Anda di halaman 1dari 16

“ HUBUNGAN PENGETAHUAN DAN DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP

KEPATUHAN DIET PADA PASIEN GAGAL GINJAL KRONIK POST

HEMODIALISA”
BAB I

LATAR BELAKANG

Gagal Ginjal Kronik (GGK) merupakan masalah kesehatan dunia dengan peningkatan

insidensi, prevalensi serta tingkat morbiditas dan mortalitas. Prevalensi global telah meningkat

setiap tahunnya. Menurut data World Health Organization (WHO), penyakit gagal ginjal kronis

telah menyebabkan kematian pada 850.000 orang setiap tahunnya. Angka tersebut menunjukkan

bahwa penyakit gagal ginjal kronis menduduki peringkat ke-12 tertinggi sebagai penyebab angka

kematian dunia. Prevalensi gagal ginjal di dunia menurut ESRD Patients (End-Stage Renal

Disease) pada tahun 2011 sebanyak 2.786.000 orang, tahun 2012 sebanyak 3.018.860 orang dan

tahun 2013 sebanyak 3.200.000 orang. Dari data tersebut disimpulkan adanya peningkatan angka

kesakitan pasien gagal ginjal tiap tahunnya sebesar sebesar 6 %. Sekitar 78,8% dari pasien gagal

ginjal kronik di dunia menggunakan terapi dialisis untuk kelangsungan hidupnya .

Gagal ginjal kronik menjadi masalah besar dunia karena sulit disembuhkan. Menurut

World Health Organization (WHO) angka kejadian gagal ginjal di dunia secara global lebih dari

500 juta orang dan yang harus hidup dengan menjalani hemodialysis sekitar 1,5 juta orang.

Berdasarkan data Indonesian Renal Registry (2015), tercatat 30.554 pasien aktif dan 21.050 pasien

baru yang menjalani terapi hemodialisis. Pengguna HD adalah pasien dengan diagnosis GGK

(89%). Urutan penyebab gagal ginjal pasien yang mendapatkan hemodialisis berdasarkan data

Indonesian Renal Registry Indonesian tahun 2015, karena hipertensi (44%), penyakit diabetic

mellitus atau nefropati diabetik (22%), kelainan bawaan atau Glomerulopati Primer (8%),
Pielonefritis kronik/PNC) (7%), gangguan penyumbatan saluran kemih atau Nefropati Obstruksi

(5%), karena Asam Urat (1%) , penyakit Lupus (1%) dan penyebab lainnya (8%).

Gagal ginjal kronik (Chronic Kidney Disease) merupakan salah satu penyakit tidak

menular (non-communicable disease) yang perlu mendapatkan perhatian karena telah menjadi

masalah kesehatan masyarakat dengan angka kejadiannya yang cukup tinggi dan berdampak besar

terhadap morbiditas, mortalitas dan social ekonomi masyarakat karena biaya perawatan yang

cukup tinggi. Gagal Ginjal Kronis (GGK) merupakan suatu keadaan dimana terdapat penurunan

fungsi ginjal karena adanya kerusakan parenkim ginjal yang bersifat kronik dan irreversible.

Seseorang didiagnosis menderita gagal ginjal kronik jika terjadi kelainan dan kerusakan pada

ginjal selama 3 bulan atau lebih yang ditandai dengan penurunan fungsi ginjal sebesar 78-85%

atau laju filtrasi glomerulusnya (LFG) kurang dari 60 ml/min/1,73m2 dengan atau tanpa kelainan

pada ginjal. Penurunan LFG akan terus berlanjut hingga pada akhirnya terjadi disfungsi organ pada

saat laju filtrasi glomerulus menurun hingga kurang dari 15 ml/min/1,73 m2 yang dikenal sebagai

End-Stage Renal Disease (ESRD) atau penyakit ginjal tahap akhir, sehingga membutuhkan

penanganan lebih lanjut berupa tindakan dialisis atau pencangkokan ginjal sebagai terapi

pengganti ginjal.

Peningkatan pasien gagal ginjal terjadi di negara maju dan Negara berkembang.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Centers for Disease Control and Prevention (CDC)

pada tahun 2009, penyakit gagal ginjal berada pada urutan ke delapan penyebab kematian di

Amerika Serikat dan diperkirakan sekitar 31 juta penduduk atau sekitar 10% dari populasi di

Amerika Serikat menderita GGK. Prevalensi GGK di Amerika Serikat menurut data dari National

Health and Nutrition Examination Survey (NHANES) tahun 2013 sebesar 14% dimana terjadi

peningkatan pada tahun sebelumnya yaitu sebesar 12,5%. GGK diperkirakan akan terus meningkat
sebesar 20-25% setiap tahunnya pada populasi di Amerika Serikat. Prevalensi gagal ginjal juga

terus mengalami peningkatan di Taiwan (2.990/1.000.000 penduduk), jepang (2.590/1.000.000

penduduk). Penyakit yang tercatat sebagai penyebab gagal ginjal adalah diabetes melitus

(37,47%), hipertensi (25,1%) dan glomerulonefritis (16,34%). JADIKAN PARAGRAF 2

Gagal ginjal (GGK) adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh penurunan fungsi

ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan irreversible. Setiap penyakit yang terjadi

pada ginjal akan menyebabkan terganggunya fungsi ginjal terutama berkaitan dengan fungsi

pembuangan sisa metabolisme zat gizi keluar tubuh. Kemampuan ginjal pada penderita GGK

dalam mengeluarkan hasil metabolisme tubuh terganggu sehingga sisa metabolisme tersebut

menumpuk dan menimbulkan gejala klinik serta laboratorium yang disebut sindrom uremik.

Sindrom uremik akan menimbulkan gejala berupa penurunan kadar hemoglobin, gangguan

kariovaskuler, gangguan kulit, gangguan sistem syaraf dan gangguan gastrointestinal berupa mual,

muntah dan kehilangan nafsu makan (Rahardjo, 2000).

Penyakit ginjal kronik menurut Fakhrudin (2013) merupakan salah satu masalah utama

kesehatan di dunia. Pravalensi Penyakit ginjal kronik selama sepuluh tahun terakhir semakin

meningkat. Yagina (2014) mengemukakan angka kejadian gagal ginjal di dunia secara global lebih

dari 500 juta orang dan yang harus menjalani hidup dengan bergantung pada cuci darah

(hemodialisis) 1,5 juta orang. Menurut Ismail, Hasanuddin & Bahar (2014) Jumlah penderita gagal

ginjal di Indonesia sekitar 150 ribu orang dan yang menjalani hemodialisis 10 ribu orang.

Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan pertumbuhan jumlah penderita gagal ginjal

pada tahun 2013 telah meningkat 50% dari tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat, kejadian dan

prevalensi gagal ginjal meningkat 50% di tahun 2014. Data menunjukkan bahwa setiap tahun

200.000 orang Amerika menjalani hemodialisis karena gangguan ginjal kronis artinya 1140 dalam
satu juta orang Amerika adalah pasien dialisis (Widyastuti, 2014). Guyton & Hall (1997, h.512)

menyatakan bahwa pada tahun tahun 1994, lebih dari 15 juta manusia di Amerika Serikat

diperkirakan mengidap penyakit gagal ginjal yang tampaknya menjadi penyebab utama hilangnya

waktu kerja. Selain itu, menurut DEPKES (2008, h.6) penyakit gagal ginjal menduduki peringkat

ke 6 penyebab kematian di seluruh rumah sakit Indonesia.CARI YG TERBARU

Prevalensi GGK di Amerika Serikat dengan jumlah penderita meningkat setiap tahunnya.

Pada tahun 2007 jumlah penderita GGK sekitar 80.000 orang, dan tahun 2010 meningkat menjadi

660.000 orang. Indonesia juga termasuk negara dengan tingkat penderita GGK yang cukup tinggi.

Tahun 2007 jumlah pasien GGK mencapai 2.148 orang, kemudian tahun 2008 menjadi 2.260

orang (Alam `& Hadibroto, 2007).

Prevalensi GGK di Indonesia dari tahun ke tahun terus mengalami kenaikan. Perkumpulan

Nefrologi Indonesia (PERNEFRI) dalam Program Indonesia Renal Registry (IRR) melaporkan

jumlah penderita GGK di Indonesia pada tahun 2011 tercatat 22.304 dengan 68,8% kasus baru dan

pada tahun 2012 meningkat menjadi 28.782 dengan 68,1% kasus baru. Berdasarkan data Riskesdas

tahun 2013, prevalensi gagal ginjal kronis berdasarkan diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%

dan penyakit batu ginjal 0,6%. Laporan Indonesian Renal Registry (IRR) menunjukkan 82,4%

pasien GGK di Indonesia menjalani hemodialisis pada tahun 2014 dan jumlah pasien hemodialisis

mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya. Laporan IRR mencatat bahwa penyebab gagal

ginjal pada pasien yang menjalani hemodialisis adalah hipertensi (37%), diabetes melitus (27%)

dan glomerulopati primer (10%).

Penatalaksanaan GGK dapat dilakukan dengan berbagai cara diantaranya pengaturan diet,

masukan kalori suplemen dan vitamin, pembatasan asupan cairan, obat-obatan, terapi penggantian

ginjal seperti transplantasi ginjal dan hemodialisa. Hemodialisa merupakan salah satu metode
terapi yang digunakan untuk mengeluarkan cairan dan produk limbah dari dalam tubuh (Muttaqin

& Sari, 2011). Terapi hemodialisa harus dijalankan secara teratur agar dapat mempertahankan

fungsi ginjal yang stabil sehingga tidak mengalami kondisi penyakit yang semakin parah. Selain

itu, pengaturan cairan, obat-obatan, aktivitas fisik dan perubahan gaya hidup seperti diet

merupakan penatalaksanaan yang harus dipatuhi oleh pasien GGK (Hudak & Gallo, 2006).

Hemodialisis (HD) adalah terapi yang paling sering dilakukan oleh pasien penyakit ginjal

kronik di seluruh dunia (Son, et al, 2009). HD adalah suatu prosedur dimana darah dikeluarkan

dari tubuh penderita dan beredar dalam sebuah mesin di luar tubuh yang disebut dialiser. Frekuensi

tindakan HD bervariasi tergantung berapa banyaknya fungsi ginjal yang tersisa, rata–rata penderita

menjalani HD dua kali dalam seminggu, sedangkan lama pelaksanaan hemodialisa paling sedikit

tiga sampai empat jam tiap sekali tindakan terapi (Melo, Ribeiro & Costa , 2015).

Pasien Hemodialisa (HD) rutin diartikan sebagai pasien gagal ginjal kronik yang menjalani

tindakan hemodialisi dengan 2 atau 3 kali seminggu, sekurang kurangnya sudah berlangsung

selama 3 bulan secara continue (Susalit, E, 2003). Pada pasien GGK yang menjalani HD rutin

sering mengalami kelebihan volume cairan dalam tubuh, hal ini disebabkan penurunan fungsi

ginjal dalam mengekresikan cairan. Meskipun pasien GGK pada awal menjalani HD sudah

diberikan penyuluhan kesehatan untuk mengurangi asupan cairan selama sehari, akan tetapi pada

terapi HD berikutnya masih sering terjadi pasien datang dengan keluhan sesak napas akibat

kelebihan volume cairan tubuh yaitu kenaikanmelebihi dari 5 % dari berat badan kering pasien

(Kresnawan, T, 2001).

Prosedur hemodialisa dapat menyebabkan kehilangan zat gizi, seperti protein, sehingga

asupan protein harian seharusnya juga ditingkatkan sebagai kompensasi kehilangan protein, yaitu

1,2 g/kg BB ideal/hari. Lima puluh persen protein hendaknya bernilai biologi tinggi (Kresnawan,
2005). Orang-orang yang menjalani hemodialisa hidupnya menjadi tergantung pada teknologi dan

tenaga ahli yang profesional. Mereka hidup dengan pengalaman yang berbeda dan banyak rasa

sakit. Mereka hidup dengan ketakutan dan acaman kematian. (Melo, Ribeiro & Costa , 2015).

Proses hemodialisa membutuhkan waktu 4-5 jam, umumnya akan menimbulkan stress fisik, pasien

akan merasakan kelelahan, sakit kepala, dan keluar keringat dingin akibat tekanan darah yang

menurun (Galieni, 2008).

Hemodialisis yang dilakukan oleh pasien dapat mempertahankan kelangsungan hidup

sekaligus akan merubah pola hidup pasien (Ignatavicus & Workman, 2009). Pasien yang menjalani

hemodialisis mengalami berbagai masalah yang timbul akibat tidak berfungsinya ginjal. Hal ini

menjadi stressor fisik yang berpengaruh pada berbagai dimensi kehidupan pasien yang meliputi

biologi, psikologi, sosial, spiritual (biopsikososial). Kelemahan fisik yang dirasakan seperti mual,

muntah, nyeri, lemah otot dan edema merupakan sebagian dari manifestasi klinik dari pasien yang

menjalani hemodialisis (Arif & Kumala, 2011).

Kesuksesan hemodialisa tergantung pada kepatuhan pasien, berbagai riset mengenai

kepatuhan pasien gagal ginjal kronik yang mendapat terapi hemodialisis didapatkan hasil yang

sangat bervariasi. Secara umum ketidakpatuhan pasien dialisis meliputi empat aspek yaitu

ketidakpatuhan mengikuti program hemodialisis (0%-32,2%), ketidakpatuhan dalam program

pengobatan (1,2%-81% ), ketidakpatuhan terhadap retriksi cairan (3,4% -74% ) dan

ketidakpatuhan mengikuti program diit (1,2%-82,4%) (Syamsiah, 2011). Pembatasan cairan

seringkali sulit dilakukan oleh pasien, terutama jika mereka mengkonsumsi obat-obatan yang

membuat membran mukosa menjadi kering seperti diuretik, sehingga dapat menyebabkan rasa

haus yang membuat pasien meminum cairan terlalu banyak. Hal ini karena dalam kondisi normal
manusia tidak dapat bertahan lebih lama tanpa asupan cairan dibandingkan dengan makanan

(Kartika, 2009).

Sulit bagi seseorang untuk menerima kenyataan bahwa ia harus menjalani hemodialisa

seumur hidup. Selain biayanya yang mahal dan merepotkan karena harus datang berulang kali

dalam seminggu sehingga membuat hidup tidak nyaman (Alam & Hadibroto, 2007). Pasien yang

menjalani hemodialisa juga rentan terhadap masalah emosional seperti stress yang berkaitan

dengan pembatasan diet dan cairan, keterbatasan fisik, penyakit terkait, dan efek samping obat,

serta ketergantungan terhadap dialisis akan berdampak terhadap menurunnya kualitas hidup pasien

(Son, et al, 2009).

Menurut hasil penelitian Ridwan (2009) menunjukkan bahwa kepatuhan asupan pasien

dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dominan dan bersifat problematis yaitu pengetahuan,

pengalaman yang pernah dialami, faktor pendidikan yaitu pada penderita memiliki pendidikan

lebih tinggi akan mempunyai pengetahuan yang lebih luas dan memungkinkan penderita untuk

mengontrol diri, tenaga kesehatan, keterlibatan keluarga dan konsep keyakinan diri.

Banyak faktor yang mengkontribusi terhadap ketidakpatuhan diit pasien gagal ginjal

kronik diantaranya dukungan keluarga, pengetahuan dan sikap. Faktor yang lain meliputi dua

macam faktor yaitu faktor internal seperti pendidikan, perilaku, motivasi. Dan faktor eksternalnya

adalah budaya. Pasien dengan gagal ginjal kronik sangat memerlukan dukungan dari keluarga.

Keluarga merupakan satuan terkecil dalam masyarakat yan terdiri dua orang atau lebih. Hidup

dalam satu rumah tangga berinteraksi dan bersosialisasi satu sama lain, dan mempertahankan satu

kebudayaan (Effendy, 2006).


Faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap ketidakpatuhan pasien gagal ginjal kronik.

Tanpa dukungan dari keluarga, pengetahuan dan sikap pasien, dia tidak akan mampu mematuhi

program diit yang sudah ditentukan. Karena dalam menjalani program diit, sering kali pasien

merasa bosan yang disebabkan karena mereka harus mengkonsumsi makanan yang hanya

disarankan oleh rumah sakit. Pada umumnya, nafsu makan pasien akan menurun karena harus

mengkonsumsi makanan atas saran dari rumah sakit saja, maka dari itu perencanaan diit yang

bervariasi sangat diperlukan supaya tidak terjadi ketidakpatuhan dalam menjalani program diit.

Jika ketidakpatuhan terjadi maka akan sangat merugikan diri pasien, dari mulai jadwal terapi yang

akan berubah menjadi lebih sering yang diakibatkan karena komplikasi yang ditimbulkan oleh

edema, juga akan memperberat biaya terapi dari biasanya (Almatsier, 2008).

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Noviyanti (2013) ditemukan hasil bahwa

pendidikan sangat mempengaruhi terhadap perilaku seseorang. Pengetahuan dalam hal ini,

menunjukan hasil bahwa lebih dari setengah (53,8%) responden di RSUD Kota Dumai mempunyai

tingkat pengetahuan rendah. Hal ini dipengaruhi oleh kurangnya informasi yang diterima oleh

responden tentang pola diit yang benar dan harus dipatuhi apabila menjalani terapi hemodialisa.

Dari segi sikap disini, ditemukan hasil bahwa lebih dari setengah (53,8%) responden bersikap

positif. Penelitian yang dilakukan oleh Bertalina & Sumardilah (2011) terdapat hubungan yang

signifikan antara dukungan keluarga dengan kepatuhan diet dengan p value = 0.023.

Diit adalah salah satu faktor yang paling penting dalam penatalaksanaan pasien gagal ginjal

kronik dengan Hemodialisa. Beberapa sumber diit yang sangat dianjurkan antara lain karbohidrat,

protein, kalsium, vitamin dan mineral, cairan, dan juga lemak ( Almatsier, 2006 ). Pantangan

makanan dan minuman yang harus dihindari dan dibatasi, memerlukan kemauan dan kepatuhan

untuk mematuhi larangan yang sudah diberikan. Hemodialisa yang cukup panjang seringkali
mematahkan semangat hidup pasien sehingga dapat mempengaruhi kepatuhan seseorang dalam

mematuhi ketentuan diit yang harus dipatuhi pada pasien yang menjalani terapi hemodialisa ( Sari,

2009 ).

Kepatuhan diit dapat didefinisikan sebagai tingkatan dari perilaku seseorang yang

melakukan pengaturan pembatasan makanan berdasarkan rekomendasi dari pemberi pelayanan

kesehatan (Ernawati, 2016). Kepatuhan dalam menjalankan diit sangat penting untuk dilakukan

bagi penderita gagal ginjal kronik supaya keseimbangan cairan dan elektrolit dalam tubuh selalu

terjaga, membantu mengurangi kerja ginjal, memperlambat proses penurunan fungsi ginjal serta

terhindar dari gejala-gejala yang dapat mengganggu penderita gagal ginjal seperti, sesak nafas,

pembengkakan, mual muntah (Savitri, 2015). Namun apabila penderita tidak mematuhi atau tidak

melakukan diit yang sesuai akan mengakibatkan bertambah parahnya kondisi kesehatan penderita,

bahkan berdampak pada gagalnya terapi yang dijalankan oleh penderita gagal ginjal kronik

(Meliana, 2013).

Diet yang bersifat membatasi akan merubah gaya hidup dan dirasakan pasien sebagai

gangguan, serta diet yang dianjurkan tersebut tidak disukai oleh kebanyakan pasien. Pasien merasa

seperti ”dihukum” bila menuruti keinginan untuk makan dan minum. Karena bila pasien menuruti

keinginannya maka akan terjadi seperti asites, hipertensi, edema, kram, dan lain lain. Hal ini

membuat pasien merasa sangat kesakitan dan tidak bisa melakukan aktifitas sehari hari. Oleh

karena itu, pasien menjadi tergantung pada keluarga (Smeltzer dan Bare, 2002).

Klien gagal ginjal kronik dengan terapi hemodialisis harus patuh terhadap

program pengobatan karena jika tidak patuh maka akan menimbulkan komplikasi,

karakteristik pengobatangagal ginjal kronik dengan dialisis akan terjadi ketidakpatuhan

dikarenakan pengobatan seumur hidup, rejimen pengobatan yang kompleks, kesulitan


memahami dasar program pengobatan, dan ketidaktahuan konsekuensi jangka pendek

akibat ketidakpatuhan. Salah satu yang mempengaruhi kepatuhan program terapi gagal

ginjal yang menjalani hemodialisis adalah dukungan sosial keluarga dimana keluarga

berperan dalam fungsi keperawatan kesehatan anggota keluarganya untuk mencapai

kesehatan yang optimal dan bermanfaat bagi kesehatan mental maupun kesehatan fisik

individu yang mendapatkan pengobatan, mengikuti diet, dan atau melaksanakan

perubahan gaya hidup sesuai dengan rekomendasi pemberi layanan kesehatan. Menurut

Niven (2002), dalam Umayah, (2016) bahwa keluarga dapat membantu menghilangkan

godaan pada ketidakpatuhandan keluarga seringkali dapat menjadi kelompok

pendukung untuk meningkatkan kepatuhan dalam pembatasan cairan. Dukungan yang

diberikan oleh keluarga yaitu berupa dukungan secara instrumental, informasional,

emosional dan dukungan berupa pengharapan.Dengan latar belakang diatas, maka perlu

dilakukan penelitian guna mengetahui hubungan dukungan sosial keluarga dengan

kepatuhan diet pasien gagal ginjal kronik yang menjalani Hemodialisis di Rumkital Dr.

Ramelan Surabaya.

Diet gagal ginjal adalah diet atau pengaturan pola makan yang dijalani oleh mereka yang

menderita gagal ginjal (Indraratna, 2012). Terapi diet tersebut dapat digunakan sebagai terapi

pendamping (komplementer) utama dengan tujuan mengatasi racun tubuh, mencegah terjadinya

infeksi dan peradangan, serta memperbaiki jaringan ginjal yang rusak. Caranya adalah dengan

menjalankan diet ketat rendah protein dengan kalori yang cukup. Jumlah protein yang dikonsumsi

juga disesuaikan dengan berat badan kering pasien gagal ginjal kronik. Selain itu pasien juga tidak

dianjurkan untuk mengkonsumsi beberapa makanan, diantaranya adalah kacang-kacangan beserta


hasil olahannya, kelapa, santan, minyak kelapa, mentega biasa dan lemak hewani, serta sayuran

dan buah tinggi kalium (Almatsier, 2005).

Tujuan terapi diet bagi penyakit ginjal adalah untuk mengurangi beban kerja ginjal dalam

mengendalikan keseimbangan cairan dan mengeluarkan berbagai produk limbah. Dalam diet ini

harus dipertimbangkan kandungan 4 protein, natrium, dan kalium pada makanan. Jumlah unsur-

unsur gizi tersebut dikurangi bila ekskresi terganggu dan ditingkatkan bila terjadi kehilangan yang

abnormal lewat urine (Beck, 2011).

Menurut Ahmadi (1996) dari proses pendidikan diharapkan akan terjadi perubahan

pengetahuan, sikap dan keterampilan. Dengan demikian salah satu cara untuk mengukur

perubahan perilaku dan sikap dapat dengan menggunakan pengukuran terhadap pengetahuan

seseorang. Sedangkan Suhardjo (2003) mengatakan bahwa upaya pendidikan atau penyuluhan gizi

merupakan salah satu usaha yang sangat penting untuk seseorang mau bersikap dan bertindak

mengikuti norma-norma gizi, sehingga seseorang memahami pentingnya makanan dan gizi,

khususnya bagi pasien gagal ginjal kronik (Suhardjono, 2004).

Hasil penelitian Novriyanti (2014) menyimpulkan ada hubungan tingkat pengetahuan

dengan kepatuhan yaitu didapatkan hasil tingkat pengetahuan dari para responden yang

menunjukkan angka baik yaitu 24 orang (66,67%) memungkinkan responden dapat mencegah

terjadinya Gagal Ginjal Kronik.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas hidup antara lain usia, pendidikan, jenis

kelamin, pekerjaan, dan status gizi. Tingkat pendidikan erat kaitannya dengan tingkat kesehatan.

Karena masyarakat dengan tingkat pendidikan yang rendah akan tetap mempertahankan tradisi-

tradisi yang berhubungan dengan makanan, sehingga sulit menerima informasi di bidang gizi dan
bidang kesehatan lainnya. Tingkat pendidikan juga merupakan faktor yang mempengaruhi tingkat

pengetahuan , dengan tingkat pendidikan yang tinggi maka akan semakin mudah untuk menerima

konsep hidup sehat secara mandiri, kreatif dan berkesinambungan. Penelitian Ismail, dkk

menunjukkan bahwa ada hubungan antara pendidikan, pengetahuan dan motivasi dengan

kepatuhan diet pada pasien GGK.

Kepatuhan berarti pasien harus meluangkan waktu dalam menjalani pengobatan yang

dibutuhkan seperti dalam pengaturan diet maupun cairan (Potter & Perry, 2006). Hal ini dapat

melibatkan dukungan keluarga. Friedman (2003) menyatakan dukungan keluarga adalah upaya

yang diberikan kepada orang lain, baik moril maupun materil untuk memotivasi orang tersebut

dalam melaksanakan kegiatan. Rina (2010) melakukan penelitian dengan judul pengaruh

dukungan keluarga terhadap tingkat kecemasan pasien GGK yang menjalani hemodialisa di RSUD

Arifin Achmad Pekanbaru menyimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan antara dukungan

keluarga dengan tingkat kecemasan berpola liner positif sempurna, artinya semakin tinggi tingkat

dukungan keluarga semakin rendah tingkat kecemasan pasien GGK.

Adapun faktor lain yang dapat mempengaruhi ketidakpatuhan diet yaitu dukungan yang

diberikan kepada pasien dari keluarga dan orang-orang dekat pasien (Kausz, 2000). Dukungan

kepada pasien yang baik dapat mempengaruhi penatalaksanaan diet yang baik pula, maka perlu

kesadaran keluarga dan dideteksi dini. Berdasarkan penelitian oleh Rina (2010) menyimpulkan

bahwa ada pengaruh yang signifikan antara dukungan keluarga dengan tingkat kecemasan, artinya

semakin tinggi tingkat dukungan keluarga semakin rendah tingkat kecemasan dan semakin tinggi

tingkat kesembuhan pasien Gagal Ginjal Kronik.

Dukungan keluarga dapat didefinisikan persepsi keluarga dalam memberikan sikap

ataupun tindakan dan penerimaan keluarga terhadap anggota keluarga yang sakit dapat berupa
dukungan verbal, non verbal, saran ataupun tindakan dan perlakuan yang nyata dari anggota

keluarga yang lain terhadap anggota keluarga yang sakit (Zurmeli, 2015). Menurut Friedman

(2010) dukungan keluarga terdiri dari informasional, penghargaan, instrumental dan emosional.

Dukungan tersebut bisa berbentuk bantuan dalam memperoleh informasi, saran atau arahan,

membantu dalam memecahkan masalah, memberikan motivasi yang positif, membantu dalam

memfasilitasi peralatan yang dibutuhkan anggota keluarga yang sakit dan juga dukungan dari

keluarga dalam membantu menstabilkan emosi maupun stress dan kecemasan yang terjadi pada

anggota keluarga yang sakit. Anggota keluarga yang mendapat dukungan dari keluarga yang baik

akan merasa lega karena telah diperhatikan, merasa mendapatkan saran dan kesan yang baik agar

termotivasi untuk meningkatkan kesembuhannya (Panjaitan, 2014). Sedangkan seseorang yang

mendapatkan dukungan keluarga yang kurang akan mengalami keterhambatan dalam proses

penyembuhan atau pemulihan (rehabilitasi) (Nurhidayati, 2014).

Dukungan keluarga merupakan suatu bentuk dorongan dan selalu memberikan bantuan bila

pasien membutuhkan (Friedman, 1998, dalam Akhmadi, 2009, Dukungan keluarga). Dukungan

keluarga menurut Friedman (1998, dalam setiadi, 2008) memiliki 4 bentuk yaitu: dukungan

instrumental (sumber pertolongan yang praktis dan konkrit), dukungan informasional (keluarga

sebagai kolektor dan penyebar informasi yang baik dan dapat dipercaya), dukungan penilaian

(keluarga sebagai pembimbing, penengah dalam memecahkan masalah, sebagai sumber dan

validator identitas dalam keluarga), dan dukungan emosional (keluarga sebagai tempat berlindung

yang aman dan damai untuk beristirahat dan pemulihan serta dapat membantu dalam menguasai

terhadap emosi.
Dukungan dari keluarga sangat dibutuhkan pada kondisi seperti ini, terlebih pada penderita

gagal ginjal kronik, keluarga akan memberikan dukungan yang baik dalam proses pengobatan dan

kepatuhan diit keluarganya yang sakit (Wulandhani, 2014).

Berdasarkan hasil penelitian Nurkhayati (2005) keluarga berperan penting dalam

keberhasilan terapi hemodialisis baik saat pradialisis maupun saat proses dialisis karena dukungan

dari keluarga dapat mempengaruhi tingkah laku pasien dan tingkah laku ini memberi hasil

kesehatan seperti yang diinginkan. Dukungan yang diberikan keluarga akibat diet yang salah yaitu

dengan memberikan support, segera mengatasi akibat diet yang salah dengan mencari obat dan

mengantarkan ke dokter. Keluarga juga berperan penting dengan memantau asupan makanan dan

minuman pasien agar sesuai dengan ketentuan diet.

Anda mungkin juga menyukai