dasar untuk menyediakan pengobatan dengan
antidot yang spesifik atau metode untuk meningkatkan eliminasi
obat dan juga mengidentifikasi obat yang digunakan untuk terapi
selanjutnya serta mencari tanda-tanda karakteristik dari berbagai
jenis keracunan sementara tindakan pengobatan di awal juga
dilakukan (Chadha, 2003).
8. Penatalaksanaan Umum Keracunan
a. Airway
Faktor yang paling banyak berpengaruh terhadap kematian
akibat overdosis obat dan keracunan adalah karena kehilangan
refleksi perlindungan jalur nafas dengan obstruksi jalur nafas yang
disebabkan oleh lidah yang kaku. Optimasi posisi jalan nafas dan
lakukan intubasi endotrakeal jika perlu. Penggunaan segera
naloxon atau flumazenil dapat menyadarkan pasien yang
keracunan opioid atau benzodiazepin berturut-turut sehingga
intubasi endotrakeal tidak perlu dilakukan (Olson, 2004).
b. Breathing
Untuk menguji pernafasan yang adekuat dilakukan dengan
mengukur gas darah arteri. Pada pasien yang memiliki kadar
pCO2darah naik (misalnya >60mm Hg) mengindikasikan
pernafasan perlu dibantu dengan ventilasi. Jangan menunggu
sampai pCO2 pasien diatas 60mmHg untuk memulai ventilasi
(Olson, 2004).
c. Circulation
Sirkulasi yang cukup diuji dengan mengukur tekanan darah,
denyut nadi dan ritme. Lakukan Cardiopulmonary resuscitation
(CPR) jika tidak terasa denyut nadi dan lakukan Advanced Cardiac
Life support (ACLS) jika terjadi aritmia dan shock. Berikan infus
cairan dengan ringert laktat, larutan dekstrosa 5% dalam air atau
normal salin. Pada pasien yang memiiki sakit yang serius (koma,
hipotensi, kejang) pasang alat kateter di kandung kemih dan urin
diambil untuk uji toksisitas racun dan pengeluaran urin tiap jam
(Olson, 2004).
d. Dekontaminasi
Dekontaminasi bertujuan untuk mengurangi absorbsi racun
di dalam tubuh dan dilakukan bergantung cara masuk bahan racun.
1) Dekontaminasi permukaan
a) Kulit
Agen korosif dapat dengan cepat melukai kulit dan
harus dihilangkan segera.Untuk dekontaminasi racun di
kulit harus berhati-hati sehingga petugas kesehatan yang
menangani tidak ikut terkontaminasi. Kenakan alat
pelindung (sarung tangan, pakaian, dan kacamata) dan
mencuci daerah yang terkena dengan segera. Lepaskan
pakaian yang terkontaminasi dan daerah yang terkena
dialirkan dengan air yang banyak. Cuci dengan hati-hati di
belakang telinga, di bawah kuku, dan lipatan kulit.
Gunakan sabun dan sampo untuk zat berminyak (Olson,
2004)
b) Mata
Kornea sangat sensitif terhadap agen korosif dan
hidrokarbon. Mata yang terkena disiram dengan air keran
yang banyak atau salin. Jika tersedia, berikan anestesi
lokal tetes mata untuk memfasilitasi irigasi. Jika racun
adala asam atau basa, periksa pH airmata korban setelah
irigasi dan irigasi diteruskan jika pH tetap normal. Setelah
irigasi selesai, periksa konjungtiva dan permukaan kornea.
Lakukan pemeriksaan fluorescein mata untuk melihat
adanya cedera kornea. Pasien dengan konjungtiva serius
atau cedera kornea harus dirujuk ke dokter spesialis mata
segera (Olson, 2004)
c) Inhalasi
Jauhkan korban dari paparan gas beracun kemudian
periksa dan berikan oksigen bila tersedia. Lakukan
ventilasi bila perlu. Amati edema saluran nafas bagian atas
yang ditandai oleh suara serak (Olson, 2004)
2) Dekontaminasi saluran cerna
a) Muntah
Sirup ipekak dapat diberikan untuk merangsang
muntah dan akan efektif jika racun sudah tertelan kurang
dari satu jam dan diberikan dengan cepat. Setelah sirup
ipekak diberikan muntah akan terjadi dalam waktu 20-30
menit. Pemberian sirup ipekak secara oral sebanyak 30 ml
untuk dewasa dan 15 ml untuk anak dibawah 5 tahun, 10
ml untuk anak dibawah 1 tahun dan tidak
direkomendasikan untuk anak dibawah 6 bulan. Setelah 2-
3 menit, berikan 2-3 gelas air. Jika muntah tidak terjadi
setelah 20 menit dari waktu pemberian, pemberian sirup
ipekak dapat diulang. Ipekak tidak boleh diberikan jika
penyebab keracunan adalah agen konvulsan (antidepresan
trisiklik, opioid, kokain, isoniazid), tertelan agen korosif
(asam atau basa), dan tertelan hidrokarbon alifatik (Olson,
2004).
b) Bilas lambung
Bilas lambung dilakukan untuk menghilangkan obat
atau racun dalam bentuk padat dan larutan, untuk
memberikan arang aktif pada pasien yang tidak bisa
menelan dan untuk melarutkan dan mengeliminasi agen
korosif dari perut dan mengosongkan perut untuk
keperluan endoskopi. Bilas lambung dapat dilakukan bila
pasien dalam keadaan sadar atau apabila napas telah
dilindungi oleh pipa endotrakeal (Olson, 2004)
c) Katarsis
Katarsis dilakukan untuk mempercepat pengeluaran
toksin dari dalam saluran cerna namun hal ini masih
kontroversi karena belum ada penelitian ilmiah yang
membuktikan hal tersebut. Agen katarsis (10%
magnesium sitrat 3-4ml/kg atau 70% sorbitol 1-2 ml/kg)
diberikan bersamaan dengan arang aktif atau dicampur
membentuk bubur. Ulangi satu sengah kali dosis tersebut
jika setelah 6-8 jam pemberian tidak ada arang aktif dalam
tinja (Olson, 2004)
d) Arang aktif
Arang aktif banyak digunakan sebagai penyerap
racun. Hanya beberapa racun yang sedikit diserap oleh
arang aktif seperti alkali, sianida,vetanol, fluorida, litium
dan besi. Berikan arang aktif 60-100g (1g/kg) per oral atau
melewati gastric tube. Jika jumlah racun yang tertelan
diketahui pasti, berikan paling tidak 10 kali dosis racun.
Tambahkan satu atau dosis arang aktif pada interval 1-2
jam untuk dekontaminasi lambung yang adekuat (Olson,
2004).
e) Antidotum
Antidotum hanya tersedia untuk beberapa obat dan
racun. Antidotum yang paling sering digunakan adalah
Asetilsistein untuk keracunan parasetamol dan naloxon
untuk keracunan opioid.
B. OVERDOSIS
1. Pengertian Overdosis
Overdosis atau kelebihan dosis adalah terjadi akibat tubuh
mengalami keracunan akibat obat. Overdosis sering terjadi bila
menggunakan narkoba dalam jumlah banyak dengan rentang waktu
terlalu singkat, biasanya digunakan secara bersamaan antara putaw,
pil, heroin digunakan bersama alcohol, menelan obat tidur seperti
golongan barbiturate atau luminal atau obat penenang (valium , xanax,
mogadon atau BK). (Sudoyo, 2009).
2. Etiologi
a. Mengkonsumsi lebih dari satu jenis narkoba. Misalnya
mengkonsumsi putaw hampir bersamaan dengan alcohol atau obat
tidur seperti valium, megadom/BK, dll.
b. Mengkonsumsi obat lebih dari batas ambang kemampuanny.
Misalnya jika seseorang memakai narkoba walaupun hanya
seminggu, tetapi apabila dia memakai lagi dengan takaran yang
sama seperti biasanya kemungkinan besar terjadi overdosis.
c. Gangguan depresi, anxietas, bipolar.
3. Klasifikasi Overdosis
a. overdosis opioida
Overdosis opioida ditunjukkan dengan adanya tanda dan
gejala penurunan kesadaran (stupor sampai koma), pupil pin poin
(dilatasi pupil karena anoksia akibat oksidosisi) pernafasan kurang
dari 12 kali per menit sampai henti nafas, adanya riwayat
pemakaian opioida (niddle track sign), bicara cadel, dan gangguan
atensi atau daya ingat. Perilaku mal adaptif secara klinis misalnya
euphoria awal yang diikuti oleh apatis, disforia, agitasi atau
retardasi psikomotor.
Penatalaksanaan kegawat daruratan intoksikasi opioida
adalah:
1) Bebas jalan nafas
2) Berikan oksigen 100% atau sesuai kebutuhan
3) Pasang infuse dextrose 5% atau NACL 0,9% dan cairan
koloid jika diperlukan
4) Pemberian anti dotung nalakson.
a) Tanpa hipoventilasi berikan Narcan/500 cc dalam
waktu 4-6 jam mencegah terjadinya penurunan
kesadaran kembali.
b) Observasi secara invensif tanda-tanda vital,
pernapasan dan besarnya ukuran pupil klien dalam
24 jam.
c) Pasang intubasi, katerisasi, sonde lambung serta
EKG
d) Puasakan klien untuk menghindari aspirasi.
e) Lakukan pemeriksaan rongen thoraks serta
laboratorium yaitu darah lengkap, urin lengkap dan
urinalisis.
b. Overdosis sedative hipnotik (benzodiazepine)
Overdosis sedative hipnotik jarang memerlukan
pertolongan gawat darurat atau intervensi farmakologi. Intoksikasi
benzodiazepine fatal sering terjadi pada individu dengan gangguan
pernapasan atau bersama obat depresi susunan syaraf pusat lainnya
seperti opioida. Gejala yang progresif adalah hiporefleksia,
nistagmus, dan kurang siap siaga, ataksia, berdiri tidak stabil.
Selanjutnya gejala berlanjut dengan pemburukan ataksia, letih,
lemah, konfusi, somnolent, koma, pupilmiosis, hipotermi, depresi
sampai dengan henti pernapasaan. Penatalaksanaan dengan
memberikan tindakan kolaboratif berupa pemberian terapi
kombinasi yang ditujukan untuk :
1) Mengurangi efek obat didalam tubuh.
Untuk mengurangi efek sedative hipnotik dengan
memberikan flumazenil 0,2 mg secara IV, kemudian setelah 30
detik diikuti dengan 0,3 mg dosis tunggal. Obat tersebut lalu
dapat diberikan lagi sebanyak 0,5 mg setelah 60 detik sampai
total kumulatif 3mg. tindakan suportif adalah dengan tindakan
jalan napas, dan memperbaiki gangguan asam basa.
2) Mengurangi absorbsi obat lebih lanjut.
Mengurangi absorbsi merangsang muntah jika baru terjadi
pemakaian. Jika pemakaian sudah lebih dari 6 jam maka
berikan antidote berupa karbon aktif yang berfungsi untuk
menetralkan efek obat.
3) Mencegah komplikasi jangka panjang.
Observasi tanda-tanda vital dan depresi pernapasan,
aspirasi dan edema paru. Bila sudah terjadi aspirasi maka dapat
diberikan antibiotic. Bila klien ada usaha untuk bunuh diri
maka klien tersebut harus ditempatkan ditempat khusus dengan
pengawasan ketat setelah keadaaan darurat diatasi.
c. Overdosis anfetamin.
Tanda dan gejala overdosis anfetamin biasanya ditunjukkan
dengan adanya 2 atau lebih gejala-gejala seperti
takikardi/brakikardi, dilatasi pupil, peningkataan atau penurunan
tekanan darah, hanya keringat/kedinginan, mual/muntah,
penurunan BB, agitasi/retardasi, psikomotor, kelelahan otot,
depresi system pernapasaan, nyeri dada, atau aritmia jantung,
kebingungan, kejang, diskinesia, distonia/koma. Penatalaksanaanya
adalah dengan memberikan terapi symptomatic dan pemberian
terapi supportive lain misal : anti psikotik, anti hipertensi dll.
4. Mekanisme Teradinya Overdosis
IFO bekerja dengan cara menghambat (inaktivasi) enzim
asetikolinesterase tubuh (KhE).Dalam keadaan normal enzim KhE
bekerjauntuk menghidrolisis arakhnoid(AKH) dengan jalan mengikat
Akh –KhEyang bersifat inaktif.Bila konsentrasi racun lebih tinggi
dengan ikatan IFO-KhE lebih banyak terjadi. Akibatnya akan
terjadi penumpukan Akhditempat-tempat tertentu, sehingga timbul
gejala gejala ransangan Akh yangberlebihan,yang akan menimbulkan
efek muscarinik, nikotinik dan SSP(menimbulkan stimulasi
kemudian depresi SSP )Pada keracunan IFO,ikatan Ikatan IFO –
KhE bersifat menetap(ireversibel),sedangkan keracunan carbamate
ikatan ini bersifat sementara(reversible).Secara farmakologis efek Akh
dapat dibagi 3 golongan :
1. Muskarini,terutama pada saluran pencernaan,kelenjar
ludah dan keringat,pupil,bronkus dan jantung.
2. Nikotinik,terutama pada otot-otot skeletal,bola
mata,lidah,kelopakmata dan otot pernafasan.
3. SSP, menimbulkan nyeri kepala,perubahan emosi,kejang-
kejang(Konvulsi) sampai koma.
5. Gejala Overdosis
a. Tidak merespon pada sentuhan atau suara
b. Wajah pucat atau membiru
c. Tidak bernafas selama 3-5 menit
d. Bernafas tetapi sangat lambat, kira-kira 2-4 kali dalam satu menit
e. Keluar busa dari mulut
f. Sakit atau seperti ada tekanan yang sangat kuat didada
g. Menggigil dan keringat dingin mengalir deras
h. Pingsan dan kejang
6. Diagnosa Overdosis
a. Tidak efektifnya pola nafas berhubungan dengan distress
pernapasan
b. Resiko kekurangan cairan tubuh.
c. Penurunan kesadaran berhubungan dengan depresi system saraf
pusat
d. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan
tubuh berhubungan dengan mual,muntah
e. Perubahan perfusi berhubungan dengan efek toksik pada miokard
f. Perubahan suhu tubuh berhubungan dengan depresi mekanisme
suhu tubuh
g. Cemas berhubungan dengan Tidak efektifnya koping individu
(Doengoes, 2014)
7. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan laboratorium dengan pemeriksaan lengkap ( urin,


gula darah, cairan lambung, analisa gas darah, darah lengkap,
osmolalitas serum, elektrolit, urea N, kreatinin, glukosa, transaminase
hati ), EKG, Foto toraks/ abdomen, Skrining toksikologi untuk
kelebihan dosis obat, Tes toksikologi kuantitatif (Mansjoer Arif,2009).

8. Penatalaksanaan Umum Overdosis


Perbaiki dan pertahankan jalan nafas sebaik mungkin. Naloxone
injeksi, dosis awal 0,4 – 2,0 mg IV (anak-anak 0,01 mg/kgBB). Efek
naloxane terlihat dalam 1 – 3 menit dan mencapai puncaknya pada 5-
10 menit. Bila tidak ada respon naloxane 2 mg dapat diulang tiap 5
menit hingga maksimum 10 mg. Naloxone efektif untuk memperbaiki
derjat kesadaran, depresi pernafasan, ukuran pupil. Pasien masih harus
diobservasi terhadap efek naloxone dalam 2-3 jam. Oleh karena
duration of action yang pendek. Untuk mencegah rekulensi efek opiat
dapat diberikan infus naloxone 0,4-0,8 mg/jam hingga gejala minimal
(menghilang)
a. Terapi withdrawl opioid
Withdrawl opioid tidak mengancam jiwa, tetapi
berhubungan dengan gangguan fisikologis dan distress fisik yang
cukup berat. Kebanyakan pasien dengan gejala putus obat yang
ringan hanya membutuhkan lingkungan yang mendukung mereka
tanpa memerlukan obat Klonidin dapat digunakan untuk
mengurangi gejala putus obat dengan menekan perasaan gelisah,
lakrimasi, rhinorrhea dan keringat berlebihan. Dosis awal diberikan
0,1-0,2 mg tiap 8 jam. Kemudian dapat dinaikkan bila diperlukan
hingga 0,8 –1,2 mg/hari, selanjutnya dapat ditappering off setelah
10-14 hari.
1) Terapi non spesifik (simptomatik)
2) Gangguan tidur (insomnia) dapat diberikan hipnotik sedative
3) Nyeri dapat diberikan analgetik
4) Mual dan muntah dapat diberikan golongan metoklopamide
5) Kolik dapat diberikan antispasmolitika
6) Gelisah dapat diberikan antiansietas
7) Rhinorrhea dapat diberikan golongan fenilpropanolamin
b. Terapi detoksifikasi adiksi opioid
c. Metadon merupakan drug of choice dalam terapi detoksifikasi
adiksi opioid. Namun bila dosis metadon diturunkan,
kemungkinan relaps sering terjadi. Kendala lain adalah
membutuhkan waktu lama dalam terapi detoksifikasi, dan bila
menggunakan opioid antagonis maka harus menunggu gejala
abstinensia selama 5-7 hari. Dosis metadon yang dianjurkan untuk
terapi detoksifikasi heroin (morfin) adalah 2-3 x 5-10 mg perhari
peroral. Setelah 2-3 hari stabil dosis mulai ditappering off dalam
1-3 minggu. Buprenorphine dosis rendah (1,5-5 mg sublingual
setiap 2-3 x seminggu) dilaporkan lebihefektif dan efek withdrawl
lebih ringan dibandingkan metadone. Terapi alternatif lain yang
disarankan adalah rapid detoxification yang mempersingkat waktu
terapi deteksifikasi dan memudahkan pasien untuk segera masuk
dalam terapi opiat antagonis. Jenis teknik rapid deteksifikasi
antara lain klinidin naltrexon.
d. Terapi rumatan (maintenance) adiksi opioid.
Metadon dan Levo alfa acetyl;methadol (LAAM)
merupakan standar etrapi rumatan adiksi opioid. Metadon
diberikan setiap hari, sedangkan LAAM hanya 3 kali seminggu.
Pemberian metadon dan LAAM pada terapi rumatan sangat
membantu menekan prilaku kriminal. Untuk terapi maintenance,
dosis metadon dapat ditingkatkan (biasanya 40-100 mg/hari).
Untuk menjaga pasien tetap menyenangkan dan diturunkan secara
perlahan-lahan.
Buprenorphine dapat pula digunakan sebagai terapi ruwatan
dengan dosis antara 2 mg-20 mg/hari. Naltrexone digunakan untuk
adiksi opioid yang mempunyai motivasi tinggi untuk berhenti.
Naltrexone diberikan setiap hari 50-100 mg peroral untuk 2 – 3
kali seminggu
e. Terapi after care
Meliputi upaya pemantafan dalam bidang fisik, mental,
keagamaan, komunikasi-interaksi sosial,edukasional, bertujuan
untuk mencapai kondisin prilaku yang lebih baik dan fungsi yang
lebih baik dari seorang mantan penyalahguna zat. Peranan
keluarga pada saat ini sangat diperlukan.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN
Racun adalah zat yang ketika tertelan, terhisap, diabsorbsi,
menempel pada kulit, atau dihasilkan di dalam tubuh dalam jumlah yang
relatif kecil menyebabkan cedera dari tubuh dengan adanya reaksi kimia.
Keracunan melalui inhalasi dan menelan materi toksik, baik kecelakaan
dan karena kesengajaan, merupakan kondisi bahaya yang mengganggu
kesehatan bahkan dapat menimbulkan kematian. Tujuan tindakan
kedaruratan adalah menghilangkan atau meng-inaktifkan racun sebelum
diabsorbsi, untuk memberikan perawatan pendukung, untuk memelihara
sistem organ vital, menggunakan antidotum spesifik untuk menetralkan
racun, dan memberikan tindakan untuk mempercepat eliminasi racun
terabsorbsi
Overdosis atau kelebihan dosis adalah terjadi akibat tubuh
mengalami keracunan akibat obat. Overdosis sering terjadi bila
menggunakan narkoba dalam jumlah banyak dengan rentang waktu terlalu
singkat, biasanya digunakan secara bersamaan antara putaw, pil, heroin
digunakan bersama alcohol, menelan obat tidur seperti golongan
barbiturate atau luminal atau obat penenang (valium , xanax, mogadon
atau BK). (Sudoyo, 2009).

B. SARAN
Diharapkan makalah ini sebagai sarana memberikan kontribusi
pengetahuan mengenai intervesi trauma dan krisis intoksikasi dan
overdosis dalam ilmu keperawatan sehingga dapat dikembangkan, dan
diaplikasikan dimasa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Dongoes, Marillyn. 2014. Rencana Asuhan Keperawatan. EGC: Jakarta

Mansjoer Arif,2009, Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 jilid 1 Media

Aesculapius,FKUI,Jakarta

Safitrih, Laila. 2016. Angka Kejadian dan Penatalaksanaan Keracunan di


Instalasi Gawat Darurat RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Tahun 2012–2014. Jurnal Litbangkes. Vol. 26 No. 3, September 2016,
175-180
Smeltzer. Suzanne C & Brenda. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah

Brunner & Suddarth. Ed. 8. Jakarta. EGC

Sudoyo, A.W,dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. edisi 5. Jakarta :

interna Publising

Anda mungkin juga menyukai