Anda di halaman 1dari 7

DETEKSI GEN VIRUS EPSTEIN-BARR

Oleh :
Nama : Shafa Rana Nusaibah
NIM : B1A016119
Rombongan : II
Kelompok :6
Asisten : Widia Tifani

LAPORAN PRAKTIKUM VIROLOGI

KEMENTERIAN RISET, TEKNOLOGI, DAN PENDIDIKAN TINGGI


UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS BIOLOGI
PURWOKERTO
2018
I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Epstein-Barr Virus (EBV) adalah spesies Human herpesvirus 4 (HHV4) dari


genus Lymphocryptovirus dan termasuk dalam familia Herpesviridae. Virus Epstein-Barr
(EBV) termasuk Virus herpes simpleks dan Cytomegalovirus yang merupakan salah satu
virus-virus paling umum di dalam manusia. Banyak orang yang terkena infeksi EBV,
yang sering asymptomatic tetapi biasanya penyakit akibat radang yang cepat menyebar.
EBV dinamai menurut Mikhael Epstein dan Yvonne Barr, yang bersama-sama dengan
Bert Achong, memukan virus tahun 1964 (Yenita ,2012).

Struktur EBV
Virus Epstein Barr memiliki dua tahap dalam dur infeksi yaitu fase laten dan fase
litik. Fase laten ini gen-gen laten hanya sedikit yang terekspresikan sedangkan pada fase
litik sejumlah besar gen litik diekspresikan. Fase litik terjadi reaktivasi virus, berupa
amplifikasi genom virus dan produksi virion bebas, sedangkan pada fase laten tidak
terjadi produksi virion bebas dan juga DNA EBV di pertahankan dalam jumlah sedikit.
Gen BRLF1 merupakan gen yang berperan dalam aktivator proses transkripsi yang utama
dalam fase litik dan juga sebagai pengaktivasi gen-gen pada fase early dan fase late. Gen
BZLF1 tidak akan bisa melakukan kerjanya apabila belum mendapatkan signal dari gen
BRLF1, dengan kata lain kedua gen ini tidak dapat bekerja sendiri-sendiri dalam proses
daur infeksi Virus Epstein Barr (Smith et al., 2012).
Karsinoma nasofaring adalah tumor ganas yang tumbuh di daerah nasofaing
dengan predileksi di fosa Rossenmuller dan atap nasofaring. Merupakan tumor daerah
kepala dan leher yang terbanyak di temukan di Indonesia. diagnosis dini cukup sulit
karena letakya yang tersembunyi dan berhubungan dengan banyak daerah vital. KNF
biasanya berasal dari dinding lateral nasofaring, termasuk fosa Rosenmuller. Kemudian
dapat meluas ke dalam atau ke luar nasofaring ke dinding lateral lainnya dan atau
posterosuperior ke basis kranii atau palatum, rongga hidung atau orofaring. Umumnya
bermetastasis ke limfonodi servikal. Metastasis jauh dapat ke tulang, paru, mediastinum
dan lebih jarang hati. Limfadenopati servikal adalah gejala awal pada banyak pasien, dan
diagnosis KNF sering didapat dari biopsi limfonodi. Gejala yang berkaitan dengan tumor
primer termasuk trismus, nyeri, otitis media, regurgitasi nasal karena paresis palatum
mole, gangguan pendengaran dan paralisis nervus kranialis. Pertumbuhan yang lebih
besar dapat menyebabkan obstruksi nasal atau perdarahan dan sengau. Metastasis dapat
menimbulkan nyeri tulang dan disfungsi organ, kemudian osteoartropati sebagai sindrom
paraneoplastik (Handayani et al., 2014).
Sel kanker berproliferasi dengan tidak terkendali dan mampu menginvasi dan
bermetastasis ke jaringan sekitarnya dan organ-organ vital lain. Sel normal setelah
mengalami sejumlah mutasi somatik yang dipengaruhi oleh beberapa faktor a.l: faktor
predisposisi genetik, faktor lingkungan misalnya kontak dengan bahan-bahan karsinogen,
sehingga terjadi perubahan menjadi ganas. Proses ini dipicu dengan melibatkan agen
kimia, fisik dan virus yang dapat mempengaruhi aktivitas onkogen dan anti-onkogen.
Nasopharynx Ca(NPC) merupakan salah satu tumor ganas pada laki-laki yang paling
sering di Cina Selatan, Eskimo dan beberapa tempat di Afrika. NPC terjadi pada sel
epithel saluran pernafasan atas, dimana etiopatologi penyakit ini dicurigai disebabkan
oleh infeksi virus Epstein Barr (Kaneda et al., 2012).
Terdapat dua fase infeksi EBV yaitu litik dan laten. EBV menginfeksi sel epitel di
nasofaring dan rest sel limfosit B. Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik
menghasilkan replikasi virus dan pelepasan virion dari sel. Sebaliknya infeksi primer sel
B biasanya menghasilkan infeksi laten dengan ekspresi protein tanpa produksi virion.
Latensi dari sel B terinfeksi ini dinamakan sel limfoblastoid yang bertransformasi atau
immortal dan bereplikasi tanpa batas (Tselis , 2006).
Infeksi Laten yaitu infeksi primer sel B biasanya menghasilkan infeksi laten
dengan ekspresi protein tanpa produksi virion. Pada infeksi laten, hanya sedikit dari
hampir 100 gen EBV yang diekspresikan. Gen-gen laten tersebut yakni 6 EBNA, 2 LMP,
2 Eber, dan transkrip dari BamHI A region dari genom. Hanya EBNA-1 dan LMP1 yang
juga terekspresi pada fase litik. Penelitian selanjutnya menunjukan bahwa 5 dari gen-gen
di atas penting untuk transformasi sel B (Tselis , 2006).
Infeksi Litik yaitu EBV mengkodekan sekitar 90 protein yang diekspresikan
selama replikasi pada fase litik. Infeksi yang terjadi di sel epitel dalam fase litik
menghasilkan replikasi virus dan pelepasan virion dari sel Seperti virus herpes lain
protein ini diklasifikasikan menjadi immediate-early, early, dan late proteins. Immediate-
early protein, yang ditranskripsikan segera paska infeksi dengan adanya penghambat
sintesis protein. Early protein diekspresikan dengan adanya penghambat sintesis DNA
virus, sedangkan late protein tidak ditranskripsikan. Secara umum gen Immediate-early
penting untuk mengatur ekspresi gen dalam virus, Early protein mengkodekan enzim
yang penting untuk replikasi DNA virus, dan late protein mengkodekan protein struktural
dari virion (Tselis , 2006).
Ekspresi gen BRLF1 dapat ditemukan pada jaringan penderita tumor seperi
karsinoma nasofaring dan dapat dijadikan pendeteksi awal terjadinya penyebaran kanker
ke organ lain seperti kelenjar getah bening, hati, saraf, paru-paru hingga otak (Wahyono
et al., 2010). Gen BRLF1 merupakan factor transkripsi yang kooperatif mengaktifkan
ekspreksi gen litik virus Esptein Barr. Gen BRLF1 merupakan gen transaktivator dari gen
BZLF1 dimana gen BZLF1 adalah gen induksi replikasi virus pada tahap infeksi litik.
Metilasi genom pada virus pada tahap litik mempengaruhi kemampuan BRLF1 untuk
mengikat atau mengaktifkan promotor virus litik (Wille et al., 2013).

B. Tujuan

Tujuan dari praktikum kali ini adalah untuk mengetahui langkah-langkah detesi
molekule gen EBV dari sampel biopsi jaringan tumor.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambar 3.1 Hasil Visualisasi Ekspresi mRNA BRLF1 EBV

Hasil visualisasi DNA yang didapatkan dari praktikum kelompok 4 rombongan 2


yaitu tidak terlihat pita-pita DNA-nya. Hasil visualisasi bagian yang terlihat hanya primer
yang digunakan, sedangkan yang lainnya mengalami smear. Menurut Malina et al.
(2012), hasil dari visualisasi yang baik itu akan memperlihatkan pita-pita DNA dan DNA
marka yang digunakan. Keberhasilan dari pengujian ini diperngaruhi oleh beberapa faktor
seperti, kondisi larutan buffer dan EtBr yang digunakan, kontaminasi silang, umur reagen
atau enzim yang dipakai, serta jumlah enzim yang dipakai. Pita DNA yang terlihat dengan
jelas dapat mengindikasikan bahwa isolasi DNA virus dan ampilifikasi gen BRLF1
positif pada sampel hasil biopsi jaringan tumor penderita KNF.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Kesimpulan dari praktikum ini adalah untuk mendeteksi gen virus Epstein-Barr
dari sampel biopsi tumor pederita KNF dapat dilakukan dengan cara melakukan isolasi
DNA dari sampel biopsi tumor pederita KNF yang akan diuji, kemudian dilakukan
amplifikasi gen BRLF1, dan dilakukan visualisasi deteksi gen BRLFI dengan
elektroforesis.

B. Saran

Sebaiknya untuk acara praktikum EBV selanjutnya praktikan-praktikan yang


mengikuti seluruh rangkaian acara praktikum dapat menciptakan suasana laboratorium
yang lebih kondusif lagi, agar semua cara dan materi yang disampaikan oleh kaka-kaka
asisten dapat diterima dan dimengerti dengan lebih baik lagi, sehingga tujuan dari
rangkaian acara praktikum dapat tercapai dengan baik
DAFTAR REFERENSI

Handayani, K., Putra, I Gusti Ngurah P., Nuartha, A., A., Bagus Ngurah. 2014. Kebutaan
pada Karsinoma Nasofaring. Jurnal Kasus Penyakit. 41(3), pp: 202-204.

Kaneda, A., Matsusaka, K., Aburatani, H., & Fukayama, M. 2012. Epstein–Barr Virus
Infection as an Epigenetic Driver of Tumorigenesis. American Association for
Cancer Research. 72 (14), pp. 3445-3450.

Malina, C.A., hidayani A.A., dan Andi P. 2012. Isolasi dan Karakterisasi Gen Penyandi
Protein Permukaan VPZ8 White Spot Syndrome Virus (WSSV) pada Udang Windu
(Panaeus monodon Fabricus, 1798). Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan. Unhas,
Makasar

Smith, C. et al., 2012. Effective Treatment of Metastatic Forms of Epstein-Barr Virus–


Associated Nasopharyngeal Carcinoma with a Novel Adenovirus-Based Adoptive
Immunotherapy. Journal Cancer Research, 72(5), pp: 1116-1125.

Tselis, A., Jenson, H. B., & Healthcare, I. 2006. Epstein-Barr virus (infectious disease
and therapy). Informa Healthcare, New York : New York.
Wahyono, D. J, Bambang H, Purnomo S. 2010. Ekspresi gen litik virus Epstein-Barr:
Manfaatnya untuk Penegakan Diagnosis Karsinoma Nasofaring. Disertasi. 40 (2).
Wille, Coral K, Dhananjay M. N, Armanda R Panfil, Michelle M Ko, Stacy R. H, Shanon
C.K. 2013. Viral Genome Methylation Differentially Affects the Ability of BZLF1
versus BRLF1 To Activate Epstein-Barr Virus Lytic Gene Expression and Viral
Replication. Journal Virology. 87(2).
Yenita, A.A. 2012. Korelasi antara Latent Membrane Protein-1 Virus Epstein-Barr
dengan P53 pada Karsinoma Nasofaring (Penelitian Lanjutan). Jurnal Kesehatan
Andalas. 2012; 1(1).

Anda mungkin juga menyukai