Anda di halaman 1dari 19

TINJAUAN PUSTAKA

EPILEPSI

A. Definisi
Epilepsi merupakan manifestasi gangguan fungsi otak dengan
berbagai etiologi, dengan gejala tunggal yang khas, yaitu kejang berulang
akibat lepasnya muatan listrik neuron otak secara berlebihan dan
paroksimal.
Epilepsi adalah bangkitan epilepsi tanpa profokasi yang terjadi lebih dari
2 kali atau lebih dengan interval waktu lebih dari 24 jam.
Terdapat dua kategori dari kejang epilepsi yaitu kejang fokal (parsial)
dan kejang umum. Kejang fokal terjadi karena adanya lesi pada satu bagian
dari korteks serebral, di mana pada kelainan ini dapat disertai kehilangan
kesadaran parsial. Sedangkan pada kejang umum, lesi mencakup area
yang luas dari korteks serebral dan biasanya mengenai kedua hemisfer
cerebri. Kejang mioklonik, tonik, dan klonik termasuk dalam epilepsi
umum. (Dewanto et al., 2007).
Status epileptikus adalah bangkitan yang berlangsung lebih dari 30 menit
atau dua atau lebih bangkitan , dimana diantara dua bangkitan tidak terdapat
pemulihan kesadaran. Penanganan kejang harus dimulai dalam 10 menit
setelah awitan suatu kejang.
B. Etiologi
1. Epilepsi idiopatik : biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang
umum, penyebab-nya tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik
epilepsi mempunyai inteligensi normal dan hasil pemeriksaan juga
normal dan umumnya predisposisi genetik.
2. Epilepsi kriptogenik : Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum
diketahui. Kebanyakan lokasi yang berhubungan dengan epilepsy tanpa
disertai lesi yang mendasari atau lesi diotak tidak diketahui. Termasuk

1
disini adalah sindroma West, Sindroma Lennox Gastaut dan epilepsi
mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
3. Epilepsi simptomatik : Pada simptomatik terdapat lesi struktural di
otak yang mendasari , contohnya oleh karena sekunder dari trauma
kepala , infeksi susunan saraf pusat , kelainan kongenital, proses desak
ruang di otak, gangguan pembuluh darah di otak, toksik ( alkohol,
obat) , gangguan metabolik dan kelainan neurodegeneratif (Utoyo,
2007).
C. Faktor Risiko

(Mardjono, 2003)
D. Epidemiologi
Epilepsi merupakan salah satu kelainan otak yang serius dan umum
terjadi, sekitar lima puluh juta orang di seluruh dunia mengalami kelainan ini.
Angka epilepsi lebih tinggi di negara berkembang. Insiden epilepsi di negara
maju ditemukan sekitar 50/100,000 sementara di negara berkembang
mencapai 100/100,000. Di negara berkembang sekitar 80-90% diantaranya
tidak mendapatkan pengobatan apapun. Penderita laki-laki umumnya sedikit
lebih banyak dibandingkan dengan perempuan.
Insiden tertinggi terjadi pada anak berusia di bawah 2 tahun (262/100.000
kasus) dan usia lanjut di atas 65 tahun (81/100.000 kasus). Risiko seumur

2
hidup terhadap terjadinya kejang umum adalah 3-4% dengan puncak kejadian
awal kejang pada saat neonatus atau akhir kehidupan yang disebabkan oleh
tumor dan stroke (Davey, 2005)
E. Patofisiologi
 Gangguan dalam eksitasi inhibisi di dalam hipotalamus diperkirakan
menjadi faktor mayor dalam etiologi epilepsi :
1. Asam amino eksitatorik (EAA) berada dalam keseimbangan fisiologis
dengan neurotransmiter inhibitori
2. Glutamin, suatu EAA, adalah neurotransmiter eksitatori primer di
dalam sistem saraf pusat dan terutama beraksi melalui aktivasi
reseptor N-methyl-D-aspartate (NMDA)
3. Asam gamma-aminobutirat (GABA) adalah neurotransmiter inhibitori
primer
4. Baik penurunan inhibisi GABAergic maupun peningkatan eksitasi
glutamatergic diperkirakan terlibat secara kritis dalam mekanisme
selular yang mendasari permulaan dan penyebaran kejang epileptik
dan proses yang menyebabkan epileptogenesis, dan pada akhirnya
menyebabkan epilepsi kronis.
5. Banyak obat antiepilepsi (OAE) baru ditargetkan memperkuat
aktivitas tersedia GABA. Sementara antagonis NMDA yang baru-baru
ini tersedia sangat neurotoksik, penelitian masih berjalan unuk
mengevaluasi obat terbaru yang ditujukan untuk menghambat aktifitas
glutamat.
 Perubahan saluran ion yang diatur voltase pada membran neuron
mengakibatkan depolarisasi berlebih atau aksi berlebih yang berpotensi.
Potensial defek pada saluran ion meliputi saluran kalsium, kalium, atau
natrium yang sensitif terhadap voltase, dan pengganti natrium/hidrogen.
 Perubahan dalam gap junction mengakibatkan dipengaruhi interneuron dan
perubahan sinkroni neural. Gap junction ini oleh pH serum (alkalosis
cenderung merangsang komunikasi epileptogenik, sementara asidosis
menghambatnya) tetapi belum ada terapi farmakologis terbaru yang

3
menargetkan GP junction. Diet ketogenik mungkin mempengaruhi GP
junction dengan mengubah pH (Brashes , 2001)

(Mardjono, 2003)
F. Klasifikasi
Serangan parsial.
 Serangan parsial sederhana ( kesadaran baik ).
- Motorik.
- Sensorik.
- Otonom.
- Psikis.
 Serangan parsial kompleks ( kesadaran terganggu ).
- Serangan parsial sederhana diikuti dengan
gangguan kesadaran.
- Gangguan kesadaran saat awal serangan.
 Serangan umum sekunder.
- Parsial sederhana menjadi tonik klonik.
- Parsial kompleks menjadi tonik klonik.
- Parsial sederhana menjadi parsial kompleks menjadi tonik klonik.

4
Serangan umum.
- Absans ( lena ).
- Mioklonik .
- Klonik.
- Tonik
- Atonik
- Tonik Klonik
(Kustiowati et al., 2003).

KLASIFIKASI ILAE 1989


Untuk sindroma epilepsi (Kustiowati et al., 2003).
Berkaitan dengan letak fokus.
 Idiopatik ( primer ).
- Epilepsi anak benigna dengan gelombang paku di
sentrotemporal ( Rolandik benigna).
- Epilepsi pada anak dengan paroksismal oksipital.
- Primary reading epilepsy
 Simptomatik ( sekunder ).
- Lobus temporalis.
- Lobus frontalis.
- Lobus parietalis.
- Lobus oksipitalis.
- Kronik progresif parsialis kontinua.
 Kriptogenik.
Umum.
 Idiopatik ( primer ).
- Kejang neonatus familial benigna.
- Kejang neonatus benigna.
- Kejang epilepsi mioklonik pada bayi.
- Epilepsi absans pada anak.
- Epilepsi absans pada remaja.

5
- Epilepsi mioklonik pada remaja.
- Epilepsi dengan serangan tonik klonik pada saat terjaga.
- Epilepsi tonik klonik dengan serangan acak.
 Kriptogenik atau simptomatik.
- Sindroma West ( Spasmus infantil dan hipsaritmia ).
- Sindroma Lennox Gastaut.
- Epilepsi mioklonik astatik.
- Epilepsi absans mioklonik.
 Simptomatik.
- Etiologi non spesifik.
- Ensefalopati mioklonik neonatal.
- Sindrom Ohtahara.
 Etiologi / sindrom spesifik.
- Malformasi serebral.
- Gangguan Metabolisme.
Epilepsi dan sindrom yang tak dapat ditentukan fokal atau umum.
 Serangan umum dan fokal.
- Serangan neonatal.
- Epilepsi mioklonik berat pada bayi.
- Sindroma Taissinare.
- Sindroma Landau Kleffner.
 Tanpa gambaran tegas fokal atau umum.
 Epilepsi berkaitan dengan situasi.
- Kejang demam.
- Berkaitan dengan alkohol.
- Berkaitan dengan obat-obatan.
- Eklampsia.
- Serangan berkaitan dengan pencetus spesifik ( reflek
epilepsi).
G. Gejala Klinis
1. Serangan lobus temporal

6
Sering berhubungan dengan kelainan struktural, misalnya jaringan
parut akibat kejang demam pada masa kanak-kanak yang berlangsung
lama.
Aura
- Merasa pernah atau belum pernah mengalami peristiwa yang
sedang terjadi (deja vu)
- Timbul rasa atau bau yang tidak sedap
- Rasa tidak nyaman di epigastrium
Serangan
- Muka menyeringai
- Kerja motorik yang kompleks misalnya membuka baju
- Perilaku yang aneh
Post iktal
- Pemulihan biasanya cepat
- Amnesia terhadap kejadian serangan
2. Serangan epilepsi khas
Aura
- Biasanya < 1 menit
- Tergantung lokasi kejadian
Serangan
- Selama < beberapa menit
- Jarang berlanjut sampai waktu yang lama
Fenomena pasca serangan
- Apabila umum, sangat mengantuk< beberapa jam
- Apabila fokal, kehilangan fungsi sementara
3. Serangan umum
- Sering melibatkan struktur di encephalon
- Petit mal terjadi pada masa kanak-kanak, jarang berlanjut ke masa
dewasa
- Epilepsi mioklonik
- Epilepsi akiresia, kehilangan tonus potural secara total dan tiba-tiba

7
- Serangan grand mal
4. Serangan oksipital
- Menyebabkan kilatan cahaya pada penglihatan. Dapat menyebabkan
distorsi penglihatan yang kompleks.
5. Serangan sensoris fokal
- Rasa kesemutan yang merambat ke tubuh selama < beberapa detik
- DD adalah Migren
6. Serangan motorik fokal (jacksonian)
- Kejang yang terjadi tergantung dari lokasi otak yang terkena
- Otot di sekitarnya ikut berkedut
- Paralisis selama beberapa jam
H. Diagnosis Banding
Gejala kejang organik (epileptik) dengan psikogenik histerik. Adanya stres
yang mendahului kejang, jangan langsung dianggap sebagai kejang histerik.
Kita harus curigai kemungkinan kejang organik bila didapatkan gejala seperti
luka-luka (akibat jatuh sewaktu kejang), mengantuk/tidur setelah kejang, aura
tertentu sebelum kejang (vertigo, dll), inkontinensia atau berak di celana
sewaktu kejang (pasti organik), pola kejang yang selalu sama, tidak sadar
sewaktu kejang.
Pada kejang histerik, biasanya bila anamnesis teliti, akan terungkap bahwa
pederita samar-samar masih mengetahui sekeliling (suara orang-orang yang
sibuk menolongnya, dsb), di samping gejala-gejala seperti tempat kejang di
dalam kamar atau di tempat yang pola kejang yang selalu berubah-ubah,
biasanya pada wanita usia muda dengan kepribadian histerik dan sebagainya
(juwono, 2000).
Adanya reflek primitif (palmo mental reflek, grasping reflek, snout reflek,
sucking reflek) menunjukkan adanya disfungsi dari lobus frontalis, tetapi
gejala- gejala ini tidak bisa membedakan apakah akibat kelainan organik atau
struktural ataukah metabolik seperti pada koma hepatikum, uremikum dsb.
Adanya reflek tersebut disertai dengan kemunduran fungsi mental lain seperti

8
gangguan daya ingat (pikun), kecerdasan yang merosot curiga adanya sindroma
demensia (Juwono, 2000). Diagnosis banding lainnya adalah:
1. Sinkop adalah hilangnya kesadaran yang disebabkan oleh penurunan
sementara aliran darah ke otak yang dapat disebabkan oleh banyak hal:
- Aritmia jantung
- Berdiri lama di lingkungan panas
- Faktor psikogenik, pingsan karena ketakutan batuk.
- Stimulasi vagal yang berlebihan misal, sinkop mikturisi, sinkop batuk.
Umumnya, pasien mengalami tanda-tanda peringatan awal sebelum ia
kehilangan kesadaran dan jatuh, seperti kepala terasa melayang, mual,
penglihatan kabur atau menyempit, pucat dan berkeringat. Jika pasien telah
berbaring dengan kepala dan jantung berada pada ketinggian yang sama, maka
perbaikan cepat terjadi.
2. Disritmia Jantung
3. Pseudoseizure
4. Hiperventilasi
5. Serangan iskemik transient
6. Migren
7. Narkolepsi Jarang terjadi, tetapi memiliki empat gmbaran klinis berikut:
- Serangan tidur pada siang hari, biasanya berlangsung 10-20 menit, dimana
pasien akan bangun dan segar kembali, dan dapat terjadi pada keadaan yang
tidak tepat, misalnya pada percakapan, makan.
- Katapleksi episode hilangnya kontrol postural dan kelemahan ekstrimitas
dengan kesadaran yang masih baik, seringkali disebabkan oleh kejadian
emosional, misalnya ketawa.
- Sleep paraylisis atau kelumpuhan tidur adalah ketidakmampuan untuk
bergerak saat tertidur atau bangun tidur.
- Halusinasi hipnagogik, halusinasi visual yang menakutkan saat jatuh tertidur.
- Penyebab gangguan ini masih belum dimengerti dengan baik. Hal ini dapat
diterapi dengan amfetamin, obat alternatif adalah modafinil.
8. Hipoglikemia

9
Gejala "peringatan” awal adalah kecemasan, tremor, tidak stabil, berkeringat,
dan kelaparan. Hilangnya kesadaran dapat lama jam atau lebih) dan dapat
terjadi kejang.
9. Gangguan vestibuler
(Sanberg, 2005)
I. Diagnosis
Diagnosis epilepsi didasarkan atas anamnesis dan pemeriksaan klinis
dengan hasil pemeriksaan EEG atau radiologis. Namun demikian, bila secara
kebetulan melihat serangan yang sedang berlangsung maka epilepsi klinis
sudah dapat ditegakkan :

1. Anamnesis
Anamnesis merupakan langkah terpenting dalam melakukan diagnosis
epilepsi. Dalam melakukan anamnesis, harus dilakukan secara cermat
rinci, dan menyeluruh karena pemeriksa hampir tidak pernah menyaksikan
serangan yang dialami penderita. Anamnesis dapat memunculkan
informasi tentang trauma kepala dengan kehilangan kesadaran, ensefalitis,
malformasi vaskuler, meningitis, gangguan metabolik dan obat-obatan
tertentu. Penjelasan dari pasien mengenai segala sesuatu yang terjadi
sebelum, selama, dan sesudah serangan (meliputi gejala dan lamanya
serangan) merupakan informasi yang sangat penting dan merupakan kunci
diagnosis.
Untuk mengetahui riwayat kejadian serangan kejang tersebut biasanya
dapat memberikan informasi yang lengkap dan baik mengingat pada
kebanyakan kasus, dokter tidak melihat sendiri serangan kejang yang
dialami pasien (Sirven, 2005). Adapun beberapa pertanyaan adalah
sebagai berikut:
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama
ini?
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak
enak pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang teriadi?

10
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Apakah ada de
mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang
terdapat gejala aktivitas mot yang dimulai dari satu sisi tubuh?
Apakah pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung?
Apakah mata berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi?
Apakah ada gerakan "automatism" pada satu sisi Apakah ada sikap
tertentu pada anggota gerak tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah
pasien mengompol
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung?
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari?
6. Apakah ada faktor pencetus?
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang?
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang
Pertanyaan ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien
sudah mendapat obat anti kejang atau belum dan dapat menentukan
apakah obat tersebut yang sedang digunakan spesifik bermanfaat
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam?
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang?
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat

Riwayat medik dahulu


Dengan mengetahui riwayat medik yang dahulu dapat memberikan
informasi yang berguna dalam menentukan etiologinya. Lokasi yang
berkaitan dengan serangan kejang dan membantu untuk pengobatan
selanjutnya
1. Apakah pasien lahhir normal dengan kkehamilan genap bulan maupun
proses persalinannya?
2. Apakah pasien setelah lahir mengalami asfiksia atau “respiratory
distress”?
3. Apakah tumbuh kembangnya normal sesuai usia?

11
4. Apakah ada riwayat kejang demam? Risiko terjadinya epilepsi
sesudah serangan kejang demam sekitar 2% dan serangan kejang
demam kompleks 13% (Sunaryo, 2007) (Shorvon, 2000).
5. Apakah ada riwayat infeksi susunan saraf pusat seperti
meningoensefalitis? atau penyakit infeksi lainnya seperti sepsis.
pneumonia yang disertai serangan kejang. Dibeberapa negara ada
yang diketahui didapat adanya cysticercosis.
6. Apakah ada riwayat trauma kepala seperti fraktur depresi kepala,
perdarahan intra serebral, kesadaran menurun dan amnesia yang lama?
7. Apakah ada riwayat tumor otak?
8. Apakah ada riwayat stroke?

Riwayat sosial
Ada beberapa aspek sosial yang langsung dapat mempengaruhi
pasien epilepsi dan ini penting sebagai bagian dari riwayat penyakit dahulu
dan sekaligus untuk bahan evaluasi
1. Apa latar belakang pendidikan pasien?
2. Apakah pasien bekerja? Dan apa jenis pekerjaannya?
3. Apakah pasien mengemudikan kendaraan bermotor?
4. Apakah pasien menggunakan kontrasepsi oral?
5. Apakah pasien peminum alkohol?

Riwayat keluarga
Mengetahui riwayat keluarga adalah penting untuk menentukan
apakah ada sindrom epilepsi yang spesifik atau kelainan neurologi yang
ada kaitannya dengan faktor genetik dimana manifestasinya adalah
serangan kejang. Sebagai contoh Juvenile myoclonic epilepsy (JME),
familial neonatal convulsion, benign rolandic epilepsy dan sindrom
serangan kejang umum tonik klonik disertai kejang demam (Mardjono,
2003).

Riwayat alergi

12
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan seperti antiepilepsi,
reaksi dibedakan apakah ini suatu efek samping dari gastrointestinal atau
efek hipersensitif. Bila terdapat semacam "rash" perlu dibedakan apakah
ini terbatas karena efek fotosensitif yang disebabkan paparan dari sinar
matahari atau karena efek hipersensitif yang sifatnya lebih luas (Mardjono,
2003).
Riwayat pengobatan
Bila pasien sebelumnya sudah minum obat-obatan anti epilepsi,
perlu ditanyakan bagaimana kemanjuran obat tersebut, berapa kali
diminum sehari dan berapa lama sudah diminum selama ini, berapa
dosisnya, ada atau tidak efek sampingnya.

2. Pemeriksaan fisik umum dan neurologis


Pada pemeriksaan fisik umum dan neurologis, dapat dilihat adanya
tanda-tanda dari gangguan yang berhubungan dengan epilepsi seperti
trauma kepala, gangguan kongenital, gangguan neurologi fokal atau difus,
infeksi telinga atau sinus. Sebab terjadinya serangan epilepsi harus dapat
ditepis melalui pemeriksaan fisik dengan menggunakan umur dan riwayat
penyakit sebagai pegangan.
Untuk penderita anak-anak, pemeriksa harus memperhatikan adanya
keterlambatan perkembangan, organomegali, perbedaan ukuran antara
anggota tubuh dapat menunjukan awal gangguan pertumbuhan otak
unilateral(Mardjono, 2003) (Utoyo, 2007).

3. Pemeriksaan Penunjang
 Elektroensefalografi (EEG)
Pemeriksaan EEG tidak sepenuhnya mendukung ataupun
menyingkirkan diagnosis epilepsi, kurang lebih 5% pasien tanpa
epilepsi mempunyai kelainan EEG berupa aktivitas epilepsi pada
rekaman EEG, dan hanya 50% pasien dengan epilepsi memiliki
aktivitas epileptiform pada rekaman EEG pertamanya. EEG sangat
berperan dalam menegakkan diagnosis epilepsi dan memberikan

13
informasi berkaitan dengan sindrom epilepsi, serta dalam menentukan
lokasi atau fokus kejang khususnya pada kasus-kasus kejang fokal.
Prosedur standar yang digunakan pada pemeriksaan EEG adalah
rekaman EEG saat tidur (sleep deprivation), pada kondisi
hiperventilasi dan stimulasi fotik, dimana ketiga keadaan tersebut
dapat mendeteksi aktivitas epileptiform. Selain ketiga prosedur
standar diatas dikenal pula rekaman Video-EEG dan ambulatory
EEG, yang dapat memperlihatkan aktivitas elektrik pada otak
selama kejang berlangsung (Lumbantobing, 2007).
 MRI (Magnetic Resonance Imaging)
MRI merupakan pemeriksaan pencitraan yang sangat penting
pada kasus-kasus epilepsi karena MRI dapat memperlihatkan
struktur otak dengan sensitivitas yang tinggi. Gambaran yang
dihasilkan oleh MRI dapat digunakan untuk membedakan kelainan
pada otak, seperti gangguan perkembangan otak (sklerosis
hipokampus, disgenesis kortikal), tumor otak, kelainan pembuluh
darah otak (hemangioma kavernosa) serta abnormalitas lainnya.
Meskipun MRI memiliki banyak keunggulan, pemeriksaan dengan
MRI tidak dilakukan pada semua jenis epilepsi. MRI tidak
dianjurkan pada sindrom epilepsi dengan kejang umum karena
jenis epilepsi ini biasanya bukan disebabkan oleh gangguan
struktural. Demikian juga halnya dengan BETCS, karena BETCS
tidak disebabkan oleh gangguan pada otak (Detre, 2004).
 CT Scan
Walaupun CT Scan sering memberikan hasil yang normal pada
kebanyakan kasus epilepsi, CT Scan merupakan pemeriksaan
penunjang yang cukup penting karena dapat menunjukkan kelainan
pada otak seperti atrofi jaringan otak, jaringan parut, tumor dan
kelainan pada pembuluh darah otak (Rallam, 2004).
J. Penatalaksanaan
Prinsip pengobatan epilepsi :

14
1. Pemilihan obat
2. Strategi pengobatan, dimulai dari monoterapi kemudian ditingkatkan
dosisnya sampai optimal, jika tidak teratasi ganti obat epilepsi (OAE)
lini ke-2.
3. Konseling, penggunaan OAE jangka panjang tidak akan menimbulkan
perlambatan mental, pencegahan kejang 1-2 tahun.
4. Tindak lanjut, awasi pasien secara berkala, evaluasi ulang fungsi
neurologis secara rutin.
5. Penanganan jangka panjang, sekurang-kurangnya 1-2 tahun.
6. Penghentian obat, dilakukan bertahap, jika tiba-tiba ditakutkan akan
terjadi status epileptikus (Dewanto dkk, 2007)
Tabel Pemilihan OAE Didasarkan Atas Jenis Bangkitan
Jenis OAE lini OAE lini kedua OAE yang OAE yang
Bangkitan pertama dipertimbangkan dihindari
Bangkitan Sodium Clobazam Clonazepam
umum tonik valproate Levetiracetam Phenobarbital
klonik Lamotrigin Oxcarbazepin Phenitoin
Topiramate acetazolamide
Carbamazepin
Bangkitan Sodium Clobazam Carbamzepin
lena valproate Topiramate Gabapentin
Lamotrigin Oxcarbzeine
Bangkitan Sodium Clobazam Carbamazepine
mioklonik valproat Topiramate Gabentin
Topiramate Leveptiracetam Oxcarbazepine
Lamotrigin
Piracetam
Bangkitan Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamazepine
tonik valproate Levetiracetam phenitoin Oxcabazepine
Lamotrigin Topiramate

15
Bangkitan Sodium Clobazam Phenobarbital Carbamzepine
atonik valproate Levetiracetam acetazolamide Oxcarbazepine
Lamotrigin Topiramate phenitoin
Bangkitan Carbamazepin Clobazam Clanzepam
fokal Oxcarbazepin Gabapentin Phenobarbital
dengan/tanpa Sodium Levetriacetam acetazolamide
umum valproate Phenitoin
sekunder Topiramate Tiagabine
Lamotrigin

Tipe kejang Obat pilihan


Parsial Carbamazepine
Natrium valroat
phenitoin
lamotrigin
Absans Etosuksimid
Natrium vaproat
Lamotrigin
Mioklonik Natrium valproat
Clonazepine
Lamotrigin
Tonik klonik generalisata Natrium valproat
Phenitoin
Carbamazepine
lamotrigin

Anti konvulsan baru, selain lamotrigin, tidak diizinkan untuk monoterapi, tetapi berperan
penting sebagai terapi tambahan, terutama untuk kejang parsial yang resisten terhadap
terapi tunggal obat lini pertama.

16
(Ginsberg, 2005)

Terapi bedah saraf dipertimbangkan untuk pasien dengan epilepsi


yang terus menerus, refrakter terhadap dosis maksimal, anti konvulsan,
terutama pada pasien dengan lokasi onset kejang yang jelas.
Keputusan untuk menghentikan pengobatan pada pasien dewas,
juga ditentukan oleh :
1. durasi remisi
2. tipe epilepsi
3. efek rekurensi kejang saat mengemudi dan bekerja
4. efek samping pengobatan
(Ginsberg, 2005)

17
K. Prognosis
Prognosis epilepsi tergantung oleh beberapa hal, diantaranya jenis
epilepsi, faktor penyebab, saat pengobatan dimulai, dan ketaatan minum obat.
Pada 50-70% penderita epilepsi serangan dapat dicegah dengan obat-obatan,
sedangkan sekita 50% pada sewaktu-waktu dapat berhenti dengan minum
obat. Serangan epilepsi primer seperti serangan lena atau absans mempunyai
prognosis terbaik, sebalikanya serangan pertama mulai dari usia 3 tahun,
mempunyai prognosis relatif jelek, termasuk kombinasi antara gran mal
epilepsi traumatik, kumpulan episode, tanda-tanda fisik dan retardasi mental
(Rubeinstein, 2007).

18
DAFTAR PUSTAKA

Brashes , L.V., 2001. Aplikasi Klinis Patofisiologi pemeriksaan dan Manajemen.


Jakarta: EGC.

Davey, P., 2012. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Detre, J., 2004. fMRI: Aplications In Epilepsy. Epilepsia, 45, pp.26-31.

Dewanto, G., W.J, S., Riyanto, B. & Turana, Y., 2007. Panduan Praktis
Diagnosis & Tatalaksana Penyakit Saraf. Jakarta: EGC.

Ginsberg, L., 2005. Neurologi. Jakarta: Erlangga.

Juwono, T., 2010. Pemeriksaan Klinik Neurologik dalam Praktek. jakarta: EGC.

Kustiowati, E., Hartono, B., Bintoro, A. & Agoes, A., 2003. Pedoman
Tatalaksana Epilepsi. Jakarta: Perdossi.

Lumbantobing, S.M., 2007. Etiologi dan Faal sakitan Epilepsi. Jakarta: FK UI.

Mardjono, M., 2003. Padangan Umum Tentang Eilepsi dan Penatalaksanaanya


dalam Dasar-Dasar Pelayanan Epilepsi & Neurologi. pp.129-48.

Rallam, D.K., 2004. CT and MRI in Epilepsy: Invetigasing Epilepsy. Nepal


Journal of Neurosience , pp.67-72.

Rubeinstein, D., Wayne, D. & Bradley, J., 2007. Kedokteran klinis edisi ke
delapan. Jakarta.

Shorvon, S., 2000. Handbook of Epilepsy Treatment. Blackwell Science.

Sidharta, P., 2010. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Jakarta: Dian
Rakyat.

Utoyo, S., 2007. Diagnosis Eilepsi. Universitas Wijaya Kusuma, 1, pp.1-60.

19

Anda mungkin juga menyukai