Anda di halaman 1dari 7

BAB 4

Memahami sanksi-sanksi dalam perpajakan

PEMBUKUAN DAN PENCATATAN


4.1 Menjelaskan tentang pembukuan dan pencatatan , prinsip.

1. PENGERTIAN PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

Pembukuan

Dalam pasal 1 angka 26 Udang-Undang Nomor 28 Tahun 2007, pembukuan adalah


suatu proses pencatatn yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan
informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan, dan biaya serta
jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa yang ditutup dengan menyusun
laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada setiap tahun pajak berakhir.

Pencatatan

Pencatatan adalah pengumpulan data secara teratur tentang peredaran bruto dan atau
penghasilan bruto sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak yang terutang termasuk
penghasilan yang bukan objek pajak dan atau yang dikenakan pajak yang bersifat final.

1. KETENTUAN UMUM PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

Menurut Ketentuan Pokok Pembukuan Pasal 28 Undang-Undang Nomor 28 tahun 2007, yang
wajib menyelenggarakan pembukuan adalah:

1. Wajib Pajak (WP) Badan.


2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas, kecuali
Wajib Pajak Prang Pribadi yang peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp
1.800.000.000,00.

Sedangkan yang dikecualikan dari kewajiban pembukuan menurut pasal 28 ayat 2 UU KUP
adalah:

1. WP OP yang melakukan kegiatan usaha/pekerjaan bebas yang diperbolehkan meghitung


penghasilan neto dengan menggunakan norma perhitungan penghasilan neto.
2. WP OP yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

Adapun yang wajib meyelenggarakan pencatatan yaitu:

1. Wajib Pajak Orang Pribadi yang melakukan kegiatan atau usaha atau pekerjaan bebas dan
peredaran brutonya dalam satu tahun kurang dari Rp 1.800.000.000,00 dapat menghitung
penghasilan neto dengan menggunakan norma penghitungan penghasilan neto, dengan
syarat memberitahukan ke Direktur Jenderal Pajak jangka waktu 3 bulan pertama dari tahun
pajak yang bersnagkutan.
2. Wajib Pajak Orang Pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas.

1. SYARAT-SYARAT PENYELENGGARAAN PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

Adapun syarat-syarat untuk penyelenggaraan pembukuan atau pencatatan adalah sebagai


berikut:

1. Diselenggarakan dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau


kegiatan usaha yang sebenarnya.
2. Diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf latin, angka arab, satuan mata
uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan
oleh Menteri Keuangan.
3. Diselenggarakan dengan prinsip taat asas dan dengan stesel akrual atau stelsel kas,
4. Pembukana dengan menggunakna bahasa asing dan mata uang selain rupiah dapat
diseleggarakan oleh WP setelah mendapat izin Menteri Keuangan.
5. Perubahan terhadap metode pembukuan dan atau tahun buku harus mendapat persetujuan
dari Direktur Jenderal Pajak.
6. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban, modal,
penghasilan, dan biaya serta penjualan dan pembelian sehingga dapat dihitung besarnya
pajak yang terutang.
7. Dokumen-dokumen yang menjadi dasar pembukuan dan pencatatan serta dokumen lain
yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas Wajib Pajak disimpan
selama 10 tahun.

1. PEMBUKUAN DALAM BAHASA ASING DAN MATA UANG SELAIN RUPIAH

Menurut Pasal 28 UU KUP dijelaskan bahwa pembukuan dengan bahasa asing dan mata
uang selain rupiah digunakan oleh Wajib Pajak yang dalam rangka:

 Kontrak bagi hasil;


 WP yang mempunyai afilisiasi dengan pengusaha di Luar Negeri;
 Bentuk Usaha Tetap (BUT);
 Kontrak karya, yaitu WP yang beroperasi berdasarkan kontrak dengan pemerintah RI
sebagaimana dimaksud dalam Peraturan Perundang-undangan yang mengatur mengenai
pertambangan;
 Penanaman modal asing yaitu WP yang beroperasi berdasarkan Peraturan Perundang-
undangan yang mengatur mengenai Penanaman Modal Asing;
 Kontrak Investasi Kolektif (KIK) yang menerbitkan Reksadana dalam denominasi mata uang
Dollar Amerika Serikat dan telah memperoleh Surat Pemberitahuan efektif Pernyataan
Pendaftaran dari Badan Pengawasan Pasar Modal – Lembaga Keuangan sesuai dengan
Peraturan Perundang-undangan.
Kemudian setelah mendapat izin dari Menteri Keungan, kecuali WP dalam rangka Kontrak
Karya/Kontrak Bagi Hasil, cukup dengan pemberitahuan. Selanjutnya pemberian izin
dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Pajak.

Prinsip Taat Asas

Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan dengan
tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi. Prinsip taat asas dalam
metode pembukuan misalnya dalam penerapan:

1. Stelsel pengakuan penghasilan;


2. Tahun buku;
3. Metode penilaian persediaan;
4. Metode penyusutan dan amortisasi;

Stelsel akrual adalah suatu metode penghitungan penghasilan biaya dalam arti penghasilan
diakui pada waktu diperoleh dan biaya diakui pada waktu terutang. Jadi, tidak tergantung
kapan penghasilan itu diterima dan kapan biaya itu dibayar secara tunai.

Termasuk dalam pengertian stelsel akrual adalah pengakuan peneghasilan berdasarkan


metode persentase tingkat penyelesaian pekerjaan yang umumnya dipakai dalam bidang
konstruksi dan metode lain yang dipakai dalam bidang usaha tertentu seperti Build Operate
and Transfer (BOT) dan real estate.

Stelsel kas adalah suatu metode yang penghitungannya didasarkan atas penghasilan yang
diterima dan biaya yang dibayar secara tunai. Menurut stelsel kas, penghasilan baru dianggap
sebagai penghasilan apabila benar-benar telah diterima secara tunai dalam suatu periode
tertentu serta biaya baru dianggap sebagai biaya apabila benar-benar telah dibayar secara
tunai dalam suatu periode tertentu.

Stelsel kas biasanya digunakan oleh perusahaan kecil orang pribadi atau perusahaan jasa,
misalnya transportasi, hiburan, dan restoran yang tenggang waktu antara penyerahan jasa dan
penerimaan pembayarannya tidak berlangsung lama. Dalam stelsel kas murni, penghasilan
dari penyerahan barang atau ajasa ditetapkan pada saat barang, jasa, dan biaya operasi
dibayar.

Dengan cara ini, pemakaian stelsel kas dapat mengakibatkan penghitungan yang
mengaburkan terhadap penghasilan, yaitu besarnya penghasilan dari tahun ke tahun dapat
disesuaikan dengan mengatur penerimaan kas dan pengeluaran kas. Oleh karena itu, untuk
penghitungan Pajak Penghasilan dalam memakai stelsel kas harus memperhatikan hal-hal
antara lain sebagai berikut:

1. Penghitungan jumlah penjulana dalam suatu periode harus meliputi seluruh penjualan, baik
yang tunai maupun yang bukan. Dalam menghitung harga pokok penjualan harus
diperhitungkan seluruh pembelian dan persediaan.
2. Dalam memperoleh harta yang dapat disusutkan dan hak-hak yang dapat diamortisasi,
biaya-biaya yang dikurangkan dari penghasilan hanya dapat dilakukan melalui penyusutan
dan amortisasi.
3. Pemakaian stelsel kas harus dilakukan secara taat asas (konsisten)

Dengan demikian, penggunaan stelsel kas untuk tujuan perpajakan dapat juga dinamakan
stelsel campuran.

1. TUJUAN PENYELENGGARAAN PEMBUKUAN DAN PENCATATAN

Penyelenggaraan pembukuan/pencatatan bertujuan untuk mempermudah:

1. Pengisian SPT;
2. Penghitungan Penghasila Kena Pajak;
3. Penghitungan PPN dan PPnBM;
4. Penyelenggaraan pembukuan juga untuk mengetahui posisi keuangan dan hasil kegiatan
usaha/pekerjaan bebas.

1. PERUBAHAN TAHUN BUKU DAN METODE PEMBUKUAN

Pada dasarnya metode pembukuan yang dianut harus taat asas, yaitu harus sama
dengan tahun-tahun sebelumnya, misalnya dalam hal penggunaan metode pengakuan
penghasilan dan biaya (metode kas atau akrual), metode penyusutan aktiva tetap, dan metode
penilaian persediaan. Namun, perubahan metode pembukuan masih dimungkinkan dengan
syarat telah mendapat persetujuan dari Direktur Jenderal Pajak sebelum dimulainya tahun
buku yang bersangkutan dengan menyampaikan alasan yang logis dan dapat diterima serta
akibat yang mungkin timbul dari perubahan tersebut.

Perubahan metode pembukuan akan mengakibatkan perubahan dalam prinsip taat asas yang
dapat meliputi perubahan metode dari kas ke akrual atau sebaliknya atau perubahan
penggunaan metode pengakuan penghasilan atau pengakuan biaya itu sendiri, misalnya
dalam metode pengakuan biaya yang berkenaan dengan penyusunan aktiva tetap dengan
menggunakan metode penyusutan tertentu.
4.2 Menjelaskan Jenis, Kelompok, Dan Menghitung Sanksi Dalam Perpajakan

Mengenal Sanksi Pajak


Pengetahuan tentang sanksi dalam perpajakan menjadi penting karena pemerintah lndonesia
memilih menerapkan self assessment system dalam rangka pelaksanaan pemungutan pajak.
Berdasarkan sistem ini, Wajib Pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung menyetor, dan
melaporkan pajaknya sendiri.

Untuk dapat menjalankannya dengan baik, maka setiap Wajib Pajak memerlukan
pengetahuan pajak, baik dari segi peraturan maupun teknis administrasinya. Agar
pelaksanaannya dapat tertib dan sesuai dengan target yang diharapkan, pemerintah telah
menyiapkan rambu-rambu yang diatur dalam UU Perpajakan yang berlaku.

Dari sudut pandang yuridis, pajak memang mengandung unsur pemaksaan. Artinya, jika
kewaiiban perpajakan tidak dilaksanakan, maka ada konsekuensi hukum yang bisa terjadi.
Konsekuensi hukum tersebut adalah pengenaan sanksi-sanksi perpajakan.

Pada hakikatnya, pengenaan sanksi perpajakan diberlakukan untuk menciptakan kepatuhan


Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya. Itulah sebabnya, penting bagi
Wajib pajak memahami sanksi-sanksi perpajakan sehingga mengetahui konsekuensi hukum
dari apa yang dilakukan ataupun tidak dilakukan.

Untuk dapat memberikan gambaran mengenai hal-hal apa saja yang perlu dihindari agar tidak
dikenai sanksi perpajakan, di bawah ini akan diuraikan tentang jenis-jenis sanksi perpajakan
dan perihal pengenaannya.

Ada 2 macam Sanksi Perpajakan,

1. Sanksi Administrasi yang terdiri dari:

a. Sanksi Administrasi Berupa Denda

Sanksi denda adalah jenis sanksi yang paling banyak ditemukan dalam UU perpajakan.
Terkait besarannya denda dapat ditetapkan sebesar jumlah tertentu, persentase dari jumlah
tertentu, atau suatu angka perkalian dari jumlah tertentu.

Pada sejumlah pelanggaran, sanksi denda ini akan ditambah dengan sanksi pidana.
Pelanggaran yang juga dikenai sanksi pidana ini adalah pelanggaran yang sifatnya alpa atau
disengaja.

Untuk mengetahui lebih laniut, dalam tabel 1 dimuat hal-hal yang dapat menyebabkan sanksi
administrasi berupa denda, bentuk pengenaan denda, dan besarnya denda.

b. Sanksi Aministrasi Berupa Bunga


Sanksi administrasi berupa bunga dikenakan atas pelanggaran yang menyebabkan utang
pajak menjadi lebih besar. Jumlah bunga dihitung berdasarkan persentase tertentu dari suatu
jumlah, mulai dari saat bunga itu menjadi hak/kewajiban sampai dengan saat diterima
dibayarkan.

Terdapat beberapa perbedaan dalam menghitung bunga utang biasa dengan bunga utang
paiak. Penghitungan bunga utang pada umumnya menerapkan bunga majemuk (bunga
berbunga). Sementara, sanksi bunga dalam ketentuan pajak tidak dihitung berdasarkan bunga
majemuk.

Besarnya bunga akan dihitung secara tetap dari pokok pajak yang tidak atau kurang dibayar.
Tetapi, dalam hal Wajib Paiak hanya membayar sebagian atau tidak membayar sanksi bunga
yang terdapat dalam surat ketetapan pajak yang telah diterbitkan, maka sanksi bunga tersebut
dapat ditagih kembali dengan disertai bunga.

Perbedaan lainnya dengan bunga utang pada umumnya adalah sanksi bunga dalam ketentuan
perpajakan pada dasarnya dihitung 1 (satu) bulan penuh. Dengan kata lain, bagian dari bulan
dihitung 1 (satu) bulan penuh atau tidak dihitung secara harian.

c. Sanksi Administrasi Berupa Kenaikan

Jika melihat bentuknya, bisa jadi sanksi administrasi berupa kenaikan adalah sanksi yang
paling ditakuti oleh wajib Pajak. Hal ini karena bila dikenakan sanksi tersebut, jumlah pajak
yang harus dibayar bisa menjadi berlipat ganda. Sanksi berupa kenaikan pada dasarnya
dihitung dengan angka persentase tertentu dari jumlah pajak yang tidak kurang dibayar.

Jika dilihat dari penyebabnya, sanksi kenaikan biasanya dikenakan karena Wajib Pajak tidak
memberikan informasi-informasi yang dibutuhkan dalam menghitung jumlah pajak terutang.

2. Sanksi Pidana

Kita sering mendengar isilah sanksi pidana dalam peradilan umum. Dalam perpajakan pun
dikenai adanya sanksi pidana. UU KUP menyatakan bahwa pada dasarnya, pengenaan sanksi
pidana merupakan upaya terakhir untuk meningkatkan kepatuhan Wajib Pajak.

Namun, pemerintah masih memberikan keringanan dalam pemberlakuan sanksi pidana dalam
pajak, yaitu bagi Wajib Pajak yang baru pertama kali melanggar ketentuan Pasal 38 UU KUB
tidak dikenai sanksi pidana, tetapi dikenai sanksi administrasi. Pelanggaran Pasal 38 UU
KUP adalah tidak menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT tetapi isinya tidak benar atau
tidak lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Hukum pidana diterapkan karena adanya tindak pelanggaran dan tindak kejahatan.
Sehubungan dengan itu, di bidang perpajakan, tindak pelanggaran disebut dengan kealpaan,
yaitu tidak sengaja, lalai, tidak hati-hati, atau kurang mengindahkan kewajiban pajak
sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara. Sedangkan tindak kejahatan
adalah tindakan dengan sengaja tidak mengindahkan kewajiban pajak sehingga dapat
menimbulkan kerugian pada pendapatan negara.

Meski dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara, tindak pidana di bidang
perpajakan tidak dapat dituntut setelah jangka waktu 10 (sepuluh) tahun terlampaui.Jangka
waktu ini dihitung sejak saat terutangnya pajak, berakhirnya masa pajak, berakhirnya bagian
tahun pajak, atau berakhirnya tahun pajak yang bersangkutan. Penetapan jangka waktu 10
(sepuluh) tahun ini disesuaikan dengan daluarsa penyimpanan dokumen-dokumen perpajakan
yang dijadikan dasar penghitungan jumlah pajak yang terutang, yaitu selama 10 (sepuluh)
tahun.

Dalam UU Perpajakan Indonesia, ketentuan mengenai sanksi pidana pada intinya diatur
dalam Bab VIII UU KUP sebagai hukum pajak formal. Namun, dalam UU Perpajakan
lainnya, dapat juga diatur sanksi pidana. Sanksi pidana biasanya disertai dengan sanksi
administrasi berupa denda, walaupun tidak selalu ada.

Anda mungkin juga menyukai