Anda di halaman 1dari 16

BAB I

PENDAHULUAN

LATAR BELAKANG

Difteria adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae.


Difetri adalah penyakit infeksi pertama yang ditaklukkan atas dasar prinsip-prinsip
mikrobiologi dan kesehatan masyarakat. Penurunan penyebab utama kematian anak di Barat
pada awal abad ke 20 sampai menjadi kasus medik yang jarang, tanda modern kerapuhan
keberhasilan tersebut menekankan perlunya pemakaian secara sungguh-sungguh prinsip-
prinsip pemberantasan yang sama pada zaman ketergantungan vaksin dan satu masyarakat
global.1

South-East Asia Region (SEARO) merupakan wilayah pembagian WHO dengan


insiden difteri terbanyak di dunia setiap tahunnya. Indonesia menempati urutan kedua insiden
difteri terbanyak dibanding negara anggota SEARO lainnya (WHO, 2012) dan Jawa timur
merupakan provinsi dengan insiden difteri tertinggi di Indonesia dalam beberapa tahun
terakhir. Semua kabupaten atau kota di Jawa Timur pada tahun 2011 dan 2012 telah
mengalami KLB difteri (Dinkes Prov. Jawa Timur, 2013). Kasus meninggal akibat difteri di
jawa Timur berjumlah 21 orang pada tahun 2010. Dengan CFR provinsi Jawa Timur 6,9%.
CFR akibat difteri di Jawa Timur pada tahun 2011 menurun menjadi 3,87% (Dinkes Prov.
Jawa Timur pada tahun 2013).4

Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi KLB difteri di Jawa Timur, seperti
pengadaan Outbreak Response Immunization (ORI) dan Backlog Fighting (BLF). Namun
kasus difteri Jawa Timur masih tinggi. Pemerintah juga telah mengadakan sub Pekan
Imunisasi Nasional (PIN) di 19 kabupaten atau kota di Jawa Timur pada bulan November
tahun 2012 (Dinkes Prov Jawa Timur, 2011). Beberapa kabupaten atau kota menunjukkan
penurunan kasus pada awal tahun 2013, namun masih terdapat kabupaten atau kota yang
angka kejadian difterinya tinggi, salah satunya adalah kabupaten Bangkalan. Kasus difteri di
Provinsi Jawa Timur pada awal tahun 2013 (sampai dengan 11 januari) berjumlah 89, angka
ini melebihi angka rata-rata kasus perbulan pada tahun sebelumnya. Peningkatan kejadian

1
difteri yang cukup signifikan ini dapat menyebabkan masalah yang lebih besar bila tidak
segera diatasi dengan tepat.4

Faktor lain yang mempengaruhi kejadian difteri adalah faktor lingkungan seperti
kepadatan hunian (Sitohang, 2002 ; Kartono, 2008), pengetahuan ibu, status gizi, kelembapan
dalam rumah, jenis lantai rumah dan adanya sumber penularan (kartono, 2008). Hunian yang
padat menyebabkan mudahnya kuman difteri menular ke orang lain karena penularan difteri
melalui droplet dan lingkungan yang buruk dengan sanitasi yang rendah dapat menunjang
keberadaan kuman difteri.4

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Difteri adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae
yang sangat menular dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan
atau mukosa.1,2

2.2 Etiologi
Disebabkan oleh Corynebacterium Dyphtheriae. Basil ini termasuk jenis batang
gram negatif, pleomorfik, tersusun berpasangan (palisade), tidak bergerak, tidak
membentuk spora (kapsul), aerob dan dapat memproduksi eksotoksin, mati pada
pemanasan 60ᵒC. Tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah
dengan media tertentu (yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan
organisme yang menyaingi dan bila direduksi oleh C. Diphtheriae membuat koloni
menjadi abu-abu hitam. Tiga biotip (Mitis, Gravis dan Intermedius), masing-masing
mampu menyebabkan difteria, dibedakan oleh morfologi koloni, hemolisis dan reaksi
fermentasinya. Bekteriofag lisogenik membawa genanya yang mengkode untuk
produksi endotoksin yang memberikan kemungkinan penghasil difteria terhadap strain
C.diphtheriae tetapi bakteriofag ini memberi protein esensial pada bakteri.1,2,3

2.3 Patofisiologi
C. difteriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak pada
permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes kesekeliling, selanjutnya menyebar keseluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubuh manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari
penggabungan 2 asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati
kedudukan P dan A dalam ribosom. Bila rangkaian asam amino ini ditambah dengan
asam amino lain untuk membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA,
diperlukan proses translokasi. Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer

3
RNA + dipeptida dari kedudukan A kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan
enzim translokase aaa9elongation factor 2) yang aktif.2
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen
B dan selanjutnya fragmen A akan masuk, mengakibatkan inaktivasi enzim translokase
melalui proses; NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid
ADP-ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses translokasi tidak berjalan
sehingga tidak terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, akibatnya sel akan
mati. Nekrosis tampak jelas didaerah kolonisasi kuman. Sebagai respons, terjadi
inflamasi lokal bersama-sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat
yang semula mudah dilepas. Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin
lebar dan terbentuklah eksudat fibrin. Terbentuklah suatu membran yang melekat erat
berwarna kelabu kehitaman, tergantung dari jumlah darah yang terkandung. Selain
fibrin, membran juga terdiri dari sel radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa
melepaskan membran akan terjadi perdarahan. Selanjutnya membran akan terlepas
sendiri pada masa penyembuhan.2
pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan
bakteri (misalnya streptococcus pyogenes). Membran dan jaringan edematus dapat
menyumbat jalan nafas. Gangguan pernafasan/sufokasi bisa terjadi dengan perluasan
penyakit kedalam laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam
tubuh bisa mengakibatkan kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan
ginjal. Antitoksin difteria hanya berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang
berabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi apabila toksin telah melakukan penetrasi
ke dalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel, tedapat maa laten yang bervariasi
sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis biasanya terjadi dalam 10-14 hari,
manifestasi saraf biasanya terjadi setelah 3-7 minggu. Kelainan patologik yang
mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada bermacam-macam organ
dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel mononuklear pada
serat otot dan sistem konduksi. Apabila pasien tetap hidup, terjadi regenerasi otot dan
fibrosis interstisial. Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi lemak pada
selaput mielin. Nekrosis hati bisa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang tampak
perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal.2

4
2.4 Klasifikasi

Menurut tingkat keparahannya, penyakit difteri dibagi atas 3 tingkat, yaitu:9

1. Infeksi ringan, apabila pseudomembrane hanya terdapat pada mukosa hidung


dengan gejala hanya pilek dan nyeri waktu menelan.
2. Infeksi sedang, apabila pseudomembrane telah menyerang sampai faring dan
laring sehingga keadaan pasien terlihat lesu dan agak sesak.
3. Infeksi berat, apabila terjadi sumbatan nafas yang berat dan adanya gejala-gejala
yang ditimbulkan oleh eksotoksin seperti miokarditis, paralisi dan nefritis.

2.5 Manifestasi Klinis


Manifestasi klinis penyakit difteria dibagi sesuai dengan tempat infeksinya,
yaitu:1,2,9

A. Difteri Hidung
Manifestasi klinis jenis ini mirip dengan penyakit common cold, dengan
gejala pilek ringan. akan tetapi mempunyai karakteristik yaitu adanya
cairan mukopurulen keluar dari hidung yang berisi lendir dan pus, dan
kadang-kadang disertai darah dan adanya membran berwarna putih pada
septum nasal. Absobsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang
timbul tidak nyata sehingga diagnosis lambat.

B. Difteri Tonsil dan Faring


Ini merupakan daerah yang paling sering dikenai infeksi difteria. Jenis ini
biasanya disertai penyerapan toksin secara sistemik. Gejala pertama
berupa lesu, sakit menelan, anoreksia, demam yang tidak begitu tinggi
tapi pasien kelihatan toksik. Dalam waktu 1-2 hari terbentuk membran
yang berwarna putih kelabu dan menyebar sampai daerah tonsil dan
menutupi hampir seluruh palatum mole. Membran melekat pada jaringan
dan berdarah kalau dilepaskan. Pembentukan membran secara ekstensif
dapat menimbulkan sumbatan pernapasan. Dapat terjadi limfadenitis
servikalis dan submandibular. Bila limfadenitis terjadi bersamaan dengan
edema jaringan lunak leher yang luas, timbul bullneck. Selanjutnya gejala

5
tergantung dari derajat penetrasi toksin dan luas membran. Pada kasus
berat, dapat terjadi kegagalan pernapasan atau sirkulasi. Dapat terjadi
paralisis pallatum mole baik unilateral maupun bilateral, disertai
kesukaran menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bisa terjadi
dalam 1 minggu sampai 10 hari. Pada kasus sedang, penyembuhan terjadi
berangsur-angsur dan bisa disertai penyulit miokarditis atau neuritis. Pada
kasus ringan membran akan terlepas dalam 7-10 hari dan biasanya terjadi
penyembuhan sempurna.

C. Difteri Laring
Difteria laring biasanya merupakan perluasan difteria faring. Pada difteria
faring primer gejala toksik kurang nyata, oleh karena mukosa laring
mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan mukosa faring
sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis
difteria laring sukar dibedakan dari tipe infectinous croups yang lain,
seperti nafas berbunyi, stridor yang progresif, suara parau dan batuk
kering. Pada obstruksi laring yang berat terdapat retraksi suprasternal,
interkostal dan supraklavikular. Bila terjadi pelepasan membran yang
menutup jalan nafas bisa terjadi kematian mendadak. Pada kasus berat,
membran dapat meluas ke percabangan trakeobronkial. Apabila difteria
laring terjadi sebagai perluasan dari difteria faring, maka gejala yang
tampak merupakan campuran gejala obstruksi dan toksemia

D. Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga


Difteri Kulit, Vulvovaginal, Konjungtiva dan Telinga merupakan tipe
difteria yang tidak lazim (unusual). Difteria kulit berupa tukak dikulit, tepi
jelas dan terdapat membran pada dasarnya. Kelainan cenderung menahun.
Difteria pada mata dengan lesi pada konjungtiva berupa kemerahan,
edema dan membran pada konjungtiva palpebra. Pada telinga berupa otitis
eksterna dengan sekret purulen dan berbau.

6
2.6 Diagnosis
Pada difteri dilakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik.1,8

a. Anamnesis
 Demam tinggi 38ᵒC.
 Nyeri menelan.
 Kesulitan bernafas.
 Suara parau.
 Mual dan muntah
 Pembengkakan kelenjar getah bening

b. Pemeriksaan fisik
Pada mukosa pemeriksaan saluran nafas ditemukan adanya pseudomembran
yang mempunyai karakteristik sebagai berikut :
 Mukosa membran edema, hiperemis, dengan epitel yang nekrosis.
 Biasanya berbentuk berkelompok, tebal, fibrinous dan berwarna abu-abu
kecoklatan, terdiri dari leukosit, eritrosit, sel epitel saluran pernapasan
yang mati dan mudah berdarah kalau terganggu atau dilepaskan dari
dasarnya. Membran ini biasanya ditemukan pada palatum, faring,
epiglotis, laring, trakea sampai kedaerah trakeo-bronkus. (tergantung
jenis penyakit).

7
Pada daerah pemeriksaan leher ditemukan : edema pada daerah
submandibular dan leher bagian depan ditandai dengan suara parau, stridor
dan bisa ditemukan pembesaran kelenjar getah beningservikalis anterior
(Bull’s neck appearance).

Pada pemeriksaan sistem kardiovaskuler ditemukan : takikardi, suara


jantung lemah, irama mendua (presistolik gallops), aritmia (fibrilasi atrium).

Pada pemeriksaan elektrokardiografi ditemukan tanda-tanda miokarditis


berupa low voltage, depresi segmen ST, gelombang T terbalik dan tanda-
tanda blok dimulai dari pemanjangan PR interval sampai blok AV total.

Pada pemeriksaan neurologis ditemukan gerakan palatum berkurang,


paralisis otot-otot mata yang menimbulkan penglihatan kembar, kesukaran
akomodasi, strabisms internal, paralisis nervus frenikus akan menimbulkan
paralisis diafragma. Selanjutnya bisa terjadi paralisis ekstremitas inferior
disertai kehilangan refleks tendon dan peningkatan kadar protein cairan
serebrospinal sehingga secara klinis kadang-kadang sukar dibedakan dengan
sindrom guillian barre.

2.7 Pemeriksaan penunjang


Pemeriksaan penunjang pada difteri sebagai berikut: 4
 PCR (Polymerase Chain Reaction)
Merupakan salah satu cara untuk memperbanyak fragmen DNA
(Deoxyribonucleic Acid) yang spesifik secara enzimatik in vitro. Proses PCR
menggunakan 1 pasang oligonukleotida primer yang akan menghibridasi rantai
tunggal dari arah yang berlawanan dengan DNA target. Pemeriksaan didteri
dengan teknik PCR adalah untuk mengetahui adanya gen tox dari fragmen A
yang menjadi terbentuknya toksin difteri.
Komponen yang diperlukan untuk pemeriksaan PCR adalah:

1. Sampel DNA
Sampel DNA yang akan diperbanyak sebagai template (cetakan) diperoleh
dengan ekstraksi DNA. Ekstraksi DNA dilakukan dengan cara menanam
sampelusap tenggorok pada medium agar Hoyle’s tellurite, kemudian

8
diinkubasi pada 37ᵒC selama 18-20 jam. Selanjutnya dipilih 3-5 koloni
yang dicurigai difteri dan dipindahkan kedalam tabung ependorf 1,5 mL
yang mengandung 0,5 Ml air destilasi steril. Sampel dipanaskan selama 20
menit kemudian disentrifugasi pada 8000 x g selama 1 menit. Sebanyak 3
µl supernatan digunakan sebagai sampel DNA untuk pemeriksaan PCR.

2. Primer
Primer adalah sepasang rangkaian pendek DNA yang susunan asam
nukleatnya komplementer dengan asam nukleat DNA target (pada
template). Primer berfungsi memulai proses sintesis untai DNA baru
dengan menggunakan DNA target sebagai cetakan.

3. Keempat basa nukleotida yang terdiri dari Adenin, Timin, Guanin dan
Sitosin.

4. Enzim Polimerase (Taq Polymerase)

5. Buffer

Pada prinsipnya reaksi PCR berlangsung dalam 3 tahap yang berbeda suhu
dan waktunya, yaitu tahap denaturation, annealing dan extension. Proses PCR
dimulai dengan :
1. Proses denaturation, yaitu proses terjadinya pemisahan untuk ganda DNA
template (dsDNA) menjadi untai tunggal DNA (ssDNA). Proses ini hanya
terjadi pada suhu tinggi (93-96ᵒC).
2. Proses annealing, yaitu proses penempelan/hibridisasi pasangan primer
pada DNA target dengan posisi yang sesuai (komplemen), yaitu pada dua
bagian yang berbeda yang mengapit bagian yang akan digandakan. Proses
annealing berlangsung pada suhu 50-68ᵒC.
3. Proses extension, yaitu proses sintesis DNA baru yang komplementer
dengan DNA template. Proses ini terjadi pada suhu 70-72ᵒC.

9
 Kultur spesimen
Pada media agar darah tellurite dan diinkubasi pada suhu 35ᵒC secara
aerob selama 18-48 jam. Kuman difteri menghasilkan koloni berwarna hitam.
Selanjutnya koloni tersebut harus dikultur ulang pada medium modifikasi agar
Tinsdale dan agar darah. Pengecetan Gram dilakukan untuk mengetahui
morfologi kuman difteri (gram Positif, bentuk batang). Kultur ulang diinkubasi
pada suhu 35ᵒC selama 24 jam secara aerob. Beberapa koloni menunjukkan
warna hitam kecoklatan. Isolat C.Diphtheriae tipe mitis akan menghidrolisis
glukosa dan maltosa, sedangkan C.diphtheriae tipe gravis akan menghidrolisis
glukosa, maltosa dan pati.

2.8 Penatalaksanaan
Tujuannya adalah menginaktivasi toksin yang belum terikat secepatnya, mencegah
dan mengusahakan agar penyakit yang terjadi minimal, mengeliminasi C.diphtheriae
untuk mencegah penularan serta mengobati infeksi penyerta dan penyulit difteria.2,4

1. UMUM
Pasien diisolasi sampai masa akut terlampaui dan biakan hapusan tenggorokan
negatif 2 kali berturut-turut. Pada umumnya pasien tetap diisolasi selama 2-3
minggu. Istirahat tirah baring selama kurang lebih 2-3 minggu, pemberian cairan
serta diet yang adekuat. Khusus pada difteria laring dijaga agara nafas tetap bebas
serta dijaga kelembaban udara dengan menggunakan humidifer.

2. KHUSUS

a. Antitoksin : Anti Diphtheria Serum (ADS)


Antitoksin harus diberikan segera setelah dibuat diagnosis difteria. Dengan
pemberian antitoksin pada hari pertama, angka kematian pada penderita
kurang dari 1%. Namun dengan penundaan lebih dari hari ke 6 menyebabkan
angka kematian ini bisa meningkat sampai 30%.

10
Tipe Difteria Dosis ADS (KI) Cara Pemberian
Difteria Hidung 20.000 Intramuscular
Difteria Tonsil 40.000 Intramuscular atau
Intravena
Difteria Faring 40.000 Intramuscular atau
Intravena
Difteria Laring 40.000 Intramuscular atau
Intravena
Kombinasi Lokasi di 80.000 Intravena
atas
Difteria + penyulit, 80.000-120.000 Intravena
bullneck
Terlambat berobat 80.000-120.000 Intravena
(>72 jam), lokasi
dimana saja
Tabel 1. Dosis ADS Menurut Lokasi Membran dan Lama Sakit

Sebelum pemberian ADS harus dilakukan uji kulit atau uji mata terlebih
dahulu, oleh karena pemberian ADS dapat terjadi reaksi anafilaktik, sehingga
harus disediakan larutan adrenalin 1:1000 dalam spuit. Uji kulit dilakukan
dengan penyuntikkan 0,1 Mlads dalam larutan garam fisiologis 1:1000 secara
intrakutan. Hasil positif bila dalam 20 menit terjadi indurasi >10 mm. Uji
mata dilakukan dengan meneteskan 1 tetes larutan serum 1:10 dalam garam
fisiologis. Pada mata yang lain diteteskan garam fisiologis. Hasil positif bila
dalam 20 menit tampak gejala hiperemis pada konjungtiva bulbi dan
lakrimasi. Bila uji kulit/ mata positif, ADS diberikan dengan cara
desensitisasi. Bila uji negatif, ADS harus diberikan sekaligus secara
intravena. Dosis ADS ditentukan secara empiris berdasarkan berat penyakit
dan lama sakit, tidak tergantung pada berat badan pasien, berkisar antara
20.000-120.000 KI seperti tertera pada tabel 1. Pemberian ADS intravena
dalam larutan garam fisiologis atau 100 ml glukosa 5% dalam 1-2 jam.
Pengamatan terhadap kemungkinan efek samping obat/reaksi sakal dilakukan
selama pemberian antitoksin dan selama 2 jam berikutnya. Demikian pula
perlu dimonitor terjadinya reaksi hipersensitivitas lambat ( serum sickness).

11
b. Antibiotik
Antibiotik diberikan bukan sebagai pengganti antitoksin, melainkan untuk
menghilangkan bakteri dan menghentikan produksi toksin. Penisilin prokain
50.000-100.000 IU/kgBB/hari selama 10 hari, bila terdapat riwayat
hipersensitivitas penisilin diberikan eritromisin 40 mg/kgBB/hari.

c. Kortikosteroid
Belum terdapat persamaan pendapat mengenai kegunaan obat ini pada
difteria. Dianjurkan pemberian kortikosteroid pada kasus difteria yang
disertai gejala :
 Obstruksi saluran nafas atas (dapat disertai atau tidak bullneck).
 Bila terdapat penyulit miokarditis. Pemberian kortikosteroid untuk
mencegah miokarditis ternyata tidak terbukti.
Prednison 2 mg/kgBB/hari selama 2 minggu kemudian di turunkan dosisnya
bertahap.

2.9 Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan
tentang bahaya difteria bagia anak. Pada umumnya setelah seorang anak menderita
difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
Pencegahan khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak
yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin
difteria tetapi tidak mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau
menderita difteria ringan. Antigen difteri secara tunggal belum ada, biasanya pemberian
vaksin difteri bersamaan dengan vaksin pertusis dan tetanus, seperti diphtheria-tetanus-
acellular pertusis vaccine (DtaP) untuk anak-anak. Pemberian vaksin DtaP pada masa
anak-anak adalah pada umur 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan 15-16 bulan, kemudian
dilanjutkan dengan Booster setiap 10 tahun.1,2,10

12
1. Imunisasi
Imunisasi pasif diperoleh secara transplasentral dari ibu yang kebal
terhadap difteria sampai 6 bulan dan suntikan antitoksin yang dapat bertahan
selama 2-3 minggu. Sedangkan imunitas aktif diperoleh setelah menderita aktif
yang nyata atau inapparent infection serta imunisasi toksoid difteria. Imunitas
terhadap difteria dapat diukur dengan uji Schick dan uji Moloney.2
Uji kepekaan Schick menentukan kerentanan (suseptibilitas) seseorang
terhadap difteria. Uji Schick dilakukan dengan menyuntikkan toksin difteria
yang dilemahkan secara intrakutan. Bila tidak terdapat kekebalan (tidak
mempunyai antitoksin), toksin akan menimbulkan nekrosis jaringan; maka hasil
disebut positif. Demikian sebaliknya, apabila seseorang mempunyai antitoksin,
tidak menimbulkan reaksi dan hasil dinyatakan negatif.2
Uji kepekaan Moloney lebih menentukan sensitivitas terhadap produk
bakteri dari hasil difteria. Dilakukan dengan memberikan 0,1 ml larutan toksoid
difteria secara intradermal. Reaksi positif bila dalam 24 jam timbul eritema >10
mm, yang berarti bahwa seseorang tersebut telah mempunyai pengalaman
dengan basil difteria sebelumnya sehingga terjadi reaksi hipersensitivitas.
Kerugian uji kepekaan Moloney, toksin difteria bisa mengakibatkan timbulnya
reaksi yang berbahaya.2

2.10 Komplikasi
Komplikasi yang terjadi adalah sebagai berikut:1
 Kegagalan pernapasan.
 Miokarditis.
 Neuritis.
 Pneumonia bakterialis sekunder.
 Aritmia.
 Sepsis.

13
2.11 Diagnosis banding
Diagnosis banding pada difteri adalah sebagai berikut:1,2
 Difteri Hidung : Rhinorrhea (common cold, sinusitis, adenoiditis), benda
asing dalam hidung, snuffles (lues kongenital). Dapat dibedakan dengan
pemeriksaan spekulum hidung dan foto sinus.
 Difteri faring : Tonsilitis akut, mononukleosis infeksiosa, tonsilitis
membranosa non-bacterial, tonsilitis herpetika primer.
 Difteri laring : Infectinous croups, croup spasmodik/nonspasmodik,
angioneurotic edema pada laring.
 Difteri Kulit : Perlu dibedakan dengan impetigo dan infeksi kulit yang
disebabkan oleh streptococcus atau stafilococcus.

2.12 Prognosis

Prognosis untuk penderita difteria tergantung pada virulensi organisme, umur,


status imunisasi, tempat infeksi, kecepatan terapi, ada atau tidaknya komplikasi dan
kecepatan pembesaran antitoksin. Penyumbatan mekanik karena difteri laring atau
difteri bullneck dan komplikasi miokarditis merupakan penyebab kamatian
terbesar.1,11,12

14
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Difteri adalah toksikoinfeksi yang disebabkan oleh Corynebacterium diphtheriae
yang sangat menular dengan ditandai pembentukan pseudo-membran pada kulit dan
atau mukosa.
Pada mukosa pemeriksaan saluran nafas ditemukan adanya pseudomembran yang
mempunyai karakteristik seperti mukosa membran edema, hiperemis, dengan epitel
yang nekrosis. Biasanya berbentuk berkelompok, tebal, fibrinous dan berwarna abu-abu
kecoklatan, terdiri dari leukosit, eritrosit, sel epitel saluran pernapasan yang mati dan
mudah berdarah kalau terganggu atau dilepaskan dari dasarnya. Membran ini biasanya
ditemukan pada palatum, faring, epiglotis, laring, trakea sampai kedaerah trakeo-
bronkus.(tergantung jenis penyakit).
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberi pengetahuan
tentang bahaya difteria bagia anak. Pada umumnya setelah seorang anak menderita
difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi.
Pencegahan khusus terdiri dari imunisasi DPT dan pengobatan karier. Seorang anak
yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin
difteria tetapi tidak mempunyai antibodi terhadap organismenya. Keadaan demikian
memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau
menderita difteria ringan. Antigen difteri secara tunggal belum ada, biasanya pemberian
vaksin difteri bersamaan dengan vaksin pertusis dan tetanus, seperti diphtheria-tetanus-
acellular pertusis vaccine (DtaP) untuk anak-anak. Pemberian vaksin DtaP pada masa
anak-anak adalah pada umur 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan dan 15-16 bulan, kemudian
dilanjutkan dengan Booster setiap 10 tahun.

15
DAFTAR PUSTAKA

1. Behrman, Kliegman and Arvin. 2000. Nelson Ilmu kesehatan Anak. Edisi 15: Vol
(2). Jakarta : EGC
2. Soedarmo. SSP, Garna. H, Hadinegoro. SRS. Satari. HI. 2010. buku ajar infeksi
pediatri Tropis. Edisi kedua
3. Brooks GF, Janet SB, Stephen AM. Mikrobiologi kedokteran. Edisi 1. Jakarta :
Salemba Medika. 2005. H. 302-7
4. Utama. F, U.W. chatarina, Martini, S. 2014. Determinan Kejadian Difteri Klinis
Pasca Sub PIN Difteri tahun 2012 dikabupaten Bangkalan. Surabaya. Vol; 2 (1)
5. Robbins & Cotran. 2002. Daftar Patologis Penyakit. Edisi 7. Jakarta : EGC
6. WHO. 2009. Pelayanan kesehatan anak di rumah sakit. Jakarta
7. Sarwo handayani. 2012. Deteksi kuman bakteri dengan Polymerase Chain
Reaction (PCR). Jakarta. Vol;39 (3)
8. Ditjen P2PL. Depkes RI. 2003. Panduan praktis surveilens Epidemiologi Penyakit.
Jakarta
9. Ditjen P2PL. Depkes RI. 2007. Revisi Buku Pedoman Penyelidikan dan
Penanggulangan Kejadian Luar Biasa (Pedoman Epidemiologi Penyakit). Jakarta
10. Biofarma. Serum Anti Difteri. Available at:
http://www.biofarma.co.id/index.php/detil/items/serum-anti-diptheri.html. Accesed
at Maret, 23 2017
11. American Academy of Pediatrics. Red Book: 2006 Report of the Commitee on
Infectious Disease. American Academy of Pediatrics
12. Doerr S. Diphtheria. Available at:
http://www.emedicinehealth.com/diphtheria/page9_em.htm Accesed Maret, 23
2017

16

Anda mungkin juga menyukai