Anda di halaman 1dari 8

C.

Manajemen Konflik dan Ketahanan Nasional


Konflik dapat berpengaruh baik dan atau jelek, tetapi konflik adalah suatu kondisi yang
alamiah dalam kehidupan. Setiap orang harus dapat memahami situasi semacam ini dan
memberikan perhatian tersendiri untuk dapat menetapkan cara yang tepat bagaimana konflik bisa
dikelola sedemikian rupa agar tidak menimbulkan perpecahan antar manusia dan disintegrasi
bangsa.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan konflik tersebut, Hodge dan Anthony (1991)
memberikan gambaran melalui berbagai metode penyelesaian konflik (conflict resolution
methods).
Pertama, setiap orang menggunakan kekuasaan dan kewenangan agar konflik dapat diredam
atau dipadamkan. Sebenarnya dalam banyak hal, manajemen konflik tidak cukup hanya
mengandalkan kekuasaan semata-mata karena bisa jadi konflik akan terus berlanjut dan orang
akan kehilangan kekuasaan di mata orang lain yang terlibat konflik.
Kedua, penyelesaian konflik dengan menggunakan metode penghalusan (smoothing).
Pihak-pihak yang berkonflik hendaknya saling memahami konflik dengan menggunakan ‘bahasa
cinta’, untuk memecahkan dan memulihkan hubungan yang bersifat perdamaian. Membiasakan
bersikap dan mengembangkan kehidupan yang penuh dengan suasana kekeluargaan dirasakan
sangat bermanfaat dalam penyelesaian konflik. Lewat metode itu, dimungkinkan bisa dilakukan
cara-cara kompromis dalam menyelesaikan konflik sehingga dapat disepakati apa yang terbaik.
Ketiga, penyelesaian konflik dengan cara demokratis, artinya memberikan peluang kepada
masing-masing pihak untuk mengemukakan pendapat dan memberikan keyakinan akan
kebenaran pendapatnya sehingga dapat diterima oleh kedua belah pihak. Dengan cara demokrasi,
masing-masing pihak juga saling membangun sebuah keterbukaan, dengan saling memahami
potensi masing-masing, misalnya berkaitan dengan aspek kultural yang menggambarkan
aspirasi, cita-cita, serta ideologi mereka.
Oleh karena itu, strategi penyelesaian konflik hendaknya perlu dipertimbangkan dengan
matang, termasuk mencari alternatif yang dianggap paling efektif. Berkaitan dengan ini, Cribbin
(1985) mengelaborasi terhadap tiga hal, yaitu mulai yang paling tidak efektif, yang efektif, dan
yang paling efektif.
Strategi yang dipandangnya paling tidak efektif, meliputi: (1) Paksaan. Strategi ini
umumnya tidak disukai oleh kebanyakan orang. Dengan paksaan, mungkin konflik bisa
diselesaikan dengan cepat, namun bisa menimbulkan reaksi kemarahan atau reaksi negatif
lainnya. (2) Penundaan, yang mengakibatkan penyelesaian konflik menjadi berlarut-larut. (3)
Bujukan, bisa berakibat secara psikologis, dimana orang akan kebal dengan berbagai bujukan
sehingga perselisihan akan semakin tajam. (4) Koalisi, yaitu suatu bentuk persekutuan untuk
mengendalikan konflik. Akan tetapi strategi ini bisa memaksa orang untuk memihak, yang pada
gilirannya bisa menambah kadar konflik menjadi sebuah ‘perang’. (5) Tawar menawar distribusi.
Strategi ini sering tidak menyelesaikan masalah karena masing-masing pihak saling melepaskan
beberapa hal penting yang menjadi haknya dan jika terjadi berarti masing-masing pihak merasa
menjadi ‘korban’ konflik.
Selanjutnya, strategi yang dipandangnya lebih efektif, meliputi: (1) koeksistensi damai,
yaitu mengendalikan konflik dengan cara tidak saling mengganggu dan saling merugikan,
dengan menetapkan ‘peraturan’ yang mengacu pada perdamaian serta diterapkan secara ketat dan
konsekuen; dan (2) mediasi (pengantaran). Jika penyelesaian konflik dianggap menemui jalan
buntu, masing-masing pihak bisa menunjuk pihak ketiga untuk menjadi perantara yang berperan
secara jujur an adil serta tidak memihak.
Terakhir, strategi yang dipandangnya paling efektif, antara lain meliputi: (1) tujuan sekutu
besar, yaitu dengan melibatkan pihak-pihak yang berkonflik ke arah tujuan yang lebih besar dan
kompleks, misalnya dengan cara membangun sebuah kesadaran nasional yang lebih luas dan
mantap, dan (2) tawar-menawar integratif, yaitu dengan menggiring pihak-pihak yang
berkonflik, untuk lebih berkonsentrasi pada kepentingan yang lebih luas dan tidak hanya berkisar
pada kepentingan sempit misalnya kepentingan individu, kelompok, golongan, atau suku bangsa
tertentu.
Selain itu, Nasikun (1993) mengidentifikasi pengendalian konflik melalui tiga cara, yaitu
dengan konsiliasi (conciliation), mediasi (mediation), dan perwasitan (arbitration).
Pengendalian konflik dengan cara konsiliasi terwujud melalui lembaga-lembaga tertentu
yang memungkinkan tumbuhnya pola diskusi dan pengambilan keputusan di antara pihak-pihak
yang berlawanan mengenai persoalan-persoalan yang mereka pertentangkan. Lembaga-lembaga
yang dimaksud diharapkan berfungsi secara efektif, yang sedikitnya memenuhi empat hal yaitu:
(1) harus merupakan lembaga bersifat otonom dengan wewenang untuk mengambil keputusan,
tanpa campur tangan dari badan-badan lain, (2) lembaga harus bersifat monopolistis, dalam arti
hanya lembaga-lembaga itulah yang berfungsi demikian, (3) lembaga harus mampu mengikat
kepentingan pihak-pihak yang berkonflik, dan (4) lembaga-lembaga tersebut harus bersifat
demokratis. Tanpa hadirnya keempat hal tersebut, konflik yang terjadi di antara beberapa
kekuatan sosial akan “menyelinap’ ke bawah permukaan, yang pada saatnya dapat diduga akan
meledak kembali dalam bentuk kekerasan.
Pengendalian dengan cara mediasi, dimaksudkan bahwa pihak-pihak yang berkonflik
bersepakat untuk menunjuk pihak ketiga yang akan memberikan ‘nasihat-nasihat’, berkaitan
dengan penyelesaian terbaik terhadap pertentangan yang mereka alami. Sekalipun, nasihat-
nasihat pihak ketiga tidak bersifat mengikat bagi mereka yang terlibat konflik, namun cara
pengendalian diri dapat memberikan kemungkinan penyelesaian yang cukup efektif karena cara
itu memberikan kemungkinan pihak-pihak yang bertentangan untuk menarik diri tanpa harus
kehilangan muka, mengurangi pemborosan untuk membiayai, dan sebagainya.
Pengendalian konflik dengan cara perwasitan (arbitrasi) dimaksudkan bahwa pihak-pihak
yang berkonflik sepakat untuk menerima pihak ketiga, yang akan berperan untuk memberikan
keputusan-keputusan dalam rangka menyelesaikan konflik yang ada. Berbeda dengan mediasi,
cara perwasitan mengharuskan pihak-pihak yang berkonflik untuk menerima keputusan-
keputusan yang di ambil oleh pihak wasit.
Persoalan kita sekarang, bagaimana mengelola konflik dalam kerangka Ketahanan
nasional? Dengan beranalog dengan konsep Tannas, yang telah dikemukaan di muka,
kemungkinan konflik yang timbul di dalam masyarakat Indonesia hendaknya dikembalikan
dalam menangkal ATHG dan untuk mempertahankan identitas, integritas dan kelangsungan
bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita nasionalnya. Hal itu berarti bahwa penyelesaian
konflik dalam rangka Tannas Indonesia harus memperhatikan faktor-faktor kesejahteraan dan
keamanan seluruh bangsa Indonesia. Jika memperhatikan salah satu faktor saja, dipandang
bellum cukup (menjamin) untuk membangun kondisi dinamis bangsa Indonesia memiliki
keuletan, ketangguhan dan kemampuan untuk mengatasi ATHG. Jika ATHG tidak diantisipasi
dengan cermat, maka akan bisa menjadi sumber pemicu munculnya konflik baik vertikal maupun
horisontal.
Itulah sebabnya, ketahanan nasional Indonesia, berkomitmen untuk menggunakan dua
pendekatan, yaitu pendekatan kesejahteraan (prosperity approach) dan pendekatan keamanan
(security approach). Aplikasi dua pendekatan itu harus dilakukan dengan melakukan observasi
keadaan lokasi suatu tempat, komunitas, dari daerah-daerah yang dipandang rawan terhadap
konflik. Dari hasil observasi itu, akan ditemukan aspek mana yang dipandang menjadi prioritas
dan pelaksanaan ketahanan nasional (aspek kesejahteraan atau aspek keamanan). Jika temuan
kerawanan jatuh pada aspek kesejahteraan misalnya maka aspek ini yang perlu digarap lebih
dahulu, termasuk upaya pengendalian konflik yang muncul dari kesejahteraan bagi rakyat. Hasil
dari pelaksanaan ketahanan nasional yang menggunakan pendekatan kesejahteraan, akan
digunakan dalam memikirkan penanganan persoalan-persoalan yang dirasakan muncul dalam
aspek keamanan. Jadi, kesejahteraan (JAH) digunakan dalam mendukung keamanan (KAM).
Demikian seterusnya berjalan secara bergantian. Pendekatan yang menjadi prioritas awal akan
berfungsi mendukung dalam menciptakan kondisi dengan penggunaan pendekatan berikutnya.
Dengan demikian, persoalan pendekatan yang mana yang didahulukan dalam ketahanan nasional
Indonesia bergantung pada hasil pemetaan prioritas di lapangan.
Kondisi di lapangan menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia ditandai oleh cirinya yang
bersifat ‘unik’. Secara horisontal, ia ditandai oleh kenyataan adanya kesatuan-kesatuan sosial
berdasarkan perbedaan suku-bangsa, agama, ras/etnis dan antar golongan yang ada di dalam
masyarakat. Sedangkan secara vertikal, struktur masyarakat Indonesia ditandai oleh adanya
perbedaan-perbedaan antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup tajam.
Perbedaan-perbedaan yang pertama sering mewarnai ciri masyarakat Indonesia sebagai
masyarakat yang majemuk (plural societies), yaitu masyarakat yang terdiri atas dua atau lebih
elemen. Masyarakat majemuk adalah sejauh masyarakat tersebut secara struktural memiliki sub-
sub kebudayaan yang bersifat diverse. Biasanya, masyarakat yang demikian ditandai oleh kurang
berkembangnya sistem nilai atau konsensus yang disepakati oleh seluruh anggota masyarakat.
Hal itu menunjukkan bahwa masyarakat tipe majemuk memiliki potensi dan kerawanan akan
konflik. Lebih tegas lagi, Clifford Geertz (dalam Nasikun, 1993) mengatakan bahwa masyarakat
majemuk merupakan masyarakat yang terbagi-bagi ke dalam sub-sub sistem yang kurang lebih
berdiri sendiri-sendiri, yang masing-masing subsistem terikat ke dalam ikatan-ikatan yang
bersifat primordial. Bagaimana sifat primordialisme ini agar tidak berkembang menjadi ekstrem
dan memperbesar potensi konflik di kalangan masyarakat Indonesia. Kiranya ini yang perlu
menjadi perhatian yang saksama dan kesadaran bersama bagi masyarakat Indonesia yang
bertempat tinggal di seluruh penjuru nusantara.
Dalam kaitan ini, konsep dan aplikasi ketahanan nasional Indonesia harus
dikonsentrasikan untuk memanajemen konflik, di samping juga sebagai ekspresi ‘daya tahan,
sifat ulet dan ketangguhan’ bangsa dalam menangkal ancaman, tantangan, hambatan dan
gangguan (ATHG) yang diperkirakan akan muncul dalam kehidupan bangsa dan secara nasional.
Ambillah sebuah contoh, perbedaan-perbedaan secara horisontal yang tercermin dalam
bentuk Sara (suku, agama, ras/etnis, dan antargolongan), memang pada kondisi awal memiliki
kerawanan akan terjadinya konflik. Memang tidak bisa disangkal, bahwa sumber konflik yang
paling mendasar bermula dari adanya perbedaan-perbedaan. Namun demikian, di balik
perbedaan itu bangsa Indonesia justru lebih banyak memetik hikmah yang positif, terutama
kebermaknaannya bagi energi kemajemukan dan demokrasi yang diterapkan di Indonesia. Hal
itu menuntut pengelolaan perbedaan dengan baik agar potensi konflik yang ada tidak
berkembang menjadi realitas konflik yang ada tidak berkembang menjadi realitas konflik yang
berkepanjangan.
Dalam kasus Sara tadi bangsa Indonesia tentunya tidak perlu resah dengan keberadaannya.
Sejak awal, bangsa kita memang sudah berangkat dari perbedaan-perbedaan itu. Artinya
perbedaan Sara, memang sudah melekat dalam diri bangsa Indonesia sejak zaman nenek moyang
kita. Hal itu, lebih tampak pada saat bangsa Indonesia akan memasuki kehidupan nasional
(bangsa yang menegara). Tentunya kita masih ingat, sejarah munculnya Sumpah Pemuda Tahun
1928. Betapa jelasnya perbedaan-perbedaan kita (yang sebelumnya juga tidak jarang diwarnai
oleh konflik-konflik yang bersifat lokal) yang kemudian berjalan dengan penuh kesadaran
menuju terwujudnya rasa persatuan. Karena itu, sudah seharusnya bagi kita bahwa kata kunci
untuk memanajemen konflik Sara di Indonesia misalnya, hendaknya selalu diarahkan dan diberi
solusi sepanjang untuk menciptakan persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.
Harapan ini akan dapat difasilitasi dengan memanfaatkan sifat-sifat Ketahanan nasional
Indonesia yang dapat dikemukakan berikut ini:
Pertama, sifat manunggal (integratif). Yang dimaksud adalah kemanunggalan antara
potensi TRIGATRA (aspek alamiah: posisi/letak geografis, kekayaan alam, dan jumlah
penduduk) dengan potensi PANCAGATRA (aspek sosial: ideologi, politik, ekonomi,
sosialbudaya, dan pertahanan keamanan. Sifat integratif ini tidak dapat diartikan sebagai
pencampuadukan seluruh aspek kehidupan (bukan unfikasi), akan tetapi integrasi yang
dilaksankan secara serasi dan selaras dengan tetap mengaku perbedaan-perbedaan yang ada
dalam masyarakat Indonesia.
Kedua, sifat mawas ke dalam. Ketahanan nasional Indonesia terutama diarahkan kepada
diri bangsa dan negara itu sendiri. Sebab Tannas Indonesia bertujuan untuk mewujudkan hakikat
dan sifat nasionalnya. Hal itu tidak berarti bahwa Tannas Indonesia menganut sikap isolatif
apalagi nasionalisme sempit. Sifat ‘ mawas ke dalam’ tetap memelihara hubungan internasional
yang sebaik-baiknya dengan landasan manusiawi dan atas dasar peradaban kemanusiaan. Namun
demikian, sebagai realisasi ke dalam, Tannas Indonesia diharapkan mampu membawa bangsa
Indonesia semakin ‘kokoh’ akan rasa nasionalismenya, agar tidak mudah digoyahkan oleh kasus-
kasus yang bernuansa konflik horisontal yang diakibatkan oleh perbedaan Sara.
Ketiga, sifat kewibawaan. Ketahanan nasional Indonesia sebagai hasil pandangan yang
bersifat ‘manunggal’ tadi, mewujudkan kewibawaan nasional yang harus diperhitungkan oleh
pihak lain sekaligus memiliki daya pencegah terhadap ATHG dan konflik bangsa Indonesia.
Semakin tinggi tingkat kewibawaan, semakin besar tingkat pencegah tersebut. Itulah sebabnya,
semakin bangsa Indonesia mampu mengelola konflik yang terjadi di kalangan masyarakat yang
ada di nusantara ini, semakin bangsa Indonesia tercerai-berai (terancam disintegrasi) akibat
konflik horisontal dan vertikal yang berkepanjangan, semakin menunjukkan pada pihak bangsa
lain bahwa kita adalah bangsa yang tidak memiliki kewibawaan.
Keempat, sifat berubah menurut waktu. Ketahanan nasional Indonesia, tidaklah tetap
adanya. Ia dapat meningkat atau menurun dan bergantung kepada situasi dan kondisi bangsa
Indonesia. Hal itu sesuai dengan pengertian bahwa segala sesuatu di dunia ini senantiasa berubah
dan bahkan perubahan itu sendiri adalah berubah.
Kelima, sifat tidak membenarkan adu kekuasaan dan kekuatan. Konsepsi ketahanan
nasional Indonesia dapat dipandang sebagai suatu alternatif dari konsepsi yang mengutamakan
penggunaan adu kekuasaan dan adu kekuatan (power politics) yang masih dianut oleh negara-
negara maju pada umumya sehingga bertumpu pada konsep kekuatan fisik maka sebaliknya
ketahanan nasional Indonesia lebih menekankan pada kekuatan moral (moral force) yang ada
pada bangsa Indonesia. Di samping itu, ketahanan nasional Indonesia, lebih mementingkan
konsultasi dan saling menghargai pergaulan hidup manusia serta menjauhi antagonisme dan
konfrontasi.
Dari sifat di atas, tampak jelas, bahwa ketahanan nasional Indonesia sangat komitmen
dalam mengendalikan konflik. Sifat yang mengandalkan pada kekuatan moral daripada kekuatan
fisik, juga menunjukkan bahwa Tannas Indonesia lebih mementingkan dialog secara mendalam
(deep diablogue) dalam memecahkan persoalan bangsa yang bernuansa konflik. Selain itu, sifat
mengandalkan konsultasi dan memberikan penghargaan yang tinggi terhadap urusan
kemanusiaan lebih meyakinkan bahwa Tannas Indonesia mengajari bangsa Indonesia untuk
senantiasa menghindarkan diri dari konflik.
Semua sifat-sifat ketahanan nasional Indonesia sebagaimana diuraikan di atas, senantiasa
diarahkan dalam menjaga identitas, integritas, dan kelangsungan hidup bangsa Indonesia dalam
mengejar cita-cita nasionalnya. Itulah sebabnya, penggunaan pendekatan keamanan (security
approach) dalam Tannas Indonesia, boleh jadi mengindikatorkan bahwa dia tidak menyukai
adanya adu kekuatan. Jadi, pendekatan keamanan tidak harus diartikan sebagai penggunaan
kekuatan untuk menyelesaikan konflik. Sebagai konsepsi bangsa, Tannas Indonesia bukan
pemikiran yang bersifat ‘otoriter’, akan tetapi lebih menekankan pada pertimbangan demokratis
yang selalu mengandalkan kekuatan moral sebagai potensi bangsa yang luhur.
Dewasa ini, penggunaan pendekatan keamanan (security approach) dalam memecahkan
persoalan bangsa telah banyak yang mengkritisi. Umumnya, mereka cenderung menolak
pendekatan ini. Persepsi yang muncul lebih banyak mempersoalkan, bahwa dengan pendekatan
keamanan pasti akan direalisasi dengan sarana kekuatan fisik. Pemikiran itu, pada dasarnya tidak
benar sama sekali. Aspek keamanan bukanlah semata-mata muncul dari konsepsi militerisme.
Sebuah konsepsi bahwa untuk menciptakan keamanan harus dilakukan, misalnya dengan cara
perang, paksaan, dominasi, dan bahkan pembunuhan. Konsepsi keamanan lebih erat
hubungannya dengan kebutuhan dasar manusia. Karena itu, aktivitas keamanan lebih banyak
bersandar pada panggilan jiwa dan upaya pemenuhan atau layanan kebutuhan akan rasa aman.
Dalam konsepsi Tannas Indonesia, masyarakat tidak boleh ‘resah’, gara-gara merasa tidak aman
dalam kehidupannya. Masyarakat juga tidak boleh chaos, lantaran keadaan yang diwarnai oleh
konflik.
Dengan demikian, manajemen konflik dalam kerangka ketahanan nasional Indonesia
harus ditangkap sebagai upaya saling memanfaatkan potensi yang melekat pada pihak-pihak
yang berkonflik. Kiranya, ‘gaya kolaborasi’ dipandang lebih sesuai dengan keperluan ini. Dalam
kaitan itu, manajemen dan penyelesaian konflik dalam kerangka Tannas Indonesia, harus
dimaknai secara kritis dengan mengambil keunggulan masing-masing dari pihak-pihak yang
terlibat konflik. Hal ini menunjukkan, bahwa untuk menyelesaikan konflik dalam kerangka
Tannas Indonesia, bukan menggunakan parameter ‘benar salah’, akan tetapi senantiasa lebih
banyak dipetakan lewat pemahaman setting kultural, terutama kecanggihan dalam menangkap
simbol-simbol budaya yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia.
Dengan cara itu, latar belakang konflik dapat diidentifikasi dengan objektif dan
dimungkinkan adanya distribusi informasi secara terbuka. Konflik yang terjadi, dinyatakan
secara terbuka dan dievaluasi dari berbagai sudut pandang budaya masing-masing pihak yang
sedang berkonflik. Penyelesaian konflik yang hanya menggunakan pendekatan budaya sepihak,
cenderung terperangkap pada pola pikir yang etnosentris, dan ini menjadikan pemecahan
persoalan konflik yang mengarah pada ketidakadilan. Karena budaya itu bersifat sunjektif, tidak
dibenarkan penyelesaian konflik hanya dilihat dari satu sisi budaya, karena hal ini justru akan
membuka ruang konflik baru. Dengan demikian, pendekatan ‘multikultural’ dirasakan lebih
efektif dan lebih demikratis jika digunakan dalam memecahkan konflik horisontal dalam
masyarakat yang hidup di seluruh nusantara.

Anda mungkin juga menyukai