592 1016 1 SM PDF
592 1016 1 SM PDF
TUBUH PEREMPUAN:
TUBUH SOSIAL YANG SARAT MAKNA
Oleh:
Refti H. Listyani
Dosen Prodi Sosiologi Unesa
reftihandini@unesa.ac.id
ABSTRACT
Discourse of sexuality can not be released from the discourse of power and
knowledge, which includes how culture is constructed to perpetuate the
patriarchal power structure. Women are conditioned to rely on the
judgment of others when trying to measure or assess their experiences
concerning the issue of the body. Placed in the socio-cultural current, which
helped shape the structure of women's experience of his body is a high
social demand for concerned with aspects of physical appearance as a
source of value and meaning of the body. This paper attempts to examine
the female body as a social body with sociological analysis. In the world of
patriarchy, women's bodies are not the private property of the women
themselves, but become public because the body is set according to how
the body is constructed. This paper is a review of several studies related to
women and body with a literature study method
Pendahuluan
Tubuh selalu menarik untuk dikaji secara sosiologis. Perdebatan tentang
makna, peran dan fungsi tubuh senantiasa mewarnai sejarah peradaban umat
manusia. Kajian sosiologis tentang tubuh sendiri sebenarnya baru muncul pada
kurun waktu tahun 1980-an (Falk, 1994). Sebelumnya, kajian secara serius
mengenai tubuh lebih banyak dilakukan oleh para antropolog. Sosiologi klasik
maupun modern hanya membicarakan persoalan tubuh sebagai sebagian kecil
dari sejumlah aspek kehidupan sosial. Baru pada abad keduapuluh tema tubuh
menjadi titik pusat perhatian secara serius dalam diskursus sosiologi.
1
Turner, 1992. Sosiologi Islam: Suatu Telaah Analitis atas Tesa Sosiologi Weber terj. G. A.
Ticoalu. Jakarta: Rajawali
2
Turner, 1992. Sosiologi Islam
Konstruksi Seksualitas
Selama berabad-abad, seks dan seksualitas secara moralitas selalu
distigmakan sebagai suatu yang buruk dan gelap. Semua aktifitas seksual yang
bukan bertujuan untuk penciptaan, terutama semua penyimpangan seksual,
secara moral dianggap tabu dan jahat. Asumsi ini dilatarbelakangi oleh satu
pandangan bahwa tubuh manusia adalah sumber keburukan dan, hanya dengan
menekankan tuntutan-tuntutan naluriah, kebaikan bisa diatasi.3 Raho setiap
manusia memiliki imajinasi kreasi dan tindakan seksual yang secara tidak sadar
dikonstruksikan berdasarkan pengalaman seksualnya sejak dan saat masih anak-
anak.4 Di sisi lain, seks dan seksualitas adalah kreasi repro-duksi insting akan
alam bawah sadar.
Di barat sendiri, wacana seks baru mulai menjadi kajian keilmuan pada
awal abad ke-20, M. Foucault mengajukan wacana seksualitas modern de-ngan
pengakuan ilmiah baru, yaitu psikoanalisis. Dalam bukunya ia me-maparkan
bahwa seksualitas lebih merupakan produk positif kekuasaan daripada
kekuasaan yang menindas seksualitas.Menurutnya, seksualitas tidak hanya
berhubungan dengan tubuh, namun juga dengan pikiran. Ia me-ngubah wacana
seksualitas menjadi lebih intensif dari perhatian pada tindakan dan tubuh ke
perhatian pada pikiran dan tujuannya.
Foucault bahkan menunjukkan bahwa wacana seksualitas tidak mungkin
dilepaskan dari wacana kekuasaan dan pengetahuan, yang di-dalamnya termasuk
bagaimana budaya dikonstruksi untuk melanggengkan tatanan kekuasaan yang
patriarkal.5 Pertanyaan yang diajukannya mengapa seksualitas dibicarakan secara
luas dijawabnya sendiri bahwa, tujuannya, secara ringkas, adalah untuk
mendefinisi rezim kekuasaan-pengetahuan-kenikmatan yang melanggengkan
wacana seksualitas manusia di dalam masyarakat kita. Isu utamanya adalah
untuk menjelaskan fakta bahwa seksualitas itu diperbincangkan, untuk
menemukan siapa yang melakukan pembicaraan, dari posisi dan sudut pandang
apa seksualitas itu dibicarakan, institusi apa yang mendorong orang
3
Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra
4
Bernard Raho, 2008. Sosiologi. Sebuah Pengantar. Maumere: Ledalero.113.
5 Foucault, 1990. History of sexuality, vol.1 An introduction Vintage Books, New York
6
Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra
7
Tong. 2010. Feminist Thought . Yogyakarta: Jalasutra
8
Priyatna. 2004. Seks dan Seksualitas Perempuan dalam Kebudayaan Kontemporer
(Bagian dari buku Seks, Teks, Konteks dalam Wacana Lokal dan Global). Jurusan Sastra Inggris
UNPAD dan Kelompok Belajar Nalar)
9
Sadli. 2010. Berbeda tapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Kompas
10
Melliana, 2006. Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta:LKis
11
Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra
pada posisi pasif. Pihak di luar perempuanlah yang justru akan me-nentukan
bagaimana perempuan seharusnya memaknai dan memperlakukan tubuhnya.
Perempuan dikondisikan untuk menggantungkan diri pada penilaian orang
lain ketika hendak mengukur atau menilai pengalamannya seputar per-soalan
tubuh. Diletakkan dalam sosio-kultural saat ini, yang turut mem-bentuk struktur
pengalaman perempuan atas tubuhnya adalah tuntutan sosial yang tinggi untuk
mementingkan aspek penampilan fisik sebagai sumber nilai dan makna tubuh.
Tuntutan sosial untuk memprioritaskan aspek penampilan fisik ini disertai
dengan proses penyeragaman terhadap kriteria yang menjadi tolok ukur
penampilan fisik ideal.12
Lebih lanjut Melliana menjelaskan bahwa konstruksi sosial di masyarakat
mengenai idealisasi pencitraan tubuh dan seksualitas yang memposisikan
perempuan sebagai objek seksualitas bagi laki-laki.13 Konstruksi sosial
merupakan stimulus lingkungan yang mempengaruhi perempuan yang
kemudian diiterpretasi dan dipersepsi oleh perempuan dan akhirnya meng-
hasilkan respon-respon dalam memperlakukan diri terhadap laki-laki. Pola atau
proses konstruksi sosial tersebut, yang kemudian terinternalisasi dalam
masyarakat, semakin menekan dan mempersulit perempuan untuk menyukai
tubuhnya. Hal ini sangat sulit diubah, karena konstruksi tersebut telah ber-
langsung lama dan telah menjadi pola dalam masyarakat dunia. Konstruksi ini
juga sudah tertanam dalam diri perempuan sehingga menyamarkan antara citra
tubuh dengan diri perempuan itu sendiri. Parahnya lagi perempuan yang terlepas
dari konstruksi tersebut dikatakan sebagai perempuan palsu, bukan perempuan
sejati.Konstruksi ini mengharuskan perempuan untuk me-maksa dirinya menjadi
cantik. Cantik sendiri dalam mayoritas masyarakat di-pandang secara objektif
dan universal. Mitos kecantikan mendorong perempuan untuk melihat dirinya
sebagai objek yang jelas-jelas cantik secara seksual. Pengaruh kultural yang kuat
ini memposisikan perempuan untuk melihat diri mereka sebagai objek seksual.
Thornham menjelaskan bahwa dewasa ini, keindahan tubuh perempuan
telah banyak diekspos di media-media massa.14 Hal ini menjelaskan bahwa
makna keindahan tubuh perempuan telah direduksi menjadi objek seksual laki-
laki. Mayoritas laki-laki memandangi perempuan di bagian-bagian tubuhnya
yang sensual. Kecenderungan ini menunjukkan bahwa bentuk tubuh perempuan
12
Melliana, 2006. Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta:LKis
13
Melliana, 2006. Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan. Yogyakarta:LKis
14
Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra
selalu saja dikaitkan dengan seks, terlebih sebagai barang yang bisa
diperjuabelikan.
Lebih parah lagi, ditemukan dalam analisis Barthes tentang “system
fesyen” atas tubuh perempuan. Menurut Barthes, retorika fesyen bekerja dengan
mengganti tubuh perempuan yang sebenarnya dengan penanda perempuan
lewat sosok model atau “gadis sampul” yang “tubuhnya bukan milik siapapun,
hal tersebut merupakan bentuk yang murni, yang tidak memiliki atribut”. 15
Kemudian, dalam proses substitusi kedua, garmen fesyen itu sendiri
“menggantikan” tubuh sang model sebagai tanda murni dalam suatu system
simbolik. Dengan demikian, maka tubuh perempuan, dalam kata-kata Irigaray,
“menghasilkan kondisi yang membuat kehidupan sosial dan budaya menjadi
mungkin” sambil sekaligus tubuh perempuan itu sendiri dihapus. Bahwa
perempuan diasumsikan menyetujui tanpa bantahan penghapusan spesifisitas
bermasalah dalam tubuh mereka. “Identitas perempuan dibentuk melayani laki-
laki…, seni, pikiran” tulis Barthes.
Sulaeman menulis dalam buku “The Female Body in Western Culture”
tentang perempuan: “Yang selama berabad-abad telah menjadi objek teoresasi
laki-laki, hasrat laki-laki, ketakutan laki-laki dan representasi laki-laki, harus
mengungkapkan dan menggunakan ulang diri mereka sendiri sebagai subjek.16
Tempat yang jelas untuk memulai adalah tempat sunyi yang telah ditetapkan
bagi mereka berkali-kali, benua gelap yang pernah membangkit-kan serangan
dan kebingungan. Seruan untuk menemukan puitika dan politik baru,
berdasarkan pengklaiman ulang atas apa yang selalu merupakan milik mereka
tetapi telah direnggut dari mereka: kendali atas tubuh mereka dan suara untuk
berbicara tentang hal tersebut.”
Terkait dengan hubungan antara wacana tubuh dan kekuasaan, para
feminis kontemporer kritiknya. Mereka melihat wacana atas tubuh tidak berada
pada kepentingan ilmu tetapi pada tendensi-tendensi politik yang muncul dalam
relasi antar seks. Perubahan sosial seringkali menekan dan mendorong ilmu
untuk memproduksi bukti-bukti empiris dan genetis untuk mendukung
kebijakan politik. Studi-studi atas tubuh terutama tubuh perempuan, menjadi
penting karena muatan dan kepentingan politik yang ada di sana. Lebih jauh lagi
15
Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra
16
Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra
hal ini melibatkan sentimen-sentimen ideologi yang sebagian besar tidak selalu
bersifat rasional.17
Status sosial dapat juga kita lihat dalam studi-studi sejumlah feminis yang
memanfaatkan teori-teori Foucault tentang mekanisme kuasa. Dasar tesis
Foucault tentang kuasa menyebutkan bahwa praktik pelaksanaan kuasa telah
bergeser dari kekuasaan absolute dan top downkepada pendisiplinan,
pengawasan dan teknik-teknik normalisasi. Model kekuasaan ini disebut model
panoptikon. Pusat strategi kuasa ini adalah "disiplin". Tubuh ke-kuasaan adalah
sasaran utama sehingga tubuh manusia modern adalah tubuh yang tunduk dan
tubuh yang dibentuk. Salah satu perhatiannya adalah bagaimana tubuh dan
seksualitas perempuan ditundukkan, diatur dan diorganisasikan lewat
mekanisme kuasa tersebut. Tubuh pun lantas menjadi lahan politik.18
Berdasarkan teori ini, sejumlah feminis melihat bahwa tubuh perempuan
modern menjadi objek tak henti-hentinya dari mekanisme kuasa. Dalam kuasa
itu aparatus kekuasaan menyebarkan dan mencekoki masyarakat dengan norma-
norma, wacana, ukuran-ukuran, sekaligus program-program dan ideologi. Dalam
kondisi ini perempuan seperti terus menerus diawasi sehingga tanpa henti ia
berperilaku secara tertentu yang sesuai dengan pola pendisiplinan tubuhnya. Ini
bisa menyangkut fungsi reproduksi, seksualitas, peran-peran dan bahkan fashion.
17
Hidayat. 2004. Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori Sosial
Maskulin. Yogyakarta: Jendela
18
Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra
19
Wolf, 2002. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta:
Niagara
yang berlaku dalam lingkungan sosial dan budayanya. Tubuh menjadi simbol
utama diri, sekaligus masyarakat.
Grogan menyatakan bahwa orang-orang yang gemuk dan obesitas di
beberapa kelompok masyarakat cenderung mengalami kerugian secara sosial
yang lebih besar daripada secara fisik/kesehatan. 20 Bentuk kerugian tersebut
antara lain, pelecehan, stigmatisasi, marginalisasi, dan diskriminasi. Sebagian
besar korbannya adalah kaum wanita karena stigmatisasi kegemukan dinilai
sebagai bukti dominasi budaya patriarki yang ingin menekan kebebasan wanita
dengan cara memanipulasi tubuh wanita itu sendiri.21
Menurut Wolf, mitos kecantikan ini sengaja dibangun oleh para penguasa
industri untuk menciptakan manipulasi pasar. Industri yang berkaitan dengan
diet, operasi plastik, kosmetik, dan pornografi membidik perempuan sabagai
mangsa empuk untuk meraup keuntungan materi yang sangat besar. Media
massa adalah senjata yang mereka gunakan untuk membidik mangsa.22
Bestiana menyebutkan bahwa setelah berhasil menciptakan mitos
kecantikan sekaligus produk-produk yang laris digunakan oleh para wanita untuk
memiliki tubuh yang ideal, para penguasa industri pun masih tidak mau rugi.23
Mereka tidak ingin para wanita menggunakan produknya sebanyak satu-dua kali
kemudian berhenti setelah berhasil mendapatkan bentuk tubuh yang
diingainkan. Para produsen membuat produk-produknya tetap laku dengan cara
memberikan efek ketergantugan (addictive) dan memberikan “tantangan” lain
kepada para wanita.
mungkin dapat terlepas dari makna dan nilai yang dikaitkan padanya oleh
sebuah budaya tempat tubuh tersebut hadir. Tubuh bukan hanya sekedar tubuh
biologis yang nol nilai, tetapi adalah tubuh sosial yang sarat makna yang dapat
dikonstruksi oleh berbagai ideologi. Hal tersebut terutama berlaku dalam budaya
konsumen yang dengan sengaja memamerkan tubuh di ruang publik untuk
dinilai berdasarkan nilai-nilai yang diyakini bersama. Dalam konteks tersebut
tubuh menjadi penyandang praktek-praktek budaya sehingga tubuh menjadi
arena kontestasi berbagai ideologi, dan Bordo menyebut hal tersebut sebagai
politik tubuh (politics of the body).27 Menurut Bordo, tubuh selalu ada dalam
genggaman budaya yang termanifestasikan dalam praktek-praktek budaya dan
kebiasaan-kebiasaan hidup sehari-hari. Tubuh yang ada dalam genggaman
budaya, sepenuhnya berpartisipasi dalam semua praktek-praktek budaya yang
mengatur dan membatasi tubuh dengan serangkaian aturan yang memperboleh-
kan dan melarang. Karena itu, tubuh dapat dijadikan sebagai arena kontestasi
berbagai ideologi untuk menjadi yang dominan. Ketika tubuh dimaknai dalam
konteks budaya konsumen, maka tubuhpun menjadi arena kontestasi berbagai
ideologi, seperti gender, konsumerisme, kapitalisme atau patriaki dan ideologi
lainya yang dapat saling meruntuhkan, mengukuhkan atau bernegosiasi.
Mochtar menjelaskan bahwa dalam konteks budaya konsumen, tubuh
digambarkan sebagai tubuh yang mengkonsumsi segala bentuk komoditas yang
ditawarkan oleh industri kapitalis dan secara bersamaan, tubuh juga menjadi
salah satu komoditas yang dapat diperjual-belikan.28 Pemaknaan tubuh sebagai
komoditas, tidak dapat lepas dari kaidah-kaidah dan nilai-nilai yang berlaku
dalam budaya konsumen. Featherstone menjelaskan bahwa dalam budaya
konsumen, penampilan adalah faktor utama dalam menentukan “nilai jual”,
karena tubuh diyakini sebagai sarana untuk menikmati kesenangan dan ekspresi
diri sehingga ia mencerminkan jati diri seseorang.29
[The body is] “proclaimed as a vehicle of pleasure and self
expression. Images of the body beautiful, openly sexual and
associated with hedonism, leisure and display, emphasizes the
importance of appearance and the ‘look’. . . . [for] more marketable
self” [that] “the closer the actual body approximates to the images of
27
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI
28
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI
29
Featherston. 1982. “The body in consumer culture” dalam M. Featherstone, M.
Hepworth, and B.S. Turner (eds.). 1991. The body: social process and cultural theory. London:
Sage.
30
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI; 181
31
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI :182
32
Shilling. 1997.“The body and difference” dalam K. Woodward (ed.). 1997. Identity and
difference. London: Sage.
33
Turner, 1992. Sosiologi Islam:
34
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI :182
35
Synnott. 2003. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Bandung: Jalasutra.
36
Jagger, Elizabeth. 2000. “Consumer bodies” dalam The body, culture and society: an
introduction. Buckingham, Philadelphia: Open University Press.
37
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI
38
Thornham. 2010. Teori Feminis dan Cultur Studies. Yogyakarta: Jalasutra
39
Wolf, 2002. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta:
Niagara
dikaitkan pada tubuhnya yang lebih lemah dari laki-laki dan kemampuanya
melahirkan sebagai pembenaran untuk menempatkannya di dalam ranah
domestik untuk melakukan perannya sebagai istri dan ibu yang “merawat”
suami dan anak-anak.40
Mengutip Weitz mengungkapkan bahwa laki-laki juga dikaitkan pada
kekuatan tubuhnya dan ditempatkan di ranah publik untuk melakukan
perannya sebagai suami dan ayah yang melindungi, menjaga dan memenuhi
kebutuhan keluarganya.41 Pembagian peran tersebut telah menjadi sebuah
pandangan yang diterima sebagai kebenaran yang alamiah, sehingga sebagian
besar perempuan dan laki-laki menuntut dirinya untuk memenuhi perantersebut
karena adanya berbagai bentuk sanksi sosial bagi mereka yang tidak mampu atau
tidak mau memenuhi perannya. Oleh karena pembagian peran yang berbeda,
maka diberlakukan juga berbagai nilai-nilai dan batasan-batasan yang berbeda
untuk perempuan dan laki-laki sejak mereka lahir agar masing-masing mampu
mengisi perannya. Walaupun demikian, norma-norma dalam masyarakat
kadang-kadang tidak dipatuhi secara total oleh individu-individu yang memilih
identitas subyek di luar norma-norma dominan yang berlaku.
Mochtar (2009) menjelaskan bahwa makna atas tubuh perempuan dalam
budaya konsumen tidak pernah terlepas dari regulasi ideologi patriaki, ideologi
konsumerisme dan ideologi gender, ketika terlihat adanya tuntutan terhadap
perempuan dalam memperlakukan tubuhnya dengan serangkaian konvensi yang
berbedadari konvensi yang mengatur laki-laki.42 Dalam budaya konsumen,
tubuh perempuan dikontruksi lewat serangkaian norma-norma sehingga terjadi
sebuah hegemoni terhadap konsep tubuh cantik.
Menurut Mochtar, tubuh perempuan selalu ada dalam tarikan regulasi
beberapa ideologi. Tubuh perempuan dalam konteks budaya konsumen adalah
tubuh yang memiliki otoritas dalam memilih bagaimana tubuh ingin
ditampilkan, tetapi otoritas itu tidak bebas nilai, karena tubuh tetap berada
dalam genggaman budaya. Dalam budaya konsumen, penanda-penanda
feminitas makin ditekankan pada tubuh perempuan sehingga feminitas identik
dengan tubuh yang bersolek. Tubuh bersolek berjaya dalam ruang publik karena
di sinilah tubuh dipamerkan untuk dipandang dan memandang tubuh lain dalam
sebuah arena kontestasi. Tubuh yang berada di ruang domestik termarjinal
40
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI
41
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI :182
42
Mochtar. 2009. Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen. Jakarta: FIB UI :182
43
Saptandari. 2013. Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi.
BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013.
44
Wolf, 2002. Mitos Kecantikan: Kala Kecantikan Menindas Perempuan. Yogyakarta:
Niagara
45
Saptandari. 2013. Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi.
BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013. 56
pusat layanan kesehatan bagi perempuan dengan menggunakan nilai atau filosofi
apa arti penting menjadi seorang perempuan, yang sangat memperhatikan dan
memperhitungkan eksistensi perempuan.
Layanan kesehatan yang diberi nama “Women to Women” pada bulan
Desember 1985 di sebuah kota kecil di Maine Amerika Serikat, dilaksanakan
tidak sekedar mengobati simptom, namun – lebih dari itu - membantu
perempuan untuk mengubah kondisi dasar dalam kehidupan yang mem-
pengaruhi kondisi kesehatan perempuan. Northrup juga menunjukkan bahwa
kaum perempuan telah mengalami proses internalisasi tentang definisi tubuh
perempuan yang mengarah kepada ”denigration of the female body”, yang
membuat perempuan takut, malu atau merasa jijik terhadap bagian-bagian
tertentu dari tubuhnya dalam proses yangsebenarnya sangat alamiah seperti
menstruasi, melahirkan dan menopause, dan menempatkan sebagai bagian dari
kondisi kesehatan yang membutuhkan treatment medis.46 Tidak mengherankan
apabila sebagian besar dari kita termasuk para praktisi kesehatan mempercayai,
dan bahkan mengesahkan proses medikalisasi terhadap tubuh perempuan,
bahkan sejak sebelum lahir.
Emily Martin melakukan penelitian tentang tubuh perempuan diungkap-
kan dalam bukunya yang berjudul The Woman in the Body. 47 Martin telah
mewawancarai 165 perempuan di Baltimore tentang pengalaman mereka ketika
mengalami menstruasi, melahirkan anak, membesarkan anak dan menopause.
Martin juga menunjukkan bahwa cara perempuan memikirkan dan merasakan
tubuhnya sangat aneh jika dibandingkan dengan berbagai asumsi yang dibuat
tentang perempuan seperti terdapat dalam teks medis ilmu kedokteran. Asumsi-
asumsi seperti ini sering kali negatif; dan ilmu kedokteran sering kali tidak ilmiah,
tidak bebas nilai atau obyektif, melainkan ideologis dan menindas perempuan
dengan jangkauan konsekuensi sosial yang luas.
Martin juga menyatakan kurangnya dukungan institusional bagi tubuh-
tubuh perempuan yang membuat perempuan sangat sukar untuk menjadi
manusia seutuhnya produktif dan reproduktif.48 Jika tubuh perempuan
dipengaruhi oleh patriarki, maka baik tubuh perempuan maupun tubuh laki-laki
dipengaruhi oleh kapitalisme. Martin secara rinci dalam bukunya menjelaskan
tentang metafora medis atas tubuh perempuan: dari menstruasi, kelahiran hingga
46
Synnott. 2003. Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat. Bandung: Jalasutra.
47
Martin. 1989. The Women in The Body: A Cultural Analysis of Repro-duction, Stony
Stratford: Open Uni-versity Press.
48
Martin. 1989. The Women in The Body
keluarga. Laki-laki yang tidak menjalani sifon diolok-olok atau disindir dalam
pertemuan-pertemuan komunal. Dalam praktik sifon, ditemukan bahwa
perempuan rentan mengalami Penyakit Menular Seksual (PMS), diskriminasi
dan tindak kekerasan.
Saskia Wieringa, Nursyahbani Katjasungkana & Irwan M. Hidayana, me-
ngumpulkan tulisan pengalaman perempuan Asia (Indonesia dan India) tentang
seksualitas mereka yang selama ini tidak pernah diungkapkan.51 Kajian dilaku-
kan dengan mempelajari kehidupan dan perilaku perempuan janda, lesbian dan
pekerja seks. Dalam buku yang berjudul ”Hegemoni HeteroNormativitas:
Membongkar Seksualitas Perempuan yang Terbungkam” tersebut, diuraikan
tentang hasil kajian yang bertolak dari sebuah premis bahwa hegemoni hetero-
normatif yang membentuk gagasan-gagasan tentang seksualitas yang selama ini
dianggap normal perlu dipertanyakan dan diguncang. Dalam buku tersebut di-
katakan bahwa pembongkaran ini perlu dilakukan karena sesungguhnya
seksualitas normatif maupun seksualitas non-normatif adalah hasil sebuah
konstruksi sosial.
Syarifah melakukan kajian tentang perempuan dan pornografi dari pen-
dekatan humanistis dan filosofis dalam buku yang berjudul ”Kebertubuhan
Perempuan dalam Pornografi”. Dalam buku ini dijelaskan pemikiran-pemikiran
filosofis tentang tubuh dan kebertubuhan perempuan tidak mendapat tempat da-
lam filsafat mainstream dan malestream yang dihasilkan oleh filsuf sejagat. Yang
sibuk mereka bicarakan adalah tubuh polos, tubuh umum, tubuh universal de-
ngan oposisi binernya dengan jiwa. Esensi tubuh dan seksualitas perempuan di-
pendam rapat-rapat dibalik pengetahuan phallosentris. Terjadi proses
objektifikasi dan komoditifikasi tubuh perempuan.
Saparinah Sadli, Ninuk Widyantoro & Rita Serena Kolibonso, Ringkasan
Studi Pemantauan Status Kesehatan Seksual dan Kesehatan Reproduksi di 6
Daerah di Indonesia.52 Berisi tentang data dan gagasan dari berbagai daerah yang
menggambarkan peluang dan tantangan kesehatan reproduksi di Indonesia. Ada
kajian yang menjelaskan tentang tantangan mengatasi kematian ibu di Madura,
dalam hal pengambilan keputusan melahirkan dimana dan siapa yang akan
menolong kelahiran sebagian besar ditentukan oleh suami dan keluarga. Hanya
10% pengambilan keputusan ditentukan oleh ibu hamil.
51
Nursyahbani Katjasungkana & Irwan M. Hidayana (2007),
52
Sadli. 2010. Berbeda tapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan. Jakarta: Kompas
Adanya mitos bila ibu meninggal saat hamil atau melahirkan akan
langsungmasuk surga. Disebutkan bahwa sebab-sebab dari tingginya kematian
ibu tidak hanya dapat dipandang dari segi medis tetapi juga berkaitan dengan
sistem manajemen kesehatan perempuan, nilai-nilai budaya yang berlaku,
kemauan politik negara untuk menempatkan kesehatan perempuan sebagai isu
nasional.
Saptandari menyimpulkan dari beberapa temuan di atas menunjukkan
bahwa (a) tubuh dan eksistensi perempuan dipengaruhi secara kuat oleh pan-
dangan, pemahaman serta kepercayaan masyarakat tentang tubuh, seksualitas
dan kesehatan perempuan, yang berkontribusi terhadap kerentanan tubuh dan
kesehatan reproduksi perempuan. Bahwa cara pandang, pemaknaan, keper-
cayaan serta perilaku yang berhubungan dengan tubuh, seksualitas dan kese-
hatan perempuan tersebutdipengaruhi oleh faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi
dan politik yang bekerja dalam kekuatan simbolik. b) Eksistensi perempuan
dikaitkan dengan “kodrat perempuan”. Urusan kodrat perempuan berkaitan
dengan haid, hamil, melahirkan dan menopause,menimbulkan pemaknaan yang
khas tentang tubuh, seksualitas dan kesehatan reproduksi perempuan. c) Adanya
paradoks dan ironi terkait tubuh, kesehatan dan eksistensi perempuan. Di satu
sisi, muncul pemikiran bahwa permasalahan tubuh, seksualitas hingga kesehatan
reproduksi dianggap sebagai urusan atau tanggung jawab perempuan dan bukan
permasalahan yang berhubungan dengan laki-laki. Sebaliknya, dapat kita jumpai
begitu banyak aturan yang dibuat berdasarkan dominasi budaya patriarki yang
dikenakan kepada perempuan dalam menjalani peran haid, hamil dan melahir-
kan. d) dominasi atau kuatnya mitos & tabu tentang tubuh, seksualitas dan
kesehatan reproduksi perempuan tak dapat dilepaskan dari peran dan fungsi,
serta eksistensi perempuan dalam struktur keluarga dan masyarakat, serta relasi
gender yang berlaku. Mitos dan tabu tentang tubuh, seksualitas dan kesehatan
reproduksi perempuan yang tak dapat dilepaskan dari kuasa simbolik, yang
secara langsung maupun tidak mempengaruhi kebijakan, praktik-praktik pera-
watan dan pemeliharaan kesehatan perempuan. e) Terdapat relasi dan distribusi
kuasa yang tidak seimbang, dimana perempuan tidak memiliki kekuasaan untuk
mengambil keputusan, termasuk tidak adanya kekuasaan untuk menentukan
sesuatu yang berhubungan dengan tubuh, seksualitas dan kesehatannya.
Misalnya, untuk menentukan kapan hamil/tidak, memilih alat kontrasepsi
dalam Keluarga Berencana, memilih layanan persalinan, menentukan bagaimana
merawat bayi. f) Tingginya nilai anak laki-laki dibandingkan dengan nilai anak
53
Saptandari. 2013. Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi.
BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013. 68
–termasuk tetapi tidak terbatas pada vagina, buah dada, atau pantat—
dipertontonkan sehingga perempuan direduksi menjadi sekedar bagian ini, (vii)
perempuan dipresentasikan sebagai sesuatu yang dikenai penetrasi oleh obyek-
obyek dan hewan, dan (viii) perempuan dipresentasikan dalam skenario yang
menurunkan martabat, penghinaan, penyiksaan, ditunjukkan sebagai kotor atau
inferior, mengeluarkan darah, luka, di dalam konteks yang menjadikan kondisi
seksual.54
Penutup
Cara berpikir mengenai tubuhpun mengalami pergeseran-pergeseran
mengikuti pola pikir masyarakat dan konteks yang muncul sehingga makna
mengenai tubuh tidak pernah stabil. Pemaknaan mengenai tubuh yang bergeser
memperlihatkan bahwa tubuh diperlakukan lebih dari sekedar tubuh biologis
yang terisolasi karena tubuh selalu ada dalam ruang publik, sehingga pemaknaan
terhadap tubuh menjadi terbuka untuk berbagai intepretasi.
Tubuh menjadi sasaran utama konsumsi, dan dengan demikian semakin
dekat dengan bahaya eksploitasi. Tubuh dikultuskan dan dipuja dalam fungsinya
sebagai komoditi dalam transaksi sosial, dan seringkali diperlakukan sebagai
‘objek’ begitu saja. Ia dapat dirubah dengan berbagai cara jika dirasa tidak
memuaskan dan menerima berbagai penghinaan jika dirasatidak indah. Tubuh
mungkin dibicarakan dan dipertontonkan dalam berbagai ruang privat dan
publik, namun penghargaan lahiriah yang diberikan terhadapnya seringkali tidak
dilandasi oleh suatu pemaknaan luhur akan kebertubuhan manusia itu sendiri.
Tubuh bersolek berjaya dalam ruang publik karena di sinilah tubuh
dipamerkan untuk dipandang dan memandang tubuh lain dalam sebuah arena
kontestasi. Tubuh yang berada di ruang domestik termarjinal karena kegiatan
pamer-memamerkan dan pandang-memandang tidak dimungkinkan. Tubuh
tidak dapat lepas dari pencitraan yang diberikan padanya dan pencitraan tersebut
tidak bebas nilai, karena setiap pencitraan memiliki konsekuensi-konsekuensi
yang merugikan atau menguntungkan si pemilik tubuh. Jika tubuh perempuan
dipengaruhi oleh patriarki, maka baik tubuh perempuan maupun tubuh laki-laki
dipengaruhi oleh kapitalisme.
54
Saptandari. 2013. Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan Eksistensi.
BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhshi, Savita, “Women’s Body Image and the Role of Culture: A Review of
the Literature”, Europe’s Journal of Psychology, 2008.
Bestiana, Desi, “Citra Tubuh dan Konsep Tubuh Ideal Mahasiswi FISIP
Universitas Airlangga Surabaya”, Antro Unair DotNet, Vol.1/No.1/Juli-
Desember 2012.
Featherstone, Mike, The Body in Consumer Culture The Body: Social Processes
and Cultural Theory (London: Sage Publication, 1982).
Foucault, 1990. History of sexuality, vol.1 An introduction Vintage Books, New
York
Grogan, Sarah, Body Image: Understanding Body Dissatisfaction in Men,
Women, and Children (New York: Routledge, 2008).
Hidayat, Rahmad, Ilmu yang Seksis: Feminisme dan Perlawanan terhadap Teori
Sosial Maskulin (Yogyakarta: Jendela, 2004).
Martin, Emily (1989), The Women in The Body: A Cultural Analysis of Repro-
duction, Stony Stratford: Open Uni-versity Press.
Melliana S., Annastasia, Menjelajahi Tubuh Perempuan dan Mitos Kecantikan
(Yogyakarta: LkiS, 2006).
Mochtar, Jenny, Tubuh Perempuan dalam Budaya Konsumen (Jakarta: FIB UI,
2009).
Priyatna, Aquarini, Seks dan Seksualitas Perempuan dalam Kebudayaan
Kontemporer (Bagian dari buku Seks, Teks, Konteks dalam Wacana Lokal
dan Global) (Jurusan Sastra Inggris UNPAD dan Kelompok Belajar Nalar,
2004).
Sadli, Saparinah, Berbeda tapi Setara: Pemikiran tentang Kajian Perempuan
(Jakarta: Kompas, 2010).
Saptandari, Pinky, “Beberapa Pemikiran tentang Perempuan dalam Tubuh dan
Eksistensi”, BioKultur, Vol.II/No.1/Januari-Juni 2013.
Sarup, Madan, Postrukturalisme dan Posmodernisme (Yogyakarta: Jalasutra,
2011).
Syarifah (2006), Kebertubuhan Perempu-an dalam Pornografi, Jakarta: Pen-erbit
Yayasan Kota Kita
Synnott, Anthony, Tubuh Sosial: Simbolisme, Diri, dan Masyarakat (Bandung:
Jalasutra, 2003).
Thornham, Sue, Teori Feminis dan Cultur Studies (Yogyakarta: Jalasutra, 2010).