HEMODIALISA”
BAB I
LATAR BELAKANG
Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan dunia dengan peningkatan
insidensi, prevalensi serta tingkat morbiditas dan mortalitas. Prevalensi global telah meningkat
setiap tahunnya. Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit gagal ginjal kronis
telah menyebabkan kematian pada 850.000 orang setiap tahunnya. Angka tersebut menunjukkan
bahwa penyakit gagal ginjal kronis menduduki peringkat ke-12 tertinggi sebagai penyebab angka
kematian dunia. Prevalensi gagal ginjal di dunia menurut ESRD Patients (End-Stage Renal
Disease) pada tahun 2011 sebanyak 2.786.000 orang, tahun 2012 sebanyak 3.018.860 orang dan
tahun 2013 sebanyak 3.200.000 orang. Dari data tersebut disimpulkan adanya peningkatan angka
kesakitan pasien gagal ginjal tiap tahunnya sebesar sebesar 6 %. Sekitar 78,8% dari pasien gagal
Gagal ginjal kronik menjadi masalah besar dunia karena sulit disembuhkan. Menurut
World Health Organization (WHO) angka kejadian gagal ginjal di dunia secara global lebih dari
500 juta orang dan yang harus hidup dengan menjalani hemodialysis sekitar 1,5 juta orang.
Berdasarkan data Indonesian Renal Registry (2015), tercatat 30.554 pasien aktif dan 21.050 pasien
baru yang menjalani terapi hemodialisis. Pengguna HD adalah pasien dengan diagnosis GGK
(89%). Urutan penyebab gagal ginjal pasien yang mendapatkan hemodialisis berdasarkan data
Indonesian Renal Registry Indonesian tahun 2015, karena hipertensi (44%), penyakit diabetic
mellitus atau nefropati diabetik (22%), kelainan bawaan atau Glomerulopati Primer (8%),
Pielonefritis kronik/PNC) (7%), gangguan penyumbatan saluran kemih atau Nefropati Obstruksi
(5%), karena Asam Urat (1%) , penyakit Lupus (1%) dan penyebab lainnya (8%).
Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit tidak
menular (non-communicable disease) yang perlu mendapatkan perhatian karena telah menjadi
masalah kesehatan masyarakat dengan angka kejadiannya yang cukup tinggi dan berdampak besar
terhadap morbiditas, mortalitas dan social ekonomi masyarakat karena biaya perawatan yang
cukup tinggi. Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan
fungsi ginjal karena adanya kerusakan parenkim ginjal yang bersifat kronik dan irreversible.
Seseorang didiagnosis menderita gagal ginjal kronik jika terjadi kelainan dan kerusakan pada
ginjal selama 3 bulan atau lebih yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal sebesar 78-85%
atau laju filtrasi glomerulusnya (LFG) kurang dari 60 ml/min/1,73m2 dengan atau tanpa kelainan
pada ginjal. Penurunan LFG akan terus berlanjut hingga pada akhirnya terjadi disfungsi organ pada
saat laju filtrasi glomerulus menurun hingga kurang dari 15 ml/min/1,73 m2 yang dikenal sebagai
End-Stage Renal Disease (ESRD) atau penyakit ginjal tahap akhir, sehingga membutuhkan
penanganan lebih lanjut berupa tindakan dialisis atau pencangkokan ginjal sebagai terapi
pengganti ginjal.
Peningkatan pasien gagal ginjal terjadi di negara maju dan Negara berkembang.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC)
pada tahun 2009, penyakit gagal ginjal berada pada urutan ke delapan penyebab kematian di
Amerika Serikat dan diperkirakan sekitar 31 juta penduduk atau sekitar 10% dari populasi di
Amerika Serikat menderita GGK. Prevalensi GGK di Amerika Serikat menurut data dari National
Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 2013 sebesar 14% dimana terjadi
peningkatan pada tahun sebelumnya yaitu sebesar 12,5%. GGK diperkirakan akan terus meningkat
sebesar 20-25% setiap tahunnya pada populasi di Amerika Serikat. Prevalensi gagal ginjal juga
penduduk). Penyakit yang tercatat sebagai penyebab gagal ginjal adalah diabetes melitus
Gagal ginjal (GGK) adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh penurunan fungsi
ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversible. Setiap penyakit yang terjadi
pada ginjal akan menyebabkan terganggunya fungsi ginjal terutama berkaitan dengan fungsi
pembuangan sisa metabolisme zat gizi keluar tubuh. Kemampuan ginjal pada penderita GGK
dalam mengeluarkan hasil metabolisme tubuh terganggu sehingga sisa metabolisme tersebut
menumpuk dan menimbulkan gejala klinik serta laboratorium yang disebut sindrom uremik.
Sindrom uremik akan menimbulkan gejala berupa penurunan kadar hemoglobin, gangguan
kariovaskuler, gangguan kulit, gangguan sistem syaraf dan gangguan gastrointestinal berupa mual,
Penyakit ginjal kronik menurut Fakhrudin (2013) merupakan salah satu masalah utama
kesehatan di dunia. Pravalensi Penyakit ginjal kronik selama sepuluh tahun terakhir semakin
meningkat. Yagina (2014) mengemukakan angka kejadian gagal ginjal di dunia secara global lebih
dari 500 juta orang dan yang harus menjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah
(hemodialisis) 1,5 juta orang. Menurut Ismail, Hasanuddin & Bahar (2014) Jumlah penderita gagal
ginjal di Indonesia sekitar 150 ribu orang dan yang menjalani hemodialisis 10 ribu orang.
Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah penderita gagal ginjal
pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat, kejadian dan
prevalensi gagal ginjal meningkat 50% di tahun 2014. Data menunjukkan bahwa setiap tahun
200.000 orang Amerika menjalani hemodialisis karena gangguan ginjal kronis artinya 1140 dalam
satu juta orang Amerika adalah pasien dialisis (Widyastuti, 2014). Guyton & Hall (1997, h.512)
menyatakan bahwa pada tahun tahun 1994, lebih dari 15 juta manusia di Amerika Serikat
diperkirakan mengidap penyakit gagal ginjal yang tampaknya menjadi penyebab utama hilangnya
waktu kerja. Selain itu, menurut DEPKES (2008, h.6) penyakit gagal ginjal menduduki peringkat
Prevalensi GGK di Amerika Serikat dengan jumlah penderita meningkat setiap tahunnya.
Pada tahun 2007 jumlah penderita GGK sekitar 80.000 orang, dan tahun 2010 meningkat menjadi
660.000 orang. Indonesia juga termasuk negara dengan tingkat penderita GGK yang cukup tinggi.
Tahun 2007 jumlah pasien GGK mencapai 2.148 orang, kemudian tahun 2008 menjadi 2.260
Prevalensi GGK di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Perkumpulan
Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) dalam Program Indonesia Renal Registry (IRR) melaporkan
jumlah penderita GGK di Indonesia pada tahun 2011 tercatat 22.304 dengan 68,8% kasus baru dan
pada tahun 2012 meningkat menjadi 28.782 dengan 68,1% kasus baru. Berdasarkan data Riskesdas
tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%
dan penyakit batu ginjal 0,6%. Laporan Indonesian Renal Registry (IRR) menunjukkan 82,4%
pasien GGK di Indonesia menjalani hemodialisis pada tahun 2014 dan jumlah pasien hemodialisis
mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Laporan IRR mencatat bahwa penyebab gagal
ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis adalah hipertensi (37%), diabetes melitus (27%)
Penatalaksanaan GGK dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya pengaturan diet,
masukan kalori suplemen dan vitamin, pembatasan asupan cairan, obat-obatan, terapi penggantian
ginjal seperti transplantasi ginjal dan hemodialisa. Hemodialisa merupakan salah satu metode
terapi yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh (Muttaqin
& Sari, 2011). Terapi hemodialisa harus dijalankan secara teratur agar dapat mempertahankan
fungsi ginjal yang stabil sehingga tidak mengalami kondisi penyakit yang semakin parah. Selain
itu, pengaturan cairan, obat-obatan, aktivitas fisik dan perubahan gaya hidup seperti diet
merupakan penatalaksanaan yang harus dipatuhi oleh pasien GGK (Hudak & Gallo, 2006).
Hemodialisis (HD) adalah terapi yang paling sering dilakukan oleh pasien penyakit ginjal
kronik di seluruh dunia (Son, et al, 2009). HD adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan
dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin di luar tubuh yang disebut dialiser. Frekuensi
tindakan HD bervariasi tergantung berapa banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, rata–rata penderita
menjalani HD dua kali dalam seminggu, sedangkan lama pelaksanaan hemodialisa paling sedikit
tiga sampai empat jam tiap sekali tindakan terapi (Melo, Ribeiro & Costa , 2015).
Pasien Hemodialisa (HD) rutin diartikan sebagai pasien gagal ginjal kronik yang menjalani
tindakan hemodialisi dengan 2 atau 3 kali seminggu, sekurang kurangnya sudah berlangsung
selama 3 bulan secara continue (Susalit, E, 2003). Pada pasien GGK yang menjalani HD rutin
sering mengalami kelebihan volume cairan dalam tubuh, hal ini disebabkan penurunan fungsi
ginjal dalam mengekresikan cairan. Meskipun pasien GGK pada awal menjalani HD sudah
diberikan penyuluhan kesehatan untuk mengurangi asupan cairan selama sehari, akan tetapi pada
terapi HD berikutnya masih sering terjadi pasien datang dengan keluhan sesak napas akibat
kelebihan volume cairan tubuh yaitu kenaikanmelebihi dari 5 % dari berat badan kering pasien
(Kresnawan, T, 2001).
Prosedur hemodialisa dapat menyebabkan kehilangan zat gizi, seperti protein, sehingga
asupan protein harian seharusnya juga ditingkatkan sebagai kompensasi kehilangan protein, yaitu
1,2 g/kg BB ideal/hari. Lima puluh persen protein hendaknya bernilai biologi tinggi (Kresnawan,
2005). Orang-orang yang menjalani hemodialisa hidupnya menjadi tergantung pada teknologi dan
tenaga ahli yang profesional. Mereka hidup dengan pengalaman yang berbeda dan banyak rasa
sakit. Mereka hidup dengan ketakutan dan acaman kematian. (Melo, Ribeiro & Costa , 2015).
Proses hemodialisa membutuhkan waktu 4-5 jam, umumnya akan menimbulkan stress fisik, pasien
akan merasakan kelelahan, sakit kepala, dan keluar keringat dingin akibat tekanan darah yang
sekaligus akan merubah pola hidup pasien (Ignatavicus & Workman, 2009). Pasien yang menjalani
hemodialisis mengalami berbagai masalah yang timbul akibat tidak berfungsinya ginjal. Hal ini
menjadi stressor fisik yang berpengaruh pada berbagai dimensi kehidupan pasien yang meliputi
biologi, psikologi, sosial, spiritual (biopsikososial). Kelemahan fisik yang dirasakan seperti mual,
muntah, nyeri, lemah otot dan edema merupakan sebagian dari manifestasi klinik dari pasien yang
kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang mendapat terapi hemodialisis didapatkan hasil yang
sangat bervariasi. Secara umum ketidakpatuhan pasien dialisis meliputi empat aspek yaitu
seringkali sulit dilakukan oleh pasien, terutama jika mereka mengkonsumsi obat-obatan yang
membuat membran mukosa menjadi kering seperti diuretik, sehingga dapat menyebabkan rasa
haus yang membuat pasien meminum cairan terlalu banyak. Hal ini karena dalam kondisi normal
manusia tidak dapat bertahan lebih lama tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan
(Kartika, 2009).
Sulit bagi seseorang untuk menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani hemodialisa
seumur hidup. Selain biayanya yang mahal dan merepotkan karena harus datang berulang kali
dalam seminggu sehingga membuat hidup tidak nyaman (Alam & Hadibroto, 2007). Pasien yang
menjalani hemodialisa juga rentan terhadap masalah emosional seperti stress yang berkaitan
dengan pembatasan diet dan cairan, keterbatasan fisik, penyakit terkait, dan efek samping obat,
serta ketergantungan terhadap dialisis akan berdampak terhadap menurunnya kualitas hidup pasien
Menurut hasil penelitian Ridwan (2009) menunjukkan bahwa kepatuhan asupan pasien
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dominan dan bersifat problematis yaitu pengetahuan,
pengalaman yang pernah dialami, faktor pendidikan yaitu pada penderita memiliki pendidikan
lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dan memungkinkan penderita untuk
mengontrol diri, tenaga kesehatan, keterlibatan keluarga dan konsep keyakinan diri.
Banyak faktor yang mengkontribusi terhadap ketidakpatuhan diit pasien gagal ginjal
kronik diantaranya dukungan keluarga, pengetahuan dan sikap. Faktor yang lain meliputi dua
macam faktor yaitu faktor internal seperti pendidikan, perilaku, motivasi. Dan faktor eksternalnya
adalah budaya. Pasien dengan gagal ginjal kronik sangat memerlukan dukungan dari keluarga.
Keluarga merupakan satuan terkecil dalam masyarakat yan terdiri dua orang atau lebih. Hidup
dalam satu rumah tangga berinteraksi dan bersosialisasi satu sama lain, dan mempertahankan satu
Tanpa dukungan dari keluarga, pengetahuan dan sikap pasien, dia tidak akan mampu mematuhi
program diit yang sudah ditentukan. Karena dalam menjalani program diit, sering kali pasien
merasa bosan yang disebabkan karena mereka harus mengkonsumsi makanan yang hanya
disarankan oleh rumah sakit. Pada umumnya, nafsu makan pasien akan menurun karena harus
mengkonsumsi makanan atas saran dari rumah sakit saja, maka dari itu perencanaan diit yang
bervariasi sangat diperlukan supaya tidak terjadi ketidakpatuhan dalam menjalani program diit.
Jika ketidakpatuhan terjadi maka akan sangat merugikan diri pasien, dari mulai jadwal terapi yang
akan berubah menjadi lebih sering yang diakibatkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh
edema, juga akan memperberat biaya terapi dari biasanya (Almatsier, 2008).
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Noviyanti (2013) ditemukan hasil bahwa
pendidikan sangat mempengaruhi terhadap perilaku seseorang. Pengetahuan dalam hal ini,
menunjukan hasil bahwa lebih dari setengah (53,8%) responden di RSUD Kota Dumai mempunyai
tingkat pengetahuan rendah. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya informasi yang diterima oleh
responden tentang pola diit yang benar dan harus dipatuhi apabila menjalani terapi hemodialisa.
Dari segi sikap disini, ditemukan hasil bahwa lebih dari setengah (53,8%) responden bersikap
positif. Penelitian yang dilakukan oleh Bertalina & Sumardilah (2011) terdapat hubungan yang
signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan diet dengan p value = 0.023.
Diit adalah salah satu faktor yang paling penting dalam penatalaksanaan pasien gagal ginjal
kronik dengan Hemodialisa. Beberapa sumber diit yang sangat dianjurkan antara lain karbohidrat,
protein, kalsium, vitamin dan mineral, cairan, dan juga lemak ( Almatsier, 2006 ). Pantangan
makanan dan minuman yang harus dihindari dan dibatasi, memerlukan kemauan dan kepatuhan
untuk mematuhi larangan yang sudah diberikan. Hemodialisa yang cukup panjang seringkali
mematahkan semangat hidup pasien sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam
mematuhi ketentuan diit yang harus dipatuhi pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa ( Sari,
2009 ).
Kepatuhan diit dapat didefinisikan sebagai tingkatan dari perilaku seseorang yang
kesehatan (Ernawati, 2016). Kepatuhan dalam menjalankan diit sangat penting untuk dilakukan
bagi penderita gagal ginjal kronik supaya keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh selalu
terjaga, membantu mengurangi kerja ginjal, memperlambat proses penurunan fungsi ginjal serta
terhindar dari gejala-gejala yang dapat mengganggu penderita gagal ginjal seperti, sesak nafas,
pembengkakan, mual muntah (Savitri, 2015). Namun apabila penderita tidak mematuhi atau tidak
melakukan diit yang sesuai akan mengakibatkan bertambah parahnya kondisi kesehatan penderita,
bahkan berdampak pada gagalnya terapi yang dijalankan oleh penderita gagal ginjal kronik
(Meliana, 2013).
Diet yang bersifat membatasi akan merubah gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai
gangguan, serta diet yang dianjurkan tersebut tidak disukai oleh kebanyakan pasien. Pasien merasa
seperti ”dihukum” bila menuruti keinginan untuk makan dan minum. Karena bila pasien menuruti
keinginannya maka akan terjadi seperti asites, hipertensi, edema, kram, dan lain lain. Hal ini
membuat pasien merasa sangat kesakitan dan tidak bisa melakukan aktifitas sehari hari. Oleh
karena itu, pasien menjadi tergantung pada keluarga (Smeltzer dan Bare, 2002).
Klien gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisis harus patuh terhadap
program pengobatan karena jika tidak patuh maka akan menimbulkan komplikasi,
akibat ketidakpatuhan. Salah satu yang mempengaruhi kepatuhan program terapi gagal
ginjal yang menjalani hemodialisis adalah dukungan sosial keluarga dimana keluarga
kesehatan yang optimal dan bermanfaat bagi kesehatan mental maupun kesehatan fisik
perubahan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi layanan kesehatan. Menurut
Niven (2002), dalam Umayah, (2016) bahwa keluarga dapat membantu menghilangkan
emosional dan dukungan berupa pengharapan.Dengan latar belakang diatas, maka perlu
kepatuhan diet pasien gagal ginjal kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumkital Dr.
Ramelan Surabaya.
Diet gagal ginjal adalah diet atau pengaturan pola makan yang dijalani oleh mereka yang
menderita gagal ginjal (Indraratna, 2012). Terapi diet tersebut dapat digunakan sebagai terapi
pendamping (komplementer) utama dengan tujuan mengatasi racun tubuh, mencegah terjadinya
infeksi dan peradangan, serta memperbaiki jaringan ginjal yang rusak. Caranya adalah dengan
menjalankan diet ketat rendah protein dengan kalori yang cukup. Jumlah protein yang dikonsumsi
juga disesuaikan dengan berat badan kering pasien gagal ginjal kronik. Selain itu pasien juga tidak
Tujuan terapi diet bagi penyakit ginjal adalah untuk mengurangi beban kerja ginjal dalam
mengendalikan keseimbangan cairan dan mengeluarkan berbagai produk limbah. Dalam diet ini
harus dipertimbangkan kandungan 4 protein, natrium, dan kalium pada makanan. Jumlah unsur-
unsur gizi tersebut dikurangi bila ekskresi terganggu dan ditingkatkan bila terjadi kehilangan yang
Menurut Ahmadi (1996) dari proses pendidikan diharapkan akan terjadi perubahan
pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dengan demikian salah satu cara untuk mengukur
perubahan perilaku dan sikap dapat dengan menggunakan pengukuran terhadap pengetahuan
seseorang. Sedangkan Suhardjo (2003) mengatakan bahwa upaya pendidikan atau penyuluhan gizi
merupakan salah satu usaha yang sangat penting untuk seseorang mau bersikap dan bertindak
mengikuti norma-norma gizi, sehingga seseorang memahami pentingnya makanan dan gizi,
dengan kepatuhan yaitu didapatkan hasil tingkat pengetahuan dari para responden yang
menunjukkan angka baik yaitu 24 orang (66,67%) memungkinkan responden dapat mencegah
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup antara lain usia, pendidikan, jenis
kelamin, pekerjaan, dan status gizi. Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan tingkat kesehatan.
Karena masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan tetap mempertahankan tradisi-
tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi di bidang gizi dan
bidang kesehatan lainnya. Tingkat pendidikan juga merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat
pengetahuan , dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan semakin mudah untuk menerima
konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif dan berkesinambungan. Penelitian Ismail, dkk
menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan, pengetahuan dan motivasi dengan
Kepatuhan berarti pasien harus meluangkan waktu dalam menjalani pengobatan yang
dibutuhkan seperti dalam pengaturan diet maupun cairan (Potter & Perry, 2006). Hal ini dapat
melibatkan dukungan keluarga. Friedman (2003) menyatakan dukungan keluarga adalah upaya
yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut
dalam melaksanakan kegiatan. Rina (2010) melakukan penelitian dengan judul pengaruh
dukungan keluarga terhadap tingkat kecemasan pasien GGK yang menjalani hemodialisa di RSUD
Arifin Achmad Pekanbaru menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara dukungan
keluarga dengan tingkat kecemasan berpola liner positif sempurna, artinya semakin tinggi tingkat
Adapun faktor lain yang dapat mempengaruhi ketidakpatuhan diet yaitu dukungan yang
diberikan kepada pasien dari keluarga dan orang-orang dekat pasien (Kausz, 2000). Dukungan
kepada pasien yang baik dapat mempengaruhi penatalaksanaan diet yang baik pula, maka perlu
kesadaran keluarga dan dideteksi dini. Berdasarkan penelitian oleh Rina (2010) menyimpulkan
bahwa ada pengaruh yang signifikan antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan, artinya
semakin tinggi tingkat dukungan keluarga semakin rendah tingkat kecemasan dan semakin tinggi
ataupun tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit dapat berupa
dukungan verbal, non verbal, saran ataupun tindakan dan perlakuan yang nyata dari anggota
keluarga yang lain terhadap anggota keluarga yang sakit (Zurmeli, 2015). Menurut Friedman
(2010) dukungan keluarga terdiri dari informasional, penghargaan, instrumental dan emosional.
Dukungan tersebut bisa berbentuk bantuan dalam memperoleh informasi, saran atau arahan,
membantu dalam memecahkan masalah, memberikan motivasi yang positif, membantu dalam
memfasilitasi peralatan yang dibutuhkan anggota keluarga yang sakit dan juga dukungan dari
keluarga dalam membantu menstabilkan emosi maupun stress dan kecemasan yang terjadi pada
anggota keluarga yang sakit. Anggota keluarga yang mendapat dukungan dari keluarga yang baik
akan merasa lega karena telah diperhatikan, merasa mendapatkan saran dan kesan yang baik agar
mendapatkan dukungan keluarga yang kurang akan mengalami keterhambatan dalam proses
Dukungan keluarga merupakan suatu bentuk dorongan dan selalu memberikan bantuan bila
pasien membutuhkan (Friedman, 1998, dalam Akhmadi, 2009, Dukungan keluarga). Dukungan
keluarga menurut Friedman (1998, dalam setiadi, 2008) memiliki 4 bentuk yaitu: dukungan
instrumental (sumber pertolongan yang praktis dan konkrit), dukungan informasional (keluarga
sebagai kolektor dan penyebar informasi yang baik dan dapat dipercaya), dukungan penilaian
(keluarga sebagai pembimbing, penengah dalam memecahkan masalah, sebagai sumber dan
validator identitas dalam keluarga), dan dukungan emosional (keluarga sebagai tempat berlindung
yang aman dan damai untuk beristirahat dan pemulihan serta dapat membantu dalam menguasai
terhadap emosi.
Dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan pada kondisi seperti ini, terlebih pada penderita
gagal ginjal kronik, keluarga akan memberikan dukungan yang baik dalam proses pengobatan dan
keberhasilan terapi hemodialisis baik saat pradialisis maupun saat proses dialisis karena dukungan
dari keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku pasien dan tingkah laku ini memberi hasil
kesehatan seperti yang diinginkan. Dukungan yang diberikan keluarga akibat diet yang salah yaitu
dengan memberikan support, segera mengatasi akibat diet yang salah dengan mencari obat dan
mengantarkan ke dokter. Keluarga juga berperan penting dengan memantau asupan makanan dan