Anda di halaman 1dari 83

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA

DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

2014

A PB D

LAPORAN ANALISIS

REALISASI APBD
TAHUN ANGGARAN 2013
1
LAPORAN ANALISIS

REALISASI APBD
TAHUN ANGGARAN 2013
KATA PENGANTAR

Sejak pelaksanaan desentralisasi fiskal dan otonomi daerah pada tahun 2001,
porsi dana APBN yang telah dialokasikan ke daerah dari tahun ke tahun terus
mengalami peningkatan. Alokasi dana yang besar tersebut diharapkan dapat
meningkatkan kinerja daerah dalam meningkatkan pelayanan kepada masyarakat
sesuai dengan kewenangan yang dimiliki. Tantangan utama yang dihadapi
daerah dalam melaksanakan tugas tersebut adalah bagaimana memanfaatkan
sumber-sumber pendanaan yang tersedia untuk menghasilkan pelayanan publik
yang optimal.
Dalam konteks implementasi otonomi daerah dan desentralisasi fiskal,
pemerintah daerah selama lebih dari satu dasawarsa ini telah mengelola dana
pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) dalam jumlah yang
sangat besar. Pengelolaan APBD harus mengacu pada upaya pencapaian
visi dan misi daerah yang sesuai dengan prioritas nasional, dimana sumber-
sumber pendapatan APBD harus dibelanjakan sesuai dengan prioritas kebijakan
dan target yang akan dicapai sesuai sumber daya yang tersedia baik yang
didapatkan melalui skema transfer maupun perpajakan daerah. Kemampuan
daerah dalam mengelola APBD mencerminkan kemampuan pemerintah daerah
dalam membiayai pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan
pelayanan sosial masyarakat.
Keterbukaan informasi publik yang didukung oleh semakin kritisnya
masyarakat, menuntut pemerintah daerah untuk mampu mengelola keuangan
daerah dengan semakin baik, yaitu dengan semakin meningkatkan porsi alokasi
belanja modal dan belanja barang dan jasa untuk pemeliharaan infrastruktur
pada struktur APBD dengan memprioritaskan pada ketersediaan sarana dan
prasarana pelayanan publik, serta semakin tingginya realisasi penyerapan APBD
guna mendorong peningkatan perekonomian daerah.
Di samping itu, pengelolaan keuangan daerah, harus dilakukan secara
tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, efektif, transparan,
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan dan kepatutan.

Kata Pengantar iii


Untuk mewujudkannya, diperlukan pendekatan prestasi kerja dalam penyusunan
APBD, setiap alokasi pendanaan yang direncanakan harus dikaitkan dengan
tingkat pelayanan atau hasil yang diharapkan dapat dicapai. Pendekatan ini
merupakan bagian yang tidak dapat dilepaskan dengan konsep manajemen
kinerja, khususnya untuk mengukur tingkat keberhasilan program atau aktivitas
pada pemerintah yang ditujukan dalam rangka mencapai hasil yang dapat
memenuhi kebutuhan stakeholders.
Beberapa hal yang disorot dalam kajian ini antara lain adalah kinerja
pengelolaan keuangan daerah dilihat dari sisi kesesuaian realisasi dengan
perencanaan, konsistensi pelaksanaan anggaran untuk merealisasikan program/
kegiatan, serta dampak pelaksanaan APBD terhadap perekonomian regional.
Dalam konteks itulah, buku ini disusun untuk menyajikan analisis atas realisasi
APBD seluruh daerah dan diharapkan dapat memberikan potret yang informatif
dan akurat mengenai hasil dari pelaksanaan pengelolaan keuangan daerah
pada tahun 2013.
Buku Laporan Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 ini akan
memberikan gambaran tentang hasil analisis realisasi APBD 2013 yang meliputi
gambaran umum realisasi APBD 2013, analisis realisasi pendapatan daerah,
analisis realisasi belanja daerah, analisis realisasi surplus/defisit dan pembiayaan
daerah, dan analisis implikasi realisasi APBD TA 2013 terhadap perekonomian
daerah.
Kami mengharapkan agar buku Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran
2013 ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang berkepentingan baik di pusat
maupun di daerah sebagai bahan masukan dalam pengambilan kebijakan yang
terkait dengan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal.
Jakarta, Desember 2014
Direktur Evaluasi Pendanaan dan
Informasi Keuangan Daerah

Adijanto

iv ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


Daftar Isi

KATA PENGANTAR.................................................................................................iii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. v
DAFTAR TABEL....................................................................................................... vi
DAFTAR GRAFIK................................................................................................... vii
RINGKASAN EKSEKUTIF....................................................................................... xi
BAB I GAMBARAN UMUM REALISASI APBD.....................................................1
1.1. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 secara Nasional.....................4
1.2. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Provinsi..................................8
1.3. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Kabupaten/Kota...................10
1.4. Gambaran Umum Realisasi APBD Tahun 2009-2013..........................12
BAB II REALISASI PENDAPATAN DAERAH....................................................... 15
2.1. Perbandingan Anggaran dan Realisasi Pendapatan Daerah...............16
2.2. Komposisi Pendapatan Daerah...........................................................19
2.3. Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional ......................................22
2.4. Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah.....................24
BAB III REALISASI BELANJA DAERAH............................................................... 29
3.1. Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah................29
3.2. Komposisi Realisasi Belanja Daerah ...................................................33
3.3. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional..................................37
3.4. Realisasi Belanja Daerah Per Kapita....................................................40
3.5. Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita.........................................41
BAB IV REALISASI SURPLUS/DEFISIT DAN PEMBIAYAAN DAERAH............... 43
4.1. Surplus/Defisit......................................................................................43
4.2. Pembiayaan Daerah.............................................................................47
4.3. SiLPA....................................................................................................50
4.4. Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi Daerah............................54
BAB V IMPLIKASI REALISASI APBD TA 2013 TERHADAP
PEREKONOMIAN DAERAH..................................................................... 57
UCAPAN TERIMA KASIH...................................................................................... 65

Daftar Isi v
Daftar TABEL

Tabel 1.1 Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013............................................2


Tabel 1.2 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013...3
Tabel 3.1 Komposisi Realisasi Belanja Lainnya pada APBD Provinsi
Tahun Anggaran 2013....................................................................35
Tabel 4.1 Rata-Rata Besaran Surplus/Defisit per Daerah.............................47
Tabel 4.2 Daerah dengan SIKPA Tahun Berkenaan TA 2013........................53
TABEL 5.1 PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA
TAHUN 2009 - 2013.......................................................................58
TABEL 5.2 PERBANDINGAN PENDAPATAN APBD PER KAPITA DENGAN
INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT..............................61
TABEL 5.3 LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA...........................................63

vi ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


Daftar grafik

Grafik 1.1 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD secara nasional Tahun
Anggaran 2013................................................................................5
Grafik 1.2 Pelampauan Pendapatan APBD......................................................7
Grafik 1.3 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Provinsi Tahun
Anggaran 2013................................................................................9
Grafik 1.4 Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota
Tahun Anggaran 2013....................................................................10
Grafik 1.5 Tren Realisasi Pendapatan, Belanja dan Pembiayaan
APBD Konsolidasi Nasional Tahun 2009 - 2013............................12
Grafik 1.6 Realisasi Surplus/Defisit APBD Konsolidasi Nasional Tahun
2009 – 2013...................................................................................13
Grafik 2.1 Perbandingan Anggaran - Realisasi Pendapatan Nasional
TA 2013.........................................................................................17
Grafik.2.2 Komposisi Pendapatan Daerah 2013 Secara Nasional dan
Provinsi..........................................................................................20
Grafik.2.3 Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah 2013 Agregat
Kabupaten/Kota............................................................................21
Grafik 2.4 Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA 2009-2013.................22
Grafik 2.5 Tren Realisasi Pendapatan Daerah Nasional Perjenis
Pendapatan TA 2009-2013............................................................23
Grafik 2.6 Perkembangan Jumlah Daerah yang Mengelola BPHTB dan
PPB-P2 2009-2013........................................................................25
Grafik 2.7 Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Secara Nasional TA 2009-2013.....................................................26
Grafik 2.8 Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Agregat Kabupaten/Kota TA 2009-2013........................................27

Daftar Grafik vii


Grafik 2.9 Tren Rasio Penerimaan PBB-P2 dan BPHTB Terhadap
Total Pajak Daerah Secara Nasional TA 2010-2013.......................28
Grafik 3.1 Perbandingan Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah
APBD Tahun Anggaran 2013.........................................................29
Grafik 3.2 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Nasional Tahun Anggaran
2013...............................................................................................33
Grafik 3.3 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Provinsi Tahun Anggaran
2013...............................................................................................34
Grafik 3.4 Komposisi Realisasi Belanja Daerah Kabupaten/Kota Tahun
Anggaran 2013..............................................................................36
Grafik 3.5 Tren Realisasi Belanja daerah Nasional........................................37
Grafik 3.6 Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional........................................38
Grafik 3.7 Realisasi Belanja Daerah Per Kapita Tahun Anggaran 2013.........40
Grafik 3.8 Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita Tahun
Anggaran 2013..............................................................................41
Grafik 4.1 Perbandingan Suplus/Defisit pada Anggaran dan Realisasi APBD
2009-2013.....................................................................................44
Grafik 4.2. Tren kabupaten/kota yang mengalami surplus/defisit dalam
realisasi APBD...............................................................................46
Grafik 4.3 Tren Provinsi yang mengalami surplus/defisit dalam realisasi
APBD ............................................................................................46
Grafik 4.4 Rincian Penerimaan Pembiayaan APBD TA 2013..........................48
Grafik 4.5 Rincian Pengeluaran Pembiayaan APBD TA 2013.........................49
Grafik 4.6 Perbandingan Tren SiLPA Tahun Sebelumnya antara Anggaran
dan Realisasi.................................................................................51
Grafik 4.7 Tren SILPA Tahun Berkenaan.........................................................52
Grafik 4.8 Perbandingan Anggaran dan Realisasi Penerimaan
Pinjaman Kab/Kota........................................................................55
Grafik 4.9 Perbandingan Anggaran dan Realisasi Penerimaan Pinjaman
Provinsi .........................................................................................55

viii ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


Grafik 4.10 Jumlah Kab/kota yang melakukan Pinjaman Daerah...................55
Grafik 4.11 Jumlah Provinsi yang melakukan Pinjaman Daerah......................55
Grafik 5.1 Peranan Wilayah/ Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional........60

Daftar Grafik ix
x ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
RINGKASAN
EKSEKUTIF

• Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013 memperlihatkan bahwa realisasi


pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara
realisasi belanja daerah lebih rendah dibandingkan anggarannya. Selisih
negatif realisasi belanja daerah ditambah dengan selisih positif realisasi
pendapatannya mengakibatkan terjadi surplus di akhir tahun. Terjadinya
surplus dalam realisasi APBD tahun 2013 ternyata lebih banyak didorong
oleh terjadinya pelampauan pendapatan, di mana pelampauan realisasi
pendapatan 107,15% dari anggaran, sementara realisasi belanja 97,47%
dari anggaran.
• Pendapatan daerah tahun 2013 secara nasional terealisasi lebih tinggi
sebesar Rp46,73 triliun atau sebesar 7,15% dibandingkan anggarannya. Hal
ini juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, selisih nominal antara
anggaran dan realisasi tahun 2013 lebih rendah jika dibandingkan dengan
selisih pada tahun 2012, yang mencapai Rp65,55 triliun. Secara agregat
nasional, pendapatan daerah didominasi oleh pos Dana Perimbangan yang
mencapai Rp442,76 triliun atau 63,23% dari total pendapatan. Tertinggi
kedua adalah PAD yang mencapai Rp157,86 triliun atau 22,54% dari total
pendapatan dan kemudian Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu Rp99,63
triliun atau 14,23% dari total pendapatan.
• Realisasi belanja daerah secara nasional tahun 2013 adalah Rp689,95 triliun,
masih lebih kecil jika dibandingkan dengan pagu anggaran sebesar Rp707,89
triliun atau secara persentase realisasi belanja daerah mencapai 97,47%.
Komponen belanja yang memiliki tingkat penyerapan di atas 100% adalah
Belanja Lainnya yaitu sebesar 108,46% dengan nilai sebesar Rp94,46 triliun,
lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya sebesar Rp87,09 triliun.

Ringkasan Eksekutif xi
• Realisasi Belanja Pegawai atau yang biasa disebut sebagai “Gaji PNS” tidak
terealisasi sesuai dengan anggaran dimana Belanja Pegawai terealisasi
sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar
Rp296,82 triliun). Realisasi belanja modal yang merupakan variabel penting
dalam penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana untuk layanan publik
hanya mencapai 92,76% dari anggaran induk (realisasi Rp163,07 triliun
sedangkan pagu anggaran sebesar Rp175,81 triliun), atau masih kurang
Rp12,73 triliun dari anggaran. Padahal seharusnya dengan peningkatan
alokasi pendapatan transfer dari Pusat (yang informasinya baru didapat
pada saat tahun anggaran 2013 berjalan), maka anggaran belanja juga
harus segera menyesuaikan sehingga pendapatan daerah bisa semaksimal
mungkin teralokasikan untuk belanja yang langsung berdampak pada
peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik.
• Rata-rata realisasi belanja daerah per kapita adalah sebesar Rp4.321.913,00.
Realisasi belanja daerah per kapita per provinsi memperlihatkan bahwa
belanja daerah per kapita paling besar terjadi pada provinsi yang berada
di wilayah timur Indonesia. Hal ini disebabkan oleh besarnya dana transfer
pusat yang diberikan pada provinsi tersebut dan jumlah penduduk pada
provinsi tersebut sedikit. Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi
Papua Barat yaitu sebesar Rp15.412.544,00, sedangkan belanja daerah per
kapita di beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal ini
disebabkan karena provinsi di Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang
besar. Provinsi dengan belanja per kapita terkecil adalah Provinsi Jawa Barat
yaitu sebesar Rp1.514.208,00.
• Tren realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami peningkatan baik
menurut harga yang berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga
yang berlaku, realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami kenaikan
pada tahun 2011, yaitu sebesar 14,95% (Rp14,06 triliun) dan pada tahun
2012 kembali meningkat sebesar 21,09% (Rp22,80 triliun). Pada tahun 2013
realisasi Belanja Modal kembali mengalami peningkatan sebesar 24,55%
(Rp32,15). Sementara itu berdasarkan harga konstan, Belanja Modal juga
mengalami kenaikan pada tahun 2011, yaitu sebesar 7,52% (Rp2,58 triliun),
dan pada tahun 2011 Belanja Modal kembali meningkat sebesar 15,87%

xii ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


(Rp5,87 triliun). Pada tahun 2013, realisasi Belanja Modal meningkat kembali
sebesar 19,33% (Rp8,28 triliun). Pada tahun 2011, 2012, dan 2013 ternyata
kenaikan realisasi Belanja Modal berdasarkan harga konstan lebih kecil jika
dibandingkan dengan kenaikan berdasarkan harga yang berlaku.
• Pada tahun 2012-2013 nilai surplus per Kabupaten/Kota secara rata-rata
mengalami penurunan dari Rp70,10 miliar menjadi Rp48,33 miliar. Hal ini
sejalan dengan turunnya jumlah Kabupaten/Kota yang mengalami surplus.
Menurunnya jumlah rata-rata nilai surplus pemerintah Kabupaten/Kota
menunjukkan bahwa jumlah daerah yang realisasi pendapatannya melampaui
anggaran pendapatan APBD semakin menurun dan/atau pelaksanaan
penyerapan anggaran belanja APBD semakin membaik. Sementara itu, jumlah
rata-rata nilai surplus provinsi pada tahun 2013 mengalami peningkatan
sebesar Rp100,9 miliar dari Rp317,1 miliar tahun 2012 menjadi Rp418 miliar
di tahun 2013.
• Realisasi total penerimaan pembiayaan daerah tahun 2013 sebesar Rp
101,01 triliun atau terealisasi 151,2% dari yang dianggarkan. Komponen
SiLPA tahun sebelumnya merupakan sumber pembiayaan yang paling besar,
yaitu Rp97,45 triliun atau 96,47% total penerimaan pembiayaan daerah.
• Realisasi total pengeluaran pembiayaan daerah tahun 2013 sebesar Rp11,99
triliun, atau terealisasi 99,9% dari yang dianggarkan. Komponen terbesar dari
realisasi pengeluaran pembiayaan adalah penyertaan modal sebesar Rp7,77
triliun atau 64,7% dari total pengeluaran pembiayaan dan jika dibandingkan
dengan anggarannya, maka penyertaan modal terealisasi sebesar 97,1%.
• Realisasi SILPA Tahun Berkenaan (harga berlaku) tahun 2013 sebesar
Rp99,3 triliun atau mengalami peningkatan 2,3% dari tahun 2012. Namun jika
dilihat dari harga konstan, SILPA Tahun Berkenaan tahun 2013 mengalami
penurunan sebesar 1,9% dari tahun sebelumnya.
• Pada tahun 2013, masih terdapat beberapa daerah yang mengalami
SILPA Tahun Berkenaan negatif (SIKPA). Untuk menutup nilai SIKPA Tahun
Berkenaan tersebut, daerah melakukan penundaan pembayaran Perhitungan
Pihak Ketiga (PFK).

Ringkasan Eksekutif xiii


• Perekonomian Indonesia ditunjang oleh peran daerah dalam memberikan
kontribusinya. Apabila ditinjau dari peranan wilayah dalam pembentukan
PDB nasional pada tahun 2011-2013, untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan
Kalimantan masih memberikan sumbangan yang besar. Namun demikian
secara series wilayah Kalimantan sedikit mengalami penurunan yang diiringi
dengan kenaikan pada wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta
Maluku dan Papua.
• Pada tahun 2013, provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per
kapita paling rendah adalah Jawa Barat, yaitu sekitar Rp1.658.000,00/
jiwa, sedangkan provinsi yang mempunyai pendapatan daerah per kapita
tertinggi adalah Papua Barat, yaitu sebesar Rp17.976.000/jiwa. Selain
itu, ada beberapa provinsi lain yang pendapatan daerah per kapitanya
tergolong tinggi yakni Kalimantan Timur dan Papua. Namun demikian,
apabila ditinjau dari tingkat dispersinya, maka pada periode 2012-2013
membaik diindikasikan dengan perubahan standar deviasi yang menurun
bila dibandingkan periode 2011-2012.

xiv ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


BAB I
GAMBARAN UMUM REALISASI APBD

Berdasarkan pasal 23 Undang-undang Dasar 1945, Undang-undang (UU)


Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 8 tahun 2006 tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja Instansi
Pemerintah, dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Daerah (APBD), pemerintah sebagai entitas pelaporan wajib menyusun
dan menyajikan Laporan Keuangan dan Laporan Kinerja. Laporan Keuangan
Pemerintah yang disajikan setidak-tidaknya terdiri dari: Laporan Realisasi
Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan.
UU Nomor 32 tentang Pemerintahan Daerah dan PP Nomor 38 Tahun 2007
tentang Pembagian Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah Kabupaten/Kota telah mengatur
urusan pemerintah pusat dengan kewenangan pemerintah daerah dengan jelas,
sehingga dalam melaksanakan urusannya pemerintah pusat maupun pemerintah
daerah memiliki kewenangan yang sesuai dengan track-nya. Dalam tahun
2014, kedua peraturan perudangan tersebut telah disempurnakan menjadi satu
pengaturan dalam UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, yang
di dalamnya terdapat pengaturan pembagian urusan yang dijadikan sebagai
lampiran tidak terpisahkan dari UU No. 23 Tahun 2014 tersebut. Pembagian
kewenangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah memberikan
implikasi dimana pemerintah daerah dalam melaksanakan pemerintahan sesuai
dengan urusannya, wajib menyampaikan pertanggungjawabannya secara terpisah
dengan pemerintah pusat. Hal ini sebagai bentuk dampak perubahan tata
pemerintahan yang sudah memberikan kewenangan yang lebih besar kepada
pemerintahan daerah dalam mengatur sendiri daerahnya melalui otonomi daerah.

Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 1


Dalam Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), salah satu bentuk
laporan keuangan yang disusun adalah Laporan Realisasi atas Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah yang telah ditetapkan melalui Perda, setelah
sebelumnya diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 6 (enam)
bulan setelah tahun anggaran berakhir. Laporan realisasi ini merupakan salah
satu alat ukur untuk melihat implementasi dari kebijakan dan operasionalisasi
pelaksanaan pengelolaan keuangan suatu daerah dalam upaya mewujudkan
pelayanan publik yang optimal serta upaya dalam mendorong pembangunan
ekonomi di daerah. Besarnya realisasi anggaran dan jenis belanjanya
mengindikasikan besarnya komitmen dan keseriusan suatu pemerintahan daerah
pada aspek-aspek yang menjadi prioritas daerah.
Dalam gambaran umum realisasi APBD Tahun Anggaran (TA) 2013, akan
dilihat realisasi dari 524 daerah , yang terdiri dari 33 provinsi, 398 Kabupaten,
dan 93 kota. Secara ringkas buku ini akan membahas tentang perbandingan
realisasi APBD TA 2013 dengan anggarannya dan perbandingan data realisasi
APBD TA 2013 dengan realisasi APBD tahun-tahun sebelumnya, baik dari sisi
pendapatan, belanja maupun pembiayaannya. Selain itu akan disajikan analisis
tentang beberapa indikator kinerja keuangan maupun implikasinya terhadap
indikator perekonomian dan kesejahteraan masyarakat.
Potret mengenai Realisasi APBD TA 2013 secara agregat nasional, seluruh
provinsi, kabupaten, dan kota bisa dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1
Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013

Realisasi (Dalam Milyar Rupiah)


Mata Anggaran Nasional Kabupaten/
(Konsolidasi)
Provinsi
Kota

Pendapatan 700.236,60 205.797,84 520.952,56

PAD 157.855,46 101.356,53 56.498,93

Dana Perimbangan 442.761,15 64.502,32 378.258,83

Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah 99.619,99 39.938,99 86.194,80

2 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


Realisasi (Dalam Milyar Rupiah)
Mata Anggaran Nasional Kabupaten/
(Konsolidasi)
Provinsi
Kota

Belanja 689.947,72 202.819,78 513.641,74

Belanja Pegawai 287.790,11 36.452,35 251.337,76

Belanja Barang dan jasa 144.627,41 47.954,97 96.672,44

Belanja Modal 163.072,90 36.539,60 126.533,30

Belanja Lain-lain 94.457,29 81.872,86 39.098,24

Surplus/Defisit 10.288,88 2.978,06 7.310,82

Pembiayaan Netto 89.016,41 25.620,15 63.396,26

Penerimaan Pembiayaan 101.010,08 31.465,67 69.544,41

Pengeluaran Pembiayaan 11.993,66 5.845,52 6.148,14

Silpa Tahun Berkenaan 99.305,29 28.598,21 70.707,08

Sumber: DJPK (data diolah)

*) Konsolidasi APBD adalah proses penggabungan APBD Kab/kota dengan provinsi


dengan menghilangkan reciprocal account, hal tersebut dilakukan supaya tidak ada
penghitungan ganda antara transfer provinsi ke kab/kota dengan pendapatan kab/kota,
dengan menghilangkan reciprocal account besaran pendapatan dan belanja secara
total lebih kecil namun besaran surplus/defisit tetap.

Tabel 1.2
Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Tahun Anggaran 2013

Persentase
Mata Anggaran Nasional Kabupaten/
(Konsolidasi)
Provinsi
Kota

Pendapatan 107,15% 103,93% 107,35%

PAD 112,49% 109,63% 118,01%

Dana Perimbangan 102,20% 102,83% 102,10%

Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 3


Persentase
Mata Anggaran Nasional Kabupaten/
(Konsolidasi)
Provinsi
Kota

Lain-lain Pendapatan Daerah yang 124,57% 93,24% 128,79%


Sah

Belanja 97,47% 95,26% 97,88%

Belanja Pegawai 96,96% 93,42% 97,49%

Belanja Barang dan jasa 97,61% 94,26% 99,36%

Belanja Modal 92,76% 84,73% 95,37%

Belanja Lain-lain 108,46% 102,47% 105,71%

Surplus/Defisit -18,92% -19,98% -18,52%

Pembiayaan Netto 162,40% 170,64% 159,29%

Penerimaan Pembiayaan 151,17% 147,70% 152,79%

Pengeluaran Pembiayaan 99,91% 92,94% 107,57%

Sumber: DJPK (data diolah)

1.1. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 secara


Nasional
Gambaran mengenai tingkat penyerapan APBD 2013 secara nasional dengan
perbandingannya terhadap APBD dapat dilihat pada grafik 1.1.

4 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


Grafik 1.1
Perbandingan APBD
Perbandingan dandan
APBD Realisasi
RealisasiAPBD
APBDsecara nasional
secara nasional Tahun
Tahun Anggaran
Anggaran 20132013
(Angka
(AngkaDalam Milyar Rupiah)
Dalam Milyar Rupiah)

Sumber: DJPK
Sumber: DJPK(data
(datadiolah)
diolah)

Realisasi APBD
Realisasi APBD Tahun
TahunAnggaran
Anggaran 2013 2013 memperlihatkan
memperlihatkan bahwa
bahwa realisasi realisasi
pendapatan
pendapatan lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara
lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya, sementara realisasi belanja daerah lebih
realisasi
rendah belanja daerah
dibandingkan lebih rendah
anggarannya. Selisih dibandingkan anggarannya.
negatif realisasi belanja Selisihdengan
daerah ditambah negatif
realisasi belanja daerah ditambah dengan selisih positif realisasi pendapatannya
selisih positif realisasi pendapatannya mengakibatkan terjadi surplus di akhir tahun.

mengakibatkan
Terjadinya surplus terjadi
dalamsurplus
realisasi di
APBDakhirtahun
tahun.
2013Terjadinya
ternyata lebihsurplus
banyakdalam
didorong realisasi
oleh

APBD tahun 2013 ternyata lebih banyak didorong oleh terjadinya pelampauan
terjadinya pelampauan pendapatan, di mana pelampauan realisasi pendapatan 107,15% dari

pendapatan, di mana pelampauan realisasi pendapatan 107,15% dari anggaran,


anggaran, sementara realisasi belanja 97,47% dari anggaran. Pada tahun 2013, realisasi

sementara
pendapatanrealisasi
lebih tinggibelanja
Rp46,7397,47% darirealisasi
triliun dan anggaran.
belanja Pada
daerahtahun 2013,Rp17,94
lebih rendah realisasi
pendapatan lebih tinggi Rp46,72 triliun dan realisasi belanja daerah lebih rendah
triliun dari anggarannya.

Rp17,94 Padatriliuntahun
dari 2013,
anggarannya.
faktor yang paling dominan dalam mendorong pelampauan
perkiraan pendapatan daerah adalah pada Pos Lain-lain Pendapatan Daerah Yang Sah di
Pada tahun 2013, faktor yang paling dominan dalam mendorong pelampauan
mana sekitar 42,05% dari total pelampauan pendapatan berasal dari Lain-lain Pendapatan
perkiraan pendapatan daerah adalah pada Pos Lain-lain Pendapatan Daerah
Daerah Yang Sah, diikuti oleh Pendapatan Asli Daerah (PAD) sebesar 37,51% dari total
yang Sah di mana sekitar 42,05% dari total pelampauan pendapatan berasal
pelampauan pendapatan, dan kemudian Pelampauan dari Dana Perimbangan sebesar 20,44%.
dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, diikuti oleh Pendapatan Asli Daerah
Hal ini ditengarai oleh karena ada beberapa pos dalam Lain-lain Pendapatan Daerah Yang
(PAD) sebesar 37,51% dari total pelampauan pendapatan, dan kemudian
11 | P a g e

Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 5


pelampauan dari Dana Perimbangan sebesar 20,44%. Hal ini ditengarai oleh
karena ada beberapa pos dalam Lain-Lain Pendapatan Daerah yang Sah yang
belum diakomodir pada saat penyusunan anggaran, sehingga pada realisasinya,
total pelampauan dari pos ini mencapai sebesar Rp19,65 triliun. Pelampauan
PAD terutama disumbang oleh Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dengan
total pelampauan mencapai Rp17,53 triliun. Pelampauan Dana Perimbangan
terutama didominasi oleh pos Dana Bagi Hasil (DBH), baik dana bagi hasil dari
pajak maupun sumber daya alam yang pelampauannya mencapai 91,29% dari
total pelampauan dana perimbangan atau sekitar Rp8,72 triliun. Pelampauan
pendapatan daerah di dalam APBD pada pos PAD dan Dana Perimbangan
khususnya DBH utamanya disebabkan oleh penganggaran di daerah yang lebih
konservatif dimana daerah cenderung menganggarkan dengan menggunakan
batas bawah target sebagai ukuran pencapaian penerimaan. Sementara
pelampauan PAD lebih banyak dipengaruhi oleh pelampauan pajak daerah,
yang mencapai 72,78% dari total pelampauan PAD. Jika dilihat lebih rinci, porsi
pelampauan pendapatan daerah melalui Pajak Daerah lebih banyak disumbang
oleh pajak daerah provinsi sebesar Rp7,93 triliun, sementara porsi pajak daerah
kabupaten/kota sebesar Rp4,83 triliun dari total Rp12,76 triliun pelampauan pajak
daerah secara nasional. Pelampauan PAD di kabupaten/kota beberapa tahun
terakhir merupakan salah satu dampak dari kebijakan pemerintah yang telah
membuka keran penambahan sumber pajak daerah di kabupaten/kota melalui
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sektor perkotaan dan pedesaan.

6 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


pajak daerah kabupaten/kota sebesar Rp4,83 triliun dari total Rp12,76 triliun pelampauan
pajak daerah secara nasional. Pelampauan PAD di kabupaten/kota beberapa tahun terakhir
merupakan salah satu dampak dari kebijakan pemerintah yang telah membuka keran
penambahan sumber pajak daerah di kabupaten/kota melalui Pajak Bumi dan Bangunan

Grafik 1.2
(PBB) sektor perkotaan dan pedesaan.

Pelampauan Pendapatan
Grafik 1.2 APBD
Pelampauan Pendapatan APBD

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)
5|Page
Sementara itu, pada sektor belanja secara umum tidak terjadi pelampauan.
Hal ini cukup mendasar, di mana di dalam PP Nomor 58 Tahun 2005 tentang Tata
Kelola Keuangan Daerah, pada Pasal 54 diatur bahwa Satuan Kerja Pemerintah
Daerah (SKPD) dilarang melakukan pengeluaran belanja daerah untuk tujuan yang
tidak tersedia anggarannya dan/atau yang tidak cukup tersedia anggarannya
dalam APBD. Hal ini membatasi penggunaan anggaran belanja jika tidak sesuai
dengan tujuan anggaran, sehingga pada sektor belanja terdapat sekitar Rp17,94
triliun (secara agregat dan setelah dikonsolidasi) yang tidak terserap sesuai
dengan anggaran.
Angka realisasi belanja yang tidak terserap cukup besar pada agregat provinsi
(Rp10,1 triliun), namun jumlah belanja yang tidak terealisasi di kabupaten/kota
bahkan lebih besar (Rp11,1 triliun). Besarnya angka realisasi belanja daerah
pada agregat provinsi disebabkan oleh tidak terealisasinya belanja pada Provinsi
DKI Jakarta sebesar Rp7,27 triliun atau sekitar 15,96% dari total anggarannya.
Secara umum, besarnya jumlah realisasi belanja yang masih belum terserap
menunjukkan bahwa daerah tidak cukup mampu mengejar peningkatan belanja
pada saat terjadi tambahan pendapatan yang cukup signifikan yang berasal dari
transfer ke daerah maupun peningkatan penerimaan pajak daerah, atau dengan
kata lain dapat dikatakan bahwa daerah belum mampu melakukan penyesuaian
yang diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut.

Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 7


Kondisi tersebut di atas patut mendapat perhatian serius baik dari pusat
maupun daerah sendiri. Harus diakui bahwa pendapatan APBD masih sangat
bergantung kepada transfer dari pusat, sehingga informasi yang relatif cepat
dan akurat atas besaran transfer yang dialokasikan ke daerah akan menjadi
kunci bagi kecepatan dan keakurasian perencanaan anggaran di daerah. Hal
ini sudah diupayakan lebih baik dari tahun ke tahun.
Pekerjaan rumah yang masih harus terus dibenahi oleh pemerintah pusat
adalah memperbaiki kualitas perencanaan alokasi DBH, mengingat hal ini
membutuhkan kerja sama dengan berbagai kementerian/lembaga yang
terkait dengan penerimaan negara yang dibagihasilkan ke daerah. Di sisi lain,
daerah juga perlu secara serius memperbaiki kinerja pengelolaan keuangan di
daerahnya dan memperbaiki kualitas belanjanya, sehingga dapat fokus pada
upaya peningkatan kuantitas dan kualitas pelayanan publik, bukan sekedar
penyerapan belanja untuk keperluan aparatur.

1.2. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Provinsi


Pola realisasi APBD provinsi hampir sama dengan pola realisasi APBD
secara agregat nasional, di mana terdapat surplus pada realisasi anggarannya.
APBD agregat provinsi yang semula dianggarkan defisit Rp14,91 triliun, pada
realisasinya menjadi surplus mencapai hampir Rp2,98 triliun. Sementara itu,
pelampauan realisasi pembiayaan netto provinsi lebih tinggi Rp10,61 triliun,
sehingga sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun berkenaan untuk agregat
pemerintah provinsi juga meningkat menjadi Rp28,60 triliun.

8 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


hampir Rp2,98 triliun. Sementara itu, pelampauan realisasi pembiayaan netto provinsi lebih
tinggi Rp10,61 triliun, sehingga sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) tahun berkenaan
untuk agregat pemerintah provinsi juga meningkat menjadi Rp28,60 triliun.

Grafik
Grafik 1.3
1.3

Perbandingan APBD
Perbandingan dan
APBD Realisasi
dan Realisasi APBD ProvinsiTahun
APBD Provinsi TahunAnggaran
Anggaran 2013
2013

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)
Berdasarkan grafik 1.3, pelampauan pendapatan agregat provinsi lebih banyak
Berdasarkan
diakibatkan oleh grafik
adanya 1.3, pelampauan
pelampauan pendapatan
PAD, utamanya agregat
dari pajak daerah provinsi lebih
yaitu dengan
banyak diakibatkan
kontribusi oleh adanya
terhadap pelampauan PADpelampauan PAD,
hingga 89,02%. utamanya
Sebagai dari pajak
konsekuensi daerah
pelampauan
yaitu dengan
target kontribusi
pajak daerah tersebut,terhadap pelampauan
maka secara PAD hingga
otomatis juga terjadi 89,02%.
pelampauan Sebagai
dana bagi hasil
konsekuensi pelampauan target pajak daerah tersebut, maka secara otomatis
14 | P a g e
juga terjadi pelampauan dana bagi hasil provinsi ke kabupaten/kota sebagai
dampak dari penerusan pelampauan dana bagi hasil yang didapat di provinsi.
Sementara itu, porsi pelampauan Dana Perimbangan karena peningkatan realisasi
Dana Bagi Hasil adalah 99,58% atau sebesar 1,77 triliun. Hal ini memberikan
sinyal kepada Pemerintah Pusat, sebagai pihak yang berperan besar dalam
menentukan anggaran alokasi Dana Bagi Hasil di daerah setiap tahunnya, agar
dapat menemukan pendekatan yang lebih baik dalam memprediksi pendapatan
bagi hasil di tahun anggaran yang bersangkutan.
Pada realisasi belanja agregat provinsi, dapat diketahui bahwa pola realisasi
belanja agregat provinsi menunjukkan defisit persis sama dengan realisasi
APBD secara nasional. Pada tahun 2013 total belanja agregat provinsi yang

Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 9


tidak terserap mencapai 4,74% atau Rp10,1 triliun dari total belanja yang tidak
terserap dari anggaran belanja. Angka ini didominasi oleh angka realisasi belanja
modal yang tidak terealisasi yang mencapai sebesar Rp6,58 triliun atau 65,20%
dari total realisasi belanja yang tidak terserap. Pos belanja lain yang cukup besar
yang tidak terserap masing-masing adalah Pos Belanja Bantuan Keuangan
kepada Provinsi/Kabupaten/Kota dan Pemerintah Desa sebesar Rp4,07 triliun
atau sebesar 40,28 % dan Pos Belanja Hibah sebesar Rp482 miliar atau 4,78%
dari total yang tidak terserap pada anggaran belanja. Hal ini mengindikasikan
bahwa upaya provinsi untuk menggenjot belanja publik guna menyesuaikan
dengan pendapatan yang melebihi anggarannya masih rendah dan terkesan
kurang terencana, karena besarnya dana yang dialokasikan untuk belanja
bantuan keuangan ke daerah lain serta untuk belanja hibah, yang seyogyanya
dapat digunakan untuk belanja yang lebih menyentuh sektor publik.

1.3. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013


Kabupaten/Kota
1.3. Gambaran Umum Realisasi APBD 2013 Kabupaten/Kota
Grafik 1.4
Grafik 1.4
Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013
Perbandingan APBD dan Realisasi APBD Kabupaten/Kota Tahun Anggaran 2013

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013 memiliki pola yang hampir
sama dengan realisasi konsolidasi nasional, di mana terjadi pelampauan realisasi pendapatan
10 ANALISIS
dan tidak Realisasi
tercapainya APBD
realisasi tahun
belanja anggaran
pada 2013 Pelampauan realisasi pendapatan
Pos belanjanya.
mencapai Rp35,66 triliun di mana 54,03% (sekitar Rp19,27 triliun) adalah dari Lain-lain
Pendapatan Daerah Yang Sah, kemudian 24,17% (sekitar Rp8,62 Triliun) dari Pendapatan
Realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013 memiliki pola yang
hampir sama dengan realisasi konsolidasi nasional, di mana terjadi pelampauan
realisasi pendapatan dan tidak tercapainya realisasi belanja. Pelampauan
realisasi pendapatan mencapai Rp35,66 triliun dimana sekitar Rp19,27 triliun
(54,03%) berasal dari Lain-lain Pendapatan Daerah yang Sah, kemudian sekitar
Rp8,62 triliun (24,17%) dari Pendapatan Asli Daerah. Sementara itu, komposisi
pelampauan pendapatan dari Dana Perimbangan sebesar Rp7,77 triliun (21,79%)
dari total pelampauan pendapatan, didominasi oleh DBH yang ditransfer baik
oleh pusat maupun provinsi.
Pada sektor belanja, realisasi APBD pada agregat kabupaten/kota tahun 2013
tidak terserap sebesar Rp11,12 triliun. Realisasi belanja yang tidak terserap
tersebut paling besar disumbang oleh tidak terealisasinya belanja pegawai
sebesar Rp6,46 triliun dan belanja modal yang sebesar Rp6,15 triliun, kemudian
diikuti oleh belanja barang dan jasa sebesar Rp622 miliar.
Sementara itu, total agregat belanja kabupaten/kota menjadi lebih besar
karena pelampauan realisasi Belanja Lain-lain sebesar Rp2,11 triliun. Hal ini
mengindikasikan bahwa komitmen kabupaten/kota dalam merealisasikan belanja
modal masih kurang optimal, sehingga sekalipun adanya pencapaian pada
pelampauan pendapatan, namun pertumbuhan pembangunan di daerah tidak
serta merta turut meningkat karena tidak diikuti oleh penggunaan pendapatan
tersebut untuk pembangunan di daerah kabupaten/kota masing-masing.

Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 11


mengindikasikan bahwa komitmen kabupaten/kota dalam merealisasikan belanja modal
masih kurang optimal, sehingga sekalipun adanya pencapaian pada pelampauan pendapatan,
namun pertumbuhan pembangunan di daerah tidak serta merta turut meningkat karena tidak
diikuti oleh penggunaan pendapatan tersebut untuk pembangunan di daerah kabupaten/kota
masing-masing.
1.4. Gambaran Umum Realisasi APBD Tahun 2009-
2013 Umum Realisasi APBD Tahun 2009-2013
1.4. Gambaran

Grafik
Grafik 1.5
1.5
Tren
Tren Realisasi Realisasi Pendapatan,
Pendapatan, Belanja dan
Belanja dan Pembiayaan Pembiayaan
APBD Konsolidasi Nasional
APBD Konsolidasi Nasional Tahun
Tahun 2009 - 2013 2009 - 2013

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)
Tren realisasi APBD dari tahun ke tahun seperti yang terlihat pada grafik 1.5 di atas
Tren realisasi
menunjukkan tren APBD dari
realisasi tahun keyang
pendapatan tahun seperti
selalu yang
berada terlihat
di atas 100%pada grafik
artinya 1.5
secara
dikeseluruhan
atas menunjukkan tren realisasi
selama 5 tahun pendapatan
terakhir realisasi yangAPBD
pendapatan selalunasional
beradaselalu
di atas 100%,
melebihi
dimana
anggaranselama 5 tahun
pendapatan terakhirBahkan
itu sendiri. realisasi pendapatan
terdapat APBD nasional
tren peningkatan selalu
jumlah nominal
melebihi
pelampauananggaran pendapatan
realisasi pendapatan itu sendiri.
dari tahun ke tahun,Bahkan
sekalipunterdapat tren peningkatan
terjadi penurunan pada tahun
jumlah nominal pelampauan realisasi pendapatan dari tahun ke
2012 dan 2013, tetapi secara agregat dapat disimpulkan bahwa terjadi peningkatan tahun, sekalipun
terjadi penurunan
pendapatan pada kurunpada
waktutahun
5 tahun2012 danDemikian
terakhir. 2013, tetapi secara
juga dengan tren agregat dapat
realisasi belanja,
disimpulkan
di mana dapat kita lihat bahwa terdapat kecenderungan realisasi belanja APBD secara5
bahwa telah terjadi peningkatan pendapatan pada kurun waktu
tahun terakhir.
nasional hampir mencapai anggarannya, seperti yang terlihat pada garis merah, di mana
realisasi belanja APBD nasional pada tahun 2009 hanya mencapai 93,84%, namun pada
Tren realisasi belanja juga memiliki kecenderungan dimana realisasi belanja
APBD secara
tahun 2013 nasional
mencapai hampir
97,47%, mencapai
bahkan anggarannya,
sempat melampaui sebagaimana
anggarannya pada tahunterlihat
2011
17 | P a g e
pada garis merah pada Grafik 1.5, di mana realisasi belanja APBD nasional
pada tahun 2009 hanya mencapai 93,84%, namun pada tahun 2013 mencapai
97,47%, bahkan sempat melampaui anggarannya pada tahun 2011 dengan
capaian 100,71%.

12 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


dengan capaian 100,71%. Demikian juga dengan realisasi pembiayaan, dari tahun ke tahun
realisasi pembiayaan APBD secara nasional mengalami peningkatan, bahkan yang terlihat
Demikian juga dengan realisasi pembiayaan, dari tahun ke tahun realisasi
pada tahun 2013 mencapai peningkatan pembiayaan sebesar 162,40%, mencapai satu
pembiayaan APBD secara nasional mengalami peningkatan, bahkan yang terlihat
setengah kali dari yang anggarannya.
pada tahun 2013 mencapai peningkatan pembiayaan sebesar 162,40%, atau
satu setengah kali dari yang anggarannya.
Grafik 1.6
Realisasi Surplus/Defisit APBD Konsolidasi Nasional
Grafik 1.6
Tahun 2009 – 2013
Realisasi Surplus/Defisit APBD Konsolidasi Nasional Tahun 2009 – 2013

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data
Perbedaan diolah) dalam anggaran dengan realisasi memberikan gambaran
defisit/surplus
Perbedaan
tingkat defisit/surplus
akurasi perencanaan daerahdalam
dalam anggaran dengan
penganggaran realisasi
pendapatan memberikan
dan belanja daerah,
gambaran tingkat
baik dari sisi akurasiataupun
pendapatan perencanaan
belanja. daerah
Semakindalam besar penganggaran
gap anggaran dan pendapatan
realisasi
dan belanja daerah,
surplus/defisit maka hal baik dari sisi pendapatan
itu menggambarkan perencanaan ataupun
anggaranbelanja. Semakin
pendapatan besar
dan belanja
gap anggaran
daerah yang kurang dan tersusun
realisasidengan
surplus/defisit,
baik. Grafikhal1.6inimenyajikan
menggambarkan perencanaan
pergerakan gap antara
anggaran pendapatan
surplus/defisit antara anggarandan dengan
belanjarealisasi
daerahyang yang kurang
semakin tersusun
besar. Tahun dengan
2009 APBD baik.
Grafik 1.6 menyajikan
dianggarkan defisit sebesarpergerakan
Rp47,96 triliungapdanantara
realisasisurplus/defisit
APBD juga terjadiantara anggaran
defisit sebesar
dengan realisasi
Rp11,46 triliun, yang
dengan katasemakin besar.
lain terdapat gap Pada tahunsebesar
atau selisih 2009,Rp36,51
APBD triliun.
dianggarkan
Secara
defisit sebesar
visual selisih Rp47,96
tersebut terlihattriliun
semakindan realisasi
besar, hingga APBD
di tahunjuga
2013terjadi defisitmencapai
gap tersebut sebesar
Rp11,46 triliun, dengan kata lain terdapat gap atau selisih
Rp64,67 triliun. Gap tahun 2013 sebagian besar berasal dari pelampauan realisasi sebesar Rp36,51
triliun. Secara
pendapatan yangvisual, selisih
lebih besar daritersebut
anggaran terlihat semakintriliun,
sebesar Rp46,72 besar, hingga
yang pada
secara tahun
terperinci
2013 gap tersebut mencapai Rp64,67 triliun. Gap tahun 2013
angka tersebut 42,05% berasal dari pelampuan Lain-lain Pendapaatan daerah yang Sah dan sebagian besar
berasal dari pelampauan
sebesar 37,51% realisasiAsli
berasal dari Pendapatan pendapatan
Daerah. yang lebih besar dari anggaran
sebesar Rp46,72 triliun, yang secara terperinci angka tersebut 42,05% berasal
dari pelampuan Lain-lain Pendapatan yang Sah dan sebesar 37,51% berasal
18 | P a g e
dari Pendapatan Asli Daerah.

Bab I Gambaran Umum Realisasi APBD 13


14 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
BAB II
REALISASI PENDAPATAN DAERAH

Pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal menuntut pemerintah


daerah untuk mengelola sumber-sumber pendapatan yang dimiliki secara baik
dan maksimal. Terdapat dua sumber utama pendapatan daerah, yaitu dana
transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi dan pendapatan asli daerah (PAD).
Dana transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi (pemerintah pusat dan/atau
provinsi) mempunyai proporsi yang lebih besar daripada PAD, yang sebagian
besar berasal dari pajak daerah. Hal ini merupakan konsekuensi logis dari sistem
desentralisasi di Indonesia yang lebih menganut expenditure assignment.
Dana transfer dari pemerintahan yang lebih tinggi terbagi menjadi dua, yaitu
dana transfer dari pemerintah pusat kepada pemerintah provinsi, kabupaten, dan
kota, dan dana transfer dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten
dan kota. Dari tahun ke tahun, dana yang ditransfer menunjukkan tren yang
meningkat seiring dengan pertumbuhan ekonomi. Dana tersebut ditujukan
untuk mengurangi kesenjangan fiskal secara horisontal dan vertikal, membantu
pemerintah daerah dalam menyediakan pelayanan publik bagi masyarakat, dan
tujuan khusus lainnya yang ditetapkan oleh peraturan perundangan. Dalam bab
ini, jenis dana transfer yang dibahas adalah dana transfer dari pemerintah pusat.
Sumber pendanaan kedua adalah PAD, yang terdiri dari Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah, Hasil Kekayaan Daerah yang Dipisahkan, dan Lain-Lain PAD
Yang Sah. Pajak daerah merupakan komponen utama dan menyumbang proporsi
terbesar dalam PAD. Sebagaimana diatur dalam UU Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, terdapat empat jenis pajak yang
dapat dipungut langsung oleh pemerintah provinsi dan tujuh jenis pajak yang
menjadi kewenangan kabupaten dan kota. Terdapat beberapa jenis pajak baru
yang diserahkan kepada daerah, yaitu Pajak Bumi dan Bangunan Perkotaan dan

Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 15


Pedesaan (PBB-P2), Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
Pajak Sarang Burung Walet, dan Pajak Rokok. Penyerahan keempat jenis pajak
baru tersebut diharapkan menjadi sumber pendapatan daerah yang baru dan
mampu meningkatkan nilai pendapatan asli daerah. Berbeda dengan pemberian
dana transfer, penyerahan kewenangan kepada daerah untuk memungut
beberapa jenis pajak merupakan bentuk pelaksanaan revenue assignment.
Untuk melihat peranan kedua sumber pendanaan tersebut dalam APBD, berikut
disajikan analisis realisasi pendapatan APBD Tahun 2013. Dalam analisis ini,
diberikan gambaran realisasi komponen-komponen utama pendapatan APBD
dan perbandingan dengan realisasi pendapatan empat tahun terakhir. Analisis
komposisi dari realisasi pendapatan APBD bertujuan untuk menunjukkan peranan
dari masing-masing komponen pendapatan APBD di Indonesia dengan melihat
komposisi dari pendapatan total secara agregat nasional, agregat provinsi,
dan agregat kabupaten/kota. Secara khusus, analisis ini juga membahas
perbandingan antara total Pajak Daerah dan Retribusi Daerah terhadap total
Pendapatan Daerah secara agregat nasional dan agregat kabupaten/kota.

2.1. Perbandingan Anggaran dan Realisasi


Pendapatan Daerah
Pendapatan daerah tahun 2013 secara nasional terealisasi lebih tinggi sebesar
Rp46,73 triliun atau sebesar 7,15% dibandingkan anggarannya. Hal ini juga
terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Namun, selisih nominal antara anggaran
dan realisasi tahun 2013 lebih rendah jika dibandingkan dengan selisih pada
tahun 2012, yang mencapai Rp65,55 triliun. Grafik 2.1 menyajikan perbandingan
antara anggaran dan realisasi pendapatan daerah tahun 2013 pada pos PAD,
pos Dana Perimbangan (Daper), pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah, serta
secara total pendapatan.

16 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


jika dibandingkan dengan selisih pada tahun 2012, yang mencapai Rp65,55 triliun. Grafik 2.1
menyajikan perbandingan antara anggaran dan realisasi pendapatan daerah tahun 2013 pada
pos PAD, pos Dana Perimbangan (Daper), pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah, serta secara
total pendapatan.
Grafik
Grafik 2.1
2.1
Perbandingan Anggaran
Perbandingan Anggaran- -Realisasi PendapatanNasional
Realisasi Pendapatan NasionalTATA 2013
2013

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)

Pelampauan
Pelampauanrealisasi terhadap
realisasi terhadap anggaran
anggaran terjaditerjadi pada masing-masing
pada masing-masing komponen

komponen
pendapatan. pendapatan. Pelampauan
Pelampauan pendapatan daerahpendapatan
yang terbesardaerah yang2013
pada tahun terbesar
berasal pada
dari

tahun 2013 berasal dari komponen Lain-Lain Pendapatan Yang Sah yaitu sebesar
20 | P a g e
Rp19.65 triliun atau terealisasi sebesar 124,57% (pagu anggaran Rp79,97 triliun
sedangkan realisasinya Rp99,62 triliun), diikuti oleh pelampauan PAD Rp17,527
triliun atau terealisasi sebesar 112,49% (pagu anggaran Rp140,328 triliun
sedangkan realisasi Rp157,856 triliun), dan pelampauan Dana Perimbangan
Rp9,55 triliun atau terealisasi sebesar 102,2% (pagu anggaran Rp433,21 triliun
sedangkan realisasi Rp442,76 triliun).
Sejak tahun 2012, Pos Lain-Lain Pendapatan Yang Sah merupakan pos dengan
selisih realisasi terbesar secara persentase. Pelampauan komponen Lain-lain
Pendapatan Yang Sah didominasi oleh pos Dana Penyesuaian yang mencapai
Rp12,877 triliun (17,94% dari anggaran). Hal ini disebabkan karena informasi
mengenai alokasi Tunjangan Profesi Guru baru diketahui oleh pemerintah daerah
pada bulan Februari 2013. Pos lain yang tingkat pelampauannya cukup tinggi
yaitu pos Lain-Lain dengan kenaikan sebesar Rp8,276 triliun (realisasi hingga
sebesar 4 kali anggarannya). Penerimaan Dana Darurat yang semula tidak
dianggarkan, terjadi realisasi sebesar Rp185,23 miliar. Sementara itu, penerimaan

Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 17


dari pos Hibah pada saat realisasi justru mengalami penurunan dibandingkan
anggarannya sebesar Rp1,69 triliun.
Pelampauan realisasi pendapatan pada komponen PAD masih didominasi
oleh pelampauan Pajak Daerah dan Lain-Lain PAD Yang Sah. Pajak daerah
pada tahun 2013 terealisasi Rp115,28 triliun atau lebih tinggi Rp12,76 triliun
(12,44%) dibandingkan anggarannya. Melampauinya realisasi penerimaan pajak
daerah dibandingkan dengan target pendapatan dapat disebabkan beberapa
hal, diantaranya adalah pada tahun 2013 terdapat beberapa daerah yang mulai
memungut PBB-P2 secara langsung dan kinerja pemungutan pajak daerah
lainnya yang lebih baik dibandingkan tahun sebelumnya.
Di sisi lain, pos Lain-Lain PAD yang sah terealisasi lebih tinggi Rp5,586 triliun
lebih tinggi atau sebesar 126% dibandingkan anggarannya. Lain-Lain PAD yang
Sah salah satunya diperoleh dari penerimaan bunga dari simpanan daerah di bank
umum daerah. Retribusi Daerah justru dianggarkan terlalu optimis oleh daerah,
yang semula dianggarkan Rp10,5 triliun hanya dapat direalisasikan sebesar
Rp9,8 triliun (lebih rendah Rp694 miliar atau terealisasi 93,39% dibandingkan
anggarannya).
Untuk Dana Perimbangan, pelampauan terjadi pada pos Dana Bagi Hasil
(DBH) sebesar Rp8,72 triliun. Lebih tingginya realisasi DBH dibandingkan
dengan anggaran karena jumlah DBH yang akan diterima oleh daerah baru
diketahui ketika sebagian besar daerah telah menetapkan APBD sehingga nilai
yang ditetapkan dalam APBD merupakan nilai proyeksi berdasarkan nilai DBH
tahun sebelumnya. Faktor lain yang menyebabkan realisasi DBH lebih besar
dibandingkan dengan anggarannya adalah ketentuan dalam UU Nomor 33 Tahun
2004 yang mengamanatkan bahwa DBH ditransfer berdasarkan nilai realisasi
yang diterima oleh pemerintah pusat.
Berbeda dengan pos Dana Bagi Hasil, realisasi Dana Alokasi Khusus (DAK)
dan Dana Alokasi Umum (DAU) hampir sama dengan jumlah yang dianggarkan,
selisih yang terjadi hanya di bawah 1% dibandingkan dengan anggaran. Realisasi
DAU lebih tinggi Rp1,04 triliun daripada yang telah dianggarkan oleh daerah,
sebaliknya DAK dianggarkan terlalu tinggi Rp205 miliar. Hal ini disebabkan
karena nilai alokasi DAU dan DAK yang diterima oleh daerah bersifat tetap (tidak

18 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


berubah walau terdapat APBN Perubahan) dan informasi jumlah DAU dan DAK
yang diterima dapat diperoleh oleh pemerintah daerah sebelum APBD ditetapkan.
Variasi yang relatif kecil ini juga sejalan dengan hasil analisis pada Deskripsi dan
Analisis APBD Tahun 2013 yang menguji hubungan variasi nilai alokasi DBH,
DAU, dan DAK yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan ditetapkan dalam
APBD dengan pengumuman informasi alokasi oleh pemerintah pusat. Informasi
DBH tahun 2013 baru diketahui oleh pemerintah daerah pada bulan Februari
2013, sedangkan besaran DAU dan DAK yang diterima diketahui oleh masing-
masing daerah setelah rapat paripurna penetapan APBN 2013 dilaksanakan.
Analisis yang dilakukan dengan melihat perbedaan besaran alokasi pada
Perpres DAU dan PMK Alokasi DAK dan DBH dengan besarnya pos dana
tersebut pada APBD. Deviasi akan bernilai positif apabila daerah menganggarkan
penerimaannya pada APBD lebih besar daripada alokasi pada PMK Alokasi dan
akan bernilai negatif apabila alokasi pada APBD lebih kecil daripada alokasi pada
PMK Alokasi. Deviasi/perbedaan terbesar terdapat pada alokasi Dana Bagi Hasil
yang mencapai 167,28% untuk deviasi negatif dan 100% untuk deviasi positif.
Di sisi lain, deviasi atas alokasi DAK dan DAU cenderung kecil. Meskipun masih
ada daerah dengan deviasi negatif 100%, jumlah tersebut tidak terlalu signifikan
dibandingkan dengan daerah yang memiliki deviasi 0% dan hanya 3 daerah yang
memiliki deviasi positif dengan nilai deviasi positif tertinggi sebesar 3,5%. Deviasi
positif tertinggi yang terjadi pada alokasi DAU adalah sebesar 6,37% dan deviasi
negatif tertinggi sebesar 23,7%. Dengan kondisi ini, perbedaan antara anggaran
dan realisasi Dana Perimbangan di APBD tidak terlalu signifikan.

2.2. Komposisi Pendapatan Daerah


Berdasarkan data yang disajikan pada poin A, tampak bahwa Dana
Perimbangan merupakan komponen pendapatan terbesar bagi daerah. Kondisi ini
menunjukkan bahwa daerah masih sangat mengandalkan transfer dari Pemerintah
Pusat untuk mendanai belanjanya. Pada bagian ini, disajikan grafik komposisi
pendapatan daerah secara nasional, provinsi, dan agregat kabupaten/kota.

Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 19


daerah masih sangat mengandalkan transfer dari Pemerintah Pusat untuk mendanai
belanjanya. Pada bagian ini, disajikan grafik komposisi pendapatan daerah secara nasional,
provinsi, dan agregat kabupaten/kota.

Grafik.2.2
Grafik.2.2
Komposisi Pendapatan
Komposisi PendapatanDaerah 2013Secara
Daerah 2013 Secara Nasional
Nasional dandan Provinsi
Provinsi
(dalam triliun Rupiah dan persentase)
(dalam triliun Rupiah dan persentase)

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber:Secara
DJPKagregat
(data diolah)
nasional, pendapatan daerah didominasi oleh pos Dana Perimbangan

Secara
yang agregat
mencapai nasional,
Rp442,76 pendapatan
triliun atau daerah
63,23% dari total didominasi
pendapatan. oleh
Tertinggi posadalah
kedua Dana
Perimbangan yangRp157,86
PAD yang mencapai mencapai Rp442,76
triliun triliun
atau 22,54% dariatau
total63,23% daridan
pendapatan total pendapatan.
kemudian Lain-

Tertinggi kedua adalah PAD yang mencapai Rp157,86 triliun atau 22,54%Nilai
Lain Pendapatan Yang Sah yaitu Rp99,62 triliun atau 14,23% dari total pendapatan. dari
total pendapatan
Lain-Lain Pendapatan danYangkemudian
Sah untukLain-Lain Pendapatan
agregat nasional Yang
merupakan Sah
nilai yaitu
hasil Rp99,62
konsolidasi
triliun
setelahatau 14,23%
dikurangi dari total
pendapatan pendapatan.
Transfer Nilai Lain-Lain
dari Pemerintah Pendapatan
Provinsi atau PemerintahYang Sah
Daerah
untuk
Lainnyaagregat nasional
sebesar Rp26,7 merupakan nilai hasil konsolidasi setelah dikurangi
triliun.
pendapatan
BerbedaTransfer dari Pemerintah
dengan nasional, Provinsi atau
komposisi pendapatan untukPemerintah
provinsi yangDaerah
terbesar Lainnya
berasal
sebesar Rp26,7 triliun.
dari PAD yaitu sebesar 49,25%, meningkat apabila dibandingkan realisasi tahun 2012.
Berbeda
Proporsi dengan
PAD pada tingkatnasional, komposisi
provinsi cukup signifikanpendapatan untuk
karena basis pajak provinsi
provinsi yang
yang cukup
terbesar berasal
besar sehingga dari PAD
penerimaan yaitu
dari pajaksebesar 49,25%, meningkat
daerah memberikan apabila
kontribusi yang besardibandingkan
bagi APBD.
realisasi tahunPerimbangan
Proporsi Dana 2012. Proporsi PAD pada
yang diterima olehtingkat
provinsiprovinsi cukup31,34%,
hanya sebesar signifikan karena
sedangkan
basis pajak provinsi yang cukup besar sehingga penerimaan dari pajak 23 | Pdaerah
age
memberikan kontribusi yang besar bagi APBD. Proporsi Dana Perimbangan yang
diterima oleh provinsi hanya sebesar 31,34%, sedangkan Lain-Lain Pendapatan
Yang Sah hanya memberikan kontribusi sebesar 19,41% yang masih didominasi
oleh penerimaan transfer Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus.

20 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


Lain-Lain Pendapatan Yang Sah hanya memberikan kontribusi sebesar 19,41% yang masih
didominasi oleh penerimaan transfer Dana Penyesuaian dan Otonomi Khusus.
Grafik.2.3
Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah 2013 Agregat Kabupaten/Kota
Grafik.2.3
Komposisi Realisasi Pendapatan Daerah 2013 Agregat Kabupaten/Kota
(dalam
(dalamtriliun
triliunRupiah
Rupiah dan persentase)
dan persentase)

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi pendapatan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia adalah PAD sebesar
Realisasi pendapatan daerah kabupaten/kota di seluruh Indonesia adalah
Rp56,5 triliun, Dana Perimbangan Rp378,26 triliun, dan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah
PAD sebesar Rp56,5 triliun, Dana Perimbangan Rp378,26 triliun, dan Lain-Lain
yaitu sebesar Rp86,19 Triliun. Proporsi realisasi pendapatan APBD kabupaten/kota
Pendapatan Yang Sah yaitu sebesar Rp86,19 Triliun. Proporsi realisasi pendapatan
sebagaimana terlihat pada grafik 2.3 menunjukkan bahwa pendapatan kabupaten/kota sangat
APBD kabupaten/kota sebagaimana terlihat pada grafik 2.3 menunjukkan bahwa
didominasi oleh penerimaan dari Dana Perimbangan, yaitu sebesar 72,61% dengan
pendapatan kabupaten/kota sangat didominasi oleh penerimaan dari Dana
komponen terbesar adalah Dana Alokasi Umum. Penerimaan Lain-Lain Pendapatan Yang
Perimbangan, yaitu sebesar 72,61% dengan komponen terbesar adalah Dana
Sah memiliki kontribusi sebesar 16,55%. Tidak berbeda dengan provinsi, penerimaan
Alokasi Umum. Penerimaan Lain-Lain Pendapatan Yang Sah memiliki kontribusi
terbesar komponen ini berasal dari transfer Dana Penyesuaian dari Pemerintah Pusat.
sebesar 16,55%. Tidak berbeda dengan provinsi, penerimaan terbesar komponen
ini berasal dari transfer
Sementara Dana Asli
itu Pendapatan Penyesuaian
Daerah hanyadari Pemerintah
memberikan Pusat.terhadap APBD
kontribusi
sebesar 10,85%. Komponen PAD belum mampu memberikan kontribusi yang cukup
Sementara itu Pendapatan Asli Daerah hanya memberikan kontribusi terhadap
signifikan bagi kabupaten/kota meskipun penerimaannya mengalami kenaikan sebesar Rp10
APBD sebesar 10,85%. Komponen PAD belum mampu memberikan kontribusi
triliun dibandingkan tahun 2012. Dari keseluruhan komponen PAD, Pajak Daerah
yang cukup signifikan bagi kabupaten/kota meskipun penerimaannya mengalami
memberikan kontribusi sebesar Rp28,5 triliun (51%) dan Lain-Lain PAD sebesar Rp16,5
kenaikan sebesar Rp10 triliun dibandingkan tahun 2012. Dari keseluruhan
triliun (29%). Bagi kabupaten/kota penerimaan Lain-Lain PAD ternyata juga memberikan
komponen PAD, Pajak Daerah memberikan kontribusi sebesar Rp28,5 triliun
kontribusi yang cukup besar bagi APBD.
(51%) dan Lain-Lain PAD sebesar Rp16,5 triliun (29%). Bagi kabupaten/kota
penerimaan Lain-Lain
Berdasarkan PAD ternyata
komposisi juga memberikan
di atas, dapat kontribusi
disampaikan bahwa yang daerah
pemerintah cukup
besar bagi APBD.
kabupaten/kota masih bergantung pada Dana Perimbangan. Sebaliknya, pemerintah provinsi

24 | P a g e

Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 21


Berdasarkan komposisi di atas, dapat disampaikan bahwa pemerintah
daerah kabupaten/kota masih bergantung pada Dana Perimbangan. Sebaliknya,
pemerintah provinsi yang cenderung memiliki diskresi yang lebih tinggi untuk
menentukan pajak daerahnya dapat memperoleh realisasi penerimaan pajak
yang cenderung memiliki diskresi yang lebih tinggi untuk menentukan pajak daerahnya dapat
daerah yang lebih optimal. Satu hal yang perlu mendapatkan perhatian adalah
memperoleh realisasi penerimaan pajak daerah yang lebih optimal. Satu hal yang perlu
peningkatan penerimaan dari pos Lain-Lain PAD yang nilainya cukup signifikan.
mendapatkan perhatian adalah peningkatan penerimaan dari pos Lain-Lain PAD yang
Dalam pos Lain-Lain PAD tersebut terdapat pos Pendapatan Bunga. Kondisi
nilainya cukup signifikan. Dalam pos Lain-Lain PAD tersebut terdapat pos Pendapatan
ini perlu dicermati mengingat sepanjang tahun 2013 jumlah dana yang dimiliki
Bunga. Kondisi ini perlu dicermati mengingat sepanjang tahun 2013 jumlah dana yang
daerah dan tersimpan dalam perbankan relatif cukup besar. Banyaknya dana
dimiliki daerah dan tersimpan dalam perbankan relatif cukup besar. Banyaknya dana idle di
idle di perbankan tentunya akan meningkatkan pendapatan bunga bagi daerah.
perbankan tentunya akan meningkatkan pendapatan bunga bagi daerah.

2.3. Tren
2.3. Realisasi
Tren Realisasi PendapatanPendapatan
Daerah Nasional Daerah Nasional
Tren realisasi
Tren realisasipendapatan daerah
pendapatan daerah nasional
nasional dapat dapat
dilihat dilihat pada2.4.
pada Grafik Grafik 2.4.
Grafik
Grafik tersebut
tersebut menunjukkan
menunjukkan pola realisasipola realisasi
pendapatan pendapatan
daerah dari tahun daerah dari
2009-2013 tahun 2009-
menggunakan
2013pendekatan
dua menggunakan
yang dua pendekatan
berbeda. yang
Pendekatan berbeda.
dengan harga Pendekatan dengan
konstan tahun 2000 harga
dan
konstan tahun 2000
memperhitungkan faktor dan memperhitungkan
perubah faktor
harga seperti inflasi pada perubah
tahun 2009harga seperti
- 2013, inflasi
sedangkan
pada tahun
pendekatan 2009harga
dengan - 2013, sedangkan
berlaku pendekatanfaktor
tidak memperhitungkan dengan harga
perubah hargaberlaku tidak
pada tahun
memperhitungkan
2009 - 2013. faktor perubah harga pada tahun 2009 - 2013.
Grafik2.4
Grafik 2.4
Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA 2009-2013
Realisasi Pendapatan Daerah Nasional TA 2009-2013
800,00
700,00
600,00
500,00
400,00
300,00 Pendapatan
200,00 PAD
100,00
0,00
2009 2010 2011 2012 2013
Pendapatan 378,20 433,60 527,73 624,50 700,24
PAD 67,57 81,15 109,24 131,81 157,86

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)
Realisasi pendapatan dengan pendekatan harga berlaku menunjukkan peningkatan
yangRealisasi
signifikan pendapatan dengan
dari tahun 2009-2013, pendekatan
dengan peningkatanharga
tertinggiberlaku menunjukkan
pada tahun 2011. Jika
tahun 2009 realisasi pendapatan berada pada kisaran Rp378,20 triliun, maka pada tahuntertinggi
peningkatan yang signifikan dari tahun 2009-2013, dengan peningkatan 2013
realisasi pendapatan hampir mencapai dua kali lipatnya, yaitu Rp700,24 triliun. Adapun
dengan pendekatan harga konstan menunjukkan pola peningkatan serupa dengan rentang nilai
22 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
realisasi antara Rp149,82 triliun hingga Rp219,41 triliun.

25 | P a g e
pada tahun 2011. Jika tahun 2009 realisasi pendapatan berada pada kisaran
Rp378,20 triliun, maka pada tahun 2013 realisasi pendapatan hampir mencapai
dua kali lipatnya, yaitu Rp700,24 triliun. Adapun dengan pendekatan harga
konstan menunjukkan pola peningkatan serupa dengan rentang nilai realisasi
antara Rp149,82 triliun hingga Rp219,41 triliun.
Grafik 2.5
Grafik 2.5
TrenTren
Realisasi Pendapatan
Realisasi PendapatanDaerah NasionalPerjenis
Daerah Nasional Perjenis Pendapatan
Pendapatan TA 2009-2013
TA 2009-2013
Triliun Rupiah Triliun Rupiah

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber:Tren
DJPKpeningkatan
(data diolah)
juga terlihat untuk realisasi jenis pendapatan PAD dengan

Tren peningkatan
pendekatan juga
harga berlaku. terlihatpeningkatan
Walaupun untuk realisasi jenis
terbesar padapendapatan PAD
tahun 2010 ke dengan
2011 yaitu

pendekatan
sebesar 34,6% harga berlaku.
atau sebesar Walaupun
Rp28,09 peningkatan
triliun, peningkatan terbesar
yang terjadi pada2012
dari tahun tahun 2010
ke tahun

ke
20132011
juga yaitu
cukup sebesar 34,6%
besar, yaitu atau
Rp26,04 sebesar
triliun. Rp28,09
Sementara triliun, peningkatan
itu berdasarkan yang
harga konstan, jenis

terjadi dariPAD
pendapatan tahun 2012
juga ke tahun
mengalami 2013 juga
peningkatan cukup
di tahun 2013besar,
sebesaryaitu Rp26,04
14,73% triliun.
atau Rp6,35

Sementara
triliun. itu berdasarkan harga konstan, jenis pendapatan PAD juga mengalami
peningkatan di tahun
Tren realisasi 2013
Dana sebesar secara
Perimbangan 14,73% atau Rp6,35
nasional triliun. kenaikan baik
juga mengalami
berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga berlaku, realisasi Dana
Tren realisasi Dana Perimbangan secara nasional juga mengalami kenaikan
Perimbangan mengalami kenaikan sejak tahun 2009 hingga 2013, dari sebesar Rp281,29
baik berdasarkan harga berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga
triliun menjadi Rp442,76 triliun. Jika dibandingkan kenaikan di tahun 2012 sebesar 17,64%
berlaku, realisasi Dana Perimbangan mengalami kenaikan sejak tahun 2009
(Rp60,83 triliun), kenaikan di tahun 2013 tidak terlalu signifikan, hanya sebesar 9,14%
hingga 2013, dari sebesar Rp281,29 triliun menjadi Rp442,76 triliun. Jika
(Rp37,07 triliun). Menurut harga konstan, Dana Perimbangan juga mengalami kenaikan
dibandingkan kenaikan di tahun 2012 sebesar 17,64% (Rp60,83 triliun), kenaikan
dimeskipun
tahun secara
2013 persentase jauh lebih rendah dari harga berlaku. Tahun 2012 naik sebesar
tidak terlalu signifikan, hanya sebesar 9,14% (Rp37,07 triliun).
12,57% (Rp14,82 triliun) dan pada tahun 2013 naik sebesar 4,56% (Rp6,05 triliun).

Tidak berbeda dengan PAD dan Dana Perimbangan, tren Lain-lain Pendapatan yang
Babharga
Sah juga mengalami peningkatan baik dalam II Realisasi
berlakuPendapatan konstan. 23
Daerah
maupun harga
Peningkatan harga berlaku di tahun 2012 sebesar 18,16% (Rp13,37 triliun) dan di tahun 2013
sebesar 14,52% (Rp12,63 triliun), sedangkan berdasarkan harga konstan peningkatannya
Menurut harga konstan, Dana Perimbangan juga mengalami kenaikan meskipun
secara persentase jauh lebih rendah dari harga berlaku. Tahun 2012 naik sebesar
12,57% (Rp14,82 triliun) dan pada tahun 2013 naik sebesar 4,56% (Rp6,05 triliun).
Tidak berbeda dengan PAD dan Dana Perimbangan, tren Lain-lain Pendapatan
yang Sah juga mengalami peningkatan baik dalam harga berlaku maupun
harga konstan. Peningkatan harga berlaku di tahun 2012 sebesar 18,16%
(Rp13,37 triliun) dan di tahun 2013 sebesar 14,52% (Rp12,63 triliun), sedangkan
berdasarkan harga konstan peningkatannya pada tahun 2012 sebesar 13,07%
(Rp3,29 triliun) dan pada tahun 2013 sebesar 9,72% (Rp2,76 triliun).
Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendapatan daerah
baik secara keseluruhan maupun per jenis pendapatan mengalami kenaikan.
Hal ini menunjukkan bahwa terjadi peningkatan realisasi pendapatan secara riil
dari tahun 2009 hingga 2013.

2.4. Rasio Pajak Daerah Terhadap Total


Pendapatan Daerah
Rasio pajak daerah terhadap total pendapatan daerah menggambarkan
perbandingan antara jumlah penerimaan pajak di daerah terhadap total
pendapatan daerah selama satu periode anggaran. Rasio ini menunjukkan
bagaimana komposisi penerimaan dari sektor pajak daerah terhadap pendapatan
yang dapat dihasilkan oleh daerah. Dengan telah diterapkannya UU Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, daerah telah diberikan
kewenangan yang luas untuk memberdayakan potensi yang dimiliki, dengan
kebijakan diskresi penetapan tarif pajak.

24 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


diberikan kewenangan yang luas untuk memberdayakan potensi yang dimiliki, dengan
kebijakan diskresi penetapan tarif pajak.

Grafik 2.6
Grafik 2.6
Perkembangan
Perkembangan Jumlah Daerah
Jumlah Daerah
yang Mengelola
yang MengelolaBPHTB
BPHTB dan dan
PPB-P2 2009-2013
PPB-P2 2009-2013
500

400

300

200 BPHTB

100 PBB-P2

-
2011 2012 2013
BPHTB 297 407 442
PBB-P2 8 29 129

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)
Selain itu salah satu kebijakan dalam undang-undang tersebut, mengenai pengalihan
Selain itu salah satu kebijakan dalam undang-undang tersebut, mengenai
kewenangan pemungutan PBB-P2 dan BPHTB dari pusat ke daerah, secara jelas menyiratkan
pengalihan kewenangan pemungutan PBB-P2 dan BPHTB dari pusat ke
daerah, secara
bentuk dukungan bagi jelas
daerahmenyiratkan bentuk
untuk dapat dukungan
melakukan bagi daerah
pemungutan untuk dapat
pajaknya dengan lebih
optimal.melakukan
Kedua halpemungutan pajaknya dengan
ini yang tampaknya lebih peningkatan
mendorong optimal. Kedua hal ini yang
pendapatan pajak dan
tampaknya mendorong peningkatan pendapatan pajak dan retribusi daerah
retribusi daerah sejak diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009. Pada Grafik 2.6 di atas
sejak diberlakukannya UU Nomor 28 Tahun 2009. Pada Grafik 2.6 di atas terlihat
terlihat perkembangan
perkembangan jumlah kabupaten/kota (tidak
jumlah kabupaten/kota (tidak termasuk
termasukProvinsi
ProvinsiDKI
DKI Jakarta) yang
Jakarta)
yang mengelola PBB-P2 dan BPHTB secara mandiri sebagai penerimaan daerah
mulai tahun 2011 hingga 2013. 27 | P a g e

Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 25


mengelola PBB-P2 dan BPHTB secara mandiri sebagai penerimaan daerah mulai tahun 2011
hingga 2013.
Grafik 2.7
Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap
Grafik 2.7 Total Pendapatan Daerah
Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Secara Nasional TA 2009-2013
Secara Nasional TA 2009-2013
18,00% 16,46%
16,00% 15,03% 15,22%

14,00% 12,95%
11,93%
12,00%
10,00%
Rasio Anggaran
8,00% 14,81% 15,69%
11,68% 12,34% 13,84% Rasio Realisasi
6,00%
4,00%
2,00%
0,00%
2009 2010 2011 2012 2013

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)

Grafik 2.7 menunjukkan


Grafik 2.7 menunjukkan tren
trenrasio
rasiopajak daerahterhadap
pajak daerah terhadaptotaltotal pendapatan
pendapatan dari
dari tahun
tahun 2009 hingga
2009 hingga 2013 secara2013 secara
agregat agregat
nasional padanasional
anggaran pada anggaran
dan realisasi dalamdan APBD.realisasi
Tren
dalam APBD. Tren
yang ditunjukkan terusyang ditunjukkan
meningkat dari tahunterus meningkat
ke tahun baik padadari tahunmaupun
anggaran ke tahun baik
realisasi.
pada anggaran
Peningkatan maupun
tren anggaran realisasi.adanya
menunjukkan Peningkatan
peningkatantren anggaran
sekitar 1% setiap menunjukkan
tahunnya dan
adanya peningkatan
peningkatan sekitar
rasio terbesar terjadi1%padasetiap
tahuntahunnya
2011 yaitu dan peningkatan
sebesar 1,5% dari tahun rasio terbesar
2010. Tren
terjadi padaberdasarkan
rasio pajak tahun 2011 yaituAPBD
realisasi sebesar 1,5% daripeningkatan
menunjukkan tahun 2010. dari Tren
tahunrasio pajak
2009-2012
berdasarkan
sekitar 1 hinggarealisasi APBD
2 persen dan tahunmenunjukkan
2013 peningkatan peningkatan
terjaga sebesardari
1,24% tahun 2009-2012
dari tahun 2012.
sekitar Grafik
1 hingga 2 persen dan tahun 2013 peningkatan terjaga sebesar
tersebut juga menunjukkan bahwa penerimaan pajak selalu terealisasi lebih
1,24%
dari tahun 2012.
besar dibandingkan yang telah dianggarkan daerah dalam APBD. Perbedaan terkecil antara
Grafikdengan
realisasi tersebut juga terjadi
anggaran menunjukkan
pada tahunbahwa penerimaan
2009 yaitu sekitar 0,3%pajak selalu
dan yang terealisasi
terbesar terjadi
lebih besar
pada tahun dibandingkan
2011 yang
yaitu sekitar 1,2%. telah deviasi
Sedangkan dianggarkan daerah
realisasi dengan dalam
anggaran padaAPBD.
tahun
Perbedaan
2013 beradaterkecil antara realisasi
pada kisaran dengan masih
0,8%. Walaupun anggaran terjadi
menaruh padapesimis
angka tahun pada
2009
yaitu sekitar 0,3%
penganggaran, danmenunjukkan
hal ini yang terbesar terjadi
daerah sudahpada
cukuptahun
mampu 2011 yaitu sekitarpotensi
memperkirakan 1,2%.
Sedangkan deviasi
pajak daerahnya. realisasi
Deviasi denganantar
yang mencolok anggaran
realisasipada tahun 2013
dan anggaran beradaterlihat
pajak daerah pada
kisaran 0,8%. Walaupun masih menaruh angka pesimis pada penganggaran,
hal ini menunjukkan daerah sudah cukup mampu memperkirakan potensi pajak
28 | P a g e
daerahnya. Deviasi yang mencolok antar realisasi dan anggaran pajak daerah

26 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


terlihat pada2011,
pada tahun tahun 2011, dikarenakan
dikarenakan penerapan
penerapan kebijakan kebijakan
BPHTB BPHTB
yang mulai yang
efektif mulai
dialihkan
efektif dialihkan sebagai pajak daerah pada
sebagai pajak daerah pada tanggal 1 Januari 2011. tanggal 1 Januari 2011.
Grafik 2.8
Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap
Grafik 2.8 Total Pendapatan Daerah
Tren Rasio Pajak Daerah Terhadap Total Pendapatan Daerah
Agregat
AgregatKabupaten/Kota
Kabupaten/Kota TATA 2009-2013
2009-2013
6,00% 5,48%

5,00% 4,80%

4,05%
4,00%

3,00% 2,53% 2,57% Rasio Anggaran

4,89% Rasio Realisasi


2,00%
4,23%
3,73%
2,70%
1,00% 2,41%

0,00%
2009 2010 2011 2012 2013

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)

PadaPadaGrafik 2.82.8
Grafik tampak
tampakbahwa rasiopajak
bahwa rasio pajak tahun
tahun 20092009 dan berdasarkan
dan 2010 2010 berdasarkan
realisasi
realisasi relatif
relatif stabil padastabil
kisaranpada2,5%.kisaran
Namun, 2,5%.
setelah Namun,
itu, terlihatsetelah
adanya itu, terlihattren
peningkatan adanya
dari
peningkatan tren dari rasio dimaksud. Pada tahun 2013, rasio pajak
rasio dimaksud. Pada tahun 2013, rasio pajak mencapai lebih dari dua kali lipat dari rasio mencapai
lebih
pajak dari
padadua
tahunkali lipatHaldari
2010. ini rasio pajak pengaruh
menunjukan pada tahun BPHTB 2010. Halsignifikan
cukup ini menunjukan
terhadap
pengaruh BPHTB cukup
penerimaan pajak kabupaten/kota. signifikan terhadap penerimaan pajak kabupaten/kota.

29 | P a g e

Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 27


Grafik 2.9
Grafik 2.9
Tren Rasio Penerimaan PBB-P2 dan BPHTB
Tren Rasio Penerimaan PBB-P2 dan BPHTBTerhadap
TerhadapTotal
TotalPajak
PajakDaerah
Daerah
Secara Nasional TA 2010-2013
Secara Nasional TA 2010-2013
Rasio terhadap Total
Milyar Rupiah
Pajak Daerah (%)
120.000 50,00%

45,00%
100.000
40,00%

35,00%
80.000
30,00%

60.000 25,00%

20,00%
40.000
15,00%

10,00%
20.000
5,00%

- 0,00%
2010 2011 2012 2013
Anggaran Pajak Daerah Realisasi Pajak Daerah Anggaran PBB-P2 Realisasi PBB-P2
Anggaran BPHTB Realisasi BPHTB Anggaran PBB-P2 dan BPHTB Realisasi PBB-P2 dan BPHTB

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)
Pada Grafik 2.9, terlihat bahwa secara total realisasi PBB dan BPHTB mampu
Pada Grafik
melampaui 2.9, terlihat
anggaran bahwa
pada tahun 2011secara totalNamun
dan 2012. realisasi PBB dan
demikian, BPHTB ini
pencapaian mampu
lebih
melampaui anggaran
banyak dikontribusi olehpada tahun
realisasi 2011 dan
penerimaan 2012.dibanding
BPHTB Namun realisasi
demikian, pencapaian
penerimaan PBB
iniyang
lebihpada
banyak dikontribusi
periode oleh
tersebut baru realisasi
sedikit penerimaan
daerah yang telah BPHTB dibanding
melakukan realisasi
pemungutan PBB
penerimaan PBB yang pada periode tersebut baru sedikit daerah yang
secara langsung. Selain itu pada grafik juga terlihat jelas bahwa realisasi penerimaan PBB telah
melakukan
dan BPHTBpemungutan
terus meningkatPBBtiap
secara langsung.
tahunnya Selain
baik nilai itu maupun
absolut pada grafik jugaterhadap
rasionya terlihat
jelas bahwa realisasi
penerimaan pajak daerah.
penerimaan PBB dan BPHTB terus meningkat tiap tahunnya
baik nilai absolut maupun rasionya terhadap penerimaan pajak daerah.

30 | P a g e
28 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
BAB III
REALISASI BEL ANJA DAERAH

Anggaran belanja daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan


kualitas layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian
daerah apabila dapat terealisasi dengan BAB III baik. Hal ini menjadi salah satu tugas
penting pemerintahan daerah terutama
REALISASI dalam menyediakan
BELANJA DAERAH layanan administratif
dan infrastruktur publik melalui alokasi belanja daerah pada APBD. Perwujudan
Anggaran belanja daerah akan mempunyai peran riil dalam peningkatan kualitas
pelayanan publik di daerah tentunya berkorelasi erat dengan kebijakan belanja
layanan publik dan sekaligus menjadi stimulus bagi perekonomian daerah apabila dapat
daerah. terealisasi
Realisasidengan
belanja
baik. daerah merupakan
Hal ini menjadi realisasi
salah satu penyerapan
tugas penting pemerintahanbelanja
daerah daerah
yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh program/kegiatan
terutama dalam menyediakan layanan administratif dan infrastruktur publik melalui alokasi
yang berdampak
belanja daerah langsung maupunpelayanan
pada APBD. Perwujudan tidak langsung terhadap
publik di daerah pelayanan
tentunya berkorelasi erat publik

di daerah.
dengan kebijakan belanja daerah. Realisasi belanja daerah merupakan realisasi penyerapan
belanja daerah yang dilakukan oleh pemerintah daerah untuk mendanai seluruh
program/kegiatan yang berdampak langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan
3.1. Perbandingan
publik di daerah. Anggaran dengan Realisasi
Belanja
3.1. Perbandingan Daerah
Anggaran dengan Realisasi Belanja Daerah
Grafik 3.1
Grafik 3.1
Perbandingan Anggaran dengan Realisasi
Perbandingan Anggaran dengan
Belanja Daerah Realisasi
APBD Tahun Belanja
Daerah APBD
Anggaran 2013
(dalam miliar rupiah)
Tahun Anggaran 2013 (dalam miliar rupiah)

Sumber : DJPK (data diolah)


Sumber : DJPK (data diolah)
Secara nominal, realisasi belanja daerah secara nasional tahun 2013 adalah Rp689,95
triliun, masih lebih kecil jika dibandingkan dengan pagu anggaran sebesar Rp707,89 triliun
Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 29
atau secara persentase realisasi belanja daerah mencapai 97,47%. Komponen belanja yang

31 | P a g e
Secara nominal, realisasi belanja daerah secara nasional tahun 2013 adalah
Rp689,95 triliun, masih lebih kecil jika dibandingkan dengan pagu anggaran
sebesar Rp707,89 triliun atau secara persentase realisasi belanja daerah
mencapai 97,47%. Komponen belanja yang memiliki tingkat penyerapan di
atas 100% adalah Belanja Lainnya yaitu sebesar 108,46% dengan nilai sebesar
Rp94,46 triliun, lebih tinggi dibandingkan dengan anggarannya sebesar Rp87,09
triliun.
Komponen belanja dengan tingkat penyerapan masih di bawah 100% meliputi
Belanja Pegawai yaitu sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun dengan pagu
anggaran Rp296,82 triliun), Belanja Barang dan Jasa yaitu sebesar 97,61%
(realisasi Rp144,63 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar Rp148,17 triliun),
dan Belanja Modal sebesar 92,76% (realisasi Rp163,07 triliun sedangkan pagu
anggaran sebesar Rp175,81 triliun).
Pengelolaan keuangan daerah yang baik tidak hanya dilihat dari tingkat
realisasi belanjanya semata. Apabila kita hanya melihat realisasi belanja yang
lebih tinggi daripada anggaran induknya, hal ini bisa menjadi sangat bias
karena seolah-olah penyerapan belanja APBD-nya sangat baik padahal tidak
sepenuhnya seperti itu. Pada tahun 2013 telah terjadi perubahan yang cukup
signifikan terhadap APBD pada saat tahun anggaran sedang berjalan, terutama
dari sisi pendapatan APBD, baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD)
maupun Dana Perimbangan.
Dalam proses pembahasan APBD, penetapan angka pendapatan APBD sangat
tergantung kepada informasi transfer dari Pusat. Kondisi yang terjadi pada saat
penetapan APBD tahun 2013 adalah hanya Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana
Alokasi Khusus (DAK) saja yang informasinya benar-benar sesuai dengan jadwal
tenggat waktu penetapan APBD di mana besaran alokasi DAU dan DAK sudah
terinformasikan ke daerah pada minggu pertama November sebelum tahun
anggaran yang baru. Sedangkan transfer DBH baru dapat terinformasikan pada
bulan Desember sebelum tahun anggaran yang baru atau bahkan setelah tahun
anggaran telah berjalan yaitu sekitar Januari sampai dengan Maret. Dengan
demikian besaran alokasi dana perimbangan per daerah setiap tahunnya belum
sepenuhnya ada kepastian, apakah daerah tersebut mendapatkan alokasi dana

30 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


ataukah alokasi dananya naik atau turun, khususnya transfer dari DBH, sehingga
daerah cenderung hanya membandingkan dengan alokasi tahun lalu.
Dalam praktiknya, dalam penyusunan APBD, daerah hanya menaikkan
pendapatan transfernya dengan prosentase kecil. Sebagai akibatnya, daerah
cenderung menganggarkan sangat pesimis (under estimate) pendapatan yang
belum terinformasikan tersebut. Dalam kenyataannya, terkait dengan realisasi
pelampauan pendapatan pada APBD induk, daerah tidak cukup mampu mengejar
peningkatan belanja atau belum cukup mampu melakukan penyesuaian yang
diperlukan untuk menyerap pelampauan pendapatan tersebut saat terjadi
tambahan pendapatan yang cukup signifikan dari transfer Pusat ataupun
peningkatan penerimaan lainnya.
Selain itu, apabila kita melihat data secara lebih detail, pada Grafik 3.1 di
atas terlihat bahwa Belanja Pegawai atau yang biasa disebut sebagai “Gaji PNS”
tidak terealisasi sesuai dengan anggaran dimana Belanja Pegawai terealisasi
sebesar 96,96% (realisasi Rp287,79 triliun sedangkan pagu anggaran sebesar
Rp296,82 triliun). Realisasi belanja modal yang merupakan variabel penting
dalam penyediaan infrastruktur sarana dan prasarana untuk layanan publik hanya
mencapai 92,76% dari anggaran induk (realisasi Rp163,07 triliun sedangkan
pagu anggaran sebesar Rp175,81 triliun), atau masih kurang Rp12,73 triliun dari
anggaran. Padahal seharusnya dengan peningkatan alokasi pendapatan transfer
dari Pusat (yang informasinya baru didapat pada saat tahun anggaran 2013
berjalan), maka anggaran belanja juga harus segera menyesuaikan sehingga
pendapatan daerah bisa semaksimal mungkin teralokasikan untuk belanja yang
langsung berdampak pada peningkatan kuantitas dan kualitas layanan publik.
Salah satu kelemahan yang seringkali terjadi adalah adanya kecenderungan
daerah untuk melakukan perubahan APBD pada saat menjelang akhir tahun
anggaran berjalan (di atas bulan September). Hal ini tentu saja sangat mengurangi
kemampuan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) untuk menyesuaikan belanja,
karena waktu yang tersisa untuk melaksanakan kegiatan/proyek menjadi sangat
sempit. Daerah mempunyai kecenderungan untuk melakukan perubahan APBD
setelah diketahuinya hasil audit atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah
(LKPD) tahun sebelumnya sehingga dapat mengetahui secara pasti berapa

Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 31


besarnya Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya. Hal ini
menunjukkan bahwa konsentrasi perubahan APBD hanya pada penyesuaian
yang sifatnya administratif dan kurang menyentuh aspek substansi penyebab
perubahan serta dampak yang mungkin bisa didapatkan apabila momentum
perubahan dilakukan lebih awal.
Sebab lain yang turut andil dalam keterlambatan penyesuaian belanja daerah
ini juga dipengaruhi oleh aturan Permendagri yang memang mengaturnya
sedemikian rupa. Namun apabila merujuk pada UU 17 Nomor 2003 tentang
Keuangan Negara, dalam Pasal 28 menyebutkan bahwa perubahan APBD dapat
dilakukan apabila terjadi perkembangan yang tidak sesuai dengan kebijakan
umum APBD. Yang dimaksudkan dengan kebijakan umum APBD mencakup di
antaranya adalah kebijakan yang terkait dengan upaya peningkatan pendapatan
dan faktor-faktor yang mempengaruhi peningkatan belanja daerah. Dua hal
tersebut seharusnya sudah bisa dijadikan sebagai dasar bagi perubahan
APBD. Dengan demikian, apabila melihat kondisi yang terjadi pada tahun 2013,
seharusnya perubahan APBD sudah dapat dilakukan paling tidak sejak bulan
Mei 2013.
Di samping permasalahan yang telah disebutkan di atas, beberapa hal
yang juga menyebabkan rendahnya penyerapan Belanja Modal daerah adalah
penetapan APBD yang terlambat, adanya efisiensi Belanja Modal dan berbagai
kebijakan penghematan. APBD yang terlambat ditetapkan dapat menyebabkan
pelaksanaan proyek jadi terhambat. Penyerapan belanja yang tidak dapat dimulai
pada awal tahun anggaran akan menyebabkan proyek yang direncanakan
pemerintah tidak dapat diselesaikan tepat waktu sehingga akan menghambat
daya dorong pertumbuhan ekonomi di daerah. Proses tender yang memakan
waktu relatif lama menyebabkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan proyek-
proyek di daerah menjadi lebih sedikit sehingga terdapat beberapa proyek yang
tidak selesai pada akhir Desember 2013.

32 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


lama menyebabkan waktu yang tersisa untuk menyelesaikan proyek-proyek di daerah
menjadi lebih sedikit sehingga terdapat beberapa proyek yang tidak selesai pada akhir
Desember 2013.

3.2. Komposisi Realisasi Belanja Daerah


3.2. Komposisi Realisasi Belanja Daerah
Grafik 3.2
Komposisi RealisasiGrafik 3.2Daerah Nasional
Belanja
Tahun Anggaran 2013
Komposisi Realisasi Belanja Daerah Nasional Tahun Anggaran 2013
(dalam triliun rupiah dan persentase)
(dalam triliun rupiah dan persentase)

Sumber : DJPK (data diolah)


Sumber : DJPK (data diolah)

Grafik 3.2 menggambarkan bahwa secara nasional komposisi belanja daerah


tahun 2013 didominasi oleh Belanja Pegawai yaitu sebesar 41,70% lebih
34 | Prendah
age
dibandingkan dengan realisasi tahun lalu sebesar 43,71%. Selanjutnya diikuti
oleh Belanja Modal yaitu sebesar 23,63% lebih tinggi dari realisasi tahun lalu
sebesar 21,94%, Belanja Barang dan Jasa sebesar 20,96% lebih tinggi dari
realisasi tahun lalu sebesar 20,14%, dan Belanja Lainnya sebesar 13,70% lebih
rendah dari realisasi tahun lalu sebesar 14,22%.
Kondisi ini tentu saja harus menjadi perhatian kita mengingat secara implisit
daerah hanya menganggarkan sebagian kecil APBD-nya untuk jenis-jenis belanja
selain Belanja Pegawai. Hal ini akan menyebabkan keterbatasan program dan
kegiatan daerah di luar belanja pegawai yang bisa didanai, khususnya pada pos
Belanja Modal yang mendukung pertumbuhan ekonomi. Seharusnya dengan
melihat realisasi pendapatan yang ternyata jauh lebih tinggi, maka belanja
pelayanan publik bisa didorong lebih besar.
Apabila seluruh pelampauan pendapatan dalam APBD 2013 dapat dialokasikan
untuk penambahan belanja (dengan asumsi bahwa Belanja Pegawai tetap), dapat

Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 33


diketahui bahwa alokasi belanja non belanja pegawai akan mengalami kenaikan
dari 58,29% menjadi 60,93% dari total APBD. Meskipun hal tersebut hanya sebuah
pengandaian, namun apabila pelampauan pendapatan sebesar Rp46,72 triliun
tersebut benar-benar digunakan untuk menambah alokasi Belanja Modal dan
Belanja Barang dan Jasa yang terkait pelayanan dasar kepada masyarakat,
maka besar harapan bahwa hal tersebut akan memperluas jangkauan pelayanan
publik dan sekaligus dapat mendorong pertumbuhan perekonomian daerah.
Grafik 3.3
Grafik 3.3
Komposisi Realisasi Belanja
Komposisi Daerah
Realisasi Provinsi
Belanja DaerahTahun Anggaran 2013
Provinsi
(dalam triliun
Tahunrupiah dan2013
Anggaran persentase)
(dalam triliun rupiah dan persentase)

Sumber : DJPK (data diolah)


Sumber : DJPK (data diolah)

Grafik 3.3 menunjukkan


Grafik 3.3 menunjukkanbahwa persentase
bahwa persentase realisasi
realisasi belanja
belanja daerah daerah
provinsi provinsi
terbesar
terbesar adalah
adalah Belanja Belanja
Lainnya yaituLainnya yaitu sebesar
sebesar 40,37%, lebih rendah40,37%, lebih rendah
jika dibandingkan jika
dengan
dibandingkan dengan
realisasi tahun lalu sebesarrealisasi
41,44%,tahun
diikutilalu sebesar
Belanja 41,44%,
Barang dan Jasadiikuti Belanja
sebesar 23,64% Barang
lebih
dan Jasa
tinggi sebesar
dibanding 23,64%
realisasi tahunlebih tinggi 23,01%,
lalu sebesar dibanding realisasi
Belanja tahun lalu
Modal sebesar sebesar
18,02% lebih
23,01%, Belanjarealisasi
tinggi dibanding Modal sebesar
tahun lalu18,02% lebih tinggi
sebesar 16,65%, dibanding
dan Belanja realisasi
Pegawai tahun
sebesar lalu
17,97%
sebesar 16,65%,
lebih rendah danrealisasi
dibanding Belanja Pegawai
tahun sebesar
lalu sebesar 18,90%.17,97% lebih rendah dibanding
realisasiBerbeda
tahun lalu sebesar
dengan 18,90%.
komposisi realisasi belanja daerah secara nasional, persentase
realisasi belanja provinsi seluruh Indonesia yang terbesar adalah untuk Belanja Lainnya, yaitu
berupa transfer bagi hasil dan bantuan keuangan kepada kabupaten dan kota. Hal ini wajar
mengingat pelampauan pendapatan yang tertinggi untuk provinsi adalah dari pajak daerah,
34
sehingga ANALISIS
memang Realisasi
harus dibagihasilkan.
APBD tahun anggaran 2013
Berbeda dengan komposisi realisasi belanja daerah secara nasional,
persentase realisasi belanja provinsi seluruh Indonesia yang terbesar adalah
untuk Belanja Lainnya, yaitu berupa transfer bagi hasil dan bantuan keuangan
kepada kabupaten dan kota. Hal ini wajar mengingat pelampauan pendapatan
yang tertinggi untuk provinsi adalah dari pajak daerah, sehingga memang harus
dibagihasilkan.
Tabel 3.1
Komposisi Realisasi Belanja Lainnya pada APBD Provinsi
Tahun Anggaran 2013

Jenis Belanja Lainnya Nominal (Rp) Persentase

Belanja Bunga 797.036.137.348 0,39%

Belanja Subsidi 31.165.819.500 0,02%

Belanja Hibah 35.479.927.984.936 17,49%

Belanja Bantuan Sosial 3.023.297.238.337 1,49%

Belanja Bagi Hasil Kepada Prov/Kab/Kota 27.194.552.911.654 13,41%


dan Pemdes

Belanja Bantuan Keuangan Kepada Prov/ 15.143.210.071.367 7,47%


Kab/Kota dan Pemdes

Belanja Tidak Terduga 203.665.952.632 0,10%

Sumber : DJPK (data diolah)

Selain itu pada Belanja Lainnya di APBD provinsi, realisasi Belanja Hibah
mencapai 17,49% (Rp35,48 triliun) dan Belanja Bagi Hasil kepada Kabupaten
dan Kota realisasinya sebesar 13,41% (Rp27,19 triliun), serta realisasi Bantuan
Sosial sebesar 1,49% (Rp3,02 triliun). Terkait dengan pos Belanja Hibah dan
Belanja Bantuan Sosial, patut dicermati karena belanja ini sering menjadi isu
yang panas dan banyak diperbincangkan di kalangan masyarakat mendekati
tahun politik 2014.

Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 35


Untuk provinsi, persentase realisasi Belanja Barang dan Jasa, serta Belanja
Modal memiliki tren meningkat sedangkan realisasi Belanja Lainnya dan Belanja
Pegawai memiliki tren menurun.
Grafik
Grafik 3.4
3.4
Komposisi Realisasi Belanja Daerah Kabupaten/Kota
Komposisi Realisasi Belanja Tahun Anggaran
Daerah Kabupaten/Kota 2013
Tahun Anggaran 2013
(dalam triliun rupiah dan persentase)
(dalam triliun rupiah dan persentase)

Sumber : Sumber : DJPK


DJPK (data (data diolah)
diolah)

Secara persentase realisasi belanja daerah kabupaten/kota seluruh Indonesia


Secara persentase realisasi belanja daerah kabupaten/kota seluruh Indonesia
didominasi oleh Belanja Pegawai yaitu sebesar 48,92% lebih rendah dibanding
didominasi oleh Belanja Pegawai yaitu sebesar 48,92% lebih rendah dibanding realisasi tahun
realisasi tahun lalu sebesar 51,72%, kemudian diikuti oleh Belanja Modal dengan
lalu sebesar 51,72%,
persentase sebesar kemudian
24,63%diikuti
lebiholeh Belanja
tinggi Modal dengan
dibanding persentase
realisasi tahunsebesar 24,63%
lalu sebesar
lebih tinggi
23,03%, dibanding
Belanja Barangrealisasi
dantahun
Jasalalu sebesar18,82%
sebesar 23,03%,lebih
Belanja Barang
tinggi dan Jasarealisasi
dibanding sebesar

tahun lalu sebesar 17,99% dan Belanja Lainnya sebesar 7,63% lebih tinggi
18,82% lebih tinggi dibanding realisasi tahun lalu sebesar 17,99% dan Belanja Lainnya

dibanding
sebesar 7,63%realisasi tahun
lebih tinggi lalu sebesar
dibanding realisasi 7,25%.
tahun lalu sebesar 7,25%.

Realisasi ini cukup menunjukkan ke arah yang membaik karena pada level
Realisasi ini cukup menunjukkan ke arah yang membaik karena pada level
kabupaten/kota, persentase realisasi Belanja Modal dan Belanja Barang dan Jasa memiliki
kabupaten/kota, persentase realisasi Belanja Modal dan Belanja Barang dan
Jasa memilikisedangkan
tren meningkat tren meningkat sedangkan
realisasi Belanja Pegawairealisasi Belanja
memiliki tren Pegawai memiliki
menurun.

tren menurun.
3.3. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara Nasional

Untuk mengetahui tren realisasi Belanja daerah dilakukan melalui dua pendekatan,
yaitu pendekatan dengan menggunakan harga belanja daerah berlaku dan menggunakan harga
konstan. Harga konstan digunakan untuk melihat apakah nilai yang tertuang dalam APBD
36 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
memang secara riil mengalami kenaikan atau penurunan.

38 | P a g e
3.3. Tren Realisasi Belanja Daerah Secara
Nasional
Untuk mengetahui tren realisasi Belanja daerah dilakukan melalui dua
pendekatan, yaitu pendekatan dengan menggunakan harga belanja daerah
berlaku dan menggunakan harga konstan. Harga konstan digunakan untuk
melihat apakah nilai yang tertuang dalam APBD memang secara riil mengalami
kenaikan atau penurunan.
Grafik 3.5 menunjukkan tren realisasi belanja dengan menggunakan harga berlaku
Grafik
yang tidak3.5 menunjukkan
memperhitungkan trenperubah
faktor realisasi
hargabelanja dengan
pada tahun menggunakan
2010-2013, harga
sedangkan Grafik
berlaku yang tidak
3.6 menggunakan memperhitungkan
perhitungan dengan hargafaktor perubah
konstan harga
berdasarkan pada
angka GDPtahun 2010-
deflator
2013,
dengansedangkan Grafik
tahun dasar 2000. 3.6konstan
Harga menggunakan perhitungan
memperhitungan dengan
faktor perubah hargainflasi
harga seperti konstan
berdasarkan angka GDP deflator dengan tahun dasar 2000. Harga konstan
pada tahun 2010-2013.
memperhitungan faktor perubah harga seperti inflasi pada tahun 2010-2013.
Grafik3.5
Grafik 3.5
Tren Realisasi Belanja daerah Nasional
Tren Realisasi Belanja daerah Nasional
(harga berlaku)
(harga berlaku)

Sumber
Sumber :: DJPK danBPS
DJPK dan BPS(data
(data diolah)
diolah)

Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 37


Grafik 3.6
Grafik 3.6
Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional
Tren Realisasi Belanja Daerah Nasional
(harga konstan, tahun 2000)
(harga konstan, tahun 2000)

Sumber : DJPK dan BPS (data diolah)


Sumber : DJPK dan BPS (data diolah)
Berdasarkan harga berlaku, realisasi Belanja Pegawai secara nasional memiliki tren
Berdasarkan harga berlaku, realisasi Belanja Pegawai secara nasional
meningkat setiap tahunnya meskipun dengan persentase kenaikan yang semakin mengecil.
memiliki tren meningkat setiap tahunnya meskipun dengan persentase kenaikan
Pada tahun 2011 realisasi Belanja Pegawai meningkat sebesar 14,59% (Rp29,31 triliun). Pada
yang semakin mengecil. Pada tahun 2011 realisasi Belanja Pegawai meningkat
tahun 2012, realisasi Belanja Pegawai kembali mengalami peningkatan sebesar 13,32%
sebesar 14,59% (Rp29,31 triliun). Pada tahun 2012, realisasi Belanja Pegawai
(Rp30,67 triliun), dan pada tahun 2013 meningkat kembali sebesar 10,32% (26,92 triliun).
kembali mengalami peningkatan sebesar 13,32% (Rp30,67 triliun), dan pada
Sementara itu berdasarkan harga konstan, realisasi Belanja Pegawai pada tahun 2011 juga
tahun 2013 meningkat kembali sebesar 10,32% (26,92 triliun). Sementara itu
mengalami peningkatan meskipun dengan persentase yang lebih rendah yaitu sebesar 7,18%
berdasarkan harga konstan, realisasi Belanja Pegawai pada tahun 2011 juga
(Rp5,27 triliun), dan pada tahun 2012 meningkat kembali sebesar 8,44% (6,64 triliun),
mengalami peningkatan meskipun dengan persentase yang lebih rendah yaitu
kemudian7,18%
sebesar kembali(Rp5,27
mengalami peningkatan
triliun), pada tahun
dan pada tahun 2013
2012sebesar 5,69% (Rp4,85
meningkat kembalitriliun).
sebesar
8,44% (6,64 triliun), Belanja
Tren realisasi kemudian kembali
Barang mengalami
dan Jasa peningkatan
secara nasional memilikipada
pola tahun 2013
yang sama
sebesar 5,69%
dengan tren (Rp4,85
realisasi triliun).
Belanja Pegawai secara nasional baik menurut harga yang berlaku
maupun berdasarkan harga konstan. Tren realisasi Belanja Barang dan Jasa secara nasional
Tren realisasi Belanja Barang dan Jasa secara nasional memiliki pola yang
berdasarkan harga berlaku pada tahun 2011 mengalami peningkatan sebesar 31,04%
sama dengan tren realisasi Belanja Pegawai secara nasional baik menurut harga
(Rp25,06 triliun) dan pada tahun 2012 kembali meningkat sebesar 13,65% (Rp14,45 triliun).
yang berlaku maupun berdasarkan harga konstan. Tren realisasi Belanja Barang
Pada tahun 2013, realisasi Belanja Barang dan Jasa kembali mengalami peningkatan sebesar
dan Jasa secara nasional berdasarkan harga berlaku pada tahun 2011 mengalami
20,31% (Rp24,42
peningkatan triliun).
sebesar Berdasarkan
31,04% hargatriliun)
(Rp25,06 konstan,
danpada tahun
pada 20112012
tahun juga kembali
terjadi

meningkat sebesar 13,65% (Rp14,45 triliun). Pada tahun 2013, realisasi Belanja
40 | P a g e

38 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


Barang dan Jasa kembali mengalami peningkatan sebesar 20,31% (Rp24,42
triliun). Berdasarkan harga konstan, pada tahun 2011 juga terjadi peningkatan
untuk realisasi Belanja Barang dan Jasa yaitu sebesar 22,57% (Rp6,66 triliun),
dan pada tahun 2012 kembali mengalami peningkatan sebesar 8,76% (Rp3,17
triliun). Realisasi Belanja Barang dan Jasa meningkat kembali pada tahun 2013
yaitu sebesar 15,26% (Rp6 triliun).
Tren realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami peningkatan baik
menurut harga yang berlaku maupun harga konstan. Berdasarkan harga yang
berlaku, realisasi Belanja Modal secara nasional mengalami kenaikan pada
tahun 2011, yaitu sebesar 14,95% (Rp14,06 triliun) dan pada tahun 2012 kembali
meningkat sebesar 21,09% (Rp22,80 triliun). Pada tahun 2013 realisasi Belanja
Modal kembali mengalami peningkatan sebesar 24,55% (Rp32,15). Sementara
itu berdasarkan harga konstan, Belanja Modal juga mengalami kenaikan pada
tahun 2011, yaitu sebesar 7,52% (Rp2,58 triliun), dan pada tahun 2011 Belanja
Modal kembali meningkat sebesar 15,87% (Rp5,87 triliun). Pada tahun 2013,
realisasi Belanja Modal meningkat kembali sebesar 19,33% (Rp8,28 triliun).
Pada tahun 2011, 2012, dan 2013 ternyata kenaikan realisasi Belanja Modal
berdasarkan harga konstan lebih kecil jika dibandingkan dengan kenaikan
berdasarkan harga yang berlaku.
Tren Belanja Lainnya mengalami penurunan pada tahun 2011 baik dalam
harga berlaku maupun harga konstan, yaitu sebesar 15,54% (Rp9,92 triliun)
berdasarkan harga yang berlaku, dan sebesar 21% (Rp4,90 triliun) berdasarkan
harga konstan. Sedangkan pada tahun 2012, realisasi Belanja Lainnya mengalami
kenaikan baik dalam harga yang berlaku maupun harga konstan, yaitu sebesar
57,35% (Rp30,92 triliun) berdasarkan harga yang berlaku, dan sebesar 50,57%
(Rp9,32 triliun) berdasarkan harga konstan. Pada tahun 2013, realisasi Belanja
Lainnya mengalami kenaikan kembali baik dalam harga yang berlaku maupun
harga konstan, yaitu sebesar 11,46% (Rp9,73 triliun) berdasarkan harga yang
berlaku, dan sebesar 6,79% (Rp1,88 triliun) berdasarkan harga konstan. Pada
tahun 2011, penurunan Belanja Lainnya berdasarkan harga konstan ternyata
lebih besar dibanding penurunan berdasarkan harga yang berlaku, dan pada
tahun 2012 serta 2013 peningkatan realisasi Belanja Lainnya berdasarkan harga

Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 39


konstan ternyata lebih kecil dibanding peningkatan realisasi Belanja Lainnya
berdasarkan harga yang berlaku.
Dengan demikian, Belanja daerah baik secara keseluruhan maupun per
jenis belanja mempunyai pola kenaikan atau penurunan yang sama, meskipun
besarannya berbeda, baik dengan memasukkan faktor perubah harga maupun
tidak. Namun demikian, besaran persentase kenaikan berdasarkan harga yang
berlaku lebih tinggi dibandingkan dengan kenaikan berdasarkan harga konstan,
sebaliknya penurunan
kenaikan berdasarkan berdasarkan
harga harga yang
konstan, sebaliknya berlaku
penurunan lebih rendah
berdasarkan harga dibandingkan
yang berlaku
dengan penurunan berdasarkan harga konstan.
lebih rendah dibandingkan dengan penurunan berdasarkan harga konstan.

3.4. Realisasi
3.4. Realisasi BelanjaBelanja Daerah Per Kapita
Daerah Per Kapita
Grafik 3.7
Grafik
Realisasi Belanja 3.7 Per Kapita
Daerah
Realisasi Belanja Daerah Per Kapita2013
Tahun Anggaran Tahun Anggaran 2013
(dalam rupiah)
(dalam rupiah)

Sumber :: DJPK
Sumber DJPK (data
(datadiolah)
diolah)

Berdasarkan Grafik 3.7 dapat diketahui bahwa rata-rata realisasi belanja


daerahBerdasarkan
per kapita Grafik
adalah3.7sebesar Rp4.321.913,00.
dapat diketahui Realisasi
bahwa rata-rata realisasibelanja
belanja daerah per
daerah per

kapita
kapita per provinsi
adalah sebesarmemperlihatkan
Rp4.321.913,00. bahwa
Realisasibelanja
belanjadaerah
daerah per
per kapita paling
kapita per besar
provinsi

terjadi pada provinsi


memperlihatkan bahwa yang
belanjaberada
daerah di
perwilayah timur besar
kapita paling Indonesia.
terjadi Hal
padaini disebabkan
provinsi yang
berada di wilayah timur Indonesia. Hal ini disebabkan oleh besarnya dana transfer pusat yang
diberikan pada provinsi tersebut dan jumlah penduduk pada provinsi tersebut sedikit.

Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar
40 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
Rp15.412.544,00, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua, dengan
belanja per kapita masing-masing sebesar Rp11.135.027,00 dan Rp9.519.129,00. Sedangkan
belanja daerah per kapita di beberapa provinsi di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal
oleh besarnya dana transfer pusat yang diberikan pada provinsi tersebut dan
jumlah penduduk pada provinsi tersebut sedikit.
Belanja daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Papua Barat yaitu sebesar
Rp15.412.544,00, diikuti oleh Provinsi Kalimantan Timur dan Provinsi Papua,
dengan belanja per kapita masing-masing sebesar Rp11.135.027,00 dan
Rp9.519.129,00. Sedangkan belanja daerah per kapita di beberapa provinsi
di Pulau Jawa merupakan yang terkecil. Hal ini disebabkan karena provinsi di
Pulau Jawa memiliki jumlah penduduk yang besar. Provinsi dengan belanja
per kapita
diikuti olehterkecil
Provinsiadalah
BantenProvinsi Jawa Barat
dan Provinsi Jawa yaitu sebesarRp1.514.208,00,
Tengah, masing-masing sebesar
diikuti oleh Provinsi
Rp1.605.161,00 Banten dan Provinsi Jawa Tengah, masing-masing sebesar
dan Rp1.731.889,00.
Rp1.605.161,00 dan Rp1.731.889,00.
3.5. Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita

3.5. Realisasi Belanja Modal


Grafik 3.8
Daerah Per Kapita
Realisasi BelanjaGrafik
Modal 3.8
Daerah Per Kapita
Tahun Anggaran 2013
Realisasi Belanja Modal Daerah Per Kapita Tahun Anggaran
(dalam rupiah)
2013
(dalam rupiah)

Sumber :: DJPK
Sumber DJPK (data
(datadiolah)
diolah)

Berdasarkan Grafik 3.8 dapat diketahui bahwa rata-rata realisasi belanja


modal per kapita adalah
Berdasarkan sebesar
Grafik 3.8 Rp1.135.578,00.
dapat diketahui Samarealisasi
bahwa rata-rata halnyabelanja
dengan realisasi
modal per

belanja daerah per kapita per provinsi, belanja modal daerah per kapita juga
kapita adalah sebesar Rp1.135.578,00. Sama halnya dengan realisasi belanja daerah per

menunjukkan bahwa
kapita per provinsi, belanja
belanja modalmodal perkapita
daerah per kapita paling
juga besar terjadi
menunjukkan bahwa pada
belanjaprovinsi
modal

yang berada di wilayah timur Indonesia.


per kapita paling besar terjadi pada provinsi yang berada di wilayah timur Indonesia.

Belanja Modal daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Kalimantan Timur yaitu
sebesar Rp4.728.402,00, diikuti oleh Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua dengan
Bab II Realisasi Pendapatan Daerah 41
belanja modal per kapita masing-masing adalah Rp4.556.537,00 dan Rp2.516.465,00.
Sedangkan belanja modal daerah per kapita terendah tetap dimiliki oleh beberapa provinsi di
Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Timur
Belanja Modal daerah per kapita terbesar adalah Provinsi Kalimantan Timur
yaitu sebesar Rp4.728.402,00, diikuti oleh Provinsi Papua Barat dan Provinsi
Papua dengan belanja modal per kapita masing-masing adalah Rp4.556.537,00
dan Rp2.516.465,00. Sedangkan belanja modal daerah per kapita terendah tetap
dimiliki oleh beberapa provinsi di Pulau Jawa yaitu Provinsi Jawa Tengah, Provinsi
Jawa Barat, dan Provinsi Jawa Timur dengan belanja per kapita masing-masing
adalah sebesar Rp256.841,00, Rp286.743,00, dan Rp292.804,00.

42 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


BAB IV
REALISASI SURPLUS/DEFISIT DAN
PEMBIAYA AN DAERAH

4.1. Surplus/Defisit
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 17 Undang-Undang (UU) Nomor 17
Tahun 2003 tentang Keuangan Negara ditetapkan bahwa APBD disusun sesuai
dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan
daerah. Pemerintah Daerah dapat menetapkan APBD surplus ataupun defisit
sesuai dengan kondisi keuangan daerah dan keadaan perekonomian yang
dihadapi Pemerintah Daerah. Dalam hal APBD diperkirakan surplus, maka
pemda menetapkan penggunaan surplus tersebut dalam Peraturan Daerah
(Perda) tentang APBD. Demikian halnya apabila APBD diperkirakan defisit, maka
ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam
Perda tentang APBD.
Apabila secara bersamaan seluruh daerah dan Pemerintah Pusat mengambil
kebijakan menetapkan anggarannya defisit, hal ini dapat mempengaruhi
kesinambungan fiskal secara nasional. Untuk itu, Pemerintah melakukan
pengendalian terhadap jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD, serta jumlah
kumulatif pinjaman Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah agar tidak
menimbulkan beban berat bagi keuangan negara.
Batas Maksimal Defisit APBD dan Batas Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah
untuk Tahun 2013 ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor
137 Tahun 2012. Batas maksimal kumulatif defisit APBD Tahun Anggaran (TA)
2013 secara nasional ditetapkan sebesar 0,5% dari proyeksi Produk Domestik
Bruto (PDB) tahun anggaran 2013. Batas maksimal defisit APBD TA 2013 untuk

Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 43


masing-masing daerah ditetapkan sebesar 6% dari perkiraan pendapatan
daerah TA 2013.
Penetapan anggaran surplus maupun defisit dalam APBD memungkinkan
realisasi pendapatan daerah dapat lebih tinggi ataupun lebih rendah dari realisasi
belanjanya. Mayoritas daerah menetapkan anggarannya defisit dalam APBD. Hal
tersebut dilakukan karena daerah masih pesimis terhadap perolehan pendapatan
yang akan diterima pada tahun berkenaan.
Besaran defisit/surplus yang rendah ataupun tinggi antara anggaran dengan
realisasi APBD dapat memberikan gambaran tingkat akurasi perencanaan daerah
dalam penganggaran pendapatan dan belanja daerah. Semakin tinggi gap antara
anggaran dan realisasinya yang bernilai surplus ataupun defisit menggambarkan
perencanaan anggaran pendapatan dan belanja daerah bersangkutan semakin
pendapatan dan belanja daerah. Semakin tinggi gap antara anggaran dan realisasinya yang
kurang baik.
bernilai surplus ataupun defisit menggambarkan perencanaan anggaran pendapatan dan

Berikut
belanja ini adalah
daerah perbandingan
bersangkutan surplus/defisit
semakin kurang baik. pada Anggaran dan Realisasi
APBD Tahun Anggaran
Berikut ini adalah2009 – 2013.
perbandingan surplus/defisit pada Anggaran dan Realisasi APBD
Tahun Anggaran 2009 – 2013.
Grafik 4.1
Grafik 4.1
Perbandingan
Perbandingan Suplus/Defisit padaAnggaran
Suplus/Defisit pada danRealisasi
Anggaran dan Realisasi APBD
APBD 2009-2013
2009-2013

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)

Grafik 4.1 di atas menggambarkan perbedaan surplus/defisit periode 2009-2013

44 antaraANALISIS
anggaranRealisasi
dan realisasi
APBDyang semakin
tahun besar. Pada
anggaran 2013Tahun 2009 sebanyak 445 daerah
menganggarkan defisit pada APBD-nya dengan nilai kumulatif sebesar Rp47,96 triliun
namun dalam realisasinya justru mengalami surplus Rp11,45 triliun sehingga terdapat selisih
sebesar Rp36,50 triliun. Berdasarkan grafik tersebut, selisih surplus/defisit antara anggaran
Grafik 4.1 di atas menggambarkan perbedaan surplus/defisit periode 2009-
2013 antara anggaran dan realisasi yang semakin besar. Pada Tahun 2009
sebanyak 445 daerah menganggarkan defisit pada APBD-nya dengan nilai
kumulatif sebesar Rp47,96 triliun namun dalam realisasinya justru mengalami
surplus Rp11,45 triliun sehingga terdapat selisih sebesar Rp36,50 triliun.
Berdasarkan grafik tersebut, selisih surplus/defisit antara anggaran dan realisasi
terlihat terus mengalami peningkatan. Posisi terakhir APBD pada tahun 2013
dianggarkan defisit sebesar Rp54,38 triliun, namun pada realisasinya justru
terjadi surplus Rp10,28 triliun atau terdapat selisih Rp64,66 triliun.
Selisih yang sangat besar antara anggaran dan realisasi pada tahun 2013
disebabkan adanya pelampauan realisasi pendapatan daerah yakni dianggarkan
sebesar Rp653,51 triliun namun realisasinya Rp700,24 triliun, sehingga terdapat
selisih sebesar Rp46,73 triliun. Selisih tersebut berasal dari pelampauan PAD
Rp17,53 triliun (37,51% total pelampauan pendapatan), pelampauan transfer dari
Pemerintah Pusat Rp22,43 triliun (48,0%), dan sisanya sebesar 14,5% berasal
dari pelampauan pendapatan lainnya yaitu Rp6,77 triliun. Penyebab utama
terjadinya selisih surplus/defisit sebagian besar berasal dari selisih anggaran
transfer pemerintah pusat ke daerah. Pelampauan dana transfer tersebut dapat
dirinci sebagai berikut Rp8,72 triliun (38,9% total pelampuan dana transfer)
dari pelampauan Dana Bagi Hasil, Rp1,04 triliun (4,6% total pelampuan dana
transfer) dari pelampauan Dana Alokasi Umum (DAU), dan juga pelampauan
Dana Penyesuaian dan Otsus, yaitu 57,4% total pelampuan dana transfer.
Sementara itu untuk Dana Alokasi Khusus, Pemerintah Daerah menganggarkan
lebih tinggi dari yang dialokasikan oleh Pemerintah Pusat. Di sisi lain, pelampauan
pendapatan pada PAD mengindikasikan daerah cenderung konservatif dalam
menganggarkan PAD dalam APBD.
Melihat kondisi tersebut di atas, dari sisi APBN perlu dilakukan perbaikan dalam
proses penganggaran maupun penyaluran DBH dan Dana Penyesuaian. Hal ini
diperlukan agar daerah mendapatkan kepastian terkait informasi besaran alokasi
maupun waktu penyaluran transfer dari Pusat ke daerah sehingga pendapatan
yang direncanakan akan diterima dari Pemerintah Pusat dapat disinkronkan
dalam penyusunan belanja termasuk besarannya dalam APBD. Apabila hal
tersebut terlaksana, maka diharapkan dapat mendukung pelaksanaan belanja

Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 45


daerah yang penyerapannya tentu akan semakin baik, hal ini akan terlihat dari
semakin kecilnya persentase dana anggaran belanja daerah yang tidak terserap.
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa daerah dapat menetapkan
anggarannya bernilai surplus maupun defisit, maka pemerintah daerah diseluruh
Indonesia dapat dikategorikan dalam dua kelompok besar yaitu kelompok daerah
dengan anggaran bernilai surplus dan kelompok daerah dengan anggaran bernilai
defisit. Jumlah daerah dalam masing-masing kelompok selalu berubah-ubah tiap
tahunnya. Berikut disajikan pergerakan jumlah daerah yang mengalami realisasi
APBD surplus ataupun defisit secara terpisah antara kabupaten/kota dan provinsi.
Grafik 4.2. Grafik 4.3
Tren kabupaten/kota yang mengalami
Grafik 4.2. Tren Provinsi
Grafik yang
4.3 mengalami
Tren kabupaten/kota yang mengalami Tren Provinsi yang mengalami
surplus/defisit dalam realisasi APBD
surplus/defisit dalam realisasi APBD
surplus/defisit dalam realisasi APBD
surplus/defisit dalam realisasi APBD

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)

DariDari
grafik 4.24.2
grafik di diatas
atas terlihat bahwa
terlihat bahwa jumlah
jumlah kabupaten/kota
kabupaten/kota yang mengalami
yang mengalami surplus
surplus meningkat
meningkat daripada
dari 196 daerah 196tahundaerah
2009 pada
menjaditahun 2009pada
404 daerah menjadi 404 Pada
tahun 2011. daerahtahunpada
tahun 2011. kabupaten/kota
2013 jumlah Pada tahun 2013 jumlah kabupaten/kota
yang mengalami surplus sebanyakyang mengalami
352 daerah, surplus
mengalami
sebanyak
penurunan 352
dari daerah,
362 daerah mengalami
pada tahun penurunan dari 362
2012. Namun daerahpada
sebaliknya pada tahun
tahun 2012.
2013
Namun sebaliknya
kabupaten/kota pada tahun
yang mengalami defisit2013 kabupaten/kota
sebanyak yang mengalami
139 daerah mengalami peningkatan daridefisit
sebanyak
129 daerah 139
padadaerah mengalami
tahun 2012. Sementarapeningkatan dari provinsi,
itu, untuk tingkat 129 daerah pada
jumlah tahun
provinsi 2012.
yang
Sementara itu, untuk tingkat provinsi, jumlah provinsi yang mengalami surplus
mengalami surplus saat realisasi mengalami penurunan dari 24 provinsi pada tahun 2012
menjadi 18 provinsi pada tahun 2013.

Rata-rata besaran surplus/defisit per daerah dapat terlihat pada tabel 4.1 berikut ini.

Tabel 4.1
46 ANALISIS RealisasiBesaran
Rata-Rata APBD tahun anggaranper
Surplus/Defisit 2013Daerah (Rupiah)

2009 2010 2011 2012 2013


Kab/Kota Surplus 3,200,107,472 41,232,821,608 57,232,307,990 70,102,450,610 48,330,897,881
saat realisasi mengalami penurunan dari 24 provinsi pada tahun 2012 menjadi
18 provinsi pada tahun 2013.
Rata-rata besaran surplus/defisit per daerah dapat terlihat pada tabel 4.1
berikut ini.
Tabel 4.1
Rata-Rata Besaran Surplus/Defisit per Daerah (Rupiah)

2009 2010 2011 2012 2013

Kab/Kota

Surplus 3,200,107,472 41,232,821,608 57,232,307,990 70,102,450,610 48,330,897,881

Defisit -54,073,281,750 -36,879,354,227 -24,089,773,113 -24,507,952,543 -69,796,085,739

Provinsi

Surplus 200,124,464,546 257,710,984,820 396,612,455,079 317,007,954,244 418,002,329,087

Defisit 225,999,378,117 -173,931,306,666 -89,278,056,085 -116,952,957,952 -303,065,544,736

Sumber: DJPK (data diolah)

Berdasarkan data tersebut di atas, pada tahun 2012-2013 nilai surplus per
kabupaten/kota secara rata-rata mengalami penurunan dari Rp70,10 miliar
menjadi Rp48,33 miliar. Hal ini sejalan dengan turunnya jumlah kabupaten/kota
yang mengalami surplus. Menurunnya jumlah rata-rata nilai surplus pemerintah
kabupaten/kota menunjukkan bahwa jumlah daerah yang realisasi pendapatannya
melampaui anggaran pendapatan APBD semakin menurun dan/atau pelaksanaan
penyerapan anggaran belanja APBD semakin membaik. Sementara itu, jumlah
rata-rata nilai surplus provinsi pada tahun 2013 mengalami peningkatan sebesar
Rp100,9 miliar dari Rp317,1 miliar tahun 2012 menjadi Rp418 miliar di tahun 2013.

4.2. Pembiayaan Daerah


Sisi penerimaan pembiayaan dalam postur APBD terdiri dari Sisa Lebih
Penggunaan Anggaran (SiLPA) tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan,
hasil penjualan kekayaan yang dipisahkan, penerimaan pinjaman dan penerimaan

Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 47


kembali pemberian pinjaman. Komponen SiLPA tahun sebelumnya pada APBD
TA 2013 merupakan sumber pembiayaan yang paling besar, yaitu Rp97,45 triliun
atau 96,47% total penerimaan pembiayaan daerah. Selanjutnya adalah Pencairan
Dana Cadangan Rp1,89 triliun (1,88% total penerimaan pembiayaan daerah)
meningkat sebesar Rp772 miliar dari Rp1,12 triliun ditahun 2012. Kemudian,
Penerimaan Pinjaman Daerah sebesar Rp841,2 miliar (0,83%). Jika dibandingkan
dengan penerimaan pinjaman daerah yang dianggarkan dalam APBD TA 2013,
maka realisasi penerimaan pinjaman daerah ini hanya tercapai sebesar 29,4%
dari yang dianggarkan sebesar Rp2,86 triliun.
Grafik 4.4 di bawah ini memperlihatkan rincian penerimaan pembiayaan serta
perbandingan antara anggaran dengan realisasi TA 2013
Grafik 4.4
Rincian PenerimaanGrafik 4.4 APBD TA 2013
Pembiayaan
Rincian Penerimaan Pembiayaan APBD TA 2013

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)

Grafik 4.4 di atas menunjukkan bahwa realisasi SiLPA tahun sebelumnya (SILPA TA
48 ANALISIS
2012) lebih Realisasi
tinggi 58,8% dariAPBD tahunyakni
anggaran anggaran 2013
dari Rp61,37 triliun menjadi Rp97,45 triliun.
Terjadinya selisih SiLPA tahun sebelumnya antara yang tercantum dalam APBD 2013
dengan SILPA TA 2012 dikarenakan informasi SiLPA tahun sebelumnya (TA 2012)
Grafik 4.4 di atas menunjukkan bahwa realisasi SiLPA tahun sebelumnya (SILPA
TA 2012) lebih tinggi 58,8% dari anggaran yakni dari Rp61,37 triliun menjadi
Rp97,45 triliun. Terjadinya selisih SiLPA tahun sebelumnya antara yang tercantum
dalam APBD 2013 dengan SILPA TA 2012 dikarenakan informasi SiLPA tahun
sebelumnya (TA 2012) diperoleh pada akhir tahun anggaran 2012, sementara
APBD 2013 sudah mulai disusun pada pertengahan tahun 2012.
Pada sisi pengeluaran pembiayaan terdiri dari penyertaan modal, pembayaran
pokok utang, pemberian pinjaman kepada daerah lainya, pembayaran kegiatan
lanjutan, dan pengeluaran perhitungan pihak ketiga (PFK). Grafik 4.5 di bawah
ini menggambarkan rincian pengeluaran pembiayaan serta perbandingannya
antara nilai anggaran dengan realisasi.
Grafik 4.5
Grafik
Rincian Pengeluaran 4.5
Pembiayaan APBD TA 2013
Rincian Pengeluaran Pembiayaan APBD TA 2013

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)
Nilai total realisasi pengeluaran pembiayaan jauh lebih kecil jika dibandingkan
Nilai total realisasi pengeluaran pembiayaan jauh lebih kecil jika dibandingkan
dengan total penerimaan pembiayaan yaitu hanya berkisar seperdelapan dari penerimaan
dengan total penerimaan pembiayaan yaitu hanya berkisar seperdelapan dari
pembiayaan. Realisasi total pengeluaran pembiayaan daerah tahun 2013 sebesar Rp11,99
penerimaan pembiayaan. Realisasi total pengeluaran pembiayaan daerah tahun
triliun, atau terealisasi 99,9% dari yang dianggarkan.
2013 sebesar Rp11,99 triliun, atau terealisasi 99,9% dari yang dianggarkan.
Komponen terbesar dari realisasi pengeluaran pembiayaan adalah penyertaan modal
sebesar 7,77 triliun atau 64,7% dari total pengeluaran pembiayaan dan jika dibandingkan
dengan anggarannya, maka penyertaan modal terealisasi sebesar 97,1%. Untuk urutan kedua
Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 49
adalah pembayaran pokok utang yaitu sebesar Rp2,26 triliun atau 18,9% dari total
pengeluaran pembiayaan, kemudian diikuti Pembentukan Dana Cadangan Rp1,40 triliun
(11,7%), Pemberian Pinjaman Daerah Rp338,8 miliar (2,8%), Perhitungan Pihak Ketiga
Komponen terbesar dari realisasi pengeluaran pembiayaan adalah penyertaan
modal sebesar 7,77 triliun atau 64,7% dari total pengeluaran pembiayaan dan
jika dibandingkan dengan anggarannya, maka penyertaan modal terealisasi
sebesar 97,1%. Untuk urutan kedua adalah pembayaran pokok utang yaitu
sebesar Rp2,26 triliun atau 18,9% dari total pengeluaran pembiayaan, kemudian
diikuti Pembentukan Dana Cadangan Rp1,40 triliun (11,7%), Pemberian Pinjaman
Daerah Rp338,8 miliar (2,8%), Perhitungan Pihak Ketiga (PFK) Rp161,43 miliar
(1,3%) dan Pembayaran Kegiatan Lanjutan Rp49,01 miliar (0,4%). Realisasi
pembayaran pokok utang sebesar Rp2,26 triliun, lebih tinggi 15,1% dari anggaran
sebesar Rp1,971 triliun. Hal ini menunjukkan adanya penerimaan pinjaman di
tahun anggaran 2013 yang belum dianggarkan pada APBD TA 2013, akan tetapi
mungkin telah dianggarkan pada APBD Perubahan TA 2012. Hal tersebut belum
dapat dipastikan mengingat data APBD Perubahan tidak tersedia.

4.3. SiLPA
Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) merupakan selisih lebih realisasi
penerimaan dan pengeluaran anggaran selama satu periode anggaran. Dalam
laporan realisasi APBD dibedakan menjadi dua jenis SiLPA, pertama adalah
SiLPA sebagai salah satu sumber penerimaan pembiayaan disebut SiLPA tahun
sebelumnya, kedua, SILPA dari penjumlahan surplus/defisit dan pembiayaan
netto yang disebut SILPA tahun berkenaan. SILPA tahun berkenaan di APBD
2012 akan menjadi SiLPA tahun sebelumnya pada APBD 2013. Secara nasional,
pada periode tahun 2009-2013, jumlah realisasi SiLPA tahun sebelumnya lebih
besar daripada jumlah yang dianggarkan dalam APBD. Hal tersebut dapat dilihat
dalam grafik 4.6 berikut.

50 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


berkenaan di APBD 2012 akan menjadi SiLPA tahun sebelumnya pada APBD 2013. Secara
nasional, pada periode tahun 2009-2013, jumlah realisasi SiLPA tahun sebelumnya lebih
besar daripada jumlah yang dianggarkan dalam APBD. Hal tersebut dapat dilihat dalam
grafik 4.6 berikut.
Grafik 4.6
Grafik 4.6
Perbandingan Tren SiLPA Tahun Sebelumnya antara Anggaran dan Realisasi
Perbandingan Tren SiLPA Tahun Sebelumnya antara Anggaran dan Realisasi

Sumber: DJPK (data diolah)


Sumber: DJPK (data diolah)
Untuk melihat kinerja realisasi anggaran daerah secara keseluruhan, SILPA tahun
Untuk melihat kinerja realisasi anggaran daerah secara keseluruhan, SILPA
berkenaan dapat digunakan sebagai salah satu indikator. Semakin tinggi SILPA tahun
tahun berkenaan dapat digunakan sebagai salah satu indikator. Semakin tinggi
berkenaan suatu daerah mengindikasikan semakin rendah kinerja perencanaan dan
SILPA tahun berkenaan suatu daerah mengindikasikan semakin rendah kinerja
pelaksanaan APBD daerah bersangkutan. Misalnya, anggaran pendapatan dalam APBD
perencanaan dan pelaksanaan APBD daerah bersangkutan. Misalnya, anggaran
ditetapkan lebih rendah dari potensi yang sebenarnya sehingga mudah dicapai, pelampauan
pendapatan dalam APBD ditetapkan lebih rendah dari potensi yang sebenarnya
pendapatan bahkan jauh melebihi target. Hal ini seolah-olah menjadi prestasi luar biasa.
sehingga mudah dicapai, pelampauan pendapatan bahkan jauh melebihi target.
Demikian halnya dari sisi anggaran belanja, daerah tidak merealisasikan program/kegiatan
Hal ini seolah-olah menjadi prestasi luar biasa. Demikian halnya dari sisi anggaran
yang telah dianggarkan dalam APBD. Hal ini tentu akan mengurangi jumlah belanja publik
belanja, daerah tidak merealisasikan program/kegiatan yang telah dianggarkan
untuk tujuan menyejahterakan rakyat. Jumlah dana dari keduanya ini akan menumpuk
dalam APBD. Hal ini tentu akan mengurangi jumlah belanja publik untuk tujuan
menyejahterakan rakyat. Jumlah dana dari keduanya ini akan menumpuk 51 |menjadi
Page

SILPA di akhir tahun berkenaan. Besarnya SILPA tahun berkenaan ini juga dapat
menunjukkan besaran dana idle pemerintah daerah pada akhir tahun berjalan.
Realisasi SILPA untuk tahun berkenaan dari tahun 2009-2013 dapat dilihat dalam
grafik 4.7 berikut.

Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 51


menjadi SILPA di akhir tahun berkenaan. Besarnya SILPA tahun berkenaan ini juga dapat
menunjukkan besaran dana idle pemerintah daerah pada akhir tahun berjalan. Realisasi
SILPA untuk tahun berkenaan dari tahun 2009-2013 dapat dilihat dalam grafik 4.7 berikut.
Grafik4.7
Grafik 4.7
Tren SILPA
Tren SILPA Tahun
Tahun Berkenaan
Berkenaan

Sumber:
Sumber: DJPK (data DJPK (data diolah)
diolah)
Dari grafik di atas, terlihat bahwa SILPA tahun berkenaan (harga berlaku) periode
Dari grafik di atas, terlihat bahwa SILPA tahun berkenaan (harga berlaku)
tahun 2009-2013 menunjukkan tren peningkatan dari Rp52,2 triliun di tahun 2009 menjadi
periode tahun 2009-2013 menunjukkan tren peningkatan dari Rp52,2 triliun di
sebesar Rp99,3 triliun di akhir periode (tahun 2013). Tren peningkatan SILPA ini disebabkan
tahun 2009 menjadi sebesar Rp99,3 triliun di akhir periode (tahun 2013). Tren
oleh sikap pemerintah daerah yang terlalu pesimis dalam menetapkan target pendapatan
peningkatan SILPA ini disebabkan oleh sikap pemerintah daerah yang terlalu
dalam APBD
pesimis (rata-rata
dalam realisasi pendapatan
menetapkan daerah mencapai
target pendapatan dalam 109,4%
APBD dari yang dianggarkan
(rata-rata realisasi
pendapatan daerah mencapai 109,4% dari yang dianggarkan dalam APBD).
dalam APBD).

Jika dilihat dari nominal harga konstan (menggunakan tahun 2000 sebagai tahun
Jika dilihat dari nominal harga konstan (menggunakan tahun 2000 sebagai
dasar), SILPA tahun berkenaan periode 2009-2013 menunjukkan tren fluktuatif. Jika pada
tahun dasar), SILPA tahun berkenaan periode 2009-2013 menunjukkan tren
tahun 2009 SILPA tahun berkenaan sebesar Rp20,7 triliun, selanjutnya di tahun 2010
fluktuatif. Jika pada tahun 2009 SILPA tahun berkenaan sebesar Rp20,7 triliun,
nilainya relatif sama sebesar Rp20,7 triliun. Pada tahun 2011 dan 2012, SILPA tahun
selanjutnya di tahun 2010 nilainya relatif sama sebesar Rp20,7 triliun. Pada tahun
2011 dan 2012, SILPA
berkenaan meningkat tahun
menjadi berkenaansebesar
masing-masing meningkat
Rp26,8 menjadi
triliun danmasing-masing
Rp31,7 triliun.

sebesar Rp26,8 triliun dan Rp31,7 triliun. Adapun di tahun 2013,Rp31,1


Adapun di tahun 2013, SILPA tahun berkenaan mengalami penurunan menjadi SILPAtriliun
tahun
berkenaan mengalami penurunan menjadi Rp31,1 triliun atau sebesar 1,9%
atau sebesar 1,9% dari tahun 2012. Penurunan ini merupakan indikasi adanya perbaikan

dari tahun
kinerja 2012. keuangan
pengelolaan Penurunan oleh ini merupakan
pemerintah daerah,indikasi adanya
khususnya perbaikan
terkait penetapan kinerja
anggaran

pengelolaan keuangan oleh pemerintah daerah, khususnya terkait penetapan


pendapatan daerah yang lebih optimis. Selisih realisasi pendapatan daerah TA 2013 dengan

anggaran pendapatan
yang dianggarkan daerah
adalah 6,4%, yang lebih
menurun optimis.periode
dari rata-rata Selisih2009-2012
realisasi yang
pendapatan
sebesar
daerah TA 2013 dengan yang dianggarkan adalah 6,4%, menurun dari rata-rata
10,2%.
periode 2009-2012 yang sebesar 10,2%.
Secara nasional, agregat SILPA tahun berkenaan mempunyai nilai yang52 | P cukup
age
besar, namun ketika melihat data lebih rinci, ternyata terdapat beberapa daerah
yang mengalami nilai SILPA negatif (biasa disebut SIKPA tahun berkenaan).

52 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


Timbulnya SIKPA tahun berkenaan tersebut menunjukkan bahwa pendapatan
daerah dimaksud pada tahun berkenaan belum dapat menanggulangi seluruh
belanja maupun pembiayaan netto-nya, sehingga nilai SIKPA tersebut menjadi
beban pada anggaran tahun berikutnya. Beberapa daerah yang mengalami hal
demikian dapat dilihat pada tabel berikut:
Tabel 4.2
Daerah dengan SIKPA Tahun Berkenaan TA 2013

No Daerah Defisit Pembiayaan SIKPA Tahun Berkenaan

1 Kab. Kepulauan Sula -17,768,286,978 -3,799,220,657 -21,567,507,636

2 Kota Ternate 2,188,295,257 -20,010,359,540 -17,822,064,283

3 Kab. Halmahera Barat 10,888,284,848 -16,157,055,956 -5,268,771,108

4 Kab. Halmahera Selatan 10,226,142,502 -11,570,118,896 -1,343,976,394

Sumber: DJPK (data diolah)

Tabel di atas menggambarkan kabupaten Kepulauan Sula merupakan daerah


yang memiliki nilai SIKPA tahun berkenaan terbesar, artinya realisasi pendapatan
daerah itu tidak cukup untuk menutup belanja maupun pembiayaan sebagaimnan
tercantum dalam APBD. Ketidakmampuan tersebut disebabkan beberapa faktor
yaitu rendahnya realisasi PAD, hanya 34,9% dari anggaran, terlalu optimis
menetapkan perolehan DBH dalam APBD, ternyata realisasi transfer DBH hanya
44,9% dari anggaran, serta tidak adanya realisasi atas pinjaman daerah yang
telah dianggarkan sebesar Rp80 miliar.
Selain Kabupaten Kepulauan Sula masih terdapat tiga daerah lainnya yang
mengalami hal yang sama yaitu Kota Ternate, Kabupaten Halmahera Barat, dan
Kabupaten Halmahera Selatan. Untuk Kabupaten Ternate, SIKPA tahun berkenaan
telah terjadi selama tiga tahun berturut-turut sejak tahun 2011. Namun, yang
lebih mengejutkan lagi, Kabupaten Halmahera Barat ternyata telah lima tahun
berturut-turut mengalami SIKPA tahun berkenaan sejak tahun 2009. Setelah
diteliti, ternyata daerah tersebut untuk sementara menutupi nilai SiKPA tahun
berkenaannya melakukan penundaan pembayaran Perhitungan Pihak Ketiga
(PFK) seperti iuran pensiun PNSD kepada PT Taspen (Persero), iuran jaminan

Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 53


kesehatan kepada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), iuran TAPERUM-
PNS kepada BAPERTARUM-PNS, serta potongan PPN/PPh ke Kas Negara.
Daerah tersebut sebenarnya dapat mengurangi atau bahkan menghilangkan
nilai SIKPA-nya yakni dengan cara mengurangi anggaran belanjanya secara
drastis dengan memperhatikan urutan prioritas, selain itu daerah juga harus
berusaha keras meningkatkan pendapatannya, kemudian adanya komitmen
daerah untuk tidak menggunakan dana PFK menutupi anggaran belanja. Dengan
demikian, diharapkan SIKPA akan berkurang atau bahkan berubah menjadi SILPA.

4.4. Penerimaan Pinjaman Daerah dan Obligasi


Daerah
Selain SiLPA tahun sebelumnya sebagai sumber pembiayaan untuk menutup
defisit APBD, sumber lain adalah pinjaman daerah dan obligasi daerah. Pinjaman
daerah dan obligasi daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak
lain sehingga daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali.
Mengingat pengembalian pinjaman ini dapat saja bersamaan waktunya dan
secara nasional nilai pembayarannya besar, maka hal ini dapat mempengaruhi
kondisi keuangan negara. Untuk itu, pelaksanaan pinjaman daerah perlu dilakukan
pengawasan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang
Batas Maksimal Kumulatif Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah,
Batas Maksimal Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, dan Batas
Maksimal Kumulatif Pinjaman Daerah. PMK ini diterbitkan pada bulan Agustus
setiap tahunnya yang akan digunakan daerah sebagai acuan dalam penyusunan
APBD tahun berikutnya untuk penyusunan anggaran defisit dan pembiayaannya
ditutup dari pinjaman daerah.
Selama periode tahun 2009-2013, realisasi penerimaan pinjaman daerah
cenderung lebih kecil dari anggaran APBD. Untuk kabupaten/kota, realisasi
terendah terjadi pada tahun 2011 yakni sebesar Rp547 milliar (24,2%) dari
Rp2,3 triliun yang dianggarkan. Sedangkan untuk provinsi, realisasi terendah
terjadi pada tahun 2012 hanya sebesar Rp34 miliar (1,8%) dari Rp1,9 triliun yang

54 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


dianggarkan. Hal ini terjadi karena Provinsi DKI Jakarta tidak merealisasikan
obligasi daerah yang dianggarkan sebesar Rp1,7 triliun.
Grafik 4.8 Grafik 4.9
Perbandingan Anggaran dan Realisasi Perbandingan Anggaran dan Realisasi
Penerimaan
PenerimaanPinjaman
Pinjaman Kab/Kota
Kab/Kota PenerimaanPinjaman
Penerimaan PinjamanProvinsi
Provinsi
Penerimaan Pinjaman Kab/Kota Penerimaan Pinjaman Provinsi

Sumber:
Sumber: DJPK
DJPK (data
(data diolah)
diolah)
Sumber: DJPK (data diolah)
Selain perbandingan nominal antara anggaran dan realisasinya, pada grafik di
Selain perbandingan nominal antara anggaran dan realisasinya, pada grafik di bawah
bawahSelain
ini dapat dilihat jumlah
perbandingan nominaldaerah yang menganggarkan
antara anggaran pinjaman
dan realisasinya, pada grafik diterhadap
bawah
ini dapat dilihat jumlah daerah yang menganggarkan pinjaman terhadap jumlah daerah yang
jumlah
ini dapatdaerah yang daerah
dilihat jumlah merealisasikan pinjaman
yang menganggarkan daerahterhadap
pinjaman yang jumlah
disajikan terpisah
daerah
merealisasikan pinjaman daerah yang disajikan terpisah antara kelompok kabupaten/kota
yang

antara kelompok
dengan provinsi. kabupaten/kota dengan provinsi.
merealisasikan pinjaman daerah yang disajikan terpisah antara kelompok kabupaten/kota
dengan provinsi.
GrafikGrafik
4.10 4.10 GrafikGrafik
4.11 4.11
Jumlah Kab/kota yang melakukan Jumlah Provinsi yang4.11
melakukan
Jumlah Kab/kota yang
Grafik
Pinjaman melakukan
4.10
Daerah Jumlah Provinsi yang
Grafik melakukan
Jumlah Kab/kota yang melakukan Jumlah Pinjaman Daerah
Provinsi yang melakukan
Pinjaman
PinjamanDaerah
Daerah PinjamanDaerah
Pinjaman Daerah

Sumber: DJPK (data diolah)

Pada periode tahun 2009-2011, jumlah kabupaten/kota yang merealisasikan pinjaman


Sumber: DJPK (data diolah)
Sumber: DJPK (data
semakin menurun dari 85diolah)
daerah tahun 2009, menjadi 78 daerah tahun 2010, kemudian
Pada periode
menjadi tahun
50 daerah pada2009-2011,
tahun 2011.jumlah
Namun,kabupaten/kota yang
pada tahun 2012 merealisasikan
hingga pinjaman
2013, mengalami
peningkatan
semakin menurundaridari
51 daerah pada tahun
85 daerah 2012
tahun menjadi
2009, 56 daerah
menjadi 78 di tahun 2013.
daerah tahun 2010, kemudian
Bab IV Realisasi Surplus/Defisit dan Pembiayaan Daerah 55
menjadi 50 daerah pada tahun 2011. Namun, pada tahun 2012 hingga 2013, 55 | mengalami
Page

peningkatan dari 51 daerah pada tahun 2012 menjadi 56 daerah di tahun 2013.
Pada periode tahun 2009-2011, jumlah kabupaten/kota yang merealisasikan
pinjaman semakin menurun dari 85 daerah tahun 2009, menjadi 78 daerah tahun
2010, kemudian menjadi 50 daerah pada tahun 2011. Namun, pada tahun 2012
hingga 2013, mengalami peningkatan dari 51 daerah pada tahun 2012 menjadi
56 daerah di tahun 2013.
Sementara itu untuk provinsi, jumlah daerah yang merealisasikan pinjaman
daerah melampaui jumlah daerah yang menganggarkan pinjaman daerah. Jika
pada kelompok kabupaten/kota pada periode tahun 2009-2011 mengalami
tren menurun, justru sebaliknya kelompok provinsi pada periode yang sama
mengalami peningkatan jumlah yang merealisasikan pinjaman daerah dari 2
daerah di tahun 2009 menjadi 6 daerah pada tahun 2011. Akan tetapi, pada tahun
2012 menurun jadi 5 daerah dan pada tahun 2013 menjadi 3 daerah. Gambaran
pada grafik diatas menggunakan APBD awal sebagai acuan. Perbedaan antara
anggaran dan realisasi terjadi karena penganggaran pinjaman daerah mungkin
telah dimasukkan dalam APBD Perubahan namun karena informasinya tidak
dapat diperoleh maka APBD Perubahan tidak dapat dijadikan sebagai acuan.

56 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


BAB V
IMPLIKASI REALISASI APBD TA 2013
TERHADAP PEREKONOMIAN DAERAH

Dalam tataran otonomi daerah dan desentralisasi fiskal di mana daerah


diberikan kewenangan yang luas untuk mengelola sendiri sumber daya yang
dimilikinya secara efisien dan efektif guna mewujudkan kemandirian daerah,
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) memiliki peran yang sangat
penting di dalam menjaga kelangsungan proses pembangunan di daerah.
Proses pembangunan di era otonomi daerah memberikan celah dan peluang
yang besar bagi Pemerintah Daerah dalam menentukan kebijakan dan arah
pembangunan yang mengutamakan potensi serta keunggulan daerah sesuai
dengan karakteristik daerah, sehingga esensi dari kebijakan APBD memberikan
dampak yang signifikan bagi kegiatan perekonomian daerah dalam upaya
mewujudkan kesejahteraan masyarakat.
Dari sisi pendapatan, kebijakan APBD yang terkait dengan pajak daerah dan
retribusi daerah akan sangat mempengaruhi iklim investasi dan kegiatan ekonomi
di daerah. Sementara itu dari sisi pengeluaran, dana APBD yang dialokasikan
untuk belanja barang dan jasa dan belanja modal akan memberikan pengaruh
terhadap kegiatan investasi dan perekonomian daerah. Sebagian besar dari
pelaksanaan belanja modal menghasilkan output berupa infrastruktur sarana
dan prasarana pelayanan publik yang mempengaruhi minat investor untuk
menanamkan modal di daerah. Demikian pula sebagian dari belanja barang dan
jasa akan menstimulasi kegiatan ekonomi masyarakat di daerah.
Kegiatan investasi di daerah dalam beberapa tahun terakhir terus menunjukkan
peningkatan. Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM), jumlah investasi yang berasal dari penanaman modal asing (PMA)
dan penanaman modal dalam negeri (PMDN) mengalami peningkatan. PMA

Bab V Implikasi Realisasi APBD TA 2013 terhadap Perekonomian Daerah 57


mengalami peningkatan dari Rp221,0 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp270,5
triliun pada tahun 2013, atau meningkat 22,3 persen. Demikian juga untuk PMDN
mengalami peningkatan dari Rp92,1 triliun pada tahun 2012 menjadi Rp128,2
triliun pada tahun 2013, atau meningkat 39,0 persen. Apabila dilihat per wilayah,
sebagian besar dari kegiatan investasi yang dilakukan melalui PMA maupun
PMDN masih terkonsentrasi di pulau Jawa, Sumatera dan Kalimantan. Sementara
itu kegiatan investasi di wilayah lain, yakni di pulau Sulawesi, Maluku dan Papua,
dan Bali dan Nusa Tenggara, masih relatif kecil. Selanjutnya perkembangan
Tenggara, masih relatif kecil. Selanjutnya perkembangan investasi dapat dilihat pada Tabel
investasi dapat dilihat pada Tabel 5.1.
5.1.
TABEL 5.1
TABEL 5.1
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA
PERKEMBANGAN REALISASI INVESTASI DI INDONESIA
TAHUN
TAHUN2009
2009 --2013
2013
PMA (Rp Miliar) PMDN (Rp Miliar)
No Provinsi
2009 2010 2011 2012 2013 2009 2010 2011 2012 2013
1 Sumatera 7.297 6.832 18.689 33.564 32.073 7.820 4.224 16.334 14.256 22.914
2 Jawa 88.071 105.157 110.921 122.939 163.763 25.768 35.140 37.176 52.693 66.496
3 Bali dan Nusa Tenggara 2.197 4.597 8.574 10.139 8.433 51 2.119 357 3.168 4.400
4 Kalimantan 2.686 18.395 17.270 28.878 26.281 2.934 14.576 13.467 16.740 28.714
5 Sulawesi 1.331 7.857 6.437 13.563 14.109 1.188 4.338 7.228 4.901 3.624
6 Maluku dan Papua 81 5.447 13.380 11.999 25.803 41 229 1.439 424 2.003
Jumlah 101.663 148.285 175.271 221.082 270.462 37.802 60.626 76.001 92.182 128.151

Sumber
Sumber : Badan
: Badan Koordinasi
Koordinasi Penanaman
Penanaman Modal
Modal (BKPM) (BKPM)
Ke depan perlu
Ke depan perludiupayakan adanya
diupayakan adanya kemampuan
kemampuan daerah
daerah yang yang menciptakan
tidak hanya tidak hanya
menciptakan iklim
iklim investasi yang investasi
kondusif yang
saja, lebih kondusif
daripada saja,
itu adalah lebih daripada
bagaimana itu adalah
dilakukan upaya yang

bagaimana dilakukan
terintegrasi untuk upaya
meningkatkan dayayang terintegrasi
saing daerah. Sejak RKP untuk
tahun meningkatkan daya
2013, isu tersebut telah

saing daerah. Sejak RKP tahun 2013, isu tersebut telah diketengahkan
diketengahkan untuk mengarahkan pada perbaikan-perbaikan yang dapat mendoronguntuk
mengarahkan
tumbuhnya usaha pada
baru,perbaikan-perbaikan
industri baru, lapangan kerjayangbaru,dapat
danmendorong tumbuhnya
mendorong pertumbuhan

usaha baru, industri baru, lapangan kerja baru, dan mendorong


ekonomi yang berkeadilan. Strategi peningkatan daya saing pertumbuhan
daerah, meliputi : (1)

ekonomi yang
peningkatan berkeadilan.
iklim Strategi
investasi dan dunia peningkatan
usaha; (2) percepatandaya saing daerah,
pembangunan meliputi
infrastruktur; (3) :

(1) peningkatan iklim investasi dan dunia usaha; (2) percepatan pembangunan
peningkatan pembangunan industri di berbagai koridor ekonomi; (4) penciptaan kesempatan

infrastruktur;
kerja khususnya(3)tenaga
peningkatan pembangunan
kerja muda. industri
Dari sisi daya saing, di berbagai
peringkat Indonesiakoridor
menurutekonomi;
World

(4) penciptaan kesempatan kerja khususnya tenaga kerja muda. Dari sisitahun
Economic Forum, pada tahun 2013-2014 meningkat yaitu peringkat 38 dari daya
saing, peringkat Indonesia menurut World Economic Forum, pada tahun 2013-
sebelumnya (tahun 2012-2013) menduduki peringkat 50.

2014 meningkat yaitu peringkat


Untuk meningkatkan 38 dari tahun
minat investasi, sebelumnya
diperlukan (tahundan2012-2013)
adanya promosi fasilitasi

menduduki
kebijakan dariperingkat
pemerintah.50.Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan, Perluasan, dan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan sejak tahun 2011, telah
memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk melaksanakan investasi di daerah
dalam jangka panjang dan menengah. Investasi di sektor riil merupakan stimulasi bagi
58 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
perekonomian karena memiliki efek multiplier, dengan demikian hendaknya didukung
dengan kebijakan fiskal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tidak
menimbulkan penurunan investasi swasta (crowd-out). Pada tahun 2013, Pemerintah Pusat
Untuk meningkatkan minat investasi, diperlukan adanya promosi dan fasilitasi
kebijakan dari pemerintah. Pemerintah Pusat melalui Master Plan Percepatan,
Perluasan, dan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) yang dicanangkan
sejak tahun 2011, telah memberikan panduan yang jelas kepada investor untuk
melaksanakan investasi di daerah dalam jangka panjang dan menengah.
Investasi di sektor riil merupakan stimulasi bagi perekonomian karena memiliki
efek multiplier, dengan demikian hendaknya didukung dengan kebijakan
fiskal dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah yang tidak menimbulkan
penurunan investasi swasta (crowd-out). Pada tahun 2013, Pemerintah Pusat
telah mengeluarkan paket kebijakan ekonomi yang ditujukan untuk meningkatkan
investasi, yaitu : (1) penyederhanaan proses perijinan; (2) merevisi “Daftar
Negatif Investasi” (DNI) yang lebih ramah bagi investor; (3) meningkatkan insentif
pajak melalui keringanan pajak bagi industri padat karya seperti industri tekstil,
pakaian, sepatu, furnitur, dan mainan serta penambahan pengurangan pajak
untuk perusahaan-perusahaan yang paling tidak 30% dari hasil produksinya
ditujukan untuk ekspor.
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan investasi, pertumbuhan ekonomi
Indonesia juga terus menunjukkan angka yang menggembirakan, namun sedikit
menurun bila dibanding tahun 2012, sebagai dampak kondisi perekonomian
global. Pada tahun 2013, pertumbuhan ekonomi nasional mencapai 5,9 persen,
melambat bila dibandingkan tahun 2012 sebesar 6,3 persen. Hal ini ditengarai
dengan pertumbuhan investasi yang melambat sejak awal tahun akibat
menurunnya persepsi keyakinan pelaku bisnis terhadap kondisi perekonomian
global. Namun demikian, daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan Indonesia
tetaplah tinggi, mengacu pada survey yang dilakukan oleh ASEAN-BAC (ASEAN-
Business Advisory Council) Indonesia menduduki peringkat ketiga diantara
negara-negara ASEAN dari sisi daya tarik investasi untuk tahun 2013-2015.
Perekonomian Indonesia ditunjang oleh peran daerah dalam memberikan
kontribusinya. Apabila ditinjau dari peranan wilayah dalam pembentukan PDB
nasional pada tahun 2011-2013, untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan
masih memberikan sumbangan yang besar. Namun demikian secara series
wilayah Kalimantan sedikit mengalami penurunan yang diiringi dengan kenaikan

Bab V Implikasi Realisasi APBD TA 2013 terhadap Perekonomian Daerah 59


Perekonomian Indonesia ditunjang oleh peran daerah dalam memberikan
kontribusinya. Apabila ditinjau dari peranan wilayah dalam pembentukan PDB nasional pada
tahun 2011-2013, untuk wilayah Jawa, Sumatera, dan Kalimantan masih memberikan
sumbangan yang besar. Namun demikian secara series wilayah Kalimantan sedikit
mengalami penurunan yang diiringi dengan kenaikan pada wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa
pada wilayah Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, serta Maluku dan Papua. Hal
Tenggara,
ini dapatserta Maluku
dilihat padadanGrafik
Papua. 5.1
Hal ini dapat dilihat pada Grafik 5.1

Grafik5.1
Grafik 5.1
Peranan Wilayah/ Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional (Persen)
Peranan Wilayah/ Pulau dalam Pembentukan PDB Nasional (Persen)
100,00 2,13 2,06 2,18
4,61 4,74 4,82 Maluku dan Papua
90,00 9,55 9,30 8,67
2,56 2,51 2,53 Sulawesi
80,00
Kalimantan
70,00
Bali dan Nusa Tenggara
60,00
57,59 57,65 57,99 Jawa
50,00
Sumatera
40,00
30,00
20,00
10,00 23,56 23,74 23,81

-
2011 2012 2013

Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) - Februari 2014


Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) - Februari 2014
59 | P a g e
Di samping indikator pertumbuhan ekonomi, tingkat keberhasilan pembangunan
ekonomi di daerah dapat dilihat dari pendapatan daerah per kapita (APBD),
tingkat kemiskinan, dan tingkat pengangguran. Dalam kurun waktu 2011-2013,
daerah-daerah yang tingkat kemiskinannya relatif tinggi, seperti Papua, Papua
Barat, Nusa Tenggara Timur, Maluku, dan Gorontalo, perlu dilakukan proses
catching-up peningkatan kesejahteraan masyarakat terutama daerah-daerah
yang relatif masih tertinggal. Optimalisasi pemanfaatan pendapatan daerah
dalam APBD hendaknya mengarah pada prioritas belanja atau pengeluaran
APBD yang mendukung proses keberpihakan pada keluarga pra sejahtera.
Indikator pendapatan daerah per kapita menunjukkan adanya perbedaan yang
cukup signifikan antarprovinsi. Pada tahun 2013, provinsi yang mempunyai
pendapatan daerah per kapita paling rendah adalah Jawa Barat, yaitu sekitar
Rp1.658.000,00/jiwa, sedangkan provinsi yang mempunyai pendapatan daerah
per kapita tertinggi adalah Papua Barat, yaitu sebesar Rp17.976.000/jiwa. Selain
itu ada beberapa provinsi lain yang pendapatan daerah per kapitanya tergolong
tinggi yakni Kalimantan Timur dan Papua. Namun demikian, apabila ditinjau
dari tingkat dispersinya, maka pada periode 2012-2013 membaik diindikasikan

60 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


dengan perubahan standar deviasi yang menurun bila dibandingkan periode
2011-2012.
Indikator tingkat pengangguran menurun dari 7,14 di tahun 2010, menjadi 6,56
persen di tahun 2011, serta 6,14 persen di tahun 2012, namun sedikit mengalami
kenaikan menjadi 6,25 persen di tahun 2013. Pada tahun 2013, daerah yang
mempunyai tingkat pengangguran relatif tinggi adalah di Provinsi Aceh, Provinsi
Banten dan Provinsi Maluku, yakni masing-masing 10,30 persen, 9,90 persen
dan 9,75 persen. Selanjutnya, perkembangan pendapatan daerah dan indikator
kesejahteraan masyarakat dapat dilihat pada Tabel 5.2.
TABEL 5.2
PERBANDINGAN PENDAPATAN APBD PER KAPITA DENGAN
INDIKATOR KESEJAHTERAAN MASYARAKAT

Pendapatan APBD/Kapita
Tingkat Kemiskinan Tingkat Pengangguran
Provinsi (Ribu Rupiah)

2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013

Aceh 4.109 4.714 5.584 19,57 18,58 17,72 7,43 9,10 10,30

Sumatera Utara 1.820 2.280 2.716 11,33 10,41 10,39 6,37 6,20 6,53

Sumatera Barat 2.399 2.891 3.694 9,04 8,00 7,56 6,45 6,52 6,99

Riau 3.290 3.672 4.497 8,47 8,05 8,42 5,32 4,30 5,50

Jambi 2.545 2.933 3.863 8,65 8,28 8,42 4,02 3,22 4,84

Sumatera Selatan 2.248 2.568 3.226 14,24 13,48 14,06 5,77 5,70 5,00

Bengkulu 3.240 3.641 4.183 17,50 17,51 17,75 2,37 3,61 4,74

Lampung 1.555 1.798 2.216 16,93 15,65 14,39 5,78 5,18 5,85

DKI Jakarta 2.714 3.149 3.970 3,75 3,70 3,72 10,80 9,87 9,02

Jawa Barat 945 1.183 1.658 10,65 9,89 9,61 9,83 9,08 9,22

Jawa Tengah 1.145 1.466 1.909 15,76 14,98 14,44 5,93 5,63 6,02

DI Yogyakarta 1.550 1.990 2.698 16,08 15,88 15,03 3,97 3,97 3,34

Bab V Implikasi Realisasi APBD TA 2013 terhadap Perekonomian Daerah 61


Pendapatan APBD/Kapita
Tingkat Kemiskinan Tingkat Pengangguran
Provinsi (Ribu Rupiah)

2011 2012 2013 2011 2012 2013 2011 2012 2013

Jawa Timur 1.237 1.439 1.969 14,23 13,08 12,73 4,16 4,12 4,33

Kalimantan Barat 2.318 2.773 3.496 8,60 7,96 8,74 3,88 3,48 4,03

Kalimantan Tengah 4.218 4.815 5.970 6,56 6,19 6,23 2,55 3,17 3,09

Kalimantan Selatan 2.905 3.241 4.212 5,29 5,01 4,76 5,23 5,25 3,79

Kalimantan Timur 6.838 7.577 10.269 6,77 6,38 6,38 9,84 8,90 8,04

Sulawesi Utara 3.223 3.621 4.694 8,51 7,64 8,50 8,62 7,79 6,68

Sulawesi Tengah 2.664 3.174 3.819 15,83 14,94 14,32 4,01 3,93 4,27

Sulawesi Selatan 2.068 2.490 3.045 10,29 9,82 10,32 6,56 5,87 5,10

Sulawesi Tenggara 3.170 3.792 4.495 14,56 13,06 13,73 3,06 4,04 4,46

Bali 2.200 2.850 3.809 4,20 3,95 4,49 2,32 2,04 1,79

Nusa Tenggara Barat 1.802 2.064 2.399 19,73 18,02 17,25 5,33 5,26 5,38

Nusa Tenggara 2.213 2.659 3.007 21,23 20,41 20,24 2,69 2,89 3,16
Timur

Maluku 4.052 4.259 4.796 23,00 20,76 19,27 7,38 7,51 9,75

Papua 8.255 8.982 9.932 31,98 30,66 31,53 3,94 3,63 3,23

Maluku Utara 4.484 5.184 5.826 9,18 8,06 7,64 5,55 4,76 3,86

Banten 1.037 1.215 1.831 6,32 5,71 5,89 13,06 10,13 9,90

Bangka Belitung 3.108 3.819 4.467 5,75 5,37 5,25 3,61 3,49 3,70

Gorontalo 3.051 3.478 4.074 18,75 17,22 18,01 4,26 4,36 4,12

Kepulauan Riau 4.033 4.471 5.162 7,40 6,83 6,35 7,80 5,37 6,25

Papua Barat 12.795 14.280 17.976 31,92 27,04 27,14 8,94 5,49 4,62

Sulawesi Barat 2.718 3.099 3.555 13,89 13,01 12,23 2,82 2,14 2,33

Sumber: Kementerian Keuangan dan BPS

62 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


Sementara itu, peningkatan inflasi pada tahun 2013 lebih disebabkan pada
kenaikan harga yang dipicu oleh penyesuaian harga bensin pada akhir Juni
tahun 2013 yang berdampak pada inflasi pada bulan Juli 2013 sebesar 3,29
persen. Hal ini ditunjukkan dengan inflasi yang berasal dari komponen harga
yang diatur pemerintah (administered prices) lebih dominan dibanding komponen
inti. Data inflasi tahun 2013 dari 66 kota sebagaimana yang terlihat pada Tabel
5.3, menunjukkan adanya kenaikan dibandingkan dengan tingkat inflasi tahun
2012. Inflasi
inflasi yang tertinggi
berasal dari terjadi
komponen diharga
Pematangsiantar, Depok,
yang diatur pemerintah Padang,
(administered Bima
prices) lebihdan
Samarinda. Untuk menjaga stabilitas harga, sejak tahun 2011 telah dibentuk
dominan dibanding komponen inti. Data inflasi tahun 2013 dari 66 kota sebagaimana yang

Tim terlihat
Pengendali Inflasi
pada Tabel 5.3, Daerah
menunjukkan(TPID) di beberapa
adanya kota daridengan
kenaikan dibandingkan 66 kota yang
tingkat selalu
inflasi

dipantau tingkat inflasinya oleh BPS. Dalam rangka pengendalian inflasi, TPID
tahun 2012. Inflasi tertinggi terjadi di Pematangsiantar, Depok, Padang, Bima dan Samarinda.

dan Untuk
Pemda akanstabilitas
menjaga fokus untuk
harga, membenahi
sejak tahun 2011 permasalahan struktural
telah dibentuk Tim yang
Pengendali terkait
Inflasi
Daerah (TPID) di beberapa kota dari 66 kota yang selalu dipantau tingkat inflasinya oleh
dengan kelangkaan pasokan barang pokok akibat terbatasnya produksi pangan,
BPS. Dalam rangka pengendalian inflasi, TPID dan Pemda akan fokus untuk membenahi
buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang terlampau panjang,
permasalahan struktural yang terkait dengan kelangkaan pasokan barang pokok akibat
penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman.
terbatasnya produksi pangan, buruknya infrastruktur distribusi, rantai distribusi yang
TABEL
terlampau panjang, penimbunan dan pungli, serta5.3
pengaruh musiman.
LAJU INFLASITABEL
TAHUNAN5.3 DI 66 KOTA
LAJU INFLASI TAHUNAN DI 66 KOTA
(dalam persen)
(dalam persen)
No Kota 2010 2011 2012 2013 No Kota 2010 2011 2012 2013
1 Lhokseum awe 7 ,1 9 3 ,55 0,3 9 8,27 34 Probolinggo 6,68 3 ,7 8 5,88 7 ,98
2 Banda Aceh 4,64 3 ,3 2 0,06 6,3 9 35 Madiun 6,54 3 ,49 3 ,51 7 ,52
3 Padang Sidem puan 7 ,42 4,66 3 ,54 7 ,82 36 Surabay a 7 ,3 3 4,7 2 4,3 9 7 ,52
4 Sibolga 1 1 ,83 3 ,7 1 3 ,3 0 1 0,08 37 Serang 6,1 8 2,7 8 4,41 9,1 6
5 Pem atang Siantar 9,68 4,25 4,7 3 1 2,02 38 Tangerang 6,08 3 ,7 8 4,44 1 0,02
6 Medan 7 ,65 3 ,54 3 ,7 9 1 0,09 39 Cilegon 6,1 2 2,3 5 3 ,91 7 ,98
7 Padang 7 ,84 5,3 7 4,1 6 1 0,87 40 Denpasar 8,1 0 3 ,7 5 4,7 1 7 ,3 5
8 Pekanbaru 7 ,00 5,09 3 ,3 5 8,83 41 Mataram 1 1 ,07 6,3 8 4,1 0 9,27
9 Dum ai 9,05 3 ,09 3 ,21 8,60 42 Bim a 6,3 5 7 ,1 9 3 ,61 1 0,42
10 Batam 7 ,40 3 ,7 6 2,02 7 ,81 43 Maum ere 8,48 6,59 6,49 6,24
11 Jam bi 1 0,52 2,7 6 4,22 8,7 4 44 Kupang 9,97 4,3 2 5,1 0 8,84
12 Palem bang 6,02 3 ,7 8 2,7 2 7 ,04 45 Pontianak 8,52 4,91 6,62 9,48
13 Bengkulu 9,08 3 ,96 4,61 9,94 46 Singkawang 7 ,1 0 6,7 2 4,21 6,1 5
14 Bandar Lam pung 9,95 4,24 4,3 0 7 ,56 47 Sam pit 9,53 3 ,60 4,69 7 ,25
15 Pangkal Pinang 9,3 6 5,00 6,57 8,7 1 48 Palangkaray a 9,49 5,28 6,7 3 6,45
16 Tanjung Pinang 6,1 7 3 ,3 2 3 ,92 1 0,09 49 Banjarm asin 9,06 3 ,98 5,96 6,98
17 DKI Jakarta 6,21 3 ,97 4,52 8,00 50 Balikpapan 7 ,3 8 6,45 6,41 8,56
18 Bogor 6,57 2,85 4,06 8,55 51 Sam arinda 7 ,00 6,23 4,81 1 0,3 7
19 Sukabum i 5,43 4,26 3 ,98 8,03 52 Tarakan 7 ,92 6,43 5,99 1 0,3 5
20 Tasikm alay a 5,56 4,1 7 3 ,87 6,89 53 Manado 6,28 0,67 6,04 8,1 2
21 Bandung 4,53 2,7 5 4,02 7 ,97 54 Palu 6,40 4,47 5,87 7 ,57
22 Cirebon 6,7 0 3 ,20 3 ,3 6 7 ,86 55 Watam pone 6,7 4 3 ,94 3 ,65 6,86
23 Bekasi 7 ,88 3 ,45 3 ,46 9,46 56 Makassar 6,82 2,87 4,57 6,24
24 Depok 7 ,97 2,95 4,1 1 1 0,97 57 Parepare 5,7 9 1 ,60 3 ,49 6,3 1
25 Purwokerto 6,04 3 ,40 4,7 3 8,50 58 Palopo 3 ,99 3 ,3 5 4,1 1 5,25
26 Surakarta 6,65 1 ,93 2,87 8,3 2 59 Kendari 3 ,87 5,09 5,25 5,92
27 Sem arang 7 ,1 1 2,87 4,85 8,1 9 60 Gorontalo 7 ,43 4,08 5,3 1 5,84
28 Tegal 6,7 3 2,58 3 ,09 5,80 61 Mam uju 5,1 2 4,91 3 ,28 5,91
29 Yogy akarta 7 ,3 8 3 ,88 4,3 1 7 ,3 2 62 Am bon 8,7 8 2,85 6,7 3 8,81
30 Jem ber 7 ,09 2,43 4,49 7 ,21 63 Ternate 5,3 2 4,52 3 ,29 9,7 8
31 Sum enep Bab V Implikasi Realisasi
6,7 5 4,1 8
APBD
5,05 TA6,62
2013 terhadap
64 Perekonomian
Manokwari 4,68
Daerah
3 ,64 4,88
63
4,63
32 Kediri 6,80 3 ,62 4,63 8,05 65 Sorong 8,1 3 0,90 5,1 2 7 ,93
33 Malang 6,7 0 4,05 4,60 7 ,92 66 Jay apura 4,48 3 ,40 4,52 8,27

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)


16 permasalahan
Tanjung Pinang struktural
6,1 7yang3 ,3terkait
2 3 ,92 dengan
1 0,09 kelangkaan
49 pasokan
Banjarm asin barang
9,06 pokok
3 ,98 akibat
5,96 6,98
17 DKI Jakarta 6,21 3 ,97 4,52 8,00 50 Balikpapan 7 ,3 8 6,45 6,41 8,56
18
terbatasnya
Bogor
produksi pangan,
6,57
buruknya
2,85 4,06
infrastruktur
8,55 51
distribusi, rantai
Sam arinda 7 ,00
distribusi
6,23
yang
4,81 1 0,3 7
19 Sukabum i 5,43 4,26 3 ,98 8,03 52 Tarakan 7 ,92 6,43 5,99 1 0,3 5
terlampau panjang, penimbunan dan pungli, serta pengaruh musiman.
20 Tasikm alay a 5,56 4,1 7 3 ,87 6,89 53 Manado 6,28 0,67 6,04 8,1 2
21 Bandung 4,53 2,7 5 TABEL
4,02
7 ,97 5.3 54 Palu 6,40 4,47 5,87 7 ,57
6,7 0
22 Cirebon
LAJU3INFLASI
,20 3 ,3 6 7 ,86
TAHUNAN 55
DIWatam pone
66 KOTA 6,7 4 3 ,94 3 ,65 6,86
23 Bekasi 7 ,88 3 ,45 3 ,46 9,46 56 Makassar 6,82 2,87 4,57 6,24
24 Depok 7 ,97 2,95
(dalam
4,1 1 1 0,97
persen)
57 Parepare 5,7 9 1 ,60 3 ,49 6,3 1
25
No Purwokerto
Kota 6,04
2010 3 ,40
2011 4,7 3
2012 8,50
2013 58
No Palopo Kota 3 ,99
2010 3 ,3 5
2011 4,1 1
2012 5,25
2013
26
1 Surakarta
Lhokseum awe 76,65
,1 9 13,93
,55 2,879
0,3 8,3 2
8,27 594
3 Kendari
Probolinggo 3 ,87
6,68 5,09
3 ,7 8 5,25
5,88 75,92
,98
27
2 Sem arang
Banda Aceh 7 ,1 1
4,64 2,87
3 ,3 2 4,85
0,06 8,1 9
6,3 60
35 Gorontalo
Madiun 76,54
,43 4,08
3 ,49 5,3
3 ,511 5,84
7 ,52
28
3 Tegal
Padang Sidem puan 6,7 3
7 ,42 2,58
4,66 3 ,09
,54 75,80
,82 61
36 Mam uju a
Surabay 75,1
,3 32 4,91
4,7 2 34,3
,289 75,91
,52
29
4 Yogy akarta
Sibolga 1 71 ,3
,838 3 ,88
,7 1 34,3
,3 01 1 70,08
,3 2 62
37 Am bon
Serang 8,7
6,1 8 2,85
2,7 8 6,7
4,413 8,81
9,1 6
350 Jem
Pem ber
atang Siantar 79,68
,09 2,43
4,25 4,49
4,7 3 7 ,21
1 2,02 63
38 Ternate
Tangerang 5,3
6,082 4,52
3 ,7 8 3 ,29
4,44 1 9,7
0,028
361 Sum enep
Medan 6,7
7 ,655 4,1 8
3 ,54 35,05
,7 9 6,62
1 0,09 64
39 Manokwari
Cilegon 4,68
6,1 2 3 ,64
2,3 5 4,88
3 ,91 4,63
7 ,98
372 Kediri
Padang 6,80
7 ,84 35,3
,627 4,63
4,1 6 8,05
1 0,87 65
40 Sorong
Denpasar 8,1 3
0 0,90
3 ,7 5 5,1 21
4,7 7 ,93
,3 5
383 Malang
Pekanbaru 6,7 0
7 ,00 4,05
5,09 4,60
3 ,3 5 78,83
,92 66
41 Jay apura
Mataram 1 4,48
1 ,07 3 ,40
6,3 8 4,52
4,1 0 8,27
9,27
9 Dum ai 9,05 3 ,09 3 ,21 8,60 42 Bim a 6,3 5 7 ,1 9 3 ,61 1 0,42
10 Sumber:
Batam Badan Pusat Statistik
7 ,40 3(BPS)
,7 6 2,02 7 ,81 43 Maum ere 8,48 6,59 6,49 6,24
Sumber:
11 Jam biBadan Pusat Statistik
1 0,52 2,7(BPS)
6 4,22 8,7 4 44 Kupang 9,97 4,3 2 5,1 0 8,84
12 Palem bang 6,02 3 ,7 8 2,7 2 7 ,04 45 Pontianak 8,52 4,91
62 | P 6,62
age 9,48

14
Dengan
13 Bengkulu
demikian, 9,08
Bandar Lam pung
jelas 34,24
9,95
terlihat
,96 4,61
4,3 0
bahwa
9,94
7 ,56
kedudukan
46
47
Singkawang
Sam pit
APBD79,53sangatlah
,1 0 6,7 2
3 ,60
penting
4,21
4,69
6,1 5
7 ,25

sebagai
15
16
alat untuk memelihara
Pangkal Pinang
Tanjung Pinang
9,3 6
6,1 7
5,00
3 ,3 2
dan
6,57
3 ,92
mengupayakan
8,7 1
1 0,09
48
49
keseimbangan
Palangkaray a
Banjarm asin
9,49
9,06
fundamental
5,28
3 ,98
6,7 3
5,96
6,45
6,98

perekonomian daerah 6,57


1 7 DKI Jakarta dalam2,85proses pembangunan di daerah.7 ,00
6,21 3 ,97 4,52 8,00 50 Balikpapan APBD6,23sebagai
7 ,3 8 6,45 6,41 alat
8,56
18 Bogor 4,06 8,55 51 Sam arinda 4,81 1 0,3 7
untuk
19 meningkatkan
Sukabum i pelayanan
5,43 4,26 umum
3 ,98 8,03dan kesejahteraan
52 Tarakan masyarakat
7 ,92 6,43 di5,99daerah
1 0,3 5
20 Tasikm alay a 5,56 4,1 7 3 ,87 6,89 53 Manado 6,28 0,67 6,04 8,1 2
dengan
21 beberapa indikator di antaranya
Bandung 4,53 2,7 5 4,02 7 ,97 pertumbuhan
54 Palu ekonomi, kemiskinan
6,40 4,47 5,87 dan
7 ,57
22 Cirebon 6,7 0 3 ,20 3 ,3 6 7 ,86 55 Watam pone 6,7 4 3 ,94 3 ,65 6,86
pengangguran,
23 Bekasi telah 7mencerminkan
,88 3 ,45 3 ,46 kebutuhan
9,46 56 riil masyarakat
Makassar 6,82 sesuai
2,87 dengan
4,57 6,24
7 ,97 2,95 5,7 9 1 ,60
potensi dan karakteristik daerah 4,7 3 serta8,50 dapat 58 memenuhi tuntutan 3 ,3 5terciptanya
24 Depok 4,1 1 1 0,97 57 Parepare 3 ,49 6,3 1
25 Purwokerto 6,04 3 ,40 Palopo 3 ,99 4,1 1 5,25

anggaran daerah yang berorientasi pada kepentingan dan akuntabilitas publik.


26 Surakarta 6,65 1 ,93 2,87 8,3 2 59 Kendari 3 ,87 5,09 5,25 5,92
27 Sem arang 7 ,1 1 2,87 4,85 8,1 9 60 Gorontalo 7 ,43 4,08 5,3 1 5,84

Tentu
28
29
saja proses penganggaran
Tegal
Yogy akarta
6,7 3
7 ,3 8
2,58
3 ,88
3 ,09
4,3 1
yang5,80
7 ,3 2
telah
61
62
direncanakan
Mam uju
Am bon
dengan
5,1 2
8,7 8
4,91
2,85
baik
3 ,28
6,7 3
dan5,91
8,81

dilaksanakan
30
31
Jem ber
Sum enep
dengan6,7tertib
7 ,09
5
2,43
4,1 8
serta
4,49
5,05
disiplin
7 ,21
6,62
akan
63
64
mencapai sasaran
Ternate
Manokwari
5,3 2
4,68
4,52
3 ,64
yang
3 ,29
4,88
lebih
9,7 8
4,63

optimal.
3 2 Kediri 6,80
6,7 0
3 ,62
4,05
4,63 8,05 65 Sorong 8,1 3
4,48
0,90
3 ,40
5,1 2 7 ,93
33 Malang 4,60 7 ,92 66 Jay apura 4,52 8,27

Sumber: Badan Pusat Statistik (BPS)

62 | P a g e

64 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013


UCAPAN TERIMA KASIH

Penyusunan buku “Laporan Analisis Realisasi APBD Tahun 2013” dilaksanakan


dengan kinerja team work yang solid dan tidak akan mungkin dapat tersaji
tanpa kerja sama yang baik dan saling bahu membahu dari seluruh pihak yang
berkontribusi. Oleh karena itu, ungkapan rasa terima kasih dan apresiasi yang
setinggi-tingginya disampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian tulisan ini, yaitu:
- Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan – DR. Boediarso Teguh Widodo,
dan Direktur Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah – Ir.
Adijanto, MPA, yang telah memberikan arahan dan bimbingan hingga
diselesaikannya penyusunan buku ini.
- Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Subdirektorat Data Keuangan
Daerah Direktorat Evaluasi Pendanaan dan Informasi Keuangan Daerah
yang telah menyediakan data Realisasi APBD 2013 melalui Sistem Informasi
Keuangan Daerah.
- Selanjutnya terima kasih kepada tim dari Subdirektorat Evaluasi Dana
Desentralisasi dan Perekonomian Daerah (Ubaidi Socheh Hamidi, SE,
MM; Ahmad Iskandar, SE, M.Fin.Mgt; Prasetyo Indro Soejono, SE, ME;
Armansyah Sinaga, SE; Faisal, SE, Ak; Edi Soeprijono, S.Sos; Maryadi, SE,
MM; Chrisliana Tri Ferayanti, SE, ME; Virgin Marthalia, A.Md; Rika Hijriyanti,
S.Si; Ganjar Prihatmoko, SE; Desain Kristian Gulo, SE; Nanag Garendra
Timur, S.Si.; dan Bondan Widyatmoko, SE; yang telah melakukan pengolahan
data dan sekaligus mendukung penulisan buku, serta Lukman Adi Santoso,
SE, ME, yang telah membantu melakukan editing hingga melakukan setting
layout pencetakan buku ini. Terima kasih atas kerja kerasnya.
Terima kasih atas kerja kerasnya.

Bab V Implikasi Realisasi APBD TA 2013 terhadap Perekonomian Daerah 65


66 ANALISIS Realisasi APBD tahun anggaran 2013
D
PB
A

KEMENTERIAN KEUANGAN REPUBLIK INDONESIA


DIREKTORAT JENDERAL PERIMBANGAN KEUANGAN

Anda mungkin juga menyukai