Anda di halaman 1dari 20

1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Osteoartritis (OA) merupakan penyakit sendi degeneratif yang berkaitan
dengan kerusakan kartilago sendi.1 Penyakit ini bersifat kronik, berjalan progresif
lambat, seringkali tidak meradang ataupun hanya menyebabkan inflamasi ringan,
dan ditandai dengan adanya deteriorasi dan abrasi rawan sendi serta pembentukan
tulang baru pada permukaan sendi.2

OA biasanya mengenai sendi-sendi penopang berat badan (weight


bearing), misalnya vertebra, panggul, lutut, dan pergelangan kaki. Namun, dapat
pula mengenai sendi bahu, jari-jari tangan, dan pergelangan kaki.1,3,4 Kerusakan
yang terjadi pada OA adalah berupa hilangnya kartilago artikular hialin disertai
dengan peningkatan ketebalan dan sklerosis subkondral, pertumbuhan berlebih
osteofit pada batas sendi, peregangan kapsul artikular, dan kelemahan otot pada
sambungan sendi.5 Terjadinya OA dipengaruhi oleh faktor-faktor risiko usia tua (>
40 tahun), jenis kelamin perempuan, suku bangsa tertentu (OA lebih jarang
ditemui pada orang-orang kulit hitam dan Asia daripada Kaukasia, serta lebih
sering ditemui pada orang Amerika asli/Indian daripada orang kulit putih),
genetik, faktor nutrisi, kegemukan dan penyakit metabolik (penyakit jantung
koroner, hipertensi, diabetes melitus), cedera sendi, pekerjaan dan olahraga yang
menimbulkan tekanan/beban berulang pada sendi, riwayat trauma, dan kelainan
pertumbuhan (kongenital).1,6 Menurut WHO, bertani selama 1-9 tahun
meningkatkan risiko OA 4,5 kali lipat, sedangkan bertani 10 tahun atau lebih
meningkatkan risiko OA 9,3 kali lipat.7

OA merupakan penyakit sendi terbanyak di dunia.8 Diperkirakan 9,6%


laki-laki dan 18% perempuan berusia di atas 60 tahun di seluruh dunia mengalami
gejala OA.7 Diketahui bahwa OA dialami oleh 151 jiwa di seluruh dunia dan
mencapai 24 juta jiwa di kawasan Asia Tenggara (WHO 2004). Prevalensi OA di
2

Indonesia sendiri mencapai 5% pada usia <40 tahun, 30% pada usia 40-60
tahun,dan 65% pada usia >61 tahun.1

Menurut WHO, OA merupakan salah satu dari sepuluh penyakit penyebab


hendaya di negara maju. Delapan puluh persen (80%) penderita OA akan
mengalami keterbatasan gerakan, dan 25%-nya tidak dapat melakukan aktivitas
kehidupan sehari-hari.7 Tata laksana OA terutama berupa terapi simtomatik dan
saat ini belum terdapat terapi yang menyembuhkan OA ataupun pengobatan yang
dapat melawan proses OA.6 Karena itu, upaya preventif sangat menjadi tonggak
utama dalam mengurangi angka kejadian OA.

Di puskesmas Padamukti, OA merupakan salah satu penyakit yang


terbanyak dijumpai. Sehingga apabila tidak mendapat manajemen yang tepat akan
menimbulkan hendaya bagi masyarakat cakupan puskesmas tersebut, baik
hendaya dalam aktivitas sehari-hari (activities of daily living / ADL) dan juga
aktivitas pekerjaan. Hal tersebut akan berdampak pula pada berbagai aspek
kehidupan masyarakat Padamukti, seperti aspek biologi, psikologi, sosial, dan
ekonomi.
3

BAB 2
PERMASALAHAN DI KELUARGA, MASYARAKAT, MAUPUN KASUS

Penyakit osteoartritis (OA) menempati urutan jumlah kasus keempat


terbanyak dari sepuluh besar penyakit berdasarkan kunjungan ke Puskesmas
Padamukti tahun 2011. Sedangkan di antara penyakit-penyakit tidak menular
Puskesmas Padamukti tahun 2011, OA mendapat urutan ketiga. Hal ini
menunjukkan bahwa masih banyaknya warga yang mengalami OA di wilayah
Puskesmas Padamukti, sehingga bila tidak ditanggulangi secara baik akan
menimbulkan kerugian dalam aspek biopsikososial dan ekonomi masyarakat.
Selain itu, OA belum memiliki pengobatan yang dapat menyembuhkan sempurna.
Hal tersebut berpotensi menimbulkan kecacatan (handicap) pada individu dan
dampak yang lebih besar pada aspek biopsikososial-ekonomi Beberapa faktor
yang dapat menyebabkan tingginya angka kejadian OA pada masyarakat
Padamukti, antara lain:
a. Faktor Lingkungan
 Lapangan pekerjaan di area Padamukti terutama bertani dan buruh.
Pekerjaan tersebut menimbulkan beban berulang pada sendi tertentu dalam
jangka waktu yang lama.
 Kurangnya sarana yang memadai untuk berolahraga.

b. Faktor Perilaku
 Aktivitas fisik berulang pada satu sendi karena tuntutan pekerjaan
meningkatkan risiko OA.
 Kesadaran dan pengetahuan warga mengenai pentingnya aktivitas fisik
masih kurang. Hal ini meningkatkan risiko obesitas, yang berdampak pada
peningkatan beban mekanik pada sendi. Secara tidak langsung, kurangnya
aktivitas fisik menyumbang pada risiko terjadinya OA.
4

 Kesadaran masyarakat akan gejala OA masih kurang. Warga masih


meremehkan nyeri sendi ringan, sehingga baru datang ke pelayanan
kesehatan setelah nyeri sendi dirasakan berat dan mengganggu.
 Status sosial ekonomi masyarakat yang masih rendah dapat mempengaruhi
penderita untuk mendapatkan pengobatan yang sesuai. Meskipun saat ini
sudah terdapat jaminan kesehatan, seperti Jamkesmas ataupun Gakinda,
beberapa masyarakat dengan kesulitan ekonomi belum mengurus surat-
surat tersebut.
 Faktor nutrisi juga merupakan salah satu faktor risiko OA. Sosioekonomi
rendah dan pengetahuan warga Padamukti masih sedikit mengenai hal
tersebut, sehingga kurang mengkonsumsi makanan dengan pola nutrisi
seimbang.

c. Faktor Pejamu ( Host )


 Usia yang semakin bertambah. Semakin bertambahnya usia, volume
kartilago, kandungan proteoglikan, vaskularisasi kartilago dan perfusinya
berkurang, sehingga dapat menyebabkan gangguan celah sendi dan
pertumbuhan osteofit.8
 Faktor genetik berperan dalam kejadian OA, terutama pada OA
generalisata. Gen spesifik untuk OA pun telah teridentifikasi.8

d. Faktor sarana pelayanan kesehatan

 Belum banyak tindakan preventif oleh petugas pelayanan kesehatan untuk


penyakit OA, seperti penyuluhan baik perseorangan maupun per
kelompok.
 Kurangnya sarana-prasarana untuk diagnosis OA, seperti rontgen dan
pemeriksaan laboratorium.
 Kurangnya pengetahuan petugas pelayanan kesehatan dalam diagnosis dan
tata laksana secara menyeluruh pada OA.
5

BAB 3
PERENCANAAN DAN PEMILIHAN INTERVENSI

3.1 Penegakkan Diagnosis


Diagnosis osteoartritis (OA) ditegakkan dari hasil anamnesis, pemeriksaan
fisik, dan/atau pemeriksaan penunjang. American College of Rheumatology
(ACR) telah menyediakan kriteria diagnosis yang memudahkan petugas
pelayanan kesehatan untuk menegakkan OA pada sendi lutut (ACR 1986), tangan
(ACR 1990), dan pinggul (ACR 1991). Kriteria diagnosis tersebut masih
digunakan sampai saat ini.9
Kriteria diagnosis osteoartritis lutut berdasarkan ACR 1986 adalah sebagai
berikut:10
1. Berdasarkan riwayat pasien dan pemeriksaan fisik:
Nyeri lutut dan setidaknya 3 dari 6 poin berikut:
 Usia > 50 tahun
 Kaku sendi pagi hari < 30 menit
 Krepitus pada pergerakan aktif
 Bone tenderness
 Pembesaran tulang
 Tidak teraba rasa hangat pada sendi

2. Berdasarkan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan penemuan radiografi


Nyeri lutut dan setidaknya 1 dari 3 poin berikut:
 Usia >50 tahun
 Kaku pagi < 30 menit
 Krepitus pada gerak aktif
dan ditemukan gambaran osteofit pada hasil pemeriksaan radiologi.

3. Berdasarkan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan penemuan laboratorik


Nyeri lutut DAN setidaknya 5 dari 9 poin berikut:
6

 Usia > 50 tahun


 Kaku pagi < 30 menit
 Krepitus pada pergerakan aktif
 Bone tenderness
 Pembesaran tulang
 Tidak teraba rasa hangat pada sendi
 Laju endap darah (LED) < 40 mm/jam
 Rheumatoid factor (RF) < 1:40
 Tanda osteoartritis pada cairan sendi

Kriteria diagnosis osteoartritis tangan berdasarkan ACR 1990 adalah


sebagai berikut:11
 Nyeri atau kaku pada tangan, dan
 Pembesaran jaringan keras pada 2 atau lebih dari 10 sendi tangan
tertentu, dan
 Pembengkakan pada <3 sendi metacarpophalangeal (MCP), dan salah
satu dari:
o Pembesaran jaringan keras dari 2 atau lebih sendi distal
interphalangeal (DIP), atau
o Deformitas pada 2 atau lebih dari 10 sendi tangan tertentu.

Kriteria diagnosis osteoartritis pinggul berdasarkan ACR 1991 adalah


sebagai berikut:12
1. Berdasarkan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, dan/atau laboratorium:
 Nyeri pinggul, dan
o Salah satu dari:
 Rotasi internal pinggul <15o, dan
 LED ≤ 45 mm/jam atau fleksi pinggul ≤ 115o
ATAU
o Salah satu dari:
7

 Rotasi internal ≥15o, dan


 Nyeri pada rotasi internal pinggul, dan
 Kaku pinggul pagi hari ≤ 60 menit, dan
 Usia > 50 tahun.

2. Berdasarkan riwayat pasien, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium,


dan penemuan radiografi:
 Nyeri pinggul dan
 Salah satu dari:
o Osteofit di femoral dan/atau asetabulum pada gambaran radiologi,
atau
o LED ≤ 20 mm/jam dan penyempitan celah sendi aksial pada
gambaran radiologi

Gambaran radiografis sendi yang mendukung diagnosis OA adalah:


 Penyempitan celah sendi yang seringkali asimetris (lebih berat pada bagian
yang menanggung beban).
 Peningkatan densitas (sklerosis) tulang subkondral.
 Kista tulang.
 Osteofit pada pinggir sendi.
 Perubahan struktur anatomi sendi.
8

Gambar 1. Gambaran radiografik OA8


3.2 Tata Laksana Osteoartritis
Tata laksana pada OA ditujukan untuk mengurangi nyeri, mempertahankan
mobilitas sendi, dan mengurangi disabilitas. Intervensi terapetik yang diberikan
sebaiknya disesuaikan dengan kondisi dari masing-masing pasien.5

3.2.1 Tata Laksana Non-Farmakologi


Tata laksana non-farmakologi merupakan tata laksana utama pada OA,
terdiri dari edukasi pasien untuk mengurangi beban sendi (menjaga postur tubuh,
mengurangi berat badan, penggunaan sendi berlebihan, penggunaan tongkat, dll),
patellar taping, olahraga isometrik untuk memperkuat otot sekitar sendi,
penggunaan ortosis, modalitas termal (hot pack, TENS), irigasi lutut, arthroscopic
debridement & lavage.5 Latihan jasmani yang dianjurkan untuk OA, antara lain:
 Olahraga aerobik low-impact, seperti jalan kaki, sepeda statis, renang, dan
olah raga aerobik air. Olahraga ini meningkatkan laju jantung dan
meningkatkan produksi endorfin, yang dapat mengurangi sensasi nyeri.
 Latihan kekuatan, seperti mengangkat beban ringan.
 Latihan lingkup gerak (range of motion / ROM), seperti stretching, olah
raga kelenturan. Hal ini bertujuan untuk mengurangi nyeri dan kaku sendi.
 Menghindari latihan jasmani yang menimbulkan beban besar/high-impact
pada sendi yang nyeri. Misalkan, pada OA tangan hindari olahraga yang
melibatkan genggaman kencang, seperti bersepeda; pada OA lutut hindari
olahraga yang menimbulkan beban besar pada sendi, seperti berlari,
bermain tenis, basket, dan lain-lain.

3.2.2 Tata Laksana Farmakologi1,5


Tata laksana farmakologis pada OA hanya bersifat paliatif, tidak terbukti dapat
mencegah maupun memperlambat progresi penyakitnya. Terapi obat di sini hanya
merupakan tambahan terhadap tata laksana non-farmakologis yang merupakan
ujung tombak pengobatan OA.
1. Asetaminofen dan non-steroid anti-inflammation drug (NSAID)
9

Sekitar 30-40% menunjukkan bahwa asetaminofen/parasetamol dapat


digunakan untuk mengatasi nyeri ringan hingga sedang. Namun bila nyeri
masih tidak teratasi,dapat digunakan NSAID. NSAID harus dipantau
penggunaannya karena dapat menyebabkan berbagai komplikasi terhadap
traktus gastrointestinal, terutama pada pasien usia tua.
2. COX-2 selective inhibitor
Pada pasien dengan faktor risiko terjadinya kerusakan gastrointestinal
akibat penggunaan NSAID, dapat dipertimbangkan untuk menggunakan
COX-2 selective inhibitor, seperti celecoxib, rofecoxib, dan valdecoxib.
Obat ini dikatakan memiliki insidensi ulkus gastroduodenal yang lebih
rendah dibanding NSAID.
3. Injeksi glukokortikoid
Pada pasien OA,tidak disarankan menggunakan glukokortikoid sistemik.
Namun pemberian depot glukokortikoid intra- atau peri-artikular terbukti
dapat mengurangi nyeri untuk durasi minggu hingga bulan. Namun karena
injeksi glukokortikoid terbukti dapat menyebabkan penghancuran sendi
pada manusia, maka pemberiannya dibatasi setiap 4 hingga 6 bulan saja.
4. Injeksi intraartikular hyaluronat
Tata laksana ini diberikan pada pasien yang gagal dengan pengobatan
nonfarmakologi dan analgesik sederhana. Namun pada penelitian tidak
ditemukan perbedaan efektivitas dari injeksi high-molecular-weight hylan,
low-molecular-weight hyaluronan, maupun plasebo.
5. Opioid
Dalam kondisi akut di mana nyeri OA tidak dapat diatasi dengan
parasetamol maupun NSAID, dapat dipikirkan untuk diberikan opioid
lemah, seperti kodein oral. Selain itu dapat juga diberikan tramadol 200-
400 mg/hari. Dosis ini sebanding dengan 1200-2400 mg ibuprofen, namun
tidak melukai saluran pencernaan. Oleh karena itu, tramadol adalah obat
pilihan pada pasien yang tidak berespon atau dikontraindikasikan terhadap
NSAID.
10

6. Capsaicin
Pengobatan topikal merupakan terapi pilihan akibat efek samping dan
interaksi obat yang dapat terjadi akibat penggunaan analgesik sistemik
maupun NSAID. Capsaicin dapat mengurangi nyeri pada OA tangan atau
lutut dan seringkali dijadikan monoterapi, tanpa NSAID atau analgesik
sistemik.
7. Glukosamin
Hingga saat ini penggunaannya masih diperdebatkan apakah benar-benar
bermanfaat untuk terapi OA. Beberapa penelitian menyebutkan
glukosamin dapat mengurangi nyeri dan melindungi kartilago dari
kerusakan yang lebih parah. Glukosamin bekerja dengan menghambat
enzim yang berperan dalam proses degradasi tulang rawan, seperti
hialuronidase, protease, elatase, dan katepsin B1. Selain itu juga
merangsang sintesis proteoglikan dan asam hialuronat pada kultur tulang
rawan sendi manusia.
8. Operasi
Dapat dilakukan joint replacement surgery pada pasien yang gagal dengan
tata laksana farmakologis yang agresif. Selain itu dapat dilakukan
kondroplasti untuk melapisi kembali tulang yang rusak.

Tata laksana OA menurut guideline ACR pada manajemen medis OA lutut dapat
dilihat pada gambar di bawah ini. Langkah-langkah di atas harus dilakukan secara
sekuensial. maju ke langkah berikutnya hanya jika respons pasien terbukti tidak
11

adekuat.9
12

Gambar 2. Langkah tata laksana OA menurut guideline ACR9


13

Gambar 3. Pemantauan tata laksana pada pasien OA13

3.3 Prognosis Osteoartritis


14

Prognosis OA ditentukan oleh letak dan jumlah sendi yang terlibat serta
keparahannya. Belum ada pengobatan yang terbukti dengan pasti dapat melawan
proses OA. Sehingga pengobatan yang diberikan hanya untuk mengurangi gejala.6

3.4 Perencanaan Pengobatan dan Pemilihan Intervensi Osteoartritis di


Puskesmas Padamukti
Perencanaan pengobatan dan pemilihan intervensi osteoartritis di Puskesmas
Padamukti adalah sebagai berikut:
a. Upaya Preventif
 Penyuluhan secara perseorangan atau per kelompok yang memiliki faktor
risiko mengenai pentingnya aktivitas fisik, nutrisi, dan menjaga berat
badan.
 Pengadaan aktivitas olahraga bersama seperti gerak jalan, senam pagi,dan
lainnya.

b. Upaya Promotif
 Pemberitahuan kepada masyarakat mengenai seluk beluk penyakit OA,
terutama faktor risiko, gejala dan komplikasi dari penyakit tersebut.
 Pemberitahuan kepada masyarakat agar segera menemui petugas
pelayanan kesehatan apabila diri sendiri ataupun keluarga mengalami
gejala OA.

c. Upaya Kuratif
 Melakukan penilaian kemampuan pasien dalam melaksanakan activities of
daily living (ADL). Hal ini penting untuk mengetahui kemajuan terapi.
 Menjelaskan kepada pasien bagaimana tatalaksana serta tujuan terapi OA.
 Memberitahu pasien bahwa ujung tombak terapi OA bukanlah dengan
obat, melainkan dengan terapi non-farmakologis, seperti mengurangi berat
badan dan latihan jasmani.
 Pemberian obat analgesik.
15

 Merujuk pasien ke pelayanan kesehatan yang lebih tinggi apabila


ditemukan komplikasi ataupun membutuhkan tata laksana bedah/ortosis.
16

BAB 4
PELAKSANAAN

Penatalaksanaan osteoartritis (OA) yang telah dilakukan di Puskesmas


Padamukti antara lain:
a. Upaya Preventif
Melakukan penyuluhan perseorangan di balai pengobatan maupun
puskesmas pembantu. Topik yang diberikan adalah mengenai pola makan yang
sehat, cara berolahraga yang dianjurkan pada OA, dan menjaga berat badan.

b. Upaya Promotif
Melakukan penyuluhan secara perorangan di balai pengobatan maupun
puskesmas pembantu, mengenai faktor risiko, gejala, komplikasi, serta upaya
pengobatan. Selain itu juga diberikan edukasi secara perorangan agar segera
menemui petugas pelayanan kesehatan apabila terdapat anggota keluarga yang
mengalami gejala OA berupa nyeri/kaku sendi.

c. Upaya Kuratif
 Melakukan penilaian ADL pada pasien. Misalnya apakah pasien
mengalami kesulitan berjalan, jongkok, shalat, mengancing baju, menyisir
rambut, dan sebagainya. Hal ini dicatat pada rekam medik dan dilihat
perkembangannya pada kontrol pasien berikutnya.
 Menginformasikan pada pasien bahwa ujung tombak terapi OA bukanlah
dengan obat, melainkan dengan terapi non-farmakologis, seperti
mengurangi berat badan dan latihan jasmani. Sehingga, petugas pelayanan
kesehatan memotivasi pasien untuk mengurangi berat badan dengan
meningkatkan aktivitas fisik dan latihan jasmani, serta pola makan
seimbang.
 Pemberian obat analgesik. Obat analgesik yang tersedia di Puskesmas
Padamukti, antara lain:14
17

o Parasetamol/asetaminofen
Dosis parasetamol yang dianjurkan pada OA adalah 500 mg -1000
mg per kali, diberikan rutin 3-4x/hari, dengan dosis maksimum 4
gram/hari. Apabila terdapat perbaikan dalam 2 minggu,
parasetamol diberikan hanya bila terdapat nyeri. Namun, apabila
tidak terdapat perbaikan, dapat diberikan ibuprofen dengan
melanjutkan pula pemberian parasetamol. Tablet yang tersedia
adalah 100 mg dan 500 mg.
o Ibuprofen
Obat ini merupakan golongan NSAID dan bersifat analgesik
dengan daya anti-inflamasi yang tidak begitu kuat. Dosis sebagai
analgesik adalah 4x400 mg sehari, tetapi sebaiknya dosis optimal
pada tiap pasien ditentukan secara individual. Ibuprofen tidak
dianjurkan pada wanita hamil dan menyusui. Tablet yang tersedia
adalah 200 mg dan 400 mg.
o Metampiron
Metampiron merupakan salah satu obat golongan NSAID dengan
efek analgesik dan nantiinflamasi. Dosis yang digunakan adalah
500 mg – 4 gram per hari dalam dosis terbagi. Tablet yang tersedia
adalah tablet 500 mg.
 Meminta pasien untuk kontrol secara teratur.
18

BAB 5
MONITORING DAN EVALUASI

5.1 Monitoring
Monitoring penatalaksanaan penyakit menahun seperti osteoartritis
dilakukan dengan cara menganjurkan pasien agar kontrol ke puskesmas secara
teratur. Penting sekali disertai dengan pencatatan pada rekam medik pasien
mengenai perkembangan penyakit pasien serta obat-obatan yang telah diberikan.
Apabila pasien membutuhkan tata laksana lebih lanjut yang tidak tersedia di
puskesmas, dapat dirujuk ke pusat pelayanan kesehatan lebih tinggi. Untuk area
Puskesmas Padamukti, sistem rujukan adalah kepada RSUD Majalaya.

5.2 Evaluasi
Evaluasi penatalaksanaan osteoartritis yaitu dengan cara melihat angka
kejadian osteoartritis berdasarkan data kunjungan ke puskesmas. Selain itu juga
perlu dinilai angka kejadian komplikasi yang terjadi pada pasien, sehingga dapat
ditentukan program penatalaksanaan lebih lanjut.
19

DAFTAR PUSTAKA

1. Soeroso J, Isbagio H, Kalim H, Broto R, Pramudiyo R Osteoartritis. Dalam:


Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S (ed). Buku ajar
ilmu penyakit dalam Jilid II. Ed 4. Jakarta: Pusat Penerbitan IPD FKUI; 2006.
hal.1195-201.
2. Carter MA. Osteoarthritis. Dalam: Price SA, Wilson LM. Patofisiologi:
konsep klinis proses-proses penyakit. Ed 6. Jakarta: ECG; 2006. hal.1380-4.
3. Greenspan A. Orthopedic radiology: a practical approach. Ed 3. Philadelphia:
Lippincott Williams and Wilkins; 2000. hal.427.
4. Anonim. [1986] Criteria for classification of idiopathic osteoarthritis (OA) of
the knee. American College of Rheumatology [serial on the internet]. 2010
[cited in Januari 2010]. Available from:
www.rheumatology.org/publications/classification/oaknee.asp?aud=mem
5. Brandt KD. Osteoarthritis. In: Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E,
Hauser SL, Jameson JL, Loscalo J (Editors). Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 17th edition. Vol 2. New York : McGraw-Hill Company. 2008: 2149-
2158
6. Lozada CJ, Steigelfest E. Osteoarthritis. Available at [1 November 2010]:
http://emedicine.medscape.com/article/330487-overview. diunduh pada 15
November 2010; 19.30.
7. Anonim. Chronic rheumatic conditions. World Health Organization [serial on
the internet]. 2012. Available from: www.who.int/chp/topics/rheumatic/en
8. Scott GS, Auveek PB. Osteoarthritis, Primary. Available at: [17 Maret 2009]
http://emedicine.medscape.com/article/392096-overview. diunduh pada 15
November 2010; 19.30.
9. American College of Rheumatology Subcommittee on Osteoarthritis
Guidelines: Arthritis Rheum 43(9):1905-15, 2000.
10. Altman R, et al. Development of criteria for the classification and reporting of
osteoarthritis: classification of osteoarthritis of the knee. Arthritis and
Rheumatism 29(8):1039-49, 1986.
20

11. Altman R, et al. The American College of Rheumatology criteria for the
classification and reporting of osteoarthritis of the hand. Arthritis and
Rheumatism 33(11):1601-10, 1990.
12. Altman R, et al. The American College of Rheumatology criteria for the
classification and reporting of osteoarthritis of the hip. Arthritis and
Rheumatism 34(5):505-14, 1991.
13. Cush JJ. Approach to articular and musculoskeletal disorders: intrduction. In
Kasper DL, Fauci AS, Longo DL, Braunwald E, Hauser SL, Jameson JL,
Loscalo J (Editors). Harrison’s Principle of Internal Medicine. 17 th edition. Vol
2. New York : McGraw-Hill Company. 2008: 2149-2158
14. Wilmana PF, Gan S. Analgesik-antipiretik, analgetik anti-inflamasi nonsteroid,
dan obat gangguan sendi lainnya. Dalam: Gunawan SG, Setiabudy R,
Nafrialdi, Elysabeth (ed). Farmakologi dan terapi. Edisi 5. Jakarta:
Departemen Farmakologi dan Terapeutik FKUI; 2008. hal.230-40.

Anda mungkin juga menyukai