Anda di halaman 1dari 81

Waktu-Waktu Shalat

Segala puji yang disertai pengagungan seagung-agungnya


hanya milik Allah Subhanahu wa Ta’ala dan perendahan diri
kita yang serendah-rendahnyanya hanya kita berikan
kepadaNya Robbul ‘Alamin.Sholawat serta salam semoga
senantiasa tercurah kepada Nabi kita Muhammad shallallahu
‘alaihi was sallam.

Kaum muslimin sepakat bahwa sholat lima waktu harus


dikerjakan pada waktunya, dalilnya adalah firman Allah
Subhanahu wa Ta’ala,

‫علاى ْال ُمؤْ ِمنِينا ِكت اابًا ام ْوقُوتًا‬ ْ ‫ص اَلة ا اكان‬


‫ات ا‬ َّ ‫إِ َّن ال‬

“Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu/wajib yang


ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman”. [ QS.
An Nisa’ (4) : 103]

Berikut penjelasan waktu-waktu sholat.

Sholat Zhuhur

Secara bahasa Zhuhur berarti waktu Zawal yaitu waktu


tergelincirnya matahari (waktu matahari bergeser dari
tengah-tengah langit) menuju arah tenggelamnya (barat).

Sholat zhuhur adalah sholat yang dikerjakan ketika waktu


zhuhur telah masuk. Sholat zhuhur disebut juga sholat Al
Uulaa (‫ )األ ُ ْولَى‬karena sholat yang pertama kali dikerjakan
Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam bersama Jibril ‘Alaihis salam.
Disebut juga sholat Al Hijriyah (ُُ‫[)الحجْ ِريَة‬1].
ِ

Awal Waktu Sholat Zhuhur

Awal waktu zhuhur adalah ketika matahari telah bergeser


dari tengah langit menuju arah tenggelamnya (barat). Hal ini
merupakan kesepakatan seluruh kaum muslimin, dalilnya
adalah hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat
‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

ُ ‫ُُّالر ُج ِلُ َك‬


ُ‫طو ِل ِهُ َماُلَ ْمُيَحْ ض ُِرُا ْلعَص ُْر‬ َّ ‫ُظل‬ ِ َ‫ُوكَان‬
َ ‫س‬ َّ ‫اُزالَتُِال‬
ُ ‫ش ْم‬ ُّ ‫……و ْقتُ ُال‬..
َ َ‫ظه ِْرُإِذ‬ َ

“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir


matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan
seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu
‘Ashar……….”[2].

Akhir Waktu Sholat Zhuhur

Para ulama bersilisih pendapat mengenai akhir waktu zhuhur


namun pendapat yang lebih tepat dan ini adalah pendapat
jumhur/mayoritas ulama adalah hingga panjang bayang-
bayang seseorang semisal dengan tingginya (masuknya
waktu ‘ashar). Dalil pendapat ini adalah hadits
Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam dari sahabat ‘Abdullah bin
‘Amr rodhiyallahu ‘anhu di atas.
Catatan :

Waktu sholat zhuhur dapat diketahui dengan menghitung


waktu yaitu dengan menghitung waktu antara terbitnya
matahari hingga tenggelamnya maka waktu zhuhur dapat
diketahui dengan membagi duanya.

Disunnahkan Hukumnya Menyegerakan Sholat Zhuhur di


Awal Waktunya

Hal ini berdasarkan hadits Jabir bin Samuroh rodhiyallahu


‘anhu,

‫س‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫ض‬ ُّ ‫ص ِلِّى‬
‫الظ ْه ار إِذاا اد اح ا‬ ُّ ِ‫اكانا النَّب‬
‫ يُ ا‬-‫صلى هللا عليه وسلم‬- ‫ى‬

“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasa mengerjakan sholat


zhuhur ketika matahari telah tergelincir”[3].

Disunnahkan Hukumnya Mengakhirkan Sholat


Zhuhur Jika Sangat Panas

Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam,

‫ اوإِذاا ا ْشت ا َّد ْال اح ُّر أاب اْر اد‬، ِ‫صَلاة‬


َّ ‫ى – صلى هللا عليه وسلم – إِذاا ا ْشت ا َّد ْالبا ْر ُد با َّك ار بِال‬
ُّ ِ‫اكانا النَّب‬
ِ‫صَلاة‬ َّ ‫بِال‬

“Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam biasanya jika keadaan


sangat dingin beliau menyegerakan sholat dan jika keadaan
sangat panas/terik beliau mengakhirkan sholat”[4].
Batasan dingin berbeda-beda sesuai keadaan selama tidak
terlalu panjang hingga mendekati waktu akhir sholat.

Sholat ‘Ashar

‘Ashar secara bahasa diartikan sebagai waktu sore hingga


matahari memerah yaitu akhir dari dalam sehari.

Sholat ‘ashar adalah sholat ketika telah masuk waktu ‘ashar,


َ ‫س‬
sholat ‘ashar ini juga disebut sholat woshtho (‫طى‬ ْ ‫)الو‬.
ُ

Awal Waktu Sholat ‘Ashar

Jika panjang bayangan sesuatu telah semisal dengan


tingginya (menurut pendapat jumhur ulama). Dalilnya adalah
hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam,

ُ‫ص ُر او او ْقت‬ ْ ‫ض ِر ْالعا‬ ُ ‫الر ُج ِل اك‬


ُ ْ‫طو ِل ِه اما لا ْم ياح‬ ُّ
ِ ‫الظ ْه ِر إِذاا زا الا‬
ُ ‫ت الشَّ ْم‬
َّ ‫س او اكانا ِظ ُّل‬ ُ‫او ْقت‬
‫س‬ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫ص ِر اما لا ْم ت ا‬
َّ ‫صفا َّر ال‬ ْ
ْ ‫……العا‬.

“Waktu Sholat Zhuhur adalah ketika telah tergelincir


matahari (menuju arah tenggelamnya) hingga bayangan
seseorang sebagaimana tingginya selama belum masuk waktu
‘ashar dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari
belum menguning………”[5].

Akhir Waktu Sholat ‘Ashar


Hadits-hadits tentang masalah akhir waktu ‘ashar seolah-olah
terlihat saling bertentangan.

 Dalam hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin


‘Abdillah rodhiyallahu ‘anhu ketika Jibril
‘alihissalammenjadi imam bagi Nabi shollallahu ‘alaihi was
sallam,

‫س فاقاا ال قُ ْم ياا‬ َّ ‫ت ال‬


ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫سلَّ ام ِحينا زا الا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ َّ ‫صلَّى‬
‫َّللاُ ا‬ ‫ي ا‬ ِِّ ِ‫س اَلم إِلاى النَّب‬ َّ ‫علا ْي ِه ال‬
‫اجا اء ِجب ِْري ُل ا‬
ُ‫الر ُج ِل ِمثْلاهُ اجا اءه‬ َّ ‫ي ُء‬ْ ‫ث احتَّى إِذاا اكانا فا‬ ‫س ث ُ َّم ام اك ا‬ ُ ‫ش ْم‬َّ ‫ت ال‬ ْ ‫ص ِِّل الظُّ ْه ار ِحينا امالا‬ ‫ُم اح َّم ُد فا ا‬
‫س…… اما بايْنا اه اذي ِْن‬ ُ ‫ت الشَّ ْم‬ْ ‫ث احتَّى إِذاا غاابا‬ ‫ص ار ث ُ َّم ام اك ا‬ْ ‫ص ِِّل ْالعا‬ ْ ‫ِل ْلعا‬
‫ص ِر فاقاا ال قُ ْم ياا ُم اح َّم ُد فا ا‬
ُ ‫او ْقتٌ ُكلُّه‬

“Jibril mendatangi Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam ketika


matahari telah tergelincir ke arah tenggelamnya kemudian dia
mengatakan, “Berdirilah wahai Muhammad kemudian shola
zhuhur lah. Kemudian ia diam hingga saat panjang bayangan
seseorang sama dengan tingginya. Jibril datang kemudian
mengatakan, “Wahai Muhammad berdirilah sholat ‘ashar
lah”. Kemudian ia diam hingga matahari
tenggelam………….diantara dua waktu ini adalah dua waktu
sholat seluruhnya”[6].

 Dalam hadits yang diriwayatkan dari sahabat Abdullah


bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

‫س‬ َّ ‫صفا َّر ال‬


ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫او او ْقتُ ْالعا‬
ْ ‫ص ِر اما لا ْم ت ا‬
“Dan waktu ‘ashar masih tetap ada selama matahari belum
menguning………”[7].

 Hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was sallam yang


diriwayatkan dari sahabat Abu Huroiroh rodhiyallahu
‘anhu,

ْ ‫س فاقا ْد أاد اْركا ْالعا‬


‫ص ار‬ َّ ‫ب ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫ام ْن أاد اْركا ار ْكعاةً ِمنا ْالعا‬
‫ص ِر قا ْب ال أ ا ْن ت ا ْغ ُر ا‬

“Barangsiapa yang mendapati satu roka’at sholat ‘ashar


sebelum matahari tenggelam maka ia telah mendapatkan
sholat ‘ashar”[8].

Kompromi dalam memahami ketiga hadits yang seolah-olah


saling bertentangan ini adalah :

Hadits tentang sholat Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam dan


Jibril ‘Alaihissalam dipahami sebagai penjelasan tentang akhir
waktu terbaik dalam melaksanakan sholat ‘ashar. Adapun
hadits ‘Abdullah bin ‘Amr dipahami sebagai penjelasan atas
waktu pelaksanaan sholat ‘ashar yang masih boleh.
Sedangkan waktu hadits Abu Huroiroh sebagai penjelasan
tentang waktu pelaksanaan sholat ‘ashar jika terdesak artinya
makruh mengerjakan sholat ‘ashar pada waktu ini kecuali
bagi orang yang memiliki udzur maka mengerjakan sholat
‘ashar pada waktu itu hukumnya tidak makruh. Allahu a’lam.

Disunnahkan Hukmnya Menyegerakan Sholat ‘Ashar


Hal ini berdasarkan hadits Nabi Shollallahu ‘alaihi was
sallam yang diriwayatkan dari Sahabat Anas bin
Malik rodhiyallahu ‘anhu,

ٌ ‫س ُم ْرت ا ِفعاةٌ احيَّة‬ ْ ‫ص ِلِّى ْالعا‬


ُ ‫ص ار اوالشَّ ْم‬ ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – يُ ا‬ ُ ‫اكانا ار‬
َّ ‫سو ُل‬

“Rosulullah shollallahu ‘alaihi was sallam sering melaksanakan


sholat ‘ashar ketika matahari masih tinggi”[9].

Sunnah ini lebih dikuatkan ketika mendung, hal ini


berdasarkah hadits yang diriwayatkan dari Sahabat Abul
Mulaih rodhiyallahu ‘anhu. Dia mengatakan,

‫ى – صلى‬ َّ ِ‫النَّب‬ ْ ‫صَلاةِ ْالعا‬


‫ص ِر فاإ ِ َّن‬ ‫غي ٍْم فاقاا ال با ِ ِّك ُروا بِ ا‬
‫ُكنَّا ام اع ب اُر ْي ادة ا فِى غ ْاز اوةٍ فِى يا ْو ٍم ذِى ا‬
ُ ‫ع املُه‬ ‫فاقا ْد احبِ ا‬
‫ط ا‬ ‫ص ِر‬ ْ ‫صَلاة ا ْالعا‬
‫هللا عليه وسلم – قاا ال « ام ْن ت ااركا ا‬

“Kami bersama Buraidah pada saat perang di hari yang


mendung. Kemudian ia mengatakan, “Segerakanlah sholat
‘ashar karena Nabi shollallahu ‘alaihi was sallam mengatakan,
“Barangsiapa yang meninggalkan sholat ‘ashar maka amalnya
telah batal”[10].

Hadits ini juga menunjukkan betapa bahayanya


meninggalkan sholat ‘ashar.

Sholat Maghrib

Secara bahasa maghrib berarti waktu dan arah tempat


tenggelamnya matahari. Sholat maghrib adalah sholat yang
dilaksanakan pada waktu tenggelamnya matahari.
Awal Waktu Sholat Maghrib

Kaum Muslimin sepakat awal waktu sholat maghrib adalah


ketika matahari telah tenggelam hingga matahari benar-benar
tenggelam sempurna.

Akhir Waktu Sholat Maghrib

Para ulama berselisih pendapat mengenai akhir waktu


maghrib.

Pendapat pertama mengatakan bahwa waktu maghrib hanya


merupakan satu waktu saja yaitu sekadar waktu yang
diperlukan orang yang akan sholat untuk bersuci, menutup
aurot, melakukan adzan, iqomah dan melaksanakan sholat
maghrib. Pendapat ini adalah pendapat Malikiyah, Al Auza’i
dan Imam Syafi’i. Dalil pendapat ini adalah hadits yang
diriwayatkan dari Jabir ketika Jibril mengajarkan
Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam sholat,

‫صلَّى‬
‫ص ِِّل فا ا‬ ‫ع ْنهُ فاقاا ال قُ ْم فا ا‬ ِ ‫س او ْقتًا او‬
‫احدًا لا ْم يا ُز ْل ا‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫ث ُ َّم اجا اءهُ ِل ْل ام ْغ ِر‬
ْ ‫ب ِحينا غاابا‬
‫… ْال ام ْغ ِر ا‬..
‫ب‬

“Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was


sallam ketika matahari telah tenggelam (sama dengan waktu
ketika Jibril mengajarkan sholat kepada Nabi pada hari
sebelumnya) kemudian dia mengatakan, “Wahai Muhammad
berdirilah laksanakanlah sholat maghrib………..”[11].
Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu maghrib
adalah ketika telah hilang sinar merah ketika matahari
tenggelam. Pendapat ini adalah pendapatnya Sufyan Ats
Tsauri, Imam Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, Mahzab Hanafi serta
sebahagian mazhab Syafi’i dan inilah pendapat yang dinilai
tepat oleh An Nawawi rohimahumullah. Dalilnya adalah hadits
‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu ‘anhu,

ِ ‫صَلاةِ ْال ام ْغ ِر‬


ِ ‫ب اما لا ْم يا ِغ‬
َّ ‫ب ال‬
….‫شفا ُق‬ ‫… او ْقتُ ا‬..

“Waktu sholat maghrib adalah selama belum hilang sinar


merah ketika matahari tenggelam”[12].

Pendapat inilah yang lebih tepat Allahu a’lam.

Disunnahkan Menyegerakan Sholat Maghrib

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shollallahu ‘alaihi was


sallam dari Sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir rodhiyallahu ‘anhu,

‫ط ارةِ – اما لا ْم ي اُؤ ِ ِّخ ُروا ْال ام ْغ ِر ا‬


‫ب إِلاى أ ا ْن ت ا ْشتابِكا‬ ‫الا ت ازا ا ُل أ ُ َّمتِى بِ اخي ٍْر – أ ا ْو قاا ال ا‬
ْ ‫علاى ْال ِف‬
‫النُّ ُجو ُم‬

“Umatku akan senantiasa dalam kebaikan (atau fithroh)


selama mereka tidak mengakhirkan waktu sholat maghrib
hingga munculnya bintang (di langit)”[13].

Sholat ‘Isya’
‘Isya’ adalah sebuah nama untuk saat awal langit mulai gelap
(setelah maghrib) hingga sepertiga malam yang awal. Sholat
‘isya’ disebut demikian karena dikerjakan pada waktu
tersebut.

Awal Waktu Sholat ‘Isya’

Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat ‘isya’ adalah


jika telah hilang sinar merah di langit.

Akhir Waktu Sholat ‘Isya’

Para ulama’ berselisih pendapat mengenai akhir waktu sholat


‘isya’.

Pendapat pertama mengatakan bahwa akhir waktu sholat


‘isya’ adalah sepertiga malam. Ini adalah pendapatnya Imam
Syafi’i dalam al Qoul Jadid, Abu Hanifah dan pendapat yang
masyhur dalam mazhab Maliki. Dalilnya adalah hadits ketika
Jibril mengimami sholat Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

….‫ث اللَّ ْي ِل ْاْل ا َّو ُل‬


ُ ُ‫اب ثُل‬ ِ ‫…ث ُ َّم اجا اءهُ ِل ْل ِعش‬..
‫ااء ِحينا ذاه ا‬

“……Kemudian Jibril mendatangi Nabi Shallallahu ‘alaihi was


sallam untuk melaksanakan sholat ‘isya’ ketika sepertiga
malam yang pertama………..”[14].

Pendapat kedua mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’


adalah setengah malam. Inilah pendapatnya Sufyan Ats
Tsauri, Ibnul Mubarok, Ishaq, Abu Tsaur, Mazhab Hanafi dan
Ibnu Hazm rohimahumullah. Dalil pendapat ini adalah hadits
yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin ‘Amr rodhiyallahu
‘anhu,

‫ف اللَّ ْي ِل اْل ا ْو ا‬
…‫س ِط‬ ِ ‫صَلاةِ ْال ِعش‬
ْ ِ‫ااء إِلاى ن‬
ِ ‫ص‬ ‫…و ْقتُ ا‬.
‫ا‬

“Waktu sholat ‘isya’ adalah hingga setengah malam”[15].

Pendapat ketiga mengatakan bahwa akhir waktu sholat ‘isya’


adalah ketika terbit fajar shodiq. Inilah pendapatnya ‘Atho’,
‘Ikrimah, Dawud Adz Dzohiri, salah satu riwayat dari Ibnu
Abbas, Abu Huroiroh dan Ibnul Mundzir Rohimahumullah.
Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan dari Abu
Qotadah rodhiyallahu ‘anhu,

…‫صَلاةِ اْل ُ ْخ ارى‬


َّ ‫صَلاة ا احتَّى يا ِجى اء او ْقتُ ال‬ ‫علاى ام ْن لا ْم يُ ا‬
َّ ‫ص ِِّل ال‬ ُ ‫…إِنَّ اما الت َّ ْف ِري‬.
‫ط ا‬

“Hanyalah orang-orang yang terlalu menganggap remeh


agama adalah orang yang tidak mengerjakan sholat hingga
tiba waktu sholat lain”[16].

Pendapat yang tepat menurut Syaukani dalam masalah ini


adalah akhir waktu sholat ‘isya’ yang terbaik adalah hingga
setengah malam berdasarkan hadits ‘Abdullah bin ‘Amr
sedangkan batas waktu bolehnya mengerjakan sholat ‘isya’
adalah hingga terbit fajar berdasarkan hadits Abu Qotadah.
Sedangkan pendapat yang dinilai lebih kuat menurut Penulis
Shahih Fiqh Sunnah adalah setengah malam jika hadits Anas
adalah hadits yang tidak shohih.

Disunnahkan Mengakhirkan Sholat ‘Isya’

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

‫ص ِف ِه‬ ِ ُ‫علاى أ ُ َّمتِى ْل ا ام ْرت ُ ُه ْم أ ا ْن ي اُؤ ِ ِّخ ُروا ْال ِعشاا اء إِلاى ثُل‬
ْ ِ‫ث اللَّ ْي ِل أ ا ْو ن‬ ‫لا ْوالا أ ا ْن أاشُ َّق ا‬

“Jika sekiranya tidak memberatkan ummatku maka akan aku


perintah agar mereka mengakhirkan sholat ‘isya’ hingga
sepertiga atau setengah malam”[17].

Akan tetapi hal ini tidak selalu dikerjakan Nabi shallallahu


‘alaihi was sallam, sebagaimana dalam hadits yang lain,

‫طئ ُوا‬ ‫ إذاا ارآ ُه ْم اجْ ت ا امعُوا ا‬: ‫ اوأاحْ ياانًا ي اُؤ ِ ِّخ ُرهاا‬، ‫او ْال ِعشاا ُء أاحْ ياانًا يُقا ِ ِّد ُم اها‬
‫ اوإِذاا ارآ ُه ْم أ ا ْب ا‬، ‫ع َّج ال‬
‫أ ا َّخ ار‬

“Terkadang (Nabi) menyegerakan sholat isya dan terkadang


juga mengakhirkannya. Jika mereka telah terlihat terkumpul
maa segerakanlah dan jika terlihat (lambat datang ke
masjid)”[18].

Dimakruhkan Tidur Sebelum Sholat ‘Isya’ dan Berbicara yang


Tidak Perlu Setelahnya

Hal ini berdasarkan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam,

‫اكانا يا ْك ارهُ النَّ ْو ام قا ْبلا اها او ْال احد ا‬


‫ِيث با ْع ادهاا‬
“Nabi shallallahu ‘alaihi was sallam membenci tidur sebelum
sholat ‘isya’ dan melakukan pembicaraan yang tidak berguna
setelahnya[19]”.

Sholat Shubuh/Fajar

Fajar secara bahasa berarti cahaya putih. Sholat fajar disebut


juga sebagai sholat shubuh dan sholat ghodah.

Fajar ada dua jenis yaitu fajar pertama (fajar kadzib) yang
merupakan pancaran sinar putih yang mencuat ka atas
kemudian hilang dan setelah itu langit kembali gelap.

Fajar kedua adalah fajar shodiq yang merupakan cahaya putih


yang memanjang di arah ufuk, cahaya ini akan terus menerus
menjadi lebih terang hingga terbit matahari.

Awal Waktu Sholat Shubuh/Fajar

Para ulama sepakat bahwa awal waktu sholat fajar dimulai


sejak terbitnya fajar kedua/fajar shodiq.

Akhir Waktu Sholat Shubuh/Fajar

Para ulama juga sepakat bahwa akhir waktu sholat fajar


dimulai sejak terbitnya matahari.

Disunnahkan Menyegerakan Waktu Sholat Shubuh/Fajar


Pada Saat Keadaan Gholas (Gelap yang Bercampur Putih)
Jumhur ulama’ berpendapat lebih utama melaksanakan sholat
fajar pada saat gholas dari pada melaksanakannya ketika
ishfar (cahaya putih telah semakin terang). Diantara ulama
yang berpendapat demikian adalah Imam Malik, Imam
Syafi’i, Imam Ahmad, Ishaq dan Abu Tsaur rohimahumullah.
Diantara dalil mereka adalah hadits yang diriwayatkan dari
Anas bin Malik,

‫صَلاة ا ْالغا اداةِ بِغالا ٍس‬


‫صلَّ ْيناا ِع ْن ادهاا ا‬
‫ فا ا‬، ‫َّللاِ – صلى هللا عليه وسلم – غازا ا اخ ْيبا ار‬ ُ ‫أ ا َّن ار‬
َّ ‫سو ال‬

“Sesungguhnya Rosulullah shallallahu ‘alaihi was


sallam berperang pada perang Khoibar, maka kami sholat
ghodah (fajar) di Khoibar pada saat gholas”[20].

Demikianlah pembahasan singkat ini, mudah-mudahan


bermanfaat. Amin

Diringkas dari Kitab Shohih Fiqh Sunnah karya Syaikh Abu


Malik Kamal bin Said Salim hal. 237-249/I Cet. Maktabah
Tauqifiyah, Kairo, Mesir

Sigambal, Sebelum Subuh, 10 Mei 2011 M.

Penulis: Aditya Budiman bin Usman

Artikel www.muslim.or.id

[1] Berdasarkan hadits riwayat Al Bukhori No. 541.

[2] HR. Muslim No. 612.


[3] HR. Muslim No. 618.

[4] HR. Bukhori No. 906 dan Muslim No. 615.

[5] HR. Muslim No. 612.

[6] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al
Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.

[7] HR. Muslim No. 612.

[8] HR. Bukhori No. 579 dan Muslim No. 608.

[9] HR. Bukhori No. 550 dan Muslim No. 621.

[10] HR. Bukhori No. 553.

[11] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al
Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.

[12] HR. Muslim No. 612.

[13] HR. Abu Dawud No. 414 dll. dan dinilai shohih oleh Al
Albani dalam Takhrij beliau untuk Sunan Ibnu Majah.

[14] HR. Nasa’i No. 526, hadits ini dinilai shahih oleh Al
Albani rohimahullah dalam Al Irwa’ hal. 270/I.

[15] HR. Muslim No. 612.

[16] HR. Muslim No. 681.


[17] HR. Tirmidzi No. 167, Ibnu Majah No. 691, dinyatakan
shohih oleh Al Albani di Takhrij Sunan Tirmidzi.

[18] HR. Bukhori No. 560, Muslim No. 233.

[19] HR. BukhoriNo. 568, Muslim No. 237.

[20] HR. Bukhori No. 371, Muslim No. 1365.

A. Apakah yang Dimaksud dengan ash-Shalat al-Wustha


(Pertengahan)?

Allah Ta’ala berfirman:

‫ص اَل ِة ْال ُو ْس ا‬
‫ط ٰى اوقُو ُموا ِ ََّلِلِ قاانِتِينا‬ ِ ‫صلا اوا‬
َّ ‫ت اوال‬ َّ ‫علاى ال‬ ُ ِ‫احاف‬
‫ظوا ا‬

“Peliharalah segala shalat(mu), dan (peliharalah) shalat


Wusthaa. Berdirilah untuk Allah (dalam shalatmu) dengan
khusyu’.” [Al-Baqarah: 238].
Dari ‘Ali Radhiyallahu anhu, dia mengatakan bahwa di
hari terjadinya perang al-Ahzab Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam bersabda:

‫اارا‬ ْ ‫صَلا ِة ْال اع‬


ً ‫ مأل ا هللاُ بُي ُْوت ا ُه ْم اوقُب ُْو ار ُه ْم ن‬،‫ص ِر‬ ‫صَلا ِة ْال ُو ْس ا‬
‫طى ا‬ ‫شغَّلُ ْوناا ا‬
َّ ‫ع ِن ال‬ ‫ ا‬.

“Mereka telah menyibukkan kita dari shalat al-Wustha


(yaitu) shalat ‘ashar. Semoga Allah memenuhi rumah-rumah
dan kubur-kubur mereka dengan api.”[5]

B. Disunnahkan Memajukan Shalat Zhuhur di Awal


Waktu Ketika Hari Tidak Terlalu Panas.

Dari Jabir bin Samurah, dia berkata:

‫س‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫ض‬ ُّ ‫ص ِلِّى‬
‫الظ ْه ار إِ اذا اد اح ا‬ ‫سلَّ ام يُ ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ َّ ‫صلَّى‬
‫َّللاُ ا‬ ُّ ِ‫ اكانا النَّب‬.
‫ي ا‬

“Dahulu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan


shalat Zhuhur ketika matahari telah tergelincir (condong ke
barat).” [6]
C. Jika Cuaca Sangat Panas, Disunnahkan Menunda
Shalat Zhuhur sampai Cuaca Agak Dingin (Selama Tidak
Keluar dari Waktunya-Ed.)

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ فاإ ِ َّن ِش َّدة ا ْال اح ِ ِّر ِم ْن فايْـحِ اج اهنَّ ام‬،ِ‫صَلاة‬


َّ ‫ ِإ اذا ا ْشت ا َّد ْال اح ُّر فاأاب ِْرد ُْوا بِال‬.

“Jika hari sangat panas, maka tidaklah shalat hingga


cuaca menjadi agak dingin. Sesungguhnya panas yang sangat
itu merupakan bagian dari didihan Jahannam.”[7]

D. Disunnahkan Menyegerakan Shalat ‘Ashar

Dari Anas Radhiyallahu anhu:

ُ ‫ أ ا َّن ار‬J ‫ِب إِلاى‬


ِ‫س ْو ال هللا‬ ُ ‫اب الذَّاه‬ ُ ‫ فايا ْذه‬،ٌ‫س ُم ْرت ا ِفعاةٌ احيَّة‬ ْ ‫ص ِلِّى ْالعا‬
َّ ‫ص ار اوال‬
ُ ‫ش ْم‬ ‫اكانا يُ ا‬
ٌ‫س ُم ْرت ا ِف اعة‬ َّ ‫ال اع اوا ِل ْي فا ايأْتِي ْال اع اوا ِل ْي اوال‬.
ُ ‫ش ْم‬ ْ
“Bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah shalat ‘Ashar, sedangkan matahari masih tinggi dan
terang. Lalu seseorang pergi dan mendatangi al-‘Awali (tempat
di sudut Madinah) sedangkan matahari masih tinggi.” [8]

E. Dosa Orang yang Melewatkan Shalat ‘Ashar.

Dari Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma, Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang
melewatkan shalat ‘Ashar seperti orang yang berkurang
keluarga dan hartanya.”

Dari Buraidah Radhiyallahu anhu, Nabi Shallallahu


‘alaihi wa sallam bersabda:

ُ‫ع املُه‬ ْ ‫صَلاة ا ْالعا‬


‫ص ِر فاقا ْد احبِ ا‬
‫ط ا‬ ‫ ام ْن ت ااركا ا‬.

“Barangsiapa meninggalkan shalat ‘Ashar, maka


terhapuslah amalannya.” [10]
F. Dosa Orang yang Mengakhirkannya Hingga Menjelang
Senja (Ketika Matahari Akan Terbenam)

Dari Anas Radhiyallahu anhu dia berkata, “Aku


mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ان قا ا‬
‫ام‬ ِ ‫ط‬ ‫ش ْي ا‬
َّ ‫ات بايْنا اق ْرناي ِ ال‬ ْ ‫س احتَّى ِإ اذا اكان‬ ُ ُ‫س يا ْرق‬
َّ ‫ب ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ِ‫صَلاة ُ ْال ُمنااف‬
ُ ‫ ياجْ ِل‬،‫ق‬ ‫تِ ْلكا ا‬
ً‫فاناقا ارهاا أ ا ْرباعًا الا يا ْذ ُك ُر هللاا ِإالَّ قا ِل ْيَل‬.

‘Itulah shalatnya orang munafiq. Dia duduk sambil


mengawasi matahari. Hingga ketika matahari berada di antara
dua tanduk syaitan (waktu terbit dan tenggelamnya matahari)
ia bangkit dan shalat empat raka’at dengan cepat. Ia tidak
mengingat Allah kecuali hanya sedikit.”[11]

G. Disunnahkan Menyegerakan Shalat Maghrib dan


Dimakruhkan Mengakhirkannya

Dari ‘Uqbah bin ‘Amir Radhiyallahu anhu, Nabi


Shalallahu a’alaihi wa sallam bersabda:

‫ط ارةِ امـالا ْم ي اُؤ ِ ِّخ ُروا ْال ام ْغ ِر ا‬


‫ب احتَّى ت ا ْشتابِكا النُّ ُج ْو ُم‬ ‫الا ت ازا ا ُل أ ُ َّمتِى بِ اخي ٍْر أ ا ْو ا‬.
ْ ‫علاى ْال ِف‬
“Umatku senantiasa dalam kebaikan atau dalam keadaan
fithrah selama mereka tidak mengakhirkan shalat Maghrib
hingga banyak bintang bermunculan.”[12]

Dari Salamah bin al-Akwa’ Radhiyallahu anhu : “Dulu


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat Maghrib jika
matahari telah terbenam dan bersembunyi di balik tirai (tidak
nampak).” [13]

H. Disunnahkan Mengakhirkan Shalat ‘Isya’ Selama


Tidak Memberatkan

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Pada


suatu malam Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan
shalat ‘Isya’, hingga berlalulah sebagian besar malam dan para
penghuni masjid telah tertidur. Kemudian beliau keluar dan
shalat, lalu berkata, ‘Sesungguhnya ini adalah waktunya, hanya
saja aku tak ingin memberatkan umatku. [14]

I. Dimakruhkan Tidur Sebelumnya dan Perbincangan


yang Tidak Berguna Sesudahnya.
Dari Abu Barzah Radhiyallahu anhu : “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur sebelum ‘isya’
dan berbincang-bincang sesudahnya.” [15]

Dari Anas Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Suatu malam


kami menunggu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
hingga pertengahan malam. Lalu beliau datang dan shalat
dengan kami, kemudian menasihati kami. Beliau berkata:

َّ ‫ظ ْرت ُ ُم ال‬
‫صَلاة ا‬ ‫ او ِإنَّ ُك ْم لا ْم ت ازا الُوا فِ ْي ا‬،‫صلَّ ْوا ث ُ َّم ارقاد ُْوا‬
‫صَلاةٍ اما ا ْنت ا ا‬ ‫أاالا ِإ َّن النَّ ا‬.
‫اس قا ْد ا‬

Ketahuilah, sesungguhnya orang-orang telah shalat


kemudian tidur. Dan sesungguhnya kalian senantiasa dalam
shalat selama kalian menunggu shalat.'”[16]

J. Disunnahkan Menyegerakan Shalat Shubuh di Awal


Waktunya (Ketika Masih Gelap)

Dari ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, ia berkata, “Dulu


para wanita mukminat menghadiri shalat Shubuh bersama
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan berbungkus
pakaian mereka. Kemudian kembali ke rumah-rumah mereka
ketika telah menyelesaikan shalat. Tidak ada seorang pun yang
mengenali mereka karena gelapnya malam.”[17]

K. Kapankah Seseorang Dianggap Masih Mendapatkan


Waktu Shalat?

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah


Shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

‫ او ام ْن أاد اْركا‬،‫ص ْب اح‬


ُّ ‫س فاقا ْد أ ا ْد اركا ال‬ َّ ‫صبْحِ ار ْكعاةً قا ْب ال أ ا ْن ت ْاطلُ اع ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ُّ ‫ام ْن أاد اْركا ِمنا ال‬
ْ ‫س فاقا ْد أاد اْركا ْال اع‬
‫ص ار‬ َّ ‫ب ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫ر ْك اعةً ِمنا ْال اع‬.
‫ص ِر قا ْب ال أ ا ْن ت ا ْغ ِر ا‬ ‫ا‬

“Barangsiapa mendapati satu raka’at shalat Shubuh


sebelum matahari terbit, maka dia telah mendapati shalat
Shubuh. Dan barangsiapa mendapati satu raka’at shalat ‘Ashar
sebelum matahari terbenam, maka dia telah mendapati shalat
‘Ashar.” [18]

Hukum ini tidak di khususkan bagi shalat Shubuh dan


‘Ashar saja, tetapi untuk seluruh shalat.
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َّ ‫صَلاةِ فاقا ْد أاد اْركا ال‬


‫صَلاة ا‬ َّ ‫ ام ْن أاد اْركا ار ْك اعةً ِمنا ال‬.

“Barangsiapa mendapati satu raka’at shalat, maka dia


telah mendapati shalat itu” [19]

L. Mengqadha Shalat yang Terlewatkan

Dari Anas Radhiyiallahu anhu, dia mengatakan bahwa


Nabi Allah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ص ِلِّيا اها ِإ اذا اذ اك ارهاا‬


‫ارت ُ اها أ ا ْن يُ ا‬
‫ع ْن اها فا اكفَّ ا‬ ‫صَلاة ً أ ا ْو ن ا‬
‫اام ا‬ ‫ ام ْن نا ِس ا‬.
‫ى ا‬

“Barangsiapa lupa terhadap suatu shalat atau tertidur


darinya, maka kaffarat (tebusan)nya adalah melakukan shalat
itu jika ia telah mengingatnya.” [20]
M.Apakah Orang yang Meninggalkan Shalat Dengan
Sengaja Hingga Keluar dari Waktunya Wajib Untuk
Mengqadha Shalat Tersebut?

Ibnu Hazm rahimahullah berkata dalam al-Muhallaa


(II/235), “Sesungguhnya Allah Ta’ala telah menjadikan waktu
tertentu, yaitu awal dan akhirnya, bagi setiap shalat wajib.
Masuk pada waktu tertentu dan keluar pada waktu tertentu.
Tidak ada bedanya antara orang yang shalat sebelum
waktunya dan orang yang shalat sesudah waktunya. Karena
keduanya shalat pada selain waktunya. Qadha adalah
kewajiban dari agama. Sedangkan agama tidak boleh selain
dari Allah melalui lisan Rasul-Nya. Jika memang qadha wajib
bagi orang yang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar
waktunya, maka tentu Allah dan Rasul-Nya tidak akan
melalaikan dan melupakannya. Tidak pula sengaja
menyulitkan kita dengan tidak memberi penjelasan
mengenainya. “Dan tidaklah Rabb-mu lupa.” (Maryam: 64).
Dan setiap syari’at yang bukan dari al-Qur-an dan Sunnah
adalah bathil.”

[Disalin dari kitab Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal


Kitaabil Aziiz, Penulis Syaikh Abdul Azhim bin Badawai al-
Khalafi, Edisi Indonesia Panduan Fiqih Lengkap, Penerjemah
Team Tashfiyah LIPIA – Jakarta, Penerbit Pustaka Ibnu Katsir,
Cetakan Pertama Ramadhan 1428 – September 2007M]

_______

Footnote

[1]. Shahiih: [Irwaa’ul Ghaliil (250)], Ahmad (al-Fat-hur


Rabbaani) (II/241 no. 90), Sunan an-Nasa-i (I/263), dan Sunan
at-Tirmidzi (1/101 no. 150), dengan lafazh serupa.

[2]. Hasan: [Irwaa’ul Ghaliil (I/268)], Shahiih Muslim


(I/427 no. 612 (173)), ini adalah lafazh darinya, Sunan Abi
Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/67 no. 392), Sunan an-Nasa-i
(I/260).

[3]. Ibid.

[4]. Ibid.

[5]. Shahiih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 217)],


Shahiih Muslim (I/437 no. 627 (205)).

[6]. Shahiih: [Irwaa’ul Ghaliil (no. 254)], Shahiih Muslim


(I/432 no. 618).

[7]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/430 no. 615)], ini


adalah lafazh darinya, Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/15
no. 533), Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/75 no. 398),
Sunan at-Tirmidzi (I/105 no. 157), Sunan an-Nasa-i (I/248), dan
Sunan Ibni Majah (I/222 no. 677).

[8]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)


(II/28 no. 550)], Shahiih Muslim (I/433 no. 621), Sunan Abi
Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/77 no. 400), Sunan an-Nasa-i
(I/252), dan Sunan Ibni Majah (I/223 no. 682).

[9]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/435 no. 626)],


Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/30 no. 552), Sunan Abi
Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/84 no. 410), Sunan at-Tirmidzi
(I/113 no. 175), dan Sunan an-Nasa-i (I/238)

[10]. Shahiih: [Shahiih Sunan an-Nasa-i (no. 497)], Shahiih


al-Bukhari (Fat-hul Baari) (II/31 no. 553), dan Sunan an-Nasa-i
(I/236).

[11]. Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 399)],


Shahiih Muslim (XXI/434 no. 622), ini adalah lafazhnya, Sunan
Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/83 no. 409), Sunan at-
Tirmidzi (I/107 no. 160), dan Sunan an-Nasa-i (I/254).

[12]. Hasan Shahih: [Shahiih Sunan Abi Dawud (no. 403)],


dan Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/87 no. 414).

[13]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih Muslim (I/441 no. 636)],


Sunan at-Tirmidzi (I/108 no. 164), Shahiih al-Bukhari (Fat-hul
Baari) (II/41 no. 561), tanpa lafazh: “matahari tenggelam”,
Sunan Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/87 no. 413), dengan
lafazh serupa, dan Sunan Ibni Majah (I/225 no. 688), dengan
lafazh serupa.

[14]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 223)] dan


Shahiih Muslim (I/442 no. 638 (219)).

[15]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)


(II/49 no. 568)], Shahiih Muslim (I/447 no. 647 (237)), Sunan
Abi Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/69 no. 394), Sunan an-Nasa-i
(I/246).

[16]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)


(II/73 600)], ini adalah lafazh darinya, Shahiih Muslim (I/443
no. 640), dan Sunan an-Nasa-i (I/268).

[17]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)


(1/54 no. 578)], Shahiih Muslim (I/445 no. 645), Sunan Abi
Dawud (‘Aunul Ma’buud) (II/91/419), Sunan an-Nasa-i
(I/271), Sunan at-Tirmidzi (1/103 no. 153), Sunan Ibni Majah
(I/220 no. 669).

[18]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)


(I/56 no. 579)], Shahiih Muslim (I/424 no. 608), Sunan an-Nasa-
i (I/273), dengan lafazh serupa.
[19]. Muttafaq ‘alaihi: [Shahiih al-Bukhari (Fat-hul Baari)
(I/57 no. 580)], Shahiih Muslim (I/423 no. 607), Sunan Abi
Dawud (‘Aunul Ma’buud) (III/471 no. 1108), Sunan at-Tirmidzi
(II/19 no. 523), dan Sunan an-Nasa-i (I/274).

[20]. Shahih: [Mukhtashar Shahiih Muslim (no. 229)],


Shahiih Muslim (I/477 no. 684 (no. 315)).

WAKTU-WAKTU SHOLAT DAN BATAS AKHIR


WAKTU SHOLAT

Posted by Admin pada 27/05/2010

Waktu-waktu Shalat

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

‫علاى ْال ُمؤْ ِمنِينا ِكت اابًا ام ْوقُوتًا‬ ْ ‫صَلاة ا اكان‬


‫ات ا‬ َّ ‫ِإ َّن ال‬

“Sesungguhnya shalat itu merupakan kewajiban yang


ditetapkan waktunya bagi kaum mukminin.” (An-Nisa`: 103)
‫ق اللَّ ْي ِل اوقُ ْر اءانا ْالفاجْ ِر ِإ َّن قُ ْر اءانا ْالفاجْ ِر اكانا‬
ِ ‫س‬ ‫ش ْم ِس إِلاى ا‬
‫غ ا‬ َّ ‫وك ال‬ َّ ‫أاقِ ِم ال‬
ِ ُ‫صَلاة ا ِل ُدل‬
‫ام ْش ُهودًا‬

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir


sampai gelap malam dan dirikan pula shalat subuh.
Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan oleh malaikat.” (Al-
Isra`: 78)

Shalat dianggap sah dikerjakan apabila telah masuk


waktunya. Dan shalat yang dikerjakan pada waktunya ini
memiliki keutamaan sebagaimana ditunjukkan dalam hadits
Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu:

.‫علاى او ْقتِ اها‬ َّ ‫ ال‬:‫ي ْالعا ام ِل أ ا احبُّ ِإلاى هللاِ؟ قاالا‬


‫صَلاة ُ ا‬ َّ ِ‫سأ ا ْلتُ النَّب‬
ُّ ‫ أ ا‬:‫ي صلى هللا عليه وسلم‬ ‫ا‬
‫ ْال ِج اها ُد فِي ا‬:‫ي؟ قاالا‬
ِ‫سبِ ْي ِل هللا‬ ُّ ‫ ث ُ َّم أ ا‬:‫ قاالا‬.‫ بِ ُّر ْال اوا ِل ادي ِْن‬:‫ي؟ قاالا‬ ُّ ‫ ث ُ َّم أ ا‬:‫قاالا‬

Aku pernah bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa


sallam, “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Beliau
menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian amalan apa?”
tanya Ibnu Mas`ud. “Berbuat baik kepada kedua orangtua,”
jawab beliau. “Kemudian amal apa?” tanya Ibnu Mas’ud lagi.
“Jihad fi sabilillah,” jawab beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 527 dan
Muslim no. 248)

Sebaliknya, bila shalat telah disia-siakan untuk dikerjakan


pada waktunya maka ini merupakan musibah karena
menyelisihi petunjuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Anas
bin Malik radhiyallahu ‘anhu, seperti yang dikisahkan Az-
Zuhri rahimahullahu, ia berkata, “Aku masuk menemui Anas
bin Malik di Damaskus, saat itu ia sedang menangis. Aku pun
bertanya, ‘Apa gerangan yang membuat anda menangis?’ Ia
menjawab, ‘Aku tidak mengetahui ada suatu amalan yang
masih dikerjakan sekarang dari amalan-amalan yang pernah
aku dapatkan di masa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
kecuali hanya shalat ini saja. Itupun shalat telah disia-siakan
untuk ditunaikan pada waktunya’.” (HR. Al-Bukhari no. 530)

Ada beberapa hadits yang merangkum penyebutan


waktu-waktu shalat. Di antaranya hadits Abdullah bin ‘Amr
ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:
‫صَلا ِة ْالفاجْ ِر‬‫ او ْقتُ ا‬:‫ فاقاالا‬،ِ‫صلا اوات‬ َّ ‫ت ال‬ ِ ‫ع ْن او ْق‬
‫س ْو ُل هللاِ صلى هللا عليه وسلم ا‬ ُ ‫سئِ ال ار‬ ُ
‫اء اما لا ْم‬
ِ ‫س ام‬َّ ‫ط ِن ال‬ ْ ‫ع ْن اب‬
‫س ا‬
ُ ‫ش ْم‬ ُّ ِ‫صَلاة‬
ِ ‫الظ ْه ِر ِإ اذا زا الا‬
َّ ‫ت ال‬ ‫ او او ْقتُ ا‬،‫ش ْم ِس ْاْل ا َّو ِل‬
َّ ‫طلُ ْع قا ْر ُن ال‬ْ ‫اما لا ْم اي‬
ُ‫ او او ْقت‬،ُ‫ط اق ْرنُ اها ْاْل ا َّول‬ْ ُ‫س او اي ْسق‬ َّ ‫صفا َّر ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫ص ِر اما لا ْم ت ا‬ ْ ‫صَلاةِ ْال اع‬
‫ او او ْقتُ ا‬،‫ص ُر‬ ْ ‫ض ِر ْال اع‬ ُ ْ‫ايح‬
‫ف اللَّ ْي ِل‬ ْ ِ‫ااء ِإلاى ن‬
ِ ‫ص‬ ِ ‫صَلا ِة ْال ِعش‬ ‫ او او ْقتُ ا‬،‫شفا ُق‬ َّ ‫س اما لا ْم اي ْسقُ ِط ال‬ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫صَلا ِة ْال ام ْغ ِر‬
ِ ‫ب ِإ اذا غاا اب‬
َّ ‫ت ال‬ ‫ا‬

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang


waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat
fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal.
Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari
perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu
Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning
dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat
maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum
jatuh syafaq1. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah
malam.” (HR. Muslim no. 1388)

Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,


disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫آخ ُر او ْقتِ اها‬


ِ ‫س او‬ ُ ‫ش ْم‬ ُّ ِ‫صَلاة‬
َّ ‫الظ ْه ِر ِحيْنا ت ُاز ْو ُل ال‬ ‫ت ا‬ ِ ‫ اوإِ َّن أ ا َّو ال او ْق‬،‫آخ ًرا‬
ِ ‫صَلاةِ أ ا َّوالً او‬
َّ ‫إِ َّن ِلل‬
‫آخ ار او ْقتِ اها ِحيْنا‬ ِ ‫ص ِر ِحيْنا يا ْد ُخ ُل او ْقت ا اها اوإِ َّن‬ْ ‫صَلاةِ ْالعا‬
‫ت ا‬ ْ ‫ِحيْنا يا ْد ُخ ُل او ْقتُ ْالعا‬
ِ ‫ اوإِ َّن أ ا َّو ال او ْق‬،‫ص ِر‬
ُ ‫آخ ار او ْقتِ اها ِحيْنا اي ِغي‬
‫ْب‬ ِ ‫س اوإِ َّن‬ َّ ‫ب ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ُ ‫ب ِحيْنا ت ا ْغ ُر‬ ِ ‫ت ْال ام ْغ ِر‬ ِ ‫ او ِإ َّن أ ا َّو ال او ْق‬،‫س‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫صفا ُّر ال‬
ْ ‫تا‬
،ُ‫ب اللَّ ْيل‬ ُ ‫اص‬ ِ ‫ْب ْاْلُفُ ُق او ِإ َّن‬
ِ ‫آخ ار او ْقتِ اها ِحيْنا يا ْنت‬ ُ ‫ااء ْاْل ِخ ارةِ ِحيْنا اي ِغي‬ ِ ‫ت ْال ِعش‬ ِ ‫ او ِإ َّن أ ا َّو ال او ْق‬،‫ْاْلُفُ ُق‬
‫س‬ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫آخ ار او ْقتِ اها ِحيْنا ت ْاطلُ ُع ال‬
ِ ‫طلُ ُع ْالفاجْ ُر اوإِ َّن‬ْ ‫ت ْالفاجْ ِر ِحيْنا يا‬ ِ ‫او ِإ َّن أ ا َّو ال او ْق‬

“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir


waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari
tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu
ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya
dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu
shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir
waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya
adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah
pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika
terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-
Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Asy-Syaikh Albani
rahimahullahu berkata tentang hadits ini, “Sanad hadits ini
shahih di atas syarat Syaikhani (Al-Bukhari dan Muslim).
Dishahihkan oleh Ibnu Hazm, namun oleh Al-Bukhari dan
selainnya disebutkan bahwa hadits ini mursal. Pernyataan ini
dibantah oleh Ibnu Hazm dan selainnya. Dalam hal ini Ibnu
Hazm benar, terlebih lagi hadits ini memiliki syahid dari hadits
Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.” (Ats-
Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/56 dan Ash-
Shahihah no. 1696)
Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, “Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫س‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ُّ ‫ي‬
ِ ‫الظ ْه ار ِحيْنا زا الا‬ ‫صلَّى بِ ا‬ ‫ اف ا‬،‫ت ام َّرتاي ِْن‬ِ ‫أ ا َّمنِي ِجب ِْر ْي ُل عليه السَلم ِع ْن اد ْالبا ْي‬
–‫ب‬ ‫ي – اي ْعنِي ْال ام ْغ ِر ا‬‫صلَّى بِ ا‬‫ او ا‬،ُ‫ص ار ِحيْنا اكانا ِظلُّهُ ِمثْلاه‬ ْ ‫ي ْال اع‬ ‫صلَّى ِب ا‬‫ او ا‬،‫اك‬ِ ‫ش ار‬ ِّ ِ ‫ات قاد اْر ال‬ ْ ‫او اكان‬
َّ ‫ي ْالفاجْ ار ِحيْنا اح ُر ام‬
‫الط اعا ُم‬ ‫صلَّى ِب ا‬‫ او ا‬،‫شفا ُق‬ ‫ي ْال ِعشاا اء ِحيْنا غ ا‬
َّ ‫ااب ال‬ ‫صلَّى بِ ا‬
‫ او ا‬،‫صائِ ُم‬ َّ ‫ط ار ال‬‫ِحيْنا أ ا ْف ا‬

‫صلَّى ِب ا‬
‫ي‬ ‫ او ا‬،ُ‫الظ ْه ار ِحيْنا اكانا ِظلُّهُ ِمثْلاه‬ ُّ ‫ي‬ ‫صلَّى ِب ا‬ ‫ فالا َّما اكانا ْالغا ُد ا‬،‫صائِ ِم‬ َّ ‫علاى ال‬
‫اب ا‬ َّ ‫اوال‬
ُ ‫ش ار‬
‫ي ْال ِعشاا اء ِإ الى‬
‫صلَّى ِب ا‬
‫ او ا‬،‫صائِ ُم‬ ‫ب ِحيْنا أ ا ْف ا‬
َّ ‫ط ار ال‬ ‫ي ْال ام ْغ ِر ا‬
‫صلَّى ِب ا‬ ْ ‫ْال اع‬
‫ او ا‬،‫ص ار ِحيْنا اكانا ِظلُّهُ ِمثْلا ْي ِه‬
‫اء ِم ْن قا ْبلِكا‬ َّ ‫ ث ُ َّم ْالتافاتا ِإلا‬،‫ي ْالفاجْ ار فاأ ا ْسفا ار‬
ِ ‫ اه اذا او ْقتُ ْاْل ا ْن ِب اي‬،ُ‫ ياا ُم اح َّمد‬:‫ي فاقاالا‬ ‫صلَّى ِب ا‬
‫ث اللَّ ْي ِل او ا‬
ِ ُ‫ثُل‬
‫او ْال او ْقتُ اما بايْنا اه اذي ِْن ْال او ْقتاي ِْن‬

“Jibril mengimamiku di sisi Baitullah sebanyak dua kali2.


Ia shalat zhuhur bersamaku ketika matahari telah tergelincir
dan kadar bayangan semisal tali sandal. Ia shalat ashar
bersamaku ketika bayangan benda sama dengan bendanya. Ia
shalat maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka3.
Ia shalat isya bersamaku ketika syafaq telah tenggelam. Ia
shalat fajar bersamaku ketika makan dan minum telah
diharamkan bagi orang yang puasa4. Maka tatkala keesokan
harinya, Jibril kembali mengimamiku dalam shalat zhuhur saat
bayangan benda sama dengan bendanya. Ia shalat ashar
bersamaku saat bayangan benda dua kali bendanya. Ia shalat
maghrib bersamaku ketika orang yang puasa berbuka. Ia shalat
isya bersamaku ketika telah berlalu sepertiga malam. Dan ia
shalat fajar bersamaku dan mengisfar5kannya. Kemudian ia
menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Muhammad, inilah
waktu shalat para nabi sebelummu dan waktunya juga berada
di antara dua waktu yang ada6.” (HR. Abu Dawud no. 393,
Asy-Syaikh Albani rahimahullahu berkata tentang hadits ini
dalam Shahih Abi Dawud, “Hasan shahih.”)

Pada pembahasan mengenai waktu-waktu shalat ini kami


akan memulai dari shalat subuh terlebih dahulu walaupun
kebanyakan ulama memulainya dari shalat zhuhur. Wallahul
muwaffiq ‘ilash shawab.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu berkata,


“Sekelompok pengikut mazhab kami (mazhab Hambali) seperti
Al-Khiraqi dan Al-Qadhi pada sebagian kitabnya serta selain
keduanya, memulai dari waktu shalat zhuhur. Di antara
mereka ada yang memulai dengan shalat fajar/subuh seperti
Abu Musa, Abul Khaththab, dan Al-Qadhi pada satu
pembahasan, dan ini yang lebih bagus karena shalat wustha
(shalat pertengahan) adalah shalat ashar. Shalat ashar bisa
menjadi shalat wustha apabila shalat fajar merupakan shalat
yang awal7.” (Al-Ikhtiyarat dalam Al-Fatawa Al-Kubra, 1/45)

1 Cahaya kemerah-merahan yang terlihat di arah barat


setelah matahari tenggelam.

2 Yakni dalam dua hari untuk mengajariku tata cara


shalat dan waktu-waktunya. (‘Aunul Ma’bud, Kitab Ash-
Shalah, bab fil Mawaqit)

3 Yaitu saat matahari tenggelam dan masuk waktu


malam dengan dalil firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

‫ام ِإلاى الَّ ْي ِل‬ ِّ ِ ‫ث ُ َّم أاتِ ُّموا ال‬


‫صيا ا‬

“Kemudian sempurnakanlah puasa hingga malam hari.”

4 Awal terbitnya fajar yang kedua berdasarkan firman


Allah Subhanahu wa Ta’ala:
‫ض ِمنا ْال اخي ِْط اْْلاس اْو ِد ِمنا ْالفاجْ ِر‬ ُ ‫او ُكلُوا اوا ْش اربُوا احتَّى ياتابايَّنا لا ُك ْم ْال اخ ْي‬
ُ ‫ط اْْل ا ْبيا‬

“Makan dan minumlah kalian hingga jelas bagi kalian


benang yang putih dari benang yang hitam dari fajar (jelas
terbitnya fajar).”

5 Lihat keterangan tentang isfar dalam pembahasan


waktu shalat fajar yang akan datang setelahnya.

6 Dengan demikian boleh mengerjakan shalat di awal


waktunya, di pertengahan dan di akhir waktu. (‘Aunul
Ma’bud, Kitab Ash-Shalah, bab fil Mawaqit)

7 Sehingga bila diurutkan menjadi sebagai berikut:

Shalat pertama: shalat fajar, kedua: shalat zhuhur, ketiga:


shalat ashar, keempat: shalat maghrib, kelima: shalat isya.
Dengan demikian shalat ashar jatuh pada pertengahan,
sehingga diistilahkan shalat wustha.

Shalat Fajar atau Shalat Subuh

Shalat subuh ini memiliki dua nama yaitu fajar dan


subuh. Al-Qur`an menyebutkan dengan nama shalat fajar
sedangkan As-Sunnah kadang menyebutnya dengan nama
fajar dan di tempat lain disebutkan dengan nama subuh. (Al-
Majmu’, 3/48)

Awal waktu shalat fajar adalah saat terbitnya fajar kedua


atau fajar shadiq1 sebagaimana ditunjukkan dalam hadits Abu
Hurairah radhiyallahu ‘anhu di atas. Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam biasa mengerjakan shalat ini di waktu ghalas,
bahkan terkadang beliau selesai dari shalat fajar dalam keadaan
alam sekitar masih gelap (waktu ghalas), sebagaimana
ditunjukkan dalam hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha:

ٍ ‫صَلاة ا ْالفاجْ ِر ُمت ا اع ِلِّفاا‬


‫ت‬ ‫س ْو ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم ا‬ ُ ‫ت يا ْش اه ْدنا ام اع ار‬ ِ ‫سا ُء ْال ُمؤْ ِمناا‬
‫ُكنَّا نِ ا‬
‫صَلاة ا الا اي ْع ِرفُ ُه َّن أ ا اح ٌد ِمنا ْالغالا ِس‬ ِ ‫ ث ُ َّم يا ْن اق ِلبْنا ِإ الى بُي ُْوتِ ِه َّن ِحيْنا يا ْق‬،‫ِب ُم ُر ْو ِط ِه َّن‬
َّ ‫ضيْنا ال‬
“Kami wanita-wanita mukminah ikut menghadiri shalat
fajar bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
keadaan berselimut (menyelubungi tubuh) dengan kain-kain
kami, kemudian mereka (para wanita tersebut) kembali ke
rumah-rumah mereka ketika mereka selesai menunaikan shalat
dalam keadaan tidak ada seorang pun mengenali mereka
karena waktu ghalas (sisa gelapnya malam).” (HR. Al-Bukhari
no. 578 dan Muslim no. 1455)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullahu berkata,


“Hadits ini menunjukkan disunnahkannya bersegera dalam
mengerjakan shalat subuh di awal waktu.” (Fathul Bari, 2/74)

Demikian pula yang dikatakan Al-Imam Nawawi


rahimahullahu. Dan ini merupakan mazhab Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad dan jumhur, menyelisihi Abu Hanifah yang
berpendapat bahwa isfar (waktu sudah terang) lebih
utama/afdhal. (Al-Minhaj, 5/145)
Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata,
“Adapun shalat subuh maka dikerjakan waktu ghalas lebih
afdhal. Demikian pendapat Malik, Asy-Syafi’i, dan Ishaq2
rahimahumullah. Juga diriwayatkan dari Abu Bakr, ‘Umar,
Ibnu Mas’ud, Abu Musa, Ibnuz Zubair, dan ‘Umar bin Abdil
‘Aziz apa yang menunjukkan hal tersebut. Ibnu Abdil Bar
rahimahullahu3 berkata, “Telah shahih dari Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam, dari Abu Bakr, ‘Umar, dan ‘Utsman g, bahwa
mereka semuanya mengerjakan shalat subuh di waktu ghalas.
Dan suatu hal yang mustahil bila mereka meninggalkan yang
afdhal dan melakukan yang tidak afdhal, sementara mereka
adalah orang-orang yang puncak dalam mengerjakan perkara-
perkara yang afdhal. Diriwayatkan dari Al-Imam Ahmad
rahimahullahu, beliau berpandangan bahwa yang utama
adalah melihat keadaan makmum. Bila mereka berkumpul di
waktu isfar maka yang afdal mengerjakannya di waktu isfar
karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan
perbuatan yang seperti ini dengan melihat berkumpulnya
jamaah dalam penunaian shalat isya, sebagaimana
diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu. Sehingga demikian
pula yang berlaku pada shalat fajar. Ats-Tsauri dan ashabur
ra`yi berkata, “Yang afdal shalat subuh dikerjakan waktu isfar
dengan dalil hadits yang diriwayatkan oleh Rafi’ ibnu Khadij,
ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda:

‫أ ا ْس ِف ُر ْوا بِ ْالفاجْ ِر فاإِنَّهُ أ ا ْع ا‬


‫ظ ُم ِل ْألاجْ ِر‬

“Lakukanlah shalat fajar dalam keadaan isfar (sudah


terang), karena hal itu lebih memperbesar pahala.” (Al-Mughni,
Kitab Ash-Shalah, Fashl At-Taghlis li Shalatish Shubhi)4

Adapun hadits asfiru bil fajri di atas maknanya/tafsirnya


adalah “Hendaklah kalian selesai dari mengerjakan shalat fajar
pada waktu isfar (karena shalat yang demikian lebih besar
pahalanya).” Bukan awal masuknya ke shalat fajar, tapi akhir
dari mengerjakan shalat fajar. Caranya tentu dengan
memanjangkan bacaan dalam shalat ini. Bukan perintah untuk
mengerjakan shalat subuh di waktu isfar. Hal ini sebagaimana
juga dijelaskan dari riwayat bahwa Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wa sallam pernah selesai dari shalat fajar ini pada waktu
isfar (hari sudah terang), tatkala seseorang sudah mengenali
wajah teman duduknya. Sebagaimana kata Abu Barzah Al-
Aslami radhiyallahu ‘anhu, “Beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam selesai dari shalat subuh tatkala seseorang telah
mengenali siapa yang duduk di sebelahnya5.” (HR. Al-Bukhari
no. 541 dan Muslim no. 1460)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Hadits di


atas memang harus, mau tidak mau, ditafsirkan/dimaknakan
seperti ini, agar sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini
mencocoki perbuatan beliau yang terus beliau lakukan, berupa
masuk ke dalam penunaian shalat subuh di waktu ghalas
sebagaimana telah lewat. Makna ini yang dikuatkan oleh Al-
Hafizh Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam I’lamul
Muwaqqi’in. Dan yang mendahului Ibnul Qayyim dalam
pentarjihan ini adalah Al-Imam Ath-Thahawi dari kalangan
Hanafiyyah, dan beliau panjang lebar dalam menetapkan hal
ini (1/104-109). Beliau berkata, “Ini merupakan pendapat Abu
Hanifah, Abu Yusuf, dan Muhammad.” Walaupun apa yang
dinukilkan oleh Ath-Thahawi dari tiga imam ini menyelisihi
pendapat yang masyhur dari mazhab mereka dalam kitab-kitab
mazhab yang menetapkan disunnahkannya memulai shalat
subuh di waktu isfar.” (Ats-Tsamarul Mustathab, 1/81)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada


kenyataannya memang tidak pernah mengerjakan shalat fajar
ini di waktu isfar kecuali hanya sekali. Dalam hadits Abu
Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu disebutkan:

‫صَلاتُهُ با ْع اد اذلِكا‬ ْ ‫صلَّى ام َّرة ً أ ُ ْخ ارى فاأ ا ْسفا ار بِ اها ث ُ َّم اكان‬
‫ات ا‬ ُّ ‫صلَّى ال‬
‫ ث ُ َّم ا‬،‫ص ْب اح ام َّرة ً بِغالا ٍس‬ ‫او ا‬
‫س احتَّى اماتا لا ْم ياعُ ْد إِلاى أ ا ْن يُ ْس ِف ار‬ ‫ْالغالا ا‬

“Rasulullah sekali waktu shalat subuh pada waktu ghalas


lalu pada kali lain beliau mengerjakannya di waktu isfar.
Kemudian shalat subuh beliau setelah itu beliau kerjakan di
waktu ghalas hingga beliau meninggal, beliau tidak pernah lagi
mengulangi pelaksanaannya di waktu isfar.” (HR. Abu Dawud
no. 394, dihasankan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Shahih Abi Dawud)

Mendapati Satu Rakaat Fajar

Telah kita ketahui bahwa akhir waktu shalat fajar adalah


ketika matahari terbit, sehingga keadaan seseorang yang baru
mengerjakan satu rakaat fajar kemudian ketika hendak masuk
pada rakaat kedua matahari terbit maka dia mendapati shalat
subuh. Hal ini sebagamana ditunjukkan hadits Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ او ام ْن أاد اْركا‬،‫ص ْب اح‬


ُّ ‫س فاقا ْد أاد اْركا ال‬ َّ ‫صبْحِ ار ْكعاةً قا ْب ال أ ا ْن ت ْاطلُ اع ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ُّ ‫ام ْن أاد اْركا ِمنا ال‬
ْ ‫س فاق ْد أد اْركا ْال اع‬
‫ص ار‬ َّ ‫ب ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫ار ْكعاةً ِمنا ْالعا‬
‫ص ِر قا ْب ال أ ا ْن ت ا ْغ ُر ا‬

“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum


matahari terbit maka sungguh ia telah mendapatkan shalat
subuh dan siapa yang mendapati satu rakaat ashar sebelum
matahari tenggelam maka sungguh ia telah mendapatkan
shalat ashar.” (HR. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim no. 1373)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata tentang


hadits di atas, “Ini merupakan dalil yang sharih/jelas tentang
orang yang telah mengerjakan satu rakaat subuh atau ashar
kemudian keluar waktu kedua shalat tersebut sebelum orang
itu mengucapkan salam (sebelum sempurna dari amalan
shalatnya, pent.), maka ia tetap harus menyempurnakannya
sampai selesai dan shalatnya pun sah. Dinukilkan adanya
kesepakatan dalam penunaian shalat ashar. Adapun dalam
shalat subuh ada perselisihan. Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i,
Ahmad, dan ulama seluruhnya berpendapat subuh juga
demikian, menyelisihi Abu Hanifah yang mengatakan, ‘Shalat
subuh yang sedang dikerjakannya batal dengan terbitnya
matahari karena telah masuk waktu larangan mengerjakan
shalat, beda halnya dengan tenggelamnya matahari.’ Namun
hadits ini merupakan hujjah yang membantahnya.” (Al-Minhaj,
5/109)

Hukum di atas adalah bagi orang yang mengakhirkan


waktu shalat sampai ke waktu yang sempit tersebut. Adapun
bagi orang yang tertidur atau lupa maka tidak hilang baginya
waktu shalat selama-lamanya walaupun telah keluar dari
seluruh waktunya, selama memang ia tidak mengerjakannya
karena tertidur atau karena lupa. Waktu mereka
mengerjakannya adalah ketika ingat atau saat terbangun dari
tidur.

Ketiduran dari mengerjakan shalat ini pernah dialami


oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau
dikarenakan kelelahan yang sangat. Sebagaimana disebutkan
dalam hadits Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata,
“Kami berjalan bersama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pada suatu malam. Sebagian orang yang ikut rombongan
berkata, ‘Seandainya anda berhenti sebentar untuk beristirahat
dengan kami, wahai Rasulullah!’ Beliau menjawab, ‘Aku
khawatir kalian akan ketiduran dari mengerjakan shalat.’ Bilal
berkata, ‘Aku yang akan membangunkan kalian.’ Maka para
sahabat yang lain pun berbaring tidur sedangkan Bilal
menyandarkan punggungnya ke tunggangannya. Namun
ternyata ia dikuasai oleh kantuk hingga tertidur. Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam terbangun sementara matahari
telah terbit. Beliau pun bersabda, ‘Wahai Bilal, apa yang tadi
engkau katakan? Katanya engkau yang membangunkan kami?’
Bilal menjawab, ‘Aku sama sekali belum pernah tertidur seperti
tidurku kali ini.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫اس‬ِ َّ‫ قُ ْم فاأ ا ِذِّ ْن بِالن‬،ُ‫ ياا بَِلال‬،‫علا ْي ُك ْم ِحيْنا شاا اء‬ ‫ اور َّدهاا ا‬،‫ض أ ا ْر اوا اح ُك ْم ِحيْنا شاا اء‬
‫ِإ َّن هللاا قابا ا‬
‫صلَّى‬
‫َّت قا ا ام فا ا‬
ْ ‫س اوا ْبيااض‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫ فالا َّما‬،‫ فات ااوضَّأا‬.ِ‫صَلاة‬
ِ ‫ارت ا افعا‬ َّ ‫بِال‬

“Sesungguhnya Allah menahan ruh-ruh kalian kapan Dia


inginkan dan Dia mengembalikannya pada kalian kapan Dia
inginkan. Wahai Bilal! Bangkit lalu kumandangkan azan untuk
memanggil manusia guna mengerjakan shalat.” Beliau lalu
berwudhu, tatkala matahari telah meninggi dan memutih,
beliau bangkit untuk mengerjakan shalat.” (HR. Al-Bukhari no.
595)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫صَلاة ا احتَّى يا ِج ْي اء‬ َّ ‫ص ِِّل ال‬ ‫علاى ام ْن لا ْم يُ ا‬ ‫ط ا‬ ‫أ ا اما إِنَّهُ لاي ا‬


ٌ ‫ْس فِي النَّ ْو ِم ت ا ْف ِر ْي‬
ُ ‫ إِنَّ اما الت َّ ْف ِر ْي‬،‫ط‬

‫ فا ام ْن يا ْفعا ْل اذلِكا فا ْليُ ا‬،‫صَلاةِ ْاْل ُ ْخ ارى‬


‫ص ِلِّ اها ِحيْنا تانابَّها لا اها‬ َّ ‫او ْقتُ ال‬

“Sesungguhnya tertidur dari mengerjakan shalat


bukanlah sikap tafrith (menyia-nyiakan). Hanyalah merupakan
tafrith bila seseorang tidak mengerjakan shalat hingga datang
waktu shalat yang lain (dalam keadaan ia terjaga dan tidak
lupa). Maka siapa yang tertidur (atau lupa) sehingga belum
mengerjakan shalat, hendaklah ia mengerjakannya ketika
terjaga/ketika sadar/ingat.” (HR. Muslim no. 1560)

Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata


menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫ي‬ ‫صَلاة ا فا ْليُ ا‬


َّ ‫ أاقِ ِم ال‬:‫ فاإ ِ َّن هللاا قاالا‬،‫ص ِلِّ اها ِإ اذا اذ اك ارهاا‬
ْ ‫صَلاة ا ِل ِذ ْك ِر‬ ‫ام ْن نا ِس ا‬
َّ ‫ي ال‬
“Siapa yang lupa dari mengerjakan shalat, maka
hendaklah ia mengerjakannya ketika ingat, karena Allah
berfirman: ‘Tegakkanlah shalat untuk mengingat-Ku’.”(HR.
Muslim no. 1558)

1 Karena fajar ada dua, fajar pertama yang disebut fajar


kadzib dan fajar kedua yang disebut fajar shadiq. Fajar shadiq
ini muncul tersebar dalam keadaan melintang di ufuk.

2 Juga pendapat Al-Imam Ahmad, Abu Tsaur, Al-Auza’i,


Dawud bin ‘Ali, dan Abu Ja’far Ath-Thabari. (Nailul Authar,
1/466)

3 Lihat At-Tamhid, 1/141. 4 HR. At-Tirmidzi no. 154,


dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih
Sunan At-Tirmidzi.

5 Karena di zaman itu tidak ada penerangan lampu,


sehingga mereka mengerjakan shalat subuh dalam keadaan
gelap. Sampai-sampai seseorang tidak tahu siapa yang shalat di
sebelahnya. Beda halnya dengan keadaan masjid-masjid di
zaman sekarang yang selalu terang benderang dengan cahaya
lampu.

Shalat Zhuhur

Awal waktu zhuhur adalah saat matahari tergelincir


(waktu zawal) dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu
ashar. Jabir bin Samurah radhiyallahu ‘anhu berkata:

‫س‬ َّ ‫ت ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫ض‬ ُّ ‫ص ِلِّي‬
‫الظ ْه ار إِ اذا اد اح ا‬ ُّ ِ‫اكانا النَّب‬
‫ي صلى هللا عليه وسلم يُ ا‬

“Adalah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat zhuhur


ketika matahari tergelincir.” (HR. Muslim no. 1403)

Hadits ini menunjukkan disenanginya menyegerakan


shalat zhuhur, demikian pendapat Asy-Syafi’i rahimahullahu
dan jumhur ulama. (Al-Minhaj 5/122, Al-Majmu’ 3/56)

Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata:


‫علاى ثِياابِناا‬
‫س اج ْدناا ا‬ َّ ِ‫س ْو ِل هللاِ صلى هللا عليه وسلم ب‬
‫ ا‬،‫الظ اهائِ ِر‬ ‫صلَّ ْيناا خ ْال ا‬
ُ ‫ف ار‬ ‫ُكنَّا ِإ اذا ا‬
‫اتِِّقاا اء ْال اح ِ ِّر‬

“Kami bila mengerjakan shalat zhuhur di belakang


Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami sujud di atas
pakaian kami dalam rangka menjaga diri dari panasnya
matahari di siang hari.” (HR. Al-Bukhari no. 542 dan Muslim
no. 1406)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani rahimahullahu


menyatakan, “Hadits ini menunjukkan disegerakannya
pelaksanaan shalat zhuhur walaupun dalam kondisi panas
yang sangat. Ini tidaklah menyelisihi perintah untuk ibrad
(menunda shalat zhuhur sampai agak dingin, pent.), akan
tetapi hal ini untuk menerangkan kebolehan shalat di waktu
yang sangat panas, sekalipun ibrad lebih utama.” (Fathul Bari,
2/32)

Seperti disinggung di atas bahwa untuk shalat zhuhur


ada istilah ibrad, yaitu menunda pelaksanaan shalat zhuhur
sampai agak dingin. Ini dilakukan ketika hari sangat panas
sebagai suatu pengecualian/pengkhususan dari penyegeraan
shalat zhuhur. Jumhur berkata, “Disenangi ibrad dalam shalat
zhuhur kecuali pada waktu yang memang dingin.” (Nailul
Authar, 1/427)

Dalam hal ini ada hadits dari Rasulullah Shallallahu


‘alaihi wa sallam:

‫ فاإ ِ َّن ِش َّدة ا ْال اح ِ ِّر ِم ْن فايْحِ اج اهنَّ ام‬،ِ‫صَلاة‬ ‫إِ اذا ا ْشت ا َّد ْال اح ُّر فاأاب ِْرد ُْوا ا‬
َّ ‫ع ِن ال‬

“Apabila panas yang sangat maka akhirkanlah shalat


zhuhur sampai waktu dingin karena panas yang sangat
merupakan semburan hawa neraka jahannam.” (HR. Al­-
Bukhari no. 533 dan Muslim no. 1394)

Hikmah dari ibrad ini adalah untuk memperoleh


kekhusyukan, karena dikhawatirkan bila shalat dalam keadaan
panas yang sangat akan menyulitkan seseorang untuk
khusyuk. (Al-Majmu’ 3/64)
Bagaimana Mengetahui Waktu Zawal?

Matahari telah zawal artinya matahari telah


miring/condong dari tengah-tengah langit setelah datangnya
tengah hari. Hal itu diketahui dengan munculnya bayangan
seseorang/suatu benda di sebelah timur setelah sebelumnya
bayangan di sisi barat hilang. Siapa yang hendak mengetahui
hal tersebut maka hendaknya ia mengukur bayangan matahari.
Manakala matahari semakin tinggi maka bayangan itu akan
berkurang dari arah barat dan terus berkurang. Pas di tengah
hari, saat matahari tepat di tengah-tengah langit, pengurangan
bayangan tersebut berhenti. Nah, ketika matahari telah
miring/bergeser dari tengah langit kembali bayangan muncul
dan semakin bertambah serta jatuhnya di sisi timur. Awal
pertama kali muncul di sisi timur itulah yang dinamakan
waktu zawal. (Al-Ma’unah 1/196, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9,
Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/367-368, Al-Majmu’ 3/28-29, Al-
Mabsuth 1/133, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/133)

Akhir Waktu Zhuhur


Waktu shalat zhuhur masih terus berlangsung selama
belum datang waktu shalat ashar dan bayangan seseorang
sama dengan tinggi orang tersebut. Seperti ditunjukkan dalam
hadits Abdullah bin ‘Amr radhiyallahu ‘anhuma, bahwasanya
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْ ‫ض ِر ْال اع‬
‫ص ُر‬ ُ ‫الر ُج ِل اك‬
ُ ْ‫ط ْو ِل ِه اما لا ْم ايح‬ َّ ‫ او اكانا ِظ ُّل‬،‫س‬
ُ ‫ش ْم‬ ُّ ُ‫او ْقت‬
ِ ‫الظ ْه ِر ِإ اذا زا الا‬
َّ ‫ت ال‬

“Waktu shalat zhuhur adalah bila matahari telah


tergelincir dan bayangan seseorang sama dengan tingginya
selama belum datang waktu ashar.” (HR. Muslim no. 1387)

Apakah bayangan zawal ikut digabungkan ke bayangan


benda/sesuatu untuk menunjukkan keluarnya/habisnya
waktu zhuhur dan telah masuknya waktu ashar, ataukah tidak
digabungkan?

Sebagai contoh, ada seseorang tingginya 165 cm, dan


tinggi/panjang bayangannya ketika zawal 20 cm. Maka apakah
keluarnya waktu zhuhur dan masuknya waktu ashar dengan
menambahkan tinggi seseorang dengan tinggi/panjang
bayangannya ketika zawal (165 ditambah 20) sehingga
tinggi/panjang bayangan menjadi 185 cm, atau cukup
tinggi/panjang bayangan 165 cm?

Al-Qarrafi rahimahullahu berkata, “Awal waktu ikhtiyari


pada shalat zhuhur adalah pada saat zawal, dan ini
berlangsung sampai panjang bayangan benda semisal dengan
bendanya, (dihitung) setelah panjang bayangan benda ketika
zawal.” (Adz-Dzakhirah 2/13)

Dikatakan dalam Raudhatu Ath-Thalibin (1/208), “Waktu


zhuhur selesai apabila bayangan seseorang sama dengan
tingginya, selain bayangan yang tampak ketika zawal.”

Ibnu Hazm rahimahullahu berkata, “Awal waktu zhuhur


saat matahari mulai tergelicir dan miring/condong (ke barat).
Maka tidak halal sama sekali melakukan shalat zhuhur
sebelum itu, dan bila dikerjakan maka shalat tersebut tidaklah
mencukupi. Waktu shalat zhuhur terus berlangsung sampai
bayangan segala sesuatu sama dengan bendanya tanpa
memperhitungkan bayangan yang muncul saat awal zawalnya
matahari, tetapi yang dihitung/dianggap adalah yang lebih
dari bayangan zawal tersebut.” (Al-Muhalla, 2/197)

Ibnu Qudamah rahimahullahu berkata, “Akhir waktu


zhuhur adalah bila bayangan segala sesuatu sama dengan
tingginya, setelah menambahkan bayangan sesuatu tersebut
dengan bayangan tatkala zawal/matahari tergelicir.” (Al-Kafi,
1/120)

Penulis Zadul Mustaqni’ menyebutkan, “Waktu zhuhur


dari zawal sampai bayangan sesuatu sama dengan sesuatu
tersebut setelah (ditambah) dengan bayangan zawal.”

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin


rahimahullahu dalam syarahnya terhadap ucapan penulis
tersebut mengatakan, “Di saat matahari terbit, sesuatu yang
tinggi akan memiliki bayangan yang jatuh ke arah barat.
Kemudian bayangan tersebut akan berkurang sesuai kadar
tingginya matahari di ufuk. Demikian seterusnya hingga
bayangan tersebut berhenti dari pengurangan. Tatkala
bayangan tersebut berhenti dari pengurangan, kemudian
bayangan itu bertambah walau hanya satu rambut maka itulah
zawal dan dengannya masuklah waktu zhuhur. Ucapan
penulis “setelah (ditambah) dengan bayangan zawal”
maksudnya bayangan yang tampak saat matahari tergelincir
(zawal) tidaklah terhitung. Pada waktu kita yang sekarang ini,
tatkala matahari radhiyallahu ‘anhumaondong ke selatan maka
bagi setiap sesuatu yang tinggi pasti memiliki bayangan yang
selalu ada di arah utaranya. Bayangan ini tidaklah teranggap.
Bila bayangan ini mulai bertambah maka letakkanlah tanda
pada tempat awal penambahannya. Kemudian bila bayangan
itu memanjang dari mulai tanda yang telah diberikan sampai
setinggi (sepanjang) benda (sesuatu yang tinggi tersebut)
berarti waktu zhuhur sudah berakhir dan telah masuk waktu
ashar.” (Asy-Syarhul Mumti’, 2/102)

Pendapat seperti ini yang bisa kami kumpulkan dari


beberapa kitab, di antaranya Al-Ma’unah (1/196), Mawahibul
Jalil (1/388), Majmu’ Fatawa (23/267), Ar-Raudhul Murbi’
(1/100), Syarhu Muntaha Al-Iradat (1/133), Mughnil Muhtaj
(1/249), At-Tahdzib lil Baghawi (2/9), Al-Hawil Kabir (2/14),
Ad-Durarus Saniyyah (4/216,219,220,222), Adhwa`ul Bayan,
Tafsir Surah An Nisa` ayat 103, dan beberapa kitab yang
lainnya.
5. Shalat Isya

Awal waktu shalat Isya adalah saat tenggelamnya syafaq


dan akhir waktunya ketika pertengahan malam, sebagaimana
ditunjukkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul Ash
radhiyallahu ‘anhuma, ia berkata:

‫صَلاةِ ْالفاجْ ِر‬‫ او ْقتُ ا‬:‫ فاقاالا‬،ِ‫صلا اوات‬ َّ ‫ت ال‬ ‫سلَّ ام ا‬


ِ ‫ع ْن او ْق‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ‫س ْو ُل هللاِ ا‬ ُ ‫سئِ ال ار‬ ُ
‫اء اما لا ْم‬
ِ ‫س ام‬َّ ‫ط ِن ال‬ْ ‫ع ْن با‬
‫س ا‬
ُ ‫ش ْم‬ ُّ ِ‫صَلاة‬
ِ ‫الظ ْه ِر إِ اذا زا الا‬
َّ ‫ت ال‬ ‫ او او ْقتُ ا‬،‫ش ْم ِس ْاْل ا َّو ِل‬َّ ‫طلُ ْع قا ْر ُن ال‬ْ ‫اما لا ْم يا‬
ْ ُ‫س اويا ْسق‬
ُ‫ او او ْقت‬،ُ‫ط اق ْرنُ اها ْاْل ا َّول‬ َّ ‫صفا َّر ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ْ ‫ص ِر اما لا ْم ت ا‬ ْ ‫صَلاةِ ْالعا‬
‫ او او ْقتُ ا‬،‫ص ُر‬ ْ ‫ض ِر ْالعا‬ ُ ْ‫ياح‬
‫ف ْال ال ْي ِل‬ ْ ِ‫صَلاةِ ْال ِعشاا ِء ِإلاى ن‬
ِ ‫ص‬ ‫ او او ْقتُ ا‬،‫شفا ُق‬ َّ ‫س اما لا ْم يا ْسقُ ِط ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫صَلاةِ ْال ام ْغ ِر‬
ِ ‫ب ِإ اذا غاابا‬
َّ ‫ت ال‬ ‫ا‬

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang


waktu shalat (yang lima), beliau pun menjawab, “Waktu shalat
fajar adalah selama belum terbit sisi matahari yang awal.
Waktu shalat zhuhur apabila matahari telah tergelincir dari
perut (bagian tengah) langit selama belum datang waktu
Ashar. Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning
dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal. Waktu shalat
maghrib adalah bila matahari telah tenggelam selama belum
jatuh syafaq. Dan waktu shalat isya adalah sampai tengah
malam.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu,
disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
bersabda:

‫آخ ُر او ْقتِ اها‬


ِ ‫س او‬ ُ ‫ش ْم‬ ُّ ِ‫صَلاة‬
َّ ‫الظ ْه ِر ِحيْنا ت ُاز ْو ُل ال‬ ‫ت ا‬ ِ ‫ اوإِ َّن أ ا َّو ال او ْق‬،‫آخ ًرا‬
ِ ‫صَلاةِ أ ا َّوالً او‬
َّ ‫إِ َّن ِلل‬
‫آخ ار او ْقتِ اها ِحيْنا‬ ِ ‫ص ِر ِحيْنا يا ْد ُخ ُل او ْقت ُ اها اوإِ َّن‬ْ ‫صَلاةِ ْالعا‬
‫ت ا‬ ْ ‫ِحيْنا يا ْد ُخ ُل او ْقتُ ْالعا‬
ِ ‫ اوإِ َّن أ ا َّو ال او ْق‬،‫ص ِر‬
ُ ‫آخ ار او ْقتِ اها ِحيْنا يا ِغي‬
‫ْب‬ ِ ‫س اوإِ َّن‬ َّ ‫ب ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ُ ‫ب ِحيْنا ت ا ْغ ُر‬ ِ ‫ت ْال ام ْغ ِر‬
ِ ‫ اوإِ َّن أ ا َّو ال او ْق‬،‫س‬ ُ ‫ش ْم‬ َّ ‫صفا ُّر ال‬
ْ ‫تا‬
،ُ‫ب اللا ْيل‬
ُ ‫اص‬ ِ ‫ْب ْاْلُفُ ُق اوإِ َّن‬
ِ ‫آخ ار او ْقتِ اها ِحيْنا يا ْنت‬ ِ ‫ت ْال ِعش‬
ُ ‫ااء ْاْل ِخ ارةِ ِحيْنا يا ِغي‬ ِ ‫ اوإِ َّن أ ا َّو ال او ْق‬،‫ْاْلُفُ ُق‬
‫س‬ َّ ‫آخ ار او ْقتِ اها ِحيْنا ت ْاطلُ ُع ال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫طلُ ُع ْالفاجْ ُر اوإِ َّن‬
ْ ‫ت ْالفاجْ ِر ِحيْنا يا‬
ِ ‫او ِإ َّن أ ا َّو ال او ْق‬

“Sesungguhnya shalat itu memiliki awal dan akhir


waktu. Awal waktu shalat zhuhur adalah saat matahari
tergelincir dan akhir waktunya adalah ketika masuk waktu
ashar. Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya
dan akhir waktunya saat matahari menguning. Awal waktu
shalat maghrib adalah ketika matahari tenggelam dan akhir
waktunya ketika tenggelam ufuk. Awal waktu shalat isya
adalah saat ufuk tenggelam dan akhir waktunya adalah
pertengahan malam. Awal waktu shalat fajar adalah ketika
terbit fajar dan akhir waktunya saat matahari terbit.” (HR. At-
Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Lihat Ash-Shahihah no. 1696)
Dalam hadits Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma tentang
Jibril mengimami Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
shalat lima waktu selama dua hari berturut-turut, disebutkan
sabda beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

‫شفا ُق‬ ‫ى ِبي ْال ِعشاا اء ِحيْنا غ ا‬


َّ ‫ااب ال‬ َّ ‫صل‬
‫او ا‬

“…Dan Jibril shalat Isya denganku ketika tenggelamnya


syafaq….” (HR. Abu Dawud no. 393, Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu berkata tentang hadits ini dalam Shahih Abi
Dawud, “Hasan shahih.”)

Selain itu, ada pula hadits lain yang menunjukkan akhir


waktu isya adalah pertengahan malam. Seperti hadits Anas bin
Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

‫ قا ْد‬:‫ ث ُ َّم قاالا‬،‫صلَّى‬


‫ف اللَّ ْي ِل ث ُ َّم ا‬ِ ‫ص‬ ِ ‫صَلاة ا ْال ِعش‬
ْ ِ‫ااء إِلاى ن‬ ‫سلَّ ام ا‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ُّ ِ‫أ ا َّخ ار النَّب‬
‫ي ا‬
‫صَلاةٍ اما ا ْنت ا ا‬
‫ظ ْرت ُ ُم ْوهاا‬ ‫ أ ا َّما إِنَّ ُك ْم فِي ا‬،‫اس اوناا ُم ْوا‬
ُ َّ‫صلَّى الن‬
‫ا‬
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat
isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu
berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur,
adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian
menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572
dan Muslim no. 1446)

Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu


secara marfu’:

‫ص ِف ِه‬ ِ ُ‫علاى أ ُ َّم ِتي اْل ا ام ْرت ُ ُه ْم أ ا ْن ي اُؤ ِ ِّخ ُروا ْال ِعشاا اء ِإلاى ثُل‬
ْ ِ‫ث اللَّ ْي ِل أ ا ْو ن‬ ُ ‫لا ْوالا أ ا ْن أ ا‬
‫ش َّق ا‬

“Seandainya tidak memberati umatku niscaya aku akan


memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat isya
sampai sepertiga atau pertengahan malam.” (HR. At-Tirmidzi
no. 167, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Shahih Sunan At-Tirmidzi)

Juga hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia


berkata:
‫احْو‬
ٌ ‫ضى ن‬ ‫ فالا ْم يا ْخ ُرجْ احتَّى ام ا‬،‫صَلاة ا ْالعات ا ام ِة‬ ‫سلَّ ام ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬‫صلَّى هللاُ ا‬‫س ْو ِل هللاِ ا‬ ُ ‫صلَّ ْيناا ام اع ار‬
‫ا‬
‫صلُّوا اوأ ا اخذُ ْوا‬ ‫اس قا ْد ا‬ ْ ‫ِم ْن ش‬
‫ ِإ َّن النَّ ا‬:‫ فاأ ا اخ ْذناا امقاا ِع ادناا فاقاالا‬.‫ ُخذُ ْوا امقاا ِع اد ُك ْم‬:‫ فاقاالا‬،‫اط ِر اللَّ ْي ِل‬
‫س ْق ُم‬
‫ْف او ا‬ ِ ‫ض ِعي‬
َّ ‫ف ال‬ ‫ولا ْوالا ا‬،
ُ ‫ض ْع‬ َّ ‫ظ ْرت ُ ُم ال‬
‫صَلاة ا ا‬ ‫صَلاةٍ ما ا ا ْنت ا ا‬ ‫ اوإِنَّ ُك ْم لا ْن ت ازا الُ ْوا فِي ا‬،‫اجعا ُه ْم‬
ِ ‫ض‬ ‫ام ا‬
ْ ‫لى ش‬
‫اط ِر اللَّ ْي ِل‬ َّ ‫س ِقي ِْم اْل ا َّخ ْرتُ اه ِذ ِه ال‬
‫صَلاة ا إِ ا‬ َّ ‫ال‬

Kami pernah hendak shalat isya bersama Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun beliau tidak keluar dari
tempat tinggalnya (menuju ke masjid) hingga berlalu sekitar
pertengahan malam. Beliau lalu berkata, “Tetaplah di tempat
duduk kalian.” Kami pun menempati tempat duduk kami.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu bersabda,
“Sungguh saat seperti ini orang-orang telah selesai
mengerjakan shalat isya dan telah menempati tempat berbaring
(tempat tidur) mereka. Dan sungguh kalian terus menerus
teranggap dalam keadaan shalat selama kalian menanti shalat.
Seandainya bukan karena kelemahan orang yang lemah dan
sakitnya orang yang sakit niscaya aku akan mengakhirkan
shalat isya ini sampai pertengahan malam.” (HR. Abu Dawud
no. 422, dishahihkan Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam
Shahih Sunan Abi Dawud)
Dalam Al-Qamus disebutkan, “Malam adalah dari
tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar shadiq atau
terbitnya matahari.” Adapun dalam istilah syar’i, secara zahir
malam itu berakhir dengan terbitnya fajar. Berdasarkan hal ini
kita mengetahui bahwa tengah malam itu diukur dari
tenggelamnya matahari sampai terbitnya fajar. Pertengahan
waktu antara keduanya itulah yang disebut tengah malam
sebagai akhir waktu shalat isya. Adapun setelah tengah malam
ini bukanlah waktu pelaksanaan shalat fardhu, tapi waktu
untuk melaksanakan shalat sunnah/nafilah seperti tahajjud.
(Asy-Syarhul Mumti’ 2/115)

Apa yang Dimaksud dengan Syafaq?

Ulama berbeda pendapat tentang apa yang dimaksud


dengan syafaq yang merupakan tanda habisnya waktu maghrib
dan masuknya waktu isya.

Mayoritas mereka berpendapat bahwa syafaq itu adalah


warna kemerahan di langit sebagaimana pendapat yang
diriwayatkan dari ‘Umar ibnul Khaththab, ‘Ali bin Abi Thalib,
Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Hurairah, ‘Ubadah ibnush
Shamit, dan Syaddad bin Aus g. Demikian pula pendapat Mak-
hul dan Sufyan Ats-Tsauri. Ibnul Mundzir menghikayatkan
pendapat ini dari Ibnu Abi Laila, Malik, Ats-Tsauri, Ahmad,
Ishaq, Abu Yusuf, Muhammad bin Al-Hasan, Abu Tsaur dan
Dawud.

Sebagian lagi berpandangan syafaq adalah warna putih,


seperti pendapat Abu Hanifah, Zufar dan Al-Muzani.
Diriwayatkan pula hal ini dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu
‘anhu, ‘Umar bin Abdil Aziz, Al-Auza’i, dan dipilih oleh Ibnul
Mundzir. (Al-Majmu’ 3/44, 45, At-Tahdzib lil Baghawi, 2/10,
Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/372, Nailul Authar 1/456)

Namun yang rajih (kuat) adalah pendapat pertama,


karena pemaknaan syafaq dengan warna kemerahan di langit
itulah yang dikenal di kalangan orang-orang Arab, dan ini
disebutkan dalam syair-syair mereka. Demikian pula
penjelasan yang diberikan oleh para ahli bahasa seperti Al-
Azhari. Ia berkata, “Syafaq menurut orang Arab adalah
humrah (warna kemerah-merahan di langit).”
Ibnu Faris berkata dalam Al-Mujmal: Al-Khalil berkata:
“Syafaq adalah humrah yang muncul sejak tenggelamnya
matahari sampai waktu isya yang akhir.” (Al-Majmu’, 3/45)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan


surat Al-Insyiqaq memilih pendapat yang menyatakan bahwa
yang dimaukan dengan syafaq adalah humrah. Beliau
menukilkan pendapat ini dari sejumlah besar ahlul ilmi. (Tafsir
Al-Qur`anil Azhim, 8/279)

Al-Imam Ash-Shan’ani rahimahullahu berkata dalam


Subulus Salam (2/31): “Saya katakan, ‘Pembahasan ini adalah
pembahasan dari sisi bahasa. Yang menjadi rujukan dalam hal
ini tentunya ahli bahasa (Arab), sementara Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma termasuk ahli bahasa dan orang Arab
(mengerti bahasa Arab) yang murni, maka ucapannya
merupakan hujjah1, walaupun ucapannya itu hukumnya
mauquf.”

Dalam Al-Qamus disebutkan, syafaq adalah humrah di


ufuk, dari tenggelamnya matahari sampai isya dan mendekati
isya atau mendekati ‘atamah.
Disenangi Mengakhirkan Shalat Isya’

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyenangi


mengakhirkan shalat isya, sebagaimana diisyaratkan dalam
beberapa hadits di atas, ditambah pula hadits berikut ini:

Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

‫سا ُء‬‫اام النِِّ ا‬


‫ ن ا‬،ُ‫صَلاة‬َّ ‫ ال‬:‫ع ام ُر‬ ُ ُ‫ااء احتَّى ناا اداه‬ ِ ‫سلَّ ام بِ ْال ِعش‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ‫سو ُل هللاِ ا‬ ُ ‫أ ا ْعت اام ار‬
َّ‫صلَّى يا ْو امئِ ٍذ ِإال‬ ‫ اوالا يُ ا‬:‫ قاالا‬.‫غي ُْر ُك ْم‬
‫ض ا‬ ِ ‫ اما يا ْنت ِاظ ُرهاا أ ا اح ٌد ِم ْن أ ا ْه ِل ْاْل ا ْر‬:‫ فاخ اار اج فاقاالا‬.‫ان‬
ُ ‫الص ْبيا‬
ِّ ِ ‫او‬
‫ث اللَّ ْي ِل ْاْل ا َّو ِل‬
ِ ُ‫شفا ُق ِإ الى ثُل‬ ‫ اوكاانُ ْوا يُ ا‬،‫بِ ْال ام ِد ْينا ِة‬
‫صلُّ ْونا فِ ْي اما بايْنا أ ا ْن يا ِغي ا‬
َّ ‫ْب ال‬

Rasulullah mengakhirkan shalat isya hingga malam


sangat gelap sampai akhirnya Umar menyeru beliau, “Shalat.
Para wanita dan anak-anak telah tertidur2.” Beliau akhirnya
keluar seraya bersabda, “Tidak ada seorang pun dari
penduduk bumi yang menanti shalat ini kecuali kalian3.” Rawi
berkata, “Tidak dikerjakan shalat isya dengan cara berjamaah
pada waktu itu kecuali di Madinah. Nabi beserta para
sahabatnya menunaikan shalat isya tersebut pada waktu antara
tenggelamnya syafaq sampai sepertiga malam yang awal.”
(HR. Al-Bukhari no. 569 dan Muslim no. 1441)

Juga hadits Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu:

‫ان أانَّهُ لاي ا‬


‫ْس‬ َّ ‫ظ َّن‬
ُّ ‫الظ‬ ‫ فاأ ا َّخ ار احتَّى ا‬،‫صَلاةِ ْالعات ا ام ِة‬ ‫سلَّ ام فِي ا‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬ ‫ي ا‬ َّ ِ‫أ ا ْبقا ْيناا النَّب‬
ُ‫سلَّ ام فاقاالُ ْوا لاه‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬
‫ي ا‬ُّ ِ‫ فاإِنَّا لا اك اذلِكا احتَّى خ اار اج النَّب‬.‫صلَّى‬ ‫ ا‬:ُ‫ او ْالقاائِ ُل ِمنَّا ياقُ ْول‬،ٍ‫اارج‬ ِ ‫بِخ‬
ٌ ‫ص ِلِّ اها أ ُ َّمة‬
‫سائِ ِر ْاْل ُ ام ِم اولا ْم ت ُ ا‬ ‫ فاإِنَّ ُك ْم قا ْد فاض َّْلت ُ ْم بِ اها ا‬،ِ‫صَلاة‬
‫علاى ا‬ َّ ‫ أ ا ْعتِ ُم ْوا بِ اه ِذ ِه ال‬:‫ فاقاا ال لا ُه ْم‬.‫اكما ا قاالُ ْوا‬
‫قا ْبلا ُك ْم‬

Kami menanti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam


shalat isya (‘atamah), ternyata beliau mengakhirkannya hingga
seseorang menyangka beliau tidak akan keluar (dari
rumahnya). Seseorang di antara kami berkata, “Beliau telah
shalat.” Maka kami terus dalam keadaan demikian hingga Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar, lalu para sahabat pun
menyampaikan kepada beliau apa yang mereka ucapkan.
Beliau bersabda kepada mereka, “Kerjakanlah shalat isya ini di
waktu malam yang sangat gelap (akhir malam) karena
sungguh kalian telah diberi keutamaan dengan shalat ini di
atas seluruh umat. Dan tidak ada satu umat sebelum kalian
yang mengerjakannya.” (HR. Abu Dawud no. 421, dishahihkan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi
Dawud)

Namun Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak


mengharuskan umatnya untuk terus mengerjakannya di akhir
waktu disebabkan adanya kesulitan. Dalam pelaksanaan shalat
isya berjamaah di masjid, beliau melihat jumlah orang-orang
yang berkumpul di masjid untuk shalat, sedikit atau banyak.
Sehingga terkadang beliau menyegerakan shalat isya dan
terkadang mengakhirkannya. Bila beliau melihat para
makmum telah berkumpul di awal waktu maka beliau
mengerjakannya dengan segera. Namun bila belum berkumpul
beliau pun mengakhirkannya.

Hal ini ditunjukkan dalam hadits Jabir radhiyallahu


‘anhuma, ia mengabarkan:

ٌ ‫س نا ِقيَّة‬ ْ ‫اج ارةِ او ْال اع‬


َّ ‫ص ار اوال‬
ُ ‫ش ْم‬ ِ ‫الظ ْه ار ِب ْال اه‬
ُّ ‫ص ِلِّي‬
‫سلَّ ام يُ ا‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ‫س ْو ُل هللاِ ا‬ ُ ‫اكانا ار‬
‫ع َّج ال‬ ‫ اكانا ِإ اذا ارآ ُه ْم اق ِد اجْ ت ا امعُ ْوا ا‬،ُ‫ت او ْال ِعشاا اء أاحْ ياانًا ي اُؤ ِ ِّخ ُرهاا اوأاحْ ياانًا يُعا ِ ِّجل‬ ‫او ْال ام ْغ ِر ا‬
ْ ‫ب ِإ اذا او اجبا‬
‫طأ ُ ْوا أ ا َّخ ار‬
‫… او ِإ اذا ارآ ُه ْم أ ا ْب ا‬
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat
zhuhur di waktu yang sangat panas di tengah hari, shalat ashar
dalam keadaan matahari masih putih bersih, shalat maghrib
saat matahari telah tenggelam dan shalat isya terkadang beliau
mengakhirkannya, terkadang pula menyegerakannya. Apabila
beliau melihat mereka (para sahabatnya/jamaah isya) telah
berkumpul (di masjid) beliau pun menyegerakan pelaksanaan
shalat isya, namun bila beliau melihat mereka terlambat
berkumpulnya, beliau pun mengakhirkannya….” (HR. Al-
Bukhari no. 565 dan Muslim no. 1458)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin


rahimahullahu berkata, “Yang afdhal/utama bagi para wanita
yang shalat di rumah-rumah mereka adalah mengakhirkan
pelaksanaan shalat isya, jika memang hal itu mudah
dilakukan.” (Asy-Syarhul Mumti’ 2/116)

Bila ada yang bertanya, “Manakah yang lebih utama,


mengakhirkan shalat isya sendirian atau melaksanakannya
secara berjamaah walaupun di awal waktu?” Jawabannya, kata
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
rahimahullahu, adalah shalat bersama jamaah lebih utama.
Karena hukum berjamaah ini wajib (bagi lelaki), sementara
mengakhirkan shalat isya hukumnya mustahab. Jadi tidak
mungkin mengutamakan yang mustahab daripada yang wajib.
(Asy-Syarhul Mumti’ 2/116, 117)

Keutamaan Menanti Pelaksanaan Shalat Isya

Siapa yang menanti ditegakkannya shalat isya secara


berjamaah bersama imam, maka ia terhitung dalam keadaan
shalat selama masa penantian tersebut. Hal ini dinyatakan
dalam hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu yang telah
lewat penyebutannya di atas:

‫ قا ْد‬:‫صلَّى ث ُ َّم قاالا‬


‫ف اللَّ ْي ِل ث ُ َّم ا‬ِ ‫ص‬ ِ ‫صَلاة ا ْال ِعش‬
ْ ‫ااء ِإلاى ِن‬ ‫سلَّ ام ا‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ُّ ِ‫أ ا َّخ ار النَّب‬
‫ي ا‬
‫صَلاةٍ اما ا ْنت ا ا‬
‫ظ ْرت ُ ُم ْوهاا‬ ‫ أ ا َّما إِنَّ ُك ْم فِي ا‬،‫اس اوناا ُم ْوا‬
ُ َّ‫صلَّى الن‬
‫ا‬

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat


isya sampai pertengahan malam kemudian beliau shalat, lalu
berkata, “Sungguh manusia telah shalat dan mereka telah tidur,
adapun kalian terhitung dalam keadaan shalat selama kalian
menanti waktu pelaksanaan shalat.” (HR. Al-Bukhari no. 572
dan Muslim no. 1446)
Dibenci Tidur Sebelum Isya dan Berbincang Setelahnya

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membenci tidur


sebelum isya dan berbincang-bincang setelahnya4. Dalam hal
ini Abu Barzah Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu berkata:

‫ او اكانا يا ْك ارهُ النَّ ْو ام‬،‫سلَّ ام يا ْست ِاحبُّ أ ا ْن ي اُؤ ِ ِّخ ار ْال ِعشاا اء‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ُ ‫اكانا ار‬
‫س ْو ُل هللاِ ا‬
‫قا ْبلا اها او ْال اح ِدي ا‬
‫ْث با ْع ادهاا‬

“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


menyenangi mengakhirkan shalat isya. Dan beliau membenci
tidur sebelum shalat isya dan berbincang -bincang setelahnya.”
(HR. Ibnu Majah no. 701, dishahihkan Al-Imam Al-Albani
rahimahullahu dalam Shahih Sunan Ibni Majah)

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:

ِ ‫س ام ار با ْع اد ْال ِعش‬
‫ااء‬ َّ ‫سلَّ ام ال‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ُ ‫ب لاناا ار‬
‫س ْو ُل هللاِ ا‬ ‫اج اد ا‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
memperingatkan kami dari berbincang-bincang setelah isya.”
(HR. Ahmad 1/388-389, 410, Ibnu Majah no. 703, dishahihkan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahihah no.
2435)

At- Tirmidzi rahimahullahu berkata, “Kebanyakan ahlul


ilmi membenci tidur sebelum shalat isya dan ngobrol
setelahnya. Sebagian mereka memberi keringanan dalam hal
ini. Abdullah ibnul Mubarak rahimahullahu berkata,
‘Kebanyakan hadits menunjukkan makruhnya’.” (Sunan At-
Tirmidzi, 1/110)

Larangan tidur sebelum isya ini ditujukan kepada orang


yang dengan sengaja melakukannya. Adapun orang yang tidak
kuasa menahan kantuknya sehingga jatuh tertidur, maka
diberikan pengecualian. Hal ini ditunjukkan dalam hadits
Aisyah radhiyallahu ‘anha di atas dalam pembahasan
disenanginya mengakhirkan shalat isya, tentang tertidurnya
para wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya
berjamaah di masjid, sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak mengingkari tidur mereka. (Fathul Bari, 2/66)

Demikian pula hadits Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma:

‫ فاأ ا َّخ ارهاا احتَّى ارقا ْدناا فِي ْال امس ِْج ِد‬،ً‫ع ْن اها لا ْيلاة‬ ُ ‫سلَّ ام‬
‫ش ِغ ال ا‬ ‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬ ‫س ْو ال هللاِ ا‬ ُ ‫أ ا َّن ار‬
‫ْس أ ا اح ٌد‬
‫ لاي ا‬:‫سلَّ ام ث ُ َّم قاالا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬ ‫ي ا‬ ‫ظناا ث ُ َّم خ اار اج ا‬
ُّ ِ‫علا ْيناا النَّب‬ ْ ‫ظناا ث ُ َّم ارقا ْدناا ث ُ َّم ا ْست ا ْيقا‬
ْ ‫ث ُ َّم ا ْست ا ْيقا‬
‫ إِ اذا اكانا‬،‫ع ام ار الا يُباا ِلي أاقا َّد ام اها أ ا ْو أ ا َّخَا ارهاا‬ُ ‫ او اكانا اب ُْن‬.‫غي ُْر ُك ْم‬ ‫صَلاة ا ا‬ َّ ‫ض يا ْنت ِاظ ُر ال‬ ِ ‫ِم ْن أ ا ْه ِل ْاْل ا ْر‬
‫الا يا ْخشاى أ ا ْن يا ْغ ِلبا اها النَّ ْو ُم ا‬
‫ع ْن او ْقتِ اها او اكانا يا ْرقُ ُد قا ْبلا اها‬

Suatu malam Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam


tersibukkan dari mengerjakan shalat isya di awal waktu, maka
beliau mengakhirkannya hingga kami tertidur di masjid
kemudian kami terbangun, lalu kami tidur lagi kemudian
terbangun. Lalu keluarlah Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
menemui kami, kemudian beliau bersabda: “Tidak ada seorang
pun dari penduduk bumi yang menanti shalat ini selain
kalian.” Adalah Ibnu Umar tidak memedulikan apakah ia
mendahulukan atau mengakhirkannya, apabila ia tidak
khawatir tertidur pulas/nyenyak dari mengerjakannya pada
waktunya. Adalah Ibnu Umar tidur sebelum shalat isya.” (HR.
Al-Bukhari no. 570)
Dalam riwayat Abdurrazzaq, dari Ma’mar, dari Ayyub,
dari Nafi’, disebutkan bahwa terkadang Ibnu ‘Umar
radhiyallahu ‘anhuma tertidur sebelum mengerjakan shalat
isya dan beliau memerintahkan orang untuk
membangunkannya. (Fathul Bari, 2/68)

Ibnul ‘Arabi berkata, “Tidur sebelum shalat isya ini boleh


bagi orang yang yakin bahwa ia biasanya terbangun sebelum
habisnya waktu shalat isya atau bersamanya ada orang yang
akan membangunkannya.” (Nailul Authar, 1/461)

Adapun tentang berbincang-bincang setelah shalat isya,


maka yang dimaksudkan adalah obrolan yang sebenarnya
mubah bila dilakukan di selain waktu ini. Bila suatu obrolan
makruh diperbincangkan pada waktu lain selain setelah isya,
tentunya lebih sangat lagi dimakruhkan bila dilakukan setelah
isya. Sementara perbincangan yang memang dibutuhkan maka
tidaklah dimakruhkan dilakukan setelah isya. Demikian pula
berbicara tentang perkara kebaikan seperti membaca hadits
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diskusi ilmu, cerita
tentang orang-orang shalih, berbincang dengan istri, tamu, dan
semisalnya. (Al-Majmu’ 3/44, Syarhu Muntaha Al-Iradat
1/135)

Al-Imam Al-Albani rahimahullahu berkata, “Yang zahir


dari sejumlah hadits yang datang dalam bab ini adalah
dibencinya berbincang dan begadang (setelah shalat isya),
kecuali dalam perkara mengandung kebaikan bagi orang yang
berbicara atau kebaikan bagi kaum muslimin.” (Ats-Tsamarul
Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/75)

Ada beberapa hadits yang menunjukkan pengecualian


dari kemakruhan tersebut:

1. Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu


mengabarkan:

‫سلَّ ام يا ْس ُم ُر ام اع أابِي با ْك ٍر فِي ْاْل ا ْم ِر ِم ْن أاَا ْم ِر‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬


‫علا ْي ِه او ا‬ ُ ‫اكانا ار‬
‫س ْو ُل هللاِ ا‬
‫ْال ُم ْس ِل ِميْنا اوأاناا امعا ُه اما‬
“Adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
berbincang-bincang (setelah shalat isya) bersama Abu Bakr
dalam satu perkara kaum muslimin, dan aku bersama
keduanya.” (Diriwayatkan At-Tirmidzi no. 169, dishahihkan
Al-Imam Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan At-
Tirmidzi)

2. Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata:

ُ ‫صَلاة‬ ‫ْف ا‬ ‫ظ ار اكي ا‬ ُ ‫سلَّ ام ِع ْن ادهاا ِْل ا ْن‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬


‫علا ْي ِه او ا‬ ‫ي ا‬ ُّ ِ‫ت ام ْي ُم ْوناةا لا ْيلاةً اكانا النَّب‬
ِ ‫ارقادْتُ فِي با ْي‬
‫عةً ث ُ َّم‬ ‫سلَّ ام ام اع أ ا ْه ِل ِه ا‬
‫سا ا‬ ‫علا ْي ِه او ا‬‫صلَّى هللاُ ا‬ ‫ي ا‬ ‫ فات ا احد ا‬:‫ قاالا‬،‫سلَّ ام بِاللَّ ْي ِل‬
ُ ِ‫َّث النَّب‬ ‫صلَّى هللاُ ا‬
‫علا ْي ِه او ا‬ ‫ي ا‬ ِِّ ِ‫النَّب‬
‫ارقا اد‬

“Aku pernah tidur di rumah Maimunah (istri Rasulullah


Shallallahu ‘alaihi wa sallam, bibi Ibnu ‘Abbas, pent.) pada
suatu malam sementara Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ada
(giliran bermalam, pent.) di rumah Maimunah. Aku sengaja
bermalam untuk melihat bagaimana cara shalat Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di waktu malam. Kata Ibnu
Abbas, “(Setelah shalat isya, pent.) Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam berbincang-bincang dengan istrinya beberapa saat
kemudian beliau tidur.” (HR. Muslim)
3. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu mengabarkan
bahwa Usaid bin Hudhair dan seorang laki-laki lain dari
Anshar berbincang-bincang di sisi Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam pada suatu malam untuk suatu urusan mereka
berdua, hingga berlalu sesaat dari waktu malam. Sementara
malam itu sangatlah gelap. Keduanya kemudian keluar dari
sisi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk pulang ke tempat
mereka dan di tangan masing-masingnya ada tongkat. Maka
tongkat salah satu dari keduanya bercahaya menerangi
keduanya, hingga mereka berjalan dalam cahaya tongkat
tersebut. Hingga ketika keduanya berpisah, menempuh jalan
berbeda, tongkat yang satunya (yang semula tidak
mengeluarkan cahaya, pent.) juga bercahaya. Maka masing-
masing pun berjalan dalam cahaya tongkatnya hingga tiba di
tempat keluarganya. (Diriwayatkan Ibnu Nashr dari
Abdurrazzaq, kata Al-Imam Albani rahimahullahu, “Sanadnya
shahih di atas syarat sittah.” Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis
Sunnah wal Kitab, 1/76)

4. Abu Sa’id, maula Anshar berkata, “Adalah Umar tidak


membiarkan adanya orang yang berbicara setelah shalat isya.
Beliau berkata, ‘Kembalilah kalian (jangan terus ngobrol setelah
shalat isya. pent.), mudah-mudahan Allah Subhanahu wa
Ta’ala memberi rizki kepada kalian dengan kalian bisa
mengerjakan satu shalat, atau kalian bisa tahajjud.’ Lalu ‘Umar
sampai ke tempat kami. Ketika itu aku sedang duduk bersama
Ibnu Mas’ud, Ubai bin Ka’b dan Abu Dzar. Umar bertanya,
‘Untuk apa kalian duduk di sini?’ Kami menjawab, ‘Kami ingin
berdzikir kepada Allah.’ ‘Umar pun ikut duduk bersama
mereka. (Diriwayatkan oleh Ath-Thahawi 2/391, Ats-Tsamarul
Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/77)

Dibencinya Menamakan Isya dengan ‘Atamah

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

‫ب هللاِ ْال ِعشاا ُء اوإِنَّ اها ت ُ ْعتِ ُم‬ ِ ‫صَلا ِت ُك ُم ْال ِعش‬
ِ ‫ فاإِنَّ اها فِي ِكت اا‬،‫ااء‬ ‫علاى اس ِْم ا‬ ُ ‫الا ت ا ْغ ِلبانَّ ُك ُم ْاْلاع اْر‬
‫اب ا‬
ِْ ‫ب‬
‫اْلبِ ِل‬ ِ ‫بِ ِحَلا‬

“Jangan sekali-kali orang-orang A’rab (Badui)


mengalahkan kalian dalam penamaan shalat isya kalian ini,
karena shalat ini dalam kitabullah disebut isya5 dan ia
diakhirkan saat diperahnya unta.” (HR. Muslim no. 1454)
Dalam riwayat Ahmad disebutkan:

ِ ْ ِ‫ع ْونا اها ْالعات ا امةا ِ ِْل ْعت ِاام ِه ْم ب‬


‫اْلبِ ِل‬ ُ ‫إِنَّ اما يا ْد‬

“(Orang-orang A’rab) menyebut isya dengan atamah,


karena mereka mengakhirkan pemerahan unta sampai malam
sangat gelap (dan di saat itulah dilaksanakan shalat isya,
pent.).” (Kata Al-Imam Albani rahimahullahu: “Sanadnya
shahih di atas syarat Muslim.” Ats-Tsamarul Mustathab, 1/77)

Namun bila sekali-sekali maka boleh dipakai istilah


shalat ‘atamah, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
pernah bersabda dalam hadits yang terdapat dalam Ash-
Shahihain:

‫صبْحِ او ْال اعت ا ام ِة اْلات ْاو ُه اما اولا ْو احب ًْوا‬


ُّ ‫اولا ْو يا ْعلا ُم ْونا اما فِي ال‬

“Seandainya mereka mengetahui keutamaan/pahala


yang didapatkan dalam shalat subuh dan atamah (secara
berjamaah di masjid, pent.) niscaya mereka akan
mendatanginya walaupun dengan merangkak.”

Ibnul Qayyim rahimahullahu berkata, “Ada yang


mengatakan bahwa hadits ini sebagai nasikh (penghapus)
hadits yang melarang penamaan isya dengan ‘atamah. Adapula
yang mengatakan sebaliknya. Namun yang benar adalah apa
yang menyelisih dua pendapat ini, karena tidak diketahuinya
tarikh. Dan sebenarnya tidak ada pertentangan di antara kedua
hadits ini. Dengan demikian, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
tidaklah melarang penamaan isya dengan ‘atamah secara
mutlak. Namun beliau hanya melarang bila sampai nama yang
syar’i, yaitu isya, sampai ditinggalkan. Karena isya adalah
nama yang Allah Subhanahu wa Ta’ala sebutkan dalam Al-
Qur`an, sementara nama ‘atamah telah mengalahkannya.
Apabila shalat ini dinamakan isya namun terkadang ia disebut
‘atamah maka tidaklah apa-apa. Wallahu a’lam.

Dalam hadits ini ada penjagaan dari Nabi Shallallahu


‘alaihi wa sallam terhadap nama-nama yang Allah Subhanahu
wa Ta’ala berikan terhadap ibadah-ibadah yang ada. Sehingga
nama tersebut tidak ditinggalkan, lalu nama yang tidak dari
Allah Subhanahu wa Ta’ala justru diutamakan, sebagaimana
yang dilakukan orang-orang belakangan. Di mana mereka
meninggalkan lafadz-lafadz nash dan lebih
mengutamakan/mengedepankan istilah-istilah yang baru.
Karena hal ini, terjadilah kerusakan yang Allah Subhanahu wa
Ta’ala sajalah yang mengetahuinya.” (Zadul Ma’ad, 2/9)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Karena didapatkan riwayat mauquf dari Ibnu ‘Umar


radhiyallahu ‘anhuma, beliau memaknakan syafaq dengan
humrah, diriwayatkan oleh Al-Baihaqi dan Ad-Daraquthni.

2 Wanita dan anak-anak yang ikut menanti shalat isya di


masjid. ‘Umar menyeru demikian karena menyangka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengakhirkan shalat isya karena
lupa. (Al-Minhaj, 5/139)

3 Dalam riwayat Muslim diterangkan bahwa hal itu


terjadi sebelum tersebarnya Islam di tengah manusia.
4 Ada yang mengatakan bahwa hikmah pelarangan
berbincang setelah shalat isya adalah agar jangan sampai hal
itu menjadi sebab seseorang meninggalkan qiyamul lail (shalat
malam), atau ia tenggelam dalam obrolan kemudian tertidur
pulas setelahnya hingga habis waktu shalat subuh. (Al-Majmu’
3/44, Fathul Bari, 2/66)

5 Yaitu dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam


surah An-Nur ayat 58:

ِ ‫ص اَل ِة ْال ِعش‬


‫ااء‬ ‫او ِم ْن اب ْع ِد ا‬

Sumber: http://drussalaf.or.id offline Penulis : Al-Ustadz


Abu Ishaq Muslim Al-Atsari Judul: Waktu-waktu Shalat

Anda mungkin juga menyukai