Anda di halaman 1dari 21

REFERAT ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL

KEMATIAN MENDADAK (SUDDEN DEATH)

Disusun oleh:

Annas Fadhillah Bilqisthi (1718012198)


Ebti Rizki Utami (1718012187)
Irvan Miftahul Arif (1718012215)
Riska Permata Sari (1718012190)
Sumayyah Annida (1718012186)

Pembimbing:

Dr. Muhammad Galih Irianto, Sp.F

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN FORENSIK DAN MEDIKOLEGAL


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS LAMPUNG
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH DR. H. ABDULL MOELOEK
2018
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Kematian Mendadak
(Sudden Death) sebagai rangkaian kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian/SMF
Kedokeran Forensik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek/FK Universitas Lampung.

Dengan ketulusan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr.
Muhammad Galih Irianto, Sp.F selaku pembimbing penyusunan referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tidak terlepas dari kekurangan karena
keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.

Bandar Lampung, September 2018

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Kematian merupakan keadaan fitrah dalam kehidupan manusia. Seseorang


dinyatakan mati apabila fungsi sistem jantung, sirkulasi dan sistem pernafasan
terbukti telah berhenti secara permanen, atau apabila kematian batang otak telah
dapat dibuktikan (UU RI No.36 Tahun 2009). Kematian dapat terjadi secara perlahan
menurut alamiah penyakitnya namun dapat pula terjadi secara mendadak. Kematian
mendadak adalah suatu proses yang berhubungan terhadap waktu kematian yang
seketika pada suatu kejadian atau peristiwa (Singh, 2013). Menurut World Health
Organization (WHO) Kematian mendadak adalah seseorang yang mati pada 24 jam
sejak gejala-gejala timbul, namun pada kasus forensik, sebagian besar kematian
terjadi dalam hitungan menit atau bahkan detik sejak gejala pertama timbul.
Penyebab kematian mendadak akibat penyakit dapat diklasifikasikan menurut sistem
tubuh, diantaranya sistem Susunan Saraf Pusat, sistem kardiovaskuler, sistem
pernafasan, sistem pencernaan dan sistem urogenital (Budiyanto, 1997).
Akhir-akhir ini kasus kematian mendadak yang disebabkan oleh penyakit
menunjukkan peningkatan. Data di Amerika Serikat menyebutkan kematian
mendadak dialami oleh setidaknya 2 orang setiap tahunnya. Pada umumnya kematian
mendadak setelah dilakukan investigasi diketahui penyebabnya adalah penyakit.
Menurut buku romans forensic penyakit yang dapat menimbulkan kematian yang
mendadak dibagi ke dalam beberapa kategori yaitu menurut sistem kardiovaskular,
sistem pernafasan, sistem saraf pusat, sistem saluran cerna, serta sistem urogenital
(Singh, 2013). Pada data studi post mortem yang diambil di RS Connoly di Dublin
pada tahun1987 – desember 2001 menyatakan bahwa kematian mendadak paling
banyak terjadi akibat penyakit jantung sebesar 79%. Sedangkan data di Negara
Inggris menyebutkan Penyakit Jantung Koroner (PJK) membunuh 1 dari 2 penduduk
dalam populasi; menyebabkan 250.000 kematian pada tahun 1998 (Gray et.al, 2005).
Di Indonesia sendiri sukar didapat insiden kematian mendadak yang
sebenarnya. Angka yang ada hanyalah jumlah kematian mendadak yang diperiksa di
bagian kedokteran forensik FKUI. Dalam tahun 1990, dari seluruh 2461 kasus,
ditemukan 227 laki-laki (9,2%) dan 50 perempuan (2%) kasus kematian mendadak,
sedangkan pada tahun 1991 dari 2557 kasus diperiksa 228 laki-laki (8,9%) dan 54
perempuan (2,1%). Namun, beberapa tahun terakhir kematian mendadak akibat PJK
sudah mulai menurun di negara Inggris begitu juga di negara Eropa lainnya karena
kemajuan pengobatan dalam bidang kedokteran yang terus berusaha sebisa mungkin
mencegah insiden kematian mendadak.
Meskipun kematian mendadak hampir 75-90% disebabkan oleh PJK,
sebaiknya sebagai tenaga kesehatan tidak langsung menyatakan kematian tersebut
sebagai kematian yang disebabkan secara alami oleh penyakit, dimana pada beberapa
kasus juga bisa ditemukan kematian mendadak karena disengaja atas dasar
kriminalitas. Oleh karena penyebabnya yang wajar, maka apabila kematian tersebut
didahului oleh keluhan, gejala dan terdapat saksi (apalagi bila saksinya adalah dokter,
misalnya di klinik, puskesmas, atau rumah sakit) biasanya tidak akan menjadi
masalah kedokteran forensik. Namun apabila kematian tersebut terjadi tanpa riwayat
penyakit dan tanpa saksi, maka dapat menimbulkan kecurigaan bagi penyidik, apakah
terkait unsur pidana di dalamnya. Disinilah peran pemeriksaan forensik berupa
autopsi dan pemeriksaan histologi akan sangat penting guna menjawab permasalahan
di atas.Dalam pandangan ilmu kedokteran forensik, setiap kematian mendadak harus
diperlakukan sebagai kematian yang tidak wajar sebelum dapat dibuktikan secara
ilmiah. Kematian mendadak sering disamakan dengan sudden natural unexpected
death, yaitu suatu kematian yang disebabkan oleh karena penyakit bukan akibat
trauma atau keracunan (Kemenkes RI, 2014).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Kematian Mendadak


2.1.1. Definisi
Definisi kematian mendadak menurut WHO, yaitu kematian dalam
waktu 24 jam sejak gejala timbul, namun pada kasus-kasus forensic
sebagian besar kematian terjadi dalam hitungan menit atau bahkan detik
sejak gejala timbul. Kematian mendadak tidak selalu tidak terduga,
dan kematian yang tak terduga tidak selalu terjadi mendadak,
namun amat sering keduanya terjadi bersamaan pada satu kasus.
Pengertian kematian mendadak sebenarnya berasal dari kata
sudden unexpected natural death yang di dalamnya terkandung
kriteria penyebab yaitu natural (alamiah, wajar). Kata mendadak disini
diartikan sebagai kematian yangdatangnya tidak terduga dan tidak
diharapkan, dengan batasan waktu yang nisbi. Camps menyebutkan
batasan kurang dari 48 jam sejak timbul gejala pertama.
Oleh karena penyebabnya yang natural, maka apabila kematian
tersebut didahului oleh keluhan, gejala dan saksi (apabila saksisnya
seorang dokter, missal di klinik rumah sakit atau puskesmas) biasanya
tidak akan menjadi masalah kedokteran forensik. Namun apabila kematian
tersebut terjadi tanpa riwayat penyakit dan tanpa saksi, maka dapat
menimbulkan kecurigaan bagi penyidik apakah ada unsur pidana terkait
didalamnya.
KUHAP pasal 133, 134, dan 135 memberikan wewenang bagi
penyidik untuk meminta bantuan dokter guna mencari kejelasan sebeb
kematian orang tersebut.
Otopsi disertai pemeriksaan histopatologi dan atau toksikologi
hampir selalu merupakan keharusan pada kasus jenis ini. Hasil otopsi
yang pernah dilaporkan selama lebih dari lima setengah tahun, pada Office
The Chief Medical Examiner, New York, didapatkan 2030 kasus kematian
mendadak karena sebab yang wajar, yang dianalisis oleh Helpern. Dari
hasil tersebut nama penyakir system kardiovaskuler merupakan penyebab
kematian mendadak menduduki peringkat pertama sebesar 44.9%, lalu
system pernapasan sebesar 23.1%, siste saraf (otak dan selaput otak)
sebesar 17.9%, system pencernaan dan urogenital sebesar 9.7%, dan
sebab-sebab lainnya sebesar 4.4%.
Kematian natural sendiri adalah kematian yang terjadi oleh karena
penyakit alamiah atau kondisi patologis, usia tua, kelemahan, dimana
bukan merupakan suatu percobaan kematian dan tidak terjadi secara
sengaja (Nandy, 2001).
Dari uraian diatas, maka mati mendadak mengandung pengertian
sebagai suatu kematian yang tidak terduga, tidak ada unsur trauma dan
keracunan, tidak ada tindakan yang dilakukan sendiri yang dapat
menyebabkan kematian dan kematian tersebut disebabkan oleh penyakit
dengan gejala yang tidak jelas atau gejalanya muncul dalam waktu yang
mendadak kemudian korban mati (Rahmawati, 2010).

2.1.2. Epidemiologi
Kejadian kematian mendadak terjadi empat kali lebih sering pada
laki-laki dibandingkan pada perempuan, hal ini seiring dengan
kecenderungan terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah yang
secara umum menyerang laki-laki lebih sering dibanding dengan
perempuan dengan perbandingan 7:1 sebelum menopause, dan menjadi
1:1 setelah perempuan menopause, yang mencapai puncaknya pada usia
45-75 tahun.Di Indonesia, seperti yang dilaporkan Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan RI, persentase kematian akibat
penyakit ini meningkat dari 5,9% (1975) menjadi 9,1% (1981), 16,0%
(1986) dan 19,0% (1995)(Hakim, 2010).

2.2. Etiologi
Berdasarkan penyebab yang mendasarinya, kematian mendadak dapat
diklasifikasikan menurut sistem tubuh, yaitu sistem kardiovaskular, dan
sistemnon kardiovaskular termasuk didalamnya adalah sistem respirasi, sistem
saraf pusat, sistem gastro-intestinal dan sistem urogenital (Idries, 1997).

2.2.1. Sistem Kardiovaskuler


Kematian mendadak dapat disebabkan karena beberapa hal salah
satunya akibat penyakit pada jantung. Penyakit jantung dan pembuluh darah
menempati urutan pertama sebagai penyebab kematian mendadak.
Kematian mendadak yang terkait sistem kardiovaskular merupakan kasus
terbanyak (44%) dari 2030 kasus autopsi kematian mendadak.
Kematian mendadak yang berkaitan dengan sistem kardiovaskuler yaitu:
1. Kelompok penyakit oklusi arteri koroner terdiri dari:
 Arteriosklerosis koroner yang progresif, dimana terjadi penyempitan
dan penyumbatan dari lumen.
 Emboli arteri koroner (jarang), yang berasal dari thrombus yang
menyebabkan kematian mendadak.
 Arteriosklerosis koroner dengan perdarahan pada plaque arteroma
yang melintasi lumen dan dapat menyebabkan thrombosis.
 Anomali arteri koroner kongenital.

2. Lesi pada miokard, katub jantung, endokardium, dan pericardium


 Miokarditis akut atau subakut yang menyertai difteri, infeksi
trichimosis. Manifestasi klinisnya dapat menyebabkan kegegalan
jantung kongestif sampai kematian mendadak.
 Tuberculosis atau sifilis miokard (jarang).
 Infark miokard dengan atau tanpa fibrosis atau anuerisma.
 Endokarditis bacterial.
 Ruptur spontan dari infark miokard.

3. Lesi pada aorta


 Ruptur spontan pada ascending aota (non sifilis) dengan perdarahan
intraperikard dan tamponade jantung, ruptur yang lengkap atau tidak
lengkap dengan pembentukan aneurisma dissecting dan menyusul
ruptur aorta kedalam perikard.
 Aneurisma aorta abdominalis akibat aterosklerosis, rupture, dan
perdarahan ke dalam jaringan retroperitoneal
 Thrombosis oklusi aorta abdominalis akibat aterosklerosis

a. Penyakit Jantung Koroner


Sklerosis koroner dipengaruhi oleh faktor-faktor makanan,
kebiasaan merokok, genetic, usia, jenis kelamin, ras, diabetes
mellitus, hipertensi, stress, psikis. Kematian lebih sering terjadi pada
laki-laki dari pada wanita.
Penyempitan lumen arteri koroner (stenosis) oleh atheroma
menyebabkan iskemia kronis pada otot yang dipasok oleh arteri
tersebut. Jika miokard menjadi iskemik, ia juga dapat menjadi tidak
stabil sehingga mempengaruhi perkembangan irama jantung yang
abnormal (yaitu aritmia). Kebutuhan oksigen miokard tergantung
pada denyut jantung. Peningkatan denyut jantung akan terjadi selama
olahraga, setelah makan besar atau sebagai konsekuensi dari respons
adrenalin yang tiba-tiba terhadap stres, kemarahan, ketakutan atau
emosi akan menyebabkan peningkatan permintaan oksigen. jika
kebutuhan oksigen tidak dapat dipenuhi karena adanya pembatasan
aliran darah melalui pembuluh stenosis, maka miokardium distal
sampai ke daerah stenosis akan menjadi iskemik. Iskemia tidak selalu
menyebabkan miokardial Infark tapi bisa memulai aritmia yang fatal
dan, jika daerah yang iskemik termasuk salah satu cabang utama dari
sistem yang berisiko untuk meningkatkan kelainan irama.
Komplikasi plak atheromatous dapat menyebabkan stenosis
koroner dan iskemia miokardial berikutnya. Perdarahan dapat
menjadi plak dan ini dapat dilihat sebagai perdarahan sub-intimal
pada otopsi. Perluasan plak yang tiba-tiba dapat menyebabkan rupture
yang akan menyebabkan plak mengalami ulserasi. ketika plak pecah,
kolesterol, lemak dan sisa-sisa serat akan 'tersapu ke hilir' di arteri
koroner dan berdampak ke distal, sering menyebabkan multiple mini-
infark. Tutup endotel dari plak yang pecah dapat menyebabkan
obstruksi lengkap

Significant coronary artery artherosclerosis

Infark miokard terjadi ketika ada stenosis berat atau oklusi


lengkap arteri koroner sehingga suplai darah tidak cukup untuk
mempertahankan oksigenasi miokardium. Namun, jika ada sirkulasi
yang memadai, darah masih bisa mencapai miokardium dengan rute
lain. efek fatal infark dapat muncul setiap saat setelah otot menjadi
iskemik.
Area otot yang dirusak oleh infark miokard semakin
dilemahkan oleh proses kematian seluler dan respons inflamasi
terhadap sel nekrotik. Area infark miokard paling lemah antara 3 hari
dan 1 minggu setelah onset klinis infark terjadi sehingga miokardium
dapat pecah, yang menyebabkan kematian mendadak akibat
haemopericardium dan tamponade jantung. jika otot papiler sudah
infrak lalu mungkin pecah maka bagian dari katup mitral akan
prolaps, yang mungkin terkait dengan kematian mendadak.
Infark akan sembuh dengan 'scarring' (fibrosis), dan plak
fibrotik di dinding ventrikel atau septum dapat mengganggu fungsi
jantung secara fisik atau listrik. Aneurisma jantung dapat terbentuk di
tempat infark lalu mengeras dan menjadi ruptur.
Lesi fisik pada sistem konduksi jantung telah dipelajari dalam
beberapa tahun terakhir, terutama dalam hubungannya dengan
kematian mendadak. Banyak perbedaan abnormalitas yang
ditemukan, hal ini sulit untuk menentukan bahwa sistem konduksi
adalah penyebab aritmia yang fatal atau hanya temuan yang tidak
disengaja. Namun, tanpa adanya kelainan lain bisa dijadikan alasan
jika hal tersebut adalah faktor yang menyebabkan kematian.

b. Infark Miokard
Infark dini tampak sebagai daerah yang berwarna merah gelap
atau hemorhagis, sedangkan infark lama tampak kuning padat.
Mikroskopis jaringan memperlihatkan serat otot yang nekrotik
(kehilangan kontraktilitas, menipis, dan memanjang), bergelombang
(Wavy), eosinofilik, granulasi sitoplasma, membran sel mengabur,
perubahan inti, fragmentasi, dan infiltrasi leukosit.
Kelainan ini baru tampak jelas pada usia infark 8-12 jam.
Pemeriksaan histokimia terdapat enzim sitokrom oksidase dan enzim
suksinodehidrogenase dapat melihat infark yang berusia 1-2 jam.
Serabu otot ini kemudian digantikan dengan jaringan ikat pada fase
berikutnya. Jaringan parut tampak pada usia infark 5 minggu hingga 3
bulan.
Infark yang berulang-ulang dapat mengakibatkan
penggumpalan otot jantung dengan jaringan ikat, sehingga dinding
jantung dapat menipis dan mudah rupture.
c. Penyakit Miokard Primer
Sering terjadi tanpa gejala dan ditemukan pada dewasa muda.
Diagnosis kematian hanya dengan pemeriksaan mikroskopis
(miokarditis dan kardiomiopati, yaitu adanya peradangan interstitial
dan/atau parenkim. Pada pemeriksaan mikroskopis tampak edema,
perlemakan, nekrosis, degenerasi otot. Infiltrasi leukosis berinti
jamak dan tunggal, plasmosit dan histiosit tampak jelas.
Miokarditis terjadi pada banyak penyakit seperti difteri dan
infeksi virus, termasuk influenza. Komplikasi, termasuk kematian
mendadak, berhubungan dengan infeksi dapat terjadi beberapa hari
bahkan minggu setelah gejala klinis utama.

Kardiomiopati adalah sekelompok kondisi penting yang


menandakan kematian mendadak pada dewasa muda, dan sangat
penting pada kematian yang terjadi saat olahraga atau bidang atletik.

2.2.2. Sistem Respirasi


Kematian akibat sistem respirasi dapat terjadi akibat dari
perdarahan saluran nafas, asfiksia, dan atau pneumotoraks.Perdarahan
dapat terjadi akibat tuberkulosa, yang merupakan penyebab kematian
tersering di negara yang belum berkembang.Sedangkan asfiksia dapat
terjadi pada asma bronkial, bronkiektasis, dan difteri yang dapat juga
menyebabkan kematian mendadak dari sistem respirasi (Idries, 1997).

a) Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi abnormal dan pelebaran permanen
lumen bronkus.Bronkiektasis dapat terjadi pada laki-laki dan
perempuan.Bronkiektasis biasanya dimulai saat anak-anak setelah infeksi
saluran pernafasan bawah berulang sebagai komplikasi campak, bronkitis,
pertusis, influenza, atau pneumonia (Wilson, 2005).
Pelebaran bronkus tersebut dikaitkan dengan adanya perubahan
yang terjadi akibat kerusakan dan proses radang dalam dinding bronkus
berupa kerusakan elemen-elemen elastis, otot-otot polos bronkus, tulang
rawan dan pembuluh-pembuluh darah (Rahmatullah, 2009; Wilson, 2005).
Saluran nafas yang melebar tersebut mengandung sekret yang kental, dan
purulen, sehingga tidak jarang menyumbat saluran nafas perifer.Gambaran
klinis yang timbul berupa batuk kronik disertai produksi sputum serta
adanya hemoptisis.
Pelebaran dinding bronkus diikuti dengan peningkatan dan
pelebaran pembuluh darah. Ulserasi dari dinding ektasis akan
menimbulkan perdarahan ke dalam lumen bronkus yang dapat berakibat
kematian (Wilson, 2005).

b) Abses paru
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada
jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi
nanah dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru lebih
sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, dan umumnya
terjadi pada usia tua dikarenakan terdapat peningkatan insidensi penyakit
periodontal dan prevalensi aspirasi (Rasyid, 2009).

c) Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapatnya udara didalam
rongga pleura.Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau
traumatik.Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan sekunder,
dimana dikatakan primer jika penyebabnya tidak diketahui dan sekunder
jika terdapat penyakit paru yang melatarbelakangi seperti TB paru,
emfisema, dan bronkitis kronis.Pneumotoraks traumatik dibagi atas
pneumotoraks traumatik iatrogenik dan bukan iatrogenik (Hisyam, 2009).
Pneumotoraks lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita
dengan perbandingan 5:1. Pneumotoraks spontan primer banyak dijumpai
pada pria usia 20 sampai 40 tahun yang sebelumnya terlihat
sehat.Pneumotoraks spontan dapat terjadi sebagai penyebab
kematian.Umumnya terjadi karena ruptur dari bulla
emfisema.Pneumotoraks juga dapat terjadi akibat adanya mekanisme
ventil, dimana udara yang masuk tidak dapat keluar lagi dari dalam rongga
pleura. Penderita menderita sesak napas yang berat, tekanan intrapleural
meningkat sangat tinggi, terjadi kolaps paru dan penekanan pada
mediastinum, termasuk jantung, venous return juga terganggu. Akibatnya
selain terjadi gangguan pernapasan juga terjadi gangguan pada sirkulasi
jantung yang berakibat pada kematian (Rahmawati, 2010).

d) Tuberkulosa Paru (TB paru)


Merupakan penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis.Berdasarkan data WHO, terdapat 10-12 juta
penderita TB paru yang dapat menularkan penyakitnya.Angka kematian
TB paru mencapai tiga juta kematian per tahun.Sebagian besar kasus TB
paru dan kematiannya terjadi di negara-negara yang sedang berkembang.
Diantaranya 75% berada pada usia produktif yaitu 20-49 tahun. Di
Indonesia sendiri prevalensi TB menempati urutan ke-3 tertinggi setelah
China dan India (Amin, 2009).
Gambaran klinis yang berkaitan dengan TB paru dan sering adalah
batuk lama yang produktif (durasi lebih dari 3 minggu), nyeri dada dan
hemoptisis.Penyebab kematian pada infeksi TB paru adalah hemoptisis
masif dari ceverna tuberculosis (Price, 2005).

e) Asma bronkial
Kematian mendadak dapat terjadi pada saat serangan asma
bronkial.Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran
pernafasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran
udara yang reversibel dan gangguan pernafasan.Sesuatu yang dapat
memicu serangan asma ini sangat bervariasi antar individu.Beberapa
diantaranya adalah alergen, polusi udara, infeksi saluran nafas, keletihan,
perubahan cuaca, makanan, atau obat (Hisyam, 2009).
Aritmia berperan terhadap penyebab kematian terutama pada
dewasa.Aritmia dapat terjadi oleh karena peningkatan hipokalemia dan
terjadinya pemanjangan segmen QT akibat penggunaan ß2 agonis dosis
tinggi.Kematian juga terjadi oleh karena asfiksia yang disebabkan
keterbatasan aliran udara dan menurunnya tekanan parsial oksigen
dialveoli, sehingga oksigen dalam peredaran darah juga menurun
(hipoksemia). Sebaliknya terjadi resistensi karbondioksida, sehingga kadar
karbondioksida dalam peredaran darah meningkat. Hal ini menyebabkan
rangsangan pada pusat pernapasan sehingga terjadi hiperventilasi
(Hisyam, 2009).
Pada otopsi, penderita asma bronkial yang meninggal, didapatkan
perubahan-perubahan sebagai berikut:
(1) Perubahan patologis
(a) Overdistensi dari kedua paru,
(b) Paru tidak kolaps waktu kavum pleura dibuka,
(c) Dalam bronkus sampai bronkus terminalis didapatkan
gumpalan eksudat yang menyerupai gelatin.
(2) Perubahan histopatologis
(a) Hipertrofi otot bronkus,
(b) Edema mukosa bronki,
(c) Kerusakan epitel permukaan mukosa,
(d) Penebalan nyata dari membran basalis,
(e) Infiltrasi eosinofil dalam dinding bronki (McFadden, 2005).
Dengan begitu, kepastian mati mendadak akibat serangan asma
memerlukan pemeriksaan histologi dan biokimia (toksikologi) dengan
baik (McFadden, 2005).

2.2.3. Sistem Saraf Pusat


Kematian dari sistem organ ini mencapai 17,9% kematian
mendadak yang ditemukan pada otopsi. Adapun penyakit-penyakit organ
ini yang menimbulkan kematian mendadak anatara lain:

 Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan ini biasanya sebagai penyebab kematian mendadak tak
terduga. Perdarahan ini mencapai 4,7% dari total kasus yang diotopsi.
Perdarahan ini disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada arteri serebral,
lebih sering terjadi pada cabang-cabang sirkulus willisi.
Perdarahan subarachnoid dapat menyebabkan kolaps mendadak
dan kematian yangcepat. Tanda-tanda yang muncul seperti sakit kepala,
kaku kuduk beberapa hari atauminggu sebelum ruptur yang mematikan
tersebut. Bila pada pemeriksaan didapatkanadanya perdarahan
subarakhnoid harus dicari sumber perdarahan, hal ini penting
untukmenentukan penatalaksanaan yang tepat. Pada aoutopsi diagnosis
perdarahansubaraknoid terbukti sendiri.
Pada otopsi ditemukan jendalan darah atau lokal-lokalperdarahan
pada bagian bawah otak dan lokasi aneurisma sering sukar untuk
ditemukan.Multipel aneurisma mungkin terjadi, walaupun tidak umum.
Perdarahan akan berwarnamerah terang pada perdarahan segar; apabila
bertahan beberapa minggu akan berwarnakecoklatan karena hemoglobin
mengalami perubahan. Aneurisma tampak pada 85%kasus perdarahan sub
arakhnoid spontan namun sisanya tidak menunjukkan adanyaaneurisma.
Hal ini mungkin karena destruksi aneurisma kecil ketika ruptur.
Pencarianakan adanya aneurisma kecil pada otopsi mungkin sulit karena
adanya lapisan tebal daribekuan darah yang terjebak antara selaput otak
dan pembuluh darah.
Gambar 1. Perdarahan subaraknoid

 Perdarahan intracerebral
Perdarahan intraserebral non traumatik umumnya disebabkan oleh
kerusakan pembuluh darah akibat hipertensi (hipertensi, eklamsia), juga
dikarenakan disfungsi autoregulasi dengan aliran darah otak yang
berlebihan (cedera reperfusi, transformasi hemoragik, paparan dingin),
pecahnya aneurisma atau malformasi arteri-vena, arteriopati, perubahan
hemostasis (trombolisis,antikoagulasi, diatesis hemoragik), nekrosis
hemoragik (tumor, infeksi), atauobstruksi aliran vena (trombosis vena
serebral). Perdarahan intraserebral secara klinis ditandai dengan onset
yang mendadak dan berkembang dengan cepat.
Perdarahan serebral lebih sering ditemui pada laki-laki dibanding
perempuan dan tidak umum terjadi pada umur muda. Perdarahan biasanya
terjadi pada orang ketika aktif dibanding ketikaberistirahat. Hipertensi
sebenarnya sering menyertai keadaan ini dan biasanya hanya ada satu
episode perdarahan yaitu ketika serangan. Perdarahan berulang tidak
umum ditemukan. Penderita biasanya menunjukkan gejala dalam dua
hingga beberapa jam. Pada perdarahan intraserebral otak akan
membengkak secara asimetris, dengan hemisfer yang membengkak
mengandung darah. Perdarahan subarakhnoid dapat atau tidak muncul
pada dasar otak. Pada irisan, jaringan otak yang berdekatan dengan
perdarahan akan membengkak dan edematous. Tidak ada jaringan otak
pada daerah hematom. Irisan mikroskopik menunjukkan sklerotik yang
terhialinisasi pada arteri dan arteriol. Terkadang dapat ditemukan
aneurisma arteriol dan arteri yang dilatasi. Kematian umumnya
disebabkan kompresi dandistorsi otak tengah atau perdarahan ke dalam
sistem ventrikel.
Walaupun kematian pada pecahnya aneurisma atau perdarahan
intraserebral dianggap wajar, namun pada beberapa keadaan tertentu dapat
termasuk dalam pembunuhan, misalnya apabila orang tersebut mengalami
ruptur aneurisma ketika terjadi kekerasan secara fisik, namun yang
menentukan apakah ada aksi kriminal di dalamnya adalah pengadilan,
bukan tenaga medis yang memeriksa.

Gambar 2. Perdarahan intraserebral

 Perdarahan pons dan serebellum


Perdarahan ini terjadi biasanya akibat pecahnya aneurisma pada
asrteri serebelar tapi hal ini sering tidak dapat dibuktikan. Beberapa
perdarahan pada pons menghasilkan hiperpereksia atau peningkatan suhu
tubuh, pupis miosis dan kondisi ini sering dikelirukan dengna keracunan
morfin.
Dari hasil otopsi perdarahan pons ini tidak dapat terlihat karena
pons tidak dapat dibuka. Perdarahan ini dapat menyebabkan kematian
yang cepat karena terjadi penekanan pada batang otak.

 Trombosis dan emboli serebral


Walaupun trombosis tidak begitu umum mengakibatkan kematian
mendadak. Namun trombosis ini sering terjadi pada seseorang yang
menderita arterosklerosis serebral dan komplikasi penyakit yang lain yang
dapat menyebabkan kematian mendadak. Kasus ini terjadi biasanya
bertahap dan penderita biasanya mengetahui akibat dari penyakitnya.
Trombosis serebral biasanya mengenai serebral media, basiler atau arteri
vertebral. Trombosis serebral spontan dan infark serebral tidak sulit
ditemukan pada otopsi. Selama otopsi harus hati hati agar trombus dalam
aurikula atau ventrikel jantung atau dalam aorta ascending dan cabang-
cabangnya dapat ditemukan. Trombus juga bisa menyumbat arteri diotak,
yang berasal dari trombosis di ventrikel kiri.

 Kista koloid dan parasit


Penekanan serebral yang lama dan tersembunyi dapat diakibatkan
karena infeksi yang lama, seperti cyscercus cellulosa yang membendung
cairan serebro spinal pada ventrikel IV, dimana akibat yang timbul mirip
dengan penekanan serebral akibat terjadinya pembuntuan foramen munro.

 Intrakranial neoplasma
Tumor pada kepala, pembesarannya terjadi secara perlahan-lahan
sehingga menimbulkan gejala yang tidak khas, tiba-tiba berakibat fatal
akibat penekanan serebral. Jenis yang sering adalah glioma primer,
meningioma pada duramater yang menyebabkan penekanan pada
permukaan otak. Pada otopsi biasanya ditemukan glioma pada kedua
lobus frontal yang menyebabkan penekana yang fatal.

 Abces otak, polioensefalitis dan meningitis


Abces otak yang sering akibat komplikasi dari otitis media kronis
dan mastoiditis dapat berkembang menjadi lebih parah dan dapat
menyebabkan kematian dengan cepat akibat penekanan pada cerebral.
Polioensefalitis akut dan ensefalitis juga sering menyebabkan kematian
mendadak. Kasus lain yang menyebabkan kematian tak terduga adalah
leptomeningitis supurativa dan sepsis meningokokus fulminan

 Infeksi sifilis
Sifiis leptomeningtia kronis ditandai dengan infiltrasi sel radang
dalam selaput piaaraknoid yang terlihat jelas dibawah permukaan pons
dan sekitar serkulus wilisi.

2.3. Tindakan pada kasus kematian mendadak


Setiap kematian mendadak harus diperlakukan sebagai kematian yang
tidak wajar, sebelum dapat dibuktikan bahwa tidak ada bukti-bukti yang
mendukungnya. Dengan demikian dalam penyidikan kedokteran forensik pada
kematian yang mendadak atau terlihat wajar, alasan yang sangat penting dalam
otopsi adalah menentukan apakah terdapat tindak kejahatan. Dari sudut
kedokteran forensik, tujuan utama pemeriksaan kasus kematian mendadak adalah
menentukan cara kematian korban.

Pada kasus kematian mendadak perlu beberapa alasan, antara lain:


a. Menentukan adakah peran tindak kejahatan pada kasus tersebut
b. Klain pada asuransi
c. Menentukan apakah kematian tersebut karena penyakit akibat industri
atau merupakan kecelakaan belaka, terutama pada pekerja industri
d. Adakah faktor keracunan yang berperan
e. Mendeteksi epidemiologi penyakit untuk pelayanan kesahatan
masyarakat

Pada kasus kematian yang terjadi seketika atau tidak terduga, khususnya
bila tak ada tanda-tanda penyakit sebelumnya dan kemungkinan sakit sangat
kecil, untuk menentukan penyebabnya hanya ada satu cara yaitu dilakukannya
pemeriksaan otopsi pada jenazah, bila perlu dilengkapi dengan pemeriksaan
tambahan lain seperti pemeriksaan toksikologi.
Adapun kepentingan otopsi antara lain:
1. Untuk keluarga korban, dpat menjelaskan sebab kematian
2. Untuk kepentingan umum, melindungi yang lain agar terhindar dan
penyebab kematian yang sama
Penentukan kasus kematian adalah berdasarkan proses interpretasi yang
meliputi:
1. Perubahan patologi anatomi, bakteriologi dan kimia
2. Pemilihan lesi yang fatal pada korban
Pada kasus kematian mendadak yang sering kita hadapi, tindakan yang mampu
dilakukan adalah:
1. Semua keterangan tentang almarhum dikumpukan baik dari keluarga,
teman, polisi atau saksi yang meliputi: usia, penyakit yang pernah
diderita, pernah berobat dimana, hasil pemeriksaan laboratorium, tingkah
laku yang aneh dll.
2. Keadaan korban dan sekitar korban saat ditemukan, pakaian yang
ditemukan, tanda-tanda kekerasan dan luka, posisi tubuh, temperatur,
lebam mayat, kaku mayat, situasi TKP rapi atau berantakan, adanya
barang-barang yang mencurigakan.
3. Keadaan korban sebelum meninggal
4. Bila sebab kematian tidak pasti, sarankan keluarga untuk melapor
kepolisi, jika polisi tidak meminta VER dapat diberikan surat kematian
5. Dalam mengisi formulir B, pada sebab kematian bila tidak diketahui
sebab kematian ditulis tidak diketahui atau mati mendadak
6. Bila dilakukan pemeriksaan dalam, buat preparat histopatologi bagian
organ organ tertentu diperiksa dan pemeriksaan toksikologi
7. Sebaiknya jangan mendatangani surat kematian tanpa memeriksa korban,
dan jangan menyentuh apapun terutama yang dipakai sebagai barang
bukti
Dari hasil pemeriksaan kemungkinan:
1. Korban meninggal secara wajar dan sebab kematian yang jelas maka
diberi surat kematian dan dikuburkan
2. Sebab kematian tidak jelas, keluarga/dokter lapor kepolisi, kemudian
polisi minta VER, setelah SPVR dateng maka korban diotopsi untuk
menentukan sebab kematian korban
3. Korban meinggal secara tidak wajar, maka keluarga/dokter lapor kepolisi
4. Korban diduga meninggal secara wajar tetapi juga ditemukan tanda
kekerasan maka keluarga/dokter lapor kepolisi.
BAB III
KESIMPULAN

Adapun kesimpulandari referat ini adalah sebagai berikut:


1. Secara garis besar penyebab kematian mendadak adalah karena trauma,

keracunan danpenyakit. Insiden kematian mendadak akibat trauma dan

keracunan lebih kurang sekitar 25-30%, sementara penyakit merupakan

penyebab tersering dari terjadinya kematian mendadak dengan persentase

mencapai 60-70%.

2. Penyakit yang menjadi penyebab mati mendadak dapat diklasifikasikan

menurut sistem tubuh, yaitu sistem susunan saraf pusat, sistem

kardiovaskular, sistem pernapasan, sistem gastrointestinal, sistem

haemopoietik dan sistemendokrin. Dari sistem-sistem tersebut, yang paling

banyak menjadi penyebab kematian adalah sistem kardiovaskular, dalam hal

ini penyakit jantung.


DAFTAR PUSTAKA

Amin, Z., 2009. Kanker Paru. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
V. Jakarta: FKUI, 2254.
Bagian Kedokteran Forensik FKUI.1997.Ilmu Kedokteran Forensik.FKUI. Jakarta.
Budiyanto. A, Widiatmika.W,. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik dan
medikolegal. Jakarta. Bagian Kedokteran Forensik Universitas Indonesia
Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, SimpsonIA. 2005. Lecture Notes : Kardiologi.
Edisievisi Keempat. Jakarta :Erlangga Medical
Hakim, F.A., 2010. Aspek Medikolegal Kematian Mendadak Akibat Penyakit
(Natural Sudden Death), Fakultas Kedokteran UNJANI: Research and
learning Unit. Available from:
http://rludifkunjani.wordpress.com/2010/11/17/aspekmedikolegalke matian-
mendadak-akibat-penyakit-natural-sudden-death/ [diakses 2 september 2018].
Hisyam, B., Budiono, E., 2009. Pneumotoraks Spontan. Dalam: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: FKUI, 2339.
Idries, A.M., 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi 1. Jakarta: Binarupa
Aksara, 210-213.
James, Jason Payne et.al,. 2011. Simpson’s Forensic Medicine 13th Edition. London:
Hodder Arnold.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Kematian mendadak. Available
at: http://www.depkes.go.id/article/view/201410080002/lingkungan-
sehatjantung-sehat.html. [diakses tanggal 1 September 2018].
Kusuma SE dan Yudianto A. 2010. Forensik Molekuler,dalam Buku Ajar Ilmu
Kedokteran Forensikdan Medikolegal, edisi keenam, Ed. Hariadi
A,Hoediyanto. Departemen Ilmu Kedokteran Forensikdan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
McFadden, E.R., 2005. Asthma. In: Harrison, (et al). Harrison Principle of Internal
Medicine, 16th ed. USA: McGraw-Hill, 1511.
Nandy, A., 2001. Principles of forensic medicine. Calcutta: New Central Book
Agency, 136.
Price, S.A., Standridge, M.P., 2005. Tuberkulosis paru. . Dalam: Price S.A., Wilson,
L.M., Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit, 6th ed. Volume
1.Jakarta: EGC, 852-861.
Rahmatullah, P., 2009. Bronkiektasis. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
V. Jakarta: FKUI, 2297-2299.
Rahmawati, M.L.A., 2010. Hubungan Antara Usia Dengan Prevalensi Dugaan Mati
Mendadak. Surakarta : Fakultas Kedokteran Sebelas Maret. Available from:
http://eprints.uns.ac.id/139/1/166920309201009341.pdf [diakses 2 september
2018].
Rasyid, A., 2009. Abses Paru. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
V. Jakarta: FKUI, 2323.
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal
117.
Singh S. Kematian Mendadak. Kedokteran forensik FK USU. Medan. 2013.
Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38686/5/Chapter%20I.pdf.
[diakses tanggal 1 September 2018].
Wilson, L.M., 2005. Pola Obstruktif Pada Penyakit Pernafasan. Dalam: Price S.A.,
Wilson, L.M., Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume
2.Edisi 6. Jakarta: EGC, 291.

Anda mungkin juga menyukai