A. DEFINISI
1. OSTEOARTHRITIS
Osteoartritis berasal dari bahasa Yunani yaitu osteo yang berarti tulang, arthro
yang berarti sendi, dan itis yang berarti inflamasi meskipun sebenarnya penderita
osteoartritis tidak mengalami inflamasi atau hanya mengalami inflamasi ringan
(Koentjoro, 2010). Osteoarthritis adalah suatu gangguan sendi menahun, dimana
terjadi kerusakan pada tulang rawan sendi dan jaringan di sekitarnya,yang ditandai
oleh adanya rasa nyeri, kekakuan, dan gangguan fungsi (Sugiyanti, 2015).
2. RHEUMATOID ARTHRITIS
Kata arthritis berasal dari bahasa Yunani, “arthon” yang berarti sendi, dan “itis”
yang berarti peradangan. Secara harfiah, arthritis berarti radang pada sendi.
Sedangkan Rheumatoid Arthritis adalah suatu penyakit autoimun dimana persendian
(biasanya tangan dan kaki) mengalami peradangan, sehingga terjadi pembengkakan,
nyeri dan seringkali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi
(Febriana,2015).
Penyakit ini sering menyebabkan kerusakan sendi, kecacatan dan banyak
mengenai penduduk pada usia produktif sehingga memberi dampak sosial dan
ekonomi yang besar. Diagnosis dini sering menghadapai kendala karena pada masa
dini sering belum didapatkan gambaran karakteristik yang baru akan berkembang
sejalan dengan waktu dimana sering sudah terlambat untuk memulai pengobatan
yang adekuat (Febriana,2015).
B. PATOFISIOLOGI
1. OSTEOARTHRITIS
Selama ini OA sering dipandang sebagai akibat dari proses penuaan dan tidak
dapat dihindari. Namun telah diketahui bahwa OA merupakan gangguan
keseimbangan dari metabolisme kartilago dengan kerusakan struktur yang
penyebabnya masih belum jelas diketahui. Kerusakan tersebut diawali oleh
kegagalan mekanisme perlindungan sendi serta diikuti oleh beberapa mekanisme lain
sehingga pada akhirnya menimbulkan cedera (Felson, 2006). Mekanisme pertahanan
sendi diperankan oleh pelindung sendi yaitu : Kapsula dan ligamen sendi, otot-otot,
saraf sensori aferen dan tulang di dasarnya . Kapsula dan ligament ligamen sendi
memberikan batasan pada rentang gerak (Range of motion) sendi (Felson, 2006).
Osteoarthritis dapat terjadi akibat beberapa hal, antara lain terjadinya erosi pada
tulang rawan dan berkurangnya cairan pada sendi akibat berbagai faktor resiko yang
ada. Selain itu, OA dapat terjadi akibat kondrosit yang tugasnya membentuk
proteoglikan dan kolagen pada tulang rawan sendi gagal mensintesis matriks yang
berkualitas dan memelihara keseimbangan degradasi dan sintesis matriks
ekstraseluler, termasuk produksi kolagen tipe I, III, VI, dan X yang berlebihan dan
sintesis proteoglikan yang pendek. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan
diameter dan orientasi dari serat kolagen yang mengubah biomekanik dari tulang
rawan, sehingga tulang rawan sendi kehilangan sifat kompresibilitas yang unik
(Maharani, 2007).
Agrekanase dan katepsin merupakan enzim yang juga berperan dalam terjadinya
OA. Agrekinase merupakan enzim yang akan memecah proteoglikan di dalam
matriks rawan sendi. Ada dua tipe agrekanase yaitu agrekanase 1 (ADAMTs-4) dan
agrekanase (ADAMTs-11). Sedangkan katepsin berperan merusak kolagen tipe II
dan proteoglikan yang bekerja pada pH rendah, termasuk proteinase aspartat
(katepsin D) dan proteinase sistein (katepsin B, H, K, L dan S) yang disimpam di
dalam lisosom kondrosit. Hialuronidase tidak terdapat di dalam rawan sendi, tetapi
glikosidase lain turut berperan merusak proteoglikan (Price dan Wilson, 2013).
1. Fase inisiasi : Ketika terjadi degradasi pada rawan sendi, rawan sendi
berupaya melakukan perbaikan sendiri dimana khondrosit mengalami
replikasi dan memproduksi matriks baru. Fase ini dipengaruhi oleh faktor
pertumbuhan suatu polipeptida yang mengontrol proliferasi sel dan membantu
komunikasi antar sel, faktor tersebut seperti Insulin-like growth factor (IGF-
1), growth hormon, transforming growth factor b (TGF-b) dan coloni
stimulating factors (CSFs). Faktor-faktor ini menginduksi khondrosit untuk
mensintesis asam deoksiribo nukleat (DNA) dan protein seperti kolagen dan
proteoglikan. IGF-1 memegang peran penting dalam perbaikan rawan sendi.
2. Fase inflamasi : Pada fase inflamasi sel menjadi kurang sensitif terhadap IGF-
1 sehingga meningkatnya pro-inflamasi sitokin dan jumlah leukosit yang
mempengaruhi sendi. IL-1(Inter Leukin-1) dan tumor nekrosis faktor-α (TNF-
α) mengaktifasi enzim degradasi seperti collagenase dan gelatinase untuk
membuat produk inflamasi pada osteoartritis. Produk inflamasi memiliki
dampak negatif pada jaringan sendi, khususnya pada kartilago sendi, dan
menghasilkan kerusakan pada sendi.
3. Fase nyeri: Pada fase ini terjadi proses peningkatan aktivitas fibrinogenik dan
penurunan aktivitas fibrinolitik. Proses ini menyebabkan penumpukan
trombus dan komplek lipid pada pembuluh darah subkondral sehingga
menyebabkan terjadinya iskemik dan nekrosis jaringan. Hal ini
mengakibatkan lepasnya mediator kimia seperti prostaglandin dan interleukin
yang dapat menghantarkan rasa nyeri. Rasa nyeri juga berupa akibat lepasnya
mediator kimia seperti kinin yang dapat menyebabkan peregangan tendo,
ligamen serta spasme otot-otot. Nyeri juga diakibatkan oleh adanya osteofit
yang menekan periosteum dan radiks saraf yang berasal dari medulla spinalis
serta kenaikan tekanan vena intramedular akibat stasis vena pada pada proses
remodelling trabekula dan subkondrial.
4. Fase degradasi : IL-1 mempunyai efek multipel pada sel cairan sendi yaitu
meningkatkan sintesis enzim yang mendegradasi rawan sendi. Peran
makrofag didalam cairan sendi juga bermanfaat, yaitu apabila terjadi jejas
mekanis, material asing hasil nekrosis jaringan atau CSFs akan memproduksi
sitokin aktifator plasminogen (PA). Sitokin ini akan merangsang khondrosit
untuk memproduksi CSFs. Sitokin ini juga mempercepat resorpsi matriks
rawan sendi. Faktor pertumbuhan dan sitokin membawa pengaruh yang
berlawanan selama perkembangan OA. Sitokin cenderung merangsang
degradasi komponen matriks rawan sendi sedangkan faktor pertumbuhan
merangsang sintesis (Sudoyo et. al, 2007).
2. RHEUMATOID ARTHRITIS
Rheumatoid arthritis merupakan akibat disregulasi komponen humoral dan
dimediasi oleh sel imun. Pada pasien RA menghasilkan antibodi yang disebut
dengan faktor reumatoid (RF). Pasien yang mempunyai RF seropositif cenderung
memiliki perjalanan penyakit yang lebih agresif dari pasien yang seronegatif. RA
termasuk penyakit autoimun sistemik yang menyerang persendian. Reaksi autoimun
terjadi dalam jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim dalam sendi,
kemudian enzim memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran
sinovial dan akhirnya membentuk pannus. Pannus akan menghancurkan tulang
rawan dan menimbulkan erosi tulang. Akibatnya adalah menghilangnya permukaan
sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot juga terkena karena serabut otot
mengalami perubahan degeneratif dengan menghilangnya elastisitas otot dan
kekuatan kontraksi otot (Suarjana, 2009).
C. FAKTOR RISIKO
1. OSTEOARTHRITIS
Terjadinya osteoartritis dipengaruhi oleh faktor resiko yaitu umur (proses
penuaan), jenis kelamin, genetik, berat badan, cedera sendi, dan olahraga (Hochberg,
2013).
1. Usia Prevalensi darn insiden Osteoarthritis radiografi dan gejala sangat
meningkat dengan usia. Hubungan anatara usia dan resiko Osteoarthritis
kemungkinan banyak faktor, yaitu kerusakan oksidatif, penipisan kartilago,
melemahnya otot. Selain itu, ada stres mekanik pada sendi sekunder akibat
kelemahan otot, perubahan proprioception dan perubahan gaya berjalan.
Orangtua memiliki perkembangan radiologis cepat terhadap osteoarthritis.
2. Jenis kelamin Insiden Osteoarthritis Genu lebih tinggi pada wanita
dibandingkan pria dan pada wanita meningkat secara drastis saat menoupose
datang. Temuan terakhir ini telah menyebabkan peneliti untuk berhipotesis
bahwa faktor hormonal mungkin memegang peran besar dalam
pengembangan Osteoarthritis. Sebuah tinjauan dari 17 ilmu menemukan
bahwa tidak ada hubungan yang jelas antara hormone jenis kelamin dengan
Osteoarthritis Genu pada wanita.
3. Genetik Faktor genetik diduga juga berperan pada kejadian Osteoarthritis
Genu, hal tersebut berhubungan dengan abnormalitas kode genetik untuk
sintesis kolagen yang bersifat diturunkan.
4. Berat badan Berat badan yang berlebihan ternyata berkaitan dengan
meningkatnya risiko untuk timbulnya Osteoarthritis baik pada wanita maupun
pria. Kegemukan ternyata tak hanya berkaitan dengan Osteoarthritis pada
sendi yang menanggung beban. Semakin besar beban lemak tubuh, semakin
besar trauma pada sendi seiring dengan waktu.
5. Cedera sendi Trauma genu akut termasuk robekan pada ligamenum crusiatum
dan meniskus merupakan faktor risiko timbulnya Osteoarthritis Genu. Studi
Framingham menemukan bahwa orang dengan riwayat trauma genu memiliki
risiko 5 – 6 kali lipat lebih tinggi untuk menderita Osteoarthritis Genu. Hal
tersebut biasanya terjadi pada kelompok usia yang lebih muda serta dapat
menyebabkan kecacatan yang lama dan pengangguran.
6. Olahraga Atlit olah raga yang mengalami benturan keras dan membebani
genu seperti sepak bola, lari maraton dan kung fu memiliki risiko meningkat
untuk menderita Osteoarthritis Genu. Kelemahan otot quadrisep merupakan
faktor risiko bagi terjadinya Osteoarthritis dengan proses menurunkan
stabilitas sendi dan mengurangi shock yang menyerap materi otot. Tetapi, di
sisi lain seseorang yang memiliki aktivitas minim sehari-hari juga berisiko
mengalami Osteoarthritis Genu. Ketika seseorang tidak melakukan gerakan,
aliran cairan sendi akan berkurang dan berakibat aliran makanan yang masuk
ke sendi juga berkurang. Hal tersebut akan mengakibatkan proses degeneratif
menjadi berlebih.
2. REUMATOID ARTHRITIS
Penyebab pasti rheumatoid arthritis belum diketahui, tetapi penelitian telah
menunjukkan bahwa beberapa faktor yang dapat menyebabkan RA yaitu (The
Arthritis Society, 2015) :
a. Riwayat keluarga. Apabila terdapat anggota keluarga yang terkena RA, maka
beresiko tinggi terkena RA.
b. Jenis kelamin. Perempuan memiliki resiko 2 sampai 3 kali lebih sering
terkena RA dibandingkan pria
c. Hormon. Peningkatan hormon juga dapat berpengaruh misalnya gejala RA
meningkat selama kehamilan, wanita yang pernah menggunakan kontrasepsi
oral memiliki penurunan dalam resiko RA. Hal ini karena adanya perubahan
profil hormon, placental corticotropinreleasing hormone secara langsung
menstimulasi sekresi dehidroepiandrosteron (DHEA) yang merupakan
androgen utama pada wanita yang dikeluarkan oleh sel-sel adrenal fetus.
DHEA merupakan substrat penting dalam sintesis (Th2) dan menghambat
respon imun seluler (Th1). Oleh karena pada rheumatoid arthritis Th1 lebih
dominan sehingga estrogen dan progesteron memiliki efek yang berlawanan
terhadap perkembangan rheumatoid arthritis
d. Umur. RA umumnya mulai berkembang pada saat usia 40 – 60 tahun. Tetapi
pada anak kecil bisa juga terjadi yang biasa disebut dengan Juvenile
rheumatoid arthritis.
e. Lingkungan. Perubahan iklim dapat memperburuk gejala pada RA.
f. Merokok. Kebiasaan merokok dapat memicu peningkatan terkena RA dan
kekambuhan pada RA.
1. OSTEOARHTRITIS
1. Nyeri sendi
2. Kekakuan (stiffness)
Pada beberapa penderita, kaku sendi dapat timbul setelah duduk lama di
kursi, di mobil, bahkan setelah bangun tidur. Kebanyakan penderita mengeluh
kaku setelah berdiam pada posisi tertentu. Kaku biasanya kurang dari 30 menit.
Kemerahan pada sendi merupakan salah satu tanda peradangan sendi. Hal ini
mungkin dijumpai pada osteoarthritis karena adanya sinovitis, dan biasanya
tanda kemerahan ini tidak menonjol dan timbul belakangan (Sudoyo, 2007)
2. REUMATOID ARTHRITIS
Manifestasi klinis RA dibagi menjadi 2 kategori yaitu manifestasi artikular dan
manifestasi ekstraartikular. Manifestasi artikular dibagi menjadi 2 kategori, yaitu
gejala inflamasi akibat aktivitas sinovitis yang bersifat reversibel dan gejala akibat
kerusakan struktur persendian yang bersifat ireversibel. Sinovitis merupakan
kelainan yang umumnya bersifat reversibel dan dapat diatasi dengan pengobatan
medikamentosa atau pengobatan non surgical lainnya (Shah and Clair, 2012).
Gejala klinis yang berhubungan dengan aktivitas sinovitis adalah kaku pagi hari.
Beberapa aspek lain yang berhubungan dengan sendi yaitu (Suarjana, 2009) :
1. OSTEOARTHRITIS
Pilihan jenis pengobatan osteoarthritis ditentukan oleh letak sendi yang
mengalami OA, sesuai dengan karakteristik masing-masing serta kebutuhannya. Oleh
karena itu diperlukan penilaian yang cermat pada sendi dan pasiennya secara
keseluruhan, agar penatalaksanaannya aman, sederhana, memperhatikan edukasi
pasien serta melakukan pendekatan multidisiplin (Perhimpunan Reumatologi
Indonesia, 2014). Tujuan dari terapi OA ini adalah untuk mengurangi atau
mengendalikan nyeri, mengoptimalkan fungsi gerak sendi, mengurangi keterbatasan
aktivitas fisik sehari hari (ketergantungan kepada orang lain), meningkatkan kualitas
hidup, menghambat progresivitas penyakit, dan mencegah terjadinya komplikasi
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2014). Terapi OA terdiri dari tiga tahap yaitu
tahap pertama (terapi non farmakologi), tahap kedua (terapi farmakologi) dan tahap
ketiga (indikasi untuk tindakan lebih lanjut).
1.Pengendalian/menghilangkan nyeri
2. REUMATOID ARTHRITIS
Tujuan utama terapi artritis reumatoid yaitu (Price dan Wilson, 1994)
1. OSTEOARTHRITIS
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan yaitu :
1. Edukasi
Sangat penting bagi semua pasien OA diberikan edukasi yang tepat. Dua hal
yang menjadi tujuan edukasi adalah bagaimana mengatasi nyeri dan disabilitas.
Pemberian edukasi pada pasien ini sangat penting karena dengan edukasi
diharapkan pengetahuan pasien mengenai penyakit OA menjadi meningkat dan
pengobatan menjadi lebih mudah serta dapat diajak bersama-sama untuk
mencegah kerusakan organ sendi lebih lanjut. Edukasi yang diberikan pada
pasien ini yaitu memberikan pengertian bahwa OA adalah penyakit yang kronik,
sehingga perlu dipahami bahwa mungkin dalam derajat tertentu akan tetap ada
rasa nyeri, kaku dan keterbatasan gerak serta fungsi. Selain itu juga diberikan
pemahaman bahwa hal tersebut perlu dipahami dan disadari sebagai bagian dari
realitas kehidupannya. Agar rasa nyeri dapat berkurang, maka pasien sedianya
mengurangi aktivitas/pekerjaannya sehingga tidak terlalu banyak menggunakan
sendi lutut dan lebih banyak beristirahat. Pasien juga disarankan untuk kontrol
kembali sehingga dapat diketahui apakah penyakitnya sudah membaik atau
ternyata ada efek samping akibat obat yang diberikan. (Kenneth, 2005)
Osteoarthritis pada lutut akan menyebabkan kondisi disuse atrofi pada otot
kuadriseps. Latihan kekuatan otot akan menurunkan kondisi disuse atrofi.
Latihan fisik juga akan membantu dalam upaya penurunan berat badan dan
meningkatkan daya tahan.
Setiap langkah yang Anda ambil mengekspos sendi lutut Anda dengan
kekuatan yang sama dengan tiga hingga lima kali berat badan Anda. Jika Anda
menderita osteoartritis, kenaikan atau penurunan berat badan hanya 5 pon dapat
menyebabkan perbedaan nyata dalam jumlah rasa sakit yang Anda rasakan. Satu
penelitian terhadap orang dewasa yang kelebihan berat badan atau obesitas yang
menderita osteoarthritis lutut menemukan bahwa untuk setiap pon berat badan
yang mereka hilangkan, tekanan pada lutut mereka berkurang empat kali lipat.
Obesitas tidak hanya menambah tekanan pada lutut, tetapi juga memacu
produksi protein inflamasi yang dapat mempercepat degenerasi tulang rawan.
Penurunan berat badan dapat membantu menjaga tulang rawan dan mengurangi
gejala. (Anonim, 2012)
4. Pendekatan bedah
Jika osteoartritis parah dan terapi noninvasif gagal, beberapa opsi bedah
tersedia. Ketika hanya satu area sendi lutut yang terkena, seorang ahli bedah
dapat melakukan osteotomi - memotong dan menyelaraskan kembali tulang
untuk mengambil tekanan dari bagian artritis paling sendi.
Penggantian lutut parsial adalah cara lain untuk mengobati osteoartritis hanya
pada satu bagian lutut. Dokter bedah mengangkat tulang rawan yang rusak dan
menutupi daerah yang terkena dengan bagian logam atau plastik, meninggalkan
tulang dan ligamen utuh di daerah lutut yang sehat.
Dalam penggantian lutut total, ahli bedah memotong tulang rawan yang rusak
dan sejumlah kecil tulang di bawahnya di ujung bawah tulang paha (tulang paha)
dan bagian atas tibia (tulang kering), dan kemudian menempelkan komponen
pengganti logam yang dipisahkan oleh plastik. pengatur jarak sehingga
sambungan baru dapat meluncur dengan bebas. Bahkan jika Anda akhirnya
memilih penggantian lutut, upaya yang Anda habiskan untuk berolahraga dan
menurunkan berat badan tidak akan sia-sia. Latihan sebelum operasi dapat
mempersingkat masa tinggal di rumah sakit Anda, dan rehabilitasi pasca operasi
dan penurunan berat badan dapat membantu mengurangi beban pada sendi lutut
Anda yang baru atau yang sudah diperbaiki.
2. REUMATOID ARTHRITIS
Terapi non farmakologi antara lain dengan perubahan perilaku yang sehat,
keseimbangan antara olahraga dan istirahat, mengurangi stress, penurunan berat
badan dan konsumsi makanan yang sehat, dan fisioterapi. Juga perlu dilakukan
edukasi pada pasien antara lain dengan konseling. Operasi biasa dilakukan pada
pasien dengan kerusakan sendi yang parah, antara lain tenosinovektomi, yakni
penghilangan lapisan tendon, perbaikkan tendon, rekontruksi sendi, fusi sendi
(arthrodesis), dan penggantian sendi. Tujuan dilakukannya operasi adalah
meredakan nyeri, meningkatkan fungsi sendi, dan meningkatkan kemampuan
pasien untuk melakukan aktifitas sehari-hari (Schuna 2002).
a) Edukasi
Penjelasan penyakit. Hal yang penting dalam pengobatan AR adalah
perlunya penjelasan kepada pasien tentang penyakitnya, apa itu AR,
bagaimana perjalanan penyakitnya, kondisi pasien saat ini dan bila perlu
penjelasan tentang prognosis penyakitnya. Pasien harus diberitahu tentang
program pengobatan, risiko dan keuntungan pemberian obat dan modalitas
pengobatan yang lain. Disini perlu waktu yang cukup dari dokter untuk
memberi kesempatan kepada pasien untuk menanyakan dan mendiskusikan
penyakitnya. Kerjasama dokter-pasien sangat penting untuk meningkatkan
kepatuhan berobat dan pada akhirnya akan meningkatkan hasil pengobatan.
Sampai saat ini belum ditemukan diet spesifik yang mencetuskan atau
memeperberat AR. Pasien AR dianjurkan untuk mempertahankan berat
badan ideal, karena obesitas akan memberi stres tambahan terhadap
persendian, mengeksaserbasi inflamasi dan berperan pada risiko terjadinya
osteoartritis.
Penjelasan tentang diet dan terapi komplementer. Jelaskan pada pasien
AR bahwa tidak ada bukti yang nyata tentang pengaruh diet pada perjalanan
penyakitnya, namun beberapa ahli menyarankan diet untuk banyak makan
sayuran, buah dan ikan serta mengurangi konsumsi lemak/daging merah.
Terapi komplementer juga belum ada bukti yang adekuat untuk mendukung
pemakaiannya dalam pengeloalaan AR. Jelaskan juga bahwa hal tersebut
tidak menggantikan terapi maupun cara pemantauan yang seharusnya.
e) Pembedahan
Tindakan bedah perlu dipertimbangkan pada pasien AR yang tetap
mengalami sinovitis refrakter terhadap pengobatan, serta pasien yang
mengalami keterbatasan gerak (memburuknya fungsi sendi akibat kerusakan
sendi/deformitas). Pasien yang mengalami nyeri yang terus menerus yang
tidak dapat dikendalikan dengan obat juga perlu dikonsultasikan dengan
spesialis bedah. Pertimbangkan juga konsultasi dengan spesialis bedah untuk
mencegah kerusakan/ cacat yang ireversibel pada pasien dengan ruptur tendon
yang nyata, kompresi saraf (misalnya sindrom carpal tunnel) dan fraktur
tulang belakang. Jelaskan pada pasien mengenai manfaat yang dapat
diharapkan dari tindakan operasi yaitu meredakan nyeri, memperbaiki fungsi
sendi atau pencegahan kerusakan/deformitas sendi lebih lanjut. Tindakan
sinovektomi yang dilakukan pada sinovitis persisten dapat juga dilakukan
dengan cara non bedah yaitu dengan menggunakan radioisotop
G. TERAPI FARMAKOLOGI
a. OSTEOARTHRITIS
Dosis Maksimum
Pengobatan Dosis dan Frekuensi
(mg/hari)
Analgesik oral
Asetaminofen 325-650 mg setiap 4-6jam atau 4000
1 g 3-4 kali/hari
Tramadol 50-100mg setiap 4-6jam 400
Analgetik topikal
Kapsaisin 0,025% atau 0,075% Dapat mempengaruhi sendi 3-4 -
kali/hari
Supelment nutrisi
Glukosamin sulfat 500 mg 3 kali/hari atau 1500 1500
mg sekali sehari
Antiinflamasi Non Steroid
(NSAID)
Asam karboksilat
Asam asetilasi
Aspirin 325-650 mg setiap 4-6 jam untuk 3600
nyeri
Dosis antiinflamasi dimuali pada
3600 mg/hari dalam dosisi terbagi.
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid mempunyai aktifitas antiinflamasi dan imunosupresan.
Kortikosteroid menghambat inflamasi melalui tiga jalur utama, yakni induksi
dan aktivasi dari annexin-1, induksi MAPKs phospatase 1, dan menghambat
cyclooxigenase-2. Annexin-1 merupakan protein antiinflamasi yang
berinteraksi dan menghambat cytosolic phospolipase A2a (cPLA2 α) yang
diperlukan pada fosforilasi protein kinase, MAPKs, dan calcium/calmodulin-
dependent kinase II. Aktivasi cPLA2 α oleh stimulasi inflamasi memulai
perpindahan fosfolipase dari sitosol ke perinuclear membrane dimana terjadi
hidrolisa fosfolipid yang mengandung asam arakhidonat. Kortikosteroid
menginduksi annexin-1 yang menghambat cPLA2 α, memblok release asam
arakhidonat, prostaglandin, tromboksan, prostasiklin, dan leukotrien (Rhien
dan Cidlowsky 2005).
Kortikosteroid oral dosis rendah/sedang bisa menjadi bagian dari
pengobatan AR, tapi sebaiknya dihindari pemberian bersama OAINS sambil
menunggu efek terapi dari DMARDS. Berikan kortikosteroid dalam jangka
waktu sesingkat mungkin dan dosis serendah mungkin yang dapat mencapai
efek klinis. Dikatakan dosis rendah jika diberikan kortiksteroid setara
prednison < 7,5 mg sehari dan dosis sedang jika diberikan 7,5 mg – 30 mg
sehari. Selama penggunaan kortikosteroid harus diperhatikan efek samping
yang dapat ditimbulkannya seperti hipertensi, retensi cairan, hiperglikemi,
osteoporosis, katarak dan kemungkinan terjadinya aterosklerosis dini.
4. Non Steroid anti Inflamatory Drugs /Obat Anti Inflamasi Non Steroid
Obat anti inflamasi non steroid dapat diberikan pada pasian AR.
NSAIDs harus diberikan dengan dosis efektif serendah mungkin dalam waktu
sesingkat mungkin. Perlu diingatkan bahwa NSAIDs tidak mempengaruhi
perjalanan penyakit ataupun mencegah kerusakan sendi. Pemilihan NSAIDs
yang dipergunakan tergantung pada biaya dan efek sampingnya (cost/benefit).
Cara penggunaan, monitor dan cara pencegahan efek samping dapat dilihat
lebih detail pada rekomendasi penggunaan NSAIDs. Kombinasi 2 atau lebih
NSAIDs harus dihindari karena tidak menambah efektivitas tetapi
meningkatkan efek samping.
NSAIDs bekerja baik sebagai analgetika maupun antiinflamasi dan
mengurangi kekakuan yang dihubungkan dengan RA. NSAIDs diberikan
dalam dosis inflamasi dan tidak boleh digunakan sebagai terapi tunggal
selama lebih dari 3 bulan kecuali pasien memberikan respon yang baik.
Disarankan diberikan terapi kombinasi lebih awal DMARDs. NSAIDs
sebagai terapi tunggal tidak memperlambat progresi penyakit atau mencegah
erosi tulang atau deformitas. Cara menghindari efek samping, terutama pada
saluran cerna, digunakan NSAIDs cox-2 selektif, NSAIDs yang biasa
digunakan untuk RA antara lain, asetosal, celecoxib, diklofenak, difflusinal,
etodolak, piroksikam, fenoprofen, flurbiprofen, ibuprofen, indometasin,
ketoprofen, ketorolak, meklofenamat, meloksikam, nabumeton, naproksen,
oksaprozin, sulindak, dan tolmetin (Katzung 2005).
Selama terapi dengan obat-obat ini, inflamasi dikurangi oleh penurunan rilis
mediator-mediator granulosit, basofil, dan sel-sel mast. NSAIDs mengurangi
kepekaan dari pembuluh darah terhadap bradikinin dan histamin,
mempengaruhi produksi limfokin dari limfosit T, dan membalikkan
vasodilatasi. Semua NSAIDs dalam tingkat berbeda-beda yang lebih baru
adalah analgetika, antiinflamasi, dan antipiretik dan semua (kecuali selektif
cox-2) menghambat agregasi platelet. Mengiritasi lambung dan
nefrotoksisitas teramati pada semua obat yang penggunaannya secara
ekstensif dan hepatoksisitas juga dapat terjadi (Katzung 2005).
5. TNF-α inhibitor
Sitokin memegang peranan utama dalam respon imun manusia dan seperti
halnya juga pada RA. Meskipun secara luas sitokin diekspresikan pada sendi-
sendi dari pasien RA, TNF-α nampaknya ada di pusat proses inflamasi. TNF-
α diproduksi oleh makrofag dan sel T yang teraktivasi dan merangsang
sitokin inflamasi lain, termasuk interleukin-1, interleukin-6, dan interleukin-8
dan protease-protease seperti kolagenase dan metalloproteinase central. Efek-
efek TNF-α ini memerlukan aktivasi dari reseptor TNF yang terikat membran
spesifik (TNFR1 dan TNFR2), reseptor TNF yang bisa larut (sTNFR) adalah
bagian-bagian ekstraseluler yang membuka TNFR1 dan TNFR2, dan
menghambat efek TNF-α (Katzung 2005).
Infliximab
Infliximab diberikan dalam dosis 3 atau 10 mg/kg pada 0,2 dan
6 minggu dan sesudahnya pada interval 4 atau 8 minggu. Karena
infliximab adalah suatu terapi biologi chimeric, ia bisa mengarah pada
pembentukkan human antichimeric antibodies (HACA) pada sebanyak
50% pasien, bagaimanapun sejumlah antibodi ini tidak nampak
mengubah derajat atau durasi respon. Terapi yang bersamaan dengan
MTX sangat mengurangi prevalensi HACA dan merupakan dasar
rekomendasi untuk pemkaian MTX sebagai latar belakang bila
memakai infliximab (Lipsky et al. 2000).
Etanercept
Etanercept adalah rekombinan protein gabungan yang terdiri
dari 2 bagian reseptor TNFp75 yang bisa larut dihubungkan pada
bagian Fc dari IgGI manusia, etarnecept mengikat 2 molekul TNF-α.
Setelah suntikkan subkutan, etanercept akan diabsorbsi dengan
lambat. Etanercept akan mencapai konsentrasi puncak serumnya
setelah 72 jam jika diberikan 25 mg. Etanercept biasanya diberikan
sebanyak 2 kali seminggu. Reaksi pada tempat suntikan ditandai
dengan eritema, nyeri lokal, pembengkakan, dan gatal-gatal (Katzung
2005).
Adalimumab
Adalimumab merupakan rekombinan IgG1 antibodi
monoklonal yang terikat pada TNF-α dengan afinitas yang tinggi dan
mempengaruhi ikatan sitokin. Setelah pemberian secara subkutan,
adalimumab diabsorbsi secara perlahan, dan mencapai konsentrasi
optimal setelah 130 jam, kliren dipengaruhi oleh usia dan berat badan.
Pemakaian bersama dengan MTX dapat mengurangi kliren hingga
20% pada single dose dan 44% pada multiple dose (Olsen 2004).
H. MONITORING DAN EVALUASI LUARAN TERAPI
1. OSTEOARHTRITIS
Evaluasi Efek Terapeutik:
a. Laquesne Index
b. WOMAC Index
Evaluasi Efek samping Obat anti inflamasi non-steroid (OAINS)
a. Gastroenteropati: dispepsia, ulserasi, perdarahan, dan kematian. Faktor
risiko yang dapat meningkatkannya: Riwayat ulkus sebelumnya, perdarahan
gastrointestinal, dispepsia, intoleransi terhadap OAINS sebelumnya,
pemakaian steroid, antikoagulan, komorbiditas, pemakaian lebih dari satu
jenis OAINS, merokok, peminum alkohol.
b. Kardiovaskular dan ginjal. Dapat berupa hipertensi, gagal jantung kongestif,
gagal ginjal, hiperkalemia. Faktor risiko yang meningkatkan kemungkinan
terjadinya gangguan ginjal.
2. REUMATOID ARTHRITIS
Pengobatan pasien Ar memerlukan pemantauan aktivitas penyakit yang baik
melalui evaluasi klinis maupun laboratorium dengan menggunakan skor seperti
DAS28 atau kriteria remisi dari ACR 1987. Pengukuran LED atau CRP
merupakan kunci untuk pemantauan penyakit. Pemantauan ini perlu untuk
meningkatkan pengobatan supaya penyakit lebih terkendali atau secara hati- hati
menurunkan dosis obat jika pasien telah terkontrol dan selanjutnya secara terus
menerus. Sebaiknya pada pasien yang baru diobati, kontrol dilakukan setiap
bulan sampai penyakitnya terkendali. Pasien perlu dijelaskan untuk secepatnya
dapat memperoleh konsultasi pada seorang reumatologis.
Perubahan terapi dilakukan setelah target tidak tercapai dalam 6 bulan.
Sebaiknya dilakukan pemeriksaan rontgen tangan dan kaki pada perjalanan
awal penyakit.
Pasien juga harus dipantau kemampuan fungsionalnya (misalnya dengan
HAQ)
Timbulnya komplikasi/manifestasi pada organ lain juga perlu dipantai
(misalnya vaskulitis, penyakit paru, terkenanya tulang belakang leher dan
mata)
Perlu dipantau kemungkinan timbulnya komorbiditas seperti hipertensi,
penyakit jantung koroner, osteoporosis, infeksi, keganasan, depresi, dan
efeknya bagi kehidupan pasien.
Adanya efek samping obat juga harus diperhatikan dengan baik.
I. KASUS DAN PENYELESAIAN
1. OSTEOARTHRITIS
Kasus :
Pasien MD, laki-laki 56 tahun, Nusa Penida Klungkung. Pasien memiliki
keluhan utama nyeri pada lutut kiri. Pasien datang diantar keluarganya ke IRD RSUP
SANGLAH tanggal 6 Juni 2011, dengan keluhan nyeri pada lutut kiri sejak 6 bulan
yang lalu namun semakin memberat sejak adanya bengkak dilututnya 2 hari sebelum
datang ke rumah sakit. Nyeri dirasakan pasien di tempat lututnya mengalami
pembengkakan. Nyerinya seperti berdenyut dan ditusuk – tusuk. Nyeri tersebut juga
tidak menghilang setelah lutut pasien dikompres, nyeri makin memberat saat pasien
melipat lututnya dan menggerakkan kakinya namun sedikit berkurang dengan
istirahat.
Bengkak di lutut pasien muncul sejak 2 hari sebelum datang ke RS. Bengkak
dirasakannya pada lutut kiri. Bengkak juga tampak di kedua kaki pasien. Pasien
mengatakan baru menyadari munculnya bengkak tersebut. Bengkak tersebut
menyebabkan pasien susah menggerakkan kakinya, dan menyebabkan terhambatnya
aktivitas sehari-hari pasien. Pasien masih bisa berjalan namun harus secara pelan-
pelan. Di daerah lutut yang bengkak tersebut terasa hangat. Pasien mengatakan
bengkaknya tidak mengecil setelah dikompres dengan air dingin ataupun setelah
pasien beristirahat. Pasien juga merasakan kaku pada lutut kirinya sejak 2 hari
sebelum datang ke RS. Biasanya kaku ini muncul pada pagi hari setelah pasien
bangun tidur dan menetap sekitar setengah jam. Saat kaku ini muncul, pasien tidak
bisa menggerakkan kaki kirinya sama sekali, pasien hanya bisa diam di tempat tidur.
Saat dicoba digerakkan oleh orang lain, kaki kiri pasien hanya bisa bergeser ke kanan
ataupun kiri, tidak bisa ditekuk dan kadang pasien juga merasakan gemertak ketika
coba lututnya coba digerakkan.
Sebelumnya pasien juga sering merasakan nyeri pada sendi jempol kaki. Nyeri
tersebut dirasakan pasien sudah sejak 3 tahun yang lalu. Nyeri dikatakan pasien
hilang timbul dan dirasakan memberat setelah mengkonsumsi kacang – kacangan dan
melinjo. Nyeri dirasakan seperti tertusuk – tusuk dan biasanya hilang dengan
sendirinya. Nyeri juga biasanya disertai dengan kemerahan pada sendi, bengkak dan
kaku. Namun saat pasien MRS, nyeri pada jempol kaki dan pinggang tidak
dikeluhkan. Pasien mengaku mengkonsumsi obat yang dibeli di apotek untuk
meredakan keluhan bengkak dan nyeri pada lututnya, hanya saja pasien lupa nama
obatnya. Pasien mengatakan dulunya sejak muda pasien terbiasa berolahraga, akan
tetapi beberapa tahun belakangan pasien jarang berolahraga. Pasien biasa melakukan
pekerjaannya dengan bersepeda ataupun berjalan kaki. Pasien termasuk golongan
ekonomi menengah kebawah.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien baik, kesadaran
kompos mentis, berat badan 50 kg, tekanan darah 130/90 mmHg, nadi 80x per menit,
laju respirasi 22x per menit dan suhu axilla 36 oC. Dari status lokalis, pada
pemeriksaan ekstremitas didapatkan edema pada genu sinistra, pitting (+), kemerahan
(+), tofus lateral ankle dextra (+), massa pada suprapatella sinistra (+) ukuran 3 cm x
2 cm, benjolan mobile, permukan rata, undulasi (+), nyeri tekan (+) pada inspeksi.
Dari palpasi didapatkan teraba hangat pada genu S (+), nyeri tekan genu sinistra (+),
nyeri tekan pada massa pada suprapatella sinistra (+), ukuran 3x4, permukaan rata,
mobile. Dari auskultasi didapatkan krepitasi (+) pada genu sinistra.
Dari pemeriksaan radiologis yang dilakukan untuk menunjang diagnosis pasien
yaitu berupa foto genu A/P lateral tampak gambaran osteofit pada genu sinistra,
dengan kesan : osteoartritis genu kiri. Sedangkan pada foto femur tidak tampak
adanya kelainan. Dari hasil pemeriksaan cairan sendi didapatkan warna kuning,
bekuan positif, sedangkan kristal, eritrosit, dan darah negatif. Jumlah sel 8-10.
Pasien didiagnosis dengan osteoartritis genu sinistra functional class II dengan
suspek abses suprapatella. Pada pasien ini dilakukan kompres hangat pada sendi lutut
yang terkena dan istirahatkan sendi tersebut.
Penyelesaian :
Pasien diberikan edukasi, yaitu : informasi tentang penyakitnya secara lengkap
(apa itu OA, penyebab, faktor risiko, perjalanan penyakitnya, komplikasi,
penanganan, aktivitas dan latihan yang boleh dan yang tidak boleh), istirahatkan dan
proteksi terhadap sendi yang terkena, jangan menekuk lutut (jongkok, bersila, kalau
BAB sebaiknya memakai toilet duduk), sebaiknya mengurangi pekerjaan yang
mengangkat barang berat, hati-hati ketika berjalan, agar tidak jatuh dan timbul
trauma lagi, olah raga ringan secara teratur, dan diet rendah purin mengingat riwayat
pasien yang sebelumnya memiliki penyakit asam urat. Pasien juga disarankan untuk
fisioterapi dengan tim rehabilitasi medis. Terapi farmakologis untuk pasien ini adalah
Alupurinol 1x100 mg dan Paracetamol 3x750 mg. Selama pasien dirawat di rumah
sakit tetap dilakukan pemantauan atau monitoring terhadap keluhannya. Saat pasien
diperbolehkan pulang dari rumah sakit keluhannya dikatakan sudah berkurang.
Tujuan pengobatan pada pasien OA adalah untuk mengurangi gejala dan mencegah
terjadinya kontraktur atau atrofi otot. Modalitas penanganan yang diberikan pertama
adalah dengan memberikan terapi non farmakologis berupa edukasi mengenai
penyakitnya secara lengkap, yang selanjutnya adalah memberikan terapi farmakologis
untuk mengurangi nyerinya yaitu dengan memberikan analgetik. Pada kasus ini
dipilihkan obat yang memiliki efek nefrotoksik minimal yaitu paracetamol mengingat
usia pasien yang sudah berumur dan pasien jarang memeriksakan kesehatannya sehingga
ditakutkan ada penyakit sistemik lain yang belum diketahui. Selain itu, pasien juga
disarankan untuk melakukan fisioterapi (Imayati dan Kambayana, 2011).
2. REUMATOID ARTHRITIS
Kasus
Pasien perempuan, 55 tahun dengan keluhan nyeri sendi inflamatif di sendi
bahu, kedua tangan, kedua kaki yang mengganggu aktivitas. Pada pemeriksaan
laboratorium didapatkan LED 109 mm/jam, rheumatoid factor positif, HbsAg
rapid non reaktif. Hasil foto thorax menunjukkan tidak ditemukan adanya TBC
sehingga pasien dapat diberikan imunosupresan. Hasil foto manus tampak
penyempitan sela sendi distal interphalangeal digiti 1 manus bilateral ec artritis.
Hasil foto pedis tampak penyempitan sela sendi interphalangeal digiti V pedis
bilateral ec artritis. Hasil foto sendi bahu/ shoulder joint tampak bayangan opak
proksimal humerus dextra. Pasien ini didiagnosis dengan rheumatoid arthritis.
Skor derajat keparahan penyakit pada pasien saat diagnosis adalah 7 dengan
rincian keterlibatan sendi 3, serologi 2, reaktan fase akut 1, dan durasi dari gejala
1, sehingga pasien memenuhi kriteria definitif RA.
Penanganan
Prinsip tatalaksana pada pasien RA harus ditujukan untuk mengendalikan
peradangan secepat mungkin. Ini mungkin membutuhkan penggunaan
kortikosteroid untuk onset cepat mereka (dosis oral awal 30 mg prednisolon atau
120 mg i metilprednisolon dapat digunakan). Steroid harus cepat meruncing
untuk mencegah efek samping yang signifikan. Selain itu, disease-modifying
antirheumatic drugs (DMARDs) harus dimulai pada saat ini. Pilihan pertama
sekarang methotrexate pada dosis 10-25 mg / minggu. Ini dapat digunakan
awalnya sendiri atau dalam kombinasi dengan sulfassalazine dan
hydroxychloroquine. Pada pasien ini telah dilakukan penatalaksanaan non
farmakologis dengan pemberian tirah baring, serta minum obat teratur,
farmakologis yang diberikan adalah methylprednisolone 3x8 mg, CaCo3 3x500
mg, vitamin D3 1x400 IU, methotrexate 1x7,5 mg. Bila mengacu pada literatur
yang ada, terapi yang telah diberikan telah sesuai.
DAFTAR PUSTAKA