Disusun oleh:
Pembimbing:
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul Kematian Mendadak
(Sudden Death) sebagai rangkaian kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian/SMF
Kedokeran Forensik RSUD Dr. H. Abdul Moeloek/FK Universitas Lampung.
Dengan ketulusan hati penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih kepada Dr.
Muhammad Galih Irianto, Sp.F selaku pembimbing penyusunan referat ini.
Penulis menyadari bahwa referat ini tentu tidak terlepas dari kekurangan karena
keterbatasan waktu, tenaga, dan pengetahuan penulis. Maka sangat diperlukan
masukan dan saran yang membangun. Semoga referat ini dapat memberikan manfaat
bagi kita semua.
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
2.1.2. Epidemiologi
Kejadian kematian mendadak terjadi empat kali lebih sering pada
laki-laki dibandingkan pada perempuan, hal ini seiring dengan
kecenderungan terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah yang
secara umum menyerang laki-laki lebih sering dibanding dengan
perempuan dengan perbandingan 7:1 sebelum menopause, dan menjadi
1:1 setelah perempuan menopause, yang mencapai puncaknya pada usia
45-75 tahun.Di Indonesia, seperti yang dilaporkan Badan Penelitian dan
Pengembangan Departemen Kesehatan RI, persentase kematian akibat
penyakit ini meningkat dari 5,9% (1975) menjadi 9,1% (1981), 16,0%
(1986) dan 19,0% (1995)(Hakim, 2010).
2.2. Etiologi
Berdasarkan penyebab yang mendasarinya, kematian mendadak dapat
diklasifikasikan menurut sistem tubuh, yaitu sistem kardiovaskular, dan
sistemnon kardiovaskular termasuk didalamnya adalah sistem respirasi, sistem
saraf pusat, sistem gastro-intestinal dan sistem urogenital (Idries, 1997).
b. Infark Miokard
Infark dini tampak sebagai daerah yang berwarna merah gelap
atau hemorhagis, sedangkan infark lama tampak kuning padat.
Mikroskopis jaringan memperlihatkan serat otot yang nekrotik
(kehilangan kontraktilitas, menipis, dan memanjang), bergelombang
(Wavy), eosinofilik, granulasi sitoplasma, membran sel mengabur,
perubahan inti, fragmentasi, dan infiltrasi leukosit.
Kelainan ini baru tampak jelas pada usia infark 8-12 jam.
Pemeriksaan histokimia terdapat enzim sitokrom oksidase dan enzim
suksinodehidrogenase dapat melihat infark yang berusia 1-2 jam.
Serabu otot ini kemudian digantikan dengan jaringan ikat pada fase
berikutnya. Jaringan parut tampak pada usia infark 5 minggu hingga 3
bulan.
Infark yang berulang-ulang dapat mengakibatkan
penggumpalan otot jantung dengan jaringan ikat, sehingga dinding
jantung dapat menipis dan mudah rupture.
c. Penyakit Miokard Primer
Sering terjadi tanpa gejala dan ditemukan pada dewasa muda.
Diagnosis kematian hanya dengan pemeriksaan mikroskopis
(miokarditis dan kardiomiopati, yaitu adanya peradangan interstitial
dan/atau parenkim. Pada pemeriksaan mikroskopis tampak edema,
perlemakan, nekrosis, degenerasi otot. Infiltrasi leukosis berinti
jamak dan tunggal, plasmosit dan histiosit tampak jelas.
Miokarditis terjadi pada banyak penyakit seperti difteri dan
infeksi virus, termasuk influenza. Komplikasi, termasuk kematian
mendadak, berhubungan dengan infeksi dapat terjadi beberapa hari
bahkan minggu setelah gejala klinis utama.
a) Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah dilatasi abnormal dan pelebaran permanen
lumen bronkus.Bronkiektasis dapat terjadi pada laki-laki dan
perempuan.Bronkiektasis biasanya dimulai saat anak-anak setelah infeksi
saluran pernafasan bawah berulang sebagai komplikasi campak, bronkitis,
pertusis, influenza, atau pneumonia (Wilson, 2005).
Pelebaran bronkus tersebut dikaitkan dengan adanya perubahan
yang terjadi akibat kerusakan dan proses radang dalam dinding bronkus
berupa kerusakan elemen-elemen elastis, otot-otot polos bronkus, tulang
rawan dan pembuluh-pembuluh darah (Rahmatullah, 2009; Wilson, 2005).
Saluran nafas yang melebar tersebut mengandung sekret yang kental, dan
purulen, sehingga tidak jarang menyumbat saluran nafas perifer.Gambaran
klinis yang timbul berupa batuk kronik disertai produksi sputum serta
adanya hemoptisis.
Pelebaran dinding bronkus diikuti dengan peningkatan dan
pelebaran pembuluh darah. Ulserasi dari dinding ektasis akan
menimbulkan perdarahan ke dalam lumen bronkus yang dapat berakibat
kematian (Wilson, 2005).
b) Abses paru
Abses paru adalah infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada
jaringan paru yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi
nanah dalam parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru lebih
sering terjadi pada laki-laki dibandingkan perempuan, dan umumnya
terjadi pada usia tua dikarenakan terdapat peningkatan insidensi penyakit
periodontal dan prevalensi aspirasi (Rasyid, 2009).
c) Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah keadaan dimana terdapatnya udara didalam
rongga pleura.Pneumotoraks dapat terjadi secara spontan atau
traumatik.Pneumotoraks spontan dibagi menjadi primer dan sekunder,
dimana dikatakan primer jika penyebabnya tidak diketahui dan sekunder
jika terdapat penyakit paru yang melatarbelakangi seperti TB paru,
emfisema, dan bronkitis kronis.Pneumotoraks traumatik dibagi atas
pneumotoraks traumatik iatrogenik dan bukan iatrogenik (Hisyam, 2009).
Pneumotoraks lebih banyak terjadi pada pria daripada wanita
dengan perbandingan 5:1. Pneumotoraks spontan primer banyak dijumpai
pada pria usia 20 sampai 40 tahun yang sebelumnya terlihat
sehat.Pneumotoraks spontan dapat terjadi sebagai penyebab
kematian.Umumnya terjadi karena ruptur dari bulla
emfisema.Pneumotoraks juga dapat terjadi akibat adanya mekanisme
ventil, dimana udara yang masuk tidak dapat keluar lagi dari dalam rongga
pleura. Penderita menderita sesak napas yang berat, tekanan intrapleural
meningkat sangat tinggi, terjadi kolaps paru dan penekanan pada
mediastinum, termasuk jantung, venous return juga terganggu. Akibatnya
selain terjadi gangguan pernapasan juga terjadi gangguan pada sirkulasi
jantung yang berakibat pada kematian (Rahmawati, 2010).
e) Asma bronkial
Kematian mendadak dapat terjadi pada saat serangan asma
bronkial.Asma merupakan penyakit gangguan inflamasi kronis saluran
pernafasan yang dihubungkan dengan hiperresponsif, keterbatasan aliran
udara yang reversibel dan gangguan pernafasan.Sesuatu yang dapat
memicu serangan asma ini sangat bervariasi antar individu.Beberapa
diantaranya adalah alergen, polusi udara, infeksi saluran nafas, keletihan,
perubahan cuaca, makanan, atau obat (Hisyam, 2009).
Aritmia berperan terhadap penyebab kematian terutama pada
dewasa.Aritmia dapat terjadi oleh karena peningkatan hipokalemia dan
terjadinya pemanjangan segmen QT akibat penggunaan ß2 agonis dosis
tinggi.Kematian juga terjadi oleh karena asfiksia yang disebabkan
keterbatasan aliran udara dan menurunnya tekanan parsial oksigen
dialveoli, sehingga oksigen dalam peredaran darah juga menurun
(hipoksemia). Sebaliknya terjadi resistensi karbondioksida, sehingga kadar
karbondioksida dalam peredaran darah meningkat. Hal ini menyebabkan
rangsangan pada pusat pernapasan sehingga terjadi hiperventilasi
(Hisyam, 2009).
Pada otopsi, penderita asma bronkial yang meninggal, didapatkan
perubahan-perubahan sebagai berikut:
(1) Perubahan patologis
(a) Overdistensi dari kedua paru,
(b) Paru tidak kolaps waktu kavum pleura dibuka,
(c) Dalam bronkus sampai bronkus terminalis didapatkan
gumpalan eksudat yang menyerupai gelatin.
(2) Perubahan histopatologis
(a) Hipertrofi otot bronkus,
(b) Edema mukosa bronki,
(c) Kerusakan epitel permukaan mukosa,
(d) Penebalan nyata dari membran basalis,
(e) Infiltrasi eosinofil dalam dinding bronki (McFadden, 2005).
Dengan begitu, kepastian mati mendadak akibat serangan asma
memerlukan pemeriksaan histologi dan biokimia (toksikologi) dengan
baik (McFadden, 2005).
Perdarahan subarakhnoid
Perdarahan ini biasanya sebagai penyebab kematian mendadak tak
terduga. Perdarahan ini mencapai 4,7% dari total kasus yang diotopsi.
Perdarahan ini disebabkan oleh pecahnya aneurisma pada arteri serebral,
lebih sering terjadi pada cabang-cabang sirkulus willisi.
Perdarahan subarachnoid dapat menyebabkan kolaps mendadak
dan kematian yangcepat. Tanda-tanda yang muncul seperti sakit kepala,
kaku kuduk beberapa hari atauminggu sebelum ruptur yang mematikan
tersebut. Bila pada pemeriksaan didapatkanadanya perdarahan
subarakhnoid harus dicari sumber perdarahan, hal ini penting
untukmenentukan penatalaksanaan yang tepat. Pada aoutopsi diagnosis
perdarahansubaraknoid terbukti sendiri.
Pada otopsi ditemukan jendalan darah atau lokal-lokalperdarahan
pada bagian bawah otak dan lokasi aneurisma sering sukar untuk
ditemukan.Multipel aneurisma mungkin terjadi, walaupun tidak umum.
Perdarahan akan berwarnamerah terang pada perdarahan segar; apabila
bertahan beberapa minggu akan berwarnakecoklatan karena hemoglobin
mengalami perubahan. Aneurisma tampak pada 85%kasus perdarahan sub
arakhnoid spontan namun sisanya tidak menunjukkan adanyaaneurisma.
Hal ini mungkin karena destruksi aneurisma kecil ketika ruptur.
Pencarianakan adanya aneurisma kecil pada otopsi mungkin sulit karena
adanya lapisan tebal daribekuan darah yang terjebak antara selaput otak
dan pembuluh darah.
Gambar 1. Perdarahan subaraknoid
Perdarahan intracerebral
Perdarahan intraserebral non traumatik umumnya disebabkan oleh
kerusakan pembuluh darah akibat hipertensi (hipertensi, eklamsia), juga
dikarenakan disfungsi autoregulasi dengan aliran darah otak yang
berlebihan (cedera reperfusi, transformasi hemoragik, paparan dingin),
pecahnya aneurisma atau malformasi arteri-vena, arteriopati, perubahan
hemostasis (trombolisis,antikoagulasi, diatesis hemoragik), nekrosis
hemoragik (tumor, infeksi), atauobstruksi aliran vena (trombosis vena
serebral). Perdarahan intraserebral secara klinis ditandai dengan onset
yang mendadak dan berkembang dengan cepat.
Perdarahan serebral lebih sering ditemui pada laki-laki dibanding
perempuan dan tidak umum terjadi pada umur muda. Perdarahan biasanya
terjadi pada orang ketika aktif dibanding ketikaberistirahat. Hipertensi
sebenarnya sering menyertai keadaan ini dan biasanya hanya ada satu
episode perdarahan yaitu ketika serangan. Perdarahan berulang tidak
umum ditemukan. Penderita biasanya menunjukkan gejala dalam dua
hingga beberapa jam. Pada perdarahan intraserebral otak akan
membengkak secara asimetris, dengan hemisfer yang membengkak
mengandung darah. Perdarahan subarakhnoid dapat atau tidak muncul
pada dasar otak. Pada irisan, jaringan otak yang berdekatan dengan
perdarahan akan membengkak dan edematous. Tidak ada jaringan otak
pada daerah hematom. Irisan mikroskopik menunjukkan sklerotik yang
terhialinisasi pada arteri dan arteriol. Terkadang dapat ditemukan
aneurisma arteriol dan arteri yang dilatasi. Kematian umumnya
disebabkan kompresi dandistorsi otak tengah atau perdarahan ke dalam
sistem ventrikel.
Walaupun kematian pada pecahnya aneurisma atau perdarahan
intraserebral dianggap wajar, namun pada beberapa keadaan tertentu dapat
termasuk dalam pembunuhan, misalnya apabila orang tersebut mengalami
ruptur aneurisma ketika terjadi kekerasan secara fisik, namun yang
menentukan apakah ada aksi kriminal di dalamnya adalah pengadilan,
bukan tenaga medis yang memeriksa.
Intrakranial neoplasma
Tumor pada kepala, pembesarannya terjadi secara perlahan-lahan
sehingga menimbulkan gejala yang tidak khas, tiba-tiba berakibat fatal
akibat penekanan serebral. Jenis yang sering adalah glioma primer,
meningioma pada duramater yang menyebabkan penekanan pada
permukaan otak. Pada otopsi biasanya ditemukan glioma pada kedua
lobus frontal yang menyebabkan penekana yang fatal.
Infeksi sifilis
Sifiis leptomeningtia kronis ditandai dengan infiltrasi sel radang
dalam selaput piaaraknoid yang terlihat jelas dibawah permukaan pons
dan sekitar serkulus wilisi.
Pada kasus kematian yang terjadi seketika atau tidak terduga, khususnya
bila tak ada tanda-tanda penyakit sebelumnya dan kemungkinan sakit sangat
kecil, untuk menentukan penyebabnya hanya ada satu cara yaitu dilakukannya
pemeriksaan otopsi pada jenazah, bila perlu dilengkapi dengan pemeriksaan
tambahan lain seperti pemeriksaan toksikologi.
Adapun kepentingan otopsi antara lain:
1. Untuk keluarga korban, dpat menjelaskan sebab kematian
2. Untuk kepentingan umum, melindungi yang lain agar terhindar dan
penyebab kematian yang sama
Penentukan kasus kematian adalah berdasarkan proses interpretasi yang
meliputi:
1. Perubahan patologi anatomi, bakteriologi dan kimia
2. Pemilihan lesi yang fatal pada korban
Pada kasus kematian mendadak yang sering kita hadapi, tindakan yang mampu
dilakukan adalah:
1. Semua keterangan tentang almarhum dikumpukan baik dari keluarga,
teman, polisi atau saksi yang meliputi: usia, penyakit yang pernah
diderita, pernah berobat dimana, hasil pemeriksaan laboratorium, tingkah
laku yang aneh dll.
2. Keadaan korban dan sekitar korban saat ditemukan, pakaian yang
ditemukan, tanda-tanda kekerasan dan luka, posisi tubuh, temperatur,
lebam mayat, kaku mayat, situasi TKP rapi atau berantakan, adanya
barang-barang yang mencurigakan.
3. Keadaan korban sebelum meninggal
4. Bila sebab kematian tidak pasti, sarankan keluarga untuk melapor
kepolisi, jika polisi tidak meminta VER dapat diberikan surat kematian
5. Dalam mengisi formulir B, pada sebab kematian bila tidak diketahui
sebab kematian ditulis tidak diketahui atau mati mendadak
6. Bila dilakukan pemeriksaan dalam, buat preparat histopatologi bagian
organ organ tertentu diperiksa dan pemeriksaan toksikologi
7. Sebaiknya jangan mendatangani surat kematian tanpa memeriksa korban,
dan jangan menyentuh apapun terutama yang dipakai sebagai barang
bukti
Dari hasil pemeriksaan kemungkinan:
1. Korban meninggal secara wajar dan sebab kematian yang jelas maka
diberi surat kematian dan dikuburkan
2. Sebab kematian tidak jelas, keluarga/dokter lapor kepolisi, kemudian
polisi minta VER, setelah SPVR dateng maka korban diotopsi untuk
menentukan sebab kematian korban
3. Korban meinggal secara tidak wajar, maka keluarga/dokter lapor kepolisi
4. Korban diduga meninggal secara wajar tetapi juga ditemukan tanda
kekerasan maka keluarga/dokter lapor kepolisi.
BAB III
KESIMPULAN
mencapai 60-70%.
Amin, Z., 2009. Kanker Paru. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
V. Jakarta: FKUI, 2254.
Bagian Kedokteran Forensik FKUI.1997.Ilmu Kedokteran Forensik.FKUI. Jakarta.
Budiyanto. A, Widiatmika.W,. 1997. Ilmu Kedokteran Forensik dan
medikolegal. Jakarta. Bagian Kedokteran Forensik Universitas Indonesia
Gray HH, Dawkins KD, Morgan JM, SimpsonIA. 2005. Lecture Notes : Kardiologi.
Edisievisi Keempat. Jakarta :Erlangga Medical
Hakim, F.A., 2010. Aspek Medikolegal Kematian Mendadak Akibat Penyakit
(Natural Sudden Death), Fakultas Kedokteran UNJANI: Research and
learning Unit. Available from:
http://rludifkunjani.wordpress.com/2010/11/17/aspekmedikolegalke matian-
mendadak-akibat-penyakit-natural-sudden-death/ [diakses 2 september 2018].
Hisyam, B., Budiono, E., 2009. Pneumotoraks Spontan. Dalam: Sudoyo, A.W.,
Setiyohadi, B., Alwi, I., Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jilid III. Edisi V. Jakarta: FKUI, 2339.
Idries, A.M., 1997. Pedoman Ilmu Kedokteran Forensik Edisi 1. Jakarta: Binarupa
Aksara, 210-213.
James, Jason Payne et.al,. 2011. Simpson’s Forensic Medicine 13th Edition. London:
Hodder Arnold.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 2014. Kematian mendadak. Available
at: http://www.depkes.go.id/article/view/201410080002/lingkungan-
sehatjantung-sehat.html. [diakses tanggal 1 September 2018].
Kusuma SE dan Yudianto A. 2010. Forensik Molekuler,dalam Buku Ajar Ilmu
Kedokteran Forensikdan Medikolegal, edisi keenam, Ed. Hariadi
A,Hoediyanto. Departemen Ilmu Kedokteran Forensikdan Medikolegal
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya.
McFadden, E.R., 2005. Asthma. In: Harrison, (et al). Harrison Principle of Internal
Medicine, 16th ed. USA: McGraw-Hill, 1511.
Nandy, A., 2001. Principles of forensic medicine. Calcutta: New Central Book
Agency, 136.
Price, S.A., Standridge, M.P., 2005. Tuberkulosis paru. . Dalam: Price S.A., Wilson,
L.M., Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit, 6th ed. Volume
1.Jakarta: EGC, 852-861.
Rahmatullah, P., 2009. Bronkiektasis. Dalam: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
V. Jakarta: FKUI, 2297-2299.
Rahmawati, M.L.A., 2010. Hubungan Antara Usia Dengan Prevalensi Dugaan Mati
Mendadak. Surakarta : Fakultas Kedokteran Sebelas Maret. Available from:
http://eprints.uns.ac.id/139/1/166920309201009341.pdf [diakses 2 september
2018].
Rasyid, A., 2009. Abses Paru. In: Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi, I.,
Simadibrata, M., Setiati, S., Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid III. Edisi
V. Jakarta: FKUI, 2323.
Republik Indonesia. Undang-Undang No. 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan Pasal
117.
Singh S. Kematian Mendadak. Kedokteran forensik FK USU. Medan. 2013.
Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/38686/5/Chapter%20I.pdf.
[diakses tanggal 1 September 2018].
Wilson, L.M., 2005. Pola Obstruktif Pada Penyakit Pernafasan. Dalam: Price S.A.,
Wilson, L.M., Patofisiologi: konsep klinis proses-proses penyakit. Volume
2.Edisi 6. Jakarta: EGC, 291.