Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN RESMI

PRAKTIKUM BIOFARMASI-FARMAKOKINETIK

KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

DOSEN PENGAMPU
Siti Aisiyah, M.Sc., Apt

Kelompok VI (enam)
Anggota : 1. Muhammad Ikhwanudin Alfaris (21154668A)
2. Kris Ayu Wijayaningrum (21154669A)
3. Yerryco Pujja Lorenza (21154676A)
4. Febrina Andini Parinosa (21154677A)

PROGRAM STUDI S-1 FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2016
KECEPATAN DISOLUSI INTRINSIK

I. Tujuan Percobaan
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu :
1. Memahami prinsip disolusi dan faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi
2. Mengetahui pengaruh parameter jenis kristal terhadap kecepatan disolusi
3. Melakukan uji disolusi dan menghitung parameter-parameter uji disolusi

II. Dasar Teori


Sebelum obat yang diberikan pada pasien tiba pada tujuanya dalam tubuh,
yaitu tempat kerjanya atau “Target Site”, obat harus mengalami banya proses.
Dalam garis besar proses proses ini dapat dibagi dalam tiga tngkat yaitu fase
biofarmasetik, fase farmakokinetik dan fase farmakodinamik.Fase
biofarmasetik dapat diuraikan dalam tiga tahap yaitu LDA yang berarti
pelepasan (Liberasi), pelarutan (Dissolusi) dan Absorbsi (penyerapan).
Pelepasan bahan aktif dari sediaan obat berupa tablet diawali dengan Liberasi
yang memunculkan disperse padatan zat aktif . tahap selanjutnya adalah
pelarutan (disolusi) zat aktif, tahapan ini merupakan suatu keharusan agar
dapat terjadi tahap absorbsi. Dan tahap absorbsi merupakan bagian dari fase
biofarmasetika dan awal dari fase farmakokinetika. Jadi tahap ini benar-benar
merupakan masuknya zat aktif dalam tubuh yang biasa disebut dengan
ketersediaan hayati (bioavailabilitas) (Shargel, 1998).
Pelepasan zat aktif dari suatu produk obat sangat dipengaruhi oleh sifat
fisikokimia zat aktif dan bentuk sediaan. Ketersediaan zat aktif biasanaya
ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat aktif dari bentuk sediaannya.
Pelepasan zat aktif dari bentuk sediaan biasanya ditenmtukan oleh kecepatan
melarutnya dalam media sekelilingnya (Amir, 2007).
Disolusi adalah suatu jenis khusus dari suatu reaksi heterogen yang
menghasilkan transfer massa karena adanya pelepasan dan pemindahan
menyeluruh ke pelarut dari permukaan padat.
Teori disolusi yang umum adalah:
1. Teori film (model difusi lapisan)
2. Teori pembaharuan-permukaan dari Danckwerts (teori penetrasi)
3. Teori Solvasi terbatas/Inerfisial (Amir, 2007).
Kecepatan disolusi merupakan kecepatan zat aktif larut dari suatu bentuk
sediaan utuh/ pecahan/ partikel yang berasal dari bentuk sediaan itu sendiri.
Kecepatan disolusi zat aktif dari keadaan polar atau dari sediaannya
didefinisikan sebagai jumlah zat aktif yang terdisolusi per unit waktu di bawah
kondisi antar permukaan padat-cair, suhu dan kompisisi media yang
dibakukan. Kecepatan pelarutan memberikan informasi tentang profil proses
pelarutan persatuan waktu. Hukum yang mendasarinya telah ditemukan oleh
Noyes dan Whitney sejak tahun 1897 dan diformulasikan secara matematik
sebagai berikut :
𝑑𝐶
= 𝐾. 𝑆(𝐶𝑠 − 𝐶)
𝑑𝑡
dc / dt = kecepatan pelarutan ( perubahan konsentrasi per satuan waktu )
Cs = kelarutan (konsentrasi jenuh bahan dalam bahan pelarut )
Ct = konsentrasi bahan dalam larutan untuk waktu t
K = konstanta yang membandingkan koefisien difusi, voume larutan
jenuh dan tebal lapisan difusi (Shargel, 1988).
Dari persamaan di atas dinyatakan bahwa tetapnya luas permukaan dan
konstannya suhu, menyebabkan kecepatan pelarutan tergantung dari gradien
konsentasi antara konsentrasi jenuh dengan konsentrasi pada waktu (Shargel,
1988).
Pada peristiwa melarut sebuah zat padat disekelilingnya terbentuk lapisan
tipis larutan jenuhnya, darinya berlangsung suatu difusi suatu ke dalam bagian
sisa dari larutan di sekelilingnya.
Kecepatan pelarutan berbanding lurus dengan luas permukaan bahan
padat, koefisien difusi, serta berbanding lurus dengan turunnya konsentrasi
pada waktu t. Kecepatan pelarutan ini juga berbanding terbalik dengan tebal
lapisan difusi. Ketersediaan zat aktif ditetapkan oleh kecepatan pelepasan zat
aktif dari bentuk sediaan, dimana pelepasan zat aktif ditentukan oleh kecepatan
melarutnya dalam media sekelilingnya (Tjay, 2002).
Lapisan difusi adalah lapisan molekul-molekul air yang tidak bergerak
oleh adanya kekuatan adhesi dengan lapisan padatan. Lapisan ini juga dikenal
sebagai lapisan yang tidak teraduk atau lapisan stagnasi. Tebal lapisan ini
bervariasi dan sulit untuk ditentukan, namun umumnya 0,005 cm (50 mikron)
atau kurang (Tjay, 2002).
Uji Disolusi Obat
Sebenarnya uji hancur hanya menyatakan waktu yang diperlukan tablet
untuk hancur di bawah kondisi yang ditetapkan. Uji ini tidak memberikan
jaminan bahwa partikel-partikel itu akan melepas bahan obat dalam larutan
dengan kecepatan yang seharusnya. Oleh sebab itu, uji disolusi dan ketentuan
uji dikembangkan bagi hampir seluruh produk tablet. Laju absorpsi dari obat-
obat bersifat asam yang diabsorpsi dengan mudah dalam saluran pencernaan
sering ditetapkan dengan laju larut obat dalam tablet (Voigt, 1995).
Kadar obat yang tinggi di dalam darah menyebabkan kecepatan obat dan
tablet melarut menjadi sangat menentukan. Karena itu, laju larut dapat
berhubungan langsung dengan efikasi (kemanjuran) dan perbedaan
bioavaibilitas dari berbagai formula. Karena itu, dilakukannya evaluasi
mengenai apakah suatu tablet melepas kandungan zat aktifnya atau tidak bila
berada di saluran cerna, menjadi minat utama dari para ahli farmasi (Voigt,
1995).
Setiap uji in vitro, sangat penting untuk menghubungkan uji disolusi
dengan tes bioavaibilitas in vitro. Ada dua sasaran dalam mengembangkan uji
disolusi in vitro yaitu untuk menunjukkan :
1. Pelepasan obat dari tablet kalau dapat mendekati 100%
2. Laju penglepasan obat seragam pada setiap batch dan harus sama dengan
laju penglepasan dari batch yang telah dibuktikan bioavaibilitas dan efektif
secara klinis (Shargel, 1988).
Tes kecepatan melarut telah didesain untuk mengukur berapa kecepatan
zat aktif dari satu tablet atau kapsul melarut ke dalam larutan. Tes disolusi ini
didesain untuk membandingkan kecepatan melarutnya suatu obat, yang ada di
dalam suatu sediaan pada kondisi dan ketentuan yang sama dan dapat diulangi
(Shargel, 1988).

III. Alat dan Bahan


Alat :
1. Timbangan analitik
2. Dissolution tester
3. Beaker glass
4. Stopwatch
5. Spektrofotometer UV Vis
6. Jangka sorong
7. Mesin pencetak tablet
Bahan :
1. Pelarut (Etanol 95% dan Cloroform)
2. Acetosal
3. Medium disolusi (dapar acetat pH 4,5)
4. Vaselin
IV. Cara Kerja
A. Membuat larutan dapar asetat pH 4,5 0,005M sebanyak 4000ml

Menimbang 11,96 gram Na asetat, menambah 6,64ml asam asetat glasial

Masukkan ke dalam ember 4 liter, tambahkan aquadest ad tanda batas.

B. Membuat larutan baku asetosal

Menimbang 140 mg asetosal

Masukkan labu takar 50 ml, tetesi etanol 95% beberapa tetes

Menambah dapar asetat ad tanda batas

Ambil 1ml: 1,5ml: 2ml: 2,5ml: 3ml: 3,5ml: 3,5 ml: larutan stock

Masing-masing masukkan ke dalam labu takar 50ml, tambahkan larutan


dapar asetat ad tanda batas

Membaca absorbansi masing-masing pada ƛ = 265 nm dengan blangko


dapar asetat
C. Rekristalisasi Asetosal

Rekristalisasi asetosal dengan pelarut cloroform

Uapkan diwaterbath hingga menjadi kristal

Timbang 500mg kristal, dicetak menjadi tablet

Ukur diameter dan timbang ulang bobot tablet

Mengolesi tablet dengan vaselin pada seluruh permukaan kecuali satu


bagian permukaan tablet

D. Uji Disolusi

Masukkan tablet hasil rekristalisasi asetosal kedalam dissolution tester


dengan medium disolusi dapar asetat sebanyak 500ml

Sampling dilakukan setiap 15 menit sebanyak 10ml, ganti larutan


sampling dengan volume yang sama agar medium disolusi tetap 500ml

Sampel ditentukan kadarnya dengan spektrofotometer pada ƛ = 265 nm


dengan blangko dapar asetat.
V. Perhitungan
A. Data Pengamatan
1. Identitas tablet
Tablet A :
a. Nama bahan obat : Acetosal
b. Pelarut : Etanol 95 %
c. Diameter tablet : 1,230 cm
d. Bobot tablet : 479,6 mg
Tablet B :
a. Nama bahan obat : Acetosal
b. Pelarut : Kloroform
c. Diameter tablet : 1,210 cm
d. Bobot tablet : 489 mg
2. Kondisi uji disolusi
Tablet A :
a. Medium disolusi : Dapar Asetat pH 4,5
b. Kecepatan putar : 50 rpm
c. Waktu mulai analisa : 14.50 Wib
d. Pembacaan pada panjang gelombang : 265 nm
Tablet B :
a. Medium disolusi : Dapar Asetat Ph 4,5
b. Kecepatan putar : 50 rpm
c. Waktu mulai analisa : 14.50
d. Pembacaan pada panjang gelombang : 265 nm
3. Data sampling
Volume tiap kali sampling : 10 ml
ABSORBANSI (A)
NO. WAKTU (MENIT)
TABLET A TABLET B
1. 15 0,061 0,094
2. 30 0,146 0,190
3. 45 0,229 0,287
4. 60 0,322 0,337

B. Perhitungan konsentrasi larutan asetosal (mg%)


140 𝑚𝑔⁄
Konsentrasi = 50 𝑚𝑙

= 2,8 mg/ml × 100 %

280 𝑚𝑔
=
100 𝑚𝑙

= 280 mg%

C. Perhitungan konsentrasi seri pengenceran


1. 1 ml
V1 × N1 = V2 × N2
1 ml × 280 mg% = 50 ml × N2
N2 = 5,6 mg%
2. 1,5 ml
V1 × N1 = V2 × N2
1,5 ml × 280 mg% = 50 ml × N2
N2 = 8,4 mg%
3. 2 ml
V1 × N1 = V2 × N2
2 ml × 280 mg% = 50 ml × N2
N2 = 11,2 mg%
4. 2,5 ml
V1 × N1 = V2 × N2
2,5 ml × 280 mg% = 50 ml × N2
N = 14 mg%
5. 3 ml
V1 × N1 = V2 × N2
3 ml × 280 mg% = 50 ml × N2
N2 = 16,8 mg%
6. 3,5 ml
V1 × N1 = V2 × N2
3,5 ml × 280 mg% = 50 ml × N2
N2 = 19,6 mg%

D. Perhitungan kurva baku

VOLUME (ML) KONSENTRASI MG% ABSORBANSI (A)


1 5,6 0,176
1,5 8,4 0,280
2 11,2 0,324
2,5 14 0,447
3 16,8 0,523
3,5 19,6 0,613
Data regresi linier hubungan konsentrasi (mg%) vs absorbansi :
a = 0,003
b = 0,031
r = 0,996
Persamaan kurva baku : y = a + bx
Dari data absorbansi yang diperoleh yang masuk ke dalam range
kurva baku adalah volume 1,5 ml-3,5 ml karena memenuhi syarat kurva
baku yang baik (0,2-0,8), sedangkan volume 1 ml tidak memenuhi syarat
karena berada di bawa range 0,2 maka :
VOLUME (ML) KONSENTRASI MG% ABSORBANSI (A)
1,5 8,4 0,280
2 11,2 0,324
2,5 14 0,447
3 16,8 0,523
3,5 19,6 0,613
Data regresi linier hubungan konsentrasi (mg%) vs absorbansi :
a = 0,005
b = 0,031
r = 0,993

E. Sampel Tablet A (Etanol 95%)


1.) Perhitungan konsentrasi
Dari data sampling maka konsentrasi sampel dapat dihitung
1. 15 menit
y = a + bx
0,061 = 0,005 + 0,031x
x = 1,806 mg%
2. 30 menit
y = a + bx
0,146 = 0,005 + 0,031x
x = 4,548 mg%
3. 45 menit
y = a + bx
0,229 = 0,005 + 0,031x
x = 7,226 mg%
4. 60 menit
y = a + bx
0,322 = 0,005 + 0,031x
x = 10,226 mg%

2.) Perhitungan K (mg)


t (menit) Perhitungan K (mg)
1,806 𝑚𝑔
15’ × 500 ml 9,03 mg
100 𝑚𝑙
4,548 𝑚𝑔
30’ × 500 ml 22,74 mg
100 𝑚𝑙
7,226 𝑚𝑔
45’ × 500 ml 36,13 mg
100 𝑚𝑙
10,226 𝑚𝑔
60’ × 500 ml 51,13 mg
100 𝑚𝑙

3.) Perhitungan kadar terkoreksi asetosal yang terdisolusi

KadarTerkoreksi
t K (mg) Perhitungan
(mg)
10 𝑚𝑙
0’ 0 (500 𝑚𝑙 × 0) + 0 = 0 0+0=0
10 𝑚𝑙
15’ 9,03 (500 𝑚𝑙 × 0) + 0 = 0 9,03 + 0 = 9,03
10 𝑚𝑙
30’ 22,74 (500 𝑚𝑙 × 9,03) + 0 = 0,181 22,74 + 0,181 = 22,921
10 𝑚𝑙
45’ 36,13 (500 𝑚𝑙 × 22,921) + 0,181 = 0,639 36,13 + 0,639 = 36,769
10 𝑚𝑙
60’ 51,13 (500 𝑚𝑙 × 36,769) + 0,639 = 1,374 51,13 + 1,374 = 52,504
4.) Grafik Hubungan Waktu vs Kadar Terkoreksi

Grafik Hubungan Waktu VS Kadar Terkoreksi


60

50
Kadar terkoreksi

40

30

20

10

0
15' 30' 45' 60'
Waktu

Tablet A

5.) Perhitungan AUC Metode Trapezoid


𝑎×𝑡
1. 𝐴𝑈𝐶015 =
2
0+9,03 ×(15−0)
=
2
= 67,725 mg/menit
30 𝑎×𝑡
2. 𝐴𝑈𝐶15 =
2
9,03+22,921 × (30−15)
=
2
= 239,632 mg/menit
45 𝑎×𝑡
3. 𝐴𝑈𝐶30 =
2
22,921+36,769 × (45−30)
=
2
= 447,675 mg/menit
60 𝑎×𝑡
4. 𝐴𝑈𝐶45 =
2
36,769+52,504 ×(60−45)
=
2
= 669,547 mg/menit
AUC total = 67,725 + 239,632 + 447,675 + 669,547
= 1419,338 mg/menit

6.) Perhitungan DE
𝐴𝑈𝐶 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
𝐷𝐸60 = × 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡 ×𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔
1424,579
= × 100%
479,6 ×60

= 4,950 %

7.) Perhitungan Kecepatan Disolusi


S = π r2
= 3,14 × 0,6152
= 1,188
1. 15 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
9,03 𝑚𝑔
=
15 ×1,188

= 0,507
2. 30 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
22,921 𝑚𝑔
=
30 ×1,188

= 0,643
3. 45 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
36,769 𝑚𝑔
=
45 ×1,188

= 0,688
4. 60 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
52,504 𝑚𝑔
=
60 ×1,188

= 0,736
0,507+0,643+0,688+0,736
Rata-rata =
4
𝒎𝒈
= 0,643 ⁄𝒎𝒆𝒏𝒊𝒕. 𝒄𝒎𝟐
𝑚𝑔
Jadi, kecepatan disolusi dari tablet A adalah sebesar 0,643 ⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡. 𝑐𝑚2

F.) Sampel Tablet B


1.) Perhitungan Konsentrasi Sampel
Dari data sampling maka konsentrasi sampel dapat dihitung
1. 15 menit
y = a + bx
0,094 = 0,005 + 0,031x
x = 2,871 mg%
2. 30 menit
y = a + bx
0,190 = 0,005 + 0,031x
x = 5,968 mg%
3. 45 menit
y = a + bx
0,287 = 0,005 + 0,031x
x = 9,097 mg%
4. 60 menit
y = a + bx
0,337 = 0,005 + 0,031x
x = 10,71 mg%

2.) Perhitungan K (mg)


t (menit) Perhitungan K (mg)
2,871 𝑚𝑔
15’ × 500 ml 14,355 mg
100 𝑚𝑙
5,968 𝑚𝑔
30’ × 500 ml 29,84 mg
100 𝑚𝑙
9,097 𝑚𝑔
45’ × 500 ml 45,485 mg
100 𝑚𝑙
10,71 𝑚𝑔
60’ × 500 ml 53,55 mg
100 𝑚𝑙

3.) Perhitungan Kadar Terkoreksi Asetosal yang Terdisolusi

t K (mg) Perhitungan Kadar Terkoreksi (mg)


10 𝑚𝑙
0’ 0 (500 𝑚𝑙 × 0) + 0 = 0 0+0=0
10 𝑚𝑙
15’ 14,355 (500 𝑚𝑙 × 0) + 0 = 0 14,355 + 0 = 14,355
10 𝑚𝑙
30’ 29,84 (500 𝑚𝑙 × 14,355) + 0 = 0,2871 29,84 + 0,2871 = 30,1271
10 𝑚𝑙
45’ 45,485 (500 𝑚𝑙 × 29,84) + 0,2871 = 0,8839 45,485 + 0,8839 = 46,3689
10 𝑚𝑙
60’ 53,55 (500 𝑚𝑙 × 45,485) + 0,8839 = 1,7936 53,55 + 1,7936 = 55,3436
4.) Grafik Hubungan Waktu VS Kadar TerKoreksi

Grafik Hubungan Waktu VS Kadar Terkoreksi


60

50
Kadar Terkoreksi

40

30

20

10

0
15' 30' 45' 60'

Waktu

Series 1

5.) Perhitungan AUC metode trapezoid


𝑎×𝑡
1. 𝐴𝑈𝐶015 =
2
0+14,355×(15−0)
=
2
= 107,6625 mg/menit
30 𝑎×𝑡
2. 𝐴𝑈𝐶15 =
2
14,355+30,1271 × (30−15)
=
2
= 333,616 mg/menit
45 𝑎×𝑡
3. 𝐴𝑈𝐶30 =
2
30,1271+46,3689 × (45−30)
=
2
= 573,72 mg/menit
60 𝑎×𝑡
4. 𝐴𝑈𝐶45 =
2
46,3689+55,3436 ×(60−45)
=
2
= 762,844 mg/menit
AUC total = 107,6625 + 333,616 + 573,72 + 762,844
= 1461,226 mg/menit

6.) Perhitungan DE
𝐴𝑈𝐶 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
𝐷𝐸60 = × 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡 ×𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔
1777,8425
= × 100%
489 × 60
= 6,059 %

7.) Perhitungan kecepatan disolusi


S = π r2
= 3,14 × (0,605)2
= 1,149 cm
1. 15 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
714,355 𝑚𝑔
=
15 ×1,149
𝑚𝑔
= 0,833 ⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡. 𝑐𝑚2
2. 30 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
30,1271 𝑚𝑔
=
30 ×1,149
𝑚𝑔
= 0,874 ⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡. 𝑐𝑚2
3. 45 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
46,3689 𝑚𝑔
=
45 ×1,149
𝑚𝑔
= 0,897 ⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡. 𝑐𝑚2

4. 60 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
55,3436 𝑚𝑔
=
60 ×1,149

= 0,803

0,833 + 0,874 + 0,897 + 0,803


Rata-rata =
4

𝒎𝒈
= 0,825 ⁄𝒎𝒆𝒏𝒊𝒕. 𝒄𝒎𝟐

𝑚𝑔
Jadi, kecepatan disolusi dari tablet B adalah sebesar 0,825 ⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡. 𝑐𝑚2
VI. Pembahasan
Acidum acetyl salicylicum atau sering di sebut asetosal merupakan bahan
obat yang mempunyai khasiat analgetikum antipiretikum, dan juga
kardiovaskuler dalam dosis rendah. Asetosal mengandung tidak kurang dari
99.5% (BM : 180,2), dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Kelarutanya agak sukar larut dalam air (10 mg/mL (20 °C)), mudah larut
dalam etanol 95% P, larut dalam kloroform P dan eter P. Asetosal
memiliki titik didih 140 °C, titik lebur 138 0C – 140 0C, dan berat jenis
1.40 g/cm³. Pemerian asetosal berupa hablur putih, umumnya seperti jarum
atau lempengan tersusun, atau serbuk hablur putih; tidak berbau atau berbau
lemah. Stabil di udara kering; di dalam udara lembab secara bertahap
terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat.
Dari data AUC pada percobaan dapat dilihat bahwa, tablet A (Etanol 95%)
itu lebih kecil dibandingkan tablet B (Kloroform), karena perbedaan pelarut
rekristalisasi antara polar dan non polar, dari jumlah obat yang terdisolusi
didapatkan hasil DE60 dari tablet A dan B yaitu 4,950% dan 6,059%, dari
data ini bisa diaplikasikan karena tablet A (Etanol 95%) dengan pelarut DE60
lebih kecil karena AUC dari tablet A tersebut lebih besar dibanding tablet B
dan juga bobot pada tablet A lebih kecil dibanding tablet B sehingga DE60
tablet A lebih kecil. Dari kecepatan disolusi kedua tablet tersebut diketahui
bahwa kecepatan disolusi tablet A lebih kecil dibanding tablet B, kerana
jumlah obat yang terdisolusi tiap kali sampling tablet A lebih kecil ketimbang
tablet B sehingga kecepatan disolusi tablet A lebih kecil.
Dari percobaan diatas dilakukan pada uji disolusi tablet dengan pelarut
yang berbeda diketahui bahwa tablet dengan pelarut etanol 95% lebih besa
jumlah obat yang terdisolusi tiap kali sampling dibandingkan dengan tablet
yang pelarutnya Kloroform dikarenakan Kloroform dan etanol 95% berbeda
polar (Etanol 95%) dan non polar (Kloroform).
Sedangkan hasil data yang kami peroleh tidak sesuai dengan teori,
sehingga belum dapat membuktikan yaitu samakin polar suatu pelarut yang
digunakan maka kecepatan disolusi suatu obat semakin cepat.
Dalam uji disolusi tersebut suhu air harus diperhatikan agar tetap 37oC
karena suhu yang digunakan tersebut disesuaikan dengan suhu tubuh manusia
dan tujuan dari penambahan pelarut agar tetap konstan yaitu karena pelarut
dianalogikan sebagai cairan tubuh.
Adapun ketidak sesuaian antara hasil praktikum yang kami dapatkan
dengan teori. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya beberapa faktor
kesalahan, yaitu:
a. Pembuatan Larutan baku
b. Kesalahan praktikan dalam melakukan pengenceran
c. Pembacaan berulang mungkin karena kuvet yang kurang bersih masih
terdapat sisa larutan yang pada saat dituangkan mungkin menetes dan
terlewat untuk dibersihkan
VII. KESIMPULAN
1. Prinsip Diolusi yaitu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat
ke dalam media pelarut dan kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media
pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan disolusi yaitu suhu, medium, kecepatan perputaran, kecepatan
letak vertical poros, vibrasi, gangguan pola aliran, posisi pengambilan
cuplikan, formulasi bentuk sediaan, dan kalibrasi alat disolusi.
2. Bentuk kristal yang berbeda akan memiliki kestabilan yang berbeda, serta
titik lebur dan kelarutan yang juga berbeda sehingga kecepatan disolusinya
pun berbeda.
DAFTAR PUSTAKA

Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima Gaya Baru.
Jakarta.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika
Terapan
Tjay Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua.
PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta
Voigt 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Universitas Gadjah Mada Press.
Yogyakarta

Anda mungkin juga menyukai