2014
A PB D
LAPORAN ANALISIS
REALISASI APBD
TAHUN ANGGARAN 2013
1
LAPORAN ANALISIS
REALISASI APBD
TAHUN ANGGARAN 2013
KATA PENGANTAR
Sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah pada tahun 2001,
porsi dana APBN yang telah dialokasikan ke daerah dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Alokasi dana yang besar tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kinerja daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Tantangan utama yang dihadapi
daerah dalam melaksanakan tugas tersebut adalah bagaimana memanfaatkan
sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk menghasilkan pelayanan publik
yang optimal.
Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,
pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola dana
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam jumlah yang
sangat besar. Pengelolaan APBD harus mengacu pada upaya pencapaian
visi dan misi daerah yang sesuai dengan prioritas nasional, dimana sumber-
sumber pendapatan APBD harus dibelanjakan sesuai dengan prioritas kebijakan
dan target yang akan dicapai sesuai sumber daya yang tersedia baik yang
didapatkan melalui skema transfer maupun perpajakan daerah. Kemampuan
daerah dalam mengelola APBD mencerminkan kemampuan pemerintah daerah
dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan sosial masyarakat.
Keterbukaan informasi publik yang didukung oleh semakin kritisnya
masyarakat, menuntut pemerintah daerah untuk mampu mengelola keuangan
daerah dengan semakin baik, yaitu dengan semakin meningkatkan porsi alokasi
belanja modal dan belanja barang dan jasa untuk pemeliharaan infrastruktur
pada struktur APBD dengan memprioritaskan pada ketersediaan sarana dan
prasarana pelayanan publik, serta semakin tingginya realisasi penyerapan APBD
guna mendorong peningkatan perekonomian daerah.
Di samping itu, pengelolaan keuangan daerah, harus dilakukan secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, transparan,
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan.
Adijanto
KATA PENGANTAR.................................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL....................................................................................................... vi
DAFTAR GRAFIK................................................................................................... vii
RINGKASAN EKSEKUTIF....................................................................................... xi
BAB I GAMBARAN UMUM REALISASI APBD.....................................................1
1.1. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 secara Nasional.....................4
1.2. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Provinsi..................................8
1.3. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Kabupaten/Kota...................10
1.4. Gambaran Umum Realisasi APBD Tahun 2009-2013..........................12
BAB II REALISASI PENDAPATAN DAERAH....................................................... 15
2.1. Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Daerah...............16
2.2. Komposisi Pendapatan Daerah...........................................................19
2.3. Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional ......................................22
2.4. Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah.....................24
BAB III REALISASI BELANJA DAERAH............................................................... 29
3.1. Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah................29
3.2. Komposisi Realisasi Belanja Daerah ...................................................33
3.3. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional..................................37
3.4. Realisasi Belanja Daerah Per Kapita....................................................40
3.5. Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita.........................................41
BAB IV REALISASI SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH............... 43
4.1. Surplus/Defisit......................................................................................43
4.2. Pembiayaan Daerah.............................................................................47
4.3. SiLPA....................................................................................................50
4.4. Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah............................54
BAB V IMPLIKASI REALISASI APBD TA 2013 TERHADAP
PEREKONOMIAN DAERAH..................................................................... 57
UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................................... 65
Daftar Isi v
Daftar TABEL
Grafik 1.1 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD secara nasional Tahun
Anggaran 2013................................................................................5
Grafik 1.2 Pelampauan Pendapatan APBD......................................................7
Grafik 1.3 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Provinsi Tahun
Anggaran 2013................................................................................9
Grafik 1.4 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota
Tahun Anggaran 2013....................................................................10
Grafik 1.5 Tren Realisasi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan
APBD Konsolidasi Nasional Tahun 2009 - 2013............................12
Grafik 1.6 Realisasi Surplus/Defisit APBD Konsolidasi Nasional Tahun
2009 – 2013...................................................................................13
Grafik 2.1 Perbandingan Anggaran - Realisasi Pendapatan Nasional
TA 2013.........................................................................................17
Grafik.2.2 Komposisi Pendapatan Daerah 2013 Secara Nasional dan
Provinsi..........................................................................................20
Grafik.2.3 Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah 2013 Agregat
Kabupaten/Kota............................................................................21
Grafik 2.4 Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA 2009-2013.................22
Grafik 2.5 Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional Perjenis
Pendapatan TA 2009-2013............................................................23
Grafik 2.6 Perkembangan Jumlah Daerah yang Mengelola BPHTB dan
PPB-P2 2009-2013........................................................................25
Grafik 2.7 Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Secara Nasional TA 2009-2013.....................................................26
Grafik 2.8 Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Agregat Kabupaten/Kota TA 2009-2013........................................27
Daftar Grafik ix
x ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
RINGKASAN
EKSEKUTIF
Ringkasan Eksekutif xi
• Realisasi Belanja Pegawai atau yang biasa disebut sebagai “Gaji PNS” tidak
terealisasi sesuai dengan anggaran dimana Belanja Pegawai terealisasi
sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar
Rp296,82 triliun). Realisasi belanja modal yang merupakan variabel penting
dalam penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana untuk layanan publik
hanya mencapai 92,76% dari anggaran induk (realisasi Rp163,07 triliun
sedangkan pagu anggaran sebesar Rp175,81 triliun), atau masih kurang
Rp12,73 triliun dari anggaran. Padahal seharusnya dengan peningkatan
alokasi pendapatan transfer dari Pusat (yang informasinya baru didapat
pada saat tahun anggaran 2013 berjalan), maka anggaran belanja juga
harus segera menyesuaikan sehingga pendapatan daerah bisa semaksimal
mungkin teralokasikan untuk belanja yang langsung berdampak pada
peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik.
• Rata-rata realisasi belanja daerah per kapita adalah sebesar Rp4.321.913,00.
Realisasi belanja daerah per kapita per provinsi memperlihatkan bahwa
belanja daerah per kapita paling besar terjadi pada provinsi yang berada
di wilayah timur Indonesia. Hal ini disebabkan oleh besarnya dana transfer
pusat yang diberikan pada provinsi tersebut dan jumlah penduduk pada
provinsi tersebut sedikit. Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi
Papua Barat yaitu sebesar Rp15.412.544,00, sedangkan belanja daerah per
kapita di beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal ini
disebabkan karena provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang
besar. Provinsi dengan belanja per kapita terkecil adalah Provinsi Jawa Barat
yaitu sebesar Rp1.514.208,00.
• Tren realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami peningkatan baik
menurut harga yang berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga
yang berlaku, realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami kenaikan
pada tahun 2011, yaitu sebesar 14,95% (Rp14,06 triliun) dan pada tahun
2012 kembali meningkat sebesar 21,09% (Rp22,80 triliun). Pada tahun 2013
realisasi Belanja Modal kembali mengalami peningkatan sebesar 24,55%
(Rp32,15). Sementara itu berdasarkan harga konstan, Belanja Modal juga
mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 7,52% (Rp2,58 triliun),
dan pada tahun 2011 Belanja Modal kembali meningkat sebesar 15,87%
Tabel 1.2
Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013
Persentase
Mata Anggaran Nasional Kabupaten/
(Konsolidasi)
Provinsi
Kota
Sumber: DJPK
Sumber: DJPK(data
(datadiolah)
diolah)
Realisasi APBD
Realisasi APBD Tahun
TahunAnggaran
Anggaran 2013 2013 memperlihatkan
memperlihatkan bahwa
bahwa realisasi realisasi
pendapatan
pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara
lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara realisasi belanja daerah lebih
realisasi
rendah belanja daerah
dibandingkan lebih rendah
anggarannya. Selisih dibandingkan anggarannya.
negatif realisasi belanja Selisihdengan
daerah ditambah negatif
realisasi belanja daerah ditambah dengan selisih positif realisasi pendapatannya
selisih positif realisasi pendapatannya mengakibatkan terjadi surplus di akhir tahun.
mengakibatkan
Terjadinya surplus terjadi
dalamsurplus
realisasi di
APBDakhirtahun
tahun.
2013Terjadinya
ternyata lebihsurplus
banyakdalam
didorong realisasi
oleh
APBD tahun 2013 ternyata lebih banyak didorong oleh terjadinya pelampauan
terjadinya pelampauan pendapatan, di mana pelampauan realisasi pendapatan 107,15% dari
sementara
pendapatanrealisasi
lebih tinggibelanja
Rp46,7397,47% darirealisasi
triliun dan anggaran.
belanja Pada
daerahtahun 2013,Rp17,94
lebih rendah realisasi
pendapatan lebih tinggi Rp46,72 triliun dan realisasi belanja daerah lebih rendah
triliun dari anggarannya.
Rp17,94 Padatriliuntahun
dari 2013,
anggarannya.
faktor yang paling dominan dalam mendorong pelampauan
perkiraan pendapatan daerah adalah pada Pos Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah di
Pada tahun 2013, faktor yang paling dominan dalam mendorong pelampauan
mana sekitar 42,05% dari total pelampauan pendapatan berasal dari Lain-lain Pendapatan
perkiraan pendapatan daerah adalah pada Pos Lain-lain Pendapatan Daerah
Daerah Yang Sah, diikuti oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 37,51% dari total
yang Sah di mana sekitar 42,05% dari total pelampauan pendapatan berasal
pelampauan pendapatan, dan kemudian Pelampauan dari Dana Perimbangan sebesar 20,44%.
dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, diikuti oleh Pendapatan Asli Daerah
Hal ini ditengarai oleh karena ada beberapa pos dalam Lain-lain Pendapatan Daerah Yang
(PAD) sebesar 37,51% dari total pelampauan pendapatan, dan kemudian
11 | P a g e
Grafik 1.2
(PBB) sektor perkotaan dan pedesaan.
Pelampauan Pendapatan
Grafik 1.2 APBD
Pelampauan Pendapatan APBD
Grafik
Grafik 1.3
1.3
Perbandingan APBD
Perbandingan dan
APBD Realisasi
dan Realisasi APBD ProvinsiTahun
APBD Provinsi TahunAnggaran
Anggaran 2013
2013
Grafik
Grafik 1.5
1.5
Tren
Tren Realisasi Realisasi Pendapatan,
Pendapatan, Belanja dan
Belanja dan Pembiayaan Pembiayaan
APBD Konsolidasi Nasional
APBD Konsolidasi Nasional Tahun
Tahun 2009 - 2013 2009 - 2013
Pelampauan
Pelampauanrealisasi terhadap
realisasi terhadap anggaran
anggaran terjaditerjadi pada masing-masing
pada masing-masing komponen
komponen
pendapatan. pendapatan. Pelampauan
Pelampauan pendapatan daerahpendapatan
yang terbesardaerah yang2013
pada tahun terbesar
berasal pada
dari
tahun 2013 berasal dari komponen Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu sebesar
20 | P a g e
Rp19.65 triliun atau terealisasi sebesar 124,57% (pagu anggaran Rp79,97 triliun
sedangkan realisasinya Rp99,62 triliun), diikuti oleh pelampauan PAD Rp17,527
triliun atau terealisasi sebesar 112,49% (pagu anggaran Rp140,328 triliun
sedangkan realisasi Rp157,856 triliun), dan pelampauan Dana Perimbangan
Rp9,55 triliun atau terealisasi sebesar 102,2% (pagu anggaran Rp433,21 triliun
sedangkan realisasi Rp442,76 triliun).
Sejak tahun 2012, Pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah merupakan pos dengan
selisih realisasi terbesar secara persentase. Pelampauan komponen Lain-lain
Pendapatan Yang Sah didominasi oleh pos Dana Penyesuaian yang mencapai
Rp12,877 triliun (17,94% dari anggaran). Hal ini disebabkan karena informasi
mengenai alokasi Tunjangan Profesi Guru baru diketahui oleh pemerintah daerah
pada bulan Februari 2013. Pos lain yang tingkat pelampauannya cukup tinggi
yaitu pos Lain-Lain dengan kenaikan sebesar Rp8,276 triliun (realisasi hingga
sebesar 4 kali anggarannya). Penerimaan Dana Darurat yang semula tidak
dianggarkan, terjadi realisasi sebesar Rp185,23 miliar. Sementara itu, penerimaan
Grafik.2.2
Grafik.2.2
Komposisi Pendapatan
Komposisi PendapatanDaerah 2013Secara
Daerah 2013 Secara Nasional
Nasional dandan Provinsi
Provinsi
(dalam triliun Rupiah dan persentase)
(dalam triliun Rupiah dan persentase)
Secara
yang agregat
mencapai nasional,
Rp442,76 pendapatan
triliun atau daerah
63,23% dari total didominasi
pendapatan. oleh
Tertinggi posadalah
kedua Dana
Perimbangan yangRp157,86
PAD yang mencapai mencapai Rp442,76
triliun triliun
atau 22,54% dariatau
total63,23% daridan
pendapatan total pendapatan.
kemudian Lain-
Tertinggi kedua adalah PAD yang mencapai Rp157,86 triliun atau 22,54%Nilai
Lain Pendapatan Yang Sah yaitu Rp99,62 triliun atau 14,23% dari total pendapatan. dari
total pendapatan
Lain-Lain Pendapatan danYangkemudian
Sah untukLain-Lain Pendapatan
agregat nasional Yang
merupakan Sah
nilai yaitu
hasil Rp99,62
konsolidasi
triliun
setelahatau 14,23%
dikurangi dari total
pendapatan pendapatan.
Transfer Nilai Lain-Lain
dari Pemerintah Pendapatan
Provinsi atau PemerintahYang Sah
Daerah
untuk
Lainnyaagregat nasional
sebesar Rp26,7 merupakan nilai hasil konsolidasi setelah dikurangi
triliun.
pendapatan
BerbedaTransfer dari Pemerintah
dengan nasional, Provinsi atau
komposisi pendapatan untukPemerintah
provinsi yangDaerah
terbesar Lainnya
berasal
sebesar Rp26,7 triliun.
dari PAD yaitu sebesar 49,25%, meningkat apabila dibandingkan realisasi tahun 2012.
Berbeda
Proporsi dengan
PAD pada tingkatnasional, komposisi
provinsi cukup signifikanpendapatan untuk
karena basis pajak provinsi
provinsi yang
yang cukup
terbesar berasal
besar sehingga dari PAD
penerimaan yaitu
dari pajaksebesar 49,25%, meningkat
daerah memberikan apabila
kontribusi yang besardibandingkan
bagi APBD.
realisasi tahunPerimbangan
Proporsi Dana 2012. Proporsi PAD pada
yang diterima olehtingkat
provinsiprovinsi cukup31,34%,
hanya sebesar signifikan karena
sedangkan
basis pajak provinsi yang cukup besar sehingga penerimaan dari pajak 23 | Pdaerah
age
memberikan kontribusi yang besar bagi APBD. Proporsi Dana Perimbangan yang
diterima oleh provinsi hanya sebesar 31,34%, sedangkan Lain-Lain Pendapatan
Yang Sah hanya memberikan kontribusi sebesar 19,41% yang masih didominasi
oleh penerimaan transfer Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus.
24 | P a g e
2.3. Tren
2.3. Realisasi
Tren Realisasi PendapatanPendapatan
Daerah Nasional Daerah Nasional
Tren realisasi
Tren realisasipendapatan daerah
pendapatan daerah nasional
nasional dapat dapat
dilihat dilihat pada2.4.
pada Grafik Grafik 2.4.
Grafik
Grafik tersebut
tersebut menunjukkan
menunjukkan pola realisasipola realisasi
pendapatan pendapatan
daerah dari tahun daerah dari
2009-2013 tahun 2009-
menggunakan
2013pendekatan
dua menggunakan
yang dua pendekatan
berbeda. yang
Pendekatan berbeda.
dengan harga Pendekatan dengan
konstan tahun 2000 harga
dan
konstan tahun 2000
memperhitungkan faktor dan memperhitungkan
perubah faktor
harga seperti inflasi pada perubah
tahun 2009harga seperti
- 2013, inflasi
sedangkan
pada tahun
pendekatan 2009harga
dengan - 2013, sedangkan
berlaku pendekatanfaktor
tidak memperhitungkan dengan harga
perubah hargaberlaku tidak
pada tahun
memperhitungkan
2009 - 2013. faktor perubah harga pada tahun 2009 - 2013.
Grafik2.4
Grafik 2.4
Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA 2009-2013
Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA 2009-2013
800,00
700,00
600,00
500,00
400,00
300,00 Pendapatan
200,00 PAD
100,00
0,00
2009 2010 2011 2012 2013
Pendapatan 378,20 433,60 527,73 624,50 700,24
PAD 67,57 81,15 109,24 131,81 157,86
25 | P a g e
pada tahun 2011. Jika tahun 2009 realisasi pendapatan berada pada kisaran
Rp378,20 triliun, maka pada tahun 2013 realisasi pendapatan hampir mencapai
dua kali lipatnya, yaitu Rp700,24 triliun. Adapun dengan pendekatan harga
konstan menunjukkan pola peningkatan serupa dengan rentang nilai realisasi
antara Rp149,82 triliun hingga Rp219,41 triliun.
Grafik 2.5
Grafik 2.5
TrenTren
Realisasi Pendapatan
Realisasi PendapatanDaerah NasionalPerjenis
Daerah Nasional Perjenis Pendapatan
Pendapatan TA 2009-2013
TA 2009-2013
Triliun Rupiah Triliun Rupiah
Tren peningkatan
pendekatan juga
harga berlaku. terlihatpeningkatan
Walaupun untuk realisasi jenis
terbesar padapendapatan PAD
tahun 2010 ke dengan
2011 yaitu
pendekatan
sebesar 34,6% harga berlaku.
atau sebesar Walaupun
Rp28,09 peningkatan
triliun, peningkatan terbesar
yang terjadi pada2012
dari tahun tahun 2010
ke tahun
ke
20132011
juga yaitu
cukup sebesar 34,6%
besar, yaitu atau
Rp26,04 sebesar
triliun. Rp28,09
Sementara triliun, peningkatan
itu berdasarkan yang
harga konstan, jenis
terjadi dariPAD
pendapatan tahun 2012
juga ke tahun
mengalami 2013 juga
peningkatan cukup
di tahun 2013besar,
sebesaryaitu Rp26,04
14,73% triliun.
atau Rp6,35
Sementara
triliun. itu berdasarkan harga konstan, jenis pendapatan PAD juga mengalami
peningkatan di tahun
Tren realisasi 2013
Dana sebesar secara
Perimbangan 14,73% atau Rp6,35
nasional triliun. kenaikan baik
juga mengalami
berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga berlaku, realisasi Dana
Tren realisasi Dana Perimbangan secara nasional juga mengalami kenaikan
Perimbangan mengalami kenaikan sejak tahun 2009 hingga 2013, dari sebesar Rp281,29
baik berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga
triliun menjadi Rp442,76 triliun. Jika dibandingkan kenaikan di tahun 2012 sebesar 17,64%
berlaku, realisasi Dana Perimbangan mengalami kenaikan sejak tahun 2009
(Rp60,83 triliun), kenaikan di tahun 2013 tidak terlalu signifikan, hanya sebesar 9,14%
hingga 2013, dari sebesar Rp281,29 triliun menjadi Rp442,76 triliun. Jika
(Rp37,07 triliun). Menurut harga konstan, Dana Perimbangan juga mengalami kenaikan
dibandingkan kenaikan di tahun 2012 sebesar 17,64% (Rp60,83 triliun), kenaikan
dimeskipun
tahun secara
2013 persentase jauh lebih rendah dari harga berlaku. Tahun 2012 naik sebesar
tidak terlalu signifikan, hanya sebesar 9,14% (Rp37,07 triliun).
12,57% (Rp14,82 triliun) dan pada tahun 2013 naik sebesar 4,56% (Rp6,05 triliun).
Tidak berbeda dengan PAD dan Dana Perimbangan, tren Lain-lain Pendapatan yang
Babharga
Sah juga mengalami peningkatan baik dalam II Realisasi
berlakuPendapatan konstan. 23
Daerah
maupun harga
Peningkatan harga berlaku di tahun 2012 sebesar 18,16% (Rp13,37 triliun) dan di tahun 2013
sebesar 14,52% (Rp12,63 triliun), sedangkan berdasarkan harga konstan peningkatannya
Menurut harga konstan, Dana Perimbangan juga mengalami kenaikan meskipun
secara persentase jauh lebih rendah dari harga berlaku. Tahun 2012 naik sebesar
12,57% (Rp14,82 triliun) dan pada tahun 2013 naik sebesar 4,56% (Rp6,05 triliun).
Tidak berbeda dengan PAD dan Dana Perimbangan, tren Lain-lain Pendapatan
yang Sah juga mengalami peningkatan baik dalam harga berlaku maupun
harga konstan. Peningkatan harga berlaku di tahun 2012 sebesar 18,16%
(Rp13,37 triliun) dan di tahun 2013 sebesar 14,52% (Rp12,63 triliun), sedangkan
berdasarkan harga konstan peningkatannya pada tahun 2012 sebesar 13,07%
(Rp3,29 triliun) dan pada tahun 2013 sebesar 9,72% (Rp2,76 triliun).
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan daerah
baik secara keseluruhan maupun per jenis pendapatan mengalami kenaikan.
Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan realisasi pendapatan secara riil
dari tahun 2009 hingga 2013.
Grafik 2.6
Grafik 2.6
Perkembangan
Perkembangan Jumlah Daerah
Jumlah Daerah
yang Mengelola
yang MengelolaBPHTB
BPHTB dan dan
PPB-P2 2009-2013
PPB-P2 2009-2013
500
400
300
200 BPHTB
100 PBB-P2
-
2011 2012 2013
BPHTB 297 407 442
PBB-P2 8 29 129
14,00% 12,95%
11,93%
12,00%
10,00%
Rasio Anggaran
8,00% 14,81% 15,69%
11,68% 12,34% 13,84% Rasio Realisasi
6,00%
4,00%
2,00%
0,00%
2009 2010 2011 2012 2013
5,00% 4,80%
4,05%
4,00%
0,00%
2009 2010 2011 2012 2013
PadaPadaGrafik 2.82.8
Grafik tampak
tampakbahwa rasiopajak
bahwa rasio pajak tahun
tahun 20092009 dan berdasarkan
dan 2010 2010 berdasarkan
realisasi
realisasi relatif
relatif stabil padastabil
kisaranpada2,5%.kisaran
Namun, 2,5%.
setelah Namun,
itu, terlihatsetelah
adanya itu, terlihattren
peningkatan adanya
dari
peningkatan tren dari rasio dimaksud. Pada tahun 2013, rasio pajak
rasio dimaksud. Pada tahun 2013, rasio pajak mencapai lebih dari dua kali lipat dari rasio mencapai
lebih
pajak dari
padadua
tahunkali lipatHaldari
2010. ini rasio pajak pengaruh
menunjukan pada tahun BPHTB 2010. Halsignifikan
cukup ini menunjukan
terhadap
pengaruh BPHTB cukup
penerimaan pajak kabupaten/kota. signifikan terhadap penerimaan pajak kabupaten/kota.
29 | P a g e
45,00%
100.000
40,00%
35,00%
80.000
30,00%
60.000 25,00%
20,00%
40.000
15,00%
10,00%
20.000
5,00%
- 0,00%
2010 2011 2012 2013
Anggaran Pajak Daerah Realisasi Pajak Daerah Anggaran PBB-P2 Realisasi PBB-P2
Anggaran BPHTB Realisasi BPHTB Anggaran PBB-P2 dan BPHTB Realisasi PBB-P2 dan BPHTB
30 | P a g e
28 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
BAB III
REALISASI BEL ANJA DAERAH
di daerah.
dengan kebijakan belanja daerah. Realisasi belanja daerah merupakan realisasi penyerapan
belanja daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh
program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan
3.1. Perbandingan
publik di daerah. Anggaran dengan Realisasi
Belanja
3.1. Perbandingan Daerah
Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah
Grafik 3.1
Grafik 3.1
Perbandingan Anggaran dengan Realisasi
Perbandingan Anggaran dengan
Belanja Daerah Realisasi
APBD Tahun Belanja
Daerah APBD
Anggaran 2013
(dalam miliar rupiah)
Tahun Anggaran 2013 (dalam miliar rupiah)
31 | P a g e
Secara nominal, realisasi belanja daerah secara nasional tahun 2013 adalah
Rp689,95 triliun, masih lebih kecil jika dibandingkan dengan pagu anggaran
sebesar Rp707,89 triliun atau secara persentase realisasi belanja daerah
mencapai 97,47%. Komponen belanja yang memiliki tingkat penyerapan di
atas 100% adalah Belanja Lainnya yaitu sebesar 108,46% dengan nilai sebesar
Rp94,46 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya sebesar Rp87,09
triliun.
Komponen belanja dengan tingkat penyerapan masih di bawah 100% meliputi
Belanja Pegawai yaitu sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun dengan pagu
anggaran Rp296,82 triliun), Belanja Barang dan Jasa yaitu sebesar 97,61%
(realisasi Rp144,63 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp148,17 triliun),
dan Belanja Modal sebesar 92,76% (realisasi Rp163,07 triliun sedangkan pagu
anggaran sebesar Rp175,81 triliun).
Pengelolaan keuangan daerah yang baik tidak hanya dilihat dari tingkat
realisasi belanjanya semata. Apabila kita hanya melihat realisasi belanja yang
lebih tinggi daripada anggaran induknya, hal ini bisa menjadi sangat bias
karena seolah-olah penyerapan belanja APBD-nya sangat baik padahal tidak
sepenuhnya seperti itu. Pada tahun 2013 telah terjadi perubahan yang cukup
signifikan terhadap APBD pada saat tahun anggaran sedang berjalan, terutama
dari sisi pendapatan APBD, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
maupun Dana Perimbangan.
Dalam proses pembahasan APBD, penetapan angka pendapatan APBD sangat
tergantung kepada informasi transfer dari Pusat. Kondisi yang terjadi pada saat
penetapan APBD tahun 2013 adalah hanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) saja yang informasinya benar-benar sesuai dengan jadwal
tenggat waktu penetapan APBD di mana besaran alokasi DAU dan DAK sudah
terinformasikan ke daerah pada minggu pertama November sebelum tahun
anggaran yang baru. Sedangkan transfer DBH baru dapat terinformasikan pada
bulan Desember sebelum tahun anggaran yang baru atau bahkan setelah tahun
anggaran telah berjalan yaitu sekitar Januari sampai dengan Maret. Dengan
demikian besaran alokasi dana perimbangan per daerah setiap tahunnya belum
sepenuhnya ada kepastian, apakah daerah tersebut mendapatkan alokasi dana
Selain itu pada Belanja Lainnya di APBD provinsi, realisasi Belanja Hibah
mencapai 17,49% (Rp35,48 triliun) dan Belanja Bagi Hasil kepada Kabupaten
dan Kota realisasinya sebesar 13,41% (Rp27,19 triliun), serta realisasi Bantuan
Sosial sebesar 1,49% (Rp3,02 triliun). Terkait dengan pos Belanja Hibah dan
Belanja Bantuan Sosial, patut dicermati karena belanja ini sering menjadi isu
yang panas dan banyak diperbincangkan di kalangan masyarakat mendekati
tahun politik 2014.
tahun lalu sebesar 17,99% dan Belanja Lainnya sebesar 7,63% lebih tinggi
18,82% lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 17,99% dan Belanja Lainnya
dibanding
sebesar 7,63%realisasi tahun
lebih tinggi lalu sebesar
dibanding realisasi 7,25%.
tahun lalu sebesar 7,25%.
Realisasi ini cukup menunjukkan ke arah yang membaik karena pada level
Realisasi ini cukup menunjukkan ke arah yang membaik karena pada level
kabupaten/kota, persentase realisasi Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa memiliki
kabupaten/kota, persentase realisasi Belanja Modal dan Belanja Barang dan
Jasa memilikisedangkan
tren meningkat tren meningkat sedangkan
realisasi Belanja Pegawairealisasi Belanja
memiliki tren Pegawai memiliki
menurun.
tren menurun.
3.3. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional
Untuk mengetahui tren realisasi Belanja daerah dilakukan melalui dua pendekatan,
yaitu pendekatan dengan menggunakan harga belanja daerah berlaku dan menggunakan harga
konstan. Harga konstan digunakan untuk melihat apakah nilai yang tertuang dalam APBD
36 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
memang secara riil mengalami kenaikan atau penurunan.
38 | P a g e
3.3. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara
Nasional
Untuk mengetahui tren realisasi Belanja daerah dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan dengan menggunakan harga belanja daerah
berlaku dan menggunakan harga konstan. Harga konstan digunakan untuk
melihat apakah nilai yang tertuang dalam APBD memang secara riil mengalami
kenaikan atau penurunan.
Grafik 3.5 menunjukkan tren realisasi belanja dengan menggunakan harga berlaku
Grafik
yang tidak3.5 menunjukkan
memperhitungkan trenperubah
faktor realisasi
hargabelanja dengan
pada tahun menggunakan
2010-2013, harga
sedangkan Grafik
berlaku yang tidak
3.6 menggunakan memperhitungkan
perhitungan dengan hargafaktor perubah
konstan harga
berdasarkan pada
angka GDPtahun 2010-
deflator
2013,
dengansedangkan Grafik
tahun dasar 2000. 3.6konstan
Harga menggunakan perhitungan
memperhitungan dengan
faktor perubah hargainflasi
harga seperti konstan
berdasarkan angka GDP deflator dengan tahun dasar 2000. Harga konstan
pada tahun 2010-2013.
memperhitungan faktor perubah harga seperti inflasi pada tahun 2010-2013.
Grafik3.5
Grafik 3.5
Tren Realisasi Belanja daerah Nasional
Tren Realisasi Belanja daerah Nasional
(harga berlaku)
(harga berlaku)
Sumber
Sumber :: DJPK danBPS
DJPK dan BPS(data
(data diolah)
diolah)
meningkat sebesar 13,65% (Rp14,45 triliun). Pada tahun 2013, realisasi Belanja
40 | P a g e
3.4. Realisasi
3.4. Realisasi BelanjaBelanja Daerah Per Kapita
Daerah Per Kapita
Grafik 3.7
Grafik
Realisasi Belanja 3.7 Per Kapita
Daerah
Realisasi Belanja Daerah Per Kapita2013
Tahun Anggaran Tahun Anggaran 2013
(dalam rupiah)
(dalam rupiah)
Sumber :: DJPK
Sumber DJPK (data
(datadiolah)
diolah)
kapita
kapita per provinsi
adalah sebesarmemperlihatkan
Rp4.321.913,00. bahwa
Realisasibelanja
belanjadaerah
daerah per
per kapita paling
kapita per besar
provinsi
Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar
40 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
Rp15.412.544,00, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua, dengan
belanja per kapita masing-masing sebesar Rp11.135.027,00 dan Rp9.519.129,00. Sedangkan
belanja daerah per kapita di beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal
oleh besarnya dana transfer pusat yang diberikan pada provinsi tersebut dan
jumlah penduduk pada provinsi tersebut sedikit.
Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar
Rp15.412.544,00, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua,
dengan belanja per kapita masing-masing sebesar Rp11.135.027,00 dan
Rp9.519.129,00. Sedangkan belanja daerah per kapita di beberapa provinsi
di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal ini disebabkan karena provinsi di
Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar. Provinsi dengan belanja
per kapita
diikuti olehterkecil
Provinsiadalah
BantenProvinsi Jawa Barat
dan Provinsi Jawa yaitu sebesarRp1.514.208,00,
Tengah, masing-masing sebesar
diikuti oleh Provinsi
Rp1.605.161,00 Banten dan Provinsi Jawa Tengah, masing-masing sebesar
dan Rp1.731.889,00.
Rp1.605.161,00 dan Rp1.731.889,00.
3.5. Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita
Sumber :: DJPK
Sumber DJPK (data
(datadiolah)
diolah)
belanja daerah per kapita per provinsi, belanja modal daerah per kapita juga
kapita adalah sebesar Rp1.135.578,00. Sama halnya dengan realisasi belanja daerah per
menunjukkan bahwa
kapita per provinsi, belanja
belanja modalmodal perkapita
daerah per kapita paling
juga besar terjadi
menunjukkan bahwa pada
belanjaprovinsi
modal
Belanja Modal daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Kalimantan Timur yaitu
sebesar Rp4.728.402,00, diikuti oleh Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan
Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 41
belanja modal per kapita masing-masing adalah Rp4.556.537,00 dan Rp2.516.465,00.
Sedangkan belanja modal daerah per kapita terendah tetap dimiliki oleh beberapa provinsi di
Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Timur
Belanja Modal daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Kalimantan Timur
yaitu sebesar Rp4.728.402,00, diikuti oleh Provinsi Papua Barat dan Provinsi
Papua dengan belanja modal per kapita masing-masing adalah Rp4.556.537,00
dan Rp2.516.465,00. Sedangkan belanja modal daerah per kapita terendah tetap
dimiliki oleh beberapa provinsi di Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Tengah, Provinsi
Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Timur dengan belanja per kapita masing-masing
adalah sebesar Rp256.841,00, Rp286.743,00, dan Rp292.804,00.
4.1. Surplus/Defisit
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ditetapkan bahwa APBD disusun sesuai
dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan
daerah. Pemerintah Daerah dapat menetapkan APBD surplus ataupun defisit
sesuai dengan kondisi keuangan daerah dan keadaan perekonomian yang
dihadapi Pemerintah Daerah. Dalam hal APBD diperkirakan surplus, maka
pemda menetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah
(Perda) tentang APBD. Demikian halnya apabila APBD diperkirakan defisit, maka
ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam
Perda tentang APBD.
Apabila secara bersamaan seluruh daerah dan Pemerintah Pusat mengambil
kebijakan menetapkan anggarannya defisit, hal ini dapat mempengaruhi
kesinambungan fiskal secara nasional. Untuk itu, Pemerintah melakukan
pengendalian terhadap jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD, serta jumlah
kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar tidak
menimbulkan beban berat bagi keuangan negara.
Batas Maksimal Defisit APBD dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah
untuk Tahun 2013 ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
137 Tahun 2012. Batas maksimal kumulatif defisit APBD Tahun Anggaran (TA)
2013 secara nasional ditetapkan sebesar 0,5% dari proyeksi Produk Domestik
Bruto (PDB) tahun anggaran 2013. Batas maksimal defisit APBD TA 2013 untuk
Berikut
belanja ini adalah
daerah perbandingan
bersangkutan surplus/defisit
semakin kurang baik. pada Anggaran dan Realisasi
APBD Tahun Anggaran
Berikut ini adalah2009 – 2013.
perbandingan surplus/defisit pada Anggaran dan Realisasi APBD
Tahun Anggaran 2009 – 2013.
Grafik 4.1
Grafik 4.1
Perbandingan
Perbandingan Suplus/Defisit padaAnggaran
Suplus/Defisit pada danRealisasi
Anggaran dan Realisasi APBD
APBD 2009-2013
2009-2013
44 antaraANALISIS
anggaranRealisasi
dan realisasi
APBDyang semakin
tahun besar. Pada
anggaran 2013Tahun 2009 sebanyak 445 daerah
menganggarkan defisit pada APBD-nya dengan nilai kumulatif sebesar Rp47,96 triliun
namun dalam realisasinya justru mengalami surplus Rp11,45 triliun sehingga terdapat selisih
sebesar Rp36,50 triliun. Berdasarkan grafik tersebut, selisih surplus/defisit antara anggaran
Grafik 4.1 di atas menggambarkan perbedaan surplus/defisit periode 2009-
2013 antara anggaran dan realisasi yang semakin besar. Pada Tahun 2009
sebanyak 445 daerah menganggarkan defisit pada APBD-nya dengan nilai
kumulatif sebesar Rp47,96 triliun namun dalam realisasinya justru mengalami
surplus Rp11,45 triliun sehingga terdapat selisih sebesar Rp36,50 triliun.
Berdasarkan grafik tersebut, selisih surplus/defisit antara anggaran dan realisasi
terlihat terus mengalami peningkatan. Posisi terakhir APBD pada tahun 2013
dianggarkan defisit sebesar Rp54,38 triliun, namun pada realisasinya justru
terjadi surplus Rp10,28 triliun atau terdapat selisih Rp64,66 triliun.
Selisih yang sangat besar antara anggaran dan realisasi pada tahun 2013
disebabkan adanya pelampauan realisasi pendapatan daerah yakni dianggarkan
sebesar Rp653,51 triliun namun realisasinya Rp700,24 triliun, sehingga terdapat
selisih sebesar Rp46,73 triliun. Selisih tersebut berasal dari pelampauan PAD
Rp17,53 triliun (37,51% total pelampauan pendapatan), pelampauan transfer dari
Pemerintah Pusat Rp22,43 triliun (48,0%), dan sisanya sebesar 14,5% berasal
dari pelampauan pendapatan lainnya yaitu Rp6,77 triliun. Penyebab utama
terjadinya selisih surplus/defisit sebagian besar berasal dari selisih anggaran
transfer pemerintah pusat ke daerah. Pelampauan dana transfer tersebut dapat
dirinci sebagai berikut Rp8,72 triliun (38,9% total pelampuan dana transfer)
dari pelampauan Dana Bagi Hasil, Rp1,04 triliun (4,6% total pelampuan dana
transfer) dari pelampauan Dana Alokasi Umum (DAU), dan juga pelampauan
Dana Penyesuaian dan Otsus, yaitu 57,4% total pelampuan dana transfer.
Sementara itu untuk Dana Alokasi Khusus, Pemerintah Daerah menganggarkan
lebih tinggi dari yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat. Di sisi lain, pelampauan
pendapatan pada PAD mengindikasikan daerah cenderung konservatif dalam
menganggarkan PAD dalam APBD.
Melihat kondisi tersebut di atas, dari sisi APBN perlu dilakukan perbaikan dalam
proses penganggaran maupun penyaluran DBH dan Dana Penyesuaian. Hal ini
diperlukan agar daerah mendapatkan kepastian terkait informasi besaran alokasi
maupun waktu penyaluran transfer dari Pusat ke daerah sehingga pendapatan
yang direncanakan akan diterima dari Pemerintah Pusat dapat disinkronkan
dalam penyusunan belanja termasuk besarannya dalam APBD. Apabila hal
tersebut terlaksana, maka diharapkan dapat mendukung pelaksanaan belanja
DariDari
grafik 4.24.2
grafik di diatas
atas terlihat bahwa
terlihat bahwa jumlah
jumlah kabupaten/kota
kabupaten/kota yang mengalami
yang mengalami surplus
surplus meningkat
meningkat daripada
dari 196 daerah 196tahundaerah
2009 pada
menjaditahun 2009pada
404 daerah menjadi 404 Pada
tahun 2011. daerahtahunpada
tahun 2011. kabupaten/kota
2013 jumlah Pada tahun 2013 jumlah kabupaten/kota
yang mengalami surplus sebanyakyang mengalami
352 daerah, surplus
mengalami
sebanyak
penurunan 352
dari daerah,
362 daerah mengalami
pada tahun penurunan dari 362
2012. Namun daerahpada
sebaliknya pada tahun
tahun 2012.
2013
Namun sebaliknya
kabupaten/kota pada tahun
yang mengalami defisit2013 kabupaten/kota
sebanyak yang mengalami
139 daerah mengalami peningkatan daridefisit
sebanyak
129 daerah 139
padadaerah mengalami
tahun 2012. Sementarapeningkatan dari provinsi,
itu, untuk tingkat 129 daerah pada
jumlah tahun
provinsi 2012.
yang
Sementara itu, untuk tingkat provinsi, jumlah provinsi yang mengalami surplus
mengalami surplus saat realisasi mengalami penurunan dari 24 provinsi pada tahun 2012
menjadi 18 provinsi pada tahun 2013.
Rata-rata besaran surplus/defisit per daerah dapat terlihat pada tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1
46 ANALISIS RealisasiBesaran
Rata-Rata APBD tahun anggaranper
Surplus/Defisit 2013Daerah (Rupiah)
Kab/Kota
Provinsi
Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2012-2013 nilai surplus per
kabupaten/kota secara rata-rata mengalami penurunan dari Rp70,10 miliar
menjadi Rp48,33 miliar. Hal ini sejalan dengan turunnya jumlah kabupaten/kota
yang mengalami surplus. Menurunnya jumlah rata-rata nilai surplus pemerintah
kabupaten/kota menunjukkan bahwa jumlah daerah yang realisasi pendapatannya
melampaui anggaran pendapatan APBD semakin menurun dan/atau pelaksanaan
penyerapan anggaran belanja APBD semakin membaik. Sementara itu, jumlah
rata-rata nilai surplus provinsi pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar
Rp100,9 miliar dari Rp317,1 miliar tahun 2012 menjadi Rp418 miliar di tahun 2013.
Grafik 4.4 di atas menunjukkan bahwa realisasi SiLPA tahun sebelumnya (SILPA TA
48 ANALISIS
2012) lebih Realisasi
tinggi 58,8% dariAPBD tahunyakni
anggaran anggaran 2013
dari Rp61,37 triliun menjadi Rp97,45 triliun.
Terjadinya selisih SiLPA tahun sebelumnya antara yang tercantum dalam APBD 2013
dengan SILPA TA 2012 dikarenakan informasi SiLPA tahun sebelumnya (TA 2012)
Grafik 4.4 di atas menunjukkan bahwa realisasi SiLPA tahun sebelumnya (SILPA
TA 2012) lebih tinggi 58,8% dari anggaran yakni dari Rp61,37 triliun menjadi
Rp97,45 triliun. Terjadinya selisih SiLPA tahun sebelumnya antara yang tercantum
dalam APBD 2013 dengan SILPA TA 2012 dikarenakan informasi SiLPA tahun
sebelumnya (TA 2012) diperoleh pada akhir tahun anggaran 2012, sementara
APBD 2013 sudah mulai disusun pada pertengahan tahun 2012.
Pada sisi pengeluaran pembiayaan terdiri dari penyertaan modal, pembayaran
pokok utang, pemberian pinjaman kepada daerah lainya, pembayaran kegiatan
lanjutan, dan pengeluaran perhitungan pihak ketiga (PFK). Grafik 4.5 di bawah
ini menggambarkan rincian pengeluaran pembiayaan serta perbandingannya
antara nilai anggaran dengan realisasi.
Grafik 4.5
Grafik
Rincian Pengeluaran 4.5
Pembiayaan APBD TA 2013
Rincian Pengeluaran Pembiayaan APBD TA 2013
4.3. SiLPA
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) merupakan selisih lebih realisasi
penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Dalam
laporan realisasi APBD dibedakan menjadi dua jenis SiLPA, pertama adalah
SiLPA sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan disebut SiLPA tahun
sebelumnya, kedua, SILPA dari penjumlahan surplus/defisit dan pembiayaan
netto yang disebut SILPA tahun berkenaan. SILPA tahun berkenaan di APBD
2012 akan menjadi SiLPA tahun sebelumnya pada APBD 2013. Secara nasional,
pada periode tahun 2009-2013, jumlah realisasi SiLPA tahun sebelumnya lebih
besar daripada jumlah yang dianggarkan dalam APBD. Hal tersebut dapat dilihat
dalam grafik 4.6 berikut.
SILPA di akhir tahun berkenaan. Besarnya SILPA tahun berkenaan ini juga dapat
menunjukkan besaran dana idle pemerintah daerah pada akhir tahun berjalan.
Realisasi SILPA untuk tahun berkenaan dari tahun 2009-2013 dapat dilihat dalam
grafik 4.7 berikut.
Sumber:
Sumber: DJPK (data DJPK (data diolah)
diolah)
Dari grafik di atas, terlihat bahwa SILPA tahun berkenaan (harga berlaku) periode
Dari grafik di atas, terlihat bahwa SILPA tahun berkenaan (harga berlaku)
tahun 2009-2013 menunjukkan tren peningkatan dari Rp52,2 triliun di tahun 2009 menjadi
periode tahun 2009-2013 menunjukkan tren peningkatan dari Rp52,2 triliun di
sebesar Rp99,3 triliun di akhir periode (tahun 2013). Tren peningkatan SILPA ini disebabkan
tahun 2009 menjadi sebesar Rp99,3 triliun di akhir periode (tahun 2013). Tren
oleh sikap pemerintah daerah yang terlalu pesimis dalam menetapkan target pendapatan
peningkatan SILPA ini disebabkan oleh sikap pemerintah daerah yang terlalu
dalam APBD
pesimis (rata-rata
dalam realisasi pendapatan
menetapkan daerah mencapai
target pendapatan dalam 109,4%
APBD dari yang dianggarkan
(rata-rata realisasi
pendapatan daerah mencapai 109,4% dari yang dianggarkan dalam APBD).
dalam APBD).
Jika dilihat dari nominal harga konstan (menggunakan tahun 2000 sebagai tahun
Jika dilihat dari nominal harga konstan (menggunakan tahun 2000 sebagai
dasar), SILPA tahun berkenaan periode 2009-2013 menunjukkan tren fluktuatif. Jika pada
tahun dasar), SILPA tahun berkenaan periode 2009-2013 menunjukkan tren
tahun 2009 SILPA tahun berkenaan sebesar Rp20,7 triliun, selanjutnya di tahun 2010
fluktuatif. Jika pada tahun 2009 SILPA tahun berkenaan sebesar Rp20,7 triliun,
nilainya relatif sama sebesar Rp20,7 triliun. Pada tahun 2011 dan 2012, SILPA tahun
selanjutnya di tahun 2010 nilainya relatif sama sebesar Rp20,7 triliun. Pada tahun
2011 dan 2012, SILPA
berkenaan meningkat tahun
menjadi berkenaansebesar
masing-masing meningkat
Rp26,8 menjadi
triliun danmasing-masing
Rp31,7 triliun.
dari tahun
kinerja 2012. keuangan
pengelolaan Penurunan oleh ini merupakan
pemerintah daerah,indikasi adanya
khususnya perbaikan
terkait penetapan kinerja
anggaran
anggaran pendapatan
yang dianggarkan daerah
adalah 6,4%, yang lebih
menurun optimis.periode
dari rata-rata Selisih2009-2012
realisasi yang
pendapatan
sebesar
daerah TA 2013 dengan yang dianggarkan adalah 6,4%, menurun dari rata-rata
10,2%.
periode 2009-2012 yang sebesar 10,2%.
Secara nasional, agregat SILPA tahun berkenaan mempunyai nilai yang52 | P cukup
age
besar, namun ketika melihat data lebih rinci, ternyata terdapat beberapa daerah
yang mengalami nilai SILPA negatif (biasa disebut SIKPA tahun berkenaan).
Sumber:
Sumber: DJPK
DJPK (data
(data diolah)
diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Selain perbandingan nominal antara anggaran dan realisasinya, pada grafik di
Selain perbandingan nominal antara anggaran dan realisasinya, pada grafik di bawah
bawahSelain
ini dapat dilihat jumlah
perbandingan nominaldaerah yang menganggarkan
antara anggaran pinjaman
dan realisasinya, pada grafik diterhadap
bawah
ini dapat dilihat jumlah daerah yang menganggarkan pinjaman terhadap jumlah daerah yang
jumlah
ini dapatdaerah yang daerah
dilihat jumlah merealisasikan pinjaman
yang menganggarkan daerahterhadap
pinjaman yang jumlah
disajikan terpisah
daerah
merealisasikan pinjaman daerah yang disajikan terpisah antara kelompok kabupaten/kota
yang
antara kelompok
dengan provinsi. kabupaten/kota dengan provinsi.
merealisasikan pinjaman daerah yang disajikan terpisah antara kelompok kabupaten/kota
dengan provinsi.
GrafikGrafik
4.10 4.10 GrafikGrafik
4.11 4.11
Jumlah Kab/kota yang melakukan Jumlah Provinsi yang4.11
melakukan
Jumlah Kab/kota yang
Grafik
Pinjaman melakukan
4.10
Daerah Jumlah Provinsi yang
Grafik melakukan
Jumlah Kab/kota yang melakukan Jumlah Pinjaman Daerah
Provinsi yang melakukan
Pinjaman
PinjamanDaerah
Daerah PinjamanDaerah
Pinjaman Daerah
peningkatan dari 51 daerah pada tahun 2012 menjadi 56 daerah di tahun 2013.
Pada periode tahun 2009-2011, jumlah kabupaten/kota yang merealisasikan
pinjaman semakin menurun dari 85 daerah tahun 2009, menjadi 78 daerah tahun
2010, kemudian menjadi 50 daerah pada tahun 2011. Namun, pada tahun 2012
hingga 2013, mengalami peningkatan dari 51 daerah pada tahun 2012 menjadi
56 daerah di tahun 2013.
Sementara itu untuk provinsi, jumlah daerah yang merealisasikan pinjaman
daerah melampaui jumlah daerah yang menganggarkan pinjaman daerah. Jika
pada kelompok kabupaten/kota pada periode tahun 2009-2011 mengalami
tren menurun, justru sebaliknya kelompok provinsi pada periode yang sama
mengalami peningkatan jumlah yang merealisasikan pinjaman daerah dari 2
daerah di tahun 2009 menjadi 6 daerah pada tahun 2011. Akan tetapi, pada tahun
2012 menurun jadi 5 daerah dan pada tahun 2013 menjadi 3 daerah. Gambaran
pada grafik diatas menggunakan APBD awal sebagai acuan. Perbedaan antara
anggaran dan realisasi terjadi karena penganggaran pinjaman daerah mungkin
telah dimasukkan dalam APBD Perubahan namun karena informasinya tidak
dapat diperoleh maka APBD Perubahan tidak dapat dijadikan sebagai acuan.
Sumber
Sumber : Badan
: Badan Koordinasi
Koordinasi Penanaman
Penanaman Modal
Modal (BKPM) (BKPM)
Ke depan perlu
Ke depan perludiupayakan adanya
diupayakan adanya kemampuan
kemampuan daerah
daerah yang yang menciptakan
tidak hanya tidak hanya
menciptakan iklim
iklim investasi yang investasi
kondusif yang
saja, lebih kondusif
daripada saja,
itu adalah lebih daripada
bagaimana itu adalah
dilakukan upaya yang
bagaimana dilakukan
terintegrasi untuk upaya
meningkatkan dayayang terintegrasi
saing daerah. Sejak RKP untuk
tahun meningkatkan daya
2013, isu tersebut telah
saing daerah. Sejak RKP tahun 2013, isu tersebut telah diketengahkan
diketengahkan untuk mengarahkan pada perbaikan-perbaikan yang dapat mendoronguntuk
mengarahkan
tumbuhnya usaha pada
baru,perbaikan-perbaikan
industri baru, lapangan kerjayangbaru,dapat
danmendorong tumbuhnya
mendorong pertumbuhan
ekonomi yang
peningkatan berkeadilan.
iklim Strategi
investasi dan dunia peningkatan
usaha; (2) percepatandaya saing daerah,
pembangunan meliputi
infrastruktur; (3) :
(1) peningkatan iklim investasi dan dunia usaha; (2) percepatan pembangunan
peningkatan pembangunan industri di berbagai koridor ekonomi; (4) penciptaan kesempatan
infrastruktur;
kerja khususnya(3)tenaga
peningkatan pembangunan
kerja muda. industri
Dari sisi daya saing, di berbagai
peringkat Indonesiakoridor
menurutekonomi;
World
(4) penciptaan kesempatan kerja khususnya tenaga kerja muda. Dari sisitahun
Economic Forum, pada tahun 2013-2014 meningkat yaitu peringkat 38 dari daya
saing, peringkat Indonesia menurut World Economic Forum, pada tahun 2013-
sebelumnya (tahun 2012-2013) menduduki peringkat 50.
menduduki
kebijakan dariperingkat
pemerintah.50.Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan, Perluasan, dan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan sejak tahun 2011, telah
memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk melaksanakan investasi di daerah
dalam jangka panjang dan menengah. Investasi di sektor riil merupakan stimulasi bagi
58 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
perekonomian karena memiliki efek multiplier, dengan demikian hendaknya didukung
dengan kebijakan fiskal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tidak
menimbulkan penurunan investasi swasta (crowd-out). Pada tahun 2013, Pemerintah Pusat
Untuk meningkatkan minat investasi, diperlukan adanya promosi dan fasilitasi
kebijakan dari pemerintah. Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan,
Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan
sejak tahun 2011, telah memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk
melaksanakan investasi di daerah dalam jangka panjang dan menengah.
Investasi di sektor riil merupakan stimulasi bagi perekonomian karena memiliki
efek multiplier, dengan demikian hendaknya didukung dengan kebijakan
fiskal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tidak menimbulkan
penurunan investasi swasta (crowd-out). Pada tahun 2013, Pemerintah Pusat
telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk meningkatkan
investasi, yaitu : (1) penyederhanaan proses perijinan; (2) merevisi “Daftar
Negatif Investasi” (DNI) yang lebih ramah bagi investor; (3) meningkatkan insentif
pajak melalui keringanan pajak bagi industri padat karya seperti industri tekstil,
pakaian, sepatu, furnitur, dan mainan serta penambahan pengurangan pajak
untuk perusahaan-perusahaan yang paling tidak 30% dari hasil produksinya
ditujukan untuk ekspor.
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi, pertumbuhan ekonomi
Indonesia juga terus menunjukkan angka yang menggembirakan, namun sedikit
menurun bila dibanding tahun 2012, sebagai dampak kondisi perekonomian
global. Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,9 persen,
melambat bila dibandingkan tahun 2012 sebesar 6,3 persen. Hal ini ditengarai
dengan pertumbuhan investasi yang melambat sejak awal tahun akibat
menurunnya persepsi keyakinan pelaku bisnis terhadap kondisi perekonomian
global. Namun demikian, daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan Indonesia
tetaplah tinggi, mengacu pada survey yang dilakukan oleh ASEAN-BAC (ASEAN-
Business Advisory Council) Indonesia menduduki peringkat ketiga diantara
negara-negara ASEAN dari sisi daya tarik investasi untuk tahun 2013-2015.
Perekonomian Indonesia ditunjang oleh peran daerah dalam memberikan
kontribusinya. Apabila ditinjau dari peranan wilayah dalam pembentukan PDB
nasional pada tahun 2011-2013, untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan
masih memberikan sumbangan yang besar. Namun demikian secara series
wilayah Kalimantan sedikit mengalami penurunan yang diiringi dengan kenaikan
Grafik5.1
Grafik 5.1
Peranan Wilayah/ Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional (Persen)
Peranan Wilayah/ Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional (Persen)
100,00 2,13 2,06 2,18
4,61 4,74 4,82 Maluku dan Papua
90,00 9,55 9,30 8,67
2,56 2,51 2,53 Sulawesi
80,00
Kalimantan
70,00
Bali dan Nusa Tenggara
60,00
57,59 57,65 57,99 Jawa
50,00
Sumatera
40,00
30,00
20,00
10,00 23,56 23,74 23,81
-
2011 2012 2013
Pendapatan APBD/Kapita
Tingkat Kemiskinan Tingkat Pengangguran
Provinsi (Ribu Rupiah)
Aceh 4.109 4.714 5.584 19,57 18,58 17,72 7,43 9,10 10,30
Sumatera Utara 1.820 2.280 2.716 11,33 10,41 10,39 6,37 6,20 6,53
Sumatera Barat 2.399 2.891 3.694 9,04 8,00 7,56 6,45 6,52 6,99
Riau 3.290 3.672 4.497 8,47 8,05 8,42 5,32 4,30 5,50
Jambi 2.545 2.933 3.863 8,65 8,28 8,42 4,02 3,22 4,84
Sumatera Selatan 2.248 2.568 3.226 14,24 13,48 14,06 5,77 5,70 5,00
Bengkulu 3.240 3.641 4.183 17,50 17,51 17,75 2,37 3,61 4,74
Lampung 1.555 1.798 2.216 16,93 15,65 14,39 5,78 5,18 5,85
DKI Jakarta 2.714 3.149 3.970 3,75 3,70 3,72 10,80 9,87 9,02
Jawa Barat 945 1.183 1.658 10,65 9,89 9,61 9,83 9,08 9,22
Jawa Tengah 1.145 1.466 1.909 15,76 14,98 14,44 5,93 5,63 6,02
DI Yogyakarta 1.550 1.990 2.698 16,08 15,88 15,03 3,97 3,97 3,34
Jawa Timur 1.237 1.439 1.969 14,23 13,08 12,73 4,16 4,12 4,33
Kalimantan Barat 2.318 2.773 3.496 8,60 7,96 8,74 3,88 3,48 4,03
Kalimantan Tengah 4.218 4.815 5.970 6,56 6,19 6,23 2,55 3,17 3,09
Kalimantan Selatan 2.905 3.241 4.212 5,29 5,01 4,76 5,23 5,25 3,79
Kalimantan Timur 6.838 7.577 10.269 6,77 6,38 6,38 9,84 8,90 8,04
Sulawesi Utara 3.223 3.621 4.694 8,51 7,64 8,50 8,62 7,79 6,68
Sulawesi Tengah 2.664 3.174 3.819 15,83 14,94 14,32 4,01 3,93 4,27
Sulawesi Selatan 2.068 2.490 3.045 10,29 9,82 10,32 6,56 5,87 5,10
Sulawesi Tenggara 3.170 3.792 4.495 14,56 13,06 13,73 3,06 4,04 4,46
Bali 2.200 2.850 3.809 4,20 3,95 4,49 2,32 2,04 1,79
Nusa Tenggara Barat 1.802 2.064 2.399 19,73 18,02 17,25 5,33 5,26 5,38
Nusa Tenggara 2.213 2.659 3.007 21,23 20,41 20,24 2,69 2,89 3,16
Timur
Maluku 4.052 4.259 4.796 23,00 20,76 19,27 7,38 7,51 9,75
Papua 8.255 8.982 9.932 31,98 30,66 31,53 3,94 3,63 3,23
Maluku Utara 4.484 5.184 5.826 9,18 8,06 7,64 5,55 4,76 3,86
Banten 1.037 1.215 1.831 6,32 5,71 5,89 13,06 10,13 9,90
Bangka Belitung 3.108 3.819 4.467 5,75 5,37 5,25 3,61 3,49 3,70
Gorontalo 3.051 3.478 4.074 18,75 17,22 18,01 4,26 4,36 4,12
Kepulauan Riau 4.033 4.471 5.162 7,40 6,83 6,35 7,80 5,37 6,25
Papua Barat 12.795 14.280 17.976 31,92 27,04 27,14 8,94 5,49 4,62
Sulawesi Barat 2.718 3.099 3.555 13,89 13,01 12,23 2,82 2,14 2,33
Tim terlihat
Pengendali Inflasi
pada Tabel 5.3, Daerah
menunjukkan(TPID) di beberapa
adanya kota daridengan
kenaikan dibandingkan 66 kota yang
tingkat selalu
inflasi
dipantau tingkat inflasinya oleh BPS. Dalam rangka pengendalian inflasi, TPID
tahun 2012. Inflasi tertinggi terjadi di Pematangsiantar, Depok, Padang, Bima dan Samarinda.
dan Untuk
Pemda akanstabilitas
menjaga fokus untuk
harga, membenahi
sejak tahun 2011 permasalahan struktural
telah dibentuk Tim yang
Pengendali terkait
Inflasi
Daerah (TPID) di beberapa kota dari 66 kota yang selalu dipantau tingkat inflasinya oleh
dengan kelangkaan pasokan barang pokok akibat terbatasnya produksi pangan,
BPS. Dalam rangka pengendalian inflasi, TPID dan Pemda akan fokus untuk membenahi
buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang terlampau panjang,
permasalahan struktural yang terkait dengan kelangkaan pasokan barang pokok akibat
penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman.
terbatasnya produksi pangan, buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang
TABEL
terlampau panjang, penimbunan dan pungli, serta5.3
pengaruh musiman.
LAJU INFLASITABEL
TAHUNAN5.3 DI 66 KOTA
LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA
(dalam persen)
(dalam persen)
No Kota 2010 2011 2012 2013 No Kota 2010 2011 2012 2013
1 Lhokseum awe 7 ,1 9 3 ,55 0,3 9 8,27 34 Probolinggo 6,68 3 ,7 8 5,88 7 ,98
2 Banda Aceh 4,64 3 ,3 2 0,06 6,3 9 35 Madiun 6,54 3 ,49 3 ,51 7 ,52
3 Padang Sidem puan 7 ,42 4,66 3 ,54 7 ,82 36 Surabay a 7 ,3 3 4,7 2 4,3 9 7 ,52
4 Sibolga 1 1 ,83 3 ,7 1 3 ,3 0 1 0,08 37 Serang 6,1 8 2,7 8 4,41 9,1 6
5 Pem atang Siantar 9,68 4,25 4,7 3 1 2,02 38 Tangerang 6,08 3 ,7 8 4,44 1 0,02
6 Medan 7 ,65 3 ,54 3 ,7 9 1 0,09 39 Cilegon 6,1 2 2,3 5 3 ,91 7 ,98
7 Padang 7 ,84 5,3 7 4,1 6 1 0,87 40 Denpasar 8,1 0 3 ,7 5 4,7 1 7 ,3 5
8 Pekanbaru 7 ,00 5,09 3 ,3 5 8,83 41 Mataram 1 1 ,07 6,3 8 4,1 0 9,27
9 Dum ai 9,05 3 ,09 3 ,21 8,60 42 Bim a 6,3 5 7 ,1 9 3 ,61 1 0,42
10 Batam 7 ,40 3 ,7 6 2,02 7 ,81 43 Maum ere 8,48 6,59 6,49 6,24
11 Jam bi 1 0,52 2,7 6 4,22 8,7 4 44 Kupang 9,97 4,3 2 5,1 0 8,84
12 Palem bang 6,02 3 ,7 8 2,7 2 7 ,04 45 Pontianak 8,52 4,91 6,62 9,48
13 Bengkulu 9,08 3 ,96 4,61 9,94 46 Singkawang 7 ,1 0 6,7 2 4,21 6,1 5
14 Bandar Lam pung 9,95 4,24 4,3 0 7 ,56 47 Sam pit 9,53 3 ,60 4,69 7 ,25
15 Pangkal Pinang 9,3 6 5,00 6,57 8,7 1 48 Palangkaray a 9,49 5,28 6,7 3 6,45
16 Tanjung Pinang 6,1 7 3 ,3 2 3 ,92 1 0,09 49 Banjarm asin 9,06 3 ,98 5,96 6,98
17 DKI Jakarta 6,21 3 ,97 4,52 8,00 50 Balikpapan 7 ,3 8 6,45 6,41 8,56
18 Bogor 6,57 2,85 4,06 8,55 51 Sam arinda 7 ,00 6,23 4,81 1 0,3 7
19 Sukabum i 5,43 4,26 3 ,98 8,03 52 Tarakan 7 ,92 6,43 5,99 1 0,3 5
20 Tasikm alay a 5,56 4,1 7 3 ,87 6,89 53 Manado 6,28 0,67 6,04 8,1 2
21 Bandung 4,53 2,7 5 4,02 7 ,97 54 Palu 6,40 4,47 5,87 7 ,57
22 Cirebon 6,7 0 3 ,20 3 ,3 6 7 ,86 55 Watam pone 6,7 4 3 ,94 3 ,65 6,86
23 Bekasi 7 ,88 3 ,45 3 ,46 9,46 56 Makassar 6,82 2,87 4,57 6,24
24 Depok 7 ,97 2,95 4,1 1 1 0,97 57 Parepare 5,7 9 1 ,60 3 ,49 6,3 1
25 Purwokerto 6,04 3 ,40 4,7 3 8,50 58 Palopo 3 ,99 3 ,3 5 4,1 1 5,25
26 Surakarta 6,65 1 ,93 2,87 8,3 2 59 Kendari 3 ,87 5,09 5,25 5,92
27 Sem arang 7 ,1 1 2,87 4,85 8,1 9 60 Gorontalo 7 ,43 4,08 5,3 1 5,84
28 Tegal 6,7 3 2,58 3 ,09 5,80 61 Mam uju 5,1 2 4,91 3 ,28 5,91
29 Yogy akarta 7 ,3 8 3 ,88 4,3 1 7 ,3 2 62 Am bon 8,7 8 2,85 6,7 3 8,81
30 Jem ber 7 ,09 2,43 4,49 7 ,21 63 Ternate 5,3 2 4,52 3 ,29 9,7 8
31 Sum enep Bab V Implikasi Realisasi
6,7 5 4,1 8
APBD
5,05 TA6,62
2013 terhadap
64 Perekonomian
Manokwari 4,68
Daerah
3 ,64 4,88
63
4,63
32 Kediri 6,80 3 ,62 4,63 8,05 65 Sorong 8,1 3 0,90 5,1 2 7 ,93
33 Malang 6,7 0 4,05 4,60 7 ,92 66 Jay apura 4,48 3 ,40 4,52 8,27
14
Dengan
13 Bengkulu
demikian, 9,08
Bandar Lam pung
jelas 34,24
9,95
terlihat
,96 4,61
4,3 0
bahwa
9,94
7 ,56
kedudukan
46
47
Singkawang
Sam pit
APBD79,53sangatlah
,1 0 6,7 2
3 ,60
penting
4,21
4,69
6,1 5
7 ,25
sebagai
15
16
alat untuk memelihara
Pangkal Pinang
Tanjung Pinang
9,3 6
6,1 7
5,00
3 ,3 2
dan
6,57
3 ,92
mengupayakan
8,7 1
1 0,09
48
49
keseimbangan
Palangkaray a
Banjarm asin
9,49
9,06
fundamental
5,28
3 ,98
6,7 3
5,96
6,45
6,98
Tentu
28
29
saja proses penganggaran
Tegal
Yogy akarta
6,7 3
7 ,3 8
2,58
3 ,88
3 ,09
4,3 1
yang5,80
7 ,3 2
telah
61
62
direncanakan
Mam uju
Am bon
dengan
5,1 2
8,7 8
4,91
2,85
baik
3 ,28
6,7 3
dan5,91
8,81
dilaksanakan
30
31
Jem ber
Sum enep
dengan6,7tertib
7 ,09
5
2,43
4,1 8
serta
4,49
5,05
disiplin
7 ,21
6,62
akan
63
64
mencapai sasaran
Ternate
Manokwari
5,3 2
4,68
4,52
3 ,64
yang
3 ,29
4,88
lebih
9,7 8
4,63
optimal.
3 2 Kediri 6,80
6,7 0
3 ,62
4,05
4,63 8,05 65 Sorong 8,1 3
4,48
0,90
3 ,40
5,1 2 7 ,93
33 Malang 4,60 7 ,92 66 Jay apura 4,52 8,27
62 | P a g e