Anda di halaman 1dari 6

A.

Kasus
Anak laki-laki berusia 10 tahun, menderita demam tinggi sejak 3 hari di rumah sebelum pada
akhirnya dibawa berobat ke rumah sakit dan dirawat inap. Satu minggu sebelum menderita panas ia
menjalani sirkumsisi. Demam yang tinggi disertai delirium dengan hasil pemeriksaan trombosit yang
masih 140.000 belum mengantarkan dokter spesialis anak yang merawat kepada diagnosis DBD.
Antibiotik parenteral dan antipiretik diberikan sebagai terapi terhadap diagnosis “suspek infeksi
pascasirkumsisi.” Sebenarnya luka sirkumsisi tidak hiperemis walaupun terdapat edema sebagai bagian
normal penyembuhan luka sirkumsisi. Esok harinya barulah diagnosis DBD ditegakkan setelah dijumpai
penurunan trombosit yang progresif. Orang tua bertanya-tanya mengapa antibiotik yang mahal masih juga
diberikan? Tanpa disertai penjelasan, pemberian antibiotik baru dihentikan keesokan harinya. Ketika
terdapat epistaksis ringan, dokter meminta dokter spesialis THT datang untuk mengevaluasi pasien. Sang
dokter spesialis THT tidak menemukan kelainan anatomis yang memerlukan intervensi namun
memberikan keterangan tentang kemungkinan terdapat kelainan di sumsum tulang belakang anak demi
melihat data jumlah lekosit yang rendah. “Nanti akan diberitahukan kepada dokter spesialis anak
konsultan hematologi,” jelasnya. Perkembangan ini membuat orang tua anak menangis dan gelisah. Tidak
ada penjelasan lebih lanjut tentang kelainan darah yang bersumber dari sumsum tulang belakang hingga
anak mengalami perdarahan di bekas luka sirkumsisi justru pada saat jumlah trombosit beranjak naik dari
46.000/mm3 menjadi 86.000/mm3. Pada kondisi terakhir ini dokter memutuskan untuk memberikan
transfusi trombosit dan plasma (FFP) serta meminta dokter spesialis bedah untuk mengevaluasi
perdarahan di luka bekas sirkumsisi. Dokter spesialis bedah menyatakan akan melakukan operasi kecil
untuk menghentikan perdarahan. Dalam situasi tersebut, orang tua menjadi bingung dan khawatir dengan
keputusan para dokter yang mendua. Perdarahan yang terakhir ini tidak disertai penjelasan apakah
disebabkan oleh kondisi non-bedah (pada saat trombosit beranjak naik) atau kondisi bedah. Kedua kutub
dokter bedah dan non-bedah mengambil sikap bersama-sama melakukan intervensi. Orang tua yang
mengalami kekhawatiran berlebihan meminta pendapat sahabatnya, seorang dokter, tentang rencana
memindahkan perawatan anaknya ke rumah sakit lain.
B. ASAS – ASAS HUKUM YANG BERKAITAN DENGAN DOKTER DENGAN PASIEN

Di dalam hubungan hukum antara dokter dengan pasien terdapat beberapa asas – asas yang di atur
di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran,
pasal 2 sebagai mana di sebutkan bahwa Praktik kedokteran dilaksanakan berasaskan Pancasila dan
didasarkan pada nilai ilmiah, manfaat, keadilan, kemanusiaan, keseimbangan, serta perlindungan dan
keselamatan pasien.
Di dalam penjelasan pasal 2 Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, dapat diartikan asas – asas tersebut di dalam pegertianya di uraikan yang mana di
dalam ketentuan ini yang dimaksud adalah :
a. Nilai ilmiah adalah bahwa praktik kedokteran harus didasarkan pada ilmu pengetahuan dan teknologi
yang diperoleh baik dalam pendidikan termasuk pendidikan berkelanjutan maupun pengalaman serta etika
profesi
b. Manfaat adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus memberikan manfaat yang
sebesar-besarnya bagi kemanusiaan dalam rangka mempertahankan dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat
c. Keadilan adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran harus mampu memberikan pelayanan
yang adil dan merata kepada setiap orang dengan biaya yang terjangkau oleh masyarakat serta pelayanan
yang bermutu
d. Kemanusiaan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran memberikan perlakuan yang
sama dengan tidak membedakan suku, bangsa, agama, status sosial, dan ras
e. Keseimbangan adalah bahwa dalam penyelenggaraan praktik kedokteran tetap menjaga keserasian
serta keselarasan antara kepentingan individu dan masyarakat
f. Perlindungan dan keselamatan pasien adalah bahwa penyelenggaraan praktik kedokteran tidak
hanya memberikan pelayanan kesehatan semata, tetapi harus mampu memberikan peningkatan derajat
kesehatan dengan tetap memperhatikan perlindungan dan keselamatan pasien.

Maka selain dari pada itu, ada pula yang menyebutkan beberapa asas yang harus di pedomani oleh
dokter untuk menjadikan dasar dalam pemberian pelayanan kesehatan yaitu :
1. Asas legalitas.
2. Asas keseimbangan.
3. Asas tepat waktu.
4. Asas kejujuran.
5. Asas keterbukaan.
6. Asas kehati – hatian.
Demikian pula di dala informed konsent ( persetujuan medis ) menganut ada 2 ( dua ) unsur antara
lain yaitu :
a. Informasi yang di berikan oleh dokter kepada pasien mengenai tindakan apa yang di lakukan.
b. Persetujuan yang di berikan oleh pasien kepada dokter.
Seperti yang di maksud di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran di dalam pasal 45 yang menyatakan bahwa :
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. alternatif tindakan lain dan risikonya
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.
Perjanjian teraupeutik sebagaimana di dalam Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 80 tahun
1969 yang di sempurnakan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 483/Men.Kes/X/1982,
yang mengatakan tentang Transaksi Teraupeutik adalah perjanjian antara dokter dan pasien yang berupa
hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak. Berbeda dengan perjanjian
yang pada umumnya, karena ke khususan itu terletak pada objek yang di perjanjikan, akan tetapi disini
adalah yang menjadi objek yang di perjanjikan adalah upaya untuk melakukan penyembuhan pasien.
Dengan demikian maka perjanjian teraupeutik adalah suatu perjanjian untuk menetukan atau upaya
mencari terapi yang paling tepat bagi pasien yang di lakukan oleh dokter. Hubungan hukum antara dokter
dengan pasien merupaka perjanjian perbintens, karena berupaya untuk mewujudkan apa yang di
perjanjiakan.
Dalam hal terpenuhinya suatu perjanjian transaksi teraupeutik, maka dalam hal ini pasien bisa saja
melakuakan tuntutan hukum kepada tenaga kesehatan dalam masalah pertanggung jawaban hubungan
hukum antara dokter dan pasien, apabila dokter melakukan penyimpangan, malaui tuntutan, antara lain:
a. dalam aspek hukum perdata.
· Wanprestasi pasal 1339 KUHPerdata.
Di katakan wanprestasi apabila :
a. Tidak melakukan apa yang disepakati
b. Melakukan apa yang di sepakati tetapi terlambat
c. Melakukan apa yang di sepakati tetapi tidak sebagaimana yang di perjanjiakan.
d. Melakukaan surat perbuatan yang menurut hakikatnya perjanjian itu tidak di perbolehkan.
· Onrecht mangitedaad ( perbuatan melawan hukum ) pasal 1365 KUHPerdata.
KUHPerdata pasal 1365 yang mengatakan yang perbuatan melanggar hukum, yang membawa
kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
Unsur perbuatan melawan hukum ( Onrecht mangitedaad ) yaitu :
Menimbulkan kerugian kepada orang lain, yang di sebabkan antara lain :
a. Adanya kesalahan.
b. Adanya kerugian yang di timbulkan.
c. Adanya hubungan hukum antara kalusual dengan perbuatan yang di lakukan.
b. Dalam aspeh hukum pidana
Hubungan hukum antara dokter dengan pasien dalam aspek hukum pidana dapat dilihat apabila
pada saat memberikan pelayanan kesehatan ditemukan adanya kesalahan dan kerugian yang di timbulkan.
Sebagai mana di sebut dalam pasal 359 dan 361 KUHP yang mengakibatkan orang mati atau luka yang
karena salahnya. Untuk melihat adanya kesalahan dokter dalam memberikan pelayanan kesehatan adalah
dapat dilihat melaui satandart operasional prosedural dan medical record.
Kewajiban dokter terhadap pasien di dalam melaksanakan pelayanan kesehatan di atur lebih
kongkrit di dalam pasal 51 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran yang
berbunyi bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai kewajiban :
a. memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional serta
kebutuhan medis pasien
b. merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau kemampuan yang
lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan
c. merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga setelah pasien itu
meninggal dunia
d. melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain yang
bertugas dan mampu melakukannya; dan
e. menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau kedokteran gigi.
Selain itu, kewajiban dokter di dalam memberikan pelayanan kesehatan dapat juga dilihat di dalam
Surat Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 34 Tahun 1983 Tentang Kode Etik Kedokteran Indonesia,
yang menytakan bahwa dokter memiliki serangkaian kewajiban yaitu :
a. kewajiban umum.
b. Kewajiban terhadap penderita.
c. Kewajiban terhadap rekan sejawat.
d. Kewajiban terhadap diri sendiri.
Selain dari pada kewajiban dokter di dalam memberikan pelayanan kesehatan, dokter juga memiliki
hak, sebagaimana yang di atur di dalam pasal 50 Undang – Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang
Praktik Kedokteran, yang menyatakan bahwa Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik
kedokteran mempunyai hak :
a. memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan
standar prosedur operasional
b. memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional
c. memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d. menerima imbalan jasa.

D. HAK DAN KEWAJIBAN PASIEN DALAM TRANSAKSI TERAUPEUTIK


Secara normatif hak dan kewajiban pasien di atur di dalam Undang - Undang Republik Indonesia
Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran pada pasal 52 dan pasal 53 dalam hal hak dan
kewajiban pasien ditemui hubungan hukum pasien dengan dokter yaitu :
1. Pasal 52 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai hak sebagai berikut :
a. mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 45 ayat (3).
b. meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain
c. mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis
d. menolak tindakan medis; dan
e. mendapatkan isi rekam medis.
2. Dan di Pasal 53 mengatakan bahwa Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran,
mempunyai kewajiban sebagai berikut :
a. memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya
b. mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi
c. mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
d. memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Berkaitan dengan hak pasien untuk mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis
sebagaimana yang di maksud di dalam Undang - Undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2004
Tentang Praktik Kedokteran di dalam pasal 45 yang menyatakan bahwa :
1. Setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau dokter gigi
terhadap pasien harus mendapat persetujuan.
2. Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan setelah pasien mendapat penjelasan
secara lengkap.
3. Penjelasan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya mencakup :
a. diagnosis dan tata cara tindakan medis
b. tujuan tindakan medis yang dilakukan
c. alternatif tindakan lain dan risikonya
d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan
e. prognosis terhadap tindakan yang dilakukan.

Selain dari pihak pasien yang di atur di dalam perundang – undangan maka hak pasien juga di
cantumkan di dalam peraturan Kode Etik Profesi Kedokteran Indonesia yaitu :
1. Hak untuk hidup, hak atas tubuhnya, dan hak untuk mati secara wajar.
2. Hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan sesuai dengan standart profesi kedokteran.
3. Hak memperoleh penjelasan secara lengkap tenetang diagnosa dan terapi medis yang di lakukan oleh
dokter di dalam mengobatinya.
4. Hak untuk menolak prosedur diagnosis dan terapi yang akan di rencanakan, bahkan untuk menarik
diri dari kontrak teraupeutik.
5. Hak atas kerahasiaan atau rekam medic yang bersifat pribadi.

Anda mungkin juga menyukai