Anemia
Anemia
Disusun Oleh:
dr. Kartika Juwita
Moderator:
Prof. Dr. dr. Aru W. Sudoyo, SpPD, K-HOM
Fakultas Kedokteran
Departemen Ilmu Penyakit Dalam
Universitas Indonesia
Tahun 2016
PENDAHULUAN
Anemia merupakan masalah kesehatan yang banyak ditemukan di seluruh dunia, dan
mencakup baik negara maju maupun negara berkembang. Berdasarkan data yang dikumpulkan
World Health Organization (WHO) dari tahun 1993-2005, jumlah penduduk dunia yang
mengalami anemia mencapai 1.62 triliun, atau sekitar 24,8% dari total populasi penduduk
dunia.1,2
Tabel 1. Data WHO mengenai prevalensi anemia berdasarkan usia dan jenis kelamin tahun
1993-20052
Sementara itu, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
jumlah penduduk Indonesia yang mengalami anemia mencapai 21,7%, yang apabila
dikelompokkan berdasarkan umur, didapatkan bahwa anemia pada balita cukup tinggi, yaitu
28,1% dan cenderung menurun pada kelompok umur anak sekolah, remaja sampai dewasa
muda (34 tahun), tetapi cenderung meningkat kembali pada kelompok umur yang lebih tinggi.
Berdasarkan jenis kelamin didapatkan bahwa proporsi anemia pada perempuan lebih tinggi
dibandingkan pada laki-laki. Jika dibandingkan berdasarkan tempat tinggal didapatkan bahwa
anemia di pedesaan lebih tinggi dibandingkan dengan perkotaan.3
Tabel 2. Proporsi anemia penduduk umur ≥1 tahun menurut karakteristik, Indonesia 20133
Kelompok ibu hamil merupakan salah satu kelompok yang berisiko tinggi mengalami
anemia, meskipun anemia yang dialami umumnya merupakan anemia relatif akibat perubahan
fisiologis tubuh selama kehamilan. Anemia pada populasi ibu hamil menurut kriteria anemia
yang ditentukan WHO dan pedoman Kemenkes 1999, mencakup 37,1%, dengan proporsi yang
kurang lebih sama baik di perkotaan (36,4%) maupun pedesaan (37,8%).3
Tingginya prevalensi anemia memiliki dampak yang cukup signifikan dalam bidang kesehatan.
Anemia dapat menjadi penyebab munculnya debilitas kronik (chronic debility) yang
mempunyai dampak besar terhadap kesejahteraan sosial dan ekonomi, serta kesehatan fisik.
yang dikhawatirkan juga dapat mempengaruhi perkembangan sosial dan ekonomi suatu negara.
Anemia yang timbul akibat kekurangan zat besi dapat mempengaruhi secara langsung fungsi
kognitif dan perkembangan motorik, menurunkan produktivitas kerja, dan, apabila terjadi
selama masa kehamilan, seringkali dikaitkan dengan berat janin yang rendah serta
meningkatkan risiko kematian baik ibu dan anak.3
Melihat besarnya efek yang dapat ditimbulkan oleh anemia, penting diketahui pendekatan baik
secara diagnostik maupun terapetik dari anemia, sehingga diharapkan angka kecacatan dan
kematian yang timbul akibat anemia dapat ditekan serendah mungkin.
DEFINISI
Anemia dapat didefinisikan baik secara fungsional maupun secara klinis. Secara
fungsional, anemia didefinisikan sebagai penurunan jumlah massa eritrosit (red cell mass)
sehingga tidak dapat memenuhi fungsinya untuk membawa oksigen dalam jumlah yang cukup
ke jaringan perifer (penurunan oxygen carrying capacity). Sedangkan secara klinis, anemia
didefinisikan sebagai penurunan kadar hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht) atau hitung eritrosit
(red cell count). Meskipun demikian, terdapat keadaan-keadaan tertentu di mana ketiga
parameter tersebut tidak sejalan dengan massa hidup sel darah merah, seperti pada dehidrasi,
perdarahan akut, dan kehamilan.1,3
Kadar Hb dan eritrosit sangat bervariasi tergantung pada usia, jenis kelamin, ketinggian
tempat tinggal, serta keadaan fisiologis tertentu, seperti pada kehamilan. WHO dan Centers for
Disease Control and Prevention (CDC) menyusun kriteria anemia melalui kadar hemoglobin
(Hb) berdasarkan usia dan jenis kelamin.4
Sementara itu, WHO dan National Cancer Institute (NCI) mengklasifikasikan anemia
menjadi 4 kelompok berdasarkan derajatnya.4
KLASIFIKASI ANEMIA
Salah satu sistem klasifikasi yang digunakan pada anemia dibuat berdasarkan gambaran
morfologi dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam klasifikasi ini anemia
dapat dibagi menjadi tiga golongan:6
1. Anemia hipokromik mikrositer MCV < 80 fl dan MCH < 27 pg
2. Anemia normokromik normositer MCV 80-95 fl dan MCH 27-34 pg
3. Anemia makrositer MCV > 95 fl
ETIOLOGI
Anemia dapat timbul akibat 3 penyebab utama, yaitu kehilangan darah (perdarahan),
ganguan pembentukan eritrosit oleh sumsum tulang, dan proses penghancuran eritrosit dalam
tubuh sebelum mencapai waktunya (hemolisis).6,7
Perdarahan
Perdarahan merupakan penyebab anemia yang paling sering ditemukan, terutama
anemia defisiensi zat besi. Perdarahan yang terjadi dapat berlangsung singkat, atau dalam
jangka waktu yang lama. Periode menstruasi yang berat atau perdarahan baik saluran cerna
maupun saluran kemih merupakan penyebab kehilangan darah yang dapat berakibat timbulnya
anemia. Adanya tindakan pembedahan, trauma, atau keganasan juga dapat menjadi penyebab
timbulnya perdarahan.7
Diet
Konsumsi makanan rendah zat besi, asam folat, atau vitamin B12 menyebabakan
berkurangnya kemampuan tubuh dalam memproduksi sel darah merah karena zat-zat tersebut
diperlukan dalam pembentukan sel darah merah.7
Hormon
Hormon eritropoeietin diperlukan tubuh dalam sintesis sel darah merah. Hormon ini
bertugas menstimulasi sumsum tulang untuk memproduksi sel darah merah baru.
Berkurangnya kada hormon ini dapat menyebabkan timbulnya anemia.7
Kehamilan
Anemia dapat timbul selama proses kehamilan dikarenakan perubahan kadar zat besi
dan asam folat yang terjadi di dalam darah. Selama 6 bulan awal kehamilan, kadar plasma
darah mengalami peningkatan jauh lebih cepat dibanding produksi sel darah merah. Kondisi
ini menyebabkan terdilusinya eritrosit yang selanjutnya dapat mengakibatkan anemia.7
Anemia Aplastik
Beberapa pasien anemia dengan kondisi di mana sumsum tulang tidak mampu memproduksi
sel darah dalam jumlah yang adekuat. Kondisi ini dikenal sebagai anemia aplastik. Anak yang
lahir dengan kondisi anemia aplastik seringkali membutuhkan transfusi darah dalam jumlah
besar untuk meningkatkan jumlah sel darah merah agar dapat tetap menjalankan fungsi tubuh
tertentu.7
Hemolisis
Beberapa kondisi penyakit, baik yang didapat maupun diturunkan dapat menyebabkan
penghancuran berlebihan dari sel darah merah yang dapat berakibat timbulnya anemia. Salah
satu contoh kondisi yang didapat adalah pembesaran atau pun penyakit yang melibatkan organ
limfa.7
Limfa adalah organ yang bertugas menghancurkan sel-sel darah yang telah tua. Apabila
terjadi pembesaran limfa atau pun penyakit yang berhubungan dengan limfa dapat
menyebabkan terjadinya penghancuran sel darah merah lebih cepat dari yang seharusny yang
menyebabkan timbulnya anemia. 7
Beberapa kondisi penyakit diturunkan yang dapat menyebabkan tubuh lebih cepat
menghancurkan sel darah merah antara lain anemia sel sabit (sickle-cell anemia), talasemia,
dan berkurangnya beberapa enzim tertentu. Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan adanya
defek pada morfologi sel darah merah sehingga tubuh akan lebih cepat merusak sel-sel darah
tersebut. 7
Anemia hemolitik merupakan contoh kondisi lain di mana tubuh menghancurkan sel
darah merah lebih banyak dari yang seharusnya. Kondisi ini dapat ditemukan pada penyakit-
penyakit imun, penyakit infeksi, beberapa jenis terapi ataupun efek transfusi darah. 7
Klasifikasi etiologi dan morfologi di atas, apabila digabungkan dapat sangat membantu
dalam mengetahui penyebab suatu anemia.
Tabel 5. Pendekatan diagnosis anemia berdasarkan klasifikasi morfologi6
Jenis Anemia Kemungkinan Diagnosis dan Etiologi
Anemia hipokromik mikrositer Anemia defisiensi besi
Talasemia mayor
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia sideroblastik
Anemia normokromik normositer Anemia pasca perdarahan akut
Anemia aplastik
Anemia hemolitik didapat
Anemia akibat penyakit kronik
Anemia pada gagal ginjal kronik
Anemia pada sindrom mielodisplatik
Anemia pada keganasan hematologi
Anemia makrositer Anemia defisiensi asam folat
Anemia defisiensi B12
DIAGNOSIS
Diagnosis anemia ditegakkan berdasarkan temuan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
laboratorium yang mendukung, sehubungan dengan gejala klinis yang seringkali tidak khas.
Parameter yang paling umum dipakai untuk menunjukkan penurunan massa eritrosit adalah
kadar hemoglobin, disusul uleh hematokrit, dan hitung eritrosit. Nilai normal Hb sangat
bervariasi secara fisiologik, tergantung pada umum, jenis kelamin, ketinggian tempat tinggal,
dan kondisi-kondisi fisiologi yang dapat mempengaruhi, seperti misalnya kehamilan.
Berdasarkan hal ini, WHO menetapkan cut off point anemia seperti yang tertera pada tabel
berikut.6
Anemia merupakan suatu sindrom, bukanlah suatu kesatuan penyakit. Oleh karena itu,
dalam mendiagnosis anemia diperlukan tahapan-tahapan sebagai berikut:
Menentukan adanya anemia
Menentukan jenis anemia
Menentukan etiologi atau penyakit dasar anemia
Menentukan ada atau tidaknya penyakit penyerta yang akan mempengaruhi hasil
pengobatan
Transfusi Darah
Transfusi sel darah merah (packed red cells) dapat dipertimbangkan pada pasien anemia
yang mengalami perdarahan aktif dan pada pasien anemia derajat berat terutama yang
simtomatik. Transfusi darah bersifat paliatif, dan sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi
spesifik pada semua penyebab anemia. Pada anemia yang diakibatkan oleh penyakit kronik
misanya, pemberian eritropoetin mungkin akan lebih bermanfaat dan dapat mengurangi
kebutuhan transfusi.4
Transfusi darah dapat dipertimbangkan pada pasien anemia yang memiliki gejala
seperti rasa lelah atau sesak nafas. Pemberian transfusi disarankan mulai diberikan pada pasien
dengan kadar Hb < 10 g/dL. 4
Pemberian transfusi darah harus dihindari pada beberapa kondisi karena justru dapat
meningkatkan risiko kematian. Pasien dengan reaksi hemolitik akibat transfusi atau pasien
yang memiliki antibodi terhadap eritrosit justru memiliki risiko tinggi mengalami reaksi
transfusi. 4