Anda di halaman 1dari 5

http://www.kuliahhukum.

com/hukum-agraria/
http://www.suduthukum.com/2016/09/konflik-agraria.html
http://seputarpendidikan003.blogspot.co.id/2015/03/pengertian-hukum-agraria-dan-asas-
hukum.html
Pendahuluan
Latar Belakang Masalah
Sudah 56 tahun usia Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) Tahun 1960. Namun selama
kurun waktu itu pula persoalan-persoalan yang berhubungan dengan keagrariaan tak kunjung reda
sampai saat ini.
Konflik Agraria, bom waktu bagi Indonesia. Penyebab terjadinya konflik di bidang
pertanahan di indonesia adalah keterbatasan ketersediaan tanah pada suatu wilayah yang
berkonflik, tumpang tindih hak milik tanah maupun hak atas pengelolaan tanah, ketimpangan
dalam struktur penguasaan tanah, inkonsistensi negara dan ketidaksinkronisasian baik secara
vertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan hak
pengelolaan tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan hak milik tanah dan hak kelola
tanah sehingga pada masa lalu dan di era reformasi sekarang ini muncul kembali gugatan atas hak
milik dan hak kelola atas tanah, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan
serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem
perundang-undangan agraria. Tanpa ada pembaruan Undang-undang sebagai landasan hukum
agraria maka konflik tanah akan tetap ada.
Konflik agraria ini akan menjadi bom waktu yang bisa meledak kapan saja jika
pembaharuan undang-undang agraria tidak dilaksanakan. konflik agraria di Indonesia akan tetap
ada bahkan akan terus menjadi gelombang yang semakin membesar. Oleh Karena itu, makalah ini
akan membahas konflik agraria yang ada di Indonesia, yang dapat dijadikan salah satu contoh
bahwa konflik agraria tidak pernah hilang atau selalu eksis, sehingga dibutuhkan penyelesaian-
penyelesaian konflik agraria.
Rumusan Masalah :
1. Apa itu hukum agraria?
2. Apa itu konflik agrarian?
3. Bagaimana konflik agraria : studi kasus di Kabupaten Dairi?
4. Bagaimana penyelesaian konflik agraria : studi kasus di Kabupaten Dairi?

Tujuan Makalah
Tujuan dalam penyusunan makalah ini adalah untuk mendeskripsikan masalah yang berhubungan
dengan agraria dan bagaimana jalan penyelesaian dari konflik tersebut.
Pembahasan
1. Hukum Agraria
1.1. Pengertian
Istilah tanah (agraria) berasal dari beberapa bahasa, dalam bahasas latin agre berarti tanah
atau sebidang tanah . agrarius berarti persawahan, perladangan, pertanian. Menurut kamus besar
Bahasa Indonesia agraria berarti urusan pertanahan atau tanah pertanian juga urusan pemilikan
tanah, dalam bahasa inggris agrarian selalu diartikan tanah dan dihubungkan usaha pertanian,
sedang dalam UUPA mempunyai arti sangat luas yaitu meliputi bumi, air dan dalam batas-batas
tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya.Pengertian hukum
agraria dalam arti sempit adalah sebuah hukum tanah yang hanya mengatur masalah pertanian,
atau mengenai permukaan tanah dan kulit bumi saja.
Pengertian Hukum agraria dalam arti luas adalah seluruh kaidah hukum baik yang tertulis
ataupun tidak tertulis yang mengatur masalah bumi, air dalam batas-batas tertentu dan ruang
angkasa beserta kekayaan alam yang terkandung didalam bumi.
Ada beberapa ahli hukum yang mengemukaakn pendapatnya mengenai hukum agraria, yaitu:
1. Mr. Boedi Harsono
Hukum agraria adalah suatu kaidah-kaidah hukum yang mengatur mengenai bumi, air dalam
batas tertentu juga ruang angkasa serta kekayaan alam yang terdapat di dalam bumi, baik dalam
bentuk tertulis maupun tidak tertulis.
2. Drs. E. Utrecht SH
Hukum agraria sebagai hukum istimewa memungkinkan pejabat administrasi bertugas
mengurus permasalahan tentang agraria untuk melakukan tugas mereka.
3. Bachsan Mustafa SH
Hukum agraria merupakan himpunan peraturan yang mengatur tentang bagaimana para
pejabat pemerintah menjalankan tugas mereka dibidang keagrariaan.

1.2. Asas Hukum Agraria


Ada beberapa asas hukum agraria yang berlaku di Indonesia, diantaranya :
1. Asas nasionalisme
Asas nasionalisme menyatakan hanya warga Negara Indonesia saja yang mempunyai hak milik
atas tanah dan hubungan antara bumi dan ruang angkasa tanpa membedakan laki-laki atau
perempauan baik warga negara asli ataupun keturunan.
2. Asas dikuasai oleh Negara
Asas dikuasai oleh Negara menyatakan bahwa bumi, air dan ruang angkasa beserta kekayaan
alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara.
3. Asas hukum adat yang disaneer
Asas hukum adat yang disaneer menyatakan bahwa hukum adat yang sudah bersih dari dari segi
negatif dapat digunakan sebagai hukum agrarian.
4. Asas fungsi social
Asas fungsi social menyatakan bahwa penggunaan tanah tidak boleh bertentangan dengan norma
kesusilaan dan keagamaan dan juga hak-hak orang lain serta kepentingan umum.
5. Asas kebangsaan atau (demokrasi)
Asas kebangsaan menyatakan bahwa setiap warga negara mempunyai hak milik tanah.
6. Asas non diskriminasi (tanpa pembedaan)
Asas non diskriminasi merupakan asas yang mendasari hukum agraria.
7. Asas gotong royong
Asas gotong royong menyatakan bahwa segala usaha bersama berdasarkan kepentingan bersama
dalam rangka mewujudkan kepentingan nasional dalam bentuk gotong royong.
8. Asas unifikasi
Menurut Asas unifikasi Hukum agraria disatukan menjadi satu UU yang berlaku bagi seluruh
Warga Negara Indonesia.
9. Asas pemisahan horizontal (horizontale scheidings beginsel)
Asas pemisahan horizontal menyatakan ada pemisahan hak kepemilikan antara pemilik tanah
dengan benda dan bangunan yang ada di atasnya.
1.3. Konflik Agraria
Konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perselisihan, pertentangan,
percekcokan. Konflik dapat terjadi antar individu, antar kelompok, atau antar individu dan
kelompok. Sebuah konflik hadir karena kepentingan-kepentingan yang dimiliki setiap pihak
berbeda. Namun secara umum, salah satu definisi konflik dalam ilmu sosial adalah suatu situasi
proses, yaitu proses interaksi antara dua atau lebih individu atau kelompok dalam
memperebutkan obyek yang sama demi kepentingannya. Dalam sebuah konflik, pihak-pihak itu
berselisih akan suatu hal atau benda di mana setiap pihak memiliki kehendak sendiri yang
berbeda untuk menyikapi hal atau benda itu. Perbedaan kepentingan itu saling bertentangan dan
setiap pihak yang berkonflik seakan dibawa pada suasana kompetisi untuk menunjukkan siapa
yang paling benar dan paling berhak dengan kepentingannya.
Berkenaan urusan keagrariaan, konflik sudah pasti dan akan terus terjadi karena banyaknya
kepentingan dalam menyikapi sumber-sumber agraria. Pada dasarnya, semua konflik agraria
timbul sebagai akibat dari adanya ketidakserasian/kesenjangan terkait sumber-sumber agraria,
khususnya kesenjangan dalam penguasaan, peruntukan, persepsi dan konsepsi, serta hukum dan
kebijakan yang saling beretentangan. Dengan demikian, konflik agraria secara sederhana dapat
diartikan sebagai pertentangan kepentingan yang berbeda terhadap sumber-sumber agraria–
seringnya dan akan selalu melibatkan tanah secara umum–yang terjadi antar individu, antar
kelompok, maupun individu dengan kelompok, di mana setiap pihak yang berkonflik harus
berupaya untuk mendapatkan kekuatan, membuktikan, dan menunjukan kepentingannya sebagai
yang paling baik.
Pada upaya mempertahankan kepentingan suatu pihak maka akan ada kepentingan pihak lain
yang dikorbankan karena kedua kepentingan tersebut tidak dapat diwujudkan bersama terhadap
satu objek agraria yang sama. Sebagai akibatnya, masyarakat lebih sering menjadi pihak yang
dikorbankan demi kepentingan pihak lain yang lebih memiliki kekuatan. Konsorsium Performa
Agraria (KPA) telah merekam ribuan kasus konflik agraria yang pernah terjadi di Indonesia berupa
konflik agraria struktural, yaitu konflik yang melibatkan masyarakat berhadapan dengan kekuatan
modal,dan/atau instrument negara. Dengan menggunakan pengelompokan masyarakat dalam tiga
sektor, seperti dikemukakan Alexis Tocqueville (1805-1859), konflik agraria struktural dapat
dinyatakan sebagai konflik kelompok masyarakat sipil “melawan” dua kekuatan lain di
masyarakat, yakni sektor bisnis dan/atau negara.
Akar masalah dari konflik agraria ini adalah berawal dari penyalahgunaan kewenangan dan
tumpang tindih pengaturan agararia. Sedikitnya ada empat ketidakserasian atau ketimpangan
agraria yang dapat diidentifikasi, yaitu:
1. Ketimpangan dalam hal penguasaan sumber-sumber agraria;
2. Ketidakserasian dalam hal “peruntukan” sumber-sumber agraria, khususnya tanah;
3. Ketidakserasian antara persepsi dan konsepsi mengenai agraria; dan
4. Ketimpangan antara berbagai produk hukum, sebagai akibat dari pragmatisme dan
kebijakan sektoral.
Persoalan agraria ini pada intinya menyangkut kekuasaan atas seluruh elemen yang terkandung
di dalam kehidupan agraris oleh masing-masing pihak yang terdapat di dalamnya.Pada tataran ini
dapat dikatakan bahwa masalah agraria adalah produk dari relasi dan intrerelasi antara masyarakat,
negara, dan lingkungan dengan menempatkan tanah dan kekuasaan sebagai inti persoalan.
Berdasarkan Pasal 6 UUPA telah ditegaskan bahwa semua hak atas tanah mempunyai fungsi
sosial.Namun kenyataan yang terjadi jauh dari semangat UUPA.Amanat undang-undang yang
mengutamakan kepentingan rakyat akhirnya harus terkikis dengan kepentingan-kepentingan
investasi dan komersial yang menguntungkan segelintir kelompok sehingga kepentingan rakyat
banyak yang seharusnya memperoleh prioritas utama akhirnya terabaikan.
Terdapat aktor-aktor utama yang kerap kali berhadaphadapan secara langsung dalam persoalan
konflik agraria di berbagai sektor. Aktor-aktor tersebut adalah pertama, petani dan
masyarakat/komunitas adat, dua kelompok besar masyarakat yang selama ini menjadi korban
dalam konflik agraria, baik pada level mempertahankan tanah dari upaya penguasaan oleh
kelompok lain di luar mereka, yang umumnya adalah kelompok dunia usaha guna kepentingan
profit atau pun pemerintah guna kepentingan umum. Kedua, Badan Usaha Milik Negara dan
Swasta, kelompok jamak sebagai pihak yang telah mendapatkan izin, hak dan konsesi dari
pemerintah atas sebidang tanah yang mengakibatkan timbulnya konflik dengan masyarakat adat,
petani, pemerintah maupun sesama badan usaha itu sendiri.
Pada situasi konflik tersebut, posisi negara (yang direpresentasikan lembaga pemerintah,
badan-badan usaha milik negara/daerah, maupun institusi militer) kerap muncul sebagai “lawan”
rakyat. Tampilnya pemerintah sebagai lawan sengketa rakyat, sering terjadi pada berbagai jenis
sengketa, antara lain pembangunan sarana umum dan fasilitas perkotaan, perkebunan besar,
perumahan dan kota baru, bendungan dan sarana pengairan, sarana wisata, areal kehutanan
produksi, dan sarana milliter.
Dikarenakan berbagai kegiatan pembangunan tersebut merupakan tanggung jawab dari
pemerintah sebagai penyelenggara negara yang diamanati oleh rakyat untuk mengelola
pembangunan, tentunya kegiatan-kegiatan itu harus ditujukan untuk kepentingan
masyarakat.Sebagai pihak yang diberi mandat, pemerintah memiliki keterbatasan dalam
menguasai sumber-sumber agraria di Indonesia.Pelaksanaan penguasaan itu tidak boleh
bertentangan dengan kepentingan yang ada di masyarakat.Setiap warga negara Indonesia memiliki
hak atas segalah hal yang ada di bumi Indonesia ini, termasuk hak agraria (hak atas tanah serta
yang ada di atas dan terkandung di dalamnya).
Tanah bukan sekedar aset, tetapi juga merupakan basis bagi teraihnya kuasa-kuasa ekonomi,
sosial dan politik. Maka ketimpangan dalam hal akses terhadap tanah ini akan sangat menentukan
corak masyarakat dan dinamika antar lapisan di dalam masyarakat tersebut. Kepentingan antara
ekonomi, sosial, dan politik berperan besar dalam setiap konflik agraria yang terjadi.Rencana
pembangunan yang sedang ramai disusung oleh pemerintah seringnya hanya menatap ke atas
untuk menuju perindustrian dengan laba besar, tetapi tidak menatap ke bawah lagi untuk melihat
kondisi masyarakat yang ada.Industrialisasi menjadi sistem yang sekarang sedang ramai dibangun
di negara-negara berkembang, termasuk di Indonesia sebagai dasar peningkatan pembangunan dan
perekonomian negara.Tapi pembangunan yang hanya mengedepankan perindustrian belum tentu
sesuai dengan kondisi sosial di masyarakat.Para pengusaha yang berdatangan dengan menawarkan
investasi dan keuntungan besar justru bisa membawa masyarakat pada krisis besar.
1.4. Konflik Agraria Studi Kasus : Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi, Sumatera Utara
Salah satu contoh konflik agraria yang terjadi di Kabupaten Dairi adalah konflik yang terjadi antar
perorangan, yaitu Setia Budi Siahaan sebagai penggugat dan Tumpal Siahaan, dan Lamhot
Situmorang, dan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Dairi sebagai tergugat.
1. Objek Gugatan
Bahwa yang menjadi objek sengketa di dalam gugatan perkara yaitu :
1) Serifikat Hak Milik (SHM) atas nama Tumpal Siahaan yang terletak di Jalan
Stadion, Kecamatan Sidikalang, Kabupaten Dairi
2) SHM atas nama Lamhot Situmorang yang terletak di Jalan Stadion, Kecamatan
Sidikalang, Kabupaten Dairi
2. Kepentingan Penggugat yang Dirugikan
Kepentingan penggugat yang dirugikan adalah sebagai berikut :
1)

Anda mungkin juga menyukai