Anda di halaman 1dari 32

PENDAHULUAN

A. Lata Belakang

Di dalam Al-qur’an telah di jelaskan bahwa hanya milik Allah

lah segala yang ada di dunia begitupun pada harta yang kita miliki,

manusia hanyalah sebagai pengelola. Tujuan dalam memiliki harta

pun tidak lain yang utama adalah untuk menambah ketakwaan

kepada-Nya, dan dalam aspek sosial agar mendistribusikan kekayaan

yang di miliki karena dalam harta kita ada bagian milik orang lain

yang membutuhkan, agar harta itu tidak beredar pada orang-orang

kaya saja.

Al-Qur’an menyebut kata al-mal (harta) tidak kurang dari 86

kali. Penyebutan berulang-ulang terhadap sesuatu di dalam al-Qur’an

menunjukkan adanya perhatian khusus dan penting terhadap sesuatu

itu. Harta merupakan bagian penting dari kehidupan yang tidak

dipisahkan dan selalu diupayakan oleh manusia dalam kehidupannya

terutama di dalam Islam.


Salah satu titik terpenting dalam sistem kepemilikan dalam Al-

Quran adalah pengakuan bahwa alam semesta beserta isinya adalah

milik Allah. Di dalam Al-Quran Allah swt berfirman:

ِ‫ِو ّإنِت ُ أبد ُواْ ِ َماِفّ ٓي ِأَنفُ ّس ُك أم ِأ َ أو ِت ُ أخفُوهُ ِيُ َحا ّس أب ُكمِبّ ّه َه‬
ِ‫ِٱِّلُ ِفَ َي أغ ّف ُر‬ َ ‫ض‬ ‫ِو َماِفّ أ‬
ِۗ ّ ‫يِٱۡل َ أر‬ َ ‫ت‬ّ ‫س َٰ َم َٰ َو‬ َِ ‫ّل‬
َ ‫ِّلّ ِ َماِفّيِٱل‬

ٌ ‫علَ َٰىِ ُك ّللِش أَي ٖءِقَد‬


٢٨٤ِ‫ّير‬ َ ‫ِو‬
َ ُِ‫ٱِّل‬ َ ‫شا ٓ ِۗ ُء‬ ُ ‫ِويُ َعذل‬
َ ‫ّبِ َمنِ َي‬ َ ‫شا ٓ ُء‬
َ ‫ّل َمنِ َي‬

“Kepunyaan Allah-lah segala apa yang ada di langit dan apa

yang ada di bumi. Dan jika kamu melahirkan apa yang ada di dalam

hatimu atau kamu menyembunyikan, niscaya Allah akan membuat

perhitungan dengan kamu tentang perbuatanmu itu. Maka Allah

mengampuni siapa yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang

dikehendaki-Nya; dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Al-

Baqarah: 284)

Harta (al-mal) merupakan bagian pokok dalam kehidupan

manusia, unsur dharuri yang tidak bisa ditinggalkan dengan begitu

saja. Dengan harta manusia dapat memenuhi kebutuhannya, baik yang

bersifat materi maupun immateri. Dalam kerangka memenuhi

kebutuhan tersebut, terjadilah hubungan horizontal antar manusia

(mu’amalah), karena pada dasarnya tidak ada manusia yang sempurna

dan dapat memenuhi kebutuhannya sendiri, akan tetapi saling

membutuhkandan terkait dengan manusia lainnya.


Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai objek transaksi,

harta bisa dijadikan objek dalam transaksi jual-beli, sewa-menyewa,

partnersip (kontrak kerja), atau transaksi ekonomi lainnya.

Harta (al-mal) merupakan bagian pokok dalam kehidupan

manusia, Dalam konteks tersebut, harta hadir sebagai objek transaksi,

harta bisa dijadikan objek dalam transaksi jual-beli, sewa-menyewa,

partnersip (kontrak kerja), atau transaksi ekonomi lainnya. Secara

asal, harta benda boleh dimiliki. Namun, terdapat beberapa kondisi

yang tidak memungkinkan untuk memiliki harta tersebut. Seperti harta

yang dikhususkan untuk memenuhi kebutuhan dan manfaat publik

(fasilitas umum) seperti jalan umum, jembatan, benteng, sungai, laut,

musium, perpustakaan dan lainnya. Dalam pandangan syar’i,

keberadaan harta yang ada di tangan manusia tidak serta merta dapat

dikosumsi, tetapi harus dilihat lebih dahulu dari berbagai aspek.

Didalam makalah ini, penulis ingin menjelaskan dengan detail

bagaimana kedudukan harta publik dan jenis-jenisnya, kemudia

bagaimana kriteria harta tersebut dikategorikan sebagai harta public

dana pa perbedaannya dengan harta non publik, semoga makalah ini

membantu pembaca dalam hal penambahan pengetahuan.


PEMBAHASAN

A. Pengertian Aset Publik (Public Goods)

Pengertian Aset

Menurut kamus Bahasa Indonesia asset adalah kekayaan atau

modal1[1] atau secara luas bisa juga dimaknai bahwa aset adalah

sebuah sumber ekonomi yang diharapkan dapat memberikan manfaat

usaha di masa mendatang.

Harta dalam bahasa Arab disebut, al-mal yang berasal dari kata

ِ ‫ ميال‬-‫ يميل‬-‫مال‬yang berarti condong, cenderung, dan miring (manusia

cenderung ingin memiliki dan menguasai harta).2[2]

Pengertian harta (‫)مال‬ menurut bahasa seperti yang

dikemukakan oleh Muhammad bin Abi Bakar ar-Razi ialah:

‫ِكثيرِالمال‬
ُ ‫ُِأي‬ْ ‫ِورجلِمال‬،‫ِمعروف‬:‫المال‬

Harta: sesuatu yang sudah dikenali, dan makna ِ ‫ورجل مال‬yakni

laki-laki banyak hartanya.3[3]

1[1]
Meity Taqdir Qodratullah, Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar, (Jakarta: BPPB
Kemendikbud RI, 2011), hlm 552.

2[2]
Dr. H. Hendi Suhendi, M.Si, Fiqih Muamalah. Jakarta:Rajawali Pers, 2010, hlm. 9

3[3]
Muhammad ibnu Abi Bakar Ar-Razi, Mukhtar Ash-Shahah, Mushthafa Al-Babiy Al-
Halabiy, Mesir 1338 H, hlm.504 disadur dari buku Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih
Muamalat. Jakarta:Amzah 2010, hlm. 54
Ar-Razi dalam kamusnya ini mengartikan harta dengan sesuatu

yang sudah dikenal, kerena memang harta sudah dikenal oleh semua

orang, sehingga ketika disebut lapaz "‫ "مال‬maka orang langsung

mengerti karena sudah mengetahuinya.

Muhammad Abu Zahrah juga mendefinisikan harta menurut

bahasa seperti di bawah ini:

.‫المالِفىِاللغةِكلِماِملكتهِمنِجميعِاالشياء‬

Harta dalam bahasa adalah segala sesuatu yang engkau

miliki.4[4]

Dan juga Wahbah Zuhaili mengemukakan pengertian harta menurut

bahasa seperti dibawah ini:

‫ِكلِماِيقتنىِويحوزهِاإلنسانِبالفعلِسواءِأكانِعيناِأوِمنفعة‬:‫المال‬

Harta adalah segala sesuatu yang dibutuhkan dan diperoleh

manusia secara langsung, baik berupa benda maupun manfaat.5[5]

Dari definisi tersebut dapat diambil intisari bahwa pengertian

harta menurut bahasa adalah seperti barang yang mungkin dimiliki

oleh manusia baik berupa benda ('ain) seperti emas, perak, tanah, dan

4[4]
Muhammad Abu Zahrah, Al-Milikiyah wa Nazhariyah Al'Aqd fi Asy-Syariah Al-
Islamiyah, Dar Al- Fikr Al-'Arabiy 1976, hlm 51 disadur dari buku Drs. H. Ahmad Wardi
Muslich, Fiqih Muamalat, hlm 55
5[5]
Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiyah wa Adilatuh, Juz 4, dar Al-Fikr, Damaskus,
cet.III 1989, hlm. 40 disadur dari buku Drs.H. Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat. hlm. 55
rumah maupun manfaat seperti kendaraan, pakaian dan tempat

tinggal.6[6]

Harta adalah sesuatu yang maujud dan dapat dipegang dalam

penggunaan dan manfaat pada waktu yang diperlukan.7[7] Ini

merupakan pendapat menurut ulama lainnya.

Adapun harta menurut istilah ahli fiqih terbagi dalam dua

pendapat:

1. Menurut Ulama Hanafiyah

.ً‫ازهُِويُ ْنتَفَ ُعِب ّهِعادَة‬ ْ ‫ِحيازَ تُه‬


ُ ‫ُِواخ َر‬ ُ
ّ ‫ِمايمكن‬‫المالُِك ُّل‬

Artinya:

"Harta adalah segala sesuatu yang mungkin diambil dan

dikuasai serta dimanfaatkan menurut adat kebiasaan"8[8]

Dari defenisi ini dapat dipahami bahwa untuk bisa dianggap

sebagai harta, harus memenuhi dua unsur:

6[6]
Ibid, hlm. 55

7[7]
A. Rahman I.Doi, Muamalah Syari'ah III. Jakarta:PT.Raja Grafindo Persada.1996,
hlm 17. Lihat juga A.Rahman I.Doi, Penjelasan lengkap hukum-hukum Allah (Syari'ah).
Jakarta:PT Raja Grafindo Persada 2002.
8[8]
Prof. DR. H. Rachmat Syafe'I, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001
hlm 22
 Dimiliki dan dikuasai. Apabila sesuatu itu tidak bisa dimiliki dan

dikuasai, maka tidak dianggap harta. Contohnya seperti udara dan

panasnya matahari.

 Dapat dimanfaatkan menurut adat kebiasaan. Apabila sesuatu itu

tidak dimanfaatkan menurut adat kebiasaan maka tidak dianggap

sebagai harta. Contohnya seperti satu biji beras, atau satu tetes air.

Hanafiyah membedakan antara harta dan milik sebagai berikut:

 Milik adalah segala sesuatu yang dapat digunakan secara khusus

dan tidak dicampuri penggunaannya oleh orang lain.

 Sedangkan harta adalah segala sesuatu yang dapat disimpan untuk

digunakan ketika dibutuhkan. Dan dalam penggunaannya, harta bisa

dicampuri orang lain. Jadi menurut Hanafiyah yang dimaksud harta

hanyalah sesuatu yang berwujud (a'yan).9[9]

2. Pendapat Menurut Jumhur Fuqaha

Defenisi harta menurut jumhur fuqaha, juga dikemukakan oleh

Wahbah Zuhaili:

‫فهوِكلِماِلهِقيمةِيلزمِمتلفهِبضمانه‬

"Harta adalah segala sesuatu yang bernilai yang mewajibkan

kepada orang yang merusaknya untuk menggantinya".


9[9]
Hendi Suhendi, op.cit. hlm. 10
Dari definisi ini dapat dipahami bahwa harta ialah segala

sesuatu yang mempunyai nilai, baik berupa benda yang kelihatan,

seperti hak dan manfaat. Definisi ini sesuai dengan pendapat yang

dikemukakan oleh Imam Asy-Syafi'i:

َ
[10]10‫الِيقعِاسمِمالِإالِعلىِمالهِقيمةِيباعِفيهاِويلزمِمتلفهِوإنِقلت‬

Dari dua definisi ini terlihat bahwa adanya perbedaan

pandangan antara Hanafiyah dan Jumhur. Hanafiyah berpendapat

bahwa manfaat bukan termasuk harta, sedangkan jumhur berpendapat

bahwa manfaat itu termasuk harta, sebab yang penting dari suatu

benda adalah manfaatnya bukan zatnya. Yang dimaksud manfaat

disini adalah faedah atau kegunaan yang dihasilkan dari benda yang

tampak, seperti menempati rumah, atau mengendarai mobil.

Pengertian Publik

Publik adalah mengenai orang atau masyarakat, dimiliki

masyarakat, serta berhubungan dengan, atau memengaruhi suatu

bangsa, negara, atau komunitas. Publik biasanya dilawankan dengan

swasta atau pribadi, seperti pada perusahaan publik, atau suatu jalan.

Publik juga kadang didefinisikan sebagai masyarakat suatu bangsa

yang tidak berafiliasi dengan pemerintahan bangsa tersebut. Dalam

10[10]
Jalaluddin As-Sayuthi, Al-Asybah wa An-Nazhair fi Al-Furu', Dar Al-Fikr, hlm. 197
bahasa Indonesia, penggunaan kata “publik” sering diganti dengan

“umum”, misalnya perusahaan umum dan perusahaan publik.11[11]

Dalam lingkup organisasi/ perusahaan publik dibedakan

menjadi:

1. Publik internal dan publik eksternal

2. Publik primer, sekunder, dan marjinal

3. Proponent (publik yang memihak), opponent (publik yang

menentang), dan uncommitted yang berarti publik yang tidak

peduli. Sebagai perbandingan, saat suatu perusahaan memiliki

40 dari 50 karyawan yang uncommitted maka perusahaan dapat

dikatakan "tidak sehat".

4. Mayoritas diam (silent majority) dan minoritas vokal (vocal

minority)

Pengertian Aset Publik

Harta yang telah ditetapkan hak miliknya oleh as-syari’ (Allah),

dan menjadikan harta tersebut milik bersama. Benda-benda yang

tergolong kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah

dinyatakan oleh al-shari' sebagai benda-benda yang dimiliki

11[11]
https://id.wikipedia.org/wiki/Publik
komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh dikuasai oleh hanya

seorang saja. Karena milik umum, maka setiap individu dapat

memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.

Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah

ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim sehingga

kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim. Individu-

individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut,

namun terlarang memilikinya secara pribadi.

B. Jenis dan macam Aset Publik

Setidak-tidaknya, benda yang dapat dikelompokkan ke dalam

kepemilikan umum ini, ada tiga jenis, yaitu12[12]:

1. Harta milik umum jenis pertama.

Harta milik umum jenis pertama adalah barang tambang

(sumber alam) yang jumlahnya tak terbatas, yaitu barang tambang

yang diprediksi oleh para ahli pertambangan mempunyai jumlah yang

sangat berlimpah. Hasil dari pendapatannya merupakan hasil milik

bersma dan dapat dikelola oleh Negara, atau Negara menggaji tim ahli

dalam pengelolaannya.

12[12]
As-Sarakhsi, al-Mabsûth, xxiii/164, Dar al-Ma’rifah, Beirut. 1406.
Adapun barang yang jumlahnya sedikit dan sangat terbatas

dapat digolongkan kedalam milik pribadi. Hal ini seperti Rasulullah

SAW, membolehkan bilal bin Harist al-Mazany memiliki barang

tambang yang sudah ada (sejak dahulu) dibagian wilayah hijaz, pada

saat itu bilal telah meminta kepada Rosulullah agar memberikan

daerah tambang tersebut kepadanya, dan beliaupun memberikannya

kepada bilal dan boleh dimilikinya.

Oleh karena itu pertambangan emas, perak dan barang tambang

lainnya yang jumlah(depositnya) sangat sedikit tidak ekonomis dan

bukan untuk diperdagangkan maka digolongkan milik pribadi.

Seseorang boleh memilikinya seperti halnya juga Negara boleh

memberikan barang tambang seperti itu kepada mereka. Hanya saja

mereka membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya

kepada baitul mal, baik yang dieksploitasinya itu sedikit ataupun

banyak.

Adapun barang tambang yang jumlahnya banyak dan

(depositnya) tidak terbatas, menurut Abdullah, tergolong pemilikan

umum bagi seluruh rakyat, sehingga tidak boleh dimiliki oleh seorang

atau beberapa orang. Tidak boleh diberikan kepada seorang ataupun

orang tertentu.
Menurut al-Maliki, tidak ada perbedaan antara barang tambang

terbuka (terdapat dipermukaan bumi), yang ekploitasinya tidak

memerlukan usaha yang berat, seperti garam, dan (batu) celak mata,

dengan barang tambang yang terdapat diperut bumi, yang

eksploitasinya memerlukan usaha yang berat, seperti emas, perak,

besi, tembaga, maupun yang bentuk cair seperti minyak bumi, atau

berbentuk gas seperti gas alam.

Eksploitasi barang-barang tambang, terutama yang berada

dalam perut bumi baik berbentuk cairan maupun padat dan

memerlukan peralatan dan industri. Maka Negara wajib

mengeluarkannya untuk memenuhi kebutuhan rakyat, karena

tergolong harta milik umum.

Dalil yang dijadikan dasar untuk barang tambang yang

(depositnya) berjumlah banyak dan tidak terbatas sebagai bagian dari

pemilik umum adalah hadist yang diriwayatkan dari Abidh bin hamal

sl-mazany yang artinya:

“Sesungguhnya seorang laki-laki bermaksud meminta (tambang)

garam kepada Rasulullah, maka beliau memberikannya. Tatkala

beliau memberikannya, berkata salah seorang laki-laki yang ada

dalam majlis, “apakah engkau mengetahui apa yang telah engkau


berikan kepadanya? Sesungguhnya apa yang telah engkau berikan itu

laksana (memberikan) air yang mengalir” akhirnya beliau bersabda:

(kalau begitu) tarik kembali darinya” (HR abu daud)

Rasulullah saw. pernah mengambil kebijakan untuk

memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hammal al-Mazini.

Namun, kebijakan tersebut kemudian ditarik kembali oleh Rasulullah

setelah mengetahui tambang yang diberikan Abyadh bin Hammal

laksana air yang mengalir.13[13]

Yang perlu diketahui, apabila barang tambang dilakukan

dengan menggunakan alat-alat dan industri yang dimiliki Negara,

maka kepemilikan atas peralatan dan industri tersebut boleh tetap

menjadi milik Negara, namun Negara boleh mengubahnya menjadi

milik umum. Dan apabila eksploitasi barang tambang yang dilakukan

Negara menggunakan peralatan dan industri milik perorangan, maka

yang bersangkutan memperoleh upah sebagai ganti rugi usaha/ atau

jasa dan manfaat yang diberikannya, atau alat yang disewakannya.

Namun, yang perlu diperhatikan disini, jika kepemilikan seseorang

atas alat-alat dan industri ini bukan berarti boleh melakukan

13[13]
Abu ‘Ubaid al-Qasim, Ensiklopedia Keuangan Publik (al-Amwal), cetk. I, alih
bahasa Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Gema Insani, 2006), hlm. 362-362.
eksploitasi barang tambang yang jumlahnya banyak untuk

kepentingan mereka sendiri.

Dengan demikian, eksploitasi barang tambang yang jumlahnya

banyak, boleh menggunakan peralatan dan industri milik Negara dan

industri milik individu.

Tipe lain dari hak milik adalah pemilikan secara umum

(kolektif). Konsep hak milik umum pada mulanya digunakan dalam

islam dan tidak terdapat pada masa sebelumnya. Hak milik dalam

islam tentu saja memiliki makna yang sangat berbeda dan tidak

memiliki persamaan langsung dengan apa yang dimasud oleh sistem

kapitalis, sosialis dan komunis. Maksudnya, tipe ini memiliki bentuk

yang berbeda beda. Misalnya: semua harta milik masyarakat yang

memberikan pemilikan atau pemanfaatan atas berbagai macam benda

yang berbeda-beda kepada warganya. Sebagian dari benda yang

memberikan manfaat besar pada masyarakat berada di bawah

pengawasan umum, sementara sebagian yang lain diserahkan kepada

individu. Pembagian mengenai harta yang menjadi milik masyarakat

dengan milik individu secara keseluruhan berdasarkan kepentingan

umum. Contoh lain, tentang pemilikan harta kekayaan secara

kolektif adalah wakaf.


2. Harta milik umum jenis kedua.

Harta milik umum jenis kedua adalah sarana umum diperlukan

bagi seluruh rakyat yang diperlukan dalam pemenuhan hidup sehari-

hari, yang tidak akan menyebabkan perpecahan, seperti air. Rasulullah

telah menjelaskan mengenai sifat-sifat saran umum, dalam hal ini dari

hadist Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda:

ِ‫والنار‬,‫والكالء‬,‫المسلمونِشركاءِفيِثالثِفيِالماء‬
ّ

“kaum Muslim itu berserikat dalam tiga hal, yaitu air, padang

rumput, dan api”

Air, padang rumput dan api merupakan sebagian harta yang

pertama kali diperbolehkan Rasulullah umtuk seluruh manusia.

Harta ini tidak terbatas yangdisebutkan pada hadist diatas, tetapi

meliputi setiap benda yang didalamnya terdapat sifat-sifat sarana

umum.

Mencermati secara tepat, maka apa yang disebut sarana umum

adalah bahwa seluruh manusia membutuhkannya dalam kehidupan

sehari-hari. Dan jika sarana tersebut hilang maka manusia kesusahan

dalam mencarinya. Setiap alat yang dipergunakan di dalamnya, karena

hukum dan status kepemilikannya sama, yaitu sebagai milik umum.

Demikian juga alat-alat pembangkit listrik yang dibangun diatas air


(sumber) keperluan seperti saluran dan sungai, tiang-tiang

penyangganya, dan alat-alat lain yang diperlukan, sebab alat-alat ini

menghasilkan listrik dari hasil umum, sehingga status hukum alat-alat

ini juga sama milik umum. Menurut Labib, jika alat pembangkit listrik

merupakan bagian dari kepemilikan umum maka tidak boleh dimiliki

oleh perseorangan, hal ini disebabkan penguasaan dalam kepemilikan

umum dilarang oleh Negara. Dan begitu juga sebaliknya, dalam artian

jika semua sarana dimilki individu atau perusahaan maka boleh

memilikinya secara pribadi.

Demikian juga jalan umum, manusia berhak lalu lalang di

atasnya. Oleh karenanya, penggunaan jalan yang dapat merugikan

orang lain yang membutuhkan, tidak boleh diizinkan oleh penguasa.

Hal tersebut juga berlaku untuk Masjid. Termasuk dalam kategori ini

adalah kereta api, instalasi air dan listrik, tiang-tiang penyangga

listrik, saluran air dan pipa-pipanya, semuanya adalah milik umum

sesuai dengan status jalan umum itu sendiri sebagai milik umum,

sehingga ia tidak boleh dimiliki secara pribadi.


3. Harta milik umum jenis ketiga.

Harta milik yang ketiga adalah harta yang keadaannya asal

pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya secara

pribadi. Menurut al-Maliki, hak milik umum jenis ini jika berupa

sarana umum seperti halnya kepemilikan jenis pertama, maka dalil

yang mencakup saran umum. Hanya saja jenis kedua ini menurut asal

pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya,

sehingga misalnya boleh memiliki secara hajat keperluan orang

banyak (umum).

Demikian juga halnya dengan jalan umum, Rasulullah SAW

menyatakan bahwa manusia berhak atas jalan umum tersebut, artinya

mereka berhak untuk melewati jalan tersebut, dan menjauhkan duri/

batu dari jalan umum adalah sedekah.

Jika kita melihat faktanya, kondisi asal pembentukannya

menghalangi seseorang untuk menghalangi seseorang untuk

menguasai dan memilikinya. Seperti tentang jalan umum yang dibuat

untuk seluruh manusia, dan mereka bebas untuk melewatinya, dan

seorang pun tidak boleh memilikinya. Larangan ini bersifat tetap.

Demikian juga tidak boleh menguasai/ memagari sesuatu yang


diperuntukkan bagi semua manusia, karena Rasulullah SAW

bersabda:

ِ‫الحمى‬
َ ‫االَِهللِولرسول ِّه‬

“Tidak ada penguasaan (atas harta milik umum) kecuali bagi

Allah dan Rasul-Nya”

Dengan kata lain tidak ada penguasa/ pemagaran atas harta

milik umum kecuali oleh Negara. Makna hadist tersebut adalah tidak

boleh seseorang menguasai sesuatu yang merupakan milik semua

manusia untuk dirinya sendiri. Karena api, tiang-tiang penyangga

listrik, saluran-saluran air, pipa-pipa penyalur air yang keadaannya

tetap menjadi milik jalan umum, adalah milik jalan umum. Tindakan

mengambil alih sebagian jalan umum secara permanen dan

mengkhususkan individu menguasainya secara terus-menerus sama

saja dengan pengusaan, kecuali oleh Negara. Oleh karena itu, semua

yang disebutkan tadi adalah milik umum.

Barang tambang semacam ini menjadi milik umum sehingga

tidak boleh dimiliki oleh perorangan atau beberapa orang. Demikian

juga tidak boleh hukumnya, memberikan keistimewaan kepada

seseorang atau lembaga tertentu untuk mengeksploitasinya tetapi

pewnguasa wajib membiarkannya sebagai milik umum bagi seluruh


rakyat. Negaralah yang wajib menggalinya, memisahkannya dari

benda-benda lain, menjualnya dan menyimpan hasilnya di bait al-Mal.

Sedangkan barang tambang yang depositnya tergolong kecil

atau sangat terbatas, dapat dimiliki oleh perseorangan atau

perserikatan. Hal ini didasarkan kepada hadith nabi yang mengizinkan

kepada Bilal ibn Harith al-Muzani memiliki barang tambang yang

sudah ada dibagian Najd dan Tihamah. Hanya saja mereka wajib

membayar khumus (seperlima) dari yang diproduksinya kepada bait

al-Mal.14[14]

Barang-barang tambang seperti minyak bumi besarta

turunannya seperti bensin, gas, dan lain-lain, termasuk juga listrik,

hutan, air, padang rumput, api, jalan umum, sungai, dan laut

semuanya telah ditetapkan syara’ sebagai kepemilikan umum. Negara

mengatur produksi dan distribusi aset-aset tersebut untuk rakyat.

Pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dapat dilakukan dengan

dua cara, yakni :

Pertama, Pemanfaatan Secara Langsung oleh Masyarakat

Umum.

14[14]
Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah, hlm. 128-129.
Air, padang rumput, api, jalan umum, laut, samudra, sungai

besar, adalah benda-benda yang bisa dimanfaatkan secara langsung

oleh setiap individu. Siapa saja dapat mengambil air dari sumur,

mengalirkan air sungai untuk pengairan pertanian, juga

menggembalakan hewan ternaknya di padang rumput milik umum.

Bagi setiap individu juga diperbolehkan menggunakan berbagai

peralatan yang dimilikinya untuk memanfaatkan sungai yang besar,

untuk menyirami tanaman dan pepohonan. Karena sungai yang besar

cukup luas untuk dimanfaatkan seluruh masyarakat dengan

menggunakan peralatan khusus selama tidak membuat kemudharatan

bagi individu lainnya. Sebagaimana setiap individu diperbolehkan

memanfaatkan jalan-jalan umum secara individu, dengan tunggangan,

kendaraan. Juga diperbolehkan mengarungi lautan dan sungai serta

danau-danau umum dengan perahu, kapal, dan sebagainya, sepanjang

hal tersebut tidak membuat pihak lain yaitu seluruh kaum muslim

dirugikan, tidak mempersempit keluasan jalan umum, laut, sungai,

dan danau.

Kedua, Pemanfaatan Di Bawah Pengelolaan Negara.

Kekayaan milik umum yang tidak dapat dengan mudah dimanfaatkan

secara langsung oleh setiap individu masyarakat karena membutuhkan


keahlian, teknologi tinggi, serta biaya yang besar seperti minyak

bumi, gas alam, dan barang tambang lainnya, maka negaralah yang

berhak untuk mengelola dan mengeksplorasi bahan tersebut. Dimana

hasilnya nanti akan dimasukkan ke dalam kas baitul mal. Khalifah

adalah pihak yang berwenang dalam pendistribusian hasil tambang

dan pendapatannya sesuai dengan ijtihadnya demi kemashlahatan

umat.

Dalam mengelola kepemilikan tersebut, negara tidak boleh

menjualnya kepada rakyat untuk konsumsi rumah tangga dengan

men¬dasarkan pada asas mencari keuntungan semata. Namun

diperbolehkan menjualnya dengan mendapatkan keuntungan yang

wajar darinya jika dijual untuk keperluan produksi komersial.

Sedangkan jika kepemilikan umum tersebut dijual kepada pihak luar

negeri, maka diperbolehkan pemerintah mencari keuntungan.

Dari hasil keuntungan pendapatan dari harta pemilikan umum

itu kemudian didistribusikan dengan cara sebagai berikut:

Pertama, dibelanjakan untuk segala keperluan yang berkenaan

dengan kegiatan operasional badan negara yang ditunjuk untuk

mengelola harta pemilikan umum, baik dari segi administrasi,

perencanaan, eksplorasi, eksploitasi, produksi, pemasaran dan


distribusi. Pengambilan hasil dan pendapatan harta pemilikan umum

untuk keperluan ini,15[15] seperti pengembalian bagian zakat untuk

keperluan operasi para amil yang mengurusi zakat (dalam QS. At

Taubah: 60).

Kedua, dibagikan kepada kaum muslimin atau seluruh rakyat.

Dalam hal ini khalifah boleh mem¬bagikan air minum, listrik, gas,

minyak tanah, dan barang lain untuk keperluan rumah tangga atau

pasar-pasar secara gratis atau menjualnya dengan semurah-murahnya,

atau dengan harga wajar yang tidak memberatkan. Barang-barang

tam¬bang yang tidak dikonsumsi rakyat, misalnya minyak mentah,

dijual ke luar negeri dan keuntungannya termasuk keuntungan

pemasaran dalam negeri dibagi keseluruh rakyat, dalam bentuk uang,

barang, atau untuk membangun sekolah-sekolah gratis, rumah-rumah

sakit gratis, dan pelayanan umum lainnya. Juga untuk menutupi

tanggungan Baitul Mal yang wajib dipenuhi lainnya, seperti anggaran

belanja untuk jihad fi sabilillah.16[16]

Kepemilikan Negara (milkiyyah daulah)

15[15]
Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, cet. VI, Hafidz Abd. Rahman,
(Bogor: Hizbut Tahrir Indonesia, 2004), hlm. 300.
16[16]
al-Maliki, Abd al-Rahman.,M. solahuddin, asas-asas ekonomi islam, (jakarta: pt raja
grafindo persada,2007)
Mendefinisikan harta milik Negara sebagai hak seluruh rakyat,

yang pengelolaannya menjadi wewenang kepala Negara, dimana dia

bisa memberikan sesuatu kepada rakyatnya sesuai dengan

kebijakannya. Makna pengelolaan oleh kepala Negara ini adalah

adanya kekuasaan yang dimiliki kepala Negara untuk pengelolaannya.

Hak milik Negara semisal harta yang tidak memiliki ahli waris dan

tanah milik Negara.

Diantara harta milik Negara adalah:

1. Padang pasir, Gunung, Pantai, dan Tanah Mati yang tidak ada

pemilikinya

Padang pasir, gunung, lembah, tanah mati yang tak terurus, dan

belum pernah ditanami tanaman atau tudak terurus atau tidak dikelola

pengelolanya, maka tanah tersebut menjadi milik Negara.

ِ‫ِوالصخر‬
ّ ‫نيِماِبينِالبحر‬
ّ َ
َ‫انِرسولِهللاِّصلىِهللاِعليهِوسلمِأقط َعِباللِابنِالحارثِالمز‬

“bahwa Rasulullah SAW member bilal bin harits al-

Mazani(daerah) antara laut dan padang pasir”

Hadist ini menunjukkan bahwa padang pasir, gunung, lembah,

dan tanah mati yang tidak dimiliki seseorang menjadi milik Negara.

Milik Allah dan Rasul artinya milik Negara, dalam artian

Rasulullah boleh mengaturnya, mengatur urusan dan pembagianny,


dan izin untuk menghidupkan dan membangunnya. Dengan

keterangan ini, jelas bahwa padang pasir, gunung, dan tanah mati

adalah milik Negara. Pemerintah yang mengatur sesuai dengan aturan

yang berlaku dinegaranya sesuai kebaikan dan kemaslakhatan kaum

muslim.

2. Tanah Endapan Sungai

Yang dimaksud tanah endapan adalah tanah-tanah yang

tertutupi air, seperti yang terdapat diantara kufah dan basrah. Tanah-

tanah tersebut tertutupi dengan air Eufrat dan tigris, daerah yang

terapit oleh dua sungai itu tergenang oleh air hingga maenutupi

kawasan tersebut sehingga tanah itu tidak layak lagi untuk pertanian.

Dan tanah itu tidak cocok untuk pertanian karena air menggenangi

tanah tersebut, maka tanah itu termasuk tanah mati, tanah itu tetap

menjadi milik baitul mal dan milik negar, selama belum ada yang

memiliki.

3. Asy-Syawafis

Tanah yang dikumpulkan khalifah dari tanah-tanah negeri

taklukan dan ditetapkan untuk baitul mal. Yaitu tanah-tanah yang

ditaklukan yanag dahulunya milik negara yang ditaklukan, milik

penguasa atau para pemimpin negara itu, tuan tanah orang yang
terbunuh dalam medan perang, atau tanah orang yang lari dalam

peperangan dan meninggalkan tanahnya, maka kholifah yang

mengatur semua itu untuk kebaikan dan kemaslakhatan Islam dan

kaum muslim.

4. Bangunan dan Blairung

Yaitu setiap bangunan, yang dikuasai ole negara-negara yang

sebelumnya dipakai untuk struktur lembaga-lembaga yang dilakukan

untuk urusan organisasi-organisasi yang dan badan-badan pengawas,

perguruan tinggi, sekolah-sekolah, rumah sakit, atau bangunan yang

dimiliki negara itu. Termasuk pula pemilik negara adalah setiap

bangunan yang dibangun negara dan dibeli dari harta baitul mal, lalu

diperuntukkan bagi aparat/ lembaga negara, untuk kepentingan negara

dan biro milik negara dan sarana apapun yang dibangun negara. Selain

itu setiap bangunan atau blairung yang dihadiahkan atau dihibahkan

kepada negara, atau diwasiatkan kepada negara. Atau yang tida

memiliki ahli waris, atau milik orang murtad yang mati atau dihuku

mati karena murtadnya, semua itu milik negara.17[17]

17[17]
Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi Menuju
Dunia yang Lebih Adil, cet. I, alih bahasa Edrijani Azwaldi, (Bandung: Mizan, 2007), hlm. 213.
Beberapa harta yang dapat dikategorikan ke dalam jenis

kepemilikan negara menurut al-shari' dan khalifah/negara berhak

mengelolanya dengan pandangan ijtihadnya adalah:

a. Harta ghanimah, anfal (harta yang diperoleh dari rampasan perang

dengan orang kafir), fay' (harta yang diperoleh dari musuh tanpa

peperangan) dan khumus.

b. Harta yang berasal dari kharaj (hak kaum muslim atas tanah yang

diperoleh dari orang kafir, baik melalui peperangan atau tidak)

c. Harta yang berasal dari jizyah (hak yang diberikan Allah kepada

kaum muslim dari orang kafir sebagai tunduknya mereka kepada

Islam)

d. Harta yang berasal dari daribah (pajak)

e. Harta yang berasal dari ushur (pajak penjualan yang diambil

pemerinyah dari pedagang yang melewati batas wilayahnya dengan

pungutan yang diklasifikasikan berdasarkan agamanya)

f. Harta yang tidak ada ahli warisnya atau kelebihan harta dari sisa

waris (amwal al-fadla)

g. Harta yang ditinggalkan oleh orang-orang murtad

h. Harta yang diperoleh secara tidak sah para penguasa, pegawai

negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan shara'


i. Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai, laut

dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.

Negara membutuhkan hak milik untuk memperoleh pendapatan,

sumber penghasilan dan kekuasaan untuk melaksanakan kewajiban-

kewajibannya. Misal, untuk menyelenggarakan pendidikan,

memelihara keadilan, regenerasi moral dan tatanan masyarakat yang

terjamin kesejahteraannya. Menurut Ibn taimiyah, sumber utama

kekayaan negara adalah zakat, barang rampasan perang (ghanimah).

Selain itu, negara juga meningkatkan sumber pengahsilan dengan

mengenakan pajak kepada warga negaranya, ketika dibutuhkan atau

kebutuhannya meningkat. Demikian pula, berlaku bagi kekayaan

yang tak diketahui pemiliknya, wakaf, hibah dan pungutan denda

termasuk sumber kekayaan negara.

Kekayaan negara secara aktual merupakan kekayaan umum.

Kepala negara hanya bertindak sebagai pemegang amanah. Dan

merupakan kewajiban negara untuk mengeluarkan nya guna

kepentingan umum. Oleh karena itu, sangat dilarang penggunaan

kekayaan negara yang berlebih-lebihan. Adalah merupakan kewajiban

negara melindungi hak fakirmiskin, bekerja keras bagi kemajuan


ekonomi masyarakat, mengembangkan sistem keamanan sosial dan

mengurangi jurang pemisah dalam hal distribusi pendapatan.18[18]

18[18]
http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/konsep-kepemilikan-dalam-islam.html
Konsep Kepemilikan Dalam Islam.
PENUTUP

Kesimpulan

Aset Publik adalah Harta yang telah ditetapkan hak miliknya

oleh as-syari’ (Allah), dan menjadikan harta tersebut milik bersama.

Benda-benda yang tergolong kategori kepemilikan umum adalah

benda-benda yang telah dinyatakan oleh al-shari' sebagai benda-benda

yang dimiliki komunitas secara bersama-sama dan tidak boleh

dikuasai oleh hanya seorang saja. Karena milik umum, maka setiap

individu dapat memanfaatkannya namun dilarang memilikinya.

Jenis dan macam Aset Publik seperti: barang tambang (sumber

alam) yang jumlahnya tak terbatas, sarana umum diperlukan bagi

seluruh rakyat yang diperlukan dalam pemenuhan hidup sehari-hari,

yang tidak akan menyebabkan perpecahan, harta yang keadaannya

asal pembentukannya menghalangi seseorang untuk memilikinya

secara pribadi.

Kemudian ada kepemilikan Negara (milkiyyah daulah) adalah

harta milik Negara sebagai hak seluruh rakyat, yang pengelolaannya

menjadi wewenang kepala Negara, dimana dia bisa memberikan

sesuatu kepada rakyatnya sesuai dengan kebijakannya. Makna


pengelolaan oleh kepala Negara ini adalah adanya kekuasaan yang

dimiliki kepala Negara untuk pengelolaannya.

Diantara harta milik Negara adalah: Padang pasir, Gunung,

Pantai, dan Tanah Mati yang tidak ada pemilikinya, Tanah Endapan

Sungai, Asy-Syawafis, Bangunan dan Blairung seperti: Harta

ghanimah, anfal, fay' dan khumus. Harta yang berasal dari kharaj.

Harta yang berasal dari jizyah. Harta yang berasal dari daribah

(pajak). Harta yang berasal dari usyur. Harta yang tidak ada ahli

warisnya atau kelebihan harta dari sisa waris. Harta yang ditinggalkan

oleh orang-orang murtad. Harta yang diperoleh secara tidak sah para

penguasa, pegawai negara, harta yang didapat tidak sejalan dengan

shara’. Harta lain milik negara, semisal: padang pasir, gunung, pantai,

laut dan tanah mati yang tidak ada pemiliknya.


DAFTAR PUSTAKA

A. Rahman I.Doi, Muamalah Syari'ah III. Jakarta:PT.Raja Grafindo

Persada.1996.

------------Penjelasan lengkap hukum-hukum Allah (Syari'ah). Jakarta:PT

Raja Grafindo Persada 2002.

Abdul Qadim Zallum, Sistem Keuangan di Negara Khilafah,

Abu ‘Ubaid al-Qasim, Ensiklopedia Keuangan Publik (al-Amwal), cetk. I,

alih bahasa Setiawan Budi Utomo, (Jakarta: Gema Insani, 2006),

al-Maliki, Abd al-Rahman.,M. solahuddin, asas-asas ekonomi islam,

(jakarta: pt raja grafindo persada,2007)

As-Sarakhsi, al-Mabsûth, xxiii/164, Dar al-Ma’rifah, Beirut.

Hendi Suhendi, M.Si, Fiqih Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers, 2010,

Jalaluddin As-Sayuthi, Al-Asybah wa An-Nazhair fi Al-Furu', Dar Al-Fikr,

Joseph E. Stiglitz, Making Globalization Work: Menyiasati Globalisasi

Menuju Dunia yang Lebih Adil, cet. I, alih bahasa Edrijani Azwaldi,

(Bandung: Mizan, 2007),

Meity Taqdir Qodratullah, Kamus Bahasa Indonesia untuk Pelajar, (Jakarta:

BPPB Kemendikbud RI, 2011),


Muhammad Abu Zahrah, Al-Milikiyah wa Nazhariyah Al'Aqd fi Asy-Syariah

Al-Islamiyah, Dar Al- Fikr Al-'Arabiy 1976. disadur dari buku Drs. H.

Ahmad Wardi Muslich, Fiqih Muamalat.

Muhammad ibnu Abi Bakar Ar-Razi, Mukhtar Ash-Shahah, Mushthafa Al-

Babiy Al-Halabiy, Mesir 1338 H, disadur dari buku Drs. H. Ahmad

Wardi Muslich, Fiqih Muamalat. Jakarta: Amzah 2010.

Rachmat Syafe'I, M.A, Fiqih Muamalah Bandung: Pustaka Setia, 2001

Taqiyuddin an-Nabhani, Sistem Ekonomi Islam, cet. VI, Hafidz Abd.

Rahman, (Bogor: Hizbut Tahrir Indonesia, 2004),

Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islamiyah wa Adilatuh, Juz 4, dar Al-Fikr,

Damaskus, cet.III 1989. disadur dari buku Drs.H. Ahmad Wardi

Muslich, Fiqih Muamalat.

http://ichlasulamal.blogspot.com/2009/01/konsep-kepemilikan-dalam-

islam.html Konsep Kepemilikan Dalam Islam.

https://id.wikipedia.org/wiki/Publik

Anda mungkin juga menyukai