Penyakit kardiovaskular adalah penyebab kematian utama pada negara maju dan
diperkirakan akan menjadi penyebab kematian utama di negara berkembang pada tahun 2020.
Penyakit jantung koroner merupakan penyebab kematian terkait kardiovaskular yang paling
sering. Infark miokard akut dengan berbagai spektrum klinisnya memiliki tingkat morbiditas
dan mortalitas yang tinggi, sehingga diagnosis penyakit ini perlu ditegakkan dengan tepat dan
cepat.1 Presentasi klinis berupa nyeri dada angina, gambaran elektrokardiografi yang khas,
merupakan beberapa hal yang digunakan untuk diagnosis infark miokard. Pada keadaan
dimana gambaran elektrokardiografi tidak khas dan tanpa peningkatan biomarker, maka
diperlukan penilaian lain yang dapat membantu menunjang diagnosis.2,3 Dokter sudah cukup
akrab dengan biomarker kerusakan jantung seperti CK-MB dan troponin T, namun sekarang
telah berkembang berbagai biomarker kerusakan jantung yang baru. Mari kita lihat berbagai
biomarker baru yang berpotensi menjadi pemeriksaan penunjang tambahan yang dapat
membantu dokter dalam mendiagnosis maupun menilai prognosis infark miokard akut.
myeloperoxidase pada 604 pasien dengan presentasi nyeri dada. Myeloperoxidase adalah
sebuah enzym leukosit yang diduga berperan dalam stabilitas plak aterom. Pada pasien
dengan angina tidak stabil dijumpai aktivasi leukosit, infiltrasi monosit dan neutrofil. Kadar
didokumentasikan secara angiografi. Studi ini memaparkan bahwa semakin tinggi nilai
myeoperoxidase maka semakin tinggi risiko infark miokard dan revaskularisasi dalam enam
bulan ke depan. Satu hal yang menarik adalah pada pasien tanpa kenaikan serial troponin T,
kenaikan myeloperoksidase (yang dinilai pada saat pasien masuk ruang emergensi) memiliki
nilai prediktif bermakna terhadap kejadian infark miokard akut di kemudian hari (p<0.001).
Selain itu kadar myeloperoxidase meningkat lebih cepat dari nilai ambang batas pada pasien
infark miokard yang awalnya tidak memiliki kenaikan troponin T. Penemuan ini mendukung
kegunaan dari pengukuran kadar myeloperoksidase awal pada pasien dengan presentasi
angina, yang dapat berfungsi sebagai penanda plak tidak stabil yang mendahului nekrosis
miokard.
penunjang untuk membantu diagnosis infark mioakrd akut secara tepat dan cepat. Copeptin,
sebuah bagian c-terminal prohormon vasopressin, meningkat pada pasien dengan infark
miokard akut. Reichlin T et al3 mempelajari hubungan kadar copeptin dengan diagnosis
infark miokard akut. Studi ini memberikan berbagai kesimpulan, diantaranya bahwa nilai
copeptin meningkat lebih awal dibandingkan troponin T pada pasien infark miokard akut.
diagnosis infark miokard akut yang sangat akurat (area dibawah kurva/ area under the curve
0,97). Nilai copeptin yang rendah (<14 pmol/l) dikombinasikan dengan nilai troponin T
≤0.01µg/l mengeksklusi diagnosis infark miokard akut dengan sensitivitas sebesar 98,8% dan
Factor-15 (GDF-15) pada 2081 pasien dengan sindrom koroner akut non-ST elevasi. GDF-15
merupakan sebuah sitokin yang dihasilkan oleh sel kardiak dalam keadaan iskemia dan
reperfusi. Studi ini mendokumentasikan manfaat dari GDF-15 dalam menilai risiko kematian
pada pasien non-ST elevasi. Semakin tinggi kadar GDF-15 maka semakin tinggi risiko
mortalitas dan reinfark pada populasi penelitian. Pada kelompok pasien dengan kadar GDF-
15 yang normal, tingkat mortalitas 1 tahun cukup rendah yaitu sebesar 1,5%, pada kelompok
mortalitas 1 tahun yaitu 5,0%, sedangkan pada kelompok pasien dengan peningkatan kadar
GDF-15 yang tinggi (>1800 ng/L), tingkat mortalitas 1 tahun paling tinggi, yaitu 14,1%.
tambahan dan independen diluar informasi yang diberikan melalui penilaian klinis, dan
Biomarker lain yang juga mempunyai nilai prognostik adalah heart fatty acid-binding
protein (H-FABP). H-FABP adalah sebuah protein sitoplasmik yang berfungsi melakukan
transport asam lemak dari membran sel ke mitokondria untuk oksidasi. H-FBAP dilepaskan
30 menit setelah terjadi proses iskemik.5 KilCullen N et al6 mempelajari nilai prognostik H-
FABP pada 1,448 pasien dengan sindrom koroner akut. Setelah pemantauan selama 12 bulan,
dilakukan penilaian terhadap mortalitas. Hasil dari penelitian ini adalah terdapat perbedaan
tingkat mortalitas yang signifikan antara pasien dengan kadar H-FABP dibawah dan diatas
nilai ambang (nilai ambang=5,8 µg/l). Tingkat mortalitas pada kelompok pasien dengan nilai
H-FABP dibawah nilai ambang adalah 2,1%, sedangkan pada kelompok dengan nilai diatas
ambang ditemukan tingkat mrotalitas sebesar 22.9% (p=0,006). Berdasarkan penemuan ini,
H-FABP dapat memberikan prediksi tingkat mortalitas pada pasien sindrom koroner akut.
Studi lain tentang H-FABP juga dilakukan oleh Viswanathan K et al7, dimana
dilakukan penilaian nilai prognostik berupa mortalitas pada 1080 pasien dengan
kemungkinan sindrom koroner akut dengan nilai troponin negatif. Pada studi ini, nilai
ambang H-FABP sebesar 6,48 µg/l dijadikan acuan. Pasien dengan hasil troponin negatif
namun memiliki nilai H-FABP diatas nilai ambang memiliki risiko mortalitas yang lebih
tinggi dibandingkan kelompok pasien dengan nilai H-FABP dibawah nilai ambang (HR:
11.20, 95% CI: 4.95 – 25,36, p<0.001). Oleh karena itu, kelompok pasien dengan kadar H-
FABP diatas nilai ambang merupakan kelompok pasien risiko tinggi yang memerlukan
pemeriksaan lanjutan seperti angigrafi koroner dan terapi yang lebih agresif mungkin
diperlukan. Simpulan tambahan yang dapat kita ambil dari studi ini adalah H-FABP
merupakan biomarker iskemia miokard bahkan pada keadaan tanpa nekrosis miokard yang
nyata.
kedokteran yang penting. Berbagai biomarker ini dapat memberikan informasi terkait nilai
diagnostik dan prognostik tambahan diluar biomarker yang sudah umum dilakukan. Selain
itu, biomarker baru dapat memberikan informasi penggolongan risiko pasien sehingga
Pemeriksaan biomarker tambahan ini tentu akan memberikan beban biaya tambahan
terhadap pasien, oleh karena itu diperlukan konsensus terkait penggunaan biomarker baru ini.
Dengan panduan yang jelas, dokter dapat menentukan kapan dan siapa pasien yang
mendapatkan manfaat melalui pemeriksaan tambahan ini. Berbagai studi di masa datang
diharapkan dapat memberikan simpulan terkait karakteristik pasien yang akan mendapatkan
keuntungan maksimal dari berbagai pemeriksaan tambahan ini. Dengan demikian, dokter
dapat melakukan pemeriksaan tambahan yang tepat sasaran dan efektif secara biaya.
Daftar Pustaka
1. Hamm CW, Bassand JP, Agewall S, Bax J, Boersma E, Bueno H et al. ESC
surveys/esc-guidelines/Pages/ACS-non-ST-segment-elevation.aspx
2. Brennan ML, Penn MS, Van Lente F, Nambi V, Shishehbor MH, Aviles RJ et al.
2003;349:1595-604.
Incremental value of copeptin for rapid rule out of acute myocardial infarction. J Am
Diunduh dari
http://www.randox.com/Cardiology/brochures/PDF%20Brochure/LT295.pdf (6
Agustus 2012)
coronary syndrome and identifies high-risk patients across the range of troponin
TB et al. Heart-type fatty acid-binding protein predicts long term mortality and
reinfarction in consecutive patients with suspected acute coronary syndrome who are