Laporan BFK 1
Laporan BFK 1
PRAKTIKUM BIOFARMASI-FARMAKOKINETIK
DOSEN PENGAMPU
Siti Aisiyah, M.Sc., Apt
Kelompok VI (enam)
Anggota : 1. Muhammad Ikhwanudin Alfaris (21154668A)
2. Kris Ayu Wijayaningrum (21154669A)
3. Yerryco Pujja Lorenza (21154676A)
4. Febrina Andini Parinosa (21154677A)
I. Tujuan Percobaan
Setelah mengikuti percobaan ini mahasiswa diharapkan mampu :
1. Memahami prinsip disolusi dan faktor-faktor yang mempengaruhi disolusi
2. Mengetahui pengaruh parameter jenis kristal terhadap kecepatan disolusi
3. Melakukan uji disolusi dan menghitung parameter-parameter uji disolusi
Ambil 1ml: 1,5ml: 2ml: 2,5ml: 3ml: 3,5ml: 3,5 ml: larutan stock
D. Uji Disolusi
280 𝑚𝑔
=
100 𝑚𝑙
= 280 mg%
KadarTerkoreksi
t K (mg) Perhitungan
(mg)
10 𝑚𝑙
0’ 0 (500 𝑚𝑙 × 0) + 0 = 0 0+0=0
10 𝑚𝑙
15’ 9,03 (500 𝑚𝑙 × 0) + 0 = 0 9,03 + 0 = 9,03
10 𝑚𝑙
30’ 22,74 (500 𝑚𝑙 × 9,03) + 0 = 0,181 22,74 + 0,181 = 22,921
10 𝑚𝑙
45’ 36,13 (500 𝑚𝑙 × 22,921) + 0,181 = 0,639 36,13 + 0,639 = 36,769
10 𝑚𝑙
60’ 51,13 (500 𝑚𝑙 × 36,769) + 0,639 = 1,374 51,13 + 1,374 = 52,504
4.) Grafik Hubungan Waktu vs Kadar Terkoreksi
50
Kadar terkoreksi
40
30
20
10
0
15' 30' 45' 60'
Waktu
Tablet A
6.) Perhitungan DE
𝐴𝑈𝐶 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
𝐷𝐸60 = × 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡 ×𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔
1424,579
= × 100%
479,6 ×60
= 4,950 %
= 0,507
2. 30 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
22,921 𝑚𝑔
=
30 ×1,188
= 0,643
3. 45 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
36,769 𝑚𝑔
=
45 ×1,188
= 0,688
4. 60 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
52,504 𝑚𝑔
=
60 ×1,188
= 0,736
0,507+0,643+0,688+0,736
Rata-rata =
4
𝒎𝒈
= 0,643 ⁄𝒎𝒆𝒏𝒊𝒕. 𝒄𝒎𝟐
𝑚𝑔
Jadi, kecepatan disolusi dari tablet A adalah sebesar 0,643 ⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡. 𝑐𝑚2
50
Kadar Terkoreksi
40
30
20
10
0
15' 30' 45' 60'
Waktu
Series 1
6.) Perhitungan DE
𝐴𝑈𝐶 𝑡𝑜𝑡𝑎𝑙
𝐷𝐸60 = × 100%
𝑏𝑜𝑏𝑜𝑡 𝑡𝑎𝑏𝑙𝑒𝑡 ×𝑤𝑎𝑘𝑡𝑢 𝑠𝑎𝑚𝑝𝑙𝑖𝑛𝑔
1777,8425
= × 100%
489 × 60
= 6,059 %
4. 60 menit
𝑑𝑐 𝑘
=
𝑑𝑡 𝑡 ×𝑠
55,3436 𝑚𝑔
=
60 ×1,149
= 0,803
𝒎𝒈
= 0,825 ⁄𝒎𝒆𝒏𝒊𝒕. 𝒄𝒎𝟐
𝑚𝑔
Jadi, kecepatan disolusi dari tablet B adalah sebesar 0,825 ⁄𝑚𝑒𝑛𝑖𝑡. 𝑐𝑚2
VI. Pembahasan
Acidum acetyl salicylicum atau sering di sebut asetosal merupakan bahan
obat yang mempunyai khasiat analgetikum antipiretikum, dan juga
kardiovaskuler dalam dosis rendah. Asetosal mengandung tidak kurang dari
99.5% (BM : 180,2), dihitung terhadap zat yang telah dikeringkan.
Kelarutanya agak sukar larut dalam air (10 mg/mL (20 °C)), mudah larut
dalam etanol 95% P, larut dalam kloroform P dan eter P. Asetosal
memiliki titik didih 140 °C, titik lebur 138 0C – 140 0C, dan berat jenis
1.40 g/cm³. Pemerian asetosal berupa hablur putih, umumnya seperti jarum
atau lempengan tersusun, atau serbuk hablur putih; tidak berbau atau berbau
lemah. Stabil di udara kering; di dalam udara lembab secara bertahap
terhidrolisa menjadi asam salisilat dan asam asetat.
Dari data AUC pada percobaan dapat dilihat bahwa, tablet A (Etanol 95%)
itu lebih kecil dibandingkan tablet B (Kloroform), karena perbedaan pelarut
rekristalisasi antara polar dan non polar, dari jumlah obat yang terdisolusi
didapatkan hasil DE60 dari tablet A dan B yaitu 4,950% dan 6,059%, dari
data ini bisa diaplikasikan karena tablet A (Etanol 95%) dengan pelarut DE60
lebih kecil karena AUC dari tablet A tersebut lebih besar dibanding tablet B
dan juga bobot pada tablet A lebih kecil dibanding tablet B sehingga DE60
tablet A lebih kecil. Dari kecepatan disolusi kedua tablet tersebut diketahui
bahwa kecepatan disolusi tablet A lebih kecil dibanding tablet B, kerana
jumlah obat yang terdisolusi tiap kali sampling tablet A lebih kecil ketimbang
tablet B sehingga kecepatan disolusi tablet A lebih kecil.
Dari percobaan diatas dilakukan pada uji disolusi tablet dengan pelarut
yang berbeda diketahui bahwa tablet dengan pelarut etanol 95% lebih besa
jumlah obat yang terdisolusi tiap kali sampling dibandingkan dengan tablet
yang pelarutnya Kloroform dikarenakan Kloroform dan etanol 95% berbeda
polar (Etanol 95%) dan non polar (Kloroform).
Sedangkan hasil data yang kami peroleh tidak sesuai dengan teori,
sehingga belum dapat membuktikan yaitu samakin polar suatu pelarut yang
digunakan maka kecepatan disolusi suatu obat semakin cepat.
Dalam uji disolusi tersebut suhu air harus diperhatikan agar tetap 37oC
karena suhu yang digunakan tersebut disesuaikan dengan suhu tubuh manusia
dan tujuan dari penambahan pelarut agar tetap konstan yaitu karena pelarut
dianalogikan sebagai cairan tubuh.
Adapun ketidak sesuaian antara hasil praktikum yang kami dapatkan
dengan teori. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya beberapa faktor
kesalahan, yaitu:
a. Pembuatan Larutan baku
b. Kesalahan praktikan dalam melakukan pengenceran
c. Pembacaan berulang mungkin karena kuvet yang kurang bersih masih
terdapat sisa larutan yang pada saat dituangkan mungkin menetes dan
terlewat untuk dibersihkan
VII. KESIMPULAN
1. Prinsip Diolusi yaitu proses pelarutan senyawa aktif dari bentuk sediaan padat
ke dalam media pelarut dan kemampuan zat tersebut melarut ke dalam media
pelarut sebelum diserap ke dalam tubuh. Faktor-faktor yang mempengaruhi
kecepatan disolusi yaitu suhu, medium, kecepatan perputaran, kecepatan
letak vertical poros, vibrasi, gangguan pola aliran, posisi pengambilan
cuplikan, formulasi bentuk sediaan, dan kalibrasi alat disolusi.
2. Bentuk kristal yang berbeda akan memiliki kestabilan yang berbeda, serta
titik lebur dan kelarutan yang juga berbeda sehingga kecepatan disolusinya
pun berbeda.
DAFTAR PUSTAKA
Amir, Syarif.dr, dkk.2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi kelima Gaya Baru.
Jakarta.
Shargel, Leon, dan Andrew B.C.Y.U. 1988. Biofarmasi dan Farmakokinetika
Terapan
Tjay Hoan Tan dan Kirana Rahardja. 2002. Obat-obat Penting Khasiat,
Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Edisi kelima. Cetakan kedua.
PT. Elex Media Komputindo Kelompok Gramedia. Jakarta
Voigt 1995. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Universitas Gadjah Mada Press.
Yogyakarta