Anda di halaman 1dari 18

Tafsir Surah Al-Muzzammil

Tafsir Surah Al-Muzzammil

Surah Al-Muzzammil termasuk ke dalam surah Makkiyah sebagaimana pendapat jumhur ulama([1]).
Sebagian ulama yang lain seperti Al-Qurthubi rahimahullah menyatakan bahwasanya surah Al-
Muzzammil adalah surah Madaniyah([2]). Akan tetapi inilah khilaf di kalangan para ulama, hanya
saja jumhur ulama berpendapat bahwasanya surah Al-Muzzammil termasuk surah Makkiyah karena
isinya mengesankan bahwasanya ayat-ayat tersebut adalah ayat Makkiyah. Di antaranya adalah
karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diperintahkan untuk bersabar dengan ucapan orang-orang
musyrikin dan ayat-ayatnya berbicara tentang hari kiamat, yang ini semua mendukung pendapat
bahwasanya surah Al-Muzzammil adalah surah Makkiyah.

Allah Subhanahu wa ta’ala membuka surah ini dengan berfirman,

‫َياَأُّيَه ا اْلُم َّز ِّمُل‬


“Wahai orang yang berselimut (Muhammad).” (QS. Al-Muzzammil : 1)

Secara umum ada dua tafsiran terkait ayat ini yaitu ada yang menafsirkan secara hakiki, dan ada
yang menafsirkan secara majazi. Penafsiran hakiki maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala
berfirman kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang memakai selimut.
Adapun yang penafsiran majazi maksudnya adalah Allah Subhanahu wa ta’ala memanggil Nabi
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diselimuti dengan syariat, Alquran, atau kenabian.
Adapun makna hakiki, jika kita bisa membawa makna ayat ini kepadanya maka ini yang lebih utama.

Dan benar-benar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berselimut. Di antaranya adalah ketika
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ketakutan sebagaimana hadits yang menceritakan tentang
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang didatangi oleh malaikat Jibril. Ketika itu Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam ketakutan dan gemetar turun dari gua Hira menuju istrinya Khadijah radhiallahu
‘anha dan berkata,

‫ َفَز َّم ُلوُه َح َّتى َذ َهَب َع ْنُه الَّر ْو ُع‬،‫َز ِّم ُلوِني َز ِّم ُلوِني‬
“Selimuti aku, selimuti aku!” Beliau pun diselimuti hingga hilang ketakutannya.”([3])

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits sering disebutkan tidur dalam keadaan
berselimut. Maka secara dzahir ayat ini ditafsirkan dengan penafsiran hakiki, yaitu ayat ini benar-
benar turun tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang berselimut.

Al-Qurthubi rahimahullah menyebutkan bahwa panggilan Allah Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam ayat ini ada dua penafsiran([4]).

Penafsiran pertama adalah Allah Subhanahu wa ta’ala memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
dengan panggilan yang sedang beliau alami adalah bentuk mulathafah, yaitu kelembutan Allah
Subhanahu wa ta’ala kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Karena merupakan kebiasaan orang-
orang Arab yang ingin berlemah lembut kepada seseorang, maka mereka akan memanggil orang
tersebut dengan sebutkan kondisi yang sedang dia alami. Contoh lain dalam hal ini adalah kisah
tatkala Fathimah radhiallahu ‘anha sedang ada masalah dengan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.
Sahl bin Sa’id menceritakan,
‫ َأْيَن اْبُن َع ِّمِك ؟‬: ‫ َفَقاَل‬،‫َج اَء َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َبْيَت َفاِط َم َة َفَلْم َيِج ْد َع ِلًّيا ِفي الَبْيِت‬
‫ َفَلْم َيِقْل ِع ْنِد ي َفَقاَل َر ُسوُل ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه‬، ‫ َفَخ َر َج‬،‫ َفَغاَض َبِني‬، ‫ َك اَن َبْيِني َو َبْيَنُه َش ْي ٌء‬: ‫َقاَلْت‬
‫ َفَج اَء َر ُسوُل ِهَّللا‬، ‫ ُهَو ِفي الَم ْس ِج ِد َر اِقٌد‬،‫ َيا َر ُسوَل ِهَّللا‬: ‫ اْنُظْر َأْيَن ُهَو ؟ َفَج اَء َفَقاَل‬: ‫َو َس َّلَم ِإِل ْنَس اٍن‬
‫ َفَجَعَل َر ُسوُل‬، ‫ َو َأَص اَبُه ُتَر اٌب‬،‫ َقْد َس َقَط ِر َداُؤ ُه َع ْن ِش ِّقِه‬،‫َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َو ُهَو ُم ْض َطِج ٌع‬
‫ ُقْم َأَبا ُتَر اٍب‬،‫ ُقْم َأَبا ُتَر اٍب‬:‫ َو َيُقوُل‬،‫ِهَّللا َص َّلى ُهللا َع َلْيِه َو َس َّلَم َيْمَس ُحُه َع ْنُه‬
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke rumah Fatimah namun Ali tidak ada di rumah.
Beliau lalu bertanya: ‘Kemana putra pamanmu?’ Fatimah menjawab, ‘Antara aku dan dia terjadi
sesuatu hingga dia marah kepadaku, lalu dia pergi dan tidak tidur siang di rumahku’. Maka
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada seseorang: ‘Carilah, dimana dia’. Kemudian
orang itu kembali dan berkata, ‘Wahai Rasulullah, dia ada di masjid sedang tidur’. Maka Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendatanginya, ketika itu Ali sedang berbaring sementara kain
selendangnya jatuh di sisinya hingga ia terkena pasir. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
membersihkannya seraya berkata, ‘Bangunlah wahai Abu Thurab, banugnlah Abu Thurab’.”([5])

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memanggil Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu dengan
kondisinya saat itu yang penuh dengan pasir, beliau memanggilnya dengan sebutan “Bangunlah
Wahai Abu Thurab”.

Demikian pula dalam suatu hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah memanggil
Hudzaifah radhiallahu ‘anhu dengan berkata,

‫ُقْم َيا َنْو َم اُن‬


“Bangunlah wahai orang yang sedang tidur.”([6])

Oleh karenanya ayat ini menunjukkan bahwa tatkala Allah Subhanahu wa ta’ala ingin
memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan perintah yang berat, yaitu wajibnya shalat
malam, maka Allah Subhanahu wa ta’ala memanggil Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan
kelembutan dengan mengatakan,

‫َياَأُّيَها اْلُم َّز ِّم ُل‬


“Wahai orang yang berselimut (Muhammad).”

Penafsiran kedua adalah ayat ini sebagai peringatan. Ketika Allah Subhanahu wa ta’ala memanggil
dengan menyebutkan sifat “Wahai orang-orang yang berselimut”, maka panggilan ini juga bisa
berlaku bagi orang selain Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu umatnya yang berselimut untuk
bangun shalat malam. Karena ayat ini secara dzahir tidak mengkhususkan penyebutan kepada Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam, melainkan kepada manusia secara umumnya. Oleh karenanya bagi
siapapun yang tidur berselimut hendaknya mengingat ayat ini, karena Nabi kita pernah berselimut
dan dipanggil oleh Allah Subhanahu wa ta’ala untuk bangun shalat malam([7]).

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ َأْو ِزْد َع َلْيِه‬، ‫ ِنْص َفُه َأِو اْنُقْص ِم ْنُه َقِلياًل‬، ‫ُقِم الَّلْيَل ِإاَّل َقِلياًل‬
“Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali sebagian kecil, separuhnya atau kurang
sedikit dari itu, atau lebih dari (seperdua) itu.” (QS. Al-Muzzammil : 2)
Jika sekiranya waktu antara shalat isya dan subuh adalah delapan jam, maka ayat menjelaskan
kepada kita bahwa kita diperintahkan shalat malam kurang lebih enam jam (lebih sedikit dari
sepenuhnya), atau empat jam (setengahnya), atau tiga jam (lebih sedikit dari setengah), atau lima
jam (lebih dari setengahnya). Intinya adalah ayat ini merupakan dalil diperintahkannya shalat
malam.

Sebagian ulama kontemporer menamakan surah Al-Muzzammil ini adalah surah ‫( َز اُد الَّد اِعَيِة‬bekal
seorang Da’i). Karena ayat-ayat ini turun di awal-awal Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah,
dimana di siang hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam akan berdakwah menghadapi berbagai macam
cobaan dan gangguan, maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus memulihkan kembali imannya
di malam hari. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan beliau untuk shalat
dengan lama, karena untuk “mencharger” iman juga membutuhkan waktu yang lama, agar di siang
hari beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih mudah berbagai macam problematika kehidupan dan
dakwah. Maka orang yang ingin dimudahkan urusannya oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, maka
sisihkanlah waktu untuk bangun malam dan bermunajat kepada Rabb-Nya. Barangsiapa yang
merelakan dirinya untuk melawan kantuk dan rasa nikmat dari tidurnya karena Allah Subhanahu wa
ta’ala, maka tentu usahanya akan menjadi perhatian Allah Subhanahu wa ta’ala, terlebih lagi jika dia
bermunajat di sepertiga malam yang terakhir.

Berdasarkan ayat ini, sebagian para ulama berdalil bahwasanya yang menjadi patokan seseorang
dalam shalat malam bukanlah jumlah rakaat, melainkan adalah berapa lama seseorang shalat
malam. Karena para ulama telah Ijma’ bahwasanya shalat malam boleh lebih dari 11 rakaat, dan ini
juga merupakan pendapat yang dipraktikan sebagian sahabat dan tabi’in, dan juga pendapat empat
imam mazhab, dan tidaklah menyelisihi hal ini kecuali ulama muta’akhirin seperti Ash-Shan’ani yang
mengatakan bahwa barangsiapa yang melanggengkan shalat tarawih 20 rakaat maka itu adalah
bid’ah. Akan tetapi sebenarnya shalat malam lebih dari sebelas rakaat adalah boleh menurut ijma’
para ulama, dan banyak tulisan dalam masalah ini, karena yang menjadi patokan seseorang dalam
ibadah di malam hari adalah waktunya dan bukan jumlah rakaatnya sebagaimana dalam ayat ini
Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman tentang masalah waktu. Oleh karenanya dalam suatu hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َو َيُصوُم‬،‫ َو َيَناُم ُس ُد َس ُه‬،‫ َك اَن َيَناُم ِنْص َف الَّلْيِل َو َيُقوُم ُثُلَثُه‬، ‫َأَح ُّب الَّص َالِة ِإَلى ِهَّللا َص َالُة َداُوَد َع َلْيِه الَّس َالُم‬
‫ َو ُيْفِط ُر َيْو ًم ا‬،‫َيْو ًم ا‬
“Shalat yang paling Allah cintai adalah shalatnya Nabi Daud ‘alaihissalam. Nabi Daud ‘alaihissalam
tidur hingga pertengahan malam lalu shalat pada sepertiganya kemudian tidur kembali pada
seperenam akhir malamnya.” (Muttafaqun ‘alaih)([8])

Dan Allah Subhanahu wa ta’ala juga memuji orang-orang bertakwa dalam firman-Nya,

‫َك اُنوا َقِلياًل ِم َن الَّلْيِل َم ا َيْهَج ُعوَن‬


“Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam.” (QS. Adz-Dzariyat : 17)

Maka yang menjadi patokan adalah waktunya dan bukan masalah jumlah rakaat. Oleh karenanya
dahulu para salaf berusaha untuk shalat malam dengan waktu yang lama. Adapun untuk mencapai
shalat malam yang lama ini, bisa ditempuh dengan dua metode, yaitu mempersedikit rakaat dan
memperpanjang berdiri sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau dengan
memperpendek berdiri dan memperbanyak rakaat sebagaimana yang diterapakn oleh para salaf.
Adapun metode yang tepat bagi seseorang maka kembali kepada orang tersebut, yang terpenting
adalah waktu habis dengan shalat.
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫َو َر ِّتِل اْلُقْر آَن َتْر ِتياًل‬


“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan perlahan-lahan.” (QS. Al-Muzzammil : 4)

Membaca Alquran dengan tartil bisa memberikan faedah yang sangat besar, di antaranya adalah
bisa membuat seseorang derajatnya naik di akhirat kelak. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam,

‫ َفِإَّن َم ْنِزَلَك ِع ْنَد آِخ ِر آَيٍة َتْقَر ُؤَها‬،‫ َو َر ِّتْل َك َم ا ُكْنَت ُتَر ِّتُل ِفي الُّد ْنَيا‬،‫ َو اْر َتِق‬،‫ اْقَر ْأ‬: ‫ُيَقاُل ِلَص اِح ِب اْلُقْر آِن‬
“Dikatakan kepada Shahibul Quran: ‘Bacalah, dan naiklah, serta bacalah dengan tartil (jangan
terburu-buru), sebagaimana engkau membaca dengan tartil di dunia, sesungguhnya tempatmu
adalah pada akhir ayat yang engkau baca’.”([9])

Tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa seseorang harus menghafalkan Alquran untuk bisa
mendapatkan keutamaan tersebut, akan tetapi ketika disebutkan Shahibul Quran, maka ini
menunjukkan bahwa orang tersebut senantiasa membaca Alquran. Namun tentu tidak diragukan
orang yang hafal al-Qur’an tentu akan selalu mengulang-ngulangi bacaannya untuk menjaga
hafalannya.

Apa yang dimaksud dengan tartil? Kalau kita membaca penafsiran para salaf, maka tartil akan
kembali kepada makna yang paling utama yaitu membaca dengan perlahan dan dengan
tadabur([10]). Adapun membaca perlahan itu sudah pasti akan memudahkan seseorang untuk
menadaburi. Hasan Al-Bashri meriwayatkan bahwa Rasulullah ‫ ﷺ‬pernah melewati seorang laki-
laki yang sedang membaca suatu ayat, kemudian orang tersebut menangis. Maka Rasulullah ‫ﷺ‬
berkata kepadanya,

‫ َو َر ِّتِل اْلُقْر آَن َتْر ِتياًل َهَذ ا الَّتْر ِتيُل‬:‫َأَلم َتْس َم ُعوا ِإَلى َقْو ِل ِهَّللا َع َّز َو َج َّل‬
“Apakah Kalian belum mendengar firman Allah ‫ ﷻ‬: “Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil” ?, inilah
yang namanya tartil”([11])

Demikian pula Ad-Dahhak berkata,

‫ِإْقَر ْأ َح ْر ًفا‬
“Bacalah huruf demi huruf (pelan-pelan).”([12])

Mujahid juga berkata,

‫َأَح ُّب الَّناِس ِفي اْلِقَر اَءِة ِإَلى ِهللا َأْعَقُلُهْم َع ْنُه‬
“Orang yang paling dicintai oleh Allah dalam membaca Alquran adalah yang paling mengerti apa
yang dibaca”([13]).

Ini menunjukkan bahwa makna tartil kembali kepada tadabur. Dan di antara sarana agar seseorang
bisa tadabur adalah membaca dengan pelan-pelan.
Oleh karenanya Ibnu Katsir rahimahullah dalam tafsrinya tatkala menyebutkan tartil, beliau
membawakan dua makna yaitu memahami maknanya dan dibaca dengan tajwid yang indah([14]),
sehingga jika digabungkan keduanya maka itulah yang disebut sebagai tartil dan Ibnu Katsir
rahimahullah membawakan beberapa dalil sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di antaranya,

‫َز ِّينوا اْلُقْر آَن ِبَأْص َو اِتُك ْم‬


“Hiasilah Al Qur`an dengan suara kalian.”([15])

‫َلْيَس ِم َّنا َم ْن َلْم َيَتَغَّن ِباْلُقْر آِن‬


“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak melagukan bacaan Alquran.”([16])

Dan tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengar bacaan Abu Al-Hasan Al-Asy’ari radhiallahu
‘anhu, maka beliau berkata,

‫َلَقْد ُأوِتَي هذا ِم ْز َم ٌار ِم ْن َم َز اِم يِر آِل َداُوَد‬


“Sesungguhnya orang ini telah dianugerahi suara yang indah seperti suara keluarga Daud.”([17])

Maka agar seseorang bisa membaca Alquran dengan tartil, maka dia berusaha untuk membaca
dengan pelan dan suara yang indah yang disertai dengan tajwid dan tadabur. Dan orang yang
membaca dengan tartillah yang akan menaikkan dirinya derajat demi derajat. Dan bukanlah tartil itu
yang membaca dengan cepat untuk memenuhi target tertentu. Karena sebagaimana perkataan
Fudhail bin ‘Iyadh,

‫ِإَّنَم ا َنَز َل اْلُقْر آُن ِلُيْع َم َل ِبِه َفاَّتَخ َذ الَّناُس ِقَر اَء َتُه َع َم اًل‬
“Sesungguhnya Alquran diturunkan untuk diamalkan, akan tetapi manusia menjadikan
membacanya sebagai amalannya.”([18])

Maka untuk bisa mengamalkan, maka harus dibaca terlebih dahulu, kemudian memahami, lalu bisa
mengamalkan. Oleh karenanya tadabur adalah perpaduan antara bacaan dan memahami. Setelah
seseorang sudah sampai pada derajat tadabur, setelah itu baru bisa mengamalkan apa yang dia
baca. Maka sembari kita semangat membaca Alquran, maka jangan lupa kita sisihkan waktu untuk
membaca tafsir, karena itu akan membantu kita agar bisa khusyuk dalam shalat.

Ayat ini juga menjadi dalil akan keutamaan membaca Alquran di malam hari, terutama dalam shalat.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ِإَّنا َس ُنْلِقي َع َلْيَك َقْو اًل َثِقياًل‬


“Sesungguhnya Kami akan menurunkan perkataan yang berat kepadamu.” (QS. Al-Muzzammil : 5)

Sepakat para Ahli Tafsir dengan berbagai macam pendapat mereka, yang dimaksud dengan ‫َقْو اًل َثِقياًل‬
adalah ayat-ayat Allah Subhanahu wa ta’ala (Alquran). Hanya saja para ulama khilaf tentang apa
maksud Alquran dikatakan berat oleh Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagian Ahli Tafsir mengatakan
bahwasanya dzahirnya Alquran jika diturunkan sungguh sangat berat. Oleh karenanya ketika Alquran
diturunkan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bercucuran keringat seperti orang yang di fashdu([19])
padahal sedang musim dingin([20]). Demikian pula ketika ayat turun di saat Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sedang naik unta, maka unta tersebut langsung duduk sampai-sampai lehernya pun
menempel di tanah tanpa bergerak sedikitpun karena saking beratnya Alquran yang turun kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam([21]). Demikianlah pula Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah
bersandar kepada seseorang ketika suatu ayat turun, dan orang yang disandari oleh Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam merasa sangat berat dengan sandaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam([22]). Oleh
karenanya sebagian para ulama menafsirkan bahwa yang dimaksud Alquran itu berat adalah karena
Alquran ketika turun merupakan perkara yang berat bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga
ayat ini merupakan peringatan agar Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersiap-siap dengan
melakukan shalat malam untuk menguatkan beliau.

Sebagian Ahli Tafsir yang lain berpendapat bahwasanya Alquran itu sangat berat di timbangan pada
hari akhir. Sebagian yang lain mengatakan bahwasanya Alquran itu berat bagi orang-orang munafik
dan orang-orang kafir, yaitu berat bagi mereka untuk membacanya, berat bagi mereka untuk
memahaminya. Sebagian Ahli Tafsir yang lain menyebutkan bahwa Alquran itu berat maksudnya
adalah hukumnya berat, yaitu menjalankan perintah di dalam Alquran adalah berat dan tidak
mudah([23]).

Adapun Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah menyebutkan bahwa yang dimaksud
Alquran itu berat adalah kandungannya sangat dalam, sehingga perlu konsentrasi tinggi dalam
mendengarkannya agar bisa menyerap maknanya([24]). Wallahu a’lam bishshawwab, inilah yang
merupakan pendapat yang paling tepat. Oleh karenanya tatkala ada seseorang yang datang kepada
Imam Malik dan bertanya terkait masalah agama, ternyata Imam Malik tidak bisa menjawab. Dari
100 pertanyaan, beliau hanya menjawab beberapa pertanyaan saja. Akhirnya ada seseorang yang
datang dan bertanya dengan berkata ‘Ini masalah yang ringan’, maka beliau marah dan berkata,

،‫ إَّنا َس ُنْلِقي َع َليَك قوًال َثقيًال‬:‫ َأَم ا َسِم عَت َقْو َل ِهللا تعالى‬، ‫َم ْس َألٌة َخ ِفيَفٌة َس ْهَلٌة!! َلْيَس ِفي الِع ْلِم َش ْي ٌء َخ ِفْيٌف‬
‫ وَخاصًة َم ا ُيسَأل َعنُه يوَم الِقيامِة‬،‫َفالِع لُم ُك ُّله ثِقيٌل‬
“Bagaimana masalah tersebut ringan dan mudah? Tidak ada ilmu yang ringan. Tidakkah Anda
mendengar firman Allah ta’ala ‘Sesungguhnya Kami akan menurunkan kepadamu perkataan yang
berat’ (QS. Al-Muzzammil : 5). Semua ilmu adalah berat, khususnya yang akan ditanya pada hari
kiamat.”([25])

Oleh karenanya Ibnul Qayyim juga memiliki buku berjudul I’laamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin.
Buku ini menunjukkan bahwasanya orang yang berfatwa itu mewakili Allah Subhanahu wa ta’ala,
sehingga tidak sembarang orang bisa berbicara mengenai agama. Oleh karenanya Imam Malik
membacakan firman Allah ini untuk menunjukkan bahwasanya Alquran itu berat kandungannya,
maknanya, dan berat pula tanggung jawabnya. Maka inilah pendapat yang benar bahwasanya
maksud Alquran itu berat adalah kandungannya dalam dan berat.

Adapun syariat Islam tidak berat. Karena syariat Islam bisa dikerjakan oleh hamba-hamba Allah
Subhanahu wa ta’ala. Terlebih lagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

‫ُبِع ْثُت ِباْلَح ِنيِفَّيِة الَّس ْمَح ِة‬


“Aku diutus dengan membawa agama lurus yang mudah.”([26])

Allah Subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

‫َو َم ا َجَعَل َع َلْيُك ْم ِفي الِّديِن ِم ْن َحَر ٍج‬


“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.” (QS. Al-Hajj : 78)
Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ِإَّن َناِش َئَة الَّلْيِل ِهَي َأَشُّد َو ْط ًئا َو َأْقَو ُم ِقياًل‬


“Sungguh, bangun malam itu lebih kuat (mengisi jiwa), dan (bacaan pada waktu itu) lebih
berkesan.” (QS. Al-Muzzammil : 6)

Secara umum ada dua tafsiran tentang ‫َناِش َئَة الَّلْيِل‬. Tafsiran pertama, ‫ َناِش َئَة الَّلْيِل‬adalah waktu-waktu
malam seluruhnya([27]). Adapun tafsiran kedua, ‫ َناِش َئَة الَّلْيِل‬adalah kondisi dimana seseorang bangun
malam setelah tidur terlebih dahulu, dan pendapat ini dipilih oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah([28]).

Maksud ayat ini adalah bacaan Alquran di malam hari itu lebih mengena. Antara lisan dan hati
cenderung cocok, sehingga orang akan lebih mudah memahami dan lebih konsentrasi tatkala
Alquran dibaca di malam hari. Hal tersebut dikarenakan pada malam seseorang telah tenang dan
terlepas dari pernak-pernik kesibukan dunia. Sehingga ketika dia istirahat, kemudian dia bangun dari
istirahatnya, maka dia bisa konsentrasi terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala.

Sebagaimana telah disebutkan bahwa para ulama menyebutkan bahwa membaca Alquran di malam
hari memiliki keutamaan tersendiri, maka ayat ini adalah dalilnya. Terlebih lagi dalam suatu hadits
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

، ‫ َم َنْع ُتُه الَّطَع اَم َو الَّش َهَو اِت ِبالَّنَهاِر‬، ‫ َأْي َر ِّب‬: ‫ َيُقوُل الِّص َياُم‬،‫الِّص َياُم َو اْلُقْر آُن َيْش َفَع اِن ِلْلَع ْبِد َيْو َم اْلِقَياَم ِة‬
‫ َفُيَش َّفَع اِن‬: ‫ َقاَل‬،‫ َفَش ِّفْع ِني ِفيِه‬، ‫ َم َنْع ُتُه الَّنْو َم ِبالَّلْيِل‬: ‫ َو َيُقوُل اْلُقْر آُن‬،‫َفَش ِّفْع ِني ِفيِه‬
“Puasa dan Alquran kelak pada hari kiamat akan memberi syafaat kepada seorang hamba. Puasa
berkata, ‘Wahai Rabb, aku telah menahannya dari makanan dan nafsu syahwat di siang hari, maka
izinkahlah aku memberi syafaat kepadanya’. Dan Al Qur’an berkata. ‘Aku telah menahannya dari
tidur di malam hari, maka izinkanlah aku memberi syafaat kepadanya’. Beliau melanjutkan
sabdanya, ‘Maka mereka (puasa dan Alquran) memberi syafaat kepadanya.”([29])

Diantara keutamaan membaca Alquran di malam hari adalah lebih mudah untuk ditadaburi dan lebih
menyatukan antara lisan dan hati. Dan keutamaan ini lebih mudah untuk dicapai ketika Alquran di
baca dalam shalat di malam hari. Oleh karenanya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah
mengatakan bahwa Alquran paling afdhal (utama) dibaca tatkala sedang shalat, sebagaimana firman
Allah Subhanahu wa ta’ala dalam surah Al-Muzzammil ini.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ِإَّن َلَك ِفي الَّنَهاِر َسْبًح ا َطِوياًل‬


“Sesungguhnya pada siang hari engkau memiliki waktu yang panjang (sehingga engkau bisa
menunaikan hajatmu).” (QS. Al-Muzzammil : 7)

Ada beberapa penafsiran dari kata ‫َس ْبًحا َطِوياًل‬. Ada yang menafsirkan bahwa maksudnya adalah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki waktu yang panjang di siang hari untuk menyelesaikan hajat-
hajat, sehingga malam hari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah waktu untuk Allah Subhanahu
wa ta’ala (shalat malam)([30]). Sebagian yang lain mengatakan bahwa maksudnya adalah Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki waktu di siang hari untuk tidur setelah di malam hari beliau
begadang untuk shalat malam([31]).

Maka siang memiliki waktu yang panjang untuk mengurus segala hajat, sehingga di malam hari kita
bisa menyisihkan waktu untuk berkhalwat dengan Allah Subhanahu wa ta’ala.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫َو اْذ ُك ِر اْس َم َر ِّبَك َو َتَبَّتْل ِإَلْيِه َتْبِتياًل‬


“Dan sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati.” (QS. Al-
Muzzammil : 8)

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

‫َو اْذ ُك ِر اْس َم َر ِّبَك‬


“Dan sebutlah nama Tuhanmu.”

Sebagian ulama menafsirkan bahwa maksud firman Allah ini adalah,

‫اْدُع ُه ِبَأْس َم اِئِه اْلُحْسَنى‬


“Berdoa kepada-Nya dengan menyebut nama-nama-Nya yang indah.”([32])

Sebagian ulama yang lain menyebutkan bahwa maksudnya adalah jangan lupa untuk membaca
basmalah di awal hendak shalat agar mendapatkan pertolongan dan kemudahan. Sebagian yang lain
mengatakan bahwa maksudnya adalah shalatlah karena Allah Subhanahu wa ta’ala (ikhlas). Ini
semua adalah penafsiran para ulama tentang ayat ini([33]).

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala

‫َو َتَبَّتْل ِإَلْيِه َتْبِتياًل‬


“Dan beribadahlah kepada-Nya dengan sepenuh hati.”

‫ َتَبَّتْل‬maknanya adalah,
‫ااِل ْنِقَطاُع ِإَلى ِعَباَد ِة ِهَّللا َع َّز َو َج َّل‬
“Memutuskan segala hubungan menuju ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla.”([34])

Sehingga makna ayat ini adalah memutuskan diri dari perkara-perkara lain yang menyibukkan
seseorang agar bisa konsentrasi terhadap Allah Subhanahu wa ta’ala (dalam shalat). Oleh karenanya
ini adalah perintah dari Allah Subhanahu wa ta’ala bahwasanya tatkala seseorang sedang shalat
malam, maka dia harus benar-benar memutuskan dirinya dengan dunia, kemudian dia sambung
kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Karena urusan dunia bisa menyibukkan diri sehingga tidak bisa
fokus kepada Allah Subhanahu wa ta’ala.

Ibnul ‘Arabi berkata tentang ayat ini,

‫ َفاْلُع ْز َلُة َخ ْيٌر ِم َن‬، ‫ َو اْسَتْو َلى اْلَحَر اُم َع َلى اْلُح َطاِم‬، ‫ َو َخ َّفْت َأَم اَناُتُهْم‬،‫َو َأَّم ا اْلَيْو ُم َو َقْد َم ِرَج ْت ُع ُهوُد الَّناِس‬
‫الخلطة‬
“Adapun pada hari ini orang-orang masih mengambil janji, sedangkan amanah mereka telah hilang.
Ketika hal-hal kecil telah diliputi oleh perkara-perkara yang haram, maka menyendiri lebih baik
daripada bercampur (dengan banyak orang).”([35])

Ibnul ‘Arabi menafsirkan bahwa maksud ‫ َو َتَبَّتْل ِإَلْيِه َتْبِتياًل‬adalah seseorang berusaha untuk fokus kepada
Allah Subhanahu wa ta’ala. Beliau menceritakan kondisinya pada abad ke-6 bahwa telah jarang
orang yang amanah, perkara yang haram telah beredar di mana-mana. Maka beliau menyarankan
bahwa menyendiri lebih baik daripada bercampur dengan banyak orang.

Kalau seseorang bisa fokus beribadah kepada Allah tanpa melalaikan kewajiban-kewajibannya, tanpa
melalaikan hak-hak orang lain maka itulah yang terbaik. Kata Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
sebuah hadits,

‫ َيِفُّر ِبِد يِنِه ِم َن الِفَتِن‬،‫ُيوِش ُك َأْن َيُك وَن َخ ْيَر َم اِل الُم ْس ِلِم َغَنٌم َيْتَبُع ِبَها َش َع َف الِج َباِل َو َم َو اِقَع الَقْطِر‬
“Hampir saja terjadi (suatu zaman) di mana harta terbaik seorang muslim adalah kambing yang
digembalakannya di puncak gunung dan tempat-tempat terpencil, dia pergi menghindar membawa
agamanya disebabkan takut terkena fitnah.”([36])

Ada zaman dimana kita dikelilingi dengan fitnah. Maka jika kita bisa terlepas dari fitnah-fitnah
tersebut meskipun dengan menyendiri dan tanpa melalaikan kewajiban kita, maka itu adalah lebih
baik. Intinya adalah jangan terlalu banyak pergaulan jika manfaatnya kurang dan jangan terlalu sibuk
dengan urusan orang lain, karena Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

‫ِم ْن ُحْس ِن ِإْس اَل ِم اْلَم ْر ِء َتْر ُك ُه َم ا اَل َيْع ِنيِه‬


“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan sesuatu yang tidak bermanfaat
baginya.”([37])

Maka selama suatu hal tidak ada hubungannya dengan diri kita, maka hendaknya kita menjauh.
Lebih baik kita tidak tahu daripada tahu namun terkena fitnah dan berbagai macam problematika,
sehingga waktu kita habis dengan hal-hal yang tidak bermanfaat.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫َرُّب اْلَم ْش ِرِق َو اْلَم ْغ ِرِب اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهَو َفاَّتِخ ْذ ُه َوِكياًل‬
“(Dialah) Tuhan timur dan barat, tidak ada Tuhan selain Dia, maka jadikanlah Dia sebagai
pelindung (bertawaklah kepada-Nya).” (QS. Al-Muzzammil : 9)

Maksud firman Allah Subhanahu wa ta’ala ini adalah,

‫ُهَو اْلَم اِلُك اْلُم َتَص ِّر ُف ِفي اْلَم َش اِرِق َو اْلَم َغاِر ِب اَل ِإَلَه ِإاَّل ُهَو‬
“Allah-lah yang mengatur segala urusan di timur maupun di barat, tidak ada Tuhan yang berhak
disembah selain Dia.”([38])

Allah-lah yang mengatur segala yang ada di alam semesta ini. Kalau seseorang tahu bahwa hanya
Allah yang mengatur segala urusan di alam semesta ini, maka tidaklah dia beribadah kecuali hanya
kepada Allah. Dan jika dia tidak beribadah kecuali kepada Allah, maka bertawakallah kepada Allah.

Allah Subhanahu wa ta’ala mengkhususkan penyebutan tawakal karena tawakal adalah ibadah yang
sangat mulia. Sampai-sampai tatkala Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan tentang tujuh puluh
ribu golongan orang yang masuk surga tanpa azab dan tanpa hisab, ciri mereka yang utama adalah
tawakal. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya tentang siapa orang tersebut, maka Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫ َو َع َلى َر ِّبِهْم َيَتَو َّك ُلوَن‬، ‫ َو َال َيْك َتُووَن‬، ‫ َو َال َيْسَتْر ُقوَن‬، ‫ُهُم اَّلِذ يَن َال َيَتَطَّيُروَن‬
“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak pernah bertathayyur, tidak pernah meminta untuk
diruqyah dan tidak mau menggunakan Kay (pengobatan dengan besi panas), dan kepada Tuhan
merekalah mereka bertawakal.”([39])

Kata para ulama, sifat yang ke-empat yaitu mereka bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala
adalah kesimpulan yang menggabungkan tiga sifat yang pertama. Tidak minta untuk diruqyah, tidak
meminta disembuhkan dengan kay, dan tidak bertathayyur adalah karena tawakal yang tinggi. Maka
dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala menggabungkan ibadah hati yang sangat mulia yaitu
bertawakal hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana pula firman Allah Subhanahu wa
ta’ala,

‫َفاْع ُبْد ُه َو َتَو َّك ْل َع َلْيِه‬


“Maka sembahlah Dia dan bertawakallah kepada-Nya.” (QS. Hud : 123)

Tatkala kita telah bertawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala maka pasti hati kita akan menjadi
tenang. Oleh karenanya di antara kalimat dzikir pagi petang yang diajarkan kepada kita adalah,

‫ َو اَل َتِكْلِني ِإَلى َنْفِس ي َطَر َفَة َع ْيٍن‬،‫ َأْص ِلْح ِلي َش ْأِني ُك َّلُه‬، ‫َيا َح ُّي َيا َقُّيوُم ِبَر ْح َم ِتَك َأْسَتِغ يُث‬
“Wahai Rabb Yang Maha Hidup, wahai Rabb Yang Berdiri Sendiri tidak butuh segala sesuatu,
dengan rahmat-Mu aku minta pertolongan, perbaikilah segala urusanku dan jangan Engkau
serahkan aku pada diriku walau sekejap mata.”([40])

Maka tatkala kita tawakal kepada dunia atau manusia, maka sungguh kita telah menjadikan
pegangan kita pada tempat yang sangat lemah dan rapuh. Maka jika kita ingin memiliki tempat
berpegang yang kuat, maka bertawakallah hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Dunia hanyalah
sebab, yang pertama yang harus kita pasang adalah hati yang bertawakal kepada Allah Subhanahu
wa ta’ala dalam segala hal. Bahkan dalam beribadah pun seseorang harus bertawakal kepada Allah
Subhanahu wa ta’ala, karena belum tentu seseorang bisa menjamin dirinya bisa khusyuk dalam
shalat jika hanya mengandalkan ilmu dan sifat yang dimilikinya. Oleh karenanya kita meminta
(tawakal) kepada Allah kekhusyukan dalam shalat. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala telah mengatakan,

‫ َو َتَقُّلَبَك ِفي الَّساِج ِد يَن‬، ‫ اَّلِذ ي َيَر اَك ِح يَن َتُقوُم‬، ‫َو َتَو َّك ْل َع َلى اْلَع ِز يِز الَّر ِح يِم‬
“Dan bertawakallah kepada (Allah) Yang Maha Perkasa, Maha Penyayang. Yang melihat engkau
ketika engkau berdiri (untuk shalat), dan (melihat) perubahan gerakan badanmu di antara orang-
orang yang sujud.” (QS. Asy-Syu’ara : 217-219)

Tawakal bukan hanya pada perkara dunia, akan tetapi dalam beribadah pun kita harus bertawakal
seperti shalat, puasa, atau haji. Oleh karenanya tawakal adalah ibadah yang sangat spesial sehingga
disebutkan secara khusus dalam ayat ini. Dan ayat yang sering kita baca dalam shalat,

‫ِإَّياَك َنْعُبُد َو ِإَّياَك َنْسَتِع يُن‬


“Hanya kepada Engkaulah kami menyembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon
pertolongan.” (QS. Al-Fatihah : 5)
Maksudnya adalah kita mengakui bahwa hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala lah kita
bertawakal.

Sekarang ini banyak di antara kita yang hilang atau kurang tawakalnya kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala. Banyak para pegawai yang bertawakal kepada pimpinan mereka, bahkan sebagian orang
bertawakal pada apa-apa yang dia pilih untuk dirinya. Ketahuilah bahwa tatkala seseorang
bertawakal kepada selain Allah Subhanahu wa ta’ala (dunia), maka dia akan mendapatkan kehinaan.
Maka apapun kegiatan yang kita lakukan, yang pertama harus kita lakukan adalah bertawakal
kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kita
berdoa setiap kali keluar rumah dengan berkata,

‫ اَل َح ْو َل َو اَل ُقَّو َة ِإاَّل ِباِهَّلل‬،‫ِبْس ِم ِهَّللا َتَو َّك ْلُت َع َلى ِهَّللا‬
“Dengan nama Allah aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan izin
Allah.”([41])

Setiap kali seseorang keluar dari rumahnya, maka akan ada banyak kegiatan yang dihadapi, sehingga
tawakal kepada Allah Subhanahu wa ta’ala itu diperlukan.

Tawakal sejatinya adalah ibadah yang tidak dilihat oleh orang lain, namun memiliki nilai yang sangat
tinggi di sisi Allah Subhanahu wa ta’ala. Adapun tawakal itu diucapkan atau tidak, Allah Subhanahu
wa ta’ala Maha tahu isi hati kita, apakah kita tawakal atau tidak. Oleh karenanya dalam ayat ini Allah
Subhanahu wa ta’ala mengingatkan bahwa jika Allah pemilik dan pengatur timur dan barat, maka
jangan sampai salah bertawakal. Bertawakallah hanya kepada Allah Subhanahu wa ta’ala yang
mengurus seluruh alam semesta dan yang menentukan segala keputusan.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫َو اْص ِبْر َع َلى َم ا َيُقوُلوَن َو اْهُجْر ُهْم َهْج ًرا َجِم ياًل‬
“Dan bersabarlah (Muhammad) terhadap apa yang mereka katakan dan tinggalkanlah mereka
dengan cara yang baik.” (QS. Al-Muzzammil : 10)

Ayat ini adalah dalil yang menguatkan bahwasanya surah Al-Muzzammil adalah surah Makkiyah.
Karena Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk
bersabar atas perkataan orang-orang kafir. Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam banyak dicerca dan
dimaki tatkala beliau masih di Mekkah. Ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah, beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam dituduh sebagai dukun, penyihir, orang yang tersihir, pendusta, orang
yang keluar dari ajaran nenek moyangnya, pemutus silaturahim, orang gila, dan tuduhan-tuduhan
buruk lainnya disematkan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka ayat ini Allah
turunkan untuk mengajarkan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersabar terhadap berbagai
tuduhan dan cercaan orang-orang kafir. Allah Subhanahu wa ta’ala juga mengingatkan dalam ayat ini
bahwa tidak perlu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam membalas perbuatan-perbuatan buruk orang-
orang kafir tersebut. Seakan-akan Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Shallallahu ‘alaihi
wa sallam untuk Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersikap acuh tak acuh dengan sikap mereka dan
terus melanjutkan dakwahnya.

Dan hal ini juga perlu untuk diperhatikan oleh para da’i. Bahwa tidak semua orang yang menjelek-
jelekkan kita atau menjatuhkan kita harus kita tanggapi. Seharusnya kita bersikap tak acuh terhadap
mereka. Karena orang-orang yang suka menjatuhkan orang lain itu akan terus ada selama Iblis masih
hidup. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫َو َك َذ ِلَك َج َع ْلَنا ِلُك ِّل َنِبٍّي َع ُد ًّو ا ِم َن اْلُم ْج ِر ِم يَن َو َكَفى ِبَر ِّبَك َهاِد ًيا َو َنِص يًرا‬
“Dan demikianlah Kami jadikan bagi setiap nabi musuh dari orang-orang yang berdosa. Tetapi
cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong.” (QS. Al-Furqan : 31)

Kalau para Nabi yang sangat mulia Allah siapkan bagi mereka musuh, maka demikian pula Allah
Subhanahu wa ta’ala telah menyiapkan musuh bagi pengikutnya. Maka jangan kita bermimpi bahwa
kita berdakwah memperjuangkan Islam tanpa ada musuh, sungguh hal tersebut adalah hal yang
mustahil. Akan tetapi di antara cara menyikapi musuh-musuh tersebut adalah tidak memperdulikan
perbuatan mereka terhadap kita.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫َو َذ ْر ِني َو اْلُم َك ِّذ ِبيَن ُأوِلي الَّنْع َم ِة َو َم ِّهْلُهْم َقِلياًل‬


“Dan biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang-orang yang mendustakan, yang memiliki
segala kenikmatan hidup, dan berilah mereka penangguhan sebentar.” (QS. Al-Muzzammil : 11)

Yang dimaksud dengan ‫ ُأوِلي الَّنْع َم ِة‬dalam ayat ini di antaranya mereka adalah para pembesar-
pembesar Quraisy seperti Al-Walid Ibnul Mughirah dari Bani Makhzum, Abu Jahal dan saudara-
saudaranya. Yang dimaksud juga adalah orang-orang kaya lagi sombong yang memiliki kedudukan di
kota Mekah([42]). Dan Allah Subhanahu wa ta’ala meminta kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam
untuk menangguhkan mereka dan menyerahkan mereka menjadi urusan Allah Subhanahu wa ta’ala.
Para ulama mengatakan bahwa mereka akhirnya meninggal dalam perang Badr. Lihatlah kesabaran
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau menunggu dengan waktu yang cukup lama, kurang lebih
lima belas tahun untuk menanti orang-orang kafir binasa sesuai janji Allah Subhanahu wa ta’ala.

Maka tatkala kita disakiti oleh seseorang, seharusnya kita ridha terhadap mereka dengan
menyerahkan mereka kepada Allah Subhanahu wa ta’ala. Yakinlah bahwasanya Allah Subhanahu wa
ta’ala punya cara untuk mengurusi orang-orang yang demikian.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ َيْو َم َتْر ُج ُف اَأْلْر ُض َو اْلِج َباُل َو َك اَنِت اْلِج َباُل َك ِثيًبا‬،‫ َو َطَعاًم ا َذ ا ُغ َّصٍة َو َع َذ اًبا َأِليًم ا‬،‫ِإَّن َلَدْيَنا َأْنَك ااًل َو َج ِح يًم ا‬
‫َمِهياًل‬
“Sungguh, di sisi Kami ada belenggu-belenggu (yang berat) dan neraka yang menyala-nyala, dan
(ada) makanan yang menyumbat di kerongkongan dan azab yang pedih, (yaitu) pada hari (ketika)
bumi dan gunung-gunung berguncang keras, dan menjadilah gunung-gunung itu seperti
onggokan pasir yang dicurahkan” (QS. Al-Muzzammil : 12)

Ayat ini merupakan janji Allah Subhanahu wa ta’ala jika mereka orang-orang kafir Quraisy tidak
mendapatkan azab di dunia, mereka pasti akan mendapatkan azab di akhirat. Terkadang ada di
antara kita yang merasa sudah tidak kuat dalam menghadapi orang-orang yang zalim karena mereka
tetap eksis dalam kehidupan ini. Sebut saja Fir’aun yang hidup dalam kezaliman dalam waktu yang
lama. Disebutkan dalam sebagian literatur bahwa usianya sangat panjang([43]). Karena usianya
panjang dan belum meninggal itulah yang membuat dia mengira bahwa dia adalah Tuhan. Kalau
bukan karena mengejar Nabi Musa ‘alaihissalam dan pengikutnya, maka mungkin dia akan eksis
terus di Mesir. Sampai suatu ketika Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan Nabi Musa
‘alaihissalam yang kabur untuk memberikan kebinasaan bagi Fir’aun. Demikian pula kisah Ashabul
Kahfi yang kabur ke dalam gua dan tidur selama tiga ratus tahun lebih lamanya. Setelah tiga ratus
tahun lebih barulah runtuh kesyirikan di negeri mereka.

Sungguh kezaliman itu akan hilang, hanya saja bisa berlangsung lama untuk mencapainya. Dan
betapa banyak orang yang zalim dibiarkan hidup tanpa azab agar Allah Subhanahu wa ta’ala
membalas mereka di akhirat. Oleh karenanya ayat ini menerangkan bahwa jika orang-orang zalim
tidak mendapatkan azab di dunia, maka mereka pasti akan mendapatkan azab di akhirat.

‫َو اَل َتْح َسَبَّن َهَّللا َغاِفاًل َع َّم ا َيْع َم ُل الَّظاِلُم وَن ِإَّنَم ا ُيَؤ ِّخ ُر ُهْم ِلَيْو ٍم َتْش َخ ُص ِفيِه اَأْلْبَص اُر‬
“Dan janganlah engkau mengira, bahwa Allah lalai dari apa yang diperbuat oleh orang yang zalim.
Sesungguhnya Allah menangguhkan mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka)
terbelalak.” (QS. Ibrahim : 42)

Maka bukan berarti jika Allah Subhanahu wa ta’ala tidak balas perbuatan di dunia menunjukkan
bahwa Allah Subhanahu wa ta’ala lupa dengan perbuatan mereka. Allah Subhanahu wa ta’ala ingat
dengan perbuatan mereka, hanya saja Allah tunda hukuman bagi mereka hingga hari kiamat. Oleh
karenanya bukan menjadi syarat bahwa orang zalim itu harus gugur di dunia. Yang terpenting adalah
bagaimana sikap kita dalam menghadapi kezaliman tersebut.

Sungguh azab di dunia bagi orang-orang zalim itu kecil. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala
menangguhkan mereka untuk mendapatkan azab yang lebih berat di hari kiamat kelak. Dan ayat ini
menjelaskan bahwa kelak mereka akan diberi azab berupa belenggu-belenggu di neraka jahannam
dan makanan berduri yang makanan tersebut akan tersangkut di leher dan membuat mereka
tersedak. Kalau di dunia tersedak tulang ikan saja sudah tidak mengenakkan, maka bagaimana lagi
dengan makanan penghuni neraka jahannam? Dan Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan bahwa
bagi mereka ada lagi azab yang lebih pedih dari itu.

Kapan mereka akan diberikan azab tersebut? Yaitu ketika hari kiamat telah tiba, yaitu ketika gunung-
gunung batu yang sebelumnya kokoh berguncang dan menjadi debu yang berterbangan. Maka pada
saat itulah orang-orang para pendusta akan disiksa oleh Allah Subhanahu wa ta’ala.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ َفَعَص ى ِفْر َع ْو ُن الَّرُس وَل َفَأَخ ْذ َناُه‬، ‫ِإَّنا َأْر َس ْلَنا ِإَلْيُك ْم َرُس واًل َشاِهًدا َع َلْيُك ْم َك َم ا َأْر َس ْلَنا ِإَلى ِفْر َع ْو َن َرُس واًل‬
‫َأْخ ًذ ا َو ِبياًل‬
“Sesungguhnya Kami telah mengutus seorang Rasul (Muhammad) kepada kamu, yang menjadi
saksi terhadapmu, sebagaimana Kami telah mengutus seorang Rasul kepada Fir‘aun. Namun
Fir‘aun mendurhakai Rasul itu, maka Kami siksa dia dengan siksaan yang berat.” (QS. Al-
Muzzammil : 15)

Mengapa Allah Subhanahu wa ta’ala menyebutkan perumpamaan kisah Fir’aun kepada orang-orang
kafir? Itu disebabkan karena berita dibenamkannya Fir’aun di laut merah diketahui oleh orang-orang
kafir Quraisy. Maka dengan ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan orang-orang kafir
Quraisy bahwa Allah telah mengutus seorang rasul kepada Fir’aun. Maka demikian pula Allah
Subhanahu wa ta’ala mengutus kepada mereka seorang rasul yaitu Muhamad Shallallahu ‘alaihi wa
sallam. Sehingga Allah Subhanahu wa ta’ala mengingatkan agar mereka tidak ikut mendustakan rasul
yang diutus kepada mereka, agar jangan sampai mereka mendustakan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam. Akan tetapi ternyata orang-orang kafir Quraisy tetap mendustakan beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan Ibnu Katsir rahimahullah berkata,

‫َو َأْنُتْم َأْو َلى ِباْلَهاَل ِك َو الَّد َم اِر ِإْن َك َّذ ْبُتْم ؛ َأِلَّن َر ُسوَلُك ْم َأْش َر ُف َو َأْع َظُم ِم ْن ُم وَس ى ْبِن ِعْمَر اَن‬
“Dan kalian (orang-orang kafir Quraisy) lebih utama untuk mendapat kebinasaan dan kehancuran
bila mendustakan rasul kalian, karena rasul kalian adalah rasul yang paling mulia dan lebih besar
daripada Musa ibnu Imran.”([44])

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ ِإَّن َهِذِه َتْذ ِكَر ٌة َفَم ْن‬، ‫ الَّس َم اُء ُم ْنَفِط ٌر ِبِه َك اَن َو ْعُد ُه َم ْفُعواًل‬،‫َفَك ْيَف َتَّتُقوَن ِإْن َك َفْر ُتْم َيْو ًم ا َيْج َعُل اْلِو ْلَداَن ِش يًبا‬
‫َشاَء اَّتَخ َذ ِإَلى َرِّبِه َس ِبياًل‬
“Lalu bagaimanakah kamu akan dapat menjaga dirimu jika kamu tetap kafir kepada hari yang
menjadikan anak-anak beruban. Langit terbelah pada hari itu. Janji Allah pasti terlaksana.
Sungguh, ini adalah peringatan. Barangsiapa menghendaki, niscaya dia mengambil jalan (yang
lurus) kepada Tuhannya.” (QS. Al-Muzzammil : 17-19)

Hari kiamat adalah hari yang sangat dahsyat, sampai-sampai anak-anak tiba-tiba menjadi beruban.
Tentang firman Allah Subhanahu wa ta’ala ‫َيْو ًم ا َيْج َع ُل اْلِوْلَداَن ِش يًبا‬, ada dua makna tentang ayat ini, yaitu
makna hakiki dan makna majazi. Makna hakiki artinya adalah anak-anak yang mendapati hari
kiamat, kondisinya memang beruban. Makna majazi artinya jika ada anak-anak yang mendapati hari
kiamat, maka rambutnya menjadi uban karena saking takutnya([45]).

Demikianlah hari kiamat, saking dahsyatnya pun sampai-sampai langit akan terbelah pada hari itu.
Maka Allah Subhanahu wa ta’ala memberikan pilihan, barangsiapa yang mau mengambil jalan
menuju Allah, maka dipersilahkan. Dan barangsiapa yang enggan untuk bertaubat maka tidak
mengapa bagi Allah Subhanahu wa ta’ala.

Kemudian Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

‫ِإَّن َرَّبَك َيْع َلُم َأَّنَك َتُقوُم َأْد َنى ِم ْن ُثُلَثِي الَّلْيِل َو ِنْص َفُه َو ُثُلَثُه َو َطاِئَفٌة ِم َن اَّلِذ يَن َم َعَك َوُهَّللا ُيَقِّد ُر الَّلْيَل َو الَّنَهاَر‬
‫َع ِلَم َأْن َلْن ُتْح ُص وُه َفَتاَب َع َلْيُك ْم َفاْقَرُء وا َم ا َتَيَّسَر ِم َن اْلُقْر آِن َع ِلَم َأْن َسَيُك وُن ِم ْنُك ْم َم ْر َض ى َو آَخ ُروَن‬
‫َيْض ِرُبوَن ِفي اَأْلْر ِض َيْبَتُغوَن ِم ْن َفْض ِل ِهَّللا َو آَخ ُروَن ُيَقاِتُلوَن ِفي َس ِبيِل ِهَّللا َفاْقَرُء وا َم ا َتَيَّسَر ِم ْنُه َو َأِقيُم وا‬
‫الَّص اَل َة َو آُتوا الَّزَك اَة َو َأْقِرُض وا َهَّللا َقْر ًض ا َح َس ًنا َو َم ا ُتَقِّد ُم وا َأِلْنُفِس ُك ْم ِم ْن َخ ْيٍر َتِج ُدوُه ِع ْنَد ِهَّللا ُهَو َخ ْيًر ا‬
‫َو َأْع َظَم َأْج ًر ا َو اْس َتْغ ِفُر وا َهَّللا ِإَّن َهَّللا َغُفوٌر َرِح يٌم‬
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (shalat) kurang dari
dua pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersamamu. Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui
bahwa kamu tidak dapat menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia memberi keringanan
kepadamu, karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an; Dia mengetahui bahwa
akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di bumi mencari
sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah
(bagimu) dari Al-Qur’an dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman
kepada Allah pinjaman yang baik. Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya
kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling
besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah; sungguh, Allah Maha Pengampun,
Maha Penyayang.” (QS. Al-Muzzammil : 20)

Disebutkan oleh para ulama bahwasanya ayat ini memansukhkan ayat-ayat di awal surah,

‫ ُقِم الَّلْيَل ِإاَّل َقِلياًل‬،‫َياَأُّيَها اْلُم َّز ِّم ُل‬


“Wahai orang yang berselimut (Muhammad)! Bangunlah (untuk shalat) pada malam hari, kecuali
sebagian kecil.” (QS. Al-Muzzammil : 1-2)

Para ulama menyebutkan bahwa sejak turunnya ayat di awal surah Al-Muzzammil ini, maka sejak
saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam wajib untuk melaksanakan shalat malam. Ada khilaf di
kalangan para ulama tentang apakah shalat malam juga diwajibkan kepada umat atau hanya kepada
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ada yang menyebutkan bahwa kewajiban itu hanya berlaku
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hanya saja para sahabat ikut shalat bersama beliau. Ada
pula yang berpendapat bahwa wajib bagi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan juga umatnya untuk
shalat berjam-jam. Adapun berapa lama shalat malam diwajibkan, ada sebuah hadits yang
menyebutkan bahwa hal itu berlangsung selama satu tahun, dan adapula riwayat yang menyebutkan
selama enam belas bulan. Dan bahkan ada yang menyebutkan hal itu diwajibkan selama Nabi
Shallallahu ‘alaihi wa sallam di Mekkah yaitu sekitar sepuluh tahun. Ini semua menunjukkan bahwa
ibadah shalat malam adalah ibadah yang mendapatkan perhatian yang tinggi di sisi Allah Subhanahu
wa ta’ala. Oleh karenanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

‫ َو َم ْنَهاٌة ِلِإل ْثِم‬،‫ َو َم ْك َفَر ٌة ِللَّسِّيَئاِت‬، ‫ َو ُهَو ُقْر َبٌة ِإَلى َر ِّبُك ْم‬، ‫َع َلْيُك ْم ِبِقَياِم الَّلْيِل َفِإَّنُه َد َأُب الَّصاِلِح يَن َقْبَلُك ْم‬
“Hendaknya kalian melakukan shalat malam karena itu adalah kebiasan orang-orang saleh sebelum
kalian, dan mendekatkan kepada Tuhan kalian, menghapus keburukan, serta mencegah dosa.”([46])

Tatkala shalat malam diwajibkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala, para sahabat merasa berat untuk
shalat berjam-jam setiap hari. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala menurunkan ayat terakhir
dari surah Al-Muzzammil ini untuk memansukhkan hukum awal, sehingga yang sebelumnya wajib
menjadi sunnah. Akan tetapi ada khilaf di kalangan para ulama bahwa shalat malam tetap wajib bagi
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan menjadi sunnah bagi para umat beliau.

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

‫ِإَّن َر َّبَك َيْع َلُم َأَّنَك َتُقوُم َأْد َنى ِم ْن ُثُلَثِي الَّلْيِل َو ِنْص َفُه َو ُثُلَثُه َو َطاِئَفٌة ِم َن اَّلِذ يَن َم َع َك‬
“Sesungguhnya Tuhanmu mengetahui bahwa engkau (Muhammad) berdiri (shalat) kurang dari dua
pertiga malam, atau seperdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan dari
orang-orang yang bersamamu.”

Ini merupakan dalil bahwasanya shalat malam juga dikerjakan oleh para sahabat yang lain.

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

‫َو ُهَّللا ُيَقِّدُر الَّلْيَل َو الَّنَهاَر َع ِلَم َأْن َلْن ُتْح ُصوُه َفَتاَب َع َلْيُك ْم َفاْقَر ُء وا َم ا َتَيَّس َر ِم َن اْلُقْر آِن‬
“Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu tidak dapat
menentukan batas-batas waktu itu, maka Dia menerima taubat kalian (memberi keringanan
kepada kalian), karena itu bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur’an.”

Ini menunjukkan bahwa hanya Allah Subhanahu wa ta’ala yang tahu apakah setengah atau sepertiga
malam telah lewat. Dan dahulu para sahabat hanya mengira-ngira berapa lama mereka shalat
malam. Dan Allah Subhanahu wa ta’ala tahu bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para
sahabat tidak mampu untuk terus-terusan shalat lebih dari setengah malam setiap harinya. Maka
ayat ini memansukhkan hukum sebelumnya yang mengharuskan shalat hingga kurang lebih
setengah malam menjadi semampu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat. Oleh
karenanya pada saat ini kita dapati bahwa shalat malam jika dikerjakan setengah jam tidak menjadi
masalah, bahkan jika hanya satu rakaat pun tidak dipermasalahkan. Karena dahulu tidak boleh shalat
malam dengan waktu yang singkat, minimal waktu yang diberikan Allah Subhanahu wa ta’ala adalah
kurang sedikit dari seperdua malam.

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

‫َع ِلَم َأْن َسَيُك وُن ِم ْنُك ْم َم ْر َض ى َو آَخ ُروَن َيْض ِر ُبوَن ِفي اَأْلْر ِض َيْبَتُغ وَن ِم ْن َفْض ِل ِهَّللا َو آَخ ُروَن ُيَقاِتُلوَن ِفي‬
‫َس ِبيِل ِهَّللا َفاْقَر ُء وا َم ا َتَيَّس َر ِم ْنُه‬
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit, dan yang lain berjalan di
bumi mencari sebagian karunia Allah; dan yang lain berperang di jalan Allah, maka bacalah apa
yang mudah bagimu.”

Pada ayat ini Allah Subhanahu wa ta’ala memaparkan tentang kenapa Allah Subhanahu wa
ta’ala memansukhkan shalat malam. Allah Subhanahu wa ta’ala melihat bahwa di sana ada orang-
orang yang memiliki uzur, yaitu orang sakit, orang yang bersafar mencari nafkah, dan orang yang
berjihad di jalan Allah. Shalat malam untuk orang yang bersafar untuk mencari nafkah adalah hal
yang berat, karena bisa jadi urusannya dalam mencari nafkah bisa terhambat atau bahkan terhenti
karena siang hari digunakan untuk tidur. Demikian pula orang yang berjihad (berperang). Kalau
shalat dengan waktu yang lama, maka bisa jadi tidak ada lagi tenaga untuk berperang keesokan
harinya. Oleh karenanya Allah menjadikan para sahabat tidur pada perang Badr. Allah Subhanahu wa
ta’ala berfirman,

‫ِإْذ ُيَغ ِّش يُك ُم الُّنَع اَس َأَم َنًة ِم ْنُه‬


“(Ingatlah), ketika Allah membuat kamu mengantuk untuk memberi ketenteraman dari-Nya.” (QS.
Al-Anfal : 11)

Allah membuat para sahabat tidur agar keesokan harinya bisa segar untuk berperang. Oleh
karenanya orang-orang yang disebutkan oleh Allah Subhanahu wa ta’ala memiliki uzur untuk bisa
tidak shalat malam. Dan karena kesusahan tersebut akhirnya yang tidak memiliki uzur pun juga tidak
lagi menjadi wajib bagi mereka untuk shalat malam, sehingga pilihan kembali kepada pribadi masing-
masing. Oleh karenanya Allah Subhanahu wa ta’ala mengatakan,

‫َو ِم َن الَّلْيِل َفَتَهَّج ْد ِبِه َناِفَلًة َلَك َع َس ى َأْن َيْبَع َثَك َر ُّبَك َم َقاًم ا َم ْح ُم وًدا‬
“Dan pada sebagian malam, lakukanlah shalat tahajud (sebagai suatu ibadah) sebagai tambahan
bagimu (sunnah): mudah-mudahan Tuhanmu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (QS. Al-Isra’ :
79)
Dan para ulama, di antaranya Al-Qurthubi mengatakan bahwa ini adalah dalil bahwa orang yang
mencari nafkah yang halal itu kedudukannya sama dengan orang yang berjihad. Beliau Al-Qurthubi
berkata,

،‫َس َّو ى ُهَّللا َتَع اَلى ِفي َهِذِه اآْل َيِة َبْيَن َد َر َج ِة اْلُمَج اِهِد يَن َو اْلُم ْك َتِس ِبيَن اْلَم اَل اْلَح اَل َل ِللَّنَفَقِة َع َلى َنْفِس ِه َو ِعَياِلِه‬
‫ َأِلَّنُه َج َم َع ُه َم َع اْلِج َهاِد ِفي َس ِبيِل‬، ‫ َفَك اَن َهَذ ا َد ِلياًل َع َلى َأَّن َكْس َب اْلَم اِل ِبَم ْنِز َلِة اْلِج َهاِد‬، ‫َو اِإْل ْح َس اِن َو اِإْل ْفَض اِل‬
‫ِهَّللا‬
“Allah menyamakan dalam ayat ini antara derajat orang-orang yang berjihad dengan orang yang
mencari harta yang halal untuk menafkahi diri dan keluarganya, dan untuk berbuat kebaikan dan
keutamaan. Maka ini adalah dalil bahwa mencari harta (yang halal) kedudukannya sama seperti
jihad, karena Allah mengumpulkan antara mencari harta yang halal dengan jihad di jalan
Allah.”([47])

Oleh karenanya ini adalah dalil bahwa pentingnya bagi kita dalam mencari nafkah untuk
memerhatikan niat kita. Karena menurut Al-Qurthubi seseorang yang pergi keluar pagi pulang di
sore hari atau di malam hari karena mencari nafkah itu adalah jihad. Oleh karenanya jangan sampai
seseorang mendapatkan harta dari cara-cara yang haram seperti mencuri, korupsi, dan cara haram
lainnya.

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

‫َو َأِقيُم وا الَّص اَل َة َو آُتوا الَّز َكاَة َو َأْقِرُضوا َهَّللا َقْر ًضا َح َس ًنا‬
“Dan laksanakanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berinfaklah kepada Allah infak yang baik.”

Di dalam ayat ini, Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan berinfak dengan menggunakan kata
‫( َقْر ض‬hutang). Artinya adalah infak yang kita keluarkan adalah utang bagi Allah Subhanahu wa ta’ala
terhadap kita. Dan para ulama menyebutkan bahwa Allah menggunakan kata utang (pinjaman)
dalam ayat ini agar kita tenang. Karena sebagaimana kita tenang ketika uang kita dipinjam oleh
orang yang kaya raya yang pasti akan mengembalikan uang tersebut, maka demikianlah Allah
Subhanahu wa ta’ala yang Maha Kaya pasti akan mengembalikan pinjamannya. Dan seringnya Allah
Subhanahu wa ta’ala mengembalikan pinjamannya dengan yang lebih baik atau lebih banyak. Maka
jika kita tidak boleh praktik riba dengan manusia, maka di sini kita boleh melakukan transaksi riba
dengan Allah Subhanahu wa ta’ala, karena demikianlah Allah ketika memberikan balasan kepada
hamba-hamba-Nya.

Firman Allah Subhanahu wa ta’ala,

‫َو َم ا ُتَقِّد ُم وا َأِلْنُفِس ُك ْم ِم ْن َخْيٍر َتِج ُدوُه ِع ْنَد ِهَّللا ُهَو َخ ْيًرا َو َأْع َظَم َأْج ًرا َو اْسَتْغ ِفُروا َهَّللا ِإَّن َهَّللا َغ ُفوٌر َر ِح يٌم‬
“Kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi
Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan
kepada Allah; sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

Ayat ini mengingatkan kita bahwasanya kebaikan-kebaikan yang kita lakukan bukan untuk Allah
Subhanahu wa ta’ala atau orang lain, melainkan untuk diri kita sendiri. Yang paling mendapat untung
dari kebaikan-kebaikan kita bukanlah orang yang kita berbuat baik kepadanya, akan tetapi diri kita
yang lebih mendapatkan untung dari kebaikan tersebut. Bahkan dalam ayat ini Allah Subhanahu wa
ta’ala menegaskan bahwa keuntungan yang kita dapatkan adalah yang lebih baik dari apa yang kita
perbuat. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata dengan perkataan yang
sangat indah,
‫ َو َم ا َع َلْيها ِفي َداِر الَّنِع يِم‬،‫ ُيَقاٍبُلُه َأْض َع اُف َأْض َع اِف الُّد ْنَيا‬، ‫َو ِلُيعَلْم َأَّن ِم ْثَقاَل َذ َّر ٍة ِم َن الَخيِر ِفي َهِذِه الَّد اِر‬
‫ وبْذ ُر ُه‬، ‫ َم اَّد ُة الَخْيِر والِّبِر ِفي َداِر الَقَر اِر‬،‫ َو َأَّن الَخْيرَ َو الِبَّر ِفي َهِذِه الُّد ْنَيا‬،‫ ِم َن الَّلَّذ اِت والَّش َهَو اِت‬، ‫المِقيِم‬
‫ وَو اَح ْس َر َتاه َع َلى أْز َم اٍن َتَقَض ت ِبَغيِر اَألْع َم اِل‬،‫ َفَو اَأَس َفاه َع َلى َأْو َقاٍت َم َض ْت ِفي الَغفَالِت‬،‫وَأْص ُلُه وَأَس اُسُه‬
‫الَّصاِلَح اِت‬
“Ketahuilah bahwa kebajikan meskipun sekecil zarrah yang dilakukan di bumi ini, akan diganti
dengan berlipat-lipat ganda dari dunia ini, dan kenikmatan yang disiapkan di akhirat kelak dari
kesenangan dan syahwat, dan bahwa kebaikan di dunia ini merupakan bahan kebaikan di negeri
yang kekal; sebagai benihnya, asalnya dan asasnya. Sungguh menyedihkan, ketika waktu berlalu
bagi hamba begitu saja dengan kelalaian. Dan sungguh penyesalan, ketika waktu bergulir tanpa
amal saleh.”([48])

Pernyataan ini benar, karena dalam suatu sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan,

‫َر ْك َع َتا اْلَفْج ِر َخْيٌر ِم َن الُّد ْنَيا َو َم ا ِفيَها‬


“Dua rakaat fajar lebih baik daripada dunia seisinya.”([49])

Kalau sekiranya ada seseorang yang diberikan usia hingga lima ribu tahun, kemudian dia berusaha
untuk menguasai dunia dan isinya, maka pasti dia tidak akan mampu. Dan tidak ada raja yang pernah
menguasai seluruh bumi dan isinya. Akan tetapi Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan
bahwa dua rakaat sebelum subuh akan diberikan balasan yang lebih baik daripada dunia dan
seisinya. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengatakan bahwa dua rakaat fajar itu sama
dengan dunia, melainkan beliau mengatakan dua rakaat itu jauh lebih baik. Maka setiap detik waktu
yang kita gunakan untuk amal saleh maka pasti akan ada hasilnya (balasannya) serta berlipat ganda.

Allah Subhanahu wa ta’ala kemudian menutup firman-Nya untuk beristighfar (memohon ampun).
Karena bagaimana pun seseorang dalam mengerjakan perintah Allah, pasti ada kekurangan-
kekurangan seperti ujub, malas, niat yang salah, dan yang lainnya yang membuat kita harus
beristighfar. Maka Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk beristighfar untuk menutup
segala kekurangan-kekurangan dari amal kebaikan kita.

Anda mungkin juga menyukai