Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berbagai upaya yang ditujukan bagi perlindungan dan pemajuan Hak
Asasi Manusia (HAM) di Indonesia merupakan hal yang sangat strategis
sehingga memerlukan perhatian dari seluruh elemen bangsa. Dalam Garis
Garis Besar Haluan Negara 1999-2004 ditetapkan, bahwa salah satu misi dari
pembangunan nasional adalah menempatkan HAM dan supremasi hukum
sebagai suatu bidang pembangunan yang mendapatkan perhatian khusus.
Untuk maksud itu diperlukan perwujudan sistem hukum nasional yang
menjamin tegaknya supremasi hukum dan HAM yang berlandaskan keadilan
dan kebenaran.
Menurut Pasal 8 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, perlindungan,
pemajuan, penegakan dan pemenuhan Hak Asasi Manusia merupakan
tanggung jawab pemerintah disamping juga masyarakat. Pemerintah telah
mengeluarkan berbagai peraturan perundang-undangan dan meratifikasi
berbagai konvensi, seperti konvensi hak anak, konvensi penghapusan segala
bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan lain-lain, tetapi belum didukung
dengan komitmen bersama yang kuat untuk menerapkan instrumen-instrumen
tersebut. Berdasarkan keadaan tersebut, maka perlu dikembangkan suatu
mekanisme pelaksanaan hukum yang efektif untuk melindungi hak-hak
warga masyarakat, terutama hak-hak kelompok rentan.
Penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang memiliki
kedudukan, hak, kewajiban dan kesempatan serta peran yang sama dalam
segala aspek kehidupan maupun penghidupan seperti halnya WNI lain.
Pengakuan tersebut dikuatkan secara hukum melalui Undang-Undang Nomor
4/1997 diikuti terbitnya Peraturan Pemerintah Nomor 43/1998 tentang Upaya
Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.
Penyandang cacat tubuh sebagai salah satu penyandang masalah
kesejahteraan sosial perlu mendapat perhatian agar mereka dapat
melaksanakan fungsi sosialnya. Penyandang cacat tubuh didalam
mobilitasnya secara tidak langsung akan mengalami kesulitan dalam
melakukan aktivitas. Jika dibandingkan dengan orang yang normal secara
fisik penyandang cacat tubuh mengalami kelemahan dalam menggerakkan
tubuhnya secara optimal. Penyandang cacat tubuh secara psikis akan
mengalami rasa rendah diri dan kesulitan dalam menyesuaikan diri di
masyarakat, karena perlakukan masyarakat/lingkungan sekitar berupa celaan.
Kesehatan jiwa merupakan pengendalian diri dalam menghadapi stresor di
lingkungan sekitar dengan selalu berpikir positif dalam keselarasan tanpa
adanya tekanan fisik dan psikologis, baik secara internal maupun eksternal
yang mengarah pada kestabilan emosional (Nasir dan Muhith, 2011).
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan jiwa bukan hanya
tidak ada gangguan jiwa, melainkan mengandung berbagai karakteristik
positif yang menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang
mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. (Yosep, 2010). Menurut
National institute of mental health gangguan jiwa mencapai 13% dari
penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi 25%
di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya
prevalensi gangguan jiwa dari tahun ke tahun di berbagai negara.
Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004,
diperkirakan 26,2 % penduduk yang berusia 18 – 30 tahun atau lebih
mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011).
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kelompok rentan, gangguan mental, kecacatan dan
populasi terlantar?
2. Apa saja yamg termasuk kelompok rentan, gangguan mental, kecacatan
dan populasi terlantar?

C. Tujuan
1. Mengetahui pengertian tentang kelompok rentan?
2. Mengetahui pengertian tentang kecacatan dan populasi terlantar?
3. Mengetahui pengertian tentang gangguan mental?
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Kelompok Rentan
1. Definisi
Pengertian kelompok rentan tidak dirumuskan secara eksplisit
dalam peraturan perundang-undangan, seperti tercantum dalam Pasal 5
ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999 yang menyatakan bahwa
setiap orang yang termasuk kelompok masyarakat yang rentan berhak
memperoleh perlakuan dan perlindungan lebih berkenaan dengan
kekhususannya. Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa yang
dimaksud dengan kelompok masyarakat yang rentan, antara lain, adalah
orang lanjut usia, anakanak, fakir miskin, wanita hamil dan penyandang
cacat. Sedangkan menurut Human Rights Reference disebutkan, bahwa
yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah: Refugees, Internally
Displaced Persons (IDPs), National Minorities, Migrant Workers;
Indigenous Peoples, Children; dan g. Women.
2. Kondisi Obyektif Kelompok Rentan
Keberadaan kelompok rentan yang antara lain mencakup anak,
kelompok perempuan rentan, penyandang cacat, dan kelompok minoritas
mempunyai arti penting dalam, masyarakat yang tetap menjunjung tinggi
nilai-nilai HAM. Untuk memberikan gambaran keempat kelompok
masyarakat tersebut selama ini, maka penelaahan perlu diawali dengan
mengetahui keadaan sebenarnya yang terjadi di dalam masyarakat.
a. Anak
Berbagai batasan anak dapat ditemukan dalam beberapa peraturan
perundangan yang berlaku di Indonesia, namun pada prinsipnya
keragaman batasan tersebut mempunyai implikasi yang sama yaitu
memberikan perlindungan pada anak. Menurut Pasal 1 ayat 1 UU
Nomor 23 Tahun 2002, "Anak adalah seseorang yang belum berusia
18 (delapan belas tahun) termasuk anak yang masih dalam
kandungan". Sedangkan menurut Pasal 1 KHA / Keppres No.36
Tahun 1990 "anak adalah setiap orang yang berusia dibawah 18 tahun
kecuali berdasarkan UU yang berlaku bagi yang ditentukan bahwa
usia dewasa dicapai lebih awal". Disamping itu menurut pasal 1 ayat 5
UU No.39 Tahun 1999 Tentang HAM, "anak adalah setiap manusia
yang berusia dibawah 18 tahun dan belum menikah, termasuk anak
yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi
kepentingannya". Berbagai pelanggaran terhadap hak-hak anak yang
masih sering terjadi, tercermin dari masih adanya anak-anak yang
mengalami abuse, kekerasan, eksploitasi dan diskriminasi.
Hal yang menarik perhatian untuk dibahas di dalam makalah ini
adalah untuk tujuan pekerja seks komersial, dan anak jalanan.
Masalah pekerja anak merupakan isu sosial yang sukar dipecahkan
dan cukup memprihatinkan karena terkait dengan aspek sosial,
ekonomi, dan budaya masyarakat. Jumlah anak umur antara 10 sampai
14 tahun sebanyak 20,86 juta jiwa, termasuk anak yang sedang
bekerja dan yang mencari pekerjaan sebesar 1,69 juta jiwa. Pada
dekade terakhir, anak umur antara 10 sampai 14 tahun yang bekerja
telah mengalami penurunan, namun pada tahun 1998-1999 mengalami
peningkatan dibandingkan 4 tahun sebelumnya, sebagai konsekuensi
dari krisis multidimensional yang menimpa Indonesia. Lapangan
pekerjaan yang melibatkan anak, antara lain, dibidang pertanian
mencapai 72,01 %, industri manufaktur sebesar 11,62%, dan jasa
sebesar 16,37%. Pemetaan masalah anak mengindikasikan jumlah
anak yang dilacurkan diperkirakan mencapai sekitar 30% dari total
prostitusi, yakni sekitar 40.000 – 70.000 orang atau bahkan lebih
(anak adalah berumur dibawah 18 tahun).

b. Kelompok Perempuan Rentan


Dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (3) Undang-undang No.39 tahun
1999 disebutkan bahwa yang termasuk kelompok rentan adalah orang
lansia, anak-anak, fakir-miskin, wanita hamil, dan penyandang cacat.
Oleh karena itu secara eksplisit hanya wanita hamil yang termasuk
Kelompok Rentan. Kamus Besar Bahasa Indonesia6 merumuskan
pengertian rentan sebagai: (1) mudah terkena penyakit dan (2) peka,
mudah merasa. Kelompok yang lemah ini lazimnya tidak sanggup
menolong diri sendiri, sehingga memerlukan bantuan orang lain.
Selain itu, kelompok rentan juga diartikan sebagai kelompok yang
mudah dipengaruhi. Pengertian kedua merupakan konsekuensi logis
dari pengertian yang pertama, karena sebagai kelompok lemah
sehingga mudah dipengaruhi.
Secara empiris Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) sudah
lama berlangsung dalam masyarakat, hanya secara kuantitas belum
diketahui jumlahnya, seperti kekerasan suami terhadap istri atau suami
terhadap pembantu rumah tangga perempuan. Bentuk
kekerasannyapun beragam mulai dari penganiayaan, pemerkosaan dan
sebagainya. Disamping itu pemenuhan hak kaum perempuan yang
rentan tidak hanya terbatas kepada perlindungan dalam rumah tangga,
tetapi juga berhubungan dengan reproduksi perempuan. Secara
sosiologis sebagian besar kaum perempuan masih sangat dibatasi oleh
budaya masyarakat, dimana peran tradisional masih melekat kuat,
yang mengindikasikan bahwa perempuan tidak lebih sebagai isteri
atau ibu rumah tangga semata.
Dalam kehidupan masyarakat, kekerasan yang terjadi dalam rumah
tangga dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar. Hal ini tercermin
dalam kasus penganiayaan terhadap isteri yang diartikan sebagai
bentuk pengajaran. sehingga kekerasan itu akan berlanjut terus tanpa
seorangpun mencegahnya.

c. Penyandang Cacat
Menurut Undang-undang No.4 tahun 1997 yang dimaksud dengan
penyandang cacat adalah setiap orang yang mempunyai kelainan fisik
dan atau mental, yang dapat mengganggu atau merupakan rintangan
dan hambatan baginya untuk melakukan dapat dikelompokkan
menjadi 3 (tiga) hal : (a) Penyandang cacat fisik; (b) Penyandang
cacat mental; (c) Penyandang cacat fisik dan mental. Jumlah
penyandang cacat menurut Susenas tahun 200 1 sebanyak 1,46 juta
orang (0.74 %), penyebarannya tidak hanya di perkotaan tapi juga di
pedesaan. Penyandang cacat di daerah pedesaan lebih tinggi
prosentasenya dibandingkan dengan penyandang cacat di daerah
perkotaan masing-masing sebesar 0.83 persen dan 0.63 persen. Jenis
kelamin prosentase penyandang cacat laki-laki lebih tinggi
dibandingkan dengan penyandang cacat perempuan, masing-masing
55.73 % dan 49.27 %. Struktur umur penyandang cacat terkonsentrasi
pada kelompok umur 11 - 18 tahun dan pada kelompok umur 19 - 30
tahun. dengan jumlah masing-masing sebesar 76.823 orang dan
119.242 orang.
d. Kelompok Minoritas
Definisi mengenai kelompok minoritas sampai saat ini belum dapat
diterima secara universal. Namun demikian yang lazim digunakan
dalam suatu negara, kelompok minoritas adalah kelompok individu
yang tidak dominan dengan ciri khas bangsa, suku bangsa, agama,
atau bahasa tertentu yang berbeda dari mayoritas penduduk. Minoritas
sebagai 'kelompok' yang dilihat dari jumlahnya lebih kecil
dibandingkan dengan jumlah penduduk lainnya dari negara
bersangkutan dalam posisi yang tidak dominan. Keanggotaannya
memiliki karakteristik etnis, agama, maupun bahasa yang berbeda
dengan populasi lainnya dan menunjukkan setidaknya secara implisit
sikap solidaritas yang ditujukan pada melestarikan budaya, tradisi,
agama dan bahasa. Sehubungan dengan hal tersebut beberapa wilayah
di Indonesia akhir-akhir ini sering muncul kerusuhan sosial yang
dilatarbelakangi etnis dan agama. Hal ini merupakan masalah yang
sangat serius apabila tidak segera diselesaikan akan dapat mengancam
terjadinya disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, permasalahan yang
dihadapi berbagai daerah di Indonesia adalah masih banyak terjadi
diskriminasi terhadap hak-hak kelompok minoritas, baik agama, suku,
ras dan yang berkenaan dengan jabatan dan pekerjaan bagi
penyandang cacat, sehingga sampai saat ini dirasakan masih 'belum
terpenuhinya hak-hak kelompok minoritas'.
B. Penyakit Mental
1. Definisi
Gangguan jiwa atau penyakit mental merupakan deskripsi sindrom
dengan variasi penyebab. Banyak yang belum diketahui dengan pasti dan
perjalanan penyakit tidak selalu bersifat kronis. Pada umumnya ditandai
adanya penyimpangan yang fundamental, karakteristik dari pikiran dan
persepsi, serta adanya afek yang tidak wajar atau tumpul (Maslim, 2002).
2. Sumber Penyebab Gangguan Jiwa
Manusia bereaksi secara keseluruhan somato-psiko-sosial. Dalam
mencari penyebab gangguan jiwa, unsur ini harus diperhatikan. Gejala
gangguan jiwa yang menonjol adalah unsur psikisnya, tetapi yang sakit
dan menderita tetap sebagai manusia seutuhnya (Maramis, 2010).
a. Faktor somatik (somatogenik), yakni akibat gangguan pada
neuroanatomi, neurofisiologi, dan neurokimia, termasuk tingkat
kematangan dan perkembangan organik, serta faktor pranatal dan
perinatal.
b. Faktor psikologik (psikogenik), yang terkait dengan interaksi ibu dan
anak, peranan ayah, persaingan antarsaudara kandung, hubungan
dalam keluarga, pekerjaan, permintaan masyarakat. Selain itu, faktor
intelegensi, tingkat perkembangan emosi, konsep diri, dan pola
adaptasi juga akan memengaruhi kemampuan untuk menghadapi
masalah. Apabila keadaan ini kurang baik, maka dapat mengakibatkan
kecemasan, depresi, rasa malu, dan rasa bersalah yang berlebihan.
c. Faktor sosial budaya, yang meliputi faktor kestabilan keluarga, pola
mengasuh anak, tingkat ekonomi, perumahan, dan masalah kelompok
minoritas yang meliputi prasangka, fasilitas kesehatan, dan
kesejahteraan yang tidak memadai, serta pengaruh rasial dan
keagamaan.
3. Klasifikasi Gangguan Jiwa
Secara umum, klasifikasi gangguan jiwa menurut hasil Riset
Kesehatan Dasar tahun 2013 dibagi menjadi dua bagian, yaitu (1)
gangguan jiwa berat/kelompok psikosa dan (2) gangguan jiwa ringan
meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa kecemasan,
panik, gangguan alam perasaan, dan sebagainya. Untuk skizofrenia masuk
dalam kelompok gangguan jiwa berat.
Klasifikasi diagnosis keperawatan pada pasien gangguan jiwa
dapat ditegakkan berdasarkan kriteria NANDA (North American Nursing
Diagnosis Association) ataupun NIC (Nursing Intervention Classification)
NOC (Nursing Outcame Criteria). Untuk di Indonesia menggunakan hasil
penelitian terhadap berbagai masalah keperawatan yang paling sering
terjadi di rumah sakit jiwa. Pada penelitian tahun 2000, didapatkan tujuh
masalah keperawatan utama yang paling sering terjadi di rumah sakit jiwa
di Indonesia, yaitu: perilaku kekerasan, halusinasi, menarik diri, waham,
bunuh diri, defisit perawatan diri (berpakaian/berhias, kebersihan diri,
makan, aktivitas sehari-hari, buang air), harga diri rendah.
Hasil penelitian terakhir, yaitu tahun 2005, didapatkan sepuluh
diagnosis keperawatan terbanyak yang paling sering ditemukan di rumah
sakit jiwa di Indonesia adalah sebagai berikut.
a. Perilaku kekerasan
b. Risiko perilaku kekerasan (pada diri sendiri, orang lain, lingkungan,
verbal).
c. Gangguan persepsi sensori: halusinasi (pendengaran, penglihatan,
pengecap, peraba, penciuman).
d. Gangguan proses pikir.
e. Kerusakan komunikasi verbal.
f. Risiko bunuh diri.
g. Isolasi sosial.
h. Kerusakan interaksi sosial.
i. Defisit perawatan diri (mandi, berhias, makan, eliminasi).
j. Harga diri rendah kronis.
C. Kecacatan dan Populasi Terlantar
1. Definisi
Penyandang cacat tubuh adalah seseorang yang mempunyai kelainan
tubuh pada alat gerak yang meliputi tulang, otot dan persendian baik
dalam struktur atau fungsinya yang dapat mengganggu atau merupakan
rintangan dan hambatan baginya untuk melakukan kegiatan secara layak.
Cacat tubuh juga disebut cacat orthopedic dan cacat muskuloskeletal yang
berarti cacat yang ada hubungannya dengan tulang, sendi dan otot. Cacat
ortopedi adalah sakit jenis cacat, dimana salah satu atau lebih anggota
tubuh bagian tulang, persendian mengalami kelainan (abnormal) sehingga
timbul rintangan dalam melakukan fungsi gerak (motorik).
2. Jenis Kecacatan
Penyandang cacat tubuh berdasarkan jenis kecacatan dibedakan
menjadi:
a. Putus (amputasi) pada kaki dan atau tangan
b. Cacat tulang persendian, tungkai, tangan dan sebagainya
c. Cacat tulang punggung
d. Paraplegia
e. Cacat akibat sakit folio
f. TBC tulang dan sendi
g. Cerebral palcy (cacat koordinasi dari gerak anggota badan yang
terganggu).
Sedangkan berdasar derajat kecacatannya dibedakan:
a. Cacat tubuh ringan
Yaitu mereka yang menderita cacat tubuh dimana kebutuhan aktifitas
hidup sehari hari (ADL) nya tidak memerlukan pertolongan orang lain.
Termasuk dalam golongan cacat ini adalah amputasi tangan atau kaki
salah satu, cerebral palcy ringan, layuh salah satu kaki, tangan/kaki
bengkok dan sebagainya.
b. Cacat tubuh sedang
Yaitu mereka yang menderita cacat tubuh, dimana kebutuhan aktivitas
hidup seharihari (ADL) nya harus dilatih terlebih dahulu, sehingga
untuk seterusnya dapat dilakukan tanpa pertolongan. Termasuk
golongan ini adalah cerebral palcy sedang, amputee dua tangan atas
siku, muscle destrophy sedang, scoliosis dan seterusnya.
c. Cacat tubuh berat
Yaitu mereka yang untuk kebutuhan aktivitas hidup sehari-hari
(ADL)nya selalu memerlukan pertolongan orang lain, antara lain
amputee dua kaki atas lutut dan dua tangan atas siku, cerebral palcy
berat, layuh dua kaki dan dua tangan, paraplegia berat dan sebagainya.
(Departemen Sosial, 2008).
Penyandang cacat tubuh sebagai salah satu dari penyandang masalah
kesejahteraan sosial memiliki karakteristik yang berbeda dengan
penyandang masalah sosial lainnya. Karakteristik tersebut adalah memiliki
keinginan untuk disayang yang berlebihan bahkan mengarah pada over
protective, rasa rendah diri, kurang percaya diri, cenderung mengisolir
diri, kehidupan emosional yang labil, dorongan biologis yang cenderung
menguat, kecenderungan hidup senasib, berperilaku agresif, ada perasaan
tidak aman, cepat menyerah, apatis, kekanak-kanakan dan melakukan
mekanisme pertahanan diri yang kadang-kadang berlebihan. Faktor-faktor
yang mempengaruhi karakteristik tersebut bisa berasal dari traumatik,
faktor bawaan, penyakit, waktu terjadinya kecacatan, perlakuan
lingkungan/masyarakat setempat, perlakuan anggota keluarga, iklim dan
keadaan alam atau lingkungan alam, ekologi dan trandisi setempat serta
pandangan hidup dalam diri, keluarga, masyarakat dan pemerintah.
Pandangan hidup dalam diri, keluarga, masyarakat dan pemerintah ini
sangat terkait dengan permasalahan yang dihadapi penyandang cacat.
Permasalahan terkait kecacatan yang dihadapi penyandang cacat tubuh
adalah:
a. Masalah Internal
1) Menyangkut keadaan jasmani, yang dapat mengakibatkan
gangguan kemampuan physik untuk melakukan sesuatu perbuatan
atau gerakan tertentu yang berhubungan dengan kegiatan hidup
sehari-hari (activity of daily living).
2) Menyangkut kejiwaan/mental seseorang, akibat kecacatannya
seseorang menjadi rendah diri atau sebaliknya, menghargai dirinya
terlalu berlebihan, mudah tersinggung, kadang-kadang agresif,
pesimistis, labil, sulit untuk mengambil keputusan. Kesemuanya
dapat merugikan, khususnya berkenaan dengan hubungan antara
manusia dan canggung dalam melaksanakan fungsi sosialnya.
3) Masalah pendidikan, kecacatan fisik sering menimbulkan kesulitan
khususnya pada anak umur sekolah. Mereka memerlikan perhatian
khusus baik dari orangtua maupun guru di sekolah. Sebagian besar
kesulitan ini juga menyangkut transportasi antara rumah kediaman
ke sekolah, kesulitan mempergunakan alat-alat sekolah maupun
fasilitas umum lainnya.
4) Masalah ekonomi, tergambar dengan adanya kehidupan
penyandang cacat tubuh yang pada umumnya berada di bawah
garis kemiskinan. Hal ini disebabkan oleh karena rendahnya
pendapatan. Tingkat produktifitas yang rendah karena kelemahan
jasmani dan rohani hingga tidak memiliki keterampilan kerja
(produksi) serta adanya hambatan di dalam struktur kejiwaan,
berakibat pada ketidakmampuan didalam melaksanakan fungsi
sosialnya.
5) Masalah penampilan peranan sosial berupa ketidakmampuan
hubungan antar perorangan, berinteraksi sosial, bermasyarakat dan
berpartisipasi di lingkungannya.
b. Masalah Eksternal
1) Masalah keluarga yaitu timbul rasa malu akibat salah satu anggota
keluarganya penyandang cacat tubuh. Akibatnya anak tidak
sekolah, tidak boleh bergaul bermain dengan teman sebaya, kurang
mendapatkan kasih sayang sehingga anak tidak dapat berkembang
kemampuan dan kepribadiannya. Selanjutnya penyandang cacat
tubuh tersebut tetap menjadi beban keluarganya.
2) Masalah masyarakat, masyarakat yang memiliki warga
penyandang cacat tubuh akan turut terganggu kehidupannya,
selama penyandang cacat belum dapat berdiri sendiri dan selalu
menggantungkan pada orang lain. Dari segi ekonomi, sejak
seseorang terutama yang telah dewasa menjadi cacat tubuh,
masyarakat mengalami kerugian ganda, yaitu kehilangan anggota
yang produktif dan bertambah anggota masyarakat yang
konsumtif, yang berarti menambah beban berat bagi masyarakat.
Oleh karena itu perlu usaha-usaha rehabilitasi yang dapat merubah
penyandang tubuh dari kondisi konsumtif menjadi produktif.
Disamping itu masih ada sikap dan anggapan sebagian masyarakat
yang kurang begitu menguntungkan bagi penyandang cacat tubuh,
antara lain masih adanya sikap ragu-ragu terhadap kemampuan
(potensi) penyandang cacat tubuh, sikap masa bodoh disementara
lapisan masyarakat terhadap permasalahan penyandang cacat
tubuh, belum meluasnya partisipasi masyarakat dalam menangani
permasalahan penyandang cacat tubuh, masih lemahnya organisasi
sosial yang bergerak di bidang kecacatan dalam melaksanakan
operasinya, masih adanya anggapan masyarakat bahwa tenaga
kerja penyandang cacat tubuh kurang potensial dibanding tenaga
kerja tidak cacat, pengguna jasa tenaga kerja penyandang cacat
tubuh umumnya belum menyediakan kemudahan/ sarana bantu
yang diperlukan bagi tenaga kerja penyandang cacat tubuh,
program pelayanan rehabilitasi medis, rehabilitasi sosial dan
rehabilitasi vokasional yang dilaksanakan oleh pemerintah dan
masyarakat belum menjangkau seluruh populasi penyandang cacat
tubuh serta masih sangat terbatasnya aksesibilitas bagi kemandirian
dalam bekerja, seperti penyediaan perumahan, transportasi dan
jenis pekerjaan tertentu yang sesuai dengan jenis kecacatan serta
fasilitas umum lainnya.
3) Pelayanan umum, ketersediaan sarana umum seperti sekolah,
rumah sakit, perkantoran, tempat rekreasi, perhotelan, kantor pos,
terminal, telepon umum, bank dan tempat lain belum memiliki
aksesibilitas bagi penyandang cacat. (Departemen Sosial, 2008).
3. Kebutuhan Pelayanan Sosial Penyandang Cacat Tubuh
Undang-Undang Nomor. 4 tahun 1997 menegaskan bahwa
penyandang cacat merupakan bagian masyarakat Indonesia yang memiliki
kedudukan, hak, kewajiban, dan peran yang sama. Mereka mempunyai
hak dan kesempatan yang sama dalam segala aspek kehidupan dan
penghidupan. Pasal 6 dijelaskan, bahwa setiap penyandang cacat berhak
memperoleh :
a. Pendidikan pada semua satuan, jalur, jenis, dan jenjang pendidikan
b. Pekerjaan dan penghidupan yang layak sesuai jenis dan derajat
kecacatan, pendidikan, dan kemampuannya.
c. Perlakuan yang sama untuk berperan dalam pembangunan dan
menikmati hasil-hasilnya.
d. Aksesibilitas dalam rangka kemandiriannya.
e. Rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan
sosial dan
f. Hak yang sama untuk menumbuhkembangkan bakat, kemampuan, dan
kehidupan sosialnya, terutama bagi penyandang cacat anak dalam
lingkungan keluarga dan masyarakat.
Oleh karena itu, penyandang cacat termasuk cacat tubuh memiliki
kedudukan, hak, kewajiban dan peran yang sama seperti warga masyarakat
lainnya. Sementara itu dalam Pasal 16 Undang-Undang Nomor 4/1997
disebutkan bahwa pemerintah dan masyarakat berkewajiban memenuhi
hak-hak penyandang cacat seperti pendidikan dan pekerjaan yang layak,
rehabilitasi, bantuan sosial dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial.
Berkaitan dengan pemenuhan hak-hak penyandang cacat maka diperlukan
pelayanan sosial. Pelayanan sosial bertujuan membantu upaya resosialisasi
penyandang cacat baik di lingkungan keluarga maupun masyarakat di
sekitar tempat tinggal mereka. Pemberian pelayanan sosial bermuara pada
pemenuhan kebutuhan fisik yaitu makan, pakaian, tempat tinggal,
kesehatan, pendidikan dan akses pekerjaan.
Pemenuhan kebutuhan psikis berupa perhatian dan kasih sayang baik
dari lingkungan keluarga maupun masyarakat. Pemenuhan kebutuhan
sosial berupa penerimaan dan penghargaan dari keluarga dan masyarakat.
Kebutuhan tersebut merupakan kebutuhan yang bersifat umum artinya
setiap orang mempunyai kebutuhan yang sama. Penyandang cacat sebagai
orang yang mempunyai keterbatasanketerbatasan fisik mempunyai
kebutuhan yang bersifat khusus yaitu kebutuhan aksesibilitas dan
mobilitas seperti jalan khusus untuk kursi roda, toilet khusus pengguna
kursi roda, ramp (pegangan), alat bantu orthese dan prothese. Selanjutnya
kebutuhan pelayanan sosial bagi penyandang cacat tubuh sebagai individu
yang hidup dalam keluarga dan masyarakat meliputi:
a. Kebutuhan Penyandang Cacat Tubuh Sebagai Individu
Penyandang cacat tubuh hidup dalam masyarakat yang kompleks,
memerlukan suatu lingkungan aman, yang memberikan kasih sayang,
pengakuan dan penerimaan. Meskipun mengalami hambatan, mereka
masih mempunyai kemampuankemampuan yang dapat dikembangkan
terutama dalam perkembangan emosional, dimana emosi merupakan
kebutuhan yang sama dengan orang yang tidak cacat.
b. Kebutuhan Penyandang Cacat Tubuh Sebagai Makhluk Sosial
Penyandang cacat sejak lahir adalah makhluk sosial, kelangsungan
hidup tergantung pada orang disekelilingnya, kebutuhan rasa aman dan
kasih sayang merupakan hal utama. Hal ini dialami oleh penyandang
cacat tubuh dan kebutuhan ini makin lama makin bertambah seiring
dengan perkembangan usia anak-anak dan membutuhkan teman
bermain. Penyandang cacat membutuhkan pengakuan, dihargai dan
diterima oleh teman-temannya dan timbul keinginan akan status sosial
yang layak dalam kelompok/ masyarakat. Apabila perkembangan ini
mengalami hambatan akibat kecacatannya maka akan berpengaruh
kepada perkembangan kejiwaan anak.
c. Kebutuhan Penyandang Cacat Tubuh Dalam Keluarga
Salah satu fungsi keluarga adalah sebagai tempat berlindung yang
aman bagi anggotanya. Perlakuan keluarga yang wajar kepada anggota
keluarga yang cacat akan membuat mereka merasa aman dan nyaman.
Akan tetapi banyak keluarga yang tidak dapat menerima anggota
keluarga yang cacat karena ketidaktahuan dan persepsi yang salah.
Oleh karena itu diperlukan sosialisasi guna penyadaran bagi keluarga
agar dapat menerima penyandang cacat dan memperlakukan secara
wajar. Hadirnya persatuan orangtua keluarga penyandang cacat
sebagai wadah sosialisasi sangat penting guna peningkatan persepsi
yang benar sehingga dapat dilakukan penanganan penyandang cacat
secara optimal agar penyandang cacat dapat mandiri.
d. Kebutuhan penyandang cacat tubuh dalam masyarakat
Perlu dijelaskan kepada masyarakat bahwa penyandang cacat
tubuh mempunyai kesamaan kesempatan dengan melibatkan
penyandang cacat tubuh dalam organisasi kemasyarakatan. Masyarakat
perlu diberikan bimbingan agar muncul kepedulian, partisipasi dan
tanggung jawab dalam penanganan penyandang cacat.

e. Kebutuhan Pelayanan umum


Fasilitas untuk penyandang cacat di tempat umum hampir tidak ada,
seperti jalur khusus, toilet dan boks telepon bagi pengguna kursi roda.
(Departemen Sosial, 2008)
D. Konsep Keperawatan Komunitas
1. Pengkajian
Pengkajian adalah upaya pengumpulan data secara lengkap dan
sistematis terhadap masyarakat untuk dikaji dan dianalisis sehingga
masalah kesehatan yang dihadapi oleh masyarakat baik individu,
keluarga atau kelompok yang menyangkut permasalahan pada fisiologis,
psikologis dan sosial ekonomi maupun spiritual dapat ditentukan.
Pengkajian keperawatan komunitas merupakan suatu proses tindakan
untuk mengenal komunitas. Mengidentifikasi faktor positif dan negatif
yang berbenturan dengan masalah kesehatan dari masyarakat hingga
sumber daya yang dimiliki komunitas dengan tujuan merancang strategi
promosi kesehatan. Dalam tahap pengkajian ini terdapat lima kegiatan,
yaitu : pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, perumusan atau
penentuan masalah kesehatan masyarakat dan prioritas masalah.
a. Pengumpulan Data
Tujuan: Pengumpulan data dimaksudkan untuk memperoleh
informasi mengenai masalah kesehatan pada masyarakat sehingga
dapat ditentukam tindakan yang harus diambil untuk mengatasi
masalah tersebut yang menyangkut aspek fisik, psikologis, sosial
ekonomi dan spiritual serta factor lingkungan yang
mempengaruhinya. Kegiatan pengkajian yang dilakukan dalam
pengumpulan data meliputi :
1) Data inti
a) Riwayat atau sejarah perkembangan komunitas
b) Data demografi
c) Vital statistic
d) Status kesehatan komunitas
2) Data lingkungan fisik
a) Pemukiman
b) Sanitasi
c) Fasilitas
d) Batas-batas wilayah
e) Kondisi geografis
3) Pelayanan Kesehatan Dan Sosial
a) Pelayanan kesehatan
b) Fasilitas sosial (pasar, took, swalayan)
4) Ekonomi
a) Jenis pekerjaan
b) Jumlah penghasilan rata-rata tiap bulan
c) Jumlah pengeluaran rata-rata tiap bulan
d) Jumlah pekerja dibawah umur, ibu rumah tangga, dan lanjut
usia
5) Keamanan dan transportasi
a) Keamanan
b) Transportasi
6) Politik dan pemerintahan
a) System pengorganisasian
b) Struktur organisasi
c) Kelompok organisasi dalam komunitas
d) Peran serta kelompok organisasi dalam kesehatan
7) System komunikasi
a) Sarana umum komunikasi
b) Jenis alat komunikasi dan digunakan dalam komunitas
c) Cara penyebaran informasi
8) Pendidikan
a) Tingkat pendidikan komunitas
b) Fasilitas pendidikan yang tersedia (formal dan non formal)
c) Jenis bahasa yanhg digunakan
9) Rekreasi
a) Kebiasaan rekreasi
b) Fasilitas tempat rekreasi
b. Jenis Data
Jenis data secara umum dapat diperoleh dari
1) Data Subjektif
Yaitu data yang diperoleh dari keluhan atau masalah yang
dirasakan oleh individu, keluarga, kelompok dan komunitas,
yang diungkapkan secara langsung melalui lisan.
2) Data Objektif
Data yang diperoleh melalui suatu pemeriksaan, pengamatan
dan pengukuran.
c. Sumber Data
1) Data primer
Data yang dikumpulakn oleh pengkaji dalam hal ini mahasiswa
atau perawat kesehatan masyarakat dari individu, keluarga,
kelompok dan komunitas berdasarkan hasil pemeriksaan atau
pengkajian.
2) Data sekunder
Data yang diperoleh dari sumber lain yang dapat dipercaya,
misalnya : kelurahan, catatan riwayat kesejatan pasien atai
medical record. (Wahit, 2005)
d. Cara Pengumpulan Data
1) Waancara atatu anamnesa
2) Pengamatan
3) Pemeriksaan Fisik
e. Pengolahan Data
1) Klasifikasi data atau kategorisasi data
2) Perhitungan prosentase cakupan dengan menggunakan telly
3) Tabulasi data
4) Interpretasi data
(Anderson and Mc Farlane 1988. Community as Client
2. Analisis Data
Tujuan analisis data :
a. Menetapkan kebutuhan komuniti
b. Menetapkan kekuatan
c. Mengidentifikasi pola respon komuniti
d. Mengidentifikasi kecenderungan penggunaan pelayanan kesehatan
e. Penentuan masalah atau perumusan masalah kesehatan
3. Prioritas masalah
Prioritas masalah kesehatan masyarakat dan keperawatan perlu
mempertimbangkan berbagai factor sebagai criteria:
a. Perhatian masyarakat
b. Prevalensi kejadian
c. Berat ringannya masalah
d. Kemungkinan masalah untuk diatasi
e. Tersedianya sumber daya masyarakat
f. Aspek politis.
Prioritas masalah juga dapat ditentukan berdasarkan hirarki kebutuhan
menurut Abraham H. Mashlow yaitu:
a. Keadaan yan mengancam kehidupan
b. Keadaan yang mengancam kesehatan
c. Persepsi tentang kesehatan dan keperawatan
4. Diagnosa keperawatan
Diagnosis keperawatan adalah respon individu pada masalah kesehatan
baik yang actual maupun potensial. Masalah actual adalah masalah yang
diperoleh pada saat pengkajian, sedangkan masalah potensial adalah
masalah yang mungkin timbul kemudian. (American Nurses Of
Association (ANA). Dengna demikian diagnosis keperawatan adalah
suatu pernyataan yang jelas, padat dan pasti tentang status dan masalah
kesehatan pasien yang dapat diatasi dengan tindakan keperawatan.

5. Perencanaan
a. Tahapan pengembangan masyarakat:
b. Persiapan, penentuan prioritas daerah
c. Pengorganisasian, pembentukan pokjakes.
d. Tahap diklat
e. Tahap kepemimpinan
f. Koordinasi intersektoral
g. Akhir, supervisi atau kunjungan bertahap.
6. Pelaksanaan/Implementasi
a. Tanggung jawab melaksanakan kegiatan:
b. Bantuan mengatasi masalah kurang
c. Nutrisi, mempertahankan kondisi seimbang, meningkatkan kesehatan
d. Mendidik komunitas tentang perilaku sehat untuk mencegah kurang
gizi
e. Advokat komunitas.
7. Evaluasi atau penilaian
Dilakukan dengan konsep evaluasi struktur, proses, hasil.
Fokus:
a. Relevansi antara kenyataan dengan target
b. Perkembangan/ kemajuan proses, kesesuaian dg perencanaan, peran
pelaksana, fasilitas dan jumlah peserta
c. Efisiensi biaya, bagaimana mencari sumber dana
d. Efisiensi kerja, apakah tujuan tercapai, apakah masyarakat puas.
e. Dampak, apakah terjadi perubahan status kesehatan. lama.
8. Proses Evaluasi
a. Menilai respon verbal dan nonverbal
b. Mencatat adanya kasus baru yg dirujuk ke RS
Data Diagnosa NOC NIC
(NANDA/INCP)
Kasus agregat Domain 1: Kriteria hasil
populasi rentan: Promosi kesehatan yang diharapkan 1. Manajemen
lingkungan
- Data Defisiensi kesehatan atau skala target
komunitas
wawancara komunitas (00215)
outcome: 2. Skrinning
- Winsheild Definisi :
kesehatan
survey Adanya satu atau lebih dipertahankan
3. Pendidikan
- Data masalah kesehatan atau
pada..................di kesehatan
angket/kuesio faktor yang mengganggu
4. Peningkatan
ner kesejahteraan atau tingkatkan
kesadaran
- Data meningkatkan resiko
ke.................... kesehatan
sekunder masalah kesehatan yang
5. Identifikasi
dialami oleh suatu Skala1–5(Sangat
resiko
kelompok.
terganggu,banyak
,cukup,sedikit,tida
k)
- Status
kesehatan
komunitas

Domain 1:
Promosi kesehatan Kriteria hasil
Ketidakefektifan yang diharapkan
pemeliharaan kesehatan atau skala target 1. Bimbingan
antisipatif
(00099) outcome:
2. Peningkatan
Definisi : dipertahankan koping
3. Pendidikan
Ketidakmampuan pada..................di
kesehatan
mengidentifikasi , tingkatkan 4. Skrinning
kesehatan
mengelola, dan/atau ke....................
5. Dukungan
mencari bantuan untuk Skala1–5(Sangat kelompok
6. Identifikasi
mempertahankan terganggu,banyak
resiko
kesehatan. ,cukup,sedikit,tida
k)
- Pengetahu
an :
promosi
kesehatan
- Dukungan
sosial
- Deteksi
resiko
DAFTAR PUSTAKA

Departemen Sosial RI. 2008, Standarisasi Pelayanan Dan Rehabilitasi Sosial


Penyandang Cacat Tubuh

Iskandar Hoesin. 2003. Perlindungan Terhadap Kelompok Rentan (wanita, anak,


minoritas, suku terasing, dll) Dalam Perspektif Hak Asasi Manusia

Maramis, W.F. 2010. Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Surabaya: Airlangga


University Press.

Maslim, Rusdi. 2002. Buku Saku Diagnosis Gangguan Jiwa (PPDGJ III). Jakarta :
FK Unika Atmajaya.

Nasir A dan Muhith A. 2011. Dasar-Dasar Keperawatan Jiwa. Jakarta : Salemba


Medika.

National Institute of Mental Health (NIMH). 2011. The Numbers Count Mental
Disorders in America.

Yosep,Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung : PT. Refika Aditama.

Anda mungkin juga menyukai