PENDAHULUAN
Tuberculosis paru adalah penyakit infeksi pada paru yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis yaitu suatu bakteri yang tahan asam (Suriadi, 2001).
Tuberculosis adalah penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis. Kuman batang tahan aerobic dan tahan asam inidapat merupakan organisme
patogen maupun saprofit (Silvia A Price, 2005).
2.2 Patofisiologi
Individu terinfeksi melalui droplet nuclei dari pasien TB paru ketika pasien batuk,
bersin, tertawa. droplet nuclei ini mengandung basil TB dan ukurannya kurang dari 5 mikron
dan akan melayanglayang di udara. Droplet nuclei ini mengandung basil TB. Saat
Mikobakterium tuberkulosa berhasil menginfeksi paru-paru, maka dengan segera akan
tumbuh koloni bakteri yang berbentuk globular. Biasanya melalui serangkaian reaksi
imunologis bakteri TB paru ini akan berusaha dihambat melalui pembentukan dinding di
sekeliling bakteri itu oleh sel-sel paru. Mekanisme pembentukan dinding itu membuat
jaringan di sekitarnya menjadi jaringan parut dan bakteri TB paru akan menjadi dormant
(istirahat). Bentuk-bentuk dormant inilah yang sebenarnya terlihat sebagai tuberkel pada
pemeriksaan foto rontgen.
Sistem imun tubuh berespon dengan melakukan reaksi inflamasi. Fagosit
(neutrofil dan makrofag) menelan banyak bakteri; limpospesifik-tubercolosis melisis
(menghancurkan) basil dan jaringan normal. Reaksi jaringan ini mengakibatkan
penumpukan eksudat dalam alveoli, menyebabkan bronkopneumonia dan infeksi awal
terjadi dalam 2-10 minggu setelah pemajanan.
Massa jaringan paru yang disebut granulomas merupakan gumpalan basil yang
masih hidup. Granulomas diubah menjadi massa jaringan jaringan fibrosa, bagian
sentral dari massa fibrosa ini disebut tuberkel ghon dan menajdi nekrotik membentuk
massa seperti keju. Massa ini dapat mengalami klasifikasi, membentuk skar
kolagenosa. Bakteri menjadi dorman, tanpa perkembangan penyakit aktif. Setelah
pemajanan dan infeksi awal, individu dapat mengalami penyakit aktif karena
gangguan atau respon yang inadekuat dari respon system imun. Penyakit dapat juga
aktif dengan infeksi ulang dan aktivasi bakteri dorman. Dalam kasus ini, tuberkel ghon
memecah melepaskan bahan seperti keju dalam bronki. Bakteri kemudian menjadi
tersebar di udara, mengakibatkan penyebaran penyakit lebih jauh. Tuberkel yang
menyerah menyembuh membentuk jaringan parut. Paru yang terinfeksi menjadi lebih
membengkak, menyebabkan terjadinya bronkopneumonia lebih lanjut.
Tempat kelainan lesi TB paru yang perlu dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila
dicurigai infiltrat yang agak luas, maka akan didapatkan perkusi yang redup dan
auskultasi nafas bronkial. Selain itu juga dijumpai suara nafas tambahan berupa ronkhi
basah, kasar, dan nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara
nafasnya menjadi vesikular melemah. Pada limfadenitis tuberculosis, terlihat
pembesaran kelenjar getah bening, paling sering dijumpai pada daerah leher, kadang-
kadang dai daerah aksila. Pembesaran kelenjar tersebut dapat menjadi “cold abscess”.
2.4 Klasifikasi Penyakit Tuberkulosis.
a. Tuberkulosis paru merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu sekitar
80 % dari semua penderita. Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru-paru
ini merupakan satusatunya bentuk dari TB yang mudah menular.
b. Tuberkulosis ekstra paru merupakan bentuk penyakit TBC yang menyerang
organ tubuh lain, selain paru-paru seperti pleura, kelenjar limpe, persendian
tulang belakang, saluran kencing, susunan syaraf pusat dan perut. Pada
dasarnya penyakit TBC ini tidak pandang bulu karena kuman ini dapat
menyerang semua organ-organ dari tubuh.
Infeksi Primer
Infeksi primer terjadi saat seseorang terpapar pertama kali dengan kuman
TBC. Percikan dahak yang terhirup sangat kecil ukurannya, sehingga dapat
melewati sistem pertahanan mukosilierbronkus, dan terus berjalan sehingga
sampai di alveolus dan menetap disana. Infeksi dimulai saat kuman TBC
berhasil berkembang biak dengan cara membelah diri di paru, yang
mengakibatkan peradangan di dalam paru. Saluran limfe akan membawa
kuman TBC ke kelenjar limfe disekitar hilus paru dan ini disebut sebagai
kompleks primer. Waktu antara terjadinya infeksi sampai pembentukan
kompleks primer adalah sekitar 4-6 minggu.
Untuk terpapar penyakit TBC pada seseorang dipengaruhi oleh beberapa faktor
seperti: status sosial ekonomi, status gizi, umur, jenis kelamin, dan faktor toksis untuk
lebih jelasnya dapat kita jelaskan seperti uraian dibawah ini :
2. Status Gizi.
Keadaan malnutrisi atau kekurangan kalori, protein, vitamin, zat besi dan
lain-lain, akan mempengaruhi daya tahan tubuh sesoeranga sehingga rentan
terhadap penyakit termasuk TB-Paru. Keadaan ini merupakan faktor penting yang
berpengaruh dinegara miskin, baik pada orang dewasa maupun anak-anak.
3. Umur.
Penyakit TB-Paru paling sering ditemukan pada usia muda atau usaia
produktif (15 – 50) tahun. Dewasa ini dengan terjaidnya transisi demografi
menyebabkan usia harapan hidup lansia menjadi lebih tinggi. Pada usia lanjut
lebih dari 55 tahun sistem imunologis seseorang menurun, sehingga sangat rentan
terhadap berbagai penyakit, termasuk penyakit TB-Paru.
4. Jenis Kelamin.
1.Gejala Sistemik/Utama
a) Demam tidak terlalu tinggi yang berlangsung lama, biasanya dirasakan malam
hari disertai keringat malam.
b) Kadang-kadang serangan demam seperti influenza dan bersifat hilang timbul.
c) Penurunan nafsu makan dan berat badan.
d) Batuk-batuk selama lebih dari 3 minggu (dapat disertai dengan
darah).
e) Perasaan tidak enak (malaise), lemah.
2. Gejala Khusus
Berkaitan dengan perjalanan alamiah dan peranan Agent, Host dan Lingkungan dari
TBC, maka tahapan pencegahan yang dapat dilakukan antara lain :
a. Pencegahan Primer
Dengan promosi kesehatan sebagai salah satu pencegahan TBC paling efektif,
walaupun hanya mengandung tujuan pengukuran umum dan mempertahankan standar
kesehatan sebelumnya yang sudah tinggi.Proteksi spesifik dengan tujuan pencegahan
TBC yang meliputi ;
1. Imunisasi Aktif, melalui vaksinasi BCG secara nasional dan internasional pada
daerah dengan angka kejadian tinggi dan orang tua penderita atau beresiko tinggi
dengan nilai proteksi yang tidak absolut dan tergantung Host tambahan dan
lingkungan,
2. Chemoprophylaxis, obat anti TBC yang dinilai terbukti ketika kontak dijalankan
dan tetap harus dikombinasikan dengan pasteurisasi produk ternak,
3. Pengontrolan Faktor Prediposisi, yang mengacu pada pencegahan dan
pengobatan diabetes, silicosis, malnutrisi, sakit kronis dan mental.
b. Pencegahan Sekunder
Dengan diagnosis dan pengobatan secara dini sebagai dasar pengontrolan kasus
TBC yang timbul dengan 3 komponen utama ; Agent, Host dan Lingkungan. Kontrol
pasien dengan deteksi dini penting untuk kesuksesan aplikasi modern kemoterapi
spesifik, walau terasa berat baik dari finansial, materi maupun tenaga. Metode tidak
langsung dapat dilakukan dengan indikator anak yang terinfeksi TBC sebagai pusat,
sehingga pengobatan dini dapat diberikan. Selain itu, pengetahuan tentang resistensi obat
dan gejala infeksi juga penting untuk seleksi dari petunjuk yang paling efektif.Langkah
kontrol kejadian kontak adalah untuk memutuskan rantai infeksi TBC, dengan imunisasi
TBC negatif dan Chemoprophylaxis pada TBC positif. Kontrol lingkungan dengan
membatasi penyebaran penyakit, disinfeksi dan cermat mengungkapkan investigasi
epidemiologi, sehingga ditemukan bahwa kontaminasi lingkungan memegang peranan
terhadap epidemi TBC. Melalui usaha pembatasan ketidakmampuan untuk membatasi
kasus baru harus dilanjutkan, dengan istirahat dan menghindari tekanan psikis.
c. Pencegahan Tersier
1. Oleh penderita, dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan
membuang dahak tidak disembarangan tempat.
2. Oleh masyarakat dapat dilakukan dengan meningkatkan dengan terhadap bayi harus
harus diberikan vaksinasi BCG.
3. Oleh petugas kesehatan dengan memberikan penyuluhan tentang penyakit TB yang
antara lain meliputi gejala bahaya dan akibat yang ditimbulkannya.
4. Isolasi, pemeriksaan kepada orang-orang yang terinfeksi, pengobatan khusus TBC.
Pengobatan mondok dirumah sakit hanya bagi penderita yang kategori berat yang
memerlukan pengembangan program pengobatannya yang karena alasan-alasan
sosial ekonomi dan medis untuk tidak dikehendaki pengobatan jalan.
5. Des-Infeksi, Cuci tangan dan tata rumah tangga kebersihan yang ketat, perlu
perhatian khusus terhadap muntahan dan ludah (piring, hundry, tempat tidur,
pakaian), ventilasi rumah dan sinar matahari yang cukup.
6. Imunisasi orang-orang kontak. Tindakan pencegahan bagi orang-orang sangat dekat
(keluarga, perawat, dokter, petugas kesehatan lain) dan lainnya yang terindikasi
dengan vaksin BCG dan tindak lanjut bagi yang positif tertular.
7. Penyelidikan orang-orang kontak. Tuberculin-test bagi seluruh anggota keluarga
dengan foto rontgen yang bereaksi positif, apabila cara-cara ini negatif, perlu diulang
pemeriksaan tiap bulan selama 3 bulan, perlu penyelidikan intensif.
8. Pengobatan khusus. Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-
obat kombinasi yang telah ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur,
waktu yang lama ( 6 atau 12 bulan). Diwaspadai adanya kebal terhadap obat-obat,
dengan pemeriksaan penyelidikan oleh dokter.
2.11 Manajemen Kesehatan pada TB Paru
Kebijakan Pengendalian TB paru di Indonesia
1. Pengendalian TB paru di Indonesia dilaksanakan sesuai dengan azas desentralisasi dalam
kerangka otonomi dengan Kbupaten/Kota sebagai titik berat manajemen program yang
meliputi: perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi serta menjamin ketersediaan
sumber daya (dana, tenaga, sarana dan prasarana)
2. Pengendalian TB paru dilaksanakan dengan menggunakan strategi DOTS dan
memperhatikan strategi Global Stop TB partnership
3. Penguatan kebijakan ditujukan untuk meningkatkan komitmen daerah terhadap program
pengendalian TB paru
4. Penguatan strategi DOTS dan pengembangannya ditujukan terhadap peningkatan mutu
pelayanan, kemudahan akses untuk penemuan dan pengobatan sehingga mampu
memutuskan rantai penularan dan mencegah terjadinya MDR-TB
5. Penemuan dan pengobatan dalam rangka pengendalian TB dilaksanakan oleh seluruh
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyenkes), meliputi Puskesmas, Rumah Sakit
Pemerintah Balai/Klinik Pengobatan, Dokter Praktek Swasta (DPS) dan fasilitas
kesehatan lainnya.
6. Pengendalian TB paru dilaksanakan melalui penggalangan kerja sama dan kemitraan di
antara sektor pemerintah, non pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam wujud Gerakan
Terpadu Nasional Pengendalian TB (Gedurnas TB)
7. Peningkatan kemampuan laboratorium diberbagai tingkat pelayanan ditujukan untuk
peningkatan mutu dan akses layanan
8. Obat anti tuberkulosis (OAT) untuk pengendalian TB diberikan secara cuma-cuma dan
dikelola dengan manajemen logistik yang efektif demi menjamin ketersediaannya.
9. Ketersediaan tenaga yang kompeten dalam jumlah yang memadai untuk meningkatkan
dan mempertahankan kinerja program
10. Pengendalian TB lebih diprioritaskan kepada kelompok miskin dan kelompok rentan
lainnya terhadap TB
11. Penderita TB tidak dijauhkan dari keluarga, masyarakat dan pekerjaannya
12. Memperhatikan komitmen internasional yang termuat dalam MDGs.
c. Pelaksanaan
Deteksi dini kasus TB dilakukan melalui skrining pasien TB di poliklinik
Puskesmas Togo-Togo pada tanggal 5 Maret – 21 April 2012. Ditemukan 8 penderita TB
klinis, masing-masing 3 pasien dengan sputum BTA positive, dan 5 pasien yang tidak
mempunyai hasil sputum BTA. Untuk ketiga pasien dilakukan pengobatan TB Kategori 1
dengan tahap Intensif selama 2 bulan dengan jumlah dosis 4 KDT (FDC) 3 tablet setiap
hari. Selanjutnya untuk kelima pasien tersebut akan dilakukan kunjungan secara aktif ke
rumah pasien untuk melakukan pengambilan sputum dan penyuluhan kecil dalam
keluarga pasien.
d. Evaluasi
Dari ketiga kasus dengan TB paru positive dilakukan pengkajian mendalam pada mini
project ini. Maka laporan kasus yang ditemukan adalah sebagai berikut.
1. Identitas Pasien
Nama : Ny. SC
Umur : 46 tahun
2. Anamnesis
Wanita, 46 tahun datang ke poliklinik dengan batuk berdahak selama 4 bulan, tidak
disertai darah, kadang-kadang sesak nafas, badan lemas, nafsu makan menurun, berat
badan menurun, berkeringat malam hari tanpa kegiatan fisik, dan demam meriang lebih
dari satu bulan.
3. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan umum : Sakit sedang/Gizi kurang/Komposmentis
b. Semua dalam batas normal, kecuali pada pemeriksaan thorax:
c. Inspeksi : Simetris kanan sama dengan kiri
d. Palpasi : vocal fremitus kanan sama dengan kiri
e. Perkusi : Sonor kanan sama dengan kiri
f. Auskultasi : Bunyi pernapasan : Bronkovesikular Bunyi tambahan ; Rhonki
+/+, wheezing -/-
Setelah dilakukan pemeriksaan fisik pasien tersebut secara klinis didiagnosis
suspek TB paru Klinis kemudian dilakukan pemeriksaan sputum BTA 3X (sewaktu-pagi-
sewaktu). Dan dari hasil pemeriksaan BTA ditemukan hasil sputum BTA (++). Setelah
diagnosis ditegakkan maka dimulai pengobatan tahap Intensif selama 2 bulan dengan
memberikan 4KDT (FDC) 3 tablet sehari. Kemudian dilakukan monitoring pengobatan
dengan kunjungan ke rumah sekaligus melakukan penyuluhan kecil terhadap pasien
dengan keluarga mengenai TB Paru.
Laporan Kunjungan :
Sampai tahap ini pasien telah mengkonsumsi obat TB selama 1 bulan 1 minggu
terhitung sejak tanggal 13 Maret 2012. Pada bulan kedua pengobatan akan dilakukan
pemeriksaan sputum BTA untuk evaluasi keberhasilan obat TB tahap Intensif.
e. Kesimpulan
Berdasarkan hasil kunjungan ke tempat tinggal pasien, respon terapi obat TB
memberikan respon efek yang sangat baik terhadap keadaan umum pasien dimana
kepatuhan pasien dalam mengkonsumsi obat TB dinilai sangat baik sehingga dapat
memperbaiki keadaan umum pasien dan mencegah penularan penderita terhadap
keluarganya sendiri. Hal ini dikaitkan dengan penelitian-penelitian yang telah dilakukan
bahwa dengan kepatuhan pasien meminum obat TB selama minimal selama 2 minggu
sudah dapat menurunkan angka virulensi bakteri Mycobacterium tuberculosis.
Sebagai saran untuk pihak Puskesmas agar memberikan pelatihan terhadap kader
kesehatan mengenai TB Paru. Serta lebih meningkatkan kualitas data statistik setiap kasus
penyakit pada umumnya dan TB Paru pada khususnya untuk membantu dalam proses
penetapan kebijakan-kebijakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Jeneponto.
BAB III
PENUTUP
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI. 2011. Rencana Aksi Nasional: Programmatic management of Drug Resistance
Tuberculosis Pengendalian Tuberkulosis Indonesia 2011–2014. Kementerian Kesehatan
RI Direktorat Jendral Pengendalian PP&PL.