Anda di halaman 1dari 13

DISKUSI TOPIK

Pendekatan Diagnosis dan Tatalaksana Anemia

Disusun Oleh:
dr. Kartika Juwita

Moderator:
Prof. Dr. dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM

Fakultas Kedokteran
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia
Tahun 2016
PENDAHULUAN

Anemia merupakan masalah kesehatan yang banyak ditemukan di seluruh dunia, dan
mencakup baik negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan data yang dikumpulkan
World Health Organization (WHO) dari tahun 1993-2005, jumlah penduduk dunia yang
mengalami anemia mencapai 1.62 triliun, atau sekitar 24,8% dari total populasi penduduk
dunia.1,2

Tabel 1. Data WHO mengenai prevalensi anemia berdasarkan usia dan jenis kelamin tahun
1993-20052

Sementara itu, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
jumlah penduduk Indonesia yang mengalami anemia mencapai 21,7%, yang apabila
dikelompokkan berdasarkan umur, didapatkan bahwa anemia pada balita cukup tinggi, yaitu
28,1% dan cenderung menurun pada kelompok umur anak sekolah, remaja sampai dewasa
muda (34 tahun), tetapi cenderung meningkat kembali pada kelompok umur yang lebih tinggi.
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa proporsi anemia pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan pada laki-laki. Jika dibandingkan berdasarkan tempat tinggal didapatkan bahwa
anemia di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan.3
Tabel 2. Proporsi anemia penduduk umur ≥1 tahun menurut karakteristik, Indonesia 20133

Kelompok ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang berisiko tinggi mengalami
anemia, meskipun anemia yang dialami umumnya merupakan anemia relatif akibat perubahan
fisiologis tubuh selama kehamilan. Anemia pada populasi ibu hamil menurut kriteria anemia
yang ditentukan WHO dan pedoman Kemenkes 1999, mencakup 37,1%, dengan proporsi yang
kurang lebih sama baik di perkotaan (36,4%) maupun pedesaan (37,8%).3
Tingginya prevalensi anemia memiliki dampak yang cukup signifikan dalam bidang kesehatan.
Anemia dapat menjadi penyebab munculnya debilitas kronik (chronic debility) yang
mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik.
yang dikhawatirkan juga dapat mempengaruhi perkembangan sosial dan ekonomi suatu negara.
Anemia yang timbul akibat kekurangan zat besi dapat mempengaruhi secara langsung fungsi
kognitif dan perkembangan motorik, menurunkan produktivitas kerja, dan, apabila terjadi
selama masa kehamilan, seringkali dikaitkan dengan berat janin yang rendah serta
meningkatkan risiko kematian baik ibu dan anak.3
Melihat besarnya efek yang dapat ditimbulkan oleh anemia, penting diketahui pendekatan baik
secara diagnostik maupun terapetik dari anemia, sehingga diharapkan angka kecacatan dan
kematian yang timbul akibat anemia dapat ditekan serendah mungkin.

DEFINISI

Anemia dapat didefinisikan baik secara fungsional maupun secara klinis. Secara
fungsional, anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass)
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup
ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Sedangkan secara klinis, anemia
didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) atau hitung eritrosit
(red cell count). Meskipun demikian, terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga
parameter tersebut tidak sejalan dengan massa hidup sel darah merah, seperti pada dehidrasi,
perdarahan akut, dan kehamilan.1,3
Kadar Hb dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian
tempat tinggal, serta keadaan fisiologis tertentu, seperti pada kehamilan. WHO dan Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) menyusun kriteria anemia melalui kadar hemoglobin
(Hb) berdasarkan usia dan jenis kelamin.4

Tabel 3. Definisi anemia berdasarkan kadar hemoglobin4

Kadar Hemoglobin (Hb)


Populasi
WHO CDC
Anak usia 0.5 – 4.9
- < 11 g/dL
tahun
Anak usia 5.0 – 11.9
- < 11.5 g/dL
tahun
Wanita menstruasi < 12 g/dL -
Wanita hamil pada
< 11 g/dL < 11 g/dL
trimester 1 dan 3

Wanita hamil pada


< 11 g/dL < 10.5 g/dL
trimester 2
Pria < 13 g/dL

Sementara itu, WHO dan National Cancer Institute (NCI) mengklasifikasikan anemia
menjadi 4 kelompok berdasarkan derajatnya.4

Tabel 4. Derajat anemia berdasarkan kadar hemoglobin4


Anemia berat dapat bersifat akut ataupun kronis. Anemia berat dikatakan kronis apabila
konsentrasi Hb ≤ 7 g/dL selama 3 bulan berturut-turut atau lebih.

FISIOLOGI ERITROSIT DAN HEMOGLOBIN


Sel darah merah atau eritrosit dibentuk di sumsum tulang melalui proses eritropoesis. Sel
induk eritrosit, di bawah pengaruh hormon eritropoetin, akan berkembang menjadi eritroblas
yang akan mulai mensintesis hemoglobin (Hb). Eritrosit normal berbentuk bikonkaf dengan
diameter 7.5 mikron. Bentuk dan ukuran ini setidak menentukan 3 fungsi utama eritrosit dalam
fisiologi tubuh manusia:5
1. Bentuk khas dari eritrosit menyebabkan eritrosit mampu mengecil saat melewati kapiler
darah tanpa merusak membran sel nya
2. Meningkatkan proses difusi gas melalui permukaan sel yang cukup besar
3. Mengurangi ketegangan dinding sel pada saat sel membesar setelah mengikat karbon
dioksida dari jaringan
Setiap eritrosit memiliki volume 80-100 fl (femtoliter, 10-15 l) dan mengandung
setidaknya 30 pg (picogram, 10-12 g) hemoglobin. Pada individu normal, terdapat sebanyak 5
x 1012 eritrosit dalam satu liter darah, di mana tiap liternya mengandung 130-160 g Hb pada
pria, dan 110-140 g Hb pada wanita. Masa hidup eritrosit dalam sirkulasi darah adalah 120
hari, dengan sekitar 1% dari total eritrosit dihancurkan setiap harinya. Seiring semakin
menuanya usia eritrosit, ukuran eritrosit akan semakin mengecil dan strukturnya menjadi
semakin kaku sehingga eritrosit tersebut akan dikeluarkan dari sirkulasi darah oleh makrofag
yang ada di limfa, ginjal, dan sumsum tulang, dan akan dihancurkan. Siklus ini akan terus
berulang, sehingga jumlah eritrosit dalam darah akan terus berada dalam kondisi yang stabil.5
Hb merupakan bagian dari eritrosit yang akan berikatan dengan oksigen. Hemoglobin
terdiri dari dua rantai yaitu heme dan globin. Heme merupakan kompleks yang terdiri dari
cincin porfirin dan ion besi/ferrous (Fe2+). Ion besi merupakan bagian penting dari
hemoglobin, sehingga apabila terjadi defisiensi yang diakibatkan baik oleh konsumsi gizi yang
tidak adekuat maupun oleh perdarahan kronik dapat menimbulkan anemia. Heme akan
berkonjugasi dengan globin, suatu polipeptida, dan akan membentuk 4 subunit. Hb orang
dewasa (HbA) terdiri dari 2 polipeptida alpha (α) dan 2 polipeptida beta (β). Adanya perbedaan
rantai polipeptida ini akan menentukan variasi dari Hb yang ke depannya akan menentukan
kapasitas tubuh dalam mengikat oksigen. 5

KLASIFIKASI ANEMIA
Salah satu sistem klasifikasi yang digunakan pada anemia dibuat berdasarkan gambaran
morfologi dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia
dapat dibagi menjadi tiga golongan:6
1. Anemia hipokromik mikrositer  MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg
2. Anemia normokromik normositer  MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
3. Anemia makrositer  MCV > 95 fl
ETIOLOGI
Anemia dapat timbul akibat 3 penyebab utama, yaitu kehilangan darah (perdarahan),
ganguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, dan proses penghancuran eritrosit dalam
tubuh sebelum mencapai waktunya (hemolisis).6,7

Perdarahan
Perdarahan merupakan penyebab anemia yang paling sering ditemukan, terutama
anemia defisiensi zat besi. Perdarahan yang terjadi dapat berlangsung singkat, atau dalam
jangka waktu yang lama. Periode menstruasi yang berat atau perdarahan baik saluran cerna
maupun saluran kemih merupakan penyebab kehilangan darah yang dapat berakibat timbulnya
anemia. Adanya tindakan pembedahan, trauma, atau keganasan juga dapat menjadi penyebab
timbulnya perdarahan.7

Gangguan Pembentukan Eritrosit


Berbagai kondisi penyakit yang melibatkan terhambatnya kemampuan tubuh untuk
memproduksi sel darah merah dapat berakibat timbulnya anemia. Kondisi-kondisi ini meliputi
kondisi yang baru terjadi maupun diturunkan secara genetik. Kondisi yang baru terjadi antara
lain meliputi gizi yang kurang, kadar hormon yang rendah, penyakit-penyakit kronik, dan
kehamilan. Anemia aplastik juga dapat menghambat kemampuan tubuh untuk memproduksi
sel darah merah baru. Kondisi ini dapat berupa kondisi yang baru didapat, maupun diturunkan.7

Diet
Konsumsi makanan rendah zat besi, asam folat, atau vitamin B12 menyebabakan
berkurangnya kemampuan tubuh dalam memproduksi sel darah merah karena zat-zat tersebut
diperlukan dalam pembentukan sel darah merah.7

Hormon
Hormon eritropoeietin diperlukan tubuh dalam sintesis sel darah merah. Hormon ini
bertugas menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah baru.
Berkurangnya kada hormon ini dapat menyebabkan timbulnya anemia.7

Penyakit dan Pengobatannya


Beberapa penyakit kronik seperti penyakit ginjal kronik dan keganasan juga dapat
menyebabkan berkurangnya kemampuan tubuh untuk memproduksi sel darah merah. Beberapa
pengobatan kanker dapat merusak sumsum tulang serta mengurangi kemampuan sel darah
merah dalam mengangkut oksigen. Sumsum tulang yang rusak menyebabkan berkurangnya
laju pembentukan sel darah merah baru untuk menggantikan sel darah merah yang telah mati
atau pun ikut terdestruksi. Penyakit HIV/AIDS juga dapat mengakibatkan timbulnya anemia
yang disebabkan baik infeksi virus itu sendiri maupun pengobatan yang digunakan untuk
mengatasi infeksi tersebut.7

Kehamilan
Anemia dapat timbul selama proses kehamilan dikarenakan perubahan kadar zat besi
dan asam folat yang terjadi di dalam darah. Selama 6 bulan awal kehamilan, kadar plasma
darah mengalami peningkatan jauh lebih cepat dibanding produksi sel darah merah. Kondisi
ini menyebabkan terdilusinya eritrosit yang selanjutnya dapat mengakibatkan anemia.7

Anemia Aplastik
Beberapa pasien anemia dengan kondisi di mana sumsum tulang tidak mampu memproduksi
sel darah dalam jumlah yang adekuat. Kondisi ini dikenal sebagai anemia aplastik. Anak yang
lahir dengan kondisi anemia aplastik seringkali membutuhkan transfusi darah dalam jumlah
besar untuk meningkatkan jumlah sel darah merah agar dapat tetap menjalankan fungsi tubuh
tertentu.7

Hemolisis
Beberapa kondisi penyakit, baik yang didapat maupun diturunkan dapat menyebabkan
penghancuran berlebihan dari sel darah merah yang dapat berakibat timbulnya anemia. Salah
satu contoh kondisi yang didapat adalah pembesaran atau pun penyakit yang melibatkan organ
limfa.7
Limfa adalah organ yang bertugas menghancurkan sel-sel darah yang telah tua. Apabila
terjadi pembesaran limfa atau pun penyakit yang berhubungan dengan limfa dapat
menyebabkan terjadinya penghancuran sel darah merah lebih cepat dari yang seharusny yang
menyebabkan timbulnya anemia. 7
Beberapa kondisi penyakit diturunkan yang dapat menyebabkan tubuh lebih cepat
menghancurkan sel darah merah antara lain anemia sel sabit (sickle-cell anemia), talasemia,
dan berkurangnya beberapa enzim tertentu. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan adanya
defek pada morfologi sel darah merah sehingga tubuh akan lebih cepat merusak sel-sel darah
tersebut. 7
Anemia hemolitik merupakan contoh kondisi lain di mana tubuh menghancurkan sel
darah merah lebih banyak dari yang seharusnya. Kondisi ini dapat ditemukan pada penyakit-
penyakit imun, penyakit infeksi, beberapa jenis terapi ataupun efek transfusi darah. 7

Klasifikasi etiologi dan morfologi di atas, apabila digabungkan dapat sangat membantu
dalam mengetahui penyebab suatu anemia.
Tabel 5. Pendekatan diagnosis anemia berdasarkan klasifikasi morfologi6
Jenis Anemia Kemungkinan Diagnosis dan Etiologi
Anemia hipokromik mikrositer Anemia defisiensi besi
Talasemia mayor
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik
Anemia normokromik normositer Anemia pasca perdarahan akut
Anemia aplastik
Anemia hemolitik didapat
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia pada gagal ginjal kronik
Anemia pada sindrom mielodisplatik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia makrositer Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi B12

DIAGNOSIS
Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium yang mendukung, sehubungan dengan gejala klinis yang seringkali tidak khas.
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah
kadar hemoglobin, disusul uleh hematokrit, dan hitung eritrosit. Nilai normal Hb sangat
bervariasi secara fisiologik, tergantung pada umum, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal,
dan kondisi-kondisi fisiologi yang dapat mempengaruhi, seperti misalnya kehamilan.
Berdasarkan hal ini, WHO menetapkan cut off point anemia seperti yang tertera pada tabel
berikut.6

Tabel 6. Nilai cut off hemoglobin untuk mendiagnosis anemia

Kelompok Kriteria Anemia (Hb)

Laki-laki dewasa < 13 g/dL

Wanita dewasa tidak hamil < 12 g/dL

Wanita hamil < 11 g/dL

Anemia seringkali ditemukan melalui pemeriksaan laboratorium sederhana. Hal ini


dikarenakan pasien umumnya tidak atau hanya sedikit menunjukkan gejala yang berkaitan
dengan kondisi anemia itu sendiri. Pada perdarahan akut, adanya hipovolemia seringkali lebih
mendominasi dalam menimbulkan manifestasi klinis, di mana kadar hematokrit dan
hemoglobin tidak merefleksikan volume dari kehilangan darah itu sendiri.7
Gejala umum anemia, seringkali disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul akibat
adanya iskemia organ target serta mekanisme kompensasi tubuh terhadap berkurangnya daya
angkut oksigen oleh Hb. Gejala umum anemia menjadi jelas (simtomatik) apabila kadar
hemoglobin turun di bawah 7 g/dL yang seringkali dikategorikan sebagai anemia berat, dan
seringkali bermanifestasi sebagai rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus),
mata berkunang-kunang, ujung anggota gerak terasa dingin, hingga sesak nafas. Pada
pemeriksaan, pasien dapat terlihat pucat yang umumnya mudah dinilai pada bagian
konjungtiva, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di bawah kuku. Meskipun demikian,
berat ringannya gejala yang ditimbulkan oleh anemia umumnya bergantung pada derajat
penurunan hemoglobin, kecepatan penurunan hemoglobin, usia, serta ada tidaknya kelainan
jantung atau paru sebelumnya. Sindrom anemia bersifat tidak spesifik karena dapat
ditimbulkan oleh kondisi lain selain anemia, dan tidak sensitif karena timbul setelah penurunan
hemoglobin yang berat.6,7
Gejala khas anemia spesifik untuk masing-masing jenis anemia. Sebagai contoh:
 Anemia defisiensi besi: atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok
(koilonychia)
 Anemia megaloblastik: glositik, gangguan neurologi
 Anemia hemolitik: ikterus, splenomegali, dan hepatomegali
 Anemia aplastik: perdarahan dan tanda-tanda infeksi

Pemeriksaan laboratorium merupakan penunjang diagnostik pokok dalam diagnosis


anemia. Pemeriksaan ini terdiri dari pemeriksaan penyaring (screening test), pemeriksaan
darah seri anemia, pemeriksaan sumsum tulang, dan pemeriksaan khusus.6
Pemeriksaan penyaring anemia terdiri dari pengukuran kadar Hb serta hapusan darah
tepi. Pemeriksaan ini berfungsi memastikan adanya anemia serta jenis morfologi anemia yang
dapat berguna untuk mengarahkan diagnosis lebih lanjut. 6
Pemeriksaan sumsum tulang dapat memberikan informasi penting mengenai keadaan
sistem hematopoesis. Pemeriksaan ini dibutuhkan untuk menegakkan diagnosis beberapa jenis
anemia, seperti anemia aplastik, anemia megaloblastik, serta pada kelainan hematologi yang
dapat mensupresi sistem eritroid. 6
Pemeriksaan darah khusus dikerjakan atas indikasi khusus, misalnya:
 Anemia defisiensi besi: serum iron, TIBC (total iron binding capacity, saturasi
transferin, dan serum feritin
 Anemia megaloblastik: serum folat, serum vitamin B12, tes supresi deoksiuridin, dan
tes schiling
 Anemia hemolitik: serum bilirubin, tes Coomb, dan elektroforesis hemoglobin
 Anemia aplastik: biopsi sumsum tulang

Anemia merupakan suatu sindrom, bukanlah suatu kesatuan penyakit. Oleh karena itu,
dalam mendiagnosis anemia diperlukan tahapan-tahapan sebagai berikut:
 Menentukan adanya anemia
 Menentukan jenis anemia
 Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
 Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil
pengobatan

Pendekatan Diagnosis Anemia


Pendekatan diagnosis yang tepat sangat diperlukan dalam mengidentifikasi adanya
anemia. Pendekatan diagnosis dapat dilakukan secara tradisional berdasarkan hasil temuan
anamnesis, pemeriksaan fisik, dan hasil laboratorium sederhana. Pendekatan lain yang dapat
digunakan adalah pendekatan secara morfologi berdasarkan gambaran hapusan darah tepi atau
indeks eritrosit yang mengklasifikasikan anemia menjadi anemia hipokromik mikrositer,
anemia normokromik normoister, dan anemia makrositer. Pendekatan berikutnya yang dapat
digunakan yaitu pendekatan fungsional, bertujuan untuk membedakan apakah anemia yang
terjadi disebabkan oleh penurunan produksi eritrosit di sumsum tulang yang bisa dilihat dari
penurunan angka retikulosit, ataukah akibat kehilangan darah, atau hemolisis, yang ditandai
oleh peningkatan angka retikulosit. Dari ketiga pendekatan yang telah disebutkan, seorang
klinis dapat mengidentifikasi ada tidaknya anemia, serta menduga jenis anemia dan
kemungkinan penyebabnya. Hasil temuan ini kemudian dapat diperkuat dengan pendekatan
probabilistik (pendekatan berdasarkan pola etiologi anemia) yang bersandar pada data
epidemiologi di daerah tertentu. 6
Secara umum, jenis anemia yang paling sering dijumpai di dunia, terutama Indonesia dan
negara berkembang lainnya adalah anemia defisiensi besi, anemia akibat penyakit kronik, dan
talasemia. Pada perempuan hamil, anemia yang disebabkan oleh defisiensi folat juga perlu
mendapat perhatian. Pada anak-anak, talasemia merupakan penyebab anemia yang cukup
sering dijumpai. Pada intinya, ketika klinis menjumpai kondisi anemia di suatu daerah, perlu
dicari tahu penyebab dominan anemia di daerah tersebut sebelum melanjutkan pemeriksaan
yang lebih spesifik. Dengan penggabungan bersama gejala klinis dan hasil pemeriksaan
laboratorium sederhana, usaha diagnosis selanjutnya diharapkan akan lebih terarah. 6
Dalam penilaian klinis anemia, penting juga diketahui hal-hal lainnya seperti kecepatan
timbulnya penyakit (awitan anemia), berat ringannya derajat anemia, serta gejala lainnya yang
cukup menonjol. Berdasarkan awitan anemia, anemia dapat dibedakan menjadi anemia yang
timbul secara cepat (beberapa hari sampai minggu), dan anemia yang timbul perlahan. Anemia
yang timbul secara cepat dapat disebabkan oleh adanya perdarahan akut, anemia hemolitik
intravaskular seperti yang terjadi pada kesalahan pemberian transfusi di mana dijumpai
penurunan Hb > 1 g/dL per minggu, anemia yang timbul akibat leukemia akut, atau krisis
aplastik pada anemia hemolitik kronik. Sementara itu anemia yang timbul perlahan biasanya
dapat disebabkan oleh anemia defisiensi besi, anemia defisiensi folat atau vitamin B12, serta
anemia akibat penyakit kronik. 6
TATA LAKSANA

Transfusi Darah
Transfusi sel darah merah (packed red cells) dapat dipertimbangkan pada pasien anemia
yang mengalami perdarahan aktif dan pada pasien anemia derajat berat terutama yang
simtomatik. Transfusi darah bersifat paliatif, dan sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi
spesifik pada semua penyebab anemia. Pada anemia yang diakibatkan oleh penyakit kronik
misanya, pemberian eritropoetin mungkin akan lebih bermanfaat dan dapat mengurangi
kebutuhan transfusi.4
Transfusi darah dapat dipertimbangkan pada pasien anemia yang memiliki gejala
seperti rasa lelah atau sesak nafas. Pemberian transfusi disarankan mulai diberikan pada pasien
dengan kadar Hb < 10 g/dL. 4
Pemberian transfusi darah harus dihindari pada beberapa kondisi karena justru dapat
meningkatkan risiko kematian. Pasien dengan reaksi hemolitik akibat transfusi atau pasien
yang memiliki antibodi terhadap eritrosit justru memiliki risiko tinggi mengalami reaksi
transfusi. 4

Suplementasi Zat Besi


Anemia defisiensi besi merupakan jenis anemia yang cukup banyak ditemukan. Tata
laksana yang ditujukan untuk jenis anemia ini adalah mengatasi penyebab langsung, dan
dengan pemberian suplementasi ferrous sulfate untuk menggantikan kadar zat besi dalam
darah. 4
Dosis yang dianjurkan adalah 325 mg (terdiri dari 65 mg elemental iron), tiga kali
sehari. Meskipun demikian, saat ini pemberian dalam dosis lebih kecil (15-20 mg elemental
iron dalam sehari) dianggap sama efektifnya dengan dosis besar, dengan efek samping yang
lebih kecil. Untuk mempercepat penyerapan, pasien yang sedang mengonsumsi suplemen zat
besi disarankan untuk tidak mengonsumsi teh dan kopi, dan disarankan mengonsumsi vitamin
C (500 unit) bersamaan dengan tablet zat besi. 4

Terapi Nutrisi dan Perbaikan Status Gizi


Terapi nutrisi terutama ditujukan untuk anemia defisiensi zat besi, vitamin B-12, dan
asam folat, dikarenakan jenis-jenis anemia ini sangat erat kaitannya dengan status gizi
seseorang. Anemia defisiensi besi cukup sering ditemukan di daerah-daerah yang penduduknya
sedikit mengonsumsi daging, contohnya di negara-negara berkembang. Anemia defisiensi
asam folat sering ditemukan pada orang yang lebih banyak mengonsumsi sayuran hijau. 4
KESIMPULAN
Anemi merupakan kelainan yang sering dijumpai. Kriteria diagnosis anemia
berdasarkan kadar Hb umumnya menggunakan kriteria yang dikeluarkan oleh WHO. Namun
untuk kepentingan klinis, kriteria Hb anemia yang umum digunakan adalah Hb < 10 g/dL atau
hematokrit < 30%. Berdasarkan pemeriksaan laboratorium, anemia dapat diklasifikasikan
menurut etiologi atau morfologi eritrosit. Penggabungan kedua klasifikasi tersebut ditambah
dengan anamnesis, dan pemeriksaan fisik yang baik dapat membantu menegakkan diagnosis
anemia dan penyakit yang mendasarinya. Pendekatan diagnosis anemia dapat dilakukan secara
klinis, namun yang lebih baik adalah dengan menggabungkan pendekatan klinis dan
laboratorik. Tata laksana anemia disarankan untuk diberikan berdasarkan indikasi yang jelas.
Terapi yang diberikan dapat bersifat darurat, suportif, hingga terapi yang spesifik untuk tiap
penyakit yang mendasarinya.
DAFTAR PUSTAKA

1. World Health Organization. Global anaemia prevalence and number of individuals


affected. Diunduh dari:
http://www.who.int/vmnis/anaemia/prevalence/summary/anaemia_data_status_t2/en/ .
[1 Oktober 2016]
2. Benoist BB, McLean E, Egli I, Cogswell M (eds). Worldwide prevalence of anaemia
1993–2005 : WHO global database on anaemia. WHO Library Cataloguing-in-
Publication Data.h.1-40
3. Badan Penelitian Dan Pengembangan Kesehatan dan Kementerian Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar Riskedas 2013.h.256-258
4. Killip S, Bennett JM, Chambers MD. Iron deficiency anemia. Am Fam Physician.
2007;75(5):671-678.
5. Thomas C, Lumb AB. Physiology of Haemoglobin. Contin Educ Anaesth Crit Care
Pain. 2012;2-6.
6. Bakta IM. Pendekatan terhadap Pasien Anemia. Dalam: Sudoyo AW, Setiyohadi B,
Alwi I, Simadibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid II.
2009;632-5.
7. National Heart, Lung, and Blood Institute. Anemia. Diunduh dari:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmedhealth/PMH0062933/ [1 Oktober 2016]

Anda mungkin juga menyukai